Kategori
Uncategorized

Makna Hikmah  Berdasarkan Ayat  Dan Ilmu Para  Ulama

Assalamu alaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam berbagai acara keagamaan, seperti peringatan Maulid Nabi, Isra Mikraj, pernikahan, aqiqah, dan lain-lain, istilah “hikmah” seringkali digunakan oleh pembawa acara maupun penceramah. Mereka menyampaikan “hikmah” dari peristiwa-peristiwa tersebut, namun pengertian mendasar dari kata “hikmah” itu sendiri jarang dijelaskan. Mengingat “hikmah” berasal dari bahasa Arab, dan telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia (terlepas dari latar belakang bahasa Arab mereka), muncul pertanyaan mengenai makna sebenarnya dari “hikmah.”

Apa sebenarnya pengertian atau makna dari “hikmah” yang sering kita dengar tersebut?

Mohon penjelasannya.

Waalaikumsalam

Jawaban

Dalam konteks berbagai acara keagamaan, istilah “hikmah” merujuk pada pelajaran berharga, nilai luhur, dan pemahaman mendalam yang kita peroleh dari suatu peristiwa atau ajaran agama. Hikmah ini bukan sekadar informasi, melainkan sesuatu yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi lebih baik.
Jika kita menelusuri akarnya dari bahasa Arab, “hikmah” memiliki beberapa lapisan makna yang saling berkaitan yang diantaranya adalah:

  1. Ilmu yang Mendalam dan Penerapannya: Hikmah adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, yang kemudian diamalkan dalam tindakan nyata. Jika disandarkan kepada Allah maka yang dimaksud hikmah, adalah ilmu tentang segala sesuatu dan merealisadikannya dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi. Jika disandarkan kepada manusia maka yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang diiringi dengan pengaplikasian yang baik.
  2. Pemahaman Agama (Fiqh): Hikmah juga mencakup ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama.
  3. Hikmah dalam Al-Qur’an adalah bermakna kenabian atau bermakna Ilmu yang Bermanfaat dan Amal Saleh: Dalam Al-Qur’an, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 269, dan menurut para ulama tafsir, hikmah adalah ilmu yang memberikan manfaat dan mendorong pada perbuatan yang benar. Ini juga mencakup pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an yang menghasilkan ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Bahkan, dalam konteks Al-Qur’an, hikmah juga bisa bermakna kenabian.
  4. Karunia Agung bagi Ulul Albab: Hikmah dipandang sebagai anugerah besar dari Allah yang membawa kebaikan yang melimpah. Hanya orang-orang yang berakal bersih (ulul albab) yang mampu mengambil pelajaran dan memahami betapa berharganya hikmah ini.
  5. Hikmah dalam Ushul Fiqh: Tujuan Pensyariatan Hukum: Dalam ilmu Ushul Fiqh, hikmah adalah tujuan di balik penetapan suatu hukum, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemudaratan, atau setidaknya mengurangi dampak buruknya. Hikmah juga merupakan sifat yang sesuai dengan tujuan pensyariatan hukum itu sendiri.

Kesimpulan:
Secara garis besar, “hikmah” adalah lebih dari sekadar pengetahuan. Ia adalah ilmu yang mendalam dan bermanfaat, yang melahirkan pemahaman yang benar tentang agama dan kehidupan, serta mendorong perbuatan yang baik dan tepat. Hikmah adalah karunia berharga yang menuntun manusia menuju kebaikan dan kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks acara keagamaan, penyampaian “hikmah” bertujuan untuk menginspirasi dan membekali pendengar dengan pelajaran hidup yang praktis dan bernilai spiritual.

Referensi

المكتبة الشاملة.
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ١٨ص٦٧
حِكْمَةٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الْحِكْمَةُ فِي اللُّغَةِ: الْعِلْمُ بِحَقَائِقِ الأَْشْيَاءِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِي الْوُجُودِ وَالْعَمَل بِمُقْتَضَاهَا، وَهِيَ إِذَا أُضِيفَتْ إِلَى اللَّهِ يُرَادُ بِهَا الْعِلْمُ بِالأَْشْيَاءِ وَإِيجَادُهَا عَلَى غَايَةِ الإِْحْكَامِ، وَإِذَا أُضِيفَتْ إِلَى الإِْنْسَانِ يُرَادُ بِهَا مَعْرِفَةُ الْحَقِّ، وَفِعْل الْخَيْرَاتِ.
وَتُطْلَقُ عَلَى الْعِلْمِ، وَالْفِقْهِ، (١) وَرَدَ فِي الأَْثَرِ الصَّحِيحِ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. (٢)
وَجَاءَتِ الْحِكْمَةُ فِي الْقُرْآنِ بِمَعْنَى النُّبُوَّةِ، (٣) قَال تَعَالَى: فِي مَعْرِضِ الاِمْتِنَانِ عَلَى نَبِيِّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ} (١) {وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْل الْخِطَابِ} (٢)
الْحِكْمَةُ عِنْدَ الأُْصُولِيِّينَ:
٢ – الْحِكْمَةُ عِنْدَ الأُْصُولِيِّينَ مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى رَبْطِ الْحُكْمِ بِعِلَّتِهِ، أَوْ بِسَبَبِهِ مِنْ جَلْبِ مَصْلَحَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ، أَوْ تَقْلِيلِهَا، وَتُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى الْوَصْفِ الْمُنَاسِبِ لِشَرْعِ الْحُكْمِ

Al-Maktabah asy-Syamilah. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah Juz 18 Halaman 67
HIKMAH
Definisi:

  • Hikmah secara bahasa: Ilmu tentang hakikat segala sesuatu sesuai dengan keadaannya dalam wujud dan mengamalkan konsekuensinya. Apabila disandarkan kepada Allah, yang dimaksud dengannya adalah ilmu tentang segala sesuatu dan mewujudkannya dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi. Apabila disandarkan kepada manusia, yang dimaksud dengannya adalah pengetahuan tentang kebenaran dan melakukan kebaikan.
    Kata “hikmah” juga digunakan untuk makna ilmu dan pemahaman agama (fiqh). Disebutkan dalam hadis sahih: “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan) kecuali pada dua orang: seorang laki-laki yang Allah berikan harta lalu ia menggunakannya untuk kebenaran, dan seorang laki-laki yang Allah berikan hikmah lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya.”
    Hikmah dalam Al-Qur’an juga bermakna kenabian, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam konteks pemberian nikmat kepada Nabi Daud ‘alaihis salam: {وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ} (Dan Allah memberinya kerajaan dan hikmah) dan {وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ} (Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kemampuan membedakan perkataan yang benar dan yang salah).
    Hikmah menurut Ushuliyyin (Ahli Ushul Fiqh):
  • Hikmah menurut Ushuliyyin adalah apa yang dihasilkan dari menghubungkan hukum dengan ‘illah (alasan hukum) atau sebabnya, berupa mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemudaratan, atau menguranginya. Hikmah juga digunakan untuk menyebut sifat yang sesuai dengan pensyariatan hukum.

تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية 269

«يؤتي الحكمة» أي العلم النافع المؤدي إلى العمل «من يشاء ومن يُؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا» لمصيره إلى السعادة الأبدية «وما يذَّكَّر» فيه إدغام التاء في الأصل في الذال يتعظ «إلا أولوا الألباب» أصحاب العقول

Tafsir Jalalain: Makna dan takwil ayat 269
“(Allah) memberikan hikmah,” yaitu ilmu yang bermanfaat yang mengantarkan pada perbuatan, “(kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak,” karena kesudahannya menuju kebahagiaan abadi. “Dan tidak dapat mengambil pelajaran,” di dalamnya terdapat idgham ta pada dzal asalnya, yaitu yadzakkaru, menjadi yazzakkaru, “kecuali ulul albab,” yaitu orang-orang yang berakal.

Firman Allah Ta’ala:

{يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ إِلاّ أُولُوا الْأَلْبابِ}

(QS. Al-Baqarah: 269)

Makna Hikmah Berdasarkan Ayat dan Penjelasan Ulama:

Makna Lugawi dan Tafsir:

Kata hikmah berasal dari kata yang berarti ilmu yang bermanfaat yang mengarah kepada amal yang benar, dan bisa memberi pengaruh positif dalam jiwa seseorang.

Menurut berbagai ulama tafsir:

As-Suddi: Hikmah adalah kenabian.

Ibnu Abbas: Hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an, termasuk ayat-ayat yang muhkam (tegas) dan mutasyabih (samar), nasikh-mansukh, dan ilmu tafsir.

Qatadah dan Mujahid: Hikmah adalah fiqh dalam Al-Qur’an.

Mujahid (pendapat lain): Hikmah adalah ketepatan dalam ucapan dan perbuatan.

Ibnu Zaid: Hikmah adalah akal dalam beragama.

Imam Malik bin Anas: Hikmah adalah berpikir dalam urusan agama dan mengikuti perintah Allah, atau bisa disebut sebagai ketaatan dan pemahaman agama yang benar serta mengamalkannya.

Semua pendapat ini menunjukkan bahwa hikmah adalah gabungan antara ilmu yang benar, pemahaman yang dalam, serta penerapan yang tepat dalam kehidupan, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Kandungan Ayat:

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.

Barangsiapa diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.

Namun yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang memiliki akal yang bersih dan sehat (ulul albab).

Kesimpulan :
Hikmah Menurut Ayat dan Tafsir

Hikmah adalah ilmu yang benar, pemahaman yang mendalam terhadap agama, khususnya Al-Qur’an, serta kemampuan untuk bertindak dan berkata dengan tepat.

Hikmah merupakan karunia besar dari Allah yang hanya diberikan kepada hamba pilihan-Nya.

Orang yang diberi hikmah, sejatinya telah mendapatkan kebaikan yang melimpah, karena hikmah menuntun seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tidak semua orang bisa memahami pentingnya hikmah kecuali mereka yang memiliki akal bersih (ulul albab), yang mampu membedakan antara bisikan setan dan ilham kebenaran.

Referensi

تفسير المنير للزحيلي ج٣ ص ٦٢- ٦٥

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ إِلاّ أُولُوا الْأَلْبابِ (٢٦٩)} الإعراب: {الشَّيْطانُ يَعِدُكُمُ} مبتدأ، وجملة {يَعِدُكُمُ} خبره، وسمي شيطانا (فيعالا) من شطن أي بعد؛ لأنه بعد عن رحمة الله، وقيل في وجه ضعيف: على وزن فعلان: من شاط‍ يشيط‍: إذا احترق. البلاغة: {يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ} وفي قراءة «تشاء» على الخطاب، وهو التفات إذ هو خروج من غيبة إلى خطاب. المفردات اللغوية: {يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ} أي يخوّفكم من الفقر إن تصدقتم، فتمسكون ما بأيدكم، فلا تنفقوه في مرضاة الله، والفقر: سوء الحال وضيق ذات اليد. {وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشاءِ} أي يغريكم بالبخل ومنع الزكاة {وَاللهُ يَعِدُكُمْ} على الإنفاق {مَغْفِرَةً مِنْهُ} صفحا من الله عن ذنوبكم. {وَفَضْلاً} رزقا وخلفا منه {وَاللهُ واسِعٌ} فضله {عَلِيمٌ} بالمنفق. {يُؤْتِي الْحِكْمَةَ} العلم النافع المؤدي إلى العمل، المؤثر في النفس، واختلف العلماء في الحكمةفقال السدي: هي النبوة. وقال ابن عباس: هي المعرفة بالقرآن فقهه ونسخه ومحكمه ومتشابهه وغريبه ومقدّمه ومؤخره (أي العلم بأصول الفقه). وقال قتادة ومجاهد: الحكمة: هي الفقه في القرآن. وقال مجاهد: الإصابة في القول والفعل. وقال ابن زيد: الحكمة: العقل في الدّين. وقال مالك بن أنس: الحكمة: التفكر في أمر الله والاتّباع له، أو هي طاعة الله والفقه في الدين والعمل به. وكل هذه الأقوال تشترك في أن الحكمة: هي الفهم الصحيح والعلم النافع واتباع المعلوم المؤدي إلى سعادة الدنيا والآخرة (١). {خَيْراً كَثِيراً} لأن الحكمة أوصلته إلى السعادة الأبدية {وَما يَذَّكَّرُ} يتعظ‍، وأصله: يتذكر، فأدغم التاء في الذال {أُولُوا الْأَلْبابِ} أصحاب العقول. التفسير والبيان: الشيطان عدو الإنسان من قديم، وهو الذي أقسم {فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاّ عِبادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ} [ص ٨٢/ ٣٨ – ٨٣] يوسوس للناس ويخوفهم من الفقر إذا تصدقوا أو أنفقوا في سبيل الله ويقول لهم: إن عاقبة إنفاقكم أن تفتقروا، ويحرضهم ويغريهم على البخل والإمساك إغراء الآمر للمأمور. والفاحش عند العرب: البخيل. والوعد: يستعمل في الخير والشر، قال الله تعالى: {النّارُ وَعَدَهَا اللهُ الَّذِينَ كَفَرُوا} [الحج ٧٢/ ٢٢]. وسمي ذلك التخويف وعدا: مبالغة في الإخبار بتحقق وقوعه، وكأن مجيئه بحسب إرادته، مع العلم بأن الوعد: هو الإخبار بما سيكون من جهة المخبر، والشيطان لم يقل: إني سأفقركم. ويوضح هذا التخويف: ما رواه ابن أبي حاتم عن عبد الله بن مسعود قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: «إن للشيطان لمّة (٢) بابن آدم، وللملك لمّة، فأما لمة الشيطان فإيعاد بالشر، وتكذيب بالحق، وأما لمة الملك فإيعاد بالخير، وتصديق بالحق، فمن وجد ذلك، فليعلم أنه من الله، فليحمد الله، ومن وجد الأخرى، فليتعوذ من الشيطان» ثم قرأ: {الشَّيْطانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ، وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشاءِ، وَاللهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلاً} (١). والله تعالى في مقابلة إغراءات الشيطان ووساوسه وأمره بالفحشاء (البخل) يعدكم على لسان نبيكم مغفرة بسبب الإنفاق لذنوبكم، وتعويضا وإخلافا في الدنيا لما أنفقتموه، والفضل: المال والخير، والله واسع الرحمة والفضل، فيحقق ما وعدكم به، وهو عليم بما تنفقون، فيجازيكم عليه أحسن الجزاء، كما قال تعالى: {وَما أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ، وَهُوَ خَيْرُ الرّازِقِينَ} [سبأ ٣٩/ ٣٤] وروى البخاري ومسلم أن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال: «ما من يوم يصبح فيه العباد إلا ملكان ينزلان، يقول أحدهما: اللهم أعط‍ منفقا خلفا، ويقول الآخر: اللهم أعط‍ ممسكا تلفا» أي أن الأول يعوضه الله بتسهيل أسباب الرزق له، والآخر يذهب ماله. والله تعالى يؤتي الحكمة من يشاء من عباده، وليست الحكمة على الصحيح النبوة، ولكنها كما قال الجمهور: العلم والفقه والقرآن، فهي لا تختص بالنبوة، بل هي أعم منها، وأعلاها النبوة، والرسالة أخص، وذلك يرشد إلى تمييز الحقائق من الأوهام، والتفرقة بين الوسواس والإلهام. وآلة الحكمة: العقل، فمن عرف ما في القرآن من أحكام وأسرار، وأدرك بسلامة عقله ما في الإنفاق من فوائد تعود على الأمة بالخير وعلى المنفق بالثواب الجزيل، لم يتأثر بوساوس الشيطان، ولم يتردد في البذل والإنفاق في سبيل الله. عن ابن مسعود قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: «لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالا، فسلّطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه الله الحكمة، فهو يقضي بها ويعلمها» (٢). ومن يوفقه الله للعلم النافع، وعلى التخصيص فهم القرآن والدين، ويرشده إلى هداية العقل، فقد هدي إلى خيري الدنيا والآخرة، وأدرك الأمور على حقيقتها. ولا يتعظ‍ بالعلم ويتأثر بالموعظة وينتفع بالتذكار إلا كل ذي عقل سليم يفهم به الخطاب الشرعي ومعنى الكلام الإلهي. فقه الحياة أو الأحكام: هذه الآية متصلة بما قبلها، فهي تحث المؤمن على الإنفاق في سبيل الله: سبيل الخير؛ لأن الله وعد بالمغفرة جزاء الإنفاق، وبالإخلاف والتعويض والإمداد بالفضل الإلهي من المال والرزق، والله تعالى يعطي من سعة، فلا تنفد خزائنه، ويعلم حيث يضع ذلك، ويعلم الغيب والشهادة. وتحذر الآية من وساوس الشياطين، فإن للشيطان مدخلا في تثبيط‍ الإنسان عن الإنفاق في سبيل الله، وهو مع ذلك يأمر بالبخل والفحشاء وهي المعاصي، والإنفاق فيها. ومن أعطي الحكمة (العلم النافع الصحيح) وفهم القرآن، فقد أعطي أفضل ما أعطي من جمع كتب علم الأولين من الصحف وغيرها. والآية تحض على العلم وترفع شأن الحكمة، وتهدي إلى استعمال العقل في أشرف ما خلق له. قال بعض الحكماء: من أعطي العلم والقرآن ينبغي أن يعرف نفسه، ولا يتواضع لأهل الدنيا لأجل دنياهم: فإنما أعطي أفضل ما أعطي أصحاب الدنيا؛ لأن الله تعالى سمى الدنيا متاعا قليلا

“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)

Makna Hikmah Berdasarkan Ayat dan Penafsiran Ulama 1. Makna Secara Bahasa dan Tafsir:

Kata hikmah secara bahasa berarti ilmu yang bermanfaat, yang mengarahkan seseorang kepada amal perbuatan yang benar dan berpengaruh secara positif dalam jiwa.

Beberapa pendapat ulama tafsir:

As-Suddi: Hikmah adalah kenabian.

Ibnu Abbas: Hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an, termasuk ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, serta ilmu tafsir.

Qatadah dan Mujahid: Hikmah adalah pemahaman (fiqh) terhadap Al-Qur’an.

Mujahid (pendapat lain): Hikmah adalah ketepatan dalam ucapan dan tindakan.

Ibnu Zaid: Hikmah adalah akal dalam beragama.

Imam Malik bin Anas: Hikmah adalah merenung dalam urusan agama dan menaati perintah Allah, atau ketaatan dan pemahaman agama yang benar serta mengamalkannya.

Semua pendapat ini menunjukkan bahwa hikmah adalah gabungan antara ilmu yang benar, pemahaman yang dalam, serta penerapan yang tepat, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Kandungan Ayat: Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Orang yang diberi hikmah, berarti telah menerima kebaikan yang melimpah. Hanya orang yang memiliki akal bersih dan sehat (ulul albab) yang bisa mengambil pelajaran darinya. 3. Kesimpulan: Hikmah mencakup ilmu yang benar, pemahaman agama yang mendalam, khususnya terhadap Al-Qur’an, serta kemampuan bertindak dengan tepat. Hikmah merupakan karunia besar dari Allah, tidak diberikan kepada semua orang. Orang yang diberi hikmah sejatinya telah mendapatkan kebaikan yang luar biasa, karena hikmah membimbing kepada keselamatan dunia dan akhirat. Tidak semua orang bisa menyadari pentingnya hikmah, kecuali orang yang memiliki akal yang bersih dan hati yang sadar. Penjelasan Tambahan dari Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaili), Jilid 3 Halaman 62-65 Setan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan, agar enggan bersedekah atau berinfak, dan memerintahkan kepada perbuatan keji, seperti kikir dan pelit. Sebaliknya, Allah menjanjikan ampunan dan karunia (rezeki) kepada orang-orang yang berinfak di jalan-Nya. Hikmah tidak terbatas pada kenabian, melainkan juga mencakup ilmu, pemahaman agama, dan kemampuan membedakan antara ilham dari Allah dan bisikan setan. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua hal: seseorang yang diberi harta lalu ia infakkan di jalan kebenaran, dan seseorang yang diberi hikmah, lalu ia menggunakannya untuk memberi keputusan dan mengajarkannya kepada orang lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim) Pelajaran Kehidupan dan Hukum Fiqih (Fiqh al-Hayah): Ayat ini mendorong agar kita berinfak di jalan Allah karena Allah akan membalasnya dengan ampunan dan rezeki yang berlimpah. Setan selalu berusaha menghalangi manusia dari amal kebaikan, terutama dalam hal mengeluarkan harta. Hikmah adalah pemberian terbaik dari Allah, bahkan lebih mulia daripada harta dunia, karena dengannya manusia bisa menilai kebenaran, memahami syariat Allah, dan meraih keberuntungan dunia dan akhirat.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

GADAI POHON MATI: AKIBAT KELALAIAN MURTAHIN

Gadai Pohon Mati Akibat Kelalaian Murtahin

Deskripsi Masalah

Ahmad menggadaikan (rahn) sebatang pohon berbuah atau pohon lainnya kepada Rohman. Sebagai penerima gadai (murtahin), Rohman memelihara pohon tersebut dengan memberikan pupuk dengan harapan pohon itu dapat berbuah, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan akad gadai (jika ada kesepakatan demikian). Namun, karena Rohman memberikan pupuk secara berlebihan tanpa mengikuti aturan pakai, pohon tersebut menjadi mati.

