J046. 7,40,100,1000 HARI KEMATIAN DAN HAUL

Deskripsi masalah
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sangat lekat dengan tradisi tujuh hari,empat puluh hari,seratus hari yang terhitung dari hari kematian mayyit,haul ,seribu hari dan sebagainya.

Pertanyaan:Apakah hal-hal tersebut dianjurkan?

Jawaban:Ya, dianjurkan karena substansi(pokok masalah)dari tradisi-tradisi di atas adalah mendoakan mayyit,shodaqoh,dan mengingatkan kematian.

Referensi:

(بلوغ الاءمنية(انارة الدجى),صحيفة ٢١٩)
(تذييل)اعلم ان الجاويين غالبا اذا مات احدهم جاءوا الى اهله لنحو الاءرز نيءا ثم طبخوه بعد التمليك وقدموه لاءهله وللحاضرين عملا لخبر(اصنعوا لاءل جعفر طعاما)وطمعا في ثواب ما في السوءال بل ورجاء ثواب الاءطعام للميت على ان العلامة الشرقاوي قال في شرح نجريد البخاري ما نصه:والصحيح ان السوءال اي سوءال القبر مرة وقيل يفتن الموءمن سبعا والكافر اربعين صباحا،ومن ثم كانوا يستحبون ان يطعم عن الموءمن سبعة ابام من دفنه.

(نهاية الزين،صحيغة ٢٨١)
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة ايام او اكثر او اقل،والتقييد ببعض الاءيام من العواءد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الاءربعين وفي
مائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاد شيخنا يوسف السنبلاوي ، اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الاءيتام،والا فيحرم كذا في كشف اللءام،

(الحاوي للفتاوي)
قال طاوس:ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعم عنهم تلك الاءيام ، ذكر الرواية المسندة عن عبيد بن عمير:قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث بن ابي الحارث عن عبيد بن عمير فال:يغتن رجلان موءمن ومنافق،فاءما الموءمن فيفتن سبعا، واما المنافق فيفتن اربعين صباحا – الى ان قال – وانما اوردهما طاوس كذالك لاءن قصده توجيه الحكم الشرعي وهو استحباب الاءطعام عن الموتىى مدة سبعة ايام فذكر ان سببه ورود فتنتهم في تلك الاءيام،ولهذا فرعه عليه بالفاء حيث قال:فكانوا يستحبون ان بطعم عنه تلك الاءيام – الى ان قال -ويحتمل اثرطاوس امرا ثانيا وهو اتصال الجمل الاءولى ايضا لاءن الاءخبار عن الصحابة باءنهم كانوا يستحبون الاءطعام عن الموتى تلك الاءيام السبعة صريح في ان ذلك كان معلوما عندهم وانهم كانوا يفعلون ذلك لقصد التثبيت عند الفتنة في تلك الاءيام وان كان معلوماعن الصحابةكان ناشءا عن التوقيف كما تقدم تقريره، وحينءذ يكون الحديث من باب المرفوع المتصل لا المرسل لاءن الاءرسال قد زال وتبين الاءتصال بنقل طاوس عن الصحابة.

(قرة العين بفتاوي الشيخ اسماعيل زين،صحيفة ٨٧)
سوءال:ما قولكم رضي الله عنكم فيمن مات فتصدق عنه وارثه شمعة وفراشا وشمسية بعد ان ابلغ اربعين يوما من بعد وفاته – الى ان قال – الجواب والله الموفق للصواب: ان الصدقة عن الميت بما ينتفع به مندوبة ومستحسنة باتفاق العلماء ويصل ثوابها الى الميت ويحصل للمتصدق اجر الصدقة لا ينقص اجر الاءخر شُيِّئَا.

J045 : HUKUM SHALAT JENAZAH DI ATAS KUBURAN

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Diskripsi :

Sering kali kita temukan di masyarakat tidak semua orang dapat menshalati mayat sebelum dimakamkan. Karena kendala tertentu, seperti jarak yang terlampau jauh, mengakibatkan sebagian orang tidak menjumpai jenazah sebelum dikebumikan. Karena rumahnya dekat dengan kuburan sang mayat, sebagian orang menyempatkan diri melaksanakan shalat jenazah di kuburan sang mayat.

Pertanyaannya :

1. Bagaimana hukum shalat jenazah di atas kuburan?

2. Apa status shalat tersebut dikatagorikan shalat ghaib atau hadir?

3. Sampai kapan shalat tersebut diperbolehkan?

JAWABAN :

Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarokatuh..

Jawaban No.1:

Shalat jenazah di kuburan hukumnya diperbolehkan, baik mayat dimakamkan sebelum dishalati atau sesudahnya. Kebolehan ini berlandaskan kepada hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah di atas kubur perempuan atau laki-laki yang rajin membersihkan masjid. Demikian pula hadits riwayat An-Nasa’i dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah Ummu Mahjan di kuburannya, yang telah dikebumikan di malam hari. Namun kebolehan menshalati jenazah di kuburan disyaratkan bukan jenazahnya para nabi. Maka menjadi tidak sah menshalati jenazah para nabi setelah kewafatan mereka. Ada dua alasan mengapa tidak sah. Pertama, berdasarkan hadits nabi yang melarang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid (tempat shalat). Kedua, karena saat kewafatan para nabi, kita bukan tergolong orang yang diwajibkan untuk menshalati.

Keterangan di atas sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari berikut ini:

و تجوز على قبر غير النبي صلى الله عليه وسلم بعد الدفن سواء أدفن قبلها أم بعدها

Artinya, “Boleh menshalati kuburnya selain nabi setelah dikebumikan baik mayat dimakamkan sebelum dishalati maupun sesudahnya.”

لأنه صلى الله عليه وسلم صلى على قبر امرأة أو رجل كان يقم المسجد وعلى قبر مسكينة يقال لها أم محجن دفنت ليلا روى الأول الشيخان والثاني النسائي بإسناد صحيح

Artinya, “Karena Nabi Muhammad Saw menshalati kuburnya perempuan atau laki-laki yang rajin menyapu masjid. Dan Nabi menshalati kuburnya perempuan miskin yang disebut-sebut bernama Ummu Mahjan, ia sudah dimakamkan di malam hari. Hadits pertama diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim. Hadits kedua diriwayatkan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih.

أما الصلاة على قبور الأنبياء صلى الله عليهم وسلم فلا تجوز واحتج له بخبر الصحيحين لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد وبأنا لم نكن أهلا للفرض وقت موتهم

Artinya, “Adapun menshalati kubur para nabi, maka tidak boleh. Argumennya adalah haditsnya Al-Bukhari dan Muslim bahwa Allah melaknat Kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Argumen lain, kita bukan termasuk orang yang diwajibkan menshalati saat kewafatan mereka,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 322).

Dalam pelaksanaan shalat jenazah di kuburan, disyaratkan posisi orang yang menshalati tidak berada di depan kubur. Syarat ini juga berlaku dalam persoalan menshalati jenazah yang hadir. Pensyaratan ini berdasarkan sebuah prinsip bahwa mayat dianggap seperti imam, orang yang menshalati sebagai makmum. Sehingga posisi orang yang shalat tidak boleh berada di depan mayat. Syarat ini tidak berlaku untuk shalat ghaib sehingga hukumnya sah menshalati ghaib meski posisi orang yang shalat berada di depan mayat, sebab ada hajat (kebutuhan).

Keabsahan shalat jenazah di kuburan juga disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati jenazah saat kematian mayat, dengan sekira saat kematian mayat, seseorang dalam keadaan Muslim, mukallaf, dan suci dari haidh dan nifas. Maka mengecualikan non-Muslim, anak kecil, orang gila dan perempuan haidh. Orang-orang yang saat kewafatan mayat dalam kondisi tersebut, tidak sah melaksanakan shalat jenazah di kuburan.

Syekh Zainuddin Al-Malibari menegaskan:

(و) تصح على حاضر ( مدفون ) ولو بعد بلائه (غير نبي) فلا تصح على قبر نبي لخبر الشيخين) من أهل فرضها وقت موته) فلا تصح من كافر وحائض يومئذ كمن بلغ أو أفاق بعد الموت ولو قبل الغسل كما اقتضاه كلام الشيخين

Artinya, “Sah menshalati mayat hadir yang dimakamkan, meski setelah hancur. Selain mayat nabi, maka tidak menshalati kubur nabi karena hadits Al-Bukhari dan Muslim. Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat. Maka tidak sah dari non-Muslim dan perempuan haidh saat kematian mayat, sebagaimana tidak sah dilakukan orang yang baligh atau sembuh dari gila setelah kematian mayat, meski balighnya atau sembuhnya sebelum mayat dimandikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh statemen Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 133).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

قوله (من أهل فرضها وقت موته) أي تصح الصلاة على الميت الغائب وعلى الحاضر المدفون إن كان من يريد الصلاة من أهل أداء فرضها وقت الموت بأن يكون حينئذ مسلما مكلفا طاهرا لأنه يؤدي فرضا خوطب به اه تحفة

Artinya, “Ucapan Syekh Zainuddin, “Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat”, maksudnya adalah sah menshalati mayat ghaib dan mayat hadir yang telah dimakamkan, bila orang yang hendak menshalati adalah orang yang diwajibkan menshalati pada waktu kematian mayat. Dengan sekira saat kematian mayat, ia dalam keadaan Muslim, mukallaf dan suci (dari haidh dan nifas), karena ia telah menjalankan kewajiban yang dituntut kepadanya,” (Lihat Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 133).

Jawaban No. 2 :

Dikatagorikan shalat hadir walaupun mayat sudah dikebumikan.

Referensi:

Syekh Zakariyya Al-Anshari menjelaskan:

فإن تقدم المصلي على الجنازة الحاضرة أو القبر لم تصح صلاته كما في تقدم المأموم على إمامه أما المتقدم على الغائبة فصلاته صحيحة للحاجة

Artinya, “Bila mushalli maju melampaui posisi jenazah yang hadir atau mayat yang di kubur, maka tidak sah shalatnya sebagaimana dalam persoalan majunya posisi makmum melampaui imamnya. Sedangkan mushalli yang posisinya lebih maju dalam shalat ghaib, maka shalatnya sah karena kebutuhan,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 317).

Jawaban No.3 :

BATASAN BOLEHNYA MENSHOLATI JENAZAH DI KUBURAN

Dalam masalah ini ada lima pendapat.

Pendapat pertama,
tidak ada batas berapa umur jenazah yang boleh dishalati di kuburnya. Berpijak dari pendapat ini, sah menshalati jenazah para sahabat dan ulama setelahnya sampai hari ini. Pendapat ini tidak mensyaratkan orang yang menshalati harus tergolong ahlul fardli (orang yang berkewajiban) menshalati saat hari kematian jenazah.

Pendapat kedua,
dibatasi sampai tiga hari. Pendapat ini juga sesuai dengan mazhab Imam Abu Hanifah. Dengan demikian, bila umur jenazah sudah melampaui tiga hari, tidak sah untuk dishalati di kuburannya.

Pendapat ketiga,
maksimal berusia satu bulan. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.

Pendapat keempat, selama masih tersisa anggota tubuh mayat. Bila anggota tubuh mayat telah hancur, maka tidak boleh dishalati. Bila ragu-ragu masih tersisa atau telah sirna, maka dihukumi masih tersisa.

Pendapat kelima,
dikhususkan untuk orang yang berkewajiban menshalati saat kematian mayat. Berpijak dari pendapat ini, tidak ada batasan berapa lama usia jenazah yang boleh dishalati di kuburnya, asalkan dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati saat kewafatan jenazah.

Pendapat kelima ini adalah yang kuat dalam mazhab Syafi’i, disahihkan oleh al-Imam al-Rafi’i dalam kitab al-Syarh al-Shagir.

Uraian di atas sebagaimana dijelaskan dalam referensi berikut ini:

وإلى متى يصلى عليه فيه أوجه أحدها أبدا فعلى هذا تجوز الصلاة على قبور الصحابة فمن بعدهم إلى اليوم قال في المجموع وقد اتفق الأصحاب على تضعيف هذا الوجه

“Sampai kapan boleh menshalati mayat di kuburnya? Terdapat beberap pendapat. Pendapat pertama, selamanya. Berpijak dari ini, boleh menshalati kuburnya para sahabat dan ulama setelahnya hingga sekarang. Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata, para ashab sepakat melemahkan pendapat ini.”