Pertanyaannya

Apakah si Rohman wajib mengembalikan uang gadai nya pada si Ahmad. mohon

jawabannya🙏🙏🙏

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Mengenai kasus pegadaian pohon berbuah antara Ahmad dan Rohman, di mana pohon tersebut mati karena kesalahan Rohman dalam memberikan pupuk, berikut penjelasannya berdasarkan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam:


Analisis Situasi:

  • Akad Gadaian (Rahn): Transaksi antara Ahmad dan Rohman adalah akad rahn atau gadai. Dalam akad ini, Ahmad menyerahkan pohon berbuah sebagai marhun (barang gadai) kepada Rohman sebagai murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas sejumlah uang (marhun bih).
  • Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai): Sebagai pemegang barang gadai, Rohman memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara marhun dengan baik. Kelalaian atau tindakan yang menyebabkan kerusakan atau hilangnya marhun menjadi tanggung jawab murtahin.
  • Kerusakan karena Tindakan Murtahin: Dalam kasus ini, matinya pohon disebabkan oleh pemberian pupuk yang berlebihan oleh Rohman. Ini menunjukkan adanya kelalaian atau kesalahan dari pihak Rohman dalam pemeliharaan barang gadai.
    Hukum Mengembalikan Uang Gadai:
    Berdasarkan prinsip tanggung jawab dalam akad gadai, jika marhun (barang gadai) rusak atau hilang karena kelalaian atau tindakan murtahin (penerima gadai), maka:
  • Rohman (Murtahin) wajib mengganti kerugian yang dialami Ahmad (Rahin). Kerugian dalam hal ini adalah nilai pohon yang mati.
  • Mengenai uang gadai (marhun bih) yang telah diterima Rohman, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
  • Pendapat Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa karena barang gadai telah rusak akibat kelalaian murtahin, maka murtahin tidak berhak atas uang gadai tersebut. Uang gadai harus dikembalikan sepenuhnya kepada rahin. Kerugian atas matinya pohon dianggap menggantikan hak murtahin untuk menahan barang gadai sebagai jaminan.
  • Pendapat Kedua: Sebagian ulama lain berpendapat bahwa akad gadai tetap sah meskipun barang gadai rusak atau hilang karena kelalaian murtahin. Dalam hal ini, murtahin tetap berhak atas pelunasan utang (uang gadai). Namun, murtahin wajib mengganti nilai barang gadai yang rusak kepada rahin. Setelah penggantian kerugian, sisa uang gadai (jika ada) dikembalikan kepada rahin, atau jika nilai kerugian sama atau lebih besar dari uang gadai, maka utang dianggap lunas dan murtahin mungkin masih harus membayar selisihnya.
    Pendapat yang Lebih Kuat dan Hati-hati:
    Pendapat yang lebih kuat dan lebih berhati-hati dalam kasus ini adalah pendapat pertama, yaitu Rohman wajib mengembalikan uang gadai sepenuhnya kepada Ahmad. Alasan utamanya adalah karena kerusakan marhun disebabkan oleh kelalaian Rohman sendiri. Dengan hilangnya marhun karena kesalahannya, hak Rohman untuk menahan barang sebagai jaminan menjadi gugur. Mengembalikan uang gadai dan menanggung kerugian atas matinya pohon adalah bentuk keadilan bagi kedua belah pihak.
    Kesimpulan Jawaban:
    Dalam kasus ini, Rohman wajib mengembalikan uang gadai sepenuhnya kepada Ahmad. Selain itu, Rohman juga bertanggung jawab atas kerugian yang dialami Ahmad akibat matinya pohon yang disebabkan oleh kesalahan Rohman dalam memberikan pupuk.

Berikut beberapa referensi kitab fikih yang membahas tentang tanggung jawab murtahin (penerima gadai) terhadap kerusakan marhun (barang gadai) beserta teks Arabnya. Namun, perlu diingat bahwa pembahasan spesifik mengenai kasus pohon mati karena kesalahan pemupukan mungkin tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi, prinsip umum tanggung jawab atas kerusakan karena kelalaian akan dibahas dalam bab rahn (gadai).
Dalam Kitab Al-Muwatta’ Imam Malik:
Kitab ini merupakan salah satu kitab hadis dan fikih terawal. Meskipun tidak secara detail membahas kasus di atas, prinsip tanggung jawab dalam akad gadai dapat ditemukan di dalamnya.

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ عَارِيَةٌ إِذَا هَلَكَتْ وَلَمْ يَضْمَنْهَا». قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ ضَمَانٌ فِي الْعَارِيَةِ إِذَا هَلَكَتْ عِنْدَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَسَاءَ اسْتِعْمَالَهَا أَوْ تَعَدَّى فِيهَا. قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَارِيَةِ وَالْوَدِيعَةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَالْأَجِيرِ الْخَاصِّ الَّذِي يَسْتَأْجِرُهُ الرَّجُلُ عَلَى أَنْ يَعْمَلَ لَهُ عَمَلًا مُسَمًّى وَيَكُونَ الْأَجِيرُ أَمِينًا. قَالَ مَالِكٌ: وَأَمَّا الرَّاهِنُ فَهُوَ ضَامِنٌ لِرَهْنِهِ إِذَا هَلَكَ عِنْدَ الْمُرْتَهِنِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ مِنْ الْمُرْتَهِنِ. وَإِنْ هَلَكَ بِذَنْبٍ مِنْ الْمُرْتَهِنِ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ.

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada tanggungan atas peminjam barang pinjaman jika ia rusak dan ia tidak menjaminnya.” Malik berkata: “Ketentuan di sisi kami adalah bahwa peminjam tidak menanggung ganti rugi atas barang pinjaman jika rusak di tangannya kecuali jika ia buruk dalam penggunaannya atau melampaui batas.” Malik berkata: “Ketentuan ini berlaku bagi barang pinjaman, titipan, mudharabah, dan pekerja khusus yang dipekerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu dan pekerja tersebut amanah.” Malik berkata: “Adapun orang yang menggadaikan, ia bertanggung jawab atas barang gadainya jika rusak di tangan penerima gadai tanpa kesalahan dari penerima gadai. Dan jika rusak karena kesalahan dari penerima gadai, maka ia bertanggung jawab atasnya.”

Penjelasan :
Imam Malik menjelaskan prinsip bahwa murtahin bertanggung jawab atas kerusakan marhun jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kesalahannya. Kasus pemberian pupuk berlebihan yang menyebabkan kematian pohon termasuk dalam kategori “kesalahan dari penerima gadai.”

Dalam Kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i:
Kitab ini merupakan salah satu sumber utama mazhab Syafi’i. Pembahasan tentang rahn dan tanggung jawab murtahin terdapat di dalamnya.

Referensi

الأم ج. ٣ ص ١٧٠-١٧١

فَإِذَا رَهَنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ شَيْئًا فَقَبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ الْقَابِضِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَالْحَقُّ ثَابِتٌ كَمَا كَانَ قَبْلَ الرَّهْنِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ): لَا يَضْمَنُ الْمُرْتَهِنُ، وَلَا الْمَوْضُوعُ عَلَى يَدَيْهِ الرَّهْنُ مِنْ الرَّهْنِ شَيْئًا إلَّا فِيمَا يَضْمَنَانِ فِيهِ الْوَدِيعَةَ وَالْأَمَانَاتِ مِنْ التَّعَدِّي فَإِنْ تَعَدَّيَا فِيهِ فَهُمَا ضَامِنَانِ، وَمَا لَمْ يَتَعَدَّيَا فَالرَّهْنُ بِمَنْزِلَةِ الْأَمَانَةِ.
فَإِذَا دَفَعَ الرَّاهِنُ إلَى الْمُرْتَهِنِ الرَّهْنَ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ أَنْ يَرُدَّهُ إلَيْهِ فَامْتَنَعَ الْمُرْتَهِنُ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْهِ لَمْ يَضْمَنْ شَيْئًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ كَانَ لَهُ. وَإِذَا قَضَى الرَّاهِنُ الْمُرْتَهِنَ الْحَقَّ أَوْ أَحَالَهُ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَرَضِيَ الْمُرْتَهِنُ بِالْحَوَالَةِ أَوْ أَبْرَأَهُ الْمُرْتَهِنُ مِنْهُ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ مِنْ الْبَرَاءَةِ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّهْنَ فَحَبَسَهُ عَنْهُ، وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يُؤَدِّيَهُ إلَيْهِ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ الْمُرْتَهِنِ فَالْمُرْتَهِنُ ضَامِنٌ لِقِيمَةِ الرَّهْنِ بَالِغَةً مَا بَلَغَتْ إلَّا أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ كَيْلًا أَوْ وَزْنًا يُوجَدُ مِثْلُهُ فَيَضْمَنُ مِثْلَ مَا هَلَكَ فِي يَدَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُتَعَدٍّ بِالْحَبْسِ. وَإِنْ كَانَ رَبُّ الرَّهْنِ آجَرَهُ فَسَأَلَ الْمُرْتَهِنَ أَخْذَهُ مِنْ عِنْدِ مَنْ آجَرَهُ وَرَدَّهُ إلَيْهِ فَلَمْ يُمْكِنْهُ ذَلِكَ أَوْ كَانَ الرَّهْنُ غَائِبًا عَنْهُ بِعِلْمِ الرَّاهِنِ فَهَلَكَ فِي الْغَيْبَةِ بَعْدَ بَرَاءَةِ الرَّاهِنِ مِنْ الْحَقِّ، وَقَبْلَ تَمَكُّنِ الْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرُدَّهُ لَمْ يَضْمَنْ.
وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عَبْدًا فَأَبَقَ أَوْ جَمَلًا فَشَرَدَ ثُمَّ بَرِئَ الرَّاهِنُ مِنْ الْحَقِّ لَمْ يَضْمَنْ الْمُرْتَهِنُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْبِسْهُ وَرَدُّهُ يُمْكِنُهُ، وَالصَّحِيحُ مِنْ الرَّهْنِ وَالْفَاسِدُ فِي أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ سَوَاءٌ كَمَا تَكُونُ الْمُضَارَبَةُ الصَّحِيحَةُ وَالْفَاسِدَةُ فِي أَنَّهَا غَيْرُ مَضْمُونَةٍ سَوَاءٌ، وَلَوْ شَرَطَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ إنْ هَلَكَ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا، كَمَا لَوْ قَارَضَهُ أَوْ أَوْدَعَهُ فَشَرَطَ أَنَّهُ ضَامِنٌ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا. وَإِذَا دَفَعَ الرَّاهِنُ الرَّهْنَ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ ضَامِنٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ، وَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ إنْ هَلَكَ، وَكَذَلِكَ إذَا ضَارَبَهُ عَلَى أَنَّ الْمُضَارِبَ ضَامِنٌ فَالْمُضَارَبَةُ فَاسِدَةٌ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ.
وَكَذَلِكَ لَوْ رَهَنَهُ وَشَرَطَ لَهُ إنْ لَمْ يَأْتِهِ بِالْحَقِّ إلَى كَذَا فَالرَّهْنُ لَهُ بَيْعٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ وَالرَّهْنُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ، وَكَذَلِكَ إنْ رَهَنَهُ دَارًا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ أَجْنَبِيٌّ دَارِهِ إنْ عَجَزَتْ دَارُ فُلَانٍ عَنْ حَقِّهِ أَوْ حَدَثَ فِيهَا حَدَثٌ يُنْقِصُ حَقَّهُ؛ لِأَنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ مَرَّةً رَهْنٌ، وَمَرَّةً غَيْرُ رَهْنٍ، وَمَرْهُونَةٌ بِمَا لَا يُعْرَفُ وَيَفْسُدُ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا زِيدَ مَعَهُ شَيْءٌ فَاسِدٌ. وَلَوْ كَانَ رَهَنَهُ دَارِهِ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَضْمَنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ دَارِهِ إنْ حَدَثَ فِيهَا حَدَثٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ لَمْ يَرْضَ بِالرَّهْنِ إلَّا عَلَى أَنْ يَكُونَ لَهُ مَضْمُونًا، وَإِنْ هَلَكَتْ الدَّارُ لَمْ يَضْمَنْ الْمُرْتَهِنُ شَيْئًا.


Al-Umm Jilid 3, halaman 170-171,

Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain, lalu penerima gadai menerimanya dan barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka tidak ada tanggungan atas penerima gadai, dan hak tetap seperti sebelum adanya gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Penerima gadai dan pihak yang dititipi barang gadai tidak menanggung ganti rugi atas barang gadai sedikit pun kecuali dalam hal-hal di mana mereka menanggung ganti rugi atas titipan dan amanah, yaitu karena tindakan melampaui batas. Jika mereka melampaui batas dalam hal tersebut, maka mereka berdua wajib mengganti rugi. Dan selama mereka tidak melampaui batas, maka barang gadai kedudukannya seperti amanah.
Jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai, kemudian pemberi gadai meminta agar barang itu dikembalikan kepadanya, lalu penerima gadai menolak, kemudian barang gadai itu rusak di tangannya, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi sedikit pun; karena hal itu adalah haknya (untuk menahan gadai).
Dan jika pemberi gadai telah melunasi hak penerima gadai atau mengalihkannya kepada orang lain dan penerima gadai setuju dengan pengalihan tersebut atau penerima gadai membebaskannya dari utang dengan cara apa pun, kemudian pemberi gadai meminta barang gadai tersebut lalu penerima gadai menahannya padahal ia mampu untuk mengembalikannya, kemudian barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka penerima gadai wajib mengganti nilai barang gadai tersebut berapapun nilainya, kecuali jika barang gadai itu berupa barang yang ditakar atau ditimbang yang ada persamaannya, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa dengan apa yang rusak di tangannya; karena ia telah melampaui batas dengan menahannya.
Dan jika pemilik barang gadai menyewakannya lalu meminta penerima gadai untuk mengambilnya dari penyewa dan mengembalikannya kepadanya namun ia tidak mampu melakukannya, atau barang gadai itu tidak ada di sisinya dengan sepengetahuan pemberi gadai lalu rusak dalam ketiadaan setelah pemberi gadai bebas dari utang, dan sebelum penerima gadai mampu mengembalikannya, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi.
Demikian pula jika barang gadai itu berupa budak lalu melarikan diri atau unta lalu tersesat, kemudian pemberi gadai bebas dari utang, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi; karena ia tidak menahannya dan mengembalikannya adalah mungkin baginya.
Hukum gadai yang sah dan yang fasid adalah sama dalam hal tidak adanya tanggungan ganti rugi, sebagaimana mudharabah yang sah dan yang fasid adalah sama dalam hal tidak adanya tanggungan ganti rugi. Dan jika pemberi gadai mensyaratkan kepada penerima gadai bahwa ia bertanggung jawab atas barang gadai jika rusak, maka syarat tersebut batal, sebagaimana jika ia memberikan pinjaman atau titipan lalu mensyaratkan bahwa pihak yang dipinjami atau dititipi bertanggung jawab, maka syarat tersebut batal. Dan jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai dengan syarat bahwa penerima gadai bertanggung jawab, maka gadai tersebut fasid (rusak), dan barang gadai itu tidak dijamin jika rusak. Demikian pula jika ia melakukan mudharabah dengan syarat bahwa pengelola mudharabah bertanggung jawab, maka mudharabah tersebut fasid dan tidak dijamin.
Demikian pula jika ia menggadaikan sesuatu dan mensyaratkan bahwa jika ia tidak datang dengan hak (utang) hingga waktu tertentu, maka barang gadai itu menjadi milik penerima gadai (jual beli), maka gadai tersebut fasid dan barang gadai tetap milik pemiliknya yang menggadaikannya. Demikian pula jika ia menggadaikan rumah dengan seribu (dirham) dengan syarat bahwa orang lain akan menggadaikan rumahnya jika rumah si fulan tidak mencukupi haknya atau terjadi sesuatu padanya yang mengurangi haknya; karena rumah yang lain itu terkadang menjadi gadai dan terkadang tidak, dan digadaikan dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka gadai tersebut fasid; karena ditambahkan padanya sesuatu yang fasid. Dan jika ia menggadaikan rumahnya dengan seribu (dirham) dengan syarat bahwa penerima gadai akan menjamin rumahnya jika terjadi sesuatu padanya, maka gadai tersebut fasid; karena pemberi gadai tidak ridha dengan gadai kecuali dengan adanya jaminan, dan jika rumah itu rusak, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi sedikit pun.