ثانيها إلى ثلاثة أيام دون ما بعدها وبه قال أبو حنيفة ثالثها إلى شهر وبه قال أحمد رابعها ما بقي منه شيء في القبر فإن انمحقت أجزاؤه لم يصل عليه وإن شك في الانمحاق فالأصل البقاء

“Pendapat kedua, sampai tiga hari, bukan durasi setelahnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Pendapat ketiga, selama masih tersisa anggota tubuh mayat di dalam kubur. Bila telah hancur anggota-anggotanya, maka tidak boleh dishalati. Bila ragu-ragu, maka hukum asal dihukumi masih tersisa.”

خامسها يختص بمن كان من أهل الصلاة عليه يوم موته وصححه في الشرح الصغير فيدخل المميز على هذا دون غير المميز

“Pendapat kelima, terkhusus untuk orang yang tergolong berkewajiban menshalati mayat saat hari kematiannya. Pendapat ini disahihkan oleh Imam al-Rafi’i dalam Syarh al-Shaghir, maka memasukkan anak kecil yang sudah tamyiz, bukan anak yang belum mencapai tamyiz.” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 346).

Wallahu a’lamu bisshowab..

J044. HUKUM SHALAT JENAZAH GHAIB BAGI MAYIT YANG SUDAH LAMA MENINGGAL

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum Ustadz..

Tanya tentang sholat ghoib, baru-baru ini saya dengar kabar bahwa teman karib saya meninggal dunia dua tahun yang lalu

pertanyaanya :
a. bolehkah saya sholat ghoib baginya?.
b. bolehkah saya sholat ghoib untuk orang-orang yang wafat zaman dahulu seperti Sunan Ampel / Syeh Abdul Qodir ?

JAWABAN :

Wa’alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

Jika saat orang yang meninggal anda termasuk orang yang ahli menjalankan sholat jenazah tersebut maka sah sholat ghoibnya, jika tidak maka tidak sah, misalnya saat teman anda meninggal dua tahun lalu itu anda belum termasuk orang yang ahli melakukan sholat jenazah karena belum baligh maka sholatnya tidak sah, apalagi mensholati orang-orang yang wafat zaman dulu seperti para sunan dan syeh abdul qodir al jaelani maka jelas tidak sah karena saat mereka wafat anda belum lahir.

Referensi:
– kitab nihayatuz zain (1/160) :

وَالأَصَح تَخْصِيص صِحَة الصَّلَاة على الْغَائِب والقبر بِمن كَانَ (من أهل) أَدَاء (فَرضهَا) أَي الصَّلَاة (وَقت مَوته) دون غَيره فَلَا تصح من كَافِر وحائض يَوْم مَوته كمن بلغ أَو أَفَاق بعد الْمَوْت وَقبل الْغسْل

– kitab al iqna’ (1/202) :

وَتَصِح على غَائِب عَن الْبَلَد وَلَو دون مَسَافَة الْقصرقَالُوا وَإِنَّمَا تصح الصَّلَاة على الْقَبْر وَالْغَائِب عَن الْبَلَد مِمَّن كَانَ فِي أهل فَرضهَا وَقت مَوته قَالُوا لِأَن غَيره متنفل وَهَذِه لَا يتَنَفَّل بهَا

– kitab asnal matholib (1/322) :

وإنما تجوز الصلاة على الغائب عن البلد لمن كان من أهل فرض الصلاة عليه يوم موته

BATASAN JARAK DIPERBOLEHKANNYA SHOLAT GHOIB

PERTANYAAN:

Seberapa jauh mayit diperbolehkan untuk di sholati GHOIB? sahkah sholat ghoib pada mayit yang masih satu kampung/komplek perumahan?

JAWABAN:

وَيَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى الغَائِبِ عَنْ بَلَدٍ وَإِنْ قَرُبَتْ مَسَفَاتُهُ بِأَنْ كَانَ دُونَ مَسَافَةِ القَصْرِ وَلاَ يَجُوزُ عَلَى الغَائِبِ فِى البَلَدِ وَإِنِ اتَّسَعَتْ أَرْجَاؤُهُ .

“Dan boleh disholati ghoib, mayit yang tidak ada dalam kota meskipun jarak-nya dekat, yaitu kurang dari jarak yang membolehkan sholat qashar. Dan tidak boleh disholati ghoib mayit yang berada dalam kota meskipun kota itu luas wilayahnya“
(Anwarul Masalik/98)

المتجه أن المعتبر المشقة وعدمها فحيث شق الحضور ولو في البلد لكبرها ونحو صحت وحيث لا ولو خارج السور لم تصح م ر

Dalam batasan jarak tempuh diperkenankannya shalat ghaib yang menjadi pertimbangan adalah masyaqqat (kesulitan) dan tidaknya berkunjung pada tempat janazah, walaupun masih berada dalam satu daerah bila terjadi masyaqqat(kesulitan), boleh menjalankan shalat ghaib dan walaupun diluar daerah bila tidak ada kesulitan mendatanginya maka tidak boleh menunaikan shalat ghaib. (I’aanah at-Thaalibiin II/133)

Wallahu a’lamu Bisshowab..

J043. PERLAKUAN SYARIAT ISLAM TERHADAP ARI-ARI BAYI

PERTANYAAN :

‎Assalamu’alaikum Ustadz..

Mau tanya. Menurut syariat Islam, Ari-ari bayi yang baru lahir sebaiknya disimpan, ditanam atau dibuang saja..?? Mohon Jawabannya..!! Syukran.

JAWABAN :

Wa’alaikumsalam Warohmatullahi wabarokaatuh..

MASYIMAH terbagi atas dua macam :

1. Masyimah yang tersambung dengan pusar (ari-ari)

2. Masyimah pembungkus bayi (uterus)

Masyimah hukumnya suci. Sedangkan hukumnya sebagai berikut :

1.Masyimah (ari-ari) sunnah dikuburkan bila bayinya tidak mati seketika pada waktu pemotongan sedang bila bayinya mati sat pemotongan atau lahir sudah dalam keadaan mati maka hukumnya sama dengan bayinya (Wajib dikuburkan)

2.Masyimah pembungkus bayi (uterus) tidak terdapati kewajiban apapun.

Ketentuan di atas berpijak pada pendapat al-Batmawi

( وَالْجُزْءُ الْمُنْفَصِلُ ) بِنَفْسِهِ أَوْ بِفِعْلِ فَاعِلٍ ( مِنْ ) الْحَيَوَانِ ( الْحَيِّ ) ( كَمَيْتَتِهِ ) طَهَارَةً وَضِدَّهَا لِخَبَرِ { مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ } فَالْيَدُ مِنْ الْآدَمِيِّ طَاهِرَةٌ وَلَوْ مَقْطُوعَةً فِي سَرِقَةٍ أَوْ كَانَ الْجُزْءُ مِنْ سَمَكٍ أَوْ جَرَادٍ وَمِنْ نَحْوِ الشَّاةِ نَجِسَةٌ ، وَمِنْهُ الْمَشِيمَةُ الَّتِي فِيهَا الْوَلَدُ طَاهِرَةٌ مِنْ الْآدَمِيِّ ، نَجِسَةٌ مِنْ غَيْرِهِ .

Bagian tubuh yang terpisah dengan sendirinya atau akibat perbuatan seseorang dari yang hidup hukumnya seperti bangkainya baik dalam kesucian atau kenajisannya berdasarkan hadits “Yang terpisah dari yang hidup seperti bangkai” maka tangan yang terpisah dari manusia hukumnya suci meskipun terpotong akibat pencurian atau bagian tubuh dari ikan air atau belalang (maka suci).Sedang yang terpotong dari semacam kambing maka najis.Termasuk masyimah yang didalamnya terdapati anak, bila dari manusia maka suci, bila dari selainnya maka najis. [ Hasyiyah as-Syibro Malisy II/15 ].

( فَرْعٌ ) آخَرُ هَلْ الْمَشِيمَةُ جُزْءٌ مِنْ الْأُمِّ أَمْ مِنْ الْمَوْلُودِ حَتَّى إذَا مَاتَ أَحَدُهُمَا عَقِبَ انْفِصَالِهَا كَانَ لَهُ حُكْمُ الْجُزْءِ الْمُنْفَصِلِ مِنْ الْمَيِّتِ فَيَجِبُ دَفْنُهَا ، وَلَوْ وُجِدَتْ وَحْدَهَا وَجَبَ تَجْهِيزُهَا وَالصَّلَاةُ عَلَيْهَا كَبَقِيَّةِ الْأَجْزَاءِ أَوَّلًا ؛ لِأَنَّهَا لَا تُعَدُّ مِنْ أَجْزَاءِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا خُصُوصًا الْمَوْلُودَ فِيهِ نَظَرٌ فَلْيُتَأَمَّلْ .ا هـ .سم عَلَى الْمَنْهَجِ وَأَقُولُ الظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهَا شَيْءٌ ا هـ .ع ش عَلَى م ر .وَعِبَارَةُ الْبِرْمَاوِيِّ أَمَّا الْمَشِيمَةُ الْمُسَمَّاةُ بِالْخَلَاصِ فَكَالْجُزْءِ ؛ لِأَنَّهَا تُقْطَعُ مِنْ الْوَلَدِ فَهِيَ جُزْءٌ مِنْهُ وَأَمَّا الْمَشِيمَةُ الَّتِي فِيهَا الْوَلَدُ ، فَلَيْسَتْ جُزْءًا مِنْ الْأُمِّ وَلَا مِنْ الْوَلَدِ انْتَهَتْ .

[ CABANG ] Apakah masyimah bagian dari ibu atau anak hingga bila salah satu dari mereka meninggal setelah terpisahnya maka hukumnya seperti bagian tubuh yang terpisah dari mayat maka wajib menguburkannya, dan bila ia ditemukan sendirian maka wajib merawatnya serta menshalatinya sebagaimana bagian-bagian tubuh manusia lainnya ? Ataukah tidak diwajibkan apapun atas masyimah tersebut karena ia tidaj terhitung satu bagian tubuh dari mereka ? Didalamnya perlu pemikiran, maka berfikirlah..

Ahmad Bin Qoosim al-‘Ubbaadi berpendapat tidak ada kwajiban apapun atas masyimah sedang al-Barmawy menilai Masyimah yang juga dikenal dengan nama al-Khalash maka seperti bagian tubuh dari seseorang karena ia terpotong dari tubuh seorang anak maka ia bagian tubuhnya, sedang masyimah yang didalamnya terdapati anak maka bukanlah bagian tubuh dari ibu juga bukan bagian tubuh dari anak. [ Hasyiyah al-Jamal VII/142 ].

وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالًا أَوْ مِمَّنْ شُكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا

Dan disunahkan menguburkan bagian yang terpisah dari orang hidup yang tidak mati seketika atau bagian tubuh yang terpisah dari orang yang diragukan kematiannya seperti potongan tangan pencuri, kuku, rambut dan segumpal darah serta darah yang keluar dari semacam bekam demi memuliakan pemilik potongan tubuh tersebut. [ Nihaayah al-Muhtaaj VI/24 ].

( وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ مُسْلِمٍ ) غَيْرِ شَهِيدٍ ( صَلَّى عَلَيْهِ ) بَعْدَ غَسْلِهِ وَسَتْرِهِ بِخِرْقَةٍ وَدُفِنَ كَالْمَيِّتِ الْحَاضِرِ وَإِنْ كَانَ الْجُزْءُ ظُفُرًا أَوْ شَعْرًا فَقَدْ صَلَّى الصَّحَابَةُ عَلَى يَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَتَّابِ بْنِ أَسِيدٍ وَقَدْ أَلْقَاهَا طَائِرُ نَسْرٍ بِمَكَّةَ فِي وَقْعَةِ الْجَمَلِ وَقَدْ عَرَفُوهَا بِخَاتَمِهِ رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ

Bila ditemui bagian tubuh mayat muslim selain orang mati syahid maka wajib dishalatkan setelah dimandikan dan ditutupi dengan kain dan dikuburkan layaknya orang mati meskipun bagian tersebut hanyalah berupa kuku atau rambut karena para sahabat nabi pernah menshalati tangan sahabat Abdur rahman Bin ‘Attaaab yang terjatuh dari burung nasar dikota makkah saat perang al-Jamal, tangan tersebut dikenali para sahabat milik Abdur rahman karena cincin yang terdapat dijemarinya, diriwayatkan oleh as-syafi’i. [ Hasyiyah al-Jamal VII/140 ].

Wallaahu A’lamu Bis Showaab..

J042. HUKUM ZIYARAH KUBUR BAGI WANITA

PERTANYAAN :

Assalamu alaikum Ustadz

Saya bertanya tentang ziarah kubur. setiap hari kamis menuju ke malam jum’at kebanyakan orang muslim menuju kekuburan dan tujuannya adalah mengkhususkan si mayyit tersebut. Dan bagi setiap laki-laki berziarah ke kuburan keluarganya itu mendapatkan pahala, sedangkan seorang wanita itu tidak boleh ziarah kekuburan kekeluarganya sendiri selain ke maqom nabi saw.
Apakah ini benar atau tidak kiai…
tolong jelaskan juga ibarohnya

JAWABAN :

Waalaikumussalam Warohmatullahi wabarokaatuh..

Pada dasarnya ziarah kubur dianjurkan oleh agama pada zaman dahulu sampai sekarang Namun anjuran tentang Hukumnya di Tafshil:

a)-Sunnah bagi laki-laki dan bagi perempuan husus untuk ziyarah kemaqbarah Nabi muhammad saw.

b.)-Haram Yaitu bagi wanita yang merasa susah dan menangis bahkan menjerit -jerit sebagaimana kebiasaannya dizaman dahulu.

c)-Makruh. Yaitu bagi wanita yang tidak selamat dari fitnah(godaan).

d) Boleh/tidak makruh jika wanita berkumpul dengan muhrimnya sebagaimana berjamaah dimasjid atau orang perempuan yang sudah lanjut usia.

Dalam hadits Nabi pernah bertemu dengan orang perempuan menangis disisinya kuburan lalu Nabi bersabda : Takutlah kamu kepada Allah dan Sabarlah kamu.Dalam riwayat yang lain Aisyah bertanya kepada Rasulullah …ucapan apa jika kami berziyarah wahai Rasul…? maka Rasulullah menganjurkan agar mengucapkan salam sebagaimana ibarah berikut :

[ المجموع شرح المهذب – 2629/9792
فَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلرِّجَالِ زِيَارَةُ الْقُبُورِ وَهُوَ قَوْلُ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً نَقَلَ الْعَبْدَرِيُّ فِيهِ إجْمَاعَ الْمُسْلِمِينَ وَدَلِيلُهُ مَعَ الْإِجْمَاعِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ الْمَشْهُورَةُ وَكَانَتْ زِيَارَتُهَا مَنْهِيًّا عَنْهَا أَوَّلًا ثُمَّ نُسِخَ ثَبَتَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ” قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ” وَزَادَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالنَّسَائِيُّ فِي رِوَايَتِهِمَا فَزُورُوهَا وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا وَالْهَجْرُ الْكَلَامُ الْبَاطِلُ وَكَانَ النَّهْيُ أَوَّلًا لِقُرْبِ عَهْدِهِمْ مِنْ الجاهلية فربما كانا يَتَكَلَّمُونَ بِكَلَامِ الْجَاهِلِيَّةِ الْبَاطِلِ فَلَمَّا اسْتَقَرَّتْ قَوَاعِدُ الْإِسْلَامِ وَتَمَهَّدَتْ أَحْكَامُهُ واستشهرت مَعَالِمُهُ أُبِيحَ لَهُمْ الزيارة واحتاط صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ وَلَا تَقُولُوا هجرا قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يَدْنُوَ مِنْ قَبْرِ الْمَزُورِ بِقَدْرِ مَا كَانَ يدنوا مِنْ صَاحِبِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا وَزَارَهُ وَأَمَّا النِّسَاءُ فَقَالَ الْمُصَنِّفُ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ لَا تَجُوزُ لَهُنَّ الزِّيَارَةُ وَهُوَ ظَاهِرُ هَذَا الْحَدِيثِ وَلَكِنَّهُ شَاذٌّ فِي الْمَذْهَبِ وَاَلَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ أَنَّهَا مَكْرُوهَةٌ لَهُنَّ كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ وَذَكَرَ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ وَجْهَيْنِ
(أَحَدَهُمَا)
يُكْرَهُ كَمَا قَالَهُ الْجُمْهُورُ
(وَالثَّانِي)
لَا يُكْرَهُ قَالَ وَهُوَ الْأَصَحُّ
عندي إذا أمن الا فتتان وَقَالَ صَاحِبُ الْمُسْتَظْهِرِيِّ وَعِنْدِي إنْ كَانَتْ زِيَارَتُهُنَّ لِتَجْدِيدِ الْحُزْنِ وَالتَّعْدِيدِ وَالْبُكَاءِ وَالنَّوْحِ عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ عَادَتُهُنَّ حَرُمَ قَالَ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ الْحَدِيثُ ” لَعَنَ اللَّهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ ” وَإِنْ كَانَتْ زيارتهن للاعتبار مِنْ غَيْرِ تَعْدِيدٍ وَلَا نِيَاحَةٍ كُرِهَ إلَّا إن تكون عجوزا لا تشثهى فَلَا يُكْرَهُ كَحُضُورِ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسَاجِدِ وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ وَمَعَ هَذَا فَالِاحْتِيَاطُ لِلْعَجُوزِ تَرْكُ الزِّيَارَةِ لِظَاهِرِ الْحَدِيثِ وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللَّهُ فِي دُخُولِ النِّسَاءِ فِي قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ” وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا أَنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَ فِي ضِمْنِ الرِّجَالِ وَمِمَّا يَدُلُّ أَنَّ زِيَارَتَهُنَّ لَيْسَتْ حَرَامًا حَدِيثُ أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” مَرَّ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ واصبري ” رواه البحارى وَمُسْلِمٌ وَمَوْضِعُ الدَّلَالَةِ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَنْهَهَا عَنْ الزِّيَارَةِ وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ ” كَيْفَ أَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ – يَعْنِي إذَا زُرْت الْقُبُورَ قَالَ قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ يَزُورُهُ وَلِجَمِيعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَكُونَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنْ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى الْأَصْفَهَانِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ آدَابِ زِيَارَةِ الْقُبُورِ الزَّائِرُ بِالْخِيَارِ إنْ شاء زار قَائِمًا وَإِنْ شَاءَ قَعَدَ كَمَا يَزُورُ الرَّجُلُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاةِ فَرُبَّمَا جَلَسَ عِنْدَهُ وَرُبَّمَا زاره قائما أومارا

(قَالَ) وَرَوَى الْقِيَامَ عِنْدَ الْقَبْرِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ وَالْحَكَمِ بْنِ الْحَارِثِ وَابْنِ عُمَرَ وَأَنَسٍ وَعَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ السَّلَفِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ أَبُو مُوسَى وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ الزَّعْفَرَانِيُّ وَكَانَ مِنْ الْفُقَهَاءِ الْمُحَقِّقِينَ فِي كِتَابِهِ فِي الْجَنَائِزِ وَلَا يَسْتَلِمُ الْقَبْرَ بِيَدِهِ وَلَا يُقَبِّلُهُ قَالَ وَعَلَى هَذَا مَضَتْ السُّنَّةُ قَالَ أَبُو الْحَسَنِ وَاسْتِلَامُ الْقُبُورِ وَتَقْبِيلُهَا الَّذِي يَفْعَلُهُ الْعَوَامُّ الْآنَ مِنْ الْمُبْتَدَعَاتِ الْمُنْكَرَةِ شَرْعًا يَنْبَغِي تَجَنُّبُ فِعْلِهِ وَيُنْهَى فَاعِلُهُ قَالَ فَمَنْ قَصَدَ السَّلَامَ عَلَى مَيِّتٍ سَلَّمَ عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ وَإِذَا أَرَادَ الدُّعَاءَ تَحَوَّلَ عَنْ مَوْضِعِهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ قَالَ أَبُو مُوسَى وَقَالَ الْفُقَهَاءُ الْمُتَبَحِّرُونَ الْخُرَاسَانِيُّونَ الْمُسْتَحَبُّ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَنْ يَقِفَ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلًا وَجْهَ الْمَيِّتِ يُسَلِّمُ وَلَا يَمْسَحُ
الْقَبْرَ وَلَا يُقَبِّلُهُ وَلَا يَمَسُّهُ فَإِنَّ ذَلِكَ عَادَةُ النَّصَارَى (قَالَ) وَمَا ذَكَرُوهُ صَحِيحٌ لِأَنَّهُ قَدْ صَحَّ النَّهْيُ عَنْ تَعْظِيمِ الْقُبُورِ وَلِأَنَّهُ إذَا لَمْ يُسْتَحَبَّ اسْتِلَامُ الرُّكْنَيْنِ الشَّامِيَّيْنِ مِنْ أَرْكَانِ الْكَعْبَةِ لِكَوْنِهِ لَمْ يُسَنَّ مَعَ اسْتِحْبَابِ اسْتِلَامِ الرُّكْنَيْنِ الْآخَرَيْنِ فَلَأَنْ لَا يُسْتَحَبَّ مَسُّ الْقُبُورِ أولي .
والله أعلم

Dari paparan/ penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum ziyarah kubur adalah:

1. Sunnah bagi laki-laki dan khususnya bagi perempuan jika ziyarah kemaqbarah Nabi Muhammad saw dan para Nabi yang lain juga kemaqbarah Pada ulama dan para wali juga orang yang sholeh.

2. Makruh: Bagi perempuan yang tidak mencakup berkumpul bersama muhrim.

3. Haram: Bagi perempuan ziyarah dengan tidak bersama dengan murimnya.
Yang paling dikokohkan ziyarah sebagaimana pertanyaan diatas betul memang pada hari raya juga hari kamis bahkan hari jum’at bagi anak yang berziyarah kepada maqbarah kedua orang tuanya.

Referensi :

تنوير القلوب.ص:216
تسن زيارة قبور المسلمين للرجال ﻷجل تذكير الموت واﻵخرة وإصلاح فساد القلب ونفع الميت بما يتلى عنده من القرآن لخبر مسلم (كما نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها.ولقوله صلى الله عليه وسلم( إطلع بالقبور واعتبرو بالنشور )رواه البيهقى خصوصا قبور اﻷنبياء واﻷولياء وأهل السلام.وتكره للنساء لمنعهن وقلة صبرهن ،ومحل الكراهة إن لم يشمل اجتماعهن على محرم وإﻻ حرم،ويندب لهن زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وكذا قبور سائر اﻷنبياء والعلماء واﻷولياء وتتأكد يوم العيد ومن عيشة خميس إلى طلوع الشمس وسبت

إرشاد العباد .ص.:34
وابن أبى الدنيا والبيهقى عن محمد واسع قال بلغني أن الموتى يعرفون بزوارهم يوم الجمعة ويوما قبله ويوما بعده.*والبيهقى عن محمدابن النعمان مرسلا من زار قبر أبويه أو أحدهما فى كل جمعة غفر له وكتب له برا. والله أعلم.

Diriwayatkan dari ibni Abiddun-ya dan Baihaqi dari Muhammad bin Wasi’ dia berkata:Telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya orang yang mati mengetahui terhadap orang-orang yang berziyarah (berkunjung)pada hari jum’at,dan baik juga berziyarah pada satu hari sebelum Jum’at (yaitu hari Kamis) atau satu hari sesudah Jum’at (yaitu hari Sabtu).

Riwayat Baihaqi dari Muhammad ibnu Nu’man hadits mursal ;Barang siapa yang berziyarah ke kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari kuburan kedua orang tuanya setiap hari jum’at, maka dosa-dosa diampuni dan dicatat sebagai orang yang berbakti (berbuat baik).

Wallohu a’lamu bisshowab..

J041. SHALAT JENAZAH OLEH WANITA MENGGUGURKAN FARDHU KIFAYAHNYA?

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Deskripsi masalah:
Di suatu daerah penduduknya banyak dihuni oleh para wanita dari pada laki-laki. Suatu ketika di kampung tersebut tertimpa musibah kematian, dan tidak ada satupun laki-laki yang datang ketika pelaksanaan shalat jenazahnya.

Pertanyaannya :
1. Bolehkah bagi wanita mensalatkan jenazah tersebut baik secara munfarid (sendirian) ataupun berjamaah?
2. Gugurkah hukum fardhu kifayahnya?