Referensi


الموسوعة الفقهية الكويتيه ج١٣ص٢٣٥-٢٣٦
ب – تَعَدِّي الْمُرْتَهِنِ:
٧ – ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ: إِِلَى أَنَّ الرَّهْنَ إِنْ هَلَكَ بِنَفْسِهِ فَإِِنَّهُ يَهْلِكُ مَضْمُونًا بِالدَّيْنِ، وَكَذَلِكَ لَوِ اسْتَهْلَكَهُ الْمُرْتَهِنُ؛ لأَِنَّهُ لَوْ أَتْلَفَ مَمْلُوكًا مُتَقَوِّمًا بِغَيْرِ إِذْنِ مَالِكِهِ، فَيَضْمَنُ مِثْلَهُ أَوْ قِيمَتَهُ، كَمَا لَوْ أَتْلَفَهُ أَجْنَبِيٌّ وَكَانَ رَهْنًا مَكَانَهُ.
وَفَرَّقَ الْمَالِكِيَّةُ بَيْنَ مَا يُغَابُ عَلَيْهِ: أَيْ مَا يُمْكِنُ إِخْفَاؤُهُ كَبَعْضِ الْمَنْقُولاَتِ، وَمَا لاَ يُغَابُ عَلَيْهِ، كَالْعَقَارِ وَالسَّفِينَةِ وَالْحَيَوَانِ، فَأَوْجَبُوا الضَّمَانَ فِي الأَْوَّل – دُونَ الثَّانِي بِشَرْطَيْنِ:
الأَْوَّل: أَنْ يَكُونَ بِيَدِهِ، لاَ أَنْ يَكُونَ بِيَدِ أَمِينٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ لاَ تَشْهَدَ بَيِّنَةٌ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى التَّلَفِ أَوِ الضَّيَاعِ، بِغَيْرِ سَبَبِهِ، وَغَيْرِ تَفْرِيطِهِ. (٢)
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: إِِلَى أَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، وَأَنَّهُ لاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ إِنْ هَلَكَ بِيَدِهِ، إِلاَّ إِِذَا تَعَدَّى عَلَيْهِ، أَوْ فَرَّطَ فِي حِفْظِهِ. وَعَلَى هَذَا: فَالْفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ بِتَعَدِّيهِ عَلَيْهِ أَوْ تَفْرِيطِهِ فِي حِفْظِهِ.
ثَالِثًا: التَّعَدِّي فِي الْعَارِيَّةِ:
٨ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ: عَلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ بِالتَّعَدِّي وَالتَّفْرِيطِ مِنَ الْمُسْتَعِيرِ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ (١)
أَمَّا إِِذَا هَلَكَتْ بِلاَ تَعَدٍّ وَلاَ تَفْرِيطٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي ذَلِكَ.
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ: إِِلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ إِنْ هَلَكَتْ مِنْ غَيْرِ تَعَدٍّ وَلاَ تَفْرِيطٍ مِنْهُ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ غَيْرِ الْمُغِل ضَمَانٌ، (٢) وَلأَِنَّهُ قَبَضَهَا بِإِِذْنِ مَالِكِهَا فَكَانَتْ أَمَانَةً كَالْوَدِيعَةِ، وَهُوَ: قَوْل الْحَسَنِ وَالنَّخَعِيِّ، وَالشَّعْبِيِّ، وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالثَّوْرِيِّ. وَالأَْوْزَاعِيِّ، وَابْنِ شُبْرُمَةَ.
وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي تَضْمِينِ الْمُسْتَعِيرِ: مَا إِِذَا لَمْ يَظْهَرْ سَبَبُ هَلاَكِ الْعَارِيَّةِ، وَكَانَتْ مِمَّا يُغَابُ عَلَيْهِ، فَإِِنْ قَامَتْ بَيِّنَةٌ عَلَى تَلَفِهَا أَوْ ضَيَاعِهَا بِدُونِ سَبَبِهِ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: إِِلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ مُطْلَقًا، تَعَدَّى الْمُسْتَعِيرُ، أَوْ لَمْ يَتَعَدَّ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ، (١) وَعَنْ صَفْوَانَ: أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَارَ مِنْهُ يَوْمَ حُنَيْنٍ أَدْرَاعًا، فَقَال: أَغَصْبًا يَا مُحَمَّدُ؟ قَال: بَل عَارِيَّةً مَضْمُونَةٌ. (٢) وَهُوَ: قَوْل عَطَاءٍ، وَإِِسْحَاقَ، وَأَشْهَبَ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. (٣)

Halaman 235-236 dari Jilid 13 dari Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait) :

B. Tindakan Melampaui Batas oleh Penerima Gadai (Murtahin):

7 – Mazhab Hanafi: Berpendapat bahwa jika barang gadai musnah dengan sendirinya, maka ia musnah dalam keadaan terjamin dengan utang. Demikian pula jika penerima gadai menghabiskannya, karena jika ia merusak milik orang lain yang bernilai tanpa izin pemiliknya, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa atau nilainya, sebagaimana jika dirusak oleh pihak ketiga dan menjadi pengganti barang gadai tersebut.
Mazhab Maliki membedakan antara barang yang bisa disembunyikan (yaitu barang bergerak tertentu) dan barang yang tidak bisa disembunyikan (seperti properti, kapal, dan hewan). Mereka mewajibkan ganti rugi pada jenis yang pertama dengan dua syarat:
Pertama: Barang tersebut berada di tangannya (penerima gadai), bukan di tangan seorang yang terpercaya.

Kedua: Tidak ada bukti yang mendukung penerima gadai atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut tanpa sebab darinya dan tanpa kelalaiannya. (Catatan kaki 2)
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Berpendapat bahwa barang gadai adalah amanah di tangan penerima gadai, dan ia tidak bertanggung jawab jika barang tersebut musnah di tangannya, kecuali jika ia melampaui batas (berbuat aniaya) atau lalai dalam menjaganya.
Berdasarkan hal ini: Para fuqaha sepakat bahwa penerima gadai bertanggung jawab atas barang gadai jika ia melampaui batas terhadapnya atau lalai dalam menjaganya.
C. Tindakan Melampaui Batas dalam Pinjaman (‘Ariyah):
8 – Para Fuqaha Sepakat: Bahwa barang pinjaman dijamin (wajib diganti) jika terjadi tindakan melampaui batas atau kelalaian dari peminjam, berdasarkan hadis Samurah bin Jundub RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Atas tangan apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya (mengembalikannya).” (Catatan kaki 1)
Adapun jika barang pinjaman musnah tanpa adanya tindakan melampaui batas atau kelalaian, maka para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini.
Mazhab Hanafi dan Maliki: Berpendapat bahwa jika barang pinjaman musnah tanpa adanya tindakan melampaui batas atau kelalaian dari peminjam, maka ia tidak wajib menggantinya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada kewajiban ganti rugi bagi peminjam selain dari hasil (keuntungan)nya.” (Catatan kaki 2) Dan karena peminjam menerimanya dengan izin pemiliknya, maka ia menjadi amanah seperti titipan. Ini adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ibnu Syubrumah.
Mazhab Maliki menambahkan kewajiban ganti rugi bagi peminjam jika sebab kerusakan barang pinjaman tidak jelas dan barang tersebut termasuk jenis yang bisa disembunyikan. Namun, jika ada bukti atas kerusakan atau kehilangannya tanpa sebab dari peminjam, maka ia tidak wajib menggantinya.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Berpendapat bahwa barang pinjaman dijamin secara mutlak, baik peminjam melampaui batas maupun tidak, berdasarkan hadis Samurah: “Atas tangan apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya (mengembalikannya).” (Catatan kaki 1) Dan dari Shafwan: Bahwa Nabi SAW meminjam darinya beberapa baju besi pada perang Hunain, lalu Shafwan bertanya: “Apakah ini perampasan, wahai Muhammad?” Beliau menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin.” (Catatan kaki 2) Ini adalah pendapat Atha’, Ishaq, Asyhab dari mazhab Maliki, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah RA.

Demikian jawaban dan penjelasan seputar Gadai semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Kategori
Uncategorized

KEUTAMAAN BULAN SYAWAL DAN AMALAN SHALAT UTAQO’

Keutamaan Bulan Syawal dan Amalan Shalat Utaqo’

Deskripsi Bulan Syawal:

Jembatan Spiritual Setelah Ramadhan
Bulan Syawal hadir sebagai jembatan spiritual yang menghubungkan kesucian bulan Ramadhan dengan sebelas bulan berikutnya. Ia adalah babak baru dalam perjalanan ibadah seorang Muslim, menjadi penanda kemenangan setelah berjibaku melawan hawa nafsu dan meningkatkan ketakwaan di bulan puasa.
Syawal bukan sekadar pergantian kalender, melainkan sebuah kesempatan emas untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas ibadah yang telah ditempa selama Ramadhan. Ia adalah ujian nyata atas kesungguhan dalam meraih predikat muttaqin (orang yang bertakwa). Apakah semangat ibadah akan surut seiring berakhirnya Ramadhan, atau justru semakin berkobar sebagai bukti cinta dan ketaatan yang hakiki?
Di awal Syawal, umat Islam merayakan Idul Fitri, sebuah hari kemenangan dan kebahagiaan setelah menunaikan ibadah puasa. Suara takbir berkumandang, saling bermaafan menjadi tradisi indah, dan silaturahmi antar keluarga dan kerabat dipererat. Suasana sukacita dan persaudaraan begitu terasa, mencerminkan keberhasilan dalam meraih ampunan dan kembali fitri (suci).
Namun, Syawal tidak berhenti pada perayaan Idul Fitri. Bulan ini juga menyimpan sunnah yang agung, yaitu puasa enam hari. Puasa Syawal bukan hanya sekadar ibadah tambahan, melainkan memiliki keutamaan yang luar biasa, menyamai pahala berpuasa selama setahun penuh. Ia menjadi bukti komitmen seorang Muslim untuk terus mendekatkan diri kepada Allah setelah Ramadhan berlalu.
Lebih dari itu, Syawal juga menjadi waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menepis anggapan sebagian masyarakat jahiliyah yang menganggap bulan Syawal sebagai bulan yang tidak baik untuk menikah.
Secara keseluruhan, bulan Syawal adalah periode transisi yang penuh berkah. Ia adalah waktu untuk merefleksikan ibadah Ramadhan, mempertahankan semangat kebaikan, meningkatkan kualitas diri, dan mempererat tali persaudaraan. Syawal adalah peluang kedua setelah Ramadhan untuk membuktikan bahwa ibadah bukan hanya rutinitas musiman, melainkan gaya hidup seorang Muslim sejati. Ia adalah awal yang baik untuk mengarungi sebelas bulan ke depan dengan hati yang lebih bersih dan semangat ibadah yang lebih membara.

Pertanyaan.

1.Apa saja keutamaan dan amalan dibulan syawal selain puasa enam hari sebagaimana Deskripsi
2.Bagaimana tata cara shalat sunnah Utaqo’?

Keutamaan Bulan Syawal dan Amalan Shalat Utaqo’
Keutamaan Bulan Syawal:
Bulan Syawal memiliki beberapa keutamaan dalam Islam, di antaranya:

  • Sebagai Bulan Peningkatan Ibadah Setelah Ramadhan: Syawal menjadi momentum untuk melanjutkan dan meningkatkan kualitas ibadah setelah menjalani ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramadhan. Ini adalah waktu untuk membuktikan keteguhan dalam beribadah dan tidak kembali kepada kebiasaan buruk sebelum Ramadhan.
  • Disunnahkan Puasa Enam Hari: Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal. Keutamaan puasa enam hari ini sebagaimana sabda beliau:
    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
  • Artinya: “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
  • Waktu Pernikahan yang Baik: Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya di bulan Syawal dan mengadakan walimah (resepsi pernikahan) juga di bulan Syawal. Aisyah berkata:
  • تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي
  • Artinya: “Rasulullah ﷺ menikahiku di bulan Syawal dan tinggal bersamaku (sebagai suami istri) juga di bulan Syawal. Maka istri beliau mana yang lebih beliau cintai daripadaku?” (HR. Muslim)
    Hadis ini menunjukkan bahwa menikah di bulan Syawal adalah hal yang baik dan tidak ada larangan atau kesialan seperti yang dipercayai sebagian masyarakat jahiliyah.
  • Momentum Silaturahmi: Setelah merayakan Idul Fitri di awal Syawal, bulan ini menjadi waktu yang baik untuk mempererat tali silaturahmi antar keluarga, kerabat, dan teman.
  • Amalan Shalat Utaqo’ (Shalat Orang-Orang yang Dimuliakan/Dimerdekakan):
    Hadis mengenai “Shalat Utaqo'” yang disebutkan dalam pertanyaan sebelumnya (dan telah diterjemahkan) adalah hadis yang dhaif (lemah) menurut sebagian besar ulama hadis. Meskipun demikian, sebagian orang masih mengamalkannya dengan harapan mendapatkan keutamaan yang disebutkan di dalamnya, namun tanpa meyakini kepastiannya sebagai sunnah dari Rasulullah ﷺ.
    Cara Melaksanakan Shalat Utaqo’ (berdasarkan hadis dhaif tersebut):
    Berdasarkan hadis yang telah diterjemahkan, cara melaksanakan Shalat Utaqo’ adalah sebagai berikut:
  • Jumlah Rakaat: Delapan rakaat.
  • Waktu Pelaksanaan: Dapat dilakukan pada malam hari atau siang hari di bulan Syawal.
  • Bacaan Setiap Rakaat: Setelah membaca Surah Al-Fatihah, membaca Surah Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) sebanyak lima belas kali.
  • Setelah Salam (Selesai Shalat):
  • Membaca tasbih (Subhanallah) sebanyak tujuh puluh kali.
  • Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ sebanyak tujuh puluh kali.
    Penting untuk diingat:
  • Hadis mengenai keutamaan dan tata cara Shalat Utaqo’ ini adalah dhaif (lemah). Oleh karena itu, mengamalkannya tidak bisa dianggap sebagai sunnah yang kuat dari Rasulullah ﷺ.
  • Jika seseorang ingin mengamalkannya, hendaknya dengan niat beribadah secara umum dan mengharapkan kebaikan dari Allah, tanpa meyakini bahwa tata cara dan keutamaan yang disebutkan dalam hadis tersebut pasti berasal dari Nabi ﷺ.
  • Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunnah lainnya di bulan Syawal yang memiliki dasar yang kuat dari hadis-hadis shahih, seperti puasa enam hari Syawal, shalat-shalat sunnah rawatib, shalat Dhuha, dan amalan kebaikan lainnya.
    Semoga penjelasan ini bermanfaat.

كتاب الغنية للشيخ عبد القادر بن أبي صالح الجيلاني ج٢ص٢٥٠
(فصل): في صلاة العتقاء في شوال
حدثنا أبو نصر بن البناء ووالده قالا: حدثنا أبو عبد الله الحسين بن عمر العلاف، قال: أخبرنا أبو القاسم الفاضلي، قال: حدثنا محمد بن أحمد بن صديق، قال: حدثنا يعقوب بن عبد الرحمن، قال: أنبأنا أبو بكر أحمد بن جعفر المروزي، قال: حدثنا علي ابن معروف، قال: حدثني محمد بن محمود، قال: أخبرنا يحيى بن شبيب، قال: حدثنا حميد عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ: “من صلى في شوال ثمان ركعات ليلاً كان أو نهاراً، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب وخمس عشرة مرة ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾، فإذا فرغ من صلاته سبح سبعين مرة، وصلى على النبي ﷺ سبعين مرة، قال النبي ﷺ: والذي بعثني بالحق ما من عبد يصلي هذه الصلاة إلا أتبع الله له يتابع الحكمة في قلبه وأنطق بها لسانه وأراه داء الدنيا ودواءها، والذي بعثني بالحق من صلى هذه الصلاة كما وصفت لا يرفع رأسه من آخر سجدة حتى يغفر الله له، وإن مات مات شهيداً مغفوراً له، وما من عبد صلى هذه الصلاة في السفر إلا سهل الله عليه السير والذهاب إلى موضع مراده، وإن كان مديوناً قضى الله دينه، وإن كان ذا حاجة قضى الله حوائجه، والذي بعثني بالحق ما من عبد يصلي هذه الصلاة إلا أعطاه الله تعالى بكل حرف وبكل آية مخرقة في الجنة، قيل: وما المخرقة يا رسول الله؟ قال ﷺ: بساتين في الجنة يسير الراكب في ظل شجرة من أشجارها مائة سنة ثم لا يقطعها”.

(Fasal): Tentang shalat orang-orang yang dimerdekakan di bulan Syawal
Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr bin al-Banna dan ayahnya, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Husain bin Umar al-‘Allaf, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abul Qasim al-Fadhili, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Shadiq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Ja’far al-Marwazi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ma’ruf, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Mahmud, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Syabib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Humaid dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa shalat di bulan Syawal delapan rakaat, baik malam maupun siang hari, ia membaca pada setiap rakaat Fatihatul Kitab dan lima belas kali (surat) Qul Huwallahu Ahad. Apabila ia selesai dari shalatnya, ia bertasbih tujuh puluh kali dan bershalawat kepada Nabi ﷺ tujuh puluh kali.” Nabi ﷺ bersabda: “Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, tidaklah seorang hamba pun shalat seperti shalat ini kecuali Allah akan mengikuti hatinya dengan hikmah, melisankannya, dan memperlihatkan kepadanya penyakit dunia dan obatnya. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, barangsiapa shalat seperti shalat ini sebagaimana yang aku sifatkan, ia tidak akan mengangkat kepalanya dari sujud terakhir hingga Allah mengampuninya, dan jika ia mati, ia mati dalam keadaan syahid dan diampuni. Tidaklah seorang hamba pun shalat seperti shalat ini dalam perjalanan kecuali Allah akan memudahkan baginya perjalanan dan kepergian menuju tempat yang ia inginkan. Jika ia memiliki hutang, Allah akan melunasi hutangnya, dan jika ia memiliki kebutuhan, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, tidaklah seorang hamba pun shalat seperti shalat ini kecuali Allah Ta’ala akan memberikannya dengan setiap huruf dan setiap ayat kemuliaan di surga.” Dikatakan: “Apa kemuliaan itu, wahai Rasulullah?” Beliau ﷺ bersabda: “Kebun-kebun di surga, seorang pengendara berjalan di bawah naungan salah satu pohonnya selama seratus tahun kemudian tidak dapat melewatinya.”

Kategori
Uncategorized

DILEMA SHAF: MEMILIH ANTARA KEUTAMAAN DAN PENGHORMATAN KEPADA GURU

Dilema Shaf: Memilih antara Keutamaan dan Penghormatan kepada Guru

Assalamualaikum

Deskripsi Situasi:
Seseorang hendak melaksanakan sholat berjamaah. Ia melihat ada ruang kosong di shaf pertama, yang merupakan shaf paling utama dalam sholat berjamaah. Namun, ia juga menyadari bahwa gurunya (seorang yang dihormati dan memiliki ilmu agama) berada di shaf kedua atau belakangnya. Orang ini kemudian merasa ragu dan bimbang, manakah yang lebih utama untuk dipilih: mengisi shaf pertama yang memiliki keutamaan, atau mengedepankan adab dan penghormatan kepada guru dengan tidak mendahuluinya di shaf.

Waalaikumsalam

Pertanyaannya
Lebih utama mana antara memilih shof pertama dalam sholat atau mengedepankan guru

Waalaikumsalam.
Jawaban.

Dalam situasi ini, memilih shaf pertama adalah lebih utama dibandingkan mengedepankan guru dengan tidak mengisi shaf tersebut. Berikut adalah penjelasannya berdasarkan dalil dan kaidah fiqih:
Keutamaan Shaf Pertama:
Terdapat banyak hadis yang menunjukkan keutamaan shaf pertama dalam sholat berjamaah. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang pertama.” (HR. Muslim, No. 440)

Hadis ini secara jelas menunjukkan keunggulan dan keutamaan shaf pertama bagi laki-laki dalam sholat berjamaah.
Hukum Mengutamakan Orang Lain (Al-Itsar) dalam Ibadah:

Para ulama menjelaskan bahwa al-itsar (mengutamakan orang lain) dalam hal ibadah yang memiliki keutamaan yang jelas adalah makruh (tidak disukai). Hal ini karena dalam ibadah, setiap individu dianjurkan untuk berlomba-lomba meraih keutamaan dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengalah dari keutamaan ini dapat dianggap mengurangi kesungguhan dalam meraih pahala.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah disebutkan:

أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرَبِ مَكْرُوهٌ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الصَّفِّ الأَوَّل فَلَمَّا أُقِيمَتْ آثَرَ بِهِ، وَقَوَاعِدُنَا لاَ تَأْبَاهُ

“Sesungguhnya mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, seperti seseorang berada di shaf pertama lalu ketika shalat akan didirikan, ia mengutamakan orang lain untuk menempati tempatnya, dan kaidah-kaidah kami tidak menolaknya.”

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam juga menegaskan:

لاَ إِيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلاَ إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلاَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلاَ بِالصَّفِّ الأَوَّل؛ لأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالإِجْلاَل، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلاَل الإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ.

“Tidak ada mengutamakan dalam hal ibadah, maka tidak ada mengutamakan dalam hal air bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama; karena tujuan dari ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan, maka barang siapa mengutamakan orang lain dalam hal ini, sungguh ia telah meninggalkan pengagungan dan pemuliaan terhadap Ilahi.”

Adab Kepada Guru:
Meskipun menghormati guru adalah suatu kebaikan dan dianjurkan dalam Islam, namun dalam konteks meraih keutamaan ibadah yang telah jelas ketentuannya, maka keutamaan ibadah didahulukan.

Mengisi shaf pertama tidak dianggap sebagai bentuk tidak sopan kepada guru yang berada di shaf belakang. Guru yang memiliki ilmu agama tentu memahami keutamaan shaf pertama dan akan mendorong muridnya untuk meraih keutamaan tersebut.

Kesimpulan:
Maka, Jika seseorang hendak melaksanakan sholat berjamaah sementara Ia melihat ada ruang kosong di shaf pertama, yang merupakan shaf paling utama dalam sholat berjamaah,maka ia lebih utama daripada mengutamakan guru yang berada dishaf kedua atau belakangnya.

Referensi:


الشاملة
كتاب الموسوعة الفقهية الكويتية ج:٣٣ ص: ١٠٣
أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرَبِ مَكْرُوهٌ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الصَّفِّ الأَوَّل فَلَمَّا أُقِيمَتْ آثَرَ بِهِ، وَقَوَاعِدُنَا لاَ تَأْبَاهُ (١) .وَقَال السُّيُوطِيُّ: الإِيثَارُ فِي الْقُرَبِ مَكْرُوهٌ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ، قَال تَعَالَى: {وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ} (٢) .قَال الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ: لاَ إِيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلاَ إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلاَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلاَ بِالصَّفِّ الأَوَّل؛ لأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالإِجْلاَل، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلاَل الإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ. وَقَال الإِمَامُ: لَوْ دَخَل الْوَقْتُ – وَمَعَهُ مَاءٌ يَتَوَضَّأُ بِهِ – فَوَهَبَهُ لِغَيْرِهِ لِيَتَوَضَّأَ بِهِ لَمْ يَجُزْ، لاَ أَعْرِفُ فِيهِ خِلاَفًا؛ لأَنَّ الإِيثَارَ إِنَّمَا يَكُونُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالنُّفُوسِ، لاَ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْقُرَبِ وَالْعِبَادَاتِ. وَقَال النَّوَوِيُّ فِي بَابِ الْجُمُعَةِ: لاَ يُقَامُ أَحَدٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لِيُجْلَسَ فِي مَوْضِعِهِ. فَإِنْ قَامَ بِاخْتِيَارِهِ لَمْ يُكْرَهْ، فَإِنِ انْتَقَل إِلَى أَبْعَدَ مِنَ الإِمَامِ كُرِهَ، قَال أَصْحَابُنَا: لأَنَّهُ آثَرَ بِالْقُرْبَةِ. وَقَال الْقَرَافِيُّ: مَنْ دَخَل عَلَيْهِ وَقْتُ الصَّلاَةِ، وَمَعَهُ مَا يَكْفِيهِ لِطَهَارَتِهِ، وَهُنَاكَ مَنْ يَحْتَاجُهُ لِلطَّهَارَةِ، لَمْ يَجُزْ لَهُ الإِيثَارُ، وَلَوْ أَرَادَ
(١) حاشية ابن عابدين ١ / ٣٨٢ – ٣٨٣.
(٢) سورة الحشر

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah
Jilid: 33 Halaman:
Sesungguhnya mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, seperti seseorang berada di shaf pertama lalu ketika shalat akan didirikan, ia mengutamakan orang lain untuk menempati tempatnya, dan kaidah-kaidah kami tidak menolaknya (1).
Imam Suyuthi berkata: Mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, dan dalam hal selain ibadah adalah disukai. Allah Ta’ala berfirman: “{Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.}” (2).
Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata: Tidak ada mengutamakan dalam hal ibadah, maka tidak ada mengutamakan dalam hal air bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama; karena tujuan dari ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan, maka barang siapa mengutamakan orang lain dalam hal ini, sungguh ia telah meninggalkan pengagungan dan pemuliaan terhadap Ilahi.
Al-Imam berkata: Jika waktu shalat telah masuk – dan seseorang memiliki air untuk berwudhu – lalu ia menghibahkannya kepada orang lain untuk berwudhu dengannya, maka tidak boleh. Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini; karena mengutamakan itu hanyalah dalam hal yang berkaitan dengan jiwa, bukan dalam hal yang berkaitan dengan ibadah.
Imam Nawawi berkata dalam Bab Jumat: Seseorang tidak boleh disuruh berdiri dari tempat duduknya agar orang lain dapat duduk di tempatnya. Jika ia berdiri atas pilihannya sendiri, maka tidak makruh. Namun, jika ia berpindah ke tempat yang lebih jauh dari imam, maka makruh, Ashab kami berkata: Karena ia telah mengutamakan orang lain dalam hal ibadah.
Al-Qarafi berkata: Barang siapa masuk waktu shalat, dan ia memiliki air yang cukup untuk bersucinya, sedangkan di sana ada orang lain yang membutuhkannya untuk bersuci, maka tidak boleh baginya untuk mengutamakan orang lain, meskipun ia menginginkannya.
(1) Hasyiyah Ibnu Abidin 1/382-383.
(2) Surah Al-Hasyr.

أسنى المطالب في شرح الروضة ج١ ص ٢٦٨
(وَيَحْرُمُ أَنْ يُقِيمَ أَحَدًا) لِيَجْلِسَ مَكَانَهُ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ «لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ يَقُولُ تَفَسَّحُوا أَوْ تَوَسَّعُوا فَإِنْ قَامَ الْجَالِسُ بِاخْتِيَارِهِ وَأَجْلَسَ غَيْرُهُ فَلَا كَرَاهَةَ فِي جُلُوسِ غَيْرِهِ» ، وَأَمَّا هُوَ فَإِنْ انْتَقَلَ إلَى مَكَان أَقْرَبَ إلَى الْإِمَامِ أَوْ مِثْلِهِ لَمْ يُكْرَهْ وَإِلَّا كُرِهَ إنْ لَمْ يَكُنْ عُذْرٌ؛ لِأَنَّ الْإِيثَارَ بِالْقُرْبِ مَكْرُوهٌ، وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى {وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ} [الحشر: ٩] فَالْمُرَادُ الْإِيثَارُ فِي حُظُوظِ النُّفُوسِ (وَيَجُوزُ أَنْ يَبْعَثَ مَنْ يَقْعُدُ لَهُ) فِي مَكَان (لِيَقُومَ عَنْهُ) إذَا جَاءَ هُوَ (وَإِذَا فُرِشَ لِأَحَدٍ ثَوْبٌ) أَوْ نَحْوُهُ (فَلَهُ) أَيْ فَلِغَيْرِهِ (تَنْحِيَتُهُ) وَالصَّلَاةُ مَكَانَهُ (لَا الْجُلُوسُ عَلَيْهِ) بِغَيْرِ رِضَا صَاحِبِهِ (وَلَا يَرْفَعُهُ) بِيَدِهِ أَوْ غَيْرِهَا (فَيَضْمَنُهُ) أَيْ لِئَلَّا يَدْخُلَ فِي ضَمَانِهِ

Asnal Matholib Fisyarhrroudhoh juz.hal:
268
(Dan haram hukumnya seseorang menyuruh orang lain berdiri) agar ia bisa duduk di tempatnya, berdasarkan hadis sahih dalam kitab Shahihain: “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat itu. Akan tetapi, katakanlah, ‘Berlapang-lapanglah’ atau ‘Berluas-luaslah’. Jika orang yang duduk itu berdiri dengan pilihannya sendiri lalu orang lain duduk di tempatnya, maka tidak ada kemakruhan bagi orang lain itu untuk duduk.” Adapun orang yang berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan imam atau sama dengannya, maka tidak makruh. Jika tidak demikian, maka makruh jika tidak ada uzur, karena mengutamakan orang lain dalam hal kedekatan (dengan imam) adalah makruh. Adapun firman Allah Ta’ala: “{Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesempitan.}” [QS. Al-Hasyr: 9], maka yang dimaksud adalah mengutamakan dalam hal kesenangan duniawi. (Dan boleh hukumnya seseorang mengirim orang lain untuk duduk baginya) di suatu tempat (agar orang itu berdiri darinya) ketika ia datang. (Dan jika dihamparkan untuk seseorang sehelai kain) atau yang semisalnya, (maka boleh baginya) yaitu bagi orang lain (untuk menyingkirkannya) dan shalat di tempatnya (bukan untuk duduk di atasnya) tanpa keridhaan pemiliknya (dan tidak boleh mengangkatnya) dengan tangannya atau yang lainnya (maka ia menanggungnya) yaitu agar ia tidak masuk dalam tanggungannya.

Perbaiki jawaban deskripsikan, lebih utama bagi individu tersebut untuk mengisi ruang kosong di shaf pertama karena keutamaannya yang besar dalam sholat berjamaah. Mengedepankan adab kepada guru adalah baik, namun tidak sampai pada derajat meninggalkan keutamaan ibadah yang telah ditetapkan dalam syariat. Guru yang bijak akan memahami dan bahkan mungkin mengharapkan muridnya untuk berada di shaf terdepan demi meraih pahala yang lebih besar. Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

HUKUM DAN CARA ISTIKHARAH DENGAN AL-QUR’AN

Hukum dan Cara Istikharah dengan Al-Qur’an Menurut Ulama

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah.

Seseorang yang memiliki keinginan kuat, seperti bertunangan atau meraih cita-cita penting untuk masa depannya, lazimnya mencari petunjuk Allah melalui shalat istikharah, sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Istikharah berfungsi sebagai penentu pilihan: melanjutkan keinginan jika dianggap baik, atau mengurungkannya jika dianggap buruk. Namun, muncul pertanyaan mengenai metode istikharah alternatif, yaitu melalui Al-Qur’an.
Pertanyaan:
Apakah diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki cita-cita untuk beristikharah melalui Al-Qur’an? Jika diperbolehkan, bagaimana cara mengetahui baik dan buruknya pilihan melalui metode tersebut?

Jawaban.

Hukum istikharah melalui Al-Qur’an sebagai alternatif dari shalat istikharah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ulama berbeda pendapat:

1️⃣Pendapat yang Membolehkan:

Istikharah melalui Al-Qur’an hukumnya boleh . Mereka ( ulama)berpendapat bahwa mencari petunjuk melalui Al-Qur’an adalah meminta ilmu ghaib dari Allah SWT melalui cara yang disyariatkan.

Imam berpendapat jika meminta ilmu ghaib tidak diperbolehkan, maka banyak hal akan menjadi masalah, termasuk penafsiran mimpi dan karamah para wali. Sebagaimana dikutip dari Fatawa Sufiyah bahwa Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma pernah melakukannya.

Diriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah sebuah metode untuk tafa’ul (berprasangka baik) dengan Al-Qur’an, yang melibatkan membaca surat Al-Ikhlas tujuh kali dan berdoa, kemudian melihat awal lembaran Al-Qur’an.
Pendapat yang Tidak Menganjurkan atau Membencinya:

2️⃣Sebagian ulama salaf tidak memperbolehkan karena tidak ada riwayat praktik istikharah melalui Al-Qur’an.sebagaimana Imam Malik rahimahullah menyebutkan membenci praktik ini.

Cara Mengetahui Baik dan Buruknya Pilihan Melalui Metode Al-Qur’an (Menurut Pendapat yang Membolehkan):

Sebagian memperbolehkan cara mengetahui Baik dan Buruknya Pilihan Melalui Metode Al-Qur’an berdasarkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, bahwa cara yang dilakukan adalah dengan:

1.Membaca surat Al-Ikhlas sebanyak tujuh kali.

2.Berdoa dengan lafaz: “Ya Allah, dengan Kitab-Mu aku berprasangka baik, dan kepada-Mu aku bertawakkal. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku dalam Kitab-Mu apa yang tersembunyi dari rahasia-Mu yang tersimpan dalam kegaiban-Mu.”

3.Kemudian melihat awal lembaran Al-Qur’an yang terbuka secara acak, dan berprasangka baik (tafa’ul) dengan ayat yang pertama kali dilihat.

Kesimpulan:
Meskipun terdapat sebagian ulama yang membolehkan istikharah melalui Al-Qur’an dan bahkan terdapat riwayat praktik dari sahabat Ali bin Abi Thalib, metode ini tidaklah sekuat dan sejelas tuntunannya dibandingkan dengan shalat istikharah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW. Shalat istikharah dengan doa yang ma’tsur (diajarkan oleh Nabi) tetap menjadi cara yang utama dan lebih dianjurkan untuk meminta petunjuk Allah dalam menentukan pilihan. Adapun metode istikharah melalui Al-Qur’an yang disebutkan lebih condong kepada tafa’ul (berprasangka baik) daripada metode istikharah yang sistematis untuk menentukan baik buruknya suatu pilihan.

Referensi:

إحياء علوم الدين (1/ ٢١٤، بترقيم الشاملة آليا)

إستخارة الصلاة الاستخارة: فمن هم بأمر وكان لا يدري عاقبته ولا يعرف الخير في تركه أو في الإقدام عليه فقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم ” بأن يصلي ركعتين يقرأ في الأولى فاتحة الكتاب وقل يا أيها الكافرون، وفي الثانية الفاتحة وقل هو الله أحد، فإذا فرغ دعا وقال اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسألك من فضلك العظيم فإنك تقدر ولا أقدر وتعلم ولا أعلم وأنت علام الغيوب اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ودنياي وعاقبة أمري وعاجله وآجله فاقدره لي وبارك لي فيه ثم يسره لي وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر لي في ديني ودنياي وعاقبة أمري وعاجله وآجله فاصرفني عنه واصرفه عني واقدر لي الخير أينما كان إنك على كل شيء قدير ” رواه جابر بن عبد الله قال ” كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمنا الاستخارة في الأمور كلها كما يعلمنا السورة من القرآن ” وقال صلى الله عليه وسلم ” إذا هم أحدكم بأمر فليصل ركعتين ثم ليسم الأمر ويدعو بما ذكرناه”.ولو تعذرت عليه الصلاة استخار بالدعاء وإذا استخار مضى بعدها لما ينشرح له صدره استخار بالدعاء ولو بنحو: اللهم اختر لي ما هو الخير، ويكررها
إلى أن ينشرح صدره لشيء.

Ihya Ulumiddin (1/214, dengan penomoran Syamilah secara otomatis)
Istikharah Shalat: Istikharah adalah bagi siapa saja yang menghadapi suatu urusan dan tidak mengetahui akibatnya, serta tidak mengetahui kebaikan dalam meninggalkannya atau melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya untuk “melakukan shalat dua rakaat, pada rakaat pertama membaca Al-Fatihah dan surat Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua membaca Al-Fatihah dan surat Al-Ikhlas. Apabila selesai, maka berdoa dan mengucapkan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang baik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku dalam agamaku, duniaku, akibat urusanku, baik yang segera maupun yang akan datang, maka takdirkanlah ia bagiku, berkahilah aku di dalamnya, kemudian mudahkanlah ia bagiku. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, duniaku, akibat urusanku, baik yang segera maupun yang akan datang, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkanlah bagiku kebaikan di mana pun ia berada, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami istikharah dalam segala urusan sebagaimana beliau mengajarkan kami surat dari Al-Qur’an.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian menghadapi suatu urusan, maka hendaklah ia shalat dua rakaat, kemudian menyebutkan urusan tersebut dan berdoa dengan doa yang telah kami sebutkan.”
Jika shalat tidak memungkinkan baginya, maka ia beristikharah dengan doa. Dan apabila ia telah beristikharah, kemudian hatinya condong kepada sesuatu, maka ia melanjutkannya.
Ia beristikharah dengan doa, meskipun dengan lafaz: “Ya Allah, pilihkanlah bagiku apa yang baik,” dan mengulanginya hingga hatinya condong kepada sesuatu.

روح البيان ج ٢ ص ٣٤٢
واعلم أن استعلام الغيب بالطريق غير المشروع كاستعلام الخير والشر من الكهنة والمنجمين منهي عنه بخلاف استعلام الغيب بالاستخارة بالقرآن وبصلاة الاستخارة ودعائها وبالنظر والرياضة لأنه استعلام الغيب بالطريق المشروع وأن طلب ما قسم له من الخير ليس منهيا عنه مطلقا بل المنهي عنه هو الاستقسام بالأزلام

Ruhul Bayan Jilid 2, Halaman 342
Ketahuilah bahwa mencari tahu perkara ghaib dengan cara yang tidak disyariatkan, seperti mencari tahu kebaikan dan keburukan dari para dukun dan ahli nujum, adalah dilarang. Berbeda dengan mencari tahu perkara ghaib dengan istikharah melalui Al-Qur’an, shalat istikharah, dan doanya, serta dengan pertimbangan dan latihan (spiritual), karena itu adalah mencari tahu perkara ghaib dengan cara yang disyariatkan. Dan meminta apa yang telah Allah takdirkan baginya dari kebaikan tidak dilarang secara mutlak, tetapi yang dilarang adalah istiqsam bil azlam (meramal dengan anak panah).

روح المعاني – نسخة محققة (3 / 232)
فمعنى الاستقسام طلب معرفة ما قسم لهم دون ما لم يقسم بالأزلام ، واستشكل تحريم ما ذكر بأنه من جملة التفاؤل ، وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يحب الفأل.
وأجيب بأنه كان استشارة مع الأصنام واستعانة منهم كما يشير إلى ذلك ما روي عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما من أنهم إذا أرادوا ذلك أتَوْا بيت أصنامهم وأفعلوا وفعلوا فهذا صار حراما ، وقيل : لأن فيه افتراء على الله تعالى إنه أريد – بربي – الله تعالى ، وجهالة وشركا إن أريد به الصنم ، وقيل : لأنه دخول في علم الغيب الذي استأثر الله تعالى به ، واعترض بأنا لا نسلم أن الدخول في علم الغيب حرام ، ومعنى استئثار الله تعالى بعلم الغيب أنه لا يعلم إلا منه ، ولهذا صار استعلام الخير والشر من المنجمين والكهنة ممنوعا حراما بخلاف الاستخارة من القرآن فإنه استعلام من الله تعالى ، ولهذا أطبقوا على جوازها ومن ينظر في ترتيب المقدمات أو يرتب فهو لا يطلب إلا علم الغيب منه سبحانه فلو كان طلب علم الغيب حراما ما نسد طريق الفكر والرياضة ، ولا قائل به.
وقال الإمام رحمه الله تعالى : لو لم يجز طلب علم الغيب لزم أن يكون التعبير كفرا لأنه طلب للغيب ، وأن يكون أصحاب الكرامات المدعون للإلهامات كفارا ، ومعلوم أن كل ذلك باطل ، وتعقب القول – بجواز الاستخارة بالقرآن – بأنه لم ينقل فعلها عن السلف ، وقد قيل : إن الإمام مالكا كرهها. وأما ما في الفتاوى الصوفية نقلا عن الزندويستي من أنه لا بأس بها وأنه قد فعلها علي كرم الله تعالى وجهه ومعاذ رضي الله تعالى عنه.
وروي عن علي كرم الله تعالى وجهه أنه قال : – من أراد أن يتفاءل بكتاب الله تعالى فليقرأ قل هو الله أحد الإخلاص : 1] سبع مرات ، وليقل ثلاث مرات : اللهم بكتابك تفاءلت ، وعليك توكلت ، اللهم أرني في كتابك ما هو المكتوم من سرك المكنون في غيبك ، ثم يتفاءل بأول الصحيفة – ففي النفس منه شيء.