JAWABAN :

Waalaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh..

Jawaban No 1 :
Boleh bagi wanita menshalatkan jenazah dalam kondisi tidak ada orang laki-laki bahkan wajib walaupun secara sendirian tidak berjamaah Karena berjamaah dalam salat jenazah bukanlah syarat sahnya salat jenazah melainkan sunnah .

Orang perempuan melakukan shalat jenazah di kala masih ada orang laki-laki hukumnya sunnah, tapi tidak menggugurkan kewajiban shalat janazah tersebut. Sholat jenazah harus dilakukan laki-laki walaupun anak kecil yang mumayyiz agar maqshudnya berhasil dan karena shobiyy (anak laki-laki yang kecil) lebih patut menjadi imam untuk laki-laki bukan wanita atau khuntsa (banci) menjadi imam laki-laki, serta karena laki-laki lebih sempurna daripada selainnya, dan doanya laki-laki itu lebih dekat untuk di terima. Sehingga sholat jenazah yang dilakukan perempuan tidaklah menggugurkan fardhu kifayah selama ada laki-laki yang mensholatinya kecuali tidak ada laki-laki yang mensholatinya maka sholat jenazah wajib bagi wanita untuk melaksanakan sholat janazah, dan kewajiban fardlu kifayah sholat jenazah bisa gugur sebab dikerjakan para wanita tersebut, dan disunnahkan untuk berjama’ah.

Referensi:

(حاشية الجمل، جز ٢ , صحيفة ١٨١ )

عبارة: (وَيَكْفِي) فِي إسْقَاطِ فَرْضِهَا (ذَكَرٌ), وَلَوْ صَبِيًّا مُمَيِّزًا لِحُصُولِ الْمَقْصُودِ بِهِ وَلِأَنَّ الصَّبِيَّ يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ إمَامًا لِلرَّجُلِ (لَا غَيْرُهُ) مِنْ خُنْثَى وَأُنْثَى (مَعَ وُجُودِهِ) أَيْ الذِّكْرِ ; لِأَنَّ الذَّكَرَ أَكْمَلُ مِنْ غَيْرِهِ فَدُعَاؤُهُ أَقْرَبُ إلَى الْإِجَابَةِ وَفِي عَدَمِ سُقُوطِهَا بِغَيْرِ ذَكَرٍ مَعَ وُجُودِ الصَّبِيِّ كَلَامٌ ذَكَرْته فِي شَرْحِ الرَّوْضِ وَقَوْلِي لَا غَيْرُهُ مَعَ وُجُودِهِ أَعَمُّ مِنْ قَوْلِهِ. وَلَا تَسْقُطُ بِالنِّسَاءِ وَهُنَاكَ رِجَالٌ.

(قَوْلُهُ وَيَكْفِي فِي إسْقَاطِ فَرْضِهَا ذِكْرٌ) أَيْ, وَلَوْ وَاحِدًا وَإِنْ لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ وَلَا غَيْرَهَا وَوَقَفَ بِقَدْرِهَا, وَلَوْ مَعَ وُجُودِ مَنْ يَحْفَظُهَا فِيمَا يَظْهَرُ ; لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَلَاةٍ صَحِيحَةٍ مِنْ جِنْسِ الْمُخَاطَبِينَ وَقَدْ وُجِدَتْ ا هـ. حَجّ وَبَقِيَ مَا لَوْ كَانَ لَا يُحْسِنُ إلا الْفَاتِحَةَ فَقَطْ هَلْ الْأَوْلَى أَنْ يُكَرِّرَهَا أَوْ لَا فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَقْرَبُ بَلْ الْمُتَعَيِّنُ الْأَوَّلُ لِقِيَامِهَا مَقَامَ الْأَدْعِيَةِ ا هـ. ع ش عَلَى م ر (قَوْلُهُ: وَلَوْ صَبِيًّا مُمَيِّزًا) أَيْ, وَلَوْ مَعَ وُجُودِ الرِّجَالِ وَفَارَقَ ذَلِكَ عَدَمَ سُقُوطِ الْفَرْضِ بِهِ فِي رَدِّ السَّلَامِ بِأَنَّ السَّلَامَ شُرِعَ فِي الْأَصْلِ لِلْإِعْلَامِ بِأَنَّ كُلا مِنْهُمَا سَالِمٌ مِنْ الْآخَرِ وَآمِنٌ مِنْهُ وَأَمَانُ الصَّبِيِّ لَا يَصِحُّ بِخِلَافِ صَلَاتِهِ ا هـ. شَرْحُ م ر (قَوْلُهُ ; وَ ; لِأَنَّ الصَّبِيَّ إلَخْ) لَعَلَّ وَجْهَ تَطْبِيقِ هَذَا عَلَى الْمُدَّعَى أَنَّ الصَّبِيَّ لَمَا صَلَحَ أَنْ يَكُونَ إمَامًا لِلرِّجَالِ أَيْ وَالْمَرْأَةُ لَا تَصْلُحُ لِذَلِكَ كَانَ الصَّبِيُّ أَرْفَعَ مَرْتَبَةً مِنْهَا وَهِيَ لَا تَكْفِي هُنَا وَلَيْسَ أَعْلَى مِنْ عَدَمِ الْكِفَايَةِ إلا الْكِفَايَةُ فَالْمُنَاسِبُ أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الدَّرَجَةُ لِلصَّبِيِّ لِكَوْنِهِ أَرْقَى مِنْهَا كَمَا عَلِمْت تَأَمَّلْ (قَوْلُهُ مَعَ وُجُودِهِ) أَيْ فِي مَحَلِّ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ لَا وُجُودِهِ مُطْلَقًا وَلَا فِي دُونِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ ا هـ. شَرْحُ م ر وَقَوْلُهُ فِي مَحَلِّ الصَّلَاةِ أَيْ وَمَا يُنْسَبُ إلَيْهِ كَخَارِجِ السُّورِ الْقَرِيبِ مِنْهُ ا هـ. عِ ش عَلَيْهِ وَفِي ق ل عَلَى الْجَلَالِ قَوْلُهُ مَعَ وُجُودِهِ أَيْ فِي مَحَلٍّ يَجِبُ السَّعْيُ مِنْهُ لِلْجُمُعَةِ بِسَمَاعِ النِّدَاءِ وَبَعْضُهُمْ ضَبَطَهُ بِمَا يَأْتِي فِي الْقَضَاءِ عَلَى الْغَائِبِ وَهَذَا هُوَ الَّذِي مَشَى عَلَيْهِ شَيْخُنَا انْتَهَى قَوْلُهُ ذَكَرْته فِي شَرْحِ الرَّوْضِ. وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ كَيْفَ يُقَالُ بِعَدَمِ الِاكْتِفَاءِ بِالْمَرْأَةِ مَعَ وُجُودِ الصَّبِيِّ مَعَ أَنَّهَا الْمُخَاطَبَةُ بِالصَّلَاةِ دُونَهُ وَأُجِيبَ بِأَنَّهُ قَدْ يُخَاطَبُ الشَّخْصُ بِشَيْءٍ وَيَتَوَقَّفُ فِعْلُهُ عَلَى شَيْءٍ آخَرَ أَيْ, وَهُوَ هُنَا فَقْدُ الذِّكْرِ وَلَمْ يُوجَدْ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهَا حِينَئِذٍ أَمْرُ الصَّبِيِّ بِالصَّلَاةِ, فَإِنْ امْتَنَعَ بَعْدَ الْأَمْرِ وَالضَّرْبِ صَلَّتْ النِّسَاءُ وَسَقَطَ الْفَرْضُ ا هـ. ح ل وَقَضِيَّةُ قَوْلِهِمْ أَنَّ الْخُنْثَى كَالْمَرْأَةِ أَنَّهُ لَوْ اجْتَمَعَ مَعَهَا سَقَطَ الْفَرْضُ لِصَلَاةِ كُلٍّ مِنْهُمَا, وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي صَلَاتِهِ دُونَ صَلَاتِهَا لِاحْتِمَالِ ذُكُورَتِهِ كَمَا مَرَّ وَبِذَلِكَ صَرَّحَ ابْنُ الْمُقْرِي فِي شَرْحِ إرْشَادِهِ فَقَالَ وَإِنْ صَلَّى سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ وَعَنْ النِّسَاءِ وَإِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْ النِّسَاءِ وَأَمَّا عَنْ الْخُنْثَى فَقِيَاسُ الْمَذْهَبِ يَأْبَى ذَلِكَ ا هـ., وَهُوَ كَمَا قَالَ احْتِيَاطًا لِلْفَرْضِ ا هـ. شَرْحُ م ر (قَوْلُهُ وَلَا تَسْقُطُ بِالنِّسَاءِ وَهُنَاكَ رِجَالٌ) أَمَّا إذَا لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ وَيُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ كَمَا بَحَثَهُ الْمُصَنِّفُ ا هـ. حَجّ, وَلَوْ حَضَرَ رَجُلٌ بَعْدَ صَلَاتِهِنَّ لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ, وَلَوْ حَضَرَ بَعْدَ الشُّرُوعِ وَقَبْلَ فَرَاغِهَا فَهَلْ تَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ ; لِأَنَّ الْفَرْضَ لَمْ يَسْقُطْ هُنَا بَعْدُ أَوْ لَا مَحَلُّ تَرَدُّدٍ وَلَا يَبْعُدُ الْقَوْلُ بِاللُّزُومِ. ا هـ. شَوْبَرِيٌّ وَإِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ أَوْ الصَّبِيُّ مَعَ صَلَاةِ الرَّجُلِ أَوْ بَعْدَهَا وَقَعَتْ لَهُمَا نَفْلًا ; لِأَنَّ الْفَرْضَ لَمْ يَتَوَجَّهْ عَلَيْهِمَا.

حاشية الجمل ج 2 ص 181

(ويكفي) في إسقاط فرضها (ذكر) ولو صبياً مميزاً لحصول المقصود به ولأن الصبي يصلح أن يكون إماماً للرجل (لا غيره) من خنثى وأنثى (مع وجوده) أي الذكر لأن الذكر أكمل من غيره، فدعاؤه أقرب إلى الإجابة. وفي عدم سقوطها بغير ذكر مع وجود الصبي كلام ذكرته في شرح الروض، وقولي لا غيره مع وجوده أعم من قوله ولا تسقط بالنساء وهناك رجال.

فتح الوهاب ج 1 ص 111

وَيَكْفِي فِي إسْقَاطِ فَرْضِهَا ذَكَرٌ وَلَوْ صَبِيًّا مُمَيِّزًا لِحُصُولِ الْمَقْصُودِ بِهِ, وَلِأَنَّ الصَّبِيَّ يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ إمَامًا لِلرَّجُلِ لَا غَيْرِهِ مِنْ خُنْثَى وَامْرَأَةٍ مَعَ وُجُودِ الذَّكَرِ لِأَنَّ الذَّكَرَ أَكْمَلُ مِنْ غَيْرِهِ فَدُعَاؤُهُ أَقْرَبُ لِلْإِجَابَةِ, وَيَجِبُ تَقْدِيمُهَا عَلَى الدَّفْنِ, وَتَصِحُّ عَلَى قَبْرِ غَيْرِ نَبِيٍّ لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ, وَتَصِحُّ عَلَى غَائِبٍ عَنْ الْبَلَدِ وَلَوْ دُونَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ.

حاشية البجيرمي

ويكفي في إسقاط فرضها ذكر ولو صبياً مميزاً لحصول المقصود به، ولأن الصبي يصلح أن يكون إماماً للرجل لا غيره من خنثى وامرأة مع وجود الذكر لأن الذكر أكمل من غيره فدعاؤه أقرب للإجابة،

الإقناع ج 1 ص 409

– Busyrol Karim :

وخرج بقوله مع وجوده ما اذا لم يوجد ذكر فإنها تجب عليها ويسقط الفرض بها.إعانة الطالبين ٢/١٣٤ ولا يصح إلا ممن كان كذلك فلا تصح من كافر وغير مكلف ونحو حائض لأنهم متطوعون بها وهذه لا يتطوع بها. ويرد عليه صلاة النساء مع وجود الرجال فإنها تطوع وتصح.بشرى الكريم ٢/٣٥

Jawaban No 2:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat janazah menjadi gugur kewajibannya dengan di lakukannya sholat janazah oleh perempuan- perempuan walaupun ada orang laki-laki. Alasannya ialah karena sahnya sholat berjamaah nya perempuan-perempuan. Qulyubiy dan (Mughniy Al Muhtaj Juz 2, halaman 27)

(مغني المحتاج،في معرفة معاني المنهاج،جز ٢, صحيفة ٢٧)
وَلَا يَسْقُطُ بِالنِّسَاءِ وَهُنَاكَ رِجَالٌ فِي الْأَصَحِّ، وَيُصَلَّى عَلَى الْغَائِبِ عَنْ الْبَلَدِ،
[مغني المحتاج]
كُلًّا مِنْهُمَا آمِنٌ مِنْ الْآخَرِ بِخِلَافِ صَلَاتِهِ، وَعَلَى كُلِّ وَجْهٍ فَلَا تُشْتَرَطُ الْجَمَاعَةُ فَيُصَلُّونَ فُرَادَى إنْ شَاءُوا. وَفِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الْأَصْحَابِ: لَوْ صَلَّى عَلَى الْجِنَازَةِ عَدَدٌ زَائِدٌ عَلَى الْمَشْرُوطِ وَقَعَتْ صَلَاةُ الْجَمِيعِ فَرْضَ كِفَايَةٍ (وَلَا يَسْقُطُ) فَرْضُ صَلَاتِهَا (بِالنِّسَاءِ وَهُنَاكَ رِجَالٌ) أَوْ رَجُلٌ أَوْ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ (فِي الْأَصَحِّ) ؛ لِأَنَّ فِيهِ اسْتِهَانَةً بِالْمَيِّتِ؛ وَلِأَنَّ أَهْلِيَّةَ الذَّكَرِ بِالْعِبَادَةِ أَكْمَلُ، فَيَكُونُ دُعَاؤُهُ أَقْرَبَ إلَى الْإِجَابَةِ، وَلَوْ عَبَّرَ وَهُنَاكَ ذَكَرٌ مُمَيِّزٌ؛ لَشَمِلَ مَا ذَكَرَ وَكَانَ أَخْصَرَ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِوُجُودِ الذَّكَرِ وُجُودُهُ فِي مَحَلِّ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ لَا وُجُودُهُ مُطْلَقًا وَلَا فِي دُونِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ وَلَمْ أَرَ مَنْ تَعَرَّضَ لِذَلِكَ، وَالثَّانِي: يَسْقُطُ بِهِنَّ الْفَرْضُ لِصِحَّةِ صَلَاتِهِنَّ وَجَمَاعَتِهِنَّ.
أَمَّا إذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ ذَكَرٌ فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَيْهِنَّ وَيَسْقُطُ بِهِنَّ الْفَرْضُ. قَالَ فِي الْعُدَّةِ: وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ. قَالَ الْمُصَنِّفُ: وَيَنْبَغِي أَنْ تُسَنَّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ، وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ كَمَا فِي غَيْرِهَا مِنْ الصَّلَوَاتِ، وَقِيلَ: تُسَنُّ لَهُنَّ فِي جَمَاعَةِ الْمَرْأَةِ، وَالْخُنْثَى كَالْمَرْأَةِ، فَإِنْ قِيلَ: كَيْفَ لَا يَسْقُطُ بِالْمَرْأَةِ وَهُنَاكَ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ مَعَ أَنَّهَا الْمُخَاطَبَةُ بِهِ دُونَهُ؟ .
أُجِيبَ بِأَنَّ الشَّخْصَ قَدْ يُخَاطَبُ بِشَيْءٍ وَيَتَوَقَّفُ فِعْلُهُ عَلَى شَيْءٍ آخَرَ لَا سِيَّمَا فِيمَا يَسْقُطُ عَنْهُ الشَّيْءُ بِفِعْلِ غَيْرِهِ فَيَجِبُ عَلَيْهِنَّ تَقْدِيمُهُ وَلَا تُجْزِئُ صَلَاتُهُنَّ مَعَ وُجُودِهِ فَإِنْ امْتَنَعَ أَجْبَرْنَهُ كَالْوَلِيِّ. قَالَهُ شَيْخِي. وَقَالَ ابْنُ الْمُقْرِي فِي شَرْحِ إرْشَادِهِ: إنَّ صَلَاتَهُنَّ تُجْزِئُ مَعَ وُجُودِهِ وَعَلَّلَهُ بِأَنَّهُ غَيْرُ مُخَاطَبٍ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَالَ إنْ امْتَنَعَ أَجْزَأَتْ صَلَاتُهُنَّ وَإِلَّا فَلَا، وَقَضِيَّةُ قَوْلِهِمْ إنَّ الْخُنْثَى كَالْمَرْأَةِ أَنَّهُ لَوْ اجْتَمَعَ مَعَهَا سَقَطَ الْفَرْضُ بِصَلَاةِ كُلٍّ مِنْهُمَا وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي صَلَاتِهِ دُونَ صَلَاتِهَا لِاحْتِمَالِ ذُكُورَتِهِ، وَلِهَذَا قَالَ ابْنُ الْمُقْرِي فِي شَرْحِ إرْشَادِهِ، وَإِنْ صَلَّى سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ وَعَنْ النِّسَاءِ، وَإِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْ النِّسَاءِ. وَأَمَّا عَنْ الْخُنْثَى فَقِيَاسُ الْمَذْهَبِ يَأْبَى ذَلِكَ اهـ.
وَالظَّاهِرُ الِاكْتِفَاءُ كَمَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ؛ لِأَنَّ ذُكُورَتَهُ غَيْرُ مُحَقَّقَةٍ (وَيُصَلَّى عَلَى الْغَائِبِ عَنْ الْبَلَدِ) وَإِنْ قَرُبَتْ الْمَسَافَةُ وَلَمْ يَكُنْ فِي جِهَةِ الْقِبْلَةِ خِلَافًا لِأَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ؛ لِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَخْبَرَ النَّاسَ وَهُوَ بِالْمَدِينَةِ بِمَوْتِ النَّجَاشِيِّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَهُوَ بِالْحَبَشَةِ» (١) . رَوَاهُ الشَّيْخَانِ.
وَذَلِكَ فِي رَجَبٍ سَنَةَ تِسْعٍ. قَالَ ابْنُ الْقَطَّانِ: لَكِنَّهَا لَا تُسْقِطُ الْفَرْضَ عَنْ الْحَاضِرِينَ. قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: وَوَجْهُهُ أَنَّ فِيهِ ازْدِرَاءً وَتَهَاوُنًا بِالْمَيِّتِ، لَكِنَّ الْأَقْرَبَ السُّقُوطُ لِحُصُولِ الْفَرْضِ، وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ إذَا عَلِمَ الْحَاضِرُونَ وَلَا بُدَّ أَنْ يَعْلَمَ أَوْ يَظُنَّ أَنَّهُ قَدْ غُسِّلَ وَإِلَّا لَمْ تَصِحَّ. نَعَمْ إنْ عَلَّقَ النِّيَّةَ عَلَى غُسْلِهِ بِأَنْ نَوَى الصَّلَاةَ إنْ كَانَ غُسِّلَ فَيَنْبَغِي أَنْ تَصِحَّ كَمَا هُوَ أَحَدُ احْتِمَالَيْنِ لِلْأَذْرَعِيِّ.
أَمَّا الْحَاضِرُ بِالْبَلَدِ فَلَا يُصَلِّي عَلَيْهِ إلَّا مَنْ حَضَرَ وَإِنْ كَبُرَتْ الْبَلَدُ لِتَيَسُّرِ حُضُورِهِ وَشَبَّهُوهُ بِالْقَضَاءِ عَلَى مَنْ بِالْبَلَدِ مَعَ إمْكَانِ حُضُورِهِ، وَلَوْ تَعَذَّرَ عَلَى مَنْ فِي الْبَلَدِ الْحُضُورُ لِحَبْسٍ أَوْ مَرَضٍ لَمْ يُبْعَدْ الْجَوَازُ كَمَا بَحَثَهُ

شرح المنهج (2/ 180) ويكفي في إسقاط فرضها ذكر ولو صبيا مميزا لحصول المقصود به ولأن الصبي يصلح أن يكون إماما للرجل لا غيره من خنثى وأنثى مع وجوده أي الذكر لأن الذكر أكمل من غيره فدعاؤه أقرب إلى الإجابة وفي عدم سقوطها بغير ذكر مع وجود الصبي كلام ذكرته في شرح الروض

Dan satu laki-laki walaupun bocah yang mumayyiz maka sudah bisa menggugurkan kewajiban melakukan sholat jenazah karena maksudnya sudah tercapai, karena bocah itu sudah layak menjadi imam bagi laki-laki, dan tidak cukup pada selainnya, yaitu dari khunsa dan wanita beserta masih adanya laki-laki, karena laki-laki itu lebih sempurna dari selainnya dan doanya lebih dekat pada ijabah, dan masalah tentang ketidak adanya keguguran sholat jenazah dengan tanpa adanya laki-laki beserta masih adanya bocah laki-laki maka ada pembahasan yang telah saya sebutkan dalam syarah kitab Arroudh.

(,تحفة المحتاج في شرح المنهاج،جز ٣, صحيفة ١٤٨)
(وَلَا تَسْقُطُ بِالنِّسَاءِ) وَمِثْلُهُنَّ الْخَنَاثَى (وَهُنَاكَ) أَيْ بِمَحَلِّ الصَّلَاةِ وَمَا يُنْسَبُ إلَيْهِ كَخَارِجِ السُّورِ الْقَرِيبِ مِنْهُ أَخْذًا مِمَّا يَأْتِي عَنْ الْوَافِي (رِجَالٌ) أَوْ رَجُلٌ وَلَا يُخَاطَبْنَ بِهَا حِينَئِذٍ بَلْ أَوْ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ عَلَى مَا بَحَثَهُ جَمْعٌ قِيلَ وَعَلَيْهِ يَلْزَمُهُنَّ أَمْرُهُ بِفِعْلِهَا بَلْ وَضَرْبُهُ عَلَيْهِ اهـ وَهُوَ بَعِيدٌ بَلْ لَا وَجْهَ لَهُ وَإِنَّمَا الَّذِي يُتَّجَهُ أَنَّ مَحَلَّ الْبَحْثِ إذَا أَرَادَ الصَّلَاةَ وَإِلَّا تَوَجَّهَ الْفَرْضُ عَلَيْهِنَّ (فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّ فِيهِ اسْتِهَانَةً بِهِ وَلِأَنَّ الرِّجَالَ أَكْمَلُ فَدُعَاؤُهُمْ أَقْرَبُ لِلْإِجَابَةِ

Adapun jika tidak ada orang selain wanita-wanita, maka wajib bagi wanita-wanita untuk sholat janazah. Dan sholat janazah itu gugur kewajibannya disebabkan karena wanita-wanita itu melakukan sholat janazah.

أَمَّا إذَا لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ

وَتُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ كَمَا بَحَثَهُ الْمُصَنِّفُ لَكِنْ نُوزِعَ فِيهِ بِأَنَّ الْجُمْهُورَ عَلَى خِلَافِهِ وَإِنَّمَا لَزِمَتْهُنَّ وَلَمْ تَسْقُطْ بِفِعْلِهِنَّ مَعَ وُجُودِ الصَّبِيِّ الْمُرِيدِ لِفِعْلِهَا عَلَى ذَلِكَ الْبَحْثِ لِأَنَّ دُعَاءَهُ أَقْرَبُ لِلْإِجَابَةِ مِنْهُنَّ وَقَدْ يُخَاطَبُ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ وَتَتَوَقَّفُ صِحَّتُهُ مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ آخَرَ وَلَك أَنْ تَقُولَ أَقْرَبِيَّةُ دُعَائِهِ تَأْتِي فِي اجْتِمَاعِهِ مَعَ الرِّجَالِ وَلَمْ يَنْظُرُوا إلَيْهَا حِينَئِذٍ، وَكَوْنُهُ مِنْ جِنْسِهِمْ لَا جِنْسِهِنَّ لَا أَثَرَ لَهُ هُنَا عَلَى
[حاشية الشرواني]
بَحَثَهُ فِي النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي إلَّا قَوْلَهُ أَخَذَ إلَى الْمَتْنِ (قَوْلُهُ: وَأَقَلُّ الْجَمْعِ إلَخْ) أَيْ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ الْوَاوُ فِي صَلَّوْا إلَخْ ع ش (قَوْلُهُ: وَأَقَلُّ الْجَمْعِ اثْنَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ) وَهُوَ دَلِيلٌ لِلْقَوْلَيْنِ عَلَى التَّوْزِيعِ رَشِيدِيٌّ (قَوْلُهُ: كَمَا يَجِبُ إلَخْ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي بِنَاءً عَلَى مُعْتَقَدِهِ فِي حَمْلِ الْجِنَازَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ النُّقْصَانُ عَنْ أَرْبَعَةٍ لِأَنَّ إلَخْ فَالصَّلَاةُ أَوْلَى اهـ.
(قَوْلُهُ: وَلَا تَجِبُ الْجَمَاعَةُ إلَخْ) أَيْ فَيُصَلُّونَ فُرَادَى إنْ شَاءُوا وَفِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الْأَصْحَابِ لَوْ صَلَّى عَلَى الْجِنَازَةِ عَدَدٌ زَائِدٌ عَلَى الْمَشْرُوطِ وَقَعَتْ صَلَاةُ الْجَمِيعِ فَرْضَ كِفَايَةٍ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ وَيَأْتِي فِي الشَّرْحِ مِثْلُهُ.