Ruh al-Ma’ani – Edisi yang Ditahqiq (3 / 232)
Maka makna al-istiqsam adalah meminta pengetahuan tentang apa yang telah ditetapkan bagi mereka, bukan apa yang belum ditetapkan, dengan menggunakan anak panah. Dan dipersulit pengharaman apa yang disebutkan karena termasuk dalam kategori at-tafa’ul (berprasangka baik), padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai al-fa’l (kata-kata baik yang didengar dan membuat optimis).
Dijawab bahwa yang dilarang adalah meminta petunjuk kepada berhala dan meminta pertolongan kepada mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ta’ala ‘anhuma bahwa dahulu mereka jika menginginkan hal itu, mereka mendatangi rumah berhala mereka lalu melakukan ini dan itu, maka ini menjadi haram. Dikatakan pula: karena di dalamnya terdapat kedustaan atas Allah ta’ala bahwa yang dimaksud – demi Tuhanku – adalah Allah ta’ala, dan kebodohan serta kesyirikan jika yang dimaksud adalah berhala. Dikatakan juga: karena itu termasuk dalam ilmu ghaib yang hanya dikhususkan bagi Allah ta’ala. Dibantah bahwa kami tidak setuju bahwa masuk dalam ilmu ghaib itu haram, dan makna pengkhususan Allah ta’ala dengan ilmu ghaib adalah bahwa tidak ada yang mengetahuinya kecuali dari-Nya. Oleh karena itu, mencari tahu kebaikan dan keburukan dari para peramal bintang dan dukun dilarang dan haram, berbeda dengan istikharah dari Al-Qur’an karena itu adalah meminta petunjuk dari Allah ta’ala. Oleh karena itu, mereka sepakat atas kebolehannya, dan siapa pun yang melihat susunan pendahuluan atau menyusunnya, maka ia tidak meminta kecuali ilmu ghaib dari-Nya Subhanahu, maka jika meminta ilmu ghaib itu haram, niscaya jalan pemikiran dan latihan akan tertutup, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian.
Berkata Imam rahimahullah ta’ala: Jika meminta ilmu ghaib tidak diperbolehkan, niscaya ungkapan itu menjadi kufur karena merupakan permintaan terhadap hal ghaib, dan niscaya para pemilik karamah yang mengaku mendapat ilham menjadi kafir, padahal diketahui bahwa semua itu batil. Pendapat – tentang kebolehan istikharah dengan Al-Qur’an – dibantah dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak diriwayatkan dari para salaf, dan dikatakan bahwa Imam Malik membencinya. Adapun apa yang terdapat dalam fatwa-fatwa sufi yang dinukil dari Az-Zandawisti bahwa tidak mengapa dengannya dan bahwa Ali karramallahu wajhah dan Mu’adz radhiyallahu ta’ala ‘anhuma telah melakukannya.
Diriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah bahwa beliau berkata: – Barangsiapa yang ingin berprasangka baik dengan Kitab Allah ta’ala, maka hendaklah ia membaca Qul Huwallahu Ahad (Surah Al-Ikhlas) sebanyak tujuh kali, dan mengucapkan tiga kali: “Ya Allah, dengan Kitab-Mu aku berprasangka baik, dan kepada-Mu aku bertawakkal. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku dalam Kitab-Mu apa yang tersembunyi dari rahasia-Mu yang tersimpan dalam kegaiban-Mu,” kemudian ia berprasangka baik dengan awal lembaran – maka dalam jiwa terdapat sesuatu darinya.

Kategori
Uncategorized

STATUS KEMAHRAMAN SAUDARA/I MERTUA

Status Mahram Saudara/i Mertua dalam Islam

Deskripsi Masalah:
Dalam praktik masyarakat, proses mencari pasangan seringkali diawali dengan khithbah (bertunangan) dengan seseorang yang bukan mahram. Muncul pertanyaan mengenai status kemahraman saudara/i dari mertua (paman/bibi dari pihak ibu atau bapak) setelah pernikahan terjadi, terutama terkait kemahraman menantu dan dan sebaliknya juga keadaan wudhu’ ketika bersentuhan.

Pertanyaan.

Apakah termasuk mahram saudara/i dari mertua ? Kalau termasuk termasuk mahram lalu termasuk mahram apa?

Jawaban:

Saudara/i dari mertua (paman/bibi dari pihak ibu atau bapak) tidak termasuk mahram selamanya (mahram ta’biid atau Muabbaad ) bagi menantu laki-laki atau perempuan. Mereka termasuk dalam kategori mahram ghairu ta’biid, yaitu mahram yang keharamannya bersifat sementara( permanen) karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka (dalam satu pernikahan).

Penjelasan Mahram Ghairu Ta’biid:

Mahram ghairu ta’biid adalah orang-orang yang haram dinikahi selama ikatan pernikahan dengan pasangan (anak dari saudara/i mertua) masih berlangsung. Larangan pernikahan ini akan hilang jika ikatan pernikahan tersebut berakhir (karena perceraian atau kematian salah satu pihak).sebagaimana Usman bin Affan menikahi Ruqoiyyah binti Rasulillah setelah Ummi kulsum binti Rasulullah meninggal dunia.

Contoh Tambahan Mahram Ghairu Ta’biid:
Selain saudara/i mertua, contoh lain dari mahram ghairu ta’biid adalah:

a). Saudari istri (ipar perempuan) bagi suami.

b).Saudara suami (ipar laki-laki) bagi istri.

c). Istri dari paman dari pihak ayah atau ibu (bibi tiri).

d.Suami dari bibi dari pihak ayah atau ibu (paman tiri) dan seterusnya.

Alasan Mengapa Saudara/i Mertua Termasuk Mahram Ghairu Ta’biid:

Keharaman menikahi saudara/i mertua didasarkan pada prinsip larangan mengumpulkan dua wanita bersaudara atau wanita dengan bibinya dalam satu pernikahan. Hal ini sesuai dengan hadis dan penjelasan para ulama.
Tujuan dari larangan ini adalah untuk mencegah potensi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan keluarga.

Contoh: Seorang laki-laki tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya (adik ipar) atau bibi dari pihak istri (saudari ibu atau bapak istri) selama ia masih terikat pernikahan dengan istrinya. Namun, jika istrinya meninggal dunia atau diceraikan dan telah menyelesaikan masa iddah, maka laki-laki tersebut diperbolehkan menikahi saudara perempuan atau bibi dari mantan istrinya.

Implikasi Terhadap Wudhu’:
Karena saudara/i mertua bukan termasuk mahram muabbad atau ta’biid ( selamanya) melainkan mahram Ghairu ta’bid permanen, maka bersentuhan kulit secara langsung (tanpa penghalang) antara menantu laki-laki/perempuan dengan saudara/i mertua yang bukan mahram muabbad lain jenis dapat membatalkan wudhu’ menurut pandangan mayoritas ulama. Ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ( muabbad/ta’bid) dan tidak ada penghalang yang tebal dapat membatalkan wudhu’.

Kesimpulan:
Saudara/i dari mertua termasuk dalam kategori bukan mahram selamanya ( على التأبيد ) akan tetapi mahram ghairu ta’biid. Karena keharaman mengumpulkan dua perempuan. Oleh karenanya Status kemahraman ini bersifat sementara selama ikatan pernikahan dengan anak mereka ( mertua) masih berlangsung. Maka, dalam kondisi normal (tidak ada ikatan pernikahan dengan anak mereka), mereka adalah bukan mahram , dan bersentuhan kulit dengan mereka yang bukan mahram (lain jenis) dapat membatalkan wudhu’. Adapun larangan mengumpulkan (menggabungkan ) antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya.” Berdasarkan Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berikut:

Referensi:

فقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي ج٤ص-٢٩

ودليل ذلك: ما رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة – رضي الله عنه -، أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: ” لا يُجمعُ بين المرأة وعَمَّتها، ولا بين المرأة وخالتها “.
(البخاري: النكاح، باب: لا تنكح المرأة على عمّتها، رقم: ٤٨٢٠. مسلم: النكاح، باب: تحريم الجمع بين المرأة وعمّتها … ، رقم: ١٤٠٨.
الحكمة من هذا التحريم:
والحكمة من تحريم الجمع بين مَن ذكرنَ ما في هذا الجمع من إيقاع الضغائن بين الأرحام، بسبب ما يحدث بين الضرائر من الغيرة.
روى ابن حبان: (أن النبي – صلى الله عليه وسلم – نهى أن تُزوّج المرأة على العمّة والخالة، وقال: إنّكنّ إذا فعلتنّ ذلك قطعتنّ أرحامكم).
وأخرج أبو داود في المراسيل عن عيسى بن طلحة قال: (نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن تنكح المرأة على قرابتها مخافة القطيعة). [نيل الأوطار: ٦/ ١٥٧]. فإذا ماتت واحدة منهنّ أو طٌلِّقت، وانقضت عدّتها حلّت الأخرى.

Fiqih Manhaji Ala Mazhab Imam Syafi’i Jilid 4 Halaman 29
Dalil untuk itu:
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya.”
(HR. Bukhari: Kitab Nikah, Bab: Tidak boleh menikahi wanita bersama bibinya, nomor: 4820. Muslim: Kitab Nikah, Bab: Haramnya menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya…, nomor: 1408.)
Hikmah dari pengharaman ini:
Hikmah dari pengharaman menggabungkan antara wanita-wanita yang disebutkan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan di antara kerabat, disebabkan oleh kecemburuan yang terjadi di antara para madu.
Ibnu Hibban meriwayatkan: (Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi seorang wanita bersama bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya jika kalian melakukan hal itu, kalian akan memutuskan tali silaturahim kalian.”)
Abu Daud meriwayatkan dalam Al-Marasil dari Isa bin Thalhah, ia berkata: (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi seorang wanita bersama kerabatnya karena khawatir terjadinya pemutusan hubungan kekerabatan.) [Nailul Authar: 6/157]. Maka, jika salah satu dari mereka meninggal atau diceraikan, dan masa iddahnya telah selesai, maka halal bagi yang lain (untuk dinikahi).

الحاوي الكبير، ج: ١٨، ص: ٧٢.
والجواب الثاني: أنه تعليل يوجب اعتبار العتق بالنكاح وهما مفترقان، لأن النكاح أعم تحريماً من العتق، لأنه يتجاوز تحريم النسب إلى تحريم السبب من رضاع ومصاهرة، والعتق يقصر عنه في النسب، فيقتصر عنه في السبب. ولئن كان إبراهيم النخعي قد اعتبر كل محرمة بنسب وسبب، فإن أبا حنيفة لا يعتبر المحرمة بالسبب من رضاع أو مصاهرة. وإنما يعتبرهما بالنسب من أبوة أو بنوة، فكان التعليل بها أولى من التعليل بالتحريم.

Al-Hawi al-Kabir, Juz 18, Halaman 72.
Jawaban kedua: Sesungguhnya itu adalah alasan yang mengharuskan pertimbangan pembebasan budak dengan pernikahan, padahal keduanya terpisah. Karena pernikahan lebih umum keharamannya daripada pembebasan budak, sebab pernikahan melampaui keharaman nasab (keturunan) hingga keharaman sebab (perkawinan) dari persusuan dan hubungan perkawinan. Sedangkan pembebasan budak terbatas pada nasab, sehingga terbatas pula pada sebab. Seandainya Ibrahim an-Nakha’i menganggap setiap wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, maka Abu Hanifah tidak menganggap wanita yang haram dinikahi karena sebab dari persusuan atau hubungan perkawinan. Beliau hanya menganggapnya haram karena nasab dari jalur ayah atau anak. Oleh karena itu, alasan dengan nasab lebih utama daripada alasan dengan keharaman secara umum.

فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب (ص: ١١٦):
فصل: (والمحرمات) أي المحرم نكاحهن (بالنسب أربع عشرة) وفي بعض النسخ أربعة عشر (سبع بالنسب وهن الأم وإن علت والبنت وإن سفلت) وأما المخلوقة كانت من ماء زنى شخص، فتحل له على الأصح وإن مع الكراهة وسواء كانت المزني بها مطاوعة أو لا، وأما المرأة فلا يحل لها ولدها من الزنى (والأخت) شقيقة كانت أو لأب أو لأم (والخالة) حقيقة أو بواسطة خالة الأب أو الأم (والعمة) حقيقة أو بواسطة عمة الأب (وبنت الأخ) وبنات أولاده من ذكر وأنثى (وبنت الأخت) وبنات أولادها من ذكر وأنثى، وعطف المصنف على قوله سابقاً سبع قوله هنا (واثنتان) أي المحرمات بالرضاع اثنتان (الأم من الرضاع) والأخت من الرضاع) وإنما اقتصر المصنف على الاثنتين للنص عليهما في الآية، وإلا فالمحرمة بالنسب تحرم بالرضاع أيضاً كما سيأتي التصريح به في كلام المتن (و) المحرمات بالرضاع (أربع بالمصاهرة) وهن (أم الزوجة) وإن علت أمهاتها سواء من نسب أو رضاع سواء وقع الدخول بالزوجة أم لا (والربيبة) أي بنت الزوجة (إذا دخل بالأم وزوجة الأب) وإن علا (وزوجة الابن) وإن سفل (والمحرمات السابقة حرمتها على التأبيد (وواحدة) حرمتها لا على التأبيد بل (من جهة الجمع) فقط (وهي أخت الزوجة) فلا يجمع بينها وبين أختها من أب أو أم بينهما بنسب أو رضاع ولو رضيت أختهما بالجمع

Fathul Qarib al-Mujib dalam Syarah Lafadz-lafadz at-Taqrib (Halaman 116):
Fasal: (Wanita-wanita yang haram dinikahi) yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi (karena nasab ada empat belas) dan dalam sebagian naskah empat belas (tujuh karena nasab, yaitu ibu dan terus ke atas, serta anak perempuan dan terus ke bawah). Adapun wanita yang tercipta dari air zina seseorang, maka halal baginya menurut pendapat yang lebih sahih meskipun dengan makruh, baik wanita yang berzina itu rela maupun tidak. Adapun wanita, maka tidak halal baginya anak hasil zina (saudara perempuan) baik sekandung, sebapak, atau seibu (bibi dari pihak ibu) baik bibi kandung atau bibi dari jalur kakek atau nenek dari pihak ibu (bibi dari pihak ayah) baik bibi kandung atau bibi dari jalur kakek dari pihak ayah (anak perempuan saudara laki-laki) dan anak perempuan dari keturunan mereka baik laki-laki maupun perempuan (anak perempuan saudara perempuan) dan anak perempuan dari keturunan mereka baik laki-laki maupun perempuan. Mushannif mengathafkan (menghubungkan) pada perkataannya yang sebelumnya yaitu tujuh, dengan perkataannya di sini (dan dua) yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi karena persusuan ada dua (ibu dari persusuan) dan (saudara perempuan dari persusuan). Mushannif hanya membatasi pada dua karena adanya nash (dalil) tentang keduanya dalam ayat. Jika tidak, maka wanita yang haram karena nasab juga haram karena persusuan sebagaimana akan datang penjelasannya dalam matan (dan) wanita-wanita yang haram dinikahi karena persusuan (ada empat karena hubungan perkawinan) yaitu (ibu mertua) meskipun ibu dari ibu (istri) dan terus ke atas, baik karena nasab maupun persusuan, baik telah terjadi hubungan suami istri dengan anak perempuannya atau belum (anak tiri perempuan) yaitu anak perempuan istri (jika telah berhubungan badan dengan ibunya, dan istri ayah) meskipun terus ke atas (dan istri anak laki-laki) meskipun terus ke bawah (dan wanita-wanita yang haram dinikahi sebelumnya, keharamannya adalah abadi (dan satu) yang keharamannya tidak abadi tetapi (karena alasan penggabungan) saja (yaitu saudara perempuan istri) maka tidak boleh menggabungkan antara dia dan saudara perempuannya baik sebapak atau seibu, baik ada hubungan nasab maupun persusuan di antara keduanya, meskipun saudara perempuan istrinya rela untuk digabungkan.

الباجوري ج ١ ص ٦٩-٧٠

(وقوله و الرابع) أي من نواقض الوضوء (قواه لمس الرجل المرأة) هكذا في بعض النسخ بالإضافة من إضافة المصادر للمفاعيل أو لأنه أفادوا لمس المفعول به أو لأنه على عكس السابق بعض المسائل الرابطة الرجل من كلام اللمس لكن لزيادة الشارح وهو يجري فيه ما ذكر من إضافة المصادر للمفاعيل أو مفعول به وزيادة الرجل على بعض النسخ وتقديره لمس المرأة الرجل التقى الأفقي وهو معيب عندهم هناك قول بجوازه نظره لكون الشرح وافق المتن الواحد لكن غالب النسخ فيها فقط الرجل من اللمس وينتقض وضوء كل منهما مع قصد أو وجود شهوة أو كونه الرجل هو المباشر أو كونهما أجنبيين ولو كان على غير صورة الآدمي حيث تحققت المخالفة الكبرى ولو تمكن حتى لو كان شراً والنقض الحسن وهو أن يكون بين مختلفين كورة و أن لا يخرج بذلك الرجل والمرأة من الخنثى والمشتبه والخشي والمرأة من الصبي وغير المشتهي فيخرج الشريح والنظر فلا ينقض حتى منها الخلاف النظر إذا كشفها له ينقض ثالثها أن يكون كل منهما بالغاً مشتهوة عرفاً عند أهل الطباع السليمة فغير بالغ لم أحدها لم الشهوة فلا ينقض رابعها عدم الحرمية ولو كان هناك محرمية ولو احتمالا فلا ينقض خامساً أن لا يكون بحائل دقيق كأن كان عاقلاً ولو رقيقاً فلا ينقض بل يعبر غالباً من كلام المتن والشرح ولو تصور صورة الرجل صورة امرأة أو عكس فلا ينقض في الأول لأنه لم يتحقق اللمس بأن لم يتبين له وإنما انغمضت صورة البعض والملومس الرجل لما استركته عن قصده فإنه حينئذ تبدل حكمه بأن فقدانه تبدل صفته تغير بلموس غير أصفائه وكذا يحتمل الحرم بلمس النفس ولم يوسع المصنف سبر الذرع الصف الآخر فترجحه بتغير الصف الثاني وفي الصف المنسوخ حجر ما يفسد يحتمل أن يجعل اللمس المجرد كالمظنة ولا ينقض المدنو لبيان ولو وجد جزءاً من أركان كان تحت ثيابي عليه اسم المرأة فلا ينقض واللائق (قواه الأجنبية) أي يقينا فسر الشارح بقوله غير المحرم فخرج المحرم فلا ينقض بسهولة لو لاشئ من الحرمة فلا ينقض لأن الطهر لا يرفع بالشك

Perkataannya, dan yang keempat, yaitu dari hal-hal yang membatalkan wudhu’, (kekuatannya adalah menyentuh laki-laki kepada perempuan). Demikianlah dalam sebagian naskah dengan penambahan dari penambahan mashdar (kata dasar yang berfungsi sebagai objek) kepada maf’ul (objek), atau karena mereka (para ulama) memahami menyentuh objek (perempuan), atau karena berbeda dengan masalah-masalah sebelumnya yang mengaitkan laki-laki dari sisi menyentuh. Akan tetapi, untuk tambahan dari syarih (penjelas kitab) dan apa yang ia jalankan di dalamnya berupa apa yang disebutkan dari penambahan mashdar kepada mafa’il atau maf’ul bih, dan penambahan kata “laki-laki” pada sebagian naskah, dan perkiraannya adalah “menyentuh perempuan kepada laki-laki yang bertemu kulitnya secara langsung”, dan ini dianggap cacat menurut mereka. Di sana ada pendapat yang membolehkannya, dengan alasan bahwa penjelasan sesuai dengan matan (teks utama) yang satu. Akan tetapi, mayoritas naskah hanya menyebutkan “laki-laki dari menyentuh”, dan wudhu’ keduanya batal dengan adanya maksud (kesengajaan) atau adanya syahwat (keinginan), atau karena laki-laki yang langsung menyentuh, atau karena keduanya adalah orang asing (bukan mahram), meskipun dalam bentuk yang bukan bentuk manusia jika terwujud perbedaan yang besar (antara laki-laki dan perempuan). Bahkan jika memungkinkan meskipun dengan paksaan, dan pembatalan yang baik adalah jika terjadi antara dua jenis yang berbeda (laki-laki dan perempuan dewasa), dan tidak keluar dari pengertian itu laki-laki dan perempuan yang khuntsa musykil (berkelamin ganda yang tidak jelas), khasi (laki-laki yang dikebiri), dan perempuan dari anak kecil dan yang tidak memiliki syahwat, maka dikecualikan syarih dan nadzar (melihat), maka tidak batal wudhu’ darinya hingga ada perbedaan pendapat tentang melihat jika ia membukanya untuknya, maka batal. Yang ketiga, hendaknya keduanya baligh (dewasa) dan memiliki syahwat menurut kebiasaan ahli tabiat yang sehat, maka yang tidak baligh atau salah satunya tidak memiliki syahwat maka tidak batal. Yang keempat, tidak adanya hubungan mahram. Jika ada hubungan mahram, meskipun hanya dugaan, maka tidak batal. Yang kelima, tidak adanya penghalang yang tipis, seolah-olah berakal dan tipis, maka tidak batal. Bahkan biasanya disebutkan dari perkataan matan dan syarih, meskipun terbayang bentuk laki-laki seperti perempuan atau sebaliknya, maka tidak batal pada yang pertama karena tidak terwujud sentuhan karena tidak jelas baginya, melainkan tersembunyi bentuk sebagian, dan yang disentuh adalah laki-laki karena ia menariknya dari maksudnya, maka saat itu berubah hukumnya karena ketiadaannya mengubah sifatnya, berubah dengan sentuhan yang bukan sifatnya. Demikian pula kemungkinan haram dengan menyentuh diri sendiri, dan mushannif (penulis kitab) tidak memperluas penelitian tentang pendapat lain, maka ia mengunggulkannya dengan perubahan pendapat kedua, dan pada pendapat yang dinasakh (dihapus hukumnya) ada hal yang merusak, kemungkinan menjadikan sentuhan semata seperti dugaan, dan tidak batal karena adanya penjelasan, meskipun ditemukan sebagian dari rukun (wudhu’) yang ada di bawah pakaiannya ada nama perempuan, maka tidak batal. Dan yang layak adalah (kekuatannya adalah orang asing), yaitu qiya’uhu (budak perempuannya). Syarih menafsirkannya dengan perkataannya “bukan mahram”, maka dikecualikan mahram, maka tidak batal dengan mudah jika tidak ada sesuatu pun dari keharaman, maka tidak batal karena kesucian tidak diangkat dengan keraguan.

وذَلِكَ كَما اختلط محرمه بِأَجْنَبِيَّاتٍ غَيْرٍ محصورة وَتزَوج وَاحد منهُنَّ فَلَا نقض أيضا على الْمُتَعَمد خلافا لإبن ِعَبْدِ الْحق كَالخطبِيبِ كَذَا لزَوْجُتهُ إِذَا اسْتَلْحَقَهَا ولم يصدقه فإن النسبَ يسبت لَا يَنْفَسِخُ نِكَاحُهُ وَلَا يَنتقض وُضُوهُ عَلَى الْمعتمدِ وَلامانع مِن تبعيضِ الْأَحْكَامِ قَالَ بَعْضُهُمْ وَلَيْسَ لنا من ينكح أخته فى الإسلام إلا هَذَا (قَوْلُهُ وَلَوْ ميتة ) وَكَذَاكَ عكسه فلو قال وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا ميتا لكَانَ أَعم وَوقع للنووى فى رؤوس المسائل أنه رجع عدم النقض بلمس الميت والميتة وعد من السهو ولا يَنْتَقِضُ وُضُوءُ الْمَيِّتِ (قَوْلُهُ وَالْمُرَادُ بِالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ذكر وَأُنْثَى إِلَخْ) أَيْ وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِمَا الذَّكَرَ الْبَالِغَ وَالْأُنْثَى الْبَالِغَةَ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ حَقِيقَتَهُمَا وَالْخُرْجُ الصَّبِيُّ وَالصَّبِيَّةُ وَإِنْ بَلَغَا حَدّ الشَّهْوَةِ (قَوْلُهُ بلغا حد الشَّهْوَةِ) أَيْ يَقِينا فَلَوْ شَكَّ فَلَا نْقض وَضَابِطُ الشَّهْوَةِ انْتِشَارُ آلَةِ إنتشار الرَّجُلِ وَمَيْلُ الْقَلْبِ فى المرأة وقوله عرفا أى عند أرباب الطباع السليمة كالإمام الشافعي والسيدة نفسية ولاتنقض صغيرة ويصغير لم يبلغ كل منهما حد الشهوة بخلاف مالم بلغا ها وإن انتفت بعد ذلك لنحو هرم لأنه مامن ساقط الا ولها لاقطة

Dan demikian itu seperti bercampurnya mahramnya dengan perempuan-perempuan ajnabi (bukan mahram) yang tidak terhitung, lalu menikahi salah satu dari mereka, maka tidak batal pula (wudhunya) bagi orang yang sengaja, berbeda dengan pendapat Ibnu Abdil Haq seperti orang yang berkhotbah. Demikian pula istrinya jika ayahnya mengakui (sebagai anaknya) dan suaminya tidak membenarkannya, maka nasab itu tetap dan pernikahannya tidak fasakh, dan tidak mengkhususkan wudhunya atas kesengajaan dan amanah dari sebagian hukum. Sebagian ulama berkata, “Dan tidaklah bagi orang yang dinikahi untuk tinggal kecuali bersamanya.” Ini adalah (perkataannya), “Meskipun mayat.” Dan demikian pula kebalikannya, seandainya dikatakan, “Meskipun salah satunya mayat,” maka itu lebih umum. Dan telah terjadi pada Imam Nawawi dalam Rau’us al-Masa’il bahwa beliau kembali dari pendapat tidak batalnya wudhu’ dengan menyentuh mayat laki-laki dan perempuan, dan itu dianggap dari kelupaan. Dan tidak batal wudhunya mayat. (Perkataannya, “Dan yang dimaksud dengan laki-laki dan perempuan adalah dzakar dan unsta, dst.”) Yaitu, dan yang dimaksud dengan keduanya bukanlah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa, meskipun itu hakikat keduanya. Dan yang dikecualikan adalah anak laki-laki dan anak perempuan, meskipun keduanya telah mencapai batas syahwat. (Perkataannya, “Mencapai batas syahwat”) Yaitu, dengan yakin. Maka jika ragu, maka tidak batal. Dan tolok ukur syahwat adalah ereksi alat kelamin laki-laki dan condongnya hati pada perempuan. Dan perkataannya, “Menurut kebiasaan,” yaitu menurut pemilik tabiat yang sehat, seperti Imam Syafi’i dan wanita yang suci hatinya. Maka tidak batal (wudhunya) anak laki-laki kecil dan anak perempuan kecil yang keduanya belum mencapai batas syahwat, berbeda dengan keduanya yang telah mencapai batas syahwat meskipun setelah itu hilang (syahwatnya) karena usia tua, karena tidak ada sesuatu yang jatuh kecuali ada yang memungutnya.

(وقوله والمراد بالمحرم ) أى الذي هو مفهوم من نكاحها ونكاح أمهاتها الأجنبية السابقة أي الذي هو مفهوم الأجنبية (قوله من حرم نكاحها) خرج بذلك من لا يحرم نكاحها وهي الأجنبية السابقة وقوله لأجل نسب أو قرابة كما فى الأم والبنت والأخت وقوله أو رضاع كالأم من الرضاع وقوله أو مصاهرة أى ارتباط يشبه القرابة كما في أم الزوجة وبنتها وزوجة الأب وزوجة الابن وخرج بذلك أخت الزوجة وعمتها وخالتهم أم الموطوءة بشبهة بنتها وزوجاته صلى الله عليه وسلم فإن كلامنهن ليس محرما لأن تحريم ليس بنكاحهن لأجل نسب ولارضاع ولامصاهرة ولاجل التوضيح عدل عن قولهم في تعريف المحرم من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها فخرج بقولهم على التأبيد أخت الزوجة بنتها وعمتها وخالتها فإن تحريمهن ليس على التأبيد بل من جهة الجمع وبقولهم بسبب مباح بنت المطوأة بشبهة أمها لأن تحريمهما ليس بسبب مباح إذ وطئ الشبهة لايتصف بإباحة ولاغيرها وبقولهم لحرمتها زوجاته صلى الله عليه وسلم فإن تحريمهن لحرمته صلى الله عليه وسلم

(Ucapan penulis: “Yang dimaksud dengan mahram”) yaitu orang yang dipahami sebagai mahram dari pernikahan wanita tersebut dan pernikahan ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya, maksudnya adalah orang yang dipahami sebagai bukan mahram (ucapan penulis: “orang yang haram dinikahi”) mengecualikan orang yang tidak haram dinikahi, yaitu ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya (ucapan penulis: “karena nasab atau kekerabatan”) seperti ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan (ucapan penulis: “atau karena persusuan”) seperti ibu susuan (ucapan penulis: “atau karena mushaharah”) yaitu hubungan yang menyerupai kekerabatan, seperti ibu mertua, anak perempuan tiri, ibu tiri, dan menantu perempuan. Dikecualikan dari pengertian mahram ini adalah saudara perempuan istri, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat, anak perempuannya, dan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena mereka ini tidak termasuk mahram, sebab keharaman menikahi mereka bukan karena nasab, bukan karena persusuan, dan bukan karena mushaharah. Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, penulis tidak menggunakan definisi mahram yang biasa diungkapkan oleh para ulama, yaitu “orang yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (dibolehkan) karena kemuliaannya”. Ungkapan “selamanya” mengecualikan saudara perempuan istri, anak perempuannya, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu, karena keharaman menikahi mereka tidak bersifat selamanya, melainkan karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka dalam pernikahan. Ungkapan “karena sebab yang mubah” mengecualikan ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat dan anak perempuannya, karena keharaman menikahi mereka bukan karena sebab yang mubah, sebab persetubuhan karena syubhat tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mubah maupun tidak mubah. Ungkapan “karena kemuliaannya” mengecualikan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, karena keharaman menikahi mereka adalah karena kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
(Perkataan pengarang) “Yang dimaksud dengan mahram” yaitu yang dipahami dari pernikahan wanita tersebut dan pernikahan ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya, yaitu yang dipahami dari wanita yang bukan mahram.
(Perkataan pengarang) “yaitu wanita yang haram dinikahi”. Dengan demikian, tidak termasuk wanita yang tidak haram dinikahi, yaitu wanita yang bukan mahram sebelumnya.
(Perkataan pengarang) “karena nasab atau kekerabatan”, seperti ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan.
(Perkataan pengarang) “atau karena persusuan”, seperti ibu susuan.
(Perkataan pengarang) “atau karena pernikahan (mushaharah)”, yaitu hubungan yang menyerupai kekerabatan, seperti ibu mertua, anak perempuan tiri, istri ayah, dan istri anak laki-laki.
Dengan demikian, tidak termasuk saudara perempuan istri, bibi dari pihak ayah dan ibu, ibu dari wanita yang digauli karena syubhat, anak perempuannya, dan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena mereka semua tidak termasuk mahram, sebab keharaman menikahi mereka bukan karena nasab, persusuan, atau pernikahan.
Untuk memberikan penjelasan, pengarang beralih dari definisi mahram yang biasa diucapkan, yaitu “wanita yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (dibolehkan) karena kehormatannya”.
Dengan perkataan “selamanya”, maka tidak termasuk saudara perempuan istri, anak perempuannya, bibi dari pihak ayah dan ibu, karena keharaman menikahi mereka tidak bersifat selamanya, melainkan karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka (dalam satu pernikahan).
Dengan perkataan “karena sebab yang mubah”, maka tidak termasuk ibu dari wanita yang digauli karena syubhat dan anak perempuannya, karena keharaman menikahi mereka bukan karena sebab yang mubah, sebab persetubuhan karena syubhat tidak bersifat mubah atau tidak mubah.
Dengan perkataan “karena kehormatannya”, maka tidak termasuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena keharaman menikahi mereka adalah karena kehormatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

DILEMA PENGALIHAN FUNGSI WAKAF MUSHOLLAH MENJADI SEKOLAH

Dilema Pengalihan Fungsi Wakaf Mushollah Menjadi Sekolah: Perspektif Hukum di Indonesia

Deskripsi Masalah:
Seseorang telah mewakafkan sebidang tanah secara resmi dengan tujuan spesifik untuk dibangun mushollah yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan kegiatan mengaji. Mushollah tersebut telah berdiri dan digunakan sesuai dengan peruntukannya selama bertahun-tahun. Namun, seiring berjalannya waktu dan adanya perkembangan dari alumni santri, muncul inisiatif untuk mengubah fungsi mushollah menjadi sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA). Alasan perubahan ini adalah anggapan bahwa tujuan keduanya sama, yaitu untuk pendidikan. Akibatnya, mushollah dialihfungsikan menjadi sekolah, dan bangunan sekolah didirikan di atas lahan wakaf tersebut. Lebih lanjut, pengelolaan sekolah ini menghasilkan manfaat dan penghasilan yang digunakan untuk kepentingan pribadi pengelola.


Pertanyaan :
1.Menurut hukum wakaf yang berlaku di Indonesia, apakah diperbolehkan mengubah peruntukan tanah wakaf yang awalnya ditujukan secara spesifik untuk mushollah menjadi sekolah (TK/RA)?
2.Apabila perubahan peruntukan wakaf tersebut tidak diperbolehkan menurut hukum, bagaimana status hukum bangunan sekolah yang telah terlanjur didirikan di atas lahan wakaf tersebut?

Waalaikumsalam
Jawaban

Jawaban 1:
Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf dari Mushollah Menjadi Sekolah (TK/RA)
Tidak diperbolehkan mengubah peruntukan tanah wakaf yang telah ditetapkan secara spesifik untuk mushollah menjadi sekolah (TK/RA). Hal ini didasarkan pada prinsip utama dalam hukum wakaf yang menyatakan bahwa syarat pewakif (orang yang mewakafkan) harus diikuti dan dihormati.

Jawaban 2:
Status Hukum Bangunan Sekolah yang Terlanjur Didirikan di Atas Lahan Wakaf
Apabila perubahan peruntukan wakaf tersebut tidak diperbolehkan menurut hukum, maka status hukum bangunan sekolah yang telah terlanjur didirikan di atas lahan wakaf adalah tidak sah (ghasab/rampasan hak wakaf).

Kesimpulan:
Pengalihan fungsi tanah wakaf dari mushollah menjadi sekolah (TK/RA) dalam kasus ini tidak diperbolehkan menurut hukum wakaf di Indonesia, karena bertentangan dengan syarat spesifik yang ditetapkan oleh pewakif. Akibatnya, bangunan sekolah yang terlanjur didirikan di atas lahan wakaf tersebut berstatus tidak sah dan wajib dipertimbangkan untuk dikembalikan ke fungsi semula sesuai dengan wasiat wakif. Pengelolaan sekolah untuk kepentingan pribadi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pengelolaan wakaf.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini secara hukum, sebaiknya pihak-pihak terkait (nadzir wakaf, ahli waris pewakif jika masih ada, dan pihak pengelola sekolah) berkonsultasi dengan ahli hukum atau lembaga yang berwenang di bidang wakaf di Indonesia untuk mendapatkan solusi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Referensi


حاشية قليوبي (3 / 109)
تنبيه: لا يجوز تغيير شيء من عين الوقف، ولو لأرفع منهما فإن شرط الواقف العمل بالمصلحة اتبع شرطه، وقال السبكي: يجوز تغيير الوقف بشروط ثلاثة: أن لا يغير مسماه، وأن يكون مصلحة له كزيادة ريعه، وأن لا تزال عينه فلا يضر نقلها من جانب إلى آخر. نعم يجوز في وقف قرية على قوم إحداث مسجد ومقبرة وسقاية فيها
تحفة الحبيب على شرح الخطيب (3 / 627)
قوله: (وهو) أي الوقف من حيث صرفه غلته أو استحقاقه. قوله: (على ما شرط الخ) ما مصدرية أي مبني على اتباع شرط الواقف، أو موصولة أي اتباع ما شرطه الواقف ؛ فلو شرط الواقف أن لا يؤجر أو اختصاص نحو مسجد بطائفة اتبع شرطه رعاية لغرضه أي فشرطه كنص الشارع فلا يجوز العمل بخلافه. قوله: (الملك له) أي للواقف؛ لأنه إنما أنزل الملك عن فوائده، وهو مذهب مالك رضي الله عنه . وقوله (أم للموقوف عليه) وهو مذهب الإمام أحمد، والقولان ضعيفان في مذهبنا . قوله: (بمعنى أنه ينفك الخ) تفسير لمعنى الانتقال إليه تعالى، وإلا فكل الموجودات بأسرها ملك له تعالى في جميع الحالات بطريق الحقيقة، وغيره وإن سمي مالكاً فإنما هو بطريق التوسع والمجاز الشوري . قوله: (كما هو) أي قوله أم ينتقل إلى الله تعالى . قوله: (إذ مبنى الوقف) علة لقوله وهو على ما شرط الواقف ويلزم عليه تعليل الشيء بنفسه، فالأولى أن يعلل بقوله لأن شرط الواقف كنص الشارع شيخنا العشماوي وعلل في شرح المنهج بقوله رعاية لغرضه وعملاً بشرطه

Hasyiyah Qalyubi (3 / 109)
Peringatan: Tidak diperbolehkan mengubah sesuatu dari aset wakaf, meskipun dengan yang lebih tinggi nilainya. Jika pewakif mensyaratkan pelaksanaan sesuai kemaslahatan, maka syaratnya diikuti. Imam Subki berkata: Diperbolehkan mengubah wakaf dengan tiga syarat: tidak mengubah namanya, adanya kemaslahatan baginya seperti bertambahnya hasil, dan asetnya tetap ada meskipun dipindahkan dari satu sisi ke sisi lain tidak mengapa. Ya, diperbolehkan dalam wakaf suatu desa untuk suatu kaum, membangun masjid, kuburan, dan tempat minum di dalamnya.
Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khatib (3 / 627)
Perkataannya: (“وهو” – dananya) yaitu wakaf dari sisi penggunaan hasilnya atau haknya. Perkataannya: (“على ما شرط الخ” – sesuai dengan apa yang disyaratkan dll) “ma” di sini adalah mashdariyah (kata benda verbal) yaitu dibangun atas mengikuti syarat pewakif, atau mausulah (kata sambung) yaitu mengikuti apa yang disyaratkan pewakif; maka jika pewakif mensyaratkan untuk tidak disewakan atau dikhususkan untuk golongan tertentu seperti masjid, maka syaratnya diikuti karena menjaga tujuannya, yaitu syaratnya seperti nash syara’ maka tidak boleh menyelisihinya. Perkataannya: (“الملك له” – kepemilikan baginya) yaitu bagi pewakif; karena sesungguhnya ia hanya melepaskan kepemilikan dari manfaatnya, dan ini adalah mazhab Imam Malik radhiyallahu ‘anhu. Perkataannya: (“أم للموقوف عليه” – atau bagi pihak yang diwakafkan) dan ini adalah mazhab Imam Ahmad, dan kedua pendapat ini lemah dalam mazhab kami. Perkataannya: (“بمعنى أنه ينفك الخ” – dengan makna bahwa ia terlepas dll) adalah penjelasan makna perpindahan kepada Allah ta’ala, jika tidak demikian maka seluruh wujud adalah milik Allah ta’ala dalam segala keadaan secara hakiki, dan selain-Nya meskipun dinamakan pemilik, maka hanyalah secara perluasan dan majaz syurai. Perkataannya: (“كما هو” – sebagaimana adanya) yaitu perkataannya atau berpindah kepada Allah ta’ala. Perkataannya: (“إذ مبنى الوقف” – karena dasar wakaf) adalah illat (alasan) bagi perkataannya “وهو على ما شرط الواقف” (dananya sesuai dengan apa yang disyaratkan pewakif) dan mengharuskan adanya ta’lil (pemberian alasan) terhadap sesuatu dengan dirinya sendiri, maka yang lebih utama adalah memberikan alasan dengan perkataannya “karena syarat pewakif seperti nash syara'” (pendapat) Syaikhuna Al-‘Asymawi dan memberikan alasan dalam Syarhul Minhaj dengan perkataannya “karena menjaga tujuannya dan mengamalkan syaratnya”.