(قَوْلُهُ: أَيْ بِمَحَلِّ الصَّلَاةِ إلَخْ) عِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي وَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْمُرَادَ بِحُضُورِهِ أَيْ الرَّجُلِ وُجُودُهُ فِي مَحَلِّ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ لَا وُجُودُهُ مُطْلَقًا وَلَا فِي دُونِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ اهـ.
(قَوْلُهُ: مِمَّا يَأْتِي) أَيْ فِي شَرْحِ ” وَيُصَلِّي عَلَى الْغَائِبِ إلَخْ ” (قَوْلُهُ: رِجَالٌ إلَخْ) نَعَمْ إنْ كَانَ الرَّجُلُ أَوْ الرِّجَالُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَهُوَ كَالْعَدَمِ فِيمَا يَظْهَرُ فَيُتَوَجَّهُ الْفَرْضُ عَلَى النِّسَاءِ وَيَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ م ر اهـ سم (قَوْلُهُ: أَوْ رَجُلٌ) قَدْ يُوَجَّهُ الْمَتْنُ بِأَنَّ الْمُرَادَ الْجِنْسُ وَ (قَوْلُهُ: أَوْ صَبِيٌّ) قَدْ يَشْمَلُهُ الْمَتْنُ لِأَنَّ الرِّجَالَ قَدْ تُطْلَقُ بِمَعْنَى الذُّكُورِ كَمَا فِي حَدِيثِ «فَلَا وَلِيَّ رَجُلٍ ذَكَرٍ» سم وَفِي الْمُغْنِي وَلَوْ عَبَّرَ بِقَوْلِهِ وَهُنَاكَ ذَكَرٌ مُمَيِّزٌ لَشَمِلَ مَا ذُكِرَ وَكَانَ أَخْصَرَ اهـ.
(قَوْلُهُ: قِيلَ وَعَلَيْهِ إلَخْ) اعْتَمَدَهُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةُ وِفَاقًا لِلشِّهَابِ الرَّمْلِيِّ (قَوْلُهُ: يَلْزَمُهُنَّ أَمْرُهُ بِفِعْلِهَا إلَخْ) فَإِنْ أَصَرَّ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَأَيِسْنَ مِنْ فِعْلِهِ فَلَا يَبْعُدُ أَنْ تُجْزِئَ صَلَاتُهُنَّ قَالَهُ سم.
وَقَدْ يُفِيدُهُ قَوْلُ الشَّارِحِ وَإِنَّمَا الَّذِي يُتَّجَهُ إلَخْ وَيُصَرِّحُ بِذَلِكَ قَوْلُ الْمُغْنِي وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَالَ: إنْ امْتَنَعَ أَجْزَأَتْ صَلَاتُهُنَّ وَإِلَّا فَلَا اهـ.
(قَوْلُهُ: لِأَنَّ) إلَى قَوْلِهِ وَلَك فِي النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي (قَوْلُهُ: غَيْرُهُنَّ) عِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي ذَكَرٌ أَيْ وَلَا خُنْثَى فِيمَا يَظْهَرُ اهـ وَيَأْتِي فِي الشَّرْحِ مَا يُفِيدُهُ (قَوْلُهُ: فَتَلْزَمُهُنَّ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ وَلَوْ حَضَرَ الرَّجُلُ بَعْدُ لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ انْتَهَى وَلَوْ حَضَرَ بَعْدَ إحْرَامِهِنَّ وَقَبْلَ فَرَاغِهِنَّ فَهَلْ تَلْزَمُهُ الصَّلَاةُ لِأَنَّ الْفَرْضَ لَمْ يَسْقُطْ بَعْدُ أَوْ لَا؟ فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَوَّلُ قَرِيبٌ سم وَشَوْبَرِيٌّ وَقَدْ يُصَرِّحُ بِمَا ذَكَرَاهُ عَنْ شَرْحِ الرَّوْضِ قَوْلُ الشَّارِحِ وَتَسْقُطُ إلَخْ وَلَعَلَّ ع ش لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى ذَلِكَ النَّقْلِ فَقَالَ مَا نَصُّهُ: وَالْقِيَاسُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْخُنْثَى أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الرِّجَالِ إذَا حَضَرَ بَعْدَ الدَّفْنِ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى الْقَبْرِ لِعَدَمِ سُقُوطِ الصَّلَاةِ بِفِعْلِ النِّسَاءِ اهـ.
(قَوْلُهُ: وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ) وَإِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْ النِّسَاءِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي أَيْ فَلَمْ يَأْثَمْنَ ع ش اهـ.
(قَوْلُهُ: وَتُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ إلَخْ) وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ كَمَا فِي غَيْرِهَا مِنْ الصَّلَوَاتِ وَقِيلَ لَا تُسْتَحَبُّ لَهُنَّ وَقِيلَ: تُسَنُّ لَهُنَّ فِي جَمَاعَةِ الْمَرْأَةِ مُغْنِي (قَوْلُهُ: وَإِنَّمَا لَزِمَتْهُنَّ إلَخْ) فِيهِ أَنَّ الْخِطَابَ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِالنِّسَاءِ عَلَى الْبَحْثِ الْمَذْكُورِ (قَوْلُهُ: عَلَى شَيْءٍ آخَرَ) أَيْ كَعَدَمِ إرَادَةِ الصَّبِيِّ هُنَا (قَوْلُهُ: عَلَى[حاشية ابن قاسم العبادي]
إلَخْ) اعْتَمَدَهُ م ر.

(قَوْلُهُ: أَيْ بِمَحَلِّ الصَّلَاةِ إلَخْ) فَإِنْ قِيلَ قِيَاسُ عُمُومِ الْخِطَابِ أَنَّهَا لَا تَسْقُطُ بِالنِّسَاءِ فِي مَحَلِّهِ مَعَ وُجُودِ رِجَالٍ وَلَوْ بِمَحَلٍّ آخَرَ وَإِنْ بَعُدُوا وَظَنُّوا أَنَّهُ لَيْسَ فِي مَحَلِّهِ إلَّا نِسَاءٌ، غَايَةُ الْأَمْرِ أَنَّهُمْ إنْ قَرُبُوا وَجَبَ الْحُضُورُ لِلصَّلَاةِ وَإِلَّا صَلَّوْا بِمَكَانِهِمْ كَمَا لَا تَسْقُطُ عَنْهُ الصَّلَاةُ بِمَحَلِّهِ إذَا لَمْ يُظَنَّ أَنَّ فِيهِمْ غَيْرَهُمْ مِنْ الرِّجَالِ بِالْفَرْضِ وَيُمْنَعُ الْأَخْذُ مِمَّا يَأْتِي بِاخْتِلَافِ الْمَقَامَيْنِ وَمُدْرِكِهِمَا قُلْنَا يُنَافِي ذَلِكَ كَلَامَهُمْ كَقَوْلِهِمْ إنَّهُ لَوْ صَلَّتْ الْمَرْأَةُ لِفَقْدِ الرَّجُلِ ثُمَّ حَضَرَ لَمْ تَلْزَمْهُ الصَّلَاةُ إلَّا أَنْ يُحْمَلَ عَلَى مَا إذَا لَمْ يَعْلَمْ هَذَا الرَّجُلُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَحَلِّ الْمَيِّتِ إلَّا نِسَاءٌ قَبْلَ صَلَاةِ النِّسَاءِ وَإِلَّا لَزِمَتْهُ الصَّلَاةُ (قَوْلُهُ: أَيْ بِمَحَلِّ الصَّلَاةِ إلَخْ) وَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْمُرَادَ بِحُضُورِهِ أَيْ الرَّجُلِ وُجُودُهُ فِي مَحَلِّ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ لَا وُجُودُهُ مُطْلَقًا وَلَا فِي دُونِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ شَرْحُ م ر (قَوْلُهُ: رِجَالٌ أَوْ رَجُلٌ) نَعَمْ إنْ كَانَ الرَّجُلُ أَوْ الرِّجَالُ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَهُوَ كَالْعَدَمِ فِيمَا يَظْهَرُ فَيُتَوَجَّهُ الْفَرْضُ عَلَى النِّسَاءِ وَيَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ م ر (قَوْلُهُ: أَوْ الرَّجُلُ) قَدْ يُوَجَّهُ الْمَتْنُ بِأَنَّ الْمُرَادَ الْجِنْسُ (قَوْلُهُ: أَوْ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ) قَدْ يَشْمَلُهُ الْمَتْنُ لِأَنَّ الرِّجَالَ قَدْ يُطْلَقُونَ بِمَعْنَى الذُّكُورِ كَمَا فِي حَدِيثِ ” فَلَا وَلِيَّ رَجُلٌ ذَكَرٌ ” (قَوْلُهُ: قِيلَ وَعَلَيْهِ يَلْزَمُهُنَّ أَمْرُهُ إلَخْ) فَإِنْ أَصَرَّ عَلَى الِامْتِنَاعِ وَأَيِسْنَ مِنْ فِعْلِهِ فَهَلْ يُصَلِّينَ لِحُرْمَةِ الْمَيِّتِ وَتُجْزِيهِنَّ صَلَاتُهُنَّ أَوْ لَا تُجْزِئُ وَلَا بُدَّ مِنْ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ بَعْدَ الدَّفْنِ إذَا أَطَاعَ الصَّبِيُّ أَوْ حَضَرَ بَالِغٌ وَصَلَاتُهُنَّ إنَّمَا كَانَتْ لِحُرْمَةِ الْمَيِّتِ؟ فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَوَّلُ غَيْرُ بَعِيدٍ (قَوْلُهُ: أَمَّا إذَا لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ وَلَوْ حَضَرَ الرَّجُلُ بَعْدُ لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ اهـ وَلَوْ حَضَرَ بَعْدَ إحْرَامِهِنَّ وَقَبْلَ فَرَاغِهِنَّ فَهَلْ تَلْزَمُهُ الصَّلَاةُ لِأَنَّ الْفَرْضَ لَمْ يَسْقُطْ بَعْدُ أَوْ لَا؟ فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَوَّلُ قَرِيبٌ (قَوْلُهُ: كَمَا بَحَثَهُ الْمُصَنِّفُ) عِبَارَةُ الرَّوْضِ وَصَلَاتُهُنَّ فُرَادَى أَفْضَلُ قَالَ فِي شَرْحِهِ وَتَعْبِيرُهُ بِذَلِكَ أَوْلَى مِنْ قَوْلِ.

Wallahu a’lamu bisshowab..

J040. TENTANG TANGGUNGAN MAYYIT YANG HARUS DIDAHULUKAN

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Apabila orang tua meninggal (salah satu ayah/ibu), mana dulu yang harus ditunaikan, hutang kepada Allah (Haji jika almarhum mampu) atau hutang (uang dsb) pada manusia ?

JAWABAN :

Waalaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh..