المجلد السابع من الفتاوى الفقهية الكبرى (7 / 200)
( وسئل ) رضي الله تعالى عنه عن أرض مشتركة على ثلاثة أرباعها وقف للغراس تهيأ لغيرها من سائر الضيعة وربعها طلق وقد صار لبعض أرباب الوقف بطريق الشراء وفي تلك الأرض مسجد صغير بناه الأوائل قبل أن يقف صاحب الثلاثة الأرباع حصته فاتفق أن أهل البلد يتركون تلك الضيعة بعض السنة من خوف الإفرنج ولم يكن في هذه الضيعة ماء سوى بركة واحدة بقرب المسجد المذكور واحتاجوا للمسجد فجاء بعض الناس وأحدث دكة شرقي المسجد بنية القرية ليصلي الناس عليها وجاء آخر وأحدث دكة أخرى قبلي المسجد أيضا واتصلت المنافذ من المسجد إلى الدكتين وأقاموا على هذا مدة . ولما رأى بعض أرباب الوقف حاجة الناس إلى المسجد واستمرت عادة البلد بالقلة إلى هذه الضيعة في كل سنة انتهض لعمارة تلك البقعة فأخرت الدكتين والمسجد وجعلهما مسجدا وقد بناه وخصصه بالجص طحة وسحنته فمنذ شرع في عمارته إلى الآن نحو اثني عشرة سنة والآن جمع شيئا من النورة وأراد ترميم المسجد وتفويضه فأشار إليه بعض طلبة العلم الشريف بأن بناء الأرض الموقوفة لا يجوز وأن ربعي أهل الوقف كان الفقهية حفظه الله تعالى لم ينظر المسألة فيما مضى من الزمان أو لم يحضره علم بالوقف وإلا فهذا الفقيه نفسه قد رام بناء هذه البقعة لما رأى حاجة الناس إلى المسجد فالآن المسجد قد بني والناس محتاجون له ولا في المدارك مسجد آخر غيره وقد بدا الخلل في سطحه وشرافاته إن لم يتدارك ويتعهد بالترميم وإلا خرب خرابا وأيضا عامر المسجد هو صاحب الربع . المطلق فلو أراد أن يعوض أهل الوقف بمثل مساحة المسجد أو بمثلها أو بتلك ريعة كله ويكون وقفا على مقتضى الوقف الأول فهل يثاب على ذلك ويخرج عن عهدة الإثم . فإن قلتم نعم فكيف صورة ذلك وإن قلتم لا فهل من حيلة أو رخصة ولو بتقليد بعض المذاهب في تبقية المسجد والاستمرار على عمارته وتعهده ولا تزال على المملوك بالشوال عن الرخصة فالأمر كما علمتم ولا يخفى كم مفسدة فإن قلتم لا رخصة ولا حيلة فهل تشيرون بخراب المسجد ومنع الصلاة فيه أم بالبقاء على حاله وتكلف وترميمه؟ وهما الحكم لو أن ذلك البني بني بأذن أرباب الوقف الكاملين ؟ فهل يسوغ لهم وله ذلك أم لا ؟ فإن قلتم لا يسوغ له ذلك وإن أذن له أرباب الوقف مراعاة لحق من سيأتي بعدهم من باقي البطون فهل تجب عليه المبادرة إلى هدم ورد الأرض إلى الحالة التي كانت عليها أو لا فإن قلتم نعم يجب عليه ذلك فلو أن الذي بناه امتنع من هدمه وحاول تثبيته ولم يرض بذلك فهل يجوز لكل أحد من الناس الصلاة والقعود فيه على الدوام ويصح الاعتكاف فيه لغيره أو لا فإن قلتم أيضا أو لا وهل يحرم على الجنب المكث فيه أو لا ولو أن ذلك البناء بناه مسجداً لما حكمه بعد ذلك هل ثوبهم هدم أم لا ولو أن في ذلك المسجد إماماً يصلي بالجماعة فيه دواماً فهل الأولى للشخص الصلاة معهم لأجل تحصيل ثواب فضيلة الجماعة أو الأولى تركه واعتزاله عنه وصلاته منفرداً بنيوا لنا ذلك ؟ ( فأجاب ) بقوله يجب هدم المسجد المذكور على كل من قدر على ذلك وإعادته على حالته الأولى لأن الواقف لما وقف بعض تلك الأرض للأغراض أبطل سائر وجوه الانتفاع بها بغير الغراس فلو جوزنا بناء مسجد فيها ولو بأذن الموقوف عليهم لزم إبطال غرض الواقف وتغيير معالم الوقف وذلك لا يجوز مطلقاً سواء احتاج الناس لمسجد أم لا وسواء أعوض باني تلك الزيادة على المسجد الأول أهل الوقف أضعافها أم لا نعم يجوز أن يرفع الأمر إلى حاكم يرى التعويض فإذا رفع إليه وحكم به جاز بناء تلك الزيادة والصلاة فيها وأما قبل الحكم بذلك فلا ينيت بتلك الزيادة أحكام المسجد ولا يجوز لأحد أن يقر بانيها على بنائها أو ترميمها ولا الصلاة فيها ولا الاعتكاف لأن الأرض حينئذ مغصوبة فيترتب على بانيها أحكام الغاصب إثماً وضماناً وزرعاً وغيره ولو كان باني تلك الزيادة يملك بعض أرضها فوقف ذلك البعض مسجداً ثبت لتلك حكم المسجد في حرمة الجلوس فيه على الجنب لا يرمى سواه ووقف ذلك البعض مسجداً لا يمنع البناء وجوب الهدم عليه بل يحرم عليه البناء ويجب هدمه ولا يجوز لأحد صلاة ولا اعتكاف فيه إن كان قد وقف ما ملكه مسجداً ، والله تعالى أعلم .

Fatwa-Fatwa Fikih Besar (7/200)
(Dan ditanyakan) – semoga Allah Ta’ala meridainya – tentang tanah musyarakah (milik bersama) yang tiga perempatnya diwakafkan untuk perkebunan yang disiapkan untuk selainnya dari seluruh perkebunan, dan seperempatnya adalah tanah merdeka yang telah menjadi milik sebagian pemilik wakaf melalui pembelian. Di tanah tersebut terdapat masjid kecil yang dibangun oleh orang-orang terdahulu sebelum pemilik tiga perempat tanah tersebut mewakafkan bagiannya. Kemudian terjadi bahwa penduduk negeri meninggalkan perkebunan tersebut sebagian tahun karena takut kepada orang-orang Frank (Eropa), dan di perkebunan tersebut tidak ada air kecuali satu kolam di dekat masjid yang disebutkan. Mereka membutuhkan masjid tersebut, lalu datanglah sebagian orang dan membuat serambi di timur masjid dengan niat untuk perkampungan agar orang-orang dapat salat di atasnya. Datang pula orang lain dan membuat serambi lain di selatan masjid juga, dan terhubunglah jalan masuk dari masjid ke kedua serambi tersebut, dan mereka tinggal dalam keadaan ini selama beberapa waktu. Ketika sebagian pemilik wakaf melihat kebutuhan orang-orang terhadap masjid dan kebiasaan penduduk untuk sedikit datang ke perkebunan ini setiap tahun terus berlanjut, ia berinisiatif untuk memakmurkan tempat tersebut, lalu ia mengakhirkan kedua serambi dan masjid, dan menjadikannya masjid, dan ia telah membangun dan mengkhususkannya dengan plester yang rata dan halus. Sejak ia mulai membangunnya hingga sekarang sekitar dua belas tahun, dan sekarang ia mengumpulkan sedikit kapur dan ingin merenovasi masjid dan menyerahkannya. Lalu sebagian penuntut ilmu yang mulia mengisyaratkan kepadanya bahwa membangun di atas tanah wakaf tidak diperbolehkan, dan bahwa seperempat bagian pemilik wakaf – semoga Allah Ta’ala menjaganya – tidak melihat masalah ini di masa lalu atau tidak hadir ilmunya tentang wakaf, jika tidak, maka ahli fikih ini sendiri telah berkeinginan untuk membangun tempat ini ketika melihat kebutuhan orang-orang terhadap masjid. Sekarang masjid telah dibangun dan orang-orang membutuhkannya, dan tidak ada masjid lain di perkampungan selainnya, dan telah tampak kerusakan pada atap dan serambi-serambinya, jika tidak segera diperbaiki dan dipelihara, maka akan rusak parah. Dan juga, orang yang memakmurkan masjid adalah pemilik seperempat tanah yang merdeka. Jika ia ingin mengganti kepada pemilik wakaf dengan luas masjid yang sama atau lebih, atau dengan seluruh hasil tanah tersebut dan menjadikannya wakaf sesuai dengan ketentuan wakaf pertama, maka apakah ia akan diberi pahala atas hal tersebut dan terlepas dari tanggung jawab dosa? Jika kalian menjawab ya, maka bagaimana bentuknya? Jika kalian menjawab tidak, maka apakah ada siasat atau keringanan, meskipun dengan mengikuti sebagian mazhab dalam mempertahankan masjid dan terus memakmurkan serta memeliharanya, dan tetap ada hak milik atas bagian yang merdeka? Karena kebolehan itu sebagaimana kalian ketahui, dan tidak tersembunyi betapa besar kerusakannya. Jika kalian menjawab tidak ada keringanan dan tidak ada siasat, maka apakah kalian menyarankan untuk menghancurkan masjid dan melarang salat di dalamnya, atau tetap membiarkannya dalam keadaan semula dan bersusah payah merenovasinya? Dan keduanya adalah hukum jika bangunan tersebut dibangun dengan izin dari pemilik wakaf yang sempurna? Apakah diperbolehkan bagi mereka dan baginya untuk melakukan hal tersebut atau tidak? Jika kalian menjawab tidak diperbolehkan baginya, meskipun pemilik wakaf mengizinkannya karena memperhatikan hak orang-orang yang akan datang setelah mereka dari keturunan yang tersisa, maka apakah wajib baginya untuk segera menghancurkan dan mengembalikan tanah ke keadaan semula atau tidak? Jika kalian menjawab ya, wajib baginya melakukan hal tersebut, maka jika orang yang membangunnya menolak untuk menghancurkannya dan berusaha untuk mempertahankannya dan tidak ridha dengan hal tersebut, maka apakah diperbolehkan bagi setiap orang untuk salat dan duduk di dalamnya secara terus-menerus dan sah untuk beriktikaf di dalamnya bagi selainnya atau tidak? Jika kalian menjawab ya atau tidak, maka apakah haram bagi orang junub untuk berdiam diri di dalamnya atau tidak? Dan jika bangunan tersebut dibangun sebagai masjid, bagaimana hukumnya setelah itu? Apakah pahala mereka terhapus atau tidak? Dan jika di dalam masjid tersebut ada seorang imam yang selalu salat berjamaah di dalamnya, maka apakah yang lebih utama bagi seseorang, salat bersama mereka untuk mendapatkan pahala keutamaan berjamaah, atau lebih utama meninggalkannya dan menyendiri darinya serta salat sendiri? Jelaskanlah kepada kami hal tersebut?
(Maka dijawab) dengan perkataannya: Wajib menghancurkan masjid yang disebutkan atas setiap orang yang mampu melakukannya dan mengembalikannya ke keadaan semula, karena orang yang mewakafkan sebagian tanah tersebut untuk tujuan perkebunan telah membatalkan seluruh bentuk pemanfaatan lainnya selain untuk perkebunan. Jika kita membolehkan membangun masjid di atasnya meskipun dengan izin dari orang-orang yang diwakafkan kepadanya, maka akan mengakibatkan pembatalan tujuan orang yang mewakafkan dan perubahan ciri-ciri wakaf, dan hal itu tidak diperbolehkan secara mutlak, baik orang-orang membutuhkan masjid atau tidak, dan baik orang yang membangun tambahan pada masjid pertama mengganti kepada pemilik wakaf berlipat ganda atau tidak. Ya, diperbolehkan untuk mengajukan masalah ini kepada hakim yang melihat adanya penggantian. Jika masalah tersebut diajukan kepadanya dan ia memutuskan demikian, maka diperbolehkan membangun tambahan tersebut dan salat di dalamnya. Adapun sebelum adanya keputusan tersebut, maka tidak berlaku hukum-hukum masjid pada tambahan tersebut, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk mengakui orang yang membangunnya atas bangunannya atau renovasinya, dan tidak pula salat di dalamnya atau beriktikaf, karena tanah tersebut pada saat itu adalah tanah yang dirampas, maka berlaku bagi orang yang membangunnya hukum-hukum perampas berupa dosa, tanggung jawab ganti rugi, penanaman, dan lain-lain. Dan jika orang yang membangun tambahan tersebut memiliki sebagian tanah tersebut lalu ia mewakafkan sebagian tersebut sebagai masjid, maka berlaku bagi bagian tersebut hukum masjid dalam hal haramnya duduk di dalamnya bagi orang junub, tidak boleh dilempari selainnya. Dan mewakafkan sebagian tanah tersebut sebagai masjid tidak mencegah kewajiban menghancurkan bangunan tersebut, bahkan haram baginya membangunnya dan wajib menghancurkannya, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun salat atau beriktikaf di dalamnya jika ia telah mewakafkan apa yang dimilikinya sebagai masjid, dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui.

الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 162)
( قوله ولو يخف من إخراجها تلف معصوم ) قيد في السفينة فقط ، وأما في البناء فتنقلع ولو تلف بسبب القلع أضعاف قيمتها من مال الغاصب لا من مال غيره ا هـ . س ل لكن قول الشارح الآتي ولو يخف تلف المعصوم في الأولى من زيادتي صريح في أنه قيد في الأولى أيضاً ، وعبارة شرح م ر ولو غصب خشبة مثلا وبنى عليها في ملكه أو غيره ولم يخف من إخراجها تلف نحو نفس أو مال معصوم أخرجت ولو تلف من مال الغاصب أضعاف قيمتها لتعديه انتهت . ( قوله ولم يخف من إخراجها ) الظاهر أن المراد بالتلف ما يشمل نقص الصفة كابتلال القمح ا هـ . ح ل . ( قوله تلف معصوم ) أي ولو لغاصب قال ابن النقيب وينبغي أن يلحق به ما يبيح التيمم إلا الشيئ أي في غير الآدمي ا هـ

Al-Asybah wa an-Nazhair li as-Suyuthi (hal. 162)
(Perkataan pengarang: “Walaupun dikhawatirkan dengan mengeluarkannya akan merusak barang yang terjaga”) Ini hanya berlaku pada kapal. Adapun pada bangunan, maka bangunan itu dicabut meskipun karena pencabutan itu nilai barang yang dirusak berlipat ganda dari harta orang yang merampas, bukan dari harta orang lain. S (Syekh Sulaiman al-Jamal) berkata: Akan tetapi perkataan pensyarah yang akan datang, “Walaupun dikhawatirkan rusaknya barang yang terjaga pada kasus pertama dari tambahanku,” jelas menunjukkan bahwa itu juga berlaku pada kasus pertama. Dan ibarat Syarah M.R. (Syarah al-Minhaj): “Walaupun seseorang merampas kayu misalnya dan membangunnya di tanah miliknya atau tanah orang lain, dan tidak dikhawatirkan dengan mengeluarkannya akan merusak seperti jiwa atau harta yang terjaga, lalu dikeluarkan, dan jika rusak dari harta orang yang merampas berlipat ganda nilainya karena tindakannya yang melampaui batas, maka selesai.” (Perkataan pengarang: “Dan tidak dikhawatirkan dengan mengeluarkannya akan rusak”) Yang tampak adalah bahwa yang dimaksud dengan rusak mencakup berkurangnya sifat, seperti basahnya gandum. H.L. (Hasyiyah al-Hamawi ‘ala Syarah al-Minhaj) berkata. (Perkataan pengarang: “Barang yang terjaga”) Yakni walaupun bagi perampas. Ibnu Naqib berkata: Seyogianya diikutkan dengannya apa yang membolehkan tayamum kecuali sesuatu (najis) yaitu selain manusia. H.

القاعدة الأربعون إذا اجتمع السبب والفروع والمباشرة قدمت المباشرة من فروعها لو أكل المالك طعامه المغصوب جاهلاً به فلا ضمان على الغاصب في الأظهر ……….. إلى أن قال ……… ومنها إذا أفتاه أهل الفتوى بإتلاف ثم تبين خطؤه فالضمان على المفتي

Kaidah keempat puluh: Jika berkumpul sebab, cabang, dan tindakan langsung, maka didahulukan tindakan langsung dari cabangnya. Jika pemilik memakan makanannya yang dirampas karena tidak tahu, maka tidak ada tanggungan atas perampas menurut pendapat yang lebih kuat. … Hingga perkataannya … Di antaranya adalah jika ahli fatwa memberikan fatwa untuk merusak, kemudian jelas kesalahannya, maka tanggungan ada pada pemberi fatwa.

Kategori
Uncategorized

KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PASIR

Konflik Kepentingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pasir Sungai

Deskripsi Masalah:

Pembangunan rumah individu mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, didorong oleh perkembangan lapangan kerja yang maju dan peningkatan pendapatan ekonomi. Di sisi lain, ketersediaan bahan bangunan semakin terbatas. Sebagai alternatif, sebagian masyarakat mengambil pasir dari sungai. Sungai sendiri merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia, tidak hanya untuk irigasi tetapi juga mengandung berbagai sumber daya alam yang bermanfaat, termasuk pasir yang menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian penambang. Ironisnya, beberapa penambang pasir mengklaim kepemilikan atas area sungai tertentu dan melarang orang lain untuk mengambil pasir di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa tanah di tepi sungai adalah milik mereka.

Pertanyaan:

  1. Benarkah pasir yang ada dalam sungai yang terletak di kanan-kiri tanah milik seseorang milik orang tersebut.?
  2. Bagaimana hukum penambang pasir yang melarang orang lain untuk mengambilnya dengan alasan di atas
  3. Bagaimana jika orang lain mengambil pasir tersebut?

Waalaikumsalam

Jawaban.No.1
Menurut Hukum Islam
Tidak benar secara mutlak bahwa pasir yang ada di dalam sungai yang terletak di kanan-kiri tanah milik seseorang otomatis menjadi milik orang tersebut. Dalam perspektif fikih, air sungai adalah milik bersama (mubah) dan semua orang berhak memanfaatkannya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik:

النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ


“Manusia berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput, dan api.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Kitab Ahkam, Bab Al-Hurum, nomor hadis 2471.
Imam Ibnu Majah sendiri menilai sanad hadis ini sebagai jayyid , yang berarti baik.
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa, sumber daya alam seperti air sungai pada dasarnya adalah untuk kepentingan umum dan tidak dapat dikuasai secara eksklusif oleh individu hanya karena kepemilikan tanah di tepiannya.
Meskipun demikian, ada beberapa detail yang perlu diperhatikan dalam fikih yaitu:
Hak Mendahului (Sabq): Jika seseorang atau suatu kaum pertama kali memanfaatkan air sungai untuk mengairi tanahnya dan air tersebut menjadi terbatas, maka mereka lebih berhak atas air tersebut hingga batas yang wajar (disebutkan dalam referensi hingga “dua telapak tangan”).

Pemanfaatan Skala Kecil: Pengambilan air atau mungkin juga pasir dalam skala kecil untuk kebutuhan pribadi dan tidak merugikan orang lain atau lingkungan mungkin memiliki pandangan yang lebih toleran dalam batasan urf (kebiasaan setempat) yang tidak bertentangan dengan prinsip umum.

Menurut Hukum Positif Indonesia:

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, kepemilikan tanah di tepi sungai tidak memberikan hak kepemilikan atas sumber daya alam di dalam sungai, termasuk pasir. Sungai dan isinya adalah milik negara.

Jawaban.No.2
Menurut Hukum Islam.
Tindakan penambang pasir yang melarang orang lain mengambil pasir dari sungai hanya dengan alasan kepemilikan tanah di tepi sungai tidak memiliki dasar yang kuat dalam fikih. Mengingat prinsip bahwa air sungai (dan sumber daya di dalamnya) adalah milik bersama, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk menghalang-halangi orang lain memanfaatkannya, kecuali dalam kondisi yang sangat spesifik seperti hak mendahului dalam pengairan.
Jika pelarangan tersebut disertai dengan tindakan yang merugikan atau melampaui batas, maka hal itu dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Menurut Hukum Positif Indonesia:

Tindakan penambang pasir yang melarang orang lain mengambil pasir dari sungai dengan alasan kepemilikan tanah di tepi sungai adalah tidak memiliki dasar hukum. Mereka tidak memiliki hak eksklusif atas sumber daya alam di dalam sungai.
Jika tindakan pelarangan tersebut disertai dengan paksaan atau ancaman, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum dan pihak yang dirugikan dapat melaporkannya kepada pihak berwenang.