Ditafsil :

1) Apabila harta tinggalan (tirkah) mayyit tidak mencukupi dalam pelunasan semua tanggungannya, maka khilaf dalam kewajiban mendahulukan pemenuhannya :

a. Melunasi hutang kepada Allah jika masa hidupnya mampu untuk menunaikan haji lalu melunasi hutang yang mengikat pada manusia. Ini pendapat yang Ashoh (paling kuat).

b. Melunasi hutang yang mengikat pada manusia lalu melunasi hutang kepada Allah jika masa hidupnya mampu untuk menunaikan haji. Ini menurut pendapat yang kedua.

c. Sama kedua-duanya, yaitu terserah mana saja yang akan didahulukan atau sekaligus semuanya dalam pelunasan. Ini menurut pendapat yang ketiga.

Catatan :
► Jika pemberangkatan naik haji masih menunggu lama, maka lebih baik ikut pendapat yang kedua, yaitu mendahulukan pelunasan hutang yang mengikat pada menusia.

2) Apabila harta tinggalan (tirkah) mayyit mencukupi dalam pelunasan semua tanggungannya, maka sunnah mendahulukan dalam pemenuhannya seperti sub 1).

Referensi jawaban no. 1 :

المجموع شرح المهذب – (ج ٦ / ص ٢٣٢)
وإذا اجتمع في تركة الميت دين لله تعالي ودين لآدمي كزكاة وكفارة ونذر وجزاء صيد وغير ذلك ففيه ثلاثة أقوال مشهورة ذكرها المصنف بأدلتها (أصحها) يقدم دين الله تعالى (والثاني) دين الآدمى (والثالث) يستويان فتوزع عليهما بنسبتهما وحكى بعض الخراسانيين طريقا آخر ان الزكاة المتعلقة بالعين تقدم قطعا.

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين – (ج ٢ / ص ٢٠٣)
(قوله: تقدم الزكاة الخ) يعني إذا اجتمع في تركة حق الله – كزكاة، وحج، وكفارة، ونذر، – وحق آدمي – كدين – قدم حق الله على حق الآدمي، للخبر الصحيح: فدين الله أحق بالقضاء.

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج ٢ / ص ٢١٩)
( النوع الثاني : استطاعة تحصيله ) أي الحج لا بالمباشرة بل ( بغيره، فمن مات وفي ذمته حج ) واجب مستقر بأن تمكن بعد استطاعته من فعله بنفسه أو بغيره، وذلك بعد انتصاف ليلة النحر ومضي إمكان الرمي والطواف والسعي إن دخل الحاج بعد الوقوف ثم مات أثم ولو شابا، وإن لم ترجع القافلة ( وجب الإحجاج عنه ) ولو كان قضاء أو نذرا مستأجرا عليه في ذمته وزاد على المحرر قوله ( من تركته ) وهو متعين كما يقضي منها دينه لرواية البخاري عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما { أن امرأة من جهينة جاءت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت : إن أمي نذرت أن تحج فماتت قبل أن تحج أفأحج عنها ؟ قال : نعم حجي عنها، أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضيته ؟ قالت نعم. قال : اقضوا دين الله فالله أحق بالوفاء } ولفظ النسائي { أن رجلا قال : يا رسول الله إن أبي مات ولم يحج أفأحج عنه ؟ قال : أرأيت لو كان على أبيك دين أكنت قاضيه ؟ قال نعم. قال : فدين الله أحق بالوفاء } فشبه الحج بالدين الذي لا يسقط بالموت، فوجب أن يتساويا في الحكم، ولأنه إنما جوز له التأخير لا التفويت، وإنما لم يأثم إذا مات أثناء وقت الصلاة في وقت يسعها؛ لأن آخر وقتها معلوم فلا تقصير ما لم يؤخره عنه والإباحة في الحج بشرط المبادرة قبل الموت، وإذا مات قبل فعله أشعر الحال بالتقصير، واعتبار إمكان الرمي نقله في الروضة عن التهذيب وأقره.

حاشية الجمل – (ج 7 / ص 225)
( يبدأ من تركة ميت ) وجوبا ( بما ) أي بحق ( تعلق بعين ) بها حق ( كزكاة ) أي كمال وجبت فيه؛ لأنه كالمرهون بها ( وجان ) لتعلق أرش الجناية برقبته ( ومرهون ) لتعلق دين المرتهن به ( وما ) أي ومبيع ( مات مشتريه مفلسا ) بثمنه ولم يتعلق به حق لازم ككتابة لتعلق حق فسخ البائع به سواء أحجر عليه قبل موته أم لا أما تعلق الغرماء بالأموال بالحجر فلا يبدأ فيه بحقهم بل بمؤن التجهيز كما نقله في الروضة عن الأصحاب في الفلس ( فبمؤن تجهيز ممونه ) من نفسه وغيره فهو أعم من قوله بمؤنة تجهيزه ( بمعروف ) بحسب يساره وإعساره ولا عبرة بما كان عليه في حياته من إسرافه وتقتيره وهذا من زيادتي ( فـ ) ـبقضاء ( دينه ) المطلق الذي لزمه لوجوبه عليه ( فـ ) ـبتنفيذ ( وصية ) وما ألحق بها كعتق علق بالموت وتبرع نجز في مرض الموت ( ومن ثلث باق ) وقدمت على الإرث لقوله تعالى { من بعد وصية يوصي بها أو دين } وتقديما لمصلحة الميت كما في الحياة و “من” للابتداء فتدخل الوصايا بالثلث وببعضه ( والباقي ) من تركته من حيث التسلط عليه بالتصرف ( لورثته ) على ما يأتي بيانه.

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي – (ص 181)
(مسألة): يقدم في تركة الميت حق تعلق بعين التركة، كمبيع مات مشتريه مفلساً بثمنه، فيأخذ الموجود ويضارب بالتالف، حجر على الميت في حياته أم لا، ثم ديون الله تعالى كحج استطاعه في حياته وزكاة وكفارة على ديون الآدمي المتعلقة بالذمة، ومنها ما يلزم الزوج مما يعتادونه من الجهاز، وتستوي هذه الديون، فإن وقت بها التركة وإلا قسط بحسب مقاديرها اهـ. قلت: وقوله ومنها ما يلزم الخ سيأتي في الصداق عن أبي مخرمة خلافه.

عدة الفارض – (ص 3) مقدمة في الحقوق المتعلقة بالتركة
يخرج أولا من التركة ما # عـلـق بالعين كـرهـن لـزمـا
يتلوه ما للميت من مؤونة # عرفا فدين مرسل في الذمة
وبعـده وصـية بالثلـث أو # مـا دونـه لـغير وارث رووا

Wallahu a’lamu bisshowab..

J039. HUKUM MENULIS NAMA DAN NASAB DI BATU NISAN

Masyarakat Indonesia terbiasa menulis nama, nasab jenazah, hari-tanggal lahir lengkap, dan hari-tanggal wafat lengkap berikut tahunnya pada patok kuburan atau nisan. Mereka biasanya menulis nama “fulan bin fulan” atau “fulanah binti fulan”.

Mereka awalnya menuliskan nama dan nasab jenazah pada nisan kayu. Ahli waris di kemudian hari bisanya mengabadikan tulisan nama dan nasab jenazah itu pada nisan yang terbuat dari batu.

Lalu bagaimana perihal penulisan nama dan nasab jenazah di atas kubur?

Ulama Mazhab Syafi’I menyatakan bahwa penulisan nama dan nasab jenazah pada patok kuburan atau papan nisan adalah tindakan makruh sebagaimana keterangan Syekh As-Syarbini dalam Al-Iqna’ berikut ini.

وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ كِتَابَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُهُ لِلصَّدِيدِ

Artinya, “(Makruh menulis sesuatu di atasnya), yaitu di atas kuburan sekali pun berisi ayat Al-Qur’an. Tetapi menulis ayat Al-Qur’an pada kain kafan adalah haram karena pontensi terkena dengan cairan proses penguraian ‘jenazah’,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).

Menangapi keterangan As-Syarbini, Al-Bujairimi mngatakan bahwa penulisan di atas makam terbilang tindakan makruh dengan alas an ketiadaan hajat. Ketika penulisan di atas makam itu memiliki tujuan tertentu, Mazhab Syafi’i tidak memakruhkannya sejauh tindakan ini dilakukan sesuai kebutuhan.

وَمَحلُّ كَرَاهَةِ الْكِتَابَةِ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُحْتَجْ إلَيْهَا، وَإِلَّا بِأَنْ اُحْتِيجَ إلَى كِتَابَةِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ فَلَا يُكْرَهُ بِشَرْطِ الِاقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ

Artinya, “Letak kemakruhan membuat tulisan di atas kubur adalah karena ketiadaan hajat. Tetapi kalau misalnya ada hajat tertentu untuk menuliskan nama jenazah berikut nasabnya agar dapat dikenali lalu diziarahi suatu hari kelak, maka tidak makruh dengan syarat sebatas hajat tersebut,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).

Ulama Mazhab Syafi’i bahkan menganjurkan penulisan nama para wali, ulama, dan orang saleh di atas makam mereka dengan maksud mudah diidentifikasi oleh masyarakat. Dengan demikian, dalam jangka waktu panjang ke depan masyarakat tidak kehilangan tanda untuk menziarahi makam-makam orang yang dianjurkan oleh agama untuk diziarahi.

لَا سِيَّمَا قُبُورُ الْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَإِنَّهَا لَا تُعْرَفُ إلَّا بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ السِّنِينَ. ا هـ

Artinya, “Terlebih lagi makam para wali, ulama, dan orang-orang saleh karena makam mereka takkan dapat diidentifikasi tanpa penanda melalui tulisan nama mereka dalam jangka waktu panjang tahunan,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).

Dari pelbagai keterangan dapat disimpulkan bahwa penulisan nama dan nasab jenazah di atas makam boleh dilakukan agar makam tersebut mudah diziarahi di kemudian hari, terlebih lagi makam kedua orang tua, para wali, ulama, dan orang saleh.

Wallahu a‘lamu bisshowab..

J038. HUKUM MENDO’AKAN ORANG TUA NON ISLAM (KAFIR) YANG MENINGGAL DUNIA

Dekripsi Masalah:

Saya mau bertanya… Orang tua saya kristen katolik dan beliau sekarang sudah di alam yang abadi (meninggal dunia) saya mengikuti agama islam.

Pertanyaan:

Seumpama saya berdo’a untuk orang tua saya apakah diperbolehkan dalam Agama Islam ? Minta penjelasannya.

JAWABAN :

Wa alaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh.

Tidak diperbolehkan (haram) mendoakan mayit non islam/kafir berupa do’a ampunan atau permohonan rahmat Gusti Allah Swt. Walaupun orang kafir tersebut adalah keluarga.
Adapun mendoakan orang tuanya yang kafir yang masih hidup agar supaya mendapat hidayah(petunjuk) dari Allah untuk masuk Islam,maka hal ini diperbolehkan.
Adapun mendoakan orang tuanya yang kafir yang masih hidup agar supaya dosanya diampuni oleh Allah,padahal orang tuanya itu masih kafir,maka hal ini hukumnya diharamkan.

Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah Swt. Dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 113:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ والذين آمنوا أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانوا أُوْلِي قربى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الجحيم [ التوبة : 113 ]

Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam,” (QS at-Taubah: 113).

✍🏻✍🏻Referensi:

سورة التوبة – (الاية : ١١٣)

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ والذين آمنوا أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانوا أُوْلِي قربى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الجحيم
.

حاشية العلامة الصاوى – (ج ٢ / ص ١٧١)

(ما كان للنبى والذين أمنوا ان يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى) ذوى قرابة (من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم) النار بأن ماتوا على الكفر (قوله بأن ماتوا على الكفر) أى فلا يجوز لهم الإستغفار حينئذ واما الإستغفار للكافر الحى ففيه تفصيل وان كان قصده بذلك الإستغفار هدايته للإسلام جاز وان كان قصده أن تغفر ذنوبه مع بقائه فى الكفر فلا يجوز. اهـ
.

– خلاصة الكلام – (ص ٢٦٠)

ومما جاء من النداء للميت التلقين له بعد الدفن -إلى أن قال- ففى التلقين النداء والخطاب للميت وحديث نداء النبى كفار قريش المقتولين ببدر بعد القائم فى القليب مشهور رواه البخارى وأصحاب السنن، وجعل يناديهم بأسمائهم وأسماء آبائهم، ويقول أيسركم انكم اطعتم الله ورسوله فإنا قد وجدنا ماوعدنا ربنا حقا فهل وجدتم ماوعد ربكم حقا. وأما ما جاء من الأثار عن الأخبار والعلماء والأخيار والأولياء الكبار فذلك مما يدل على جواز ذلك النداء والخطاب. اهـ
.

– الموسوعة الفقهية الكويتية (ج ٤ /ص ٤٢)

أما الكافر الميت فيحرم الإستغفار له بنص القرآن والإجماع
.

– نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج – (ج ١ / ص ٥٣٣)

نعم قضية كلامهم في الجنائز حرمة الدعاء للكافر بالمغفرة
.

– حاشية القليوبي – (ج ٤ / ص ٢٧٠)

( فَرْعٌ ) يَجُوزُ إجَابَةُ دُعَاءِ الْكَافِرِينَ ، وَيَجُوزُ الدُّعَاءُ لَهُ وَلَوْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ ، خِلَافًا لِمَا فِي الْأَذْكَارِ إلَّا مَغْفِرَةَ ذَنْبِ الْكُفْرِ مَعَ مَوْتِهِ عَلَى الْكُفْرِ فَلَا يَجُوزُ .
: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ والذين آمنوا أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانوا أُوْلِي قربى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الجحيم} [ التوبة : 113 ]
وفى الآية إيماء إلى تحريم الدعاء لمن مات على كفره بالمغفرة والرحمة ، أو بوصفه بذلك كقولهم المغفور له والمرحوم فلان ، كما يفعله بعض جهلة المسلمين من الخاصة والعامة
.

– المجموع – (ج ٥ / ص ١٢٠)

قال النووي رحمه الله : وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع
.

– حاشية الجمل – (ج ٢ / ص ١١٩)

(فرع) في استحباب الدعاء للكافر خلاف اهـ. واعتمد م ر الجواز وأظن أنه قال لا يحرم الدعاء له بالمغفرة إلا إذا أراد المغفرة له مع موته على الكفر، وسيأتي في الجنائز التصريح بتحريم الدعاء للكافر بالمغفرة، نعم إن أراد اللهم اغفر له إن أسلم أو أراد بالدعاء له بالمغفرة أن يحصل له سببه وهو الإسلام ثم هي فلا يتجه إلا الجواز اهـ.

Wallahu a’lamu bisshowab..

J037. DALIL TENTANG PERTANYAAN MALAIKAT DALAM KUBUR

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Mau nanya kiai tentang pertanyaan malaikat dalam kubur terhadap mayit apakah kalimat2 pertanyaan tersebut ada dalilnya atau keterangan dalam sebuah hadits?

JAWABAN :

Wa alaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh.

Lafal pertanyaan dari Malaikat munkar dan malaikat nakir kepada mayyit mengenai: Siapa Tuhanmu, Siapa Nabimu? dan lain-lain itu berdasarkan haditsnya Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam. Antara lain ialah hadits Riwayat imam Tirmidzi ini.

– (Kitab Tuhfatul Ahwadzii alaa Starhi Sunanit Tirmidzi, juz 4, halaman 155).

(بَاب مَا جَاءَ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ)

[١٠٧١] قَوْلُهُ (إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ) بِصِيغَةِ الْمَجْهُولِ أَيْ إِذَا أُدْخِلَ فِي الْقَبْرِ وَدُفِنَ (أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ) شَكٌّ مِنَ الرَّاوِي أَيْ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ مَكَانَ لَفْظِ الْمَيِّتِ (أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ) بزاء فَرَاءٍ أَيْ أَزْرَقَانِ أَعْيُنُهُمَا زَادَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ مِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَعْيُنُهُمَا مِثْلُ قُدُورِ النُّحَاسِ وَأَنْيَابُهُمَا مِثْلُ صَيَاصِي الْبَقَرِ وَأَصْوَاتُهُمَا مِثْلُ الرَّعْدِ وَنَحْوُهُ لِعَبْدِ الرَّزَّاقِ مِنْ مُرْسَلِ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ وَزَادَ يَحْفِرَانِ بِأَنْيَابِهِمَا وَيَطَآنِ فِي أَشْعَارِهِمَا مَعَهُمَا مِرْزَبَّةٌ لَوْ اجْتَمَعَ عَلَيْهَا أَهْلُ مِنَى لَمْ يُقِلُّوهَا كَذَا فِي فَتْحِ الْبَارِي
(يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ) مَفْعُولٌ مِنْ أَنْكَرَ بِمَعْنَى نَكِرَ إِذَا لَمْ يَعْرِفْ أَحَدًا (وَلِلْآخَرِ النَّكِيرُ) فَعِيلٌ بِمَعْنَى مَفْعُولٌ مِنْ نَكِرَ بِالْكَسْرِ إِذَا لَمْ يَعْرِفْهُ أَحَدٌ فَهُمَا كِلَاهُمَا ضِدُّ الْمَعْرُوفِ سُمِّيَا بِهِمَا لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يَعْرِفْهُمَا وَلَمْ يَرَ صُورَةً مِثْلَ صُورَتِهِمَا
كَذَا فِي الْمِرْقَاةِ وَقَالَ الْحَافِظُ فِي الْفَتْحِ ذَكَرَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ اسْمَ اللَّذَيْنِ يَسْأَلَانِ الْمُذْنِبَ مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ وَاسْمَ اللَّذَيْنِ يَسْأَلَانِ الْمُطِيعَ مبشر وبشير (فيقولان ما كُنْتَ تَقُولُ) زَادَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عِنْدَ الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ فَيُقْعِدَانِهِ وزَادَ فِي حَدِيثِ الْبَرَاءِ فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ وزاد بن حِبَّانَ مِنْ طَرِيقِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِذَا كَانَ مُؤْمِنًا كَانَتِ الصَّلَاةُ عِنْدَ رَأْسِهِ وَالزَّكَاةُ عَنْ يَمِينِهِ وَالصَّوْمُ عَنْ شِمَالِهِ وَفِعْلُ الْمَعْرُوفِ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ فَيُقَالُ لَهُ اجْلِسْ فَيَجْلِسُ وَقَدْ مَثُلَتْ له الشمس عند الغروب. زاد بن مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ فَيَجْلِسُ فَيَمْسَحُ عَيْنَيْهِ وَيَقُولُ دَعُونِي أُصَلِّي (فِي هَذَا الرَّجُلِ) وفِي حَدِيثِ أَنَسٍ عِنْدَ الْبُخَارِيِّ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ
ولِأَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ فِيكُمْ قَالَ الْقَسْطَلَّانِيُّ عَبَّرَ بِذَلِكَ امْتِحَانًا لِئَلَّا يَتَلَقَّنَ تَعْظِيمَهُ عَنْ عِبَارَةِ الْقَائِلِ.
قِيلَ يُكْشَفُ لِلْمَيِّتِ حَتَّى يَرَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بُشْرَى عَظِيمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ صَحَّ ذَلِكَ. ولَا نَعْلَمُ حَدِيثًا صَحِيحًا مَرْوِيًّا فِي ذَلِكَ وَالْقَائِلُ بِهِ إِنَّمَا اسْتَنَدَ لِمُجَرَّدِ أَنَّ الْإِشَارَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا لِلْحَاضِرِ لَكِنْ يَحْتَمِلُ أَنْ تكون الإشارة لما في الذهن فيكون مجاز انتهى كلام (تحفة الاءحوذي على شرح سنن الترمذي، جز ٤, صحيفة ١٥٥)

الْقَسْطَلَّانِيِّ (فَيَقُولُ) أَيْ الْمَيِّتُ (مَا كَانَ يَقُولُ) أَيْ قَبْلَ الْمَوْتِ (قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا) أَيْ الْإِقْرَارُ بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالرِّسَالَةِ وعِلْمُهُمَا بِذَلِكَ إِمَّا بِإِخْبَارِ اللَّهِ تَعَالَى إِيَّاهُمَا بِذَلِكَ أَوْ بِمُشَاهَدَتِهِمَا فِي جَبِينِهِ أَثَرَ السَّعَادَةِ وَشُعَاعَ نُورِ الْإِيمَانِ وَالْعِبَادَةِ (ثُمَّ يُفْسَحُ) بِصِيغَةِ الْمَجْهُولِ أَيْ يُوَسَّعُ (سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ) أَيْ فِي عَرْضِ سَبْعِينَ ذِرَاعًا يَعْنِي طُولَهُ وَعَرْضَهُ كَذَلِكَ
قَالَ الطِّيبِيُّ أَصْلُهُ يُفْسَحُ قَبْرُهُ مِقْدَارَ سَبْعِينَ ذِرَاعًا فَجَعَلَ الْقَبْرَ ظَرْفًا لِلسَّبْعَيْنِ وَأَسْنَدَ الْفِعْلَ إِلَى السَّبْعِينَ مُبَالَغَةً فِي السَّعَةِ (ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ) أَيْ يُجْعَلُ النُّورُ لَهُ فِي قَبْرِهِ الَّذِي وُسِّعَ عَلَيْهِ وفِي رِوَايَةِ بن حِبَّانَ وَيُنَوَّرُ لَهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ (نَمْ) أَمْرٌ مِنْ نَامَ يَنَامُ (فَيَقُولُ) أَيْ الْمَيِّتُ لِعَظِيمِ مَا رَأَى مِنَ السُّرُورِ (أَرْجِعُ إِلَى أَهْلِي) أَيْ أُرِيدُ الرُّجُوعَ كَذَا قِيلَ والْأَظْهَرُ أن الاستفهام مقدر قاله القارىء (فَأُخْبِرُهُمْ) أَيْ بِأَنَّ حَالِي طَيِّبٌ وَلَا حُزْنَ لِي لِيَفْرَحُوا بِذَلِكَ (كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ) هُوَ يُطْلَقُ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى فِي أَوَّلِ اجْتِمَاعِهِمَا وَقَدْ يُقَالُ لِلذَّكَرِ الْعَرِيسُ (الَّذِي لَا يُوقِظُهُ) الْجُمْلَةُ صِفَةُ الْعَرُوسِ وَإِنَّمَا شَبَّهَ نَوْمَهُ بِنَوْمَةِ الْعَرُوسِ لِأَنَّهُ يَكُونُ فِي طَيِّبِ الْعَيْشِ (إِلَّا أَحَبُّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ) قَالَ الْمُظْهَرُ عِبَارَةٌ عَنْ عِزَّتِهِ وَتَعْظِيمِهِ عِنْدَ أَهْلِهِ يَأْتِيهِ غَدَاةَ لَيْلَةِ زِفَافِهِ مَنْ هُوَ أَحَبُّ وَأَعْطَفُ فَيُوقِظُهُ عَلَى الرِّفْقِ وَاللُّطْفِ (حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ) هَذَا لَيْسَ مِنْ مَقُولِ الْمَلَكَيْنِ بَلْ مِنْ كَلَامِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَتَّى مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوفٍ أَيْ يَنَامُ طَيِّبَ الْعَيْشِ حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ (سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ) وفِي بَعْضِ النُّسَخِ يَقُولُونَ قَوْلًا وَكَذَلِكَ فِي الْمِشْكَاةِ وَالْمُرَادُ بِالْقَوْلِ هُوَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ (فَقُلْتُ مِثْلَهُ) أَيْ مِثْلَ قَوْلِهِمْ (لَا أَدْرِي) أَيْ أَنَّهُ نَبِيٌّ فِي الْحَقِيقَةِ أم لا وهو استيناف أَيْ مَا شَعَرْتُ غَيْرَ ذَلِكَ الْقَوْلِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ فِي مَحَلِّ النَّصْبِ عَلَى الْحَالِ (التئمي) أي انضمي واجتمحي (فَتَخْتَلِفُ أَضْلَاعُهُ) بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ جَمْعُ ضِلَعٍ وَهُوَ عَظْمُ الْجَنْبِ أَيْ تَزُولُ عَنِ الْهَيْئَةِ الْمُسْتَوِيَةِ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا مِنْ شِدَّةِ الْتِئَامِهَا عَلَيْهِ وَشِدَّةِ الضَّغْطَةِ وَتُجَاوِزُ جَنْبَيْهِ مِنْ كُلِّ جَنْبٍ إِلَى جَنْبٍ آخَرَ (فَلَا يَزَالُ فِيهَا) أَيْ فِي الْأَرْضِ أَوْ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ قَوْلُهُ (وفِي الْبَابِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ (وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ) أَخْرَجَهُ مسلم (وبن عَبَّاسٍ) لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ.

Wallahu a’lamu bisshowab..