Jawaban. No.3

Menurut Hukum Islam :
Jika orang lain mengambil pasir dari sungai, hukumnya akan bergantung pada beberapa faktor:
-Skala Pengambilan: Pengambilan dalam skala kecil untuk kebutuhan pribadi mungkin ditoleransi dalam batasan urf selama tidak merugikan lingkungan atau kepentingan umum.

-Dampak Lingkungan: Pengambilan pasir dalam skala besar yang merusak lingkungan sungai dan ekosistemnya akan dilarang dalam Islam berdasarkan prinsip dharar (bahaya) dan larangan merusak alam.
-Izin dari Penguasa (Pemerintah): Dalam konteks modern, di mana pengelolaan sumber daya alam diatur oleh negara, mengambil pasir tanpa izin dari pihak yang berwenang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap regulasi yang ditetapkan untuk ketertiban dan kemaslahatan umum.

Menurut Hukum Positif Indonesia:

Jika orang lain mengambil pasir dari sungai tanpa izin yang sah dari pihak berwenang (pemerintah), maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai penambangan ilegal. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam.
Sanksi bagi penambangan ilegal dapat berupa teguran, penghentian kegiatan, denda, hingga pidana, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam.

Kesimpulan dengan Mengintegrasikan Hukum Islam dan Hukum Positif:
Baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, sungai dan sumber daya alam di dalamnya, termasuk pasir, pada dasarnya adalah untuk kepentingan umum. Kepemilikan tanah di tepi sungai tidak secara otomatis memberikan hak kepemilikan eksklusif atas pasir di dalamnya. Melarang orang lain mengambil pasir hanya dengan alasan kepemilikan tanah tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Pengambilan pasir dari sungai, terutama dalam skala besar, harus dilakukan dengan izin yang sah dari pihak berwenang dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penambangan ilegal dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penting untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam sungai, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan umum sebagaimana ditekankan dalam ajaran Islam dan hukum positif.

Referensi

حاشية الجمل، ٣/٥٧٤و (القليوبي، ٢/٣١١) و (ضوء البدر، ١٤-٩) و (المحلي بهامش حاشيتان قليوبي وعميرة، ٢/١٦)

(والماء المباح) كالنهر والوادي والسيل (يستوي الناس فيه) بأن يأخذ كل منهم ما يشاء منه لغير الناس شركاء في ثلاثة في الماء والكلأ والنار رواه ابن ماجه بإسناد جيد (فإن أراد قوم سقي أرضهم منه) أي من الماء المباح (فضاق) الماء عنهم وبعضهم أحيا أولاً (سبق الأول) فالأول فيحيي كل منهم الماء (إلى) أن يبلغ (الكفين) لأنه قضى بذلك رواه أبو داود بإسناد حسن والحاكم وصححه على شرط الشيخين (ويُفرز كل من مرتفع ومنخفض بسقيه) بأن يسقي أحدهما حتى يبلغ الكفين، ثم يسد، ثم يسقي الآخر، وخرج بئر ضاق ماؤها إذا كان يفي بالجميع فيسقى من شاء منهم متى شاء وتغييري بالأول أولى من تغييره بالأعلى ومن عبر بالاقرب جرى على الغالب من أن من أحيا بقعة يخرص على قربها من الماء فمن لما فيه من سهولة السقي وخفة المؤونة وقرب الغراس من الماء ومن هنا يُقدَّم الأقرب إلى النهر إن أحيوا دفعة أو جهل السابق، ولا يبعد القول بإقراء ذكره الأذرعي (وما أخذ منه) أي من الماء المباح بيد أو ظرف كإناء أو حوض مسدود فهو أعم من قوله في إناء (ملك) كالاختلاط والاحتشاش ولو رده إلى محله لم يصر شريكاً به وخرج بأخذ الماء المباح الداخل في نهر فحفر فإنه باق على إباحته لكن مالك النهر أحق به كالسيل يدخل في ملكه قوله كالنهر والوادي إلخ. قال في الروض وعمارة هذه الأنهار من بيت المال ولكل بناء قنطرة وركى عليها إن كانت في فوات أو في ملكه، فإن كانت بين العمران فالقنطرة كالحفر للبئر في الشرع للمسلمين والرحى يجوز بناؤها إن لم تضر بالملاك. اهـ وانظر حيث جاز بناء الرحى هل يشكل بنائه تصرف في حريم النهر، وهو ممتنع، وإن كان في موات إلا أن يفرض البناء في غير حريمه أو يقال الممتنع بناء حريمه للمالك لا للانتفاع به، ولو بينا بناء الرحى حيث لا يضر ويضر هذا أقرب فليحرر اهـ. (قوله يستوي الناس فيه) أي فلا يملك بإقطاع ولا يثبت فيه تحجر وكذا حكم حائقي النهر فلا يجوز للإمام بيع شيء منه ولا إقطاعه، وقد عمت البلوى بالبناء على حافتي النهر كما عمت بالبناء في القرافة وهى المسنة.

Hasyiyah al-Jamal, 3/574 dan (al-Qalyubi, 2/311) dan (Dhaw’ al-Badr, 9-14) dan (al-Mahalli dengan catatan kaki Hasyiyatan Qalyubi wa ‘Umairah, 2/16)

(Air yang mubah) seperti sungai, lembah, dan air bah (manusia sama di dalamnya) yaitu setiap orang boleh mengambil sekehendaknya darinya untuk selain Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik (Jika suatu kaum ingin mengairi tanah mereka darinya) yaitu dari air yang mubah (lalu air itu sempit) bagi mereka dan sebagian mereka menghidupkan tanah lebih dahulu (maka yang pertama lebih berhak) maka yang pertama lebih berhak menghidupkan seluruh air (hingga) mencapai (dua telapak tangan) karena telah diputuskan demikian, diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dan Al-Hakim mensahihkannya sesuai syarat Bukhari dan Muslim (dan setiap orang dari tempat tinggi maupun rendah menyiram dengan giliran) yaitu salah seorang menyiram hingga mencapai dua telapak tangan, kemudian menutupnya, lalu yang lain menyiram, dan dikecualikan sumur yang airnya sedikit jika mencukupi untuk semua maka boleh disiram oleh siapa saja di antara mereka kapan saja ia mau dan mengubah urutan yang pertama lebih utama daripada mengubah urutan yang atas dan orang yang melewati tempat yang lebih dekat mengikuti kebiasaan bahwa orang yang menghidupkan suatu tempat memperkirakan kedekatannya dengan air maka barang siapa yang di dalamnya terdapat kemudahan menyiram, ringan biaya, dan dekatnya tanaman dengan air maka dari sini didahulukan yang lebih dekat ke sungai jika mereka menghidupkan sekaligus atau tidak diketahui siapa yang lebih dahulu, dan tidak jauh pendapat yang mengatakan dengan memberi izin sebagaimana yang disebutkan Al-Adzra’i (dan apa yang diambil darinya) yaitu dari air yang mubah dengan tangan atau wadah seperti bejana atau kolam tertutup maka ini lebih umum dari perkataannya dalam bejana (adalah milik) seperti bercampur dan berkumpul meskipun ia mengembalikannya ke tempatnya maka ia tidak menjadi sekutu di dalamnya dan dikecualikan mengambil air mubah yang masuk ke sungai lalu menggali maka ia tetap dalam kemubahannya akan tetapi pemilik sungai lebih berhak atasnya seperti air bah masuk ke dalam miliknya perkataannya seperti sungai dan lembah dll. Berkata dalam Ar-Raudh dan Umairah sungai-sungai ini dari Baitul Mal dan setiap bangunan jembatan dan bendungannya di atasnya jika berada di tanah yang tidak bertuan atau miliknya, maka jika berada di antara permukiman maka jembatan itu seperti menggali sumur dalam syariat untuk kaum muslimin dan kincir air boleh dibangun jika tidak membahayakan pemiliknya. Selesai. Dan perhatikan di mana boleh membangun kincir air apakah pembangunannya termasuk tasarruf (penggunaan) di sempadan sungai yang dilarang, dan jika di tanah yang tidak bertuan kecuali jika pembangunan itu di luar sempadannya atau dikatakan yang dilarang adalah membangun sempadannya untuk pemilik bukan untuk memanfaatkannya, dan jika kita menjelaskan pembangunan kincir air di tempat yang tidak membahayakan dan membahayakan ini lebih dekat maka hendaknya diteliti. Selesai. (Perkataannya manusia sama di dalamnya) yaitu maka tidak dimiliki dengan pemberian dan tidak tetap di dalamnya penguasaan dan demikian pula hukum dinding sungai maka tidak boleh bagi imam menjual sesuatu darinya atau memberikannya, dan sungguh telah merata musibah pembangunan di tepi sungai sebagaimana merata pembangunan di kuburan yaitu tempat penguburan yang lama.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

KEUTAMAAN HARI DAN PAÑCAWARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM: ANTARA DALIL SYAR’I DAN TRADISI JAWA

 Keutamaan Hari dan Pañcawara dalam Perspektif Islam: Antara Dalil Syar’i dan Tradisi Jawa
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah:
Sistem penanggalan Jawa dengan siklus lima harian (Pañcawara: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) masih digunakan masyarakat, seringkali dikombinasikan dengan hari dalam kalender Islam untuk menentukan waktu baik pelaksanaan acara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai landasan syar’i keutamaan hari dan pandangan Islam terhadap praktik penggabungan tersebut.
Pertanyaan
1.Apakah ada dalil dalam ajaran Islam yang menjelaskan tentang keutamaan hari-hari tertentu, baik dalam kalender Islam maupun kaitannya dengan Pañcawara?
 
2.Bagaimana pandangan Islam terhadap penggunaan kombinasi hari dalam kalender Islam dan Pañcawara untuk menentukan waktu pelaksanaan acara?
 
Waalaikumsalam
 
Jawaban No. 1:
Tidak ada dalil khusus dalam ajaran Islam (Al-Qur’an maupun Hadis) yang secara spesifik menjelaskan tentang keutamaan hari-hari dalam siklus Pañcawara (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) sebagaimana yang disebutkan dalam deskripsi masalah. Akan tetapi kalau hari  dalam seminggu ada Keutamaannya berdasarkan  dalil dan sejarah pernikahan Para Nabi  serta kalender Hijriah, yaitu  hari Jumat  yang memiliki keutamaan yang jelas dalam banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun demikian, keutamaan hari Jumat tersebut tidak dikaitkan dengan penamaan hari dalam sistem Pañcawara ( tanpa dikaitkan dengan jum’at legi/manis)
Keutamaan ini didasarkan pada peristiwa penting yang terjadi pada hari tersebut, amalan ibadah yang dianjurkan, atau keberkahan yang dilimpahkan oleh Allah SWT. Beberapa hari yang memiliki keutamaan dalam Islam antara lain:
 Hari Jumat (Yaumul Jum’ah): Hari Jumat merupakan hari yang paling utama dalam sepekan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (Surah Al-Jumu’ah: 9-10) tentang kewajiban melaksanakan shalat Jumat dan larangan berdagang saat adzan dikumandangkan. Rasulullah SAW juga bersabda mengenai keutamaan hari Jumat, di antaranya:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ».  [صحيح] – [رواه مسلم] – [صحيح مسلم: ٨٥٤]
 

Sebaik-baik hari yang matahari terbit di dalamnya adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu ia dimasukkan ke surga, dan pada hari itu pula ia dikeluarkan darinya. (HR. Muslim)


وَعَنْ سَلْمَانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَومَ الجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى )) رَوَاهُ البُخَارِي


Salman radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jumat, bersuci semampunya, berminyak dari minyaknya, mengenakan wewangian dari rumahnya, kemudian ia keluar lalu tidak memisahkan antara dua orang yang sedang duduk, kemudian ia melakukan shalat sebagaimana yang telah ditetapkan untuknya, lalu diam ketika imam berbicara, melainkan diampuni baginya dosa-dosa yang ada di antara Jumat tersebut dan Jumat yang lain.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 883]
 
 Hari Senin dan Kamis: Rasulullah SAW sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab:


ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ, وَبُعِثْتُ فِيهِ, أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ


 “Hari Senin adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus (sebagai nabi).” (HR. Muslim)

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
 

“Amal-amal diperhadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka amalku diperhadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi)
 Hari-hari dalam Bulan Ramadhan: Seluruh hari dalam bulan Ramadhan memiliki keutamaan yang agung karena merupakan bulan diturunkannya Al-Qur’an, diwajibkannya puasa, dan dilipatgandakannya pahala ibadah. Terdapat pula malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.
 Hari-hari dalam Bulan Dzulhijjah (terutama 10 hari pertama): Rasulullah SAW bersabda:


مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّام. يَعْنِي أَيَّامُ الْعُشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ. (رواه البخاري)


  “Tidak ada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh (awal Dzulhijjah).” (HR. Bukhari)
 Hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah): Hari ini memiliki keutamaan yang sangat besar, terutama bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Puasa pada hari Arafah bagi yang tidak berhaji dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. (HR. Muslim)
 Hari ‘Asyura (10 Muharram): Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas keselamatan Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Fir’aun.
Penting untuk dicatat: Dalil-dalil dalam Islam hanya menyebutkan keutamaan hari-hari tertentu dalam kalender Islam (hijriyah). Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang secara spesifik menyebutkan keutamaan hari-hari dalam sistem Pañcawara Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) atau mengaitkannya dengan keberkahan dalam Islam. Sistem Pañcawara merupakan warisan budaya yang berkembang di luar konteks ajaran Islam.


Jawaban .No.2
Pandangan Islam Terhadap Penggunaan Kombinasi Hari Islam dan Pañcawara untuk Menentukan Waktu Pelaksanaan Acara:
Dalam Islam, penentuan waktu pelaksanaan suatu acara, termasuk pernikahan atau hajatan, sebaiknya didasarkan pada kemudahan, ketersediaan, dan tidak bertentangan dengan syariat. Tidak ada larangan eksplisit dalam Islam untuk melaksanakan acara pada hari tertentu dalam kalender Jawa (misalnya Jumat Legi atau Kamis Kliwon) selama tidak ada keyakinan bahwa hari-hari tersebut memiliki kekuatan magis atau menentukan keberuntungan secara Islami.
Namun, beberapa hal perlu diperhatikan terkait praktik ini:
 1.Niat dan Keyakinan: Jika pemilihan hari berdasarkan kombinasi kalender Islam dan Pañcawara didasari oleh keyakinan bahwa hari-hari tertentu dalam Pañcawara memiliki kekuatan supranatural atau dapat membawa keberuntungan dan kesialan secara Islami, maka hal ini dapat mengarah pada tahayul dan khurafat yang dilarang dalam Islam. Seorang Muslim hendaknya meyakini bahwa segala ketentuan, keberuntungan, dan musibah datang dari Allah SWT, bukan dari perhitungan hari atau benda-benda lainnya.

2. Mengutamakan Hari yang Utama dalam Islam: Lebih baik jika umat Islam mengutamakan hari-hari yang memang memiliki keutamaan dalam Islam (seperti hari Jumat) untuk melaksanakan ibadah atau acara-acara penting, dengan tetap tidak meyakini adanya pengaruh buruk dari hari-hari lainnya.

3. Tidak Mengganggu Ibadah: Pemilihan waktu pelaksanaan acara hendaknya tidak sampai mengganggu pelaksanaan ibadah wajib, seperti shalat lima waktu atau shalat Jumat bagi laki-laki.


4.Menghindari Tasyabbuh (Menyerupai Tradisi yang Bertentangan dengan Islam): Jika pemilihan hari berdasarkan Pañcawara dilakukan dengan motivasi untuk mengikuti tradisi yang diyakini memiliki unsur-unsur kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid Islam, maka hal ini perlu dihindari.


Kesimpulan:
Islam mengakui adanya keutamaan pada hari-hari tertentu dalam kalender Islam berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Sementara itu, sistem Pañcawara adalah tradisi budaya Jawa yang tidak memiliki landasan dalam ajaran Islam. Menggabungkan hari dalam kalender Islam dengan Pañcawara untuk menentukan waktu pelaksanaan acara diperbolehkan selama tidak disertai dengan keyakinan yang menyimpang dari aqidah Islam, seperti mempercayai kekuatan magis atau pengaruh keberuntungan dan kesialan dari hari-hari dalam Pañcawara. Umat Islam hendaknya lebih mengutamakan hari-hari yang memiliki keutamaan dalam Islam dan senantiasa bertawakkal kepada Allah SWT dalam segala urusan.

Referensi:


 
المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٩ ص٢٢٣
 
وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طُرُقٍ عَنْ عَدَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ذَكَرَ سَاعَةَ الإِْجَابَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْهَا مَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَال: فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَل اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ. وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا (٢)
وَعَنْ أَبِي لُبَابَةَ الْبَدْرِيِّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الأَْيَّامِ وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ. . . فِيهِ خَمْسُ خِلاَلٍ فَذَكَرَ مِنْهُنَّ: وَفِيهِ سَاعَةٌ لاَ يَسْأَل اللَّهَ فِيهَا الْعَبْدُ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ مَا لَمْ يَسْأَل – حَرَامًا (٣) .
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ وَالْمُحَدِّثُونَ فِي تَعْيِينِ السَّاعَةِ الْمَذْكُورَةِ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ قَوْلاً عَدَّدَهَا الشَّوْكَانِيُّ (٤) وَنُقِل عَنِ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ قَال: أَصَحُّ الأَْحَادِيثِ فِي تَعْيِينِهَا


 
Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 39, Halaman 223
Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui beberapa jalur dari sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang penyebutan waktu mustajab pada hari Jumat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat, lalu bersabda: “Di dalamnya terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim bertepatan dengannya dalam keadaan berdiri shalat lalu memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, melainkan Allah akan memberinya apa yang dimohonkannya.” Beliau berisyarat dengan tangannya untuk menunjukkan sedikitnya waktu tersebut. (2)
Dan dari Abu Lubabah Al-Badri, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hari Jumat adalah penghulu hari dan hari yang paling agung di sisi Allah… Di dalamnya terdapat lima keistimewaan,” lalu beliau menyebutkan salah satunya: “Di dalamnya terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba memohon sesuatu kepada Allah di dalamnya melainkan Allah akan memberinya apa yang dimohonkannya, selama ia tidak memohon sesuatu yang haram.” (3)
Para fuqaha dan ahli hadis berbeda pendapat dalam menentukan waktu yang disebutkan tersebut lebih dari empat puluh pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaukani. (4) Dan diriwayatkan dari Al-Muhib Ath-Thabari bahwa ia berkata: “Hadis-hadis yang paling sahih dalam menentukannya …”
 
Referensi


المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٤٥ص٣٣٩
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ فِي قَوْلٍ آخَرَ – وَهُوَ رَأْيُ بَعْضِ الْحَنَابِلَةِ – إِلَى أَنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَفْضَل الأَْيَّامِ، لأَِنَّ لَيْلَتَهَا أَفْضَل اللَّيَالِي لأَِنَّهَا تَابِعَةٌ لِمَا هُوَ أَفْضَل الأَْيَّامِ. (٢)
فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ (٣) .، وَعَنْهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: إِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: سَيِّدُ الأَْيَّامِ يُومُ الْجُمُعَةِ (٤) .
وَجَمَعَ الزَّرْقَانِيُّ بَيْنَ الآْثَارِ الَّتِي وَرَدَتْ فِي أَفْضَلِيَّةِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ وَقَال: يَوْمُ عَرَفَةَ أَفْضَل أَيَّامِ السَّنَةِ، وَيَوْمُ الْجُمُعَةَ أَفْضَل أَيَّامِ الأُْسْبُوعِ (٥) ، وَذَكَرَ الْبُجَيْرِمِيُّ نَحْوَهُ. (٦)


 
Menurut pendapat lain dari Mazhab Maliki—dan ini juga merupakan pendapat sebagian ulama Hanbali—hari Jumat adalah hari yang paling utama. Hal ini dikarenakan malam Jumat adalah malam yang paling utama karena mengikuti hari yang paling utama.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’: “Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat.”
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Penghulu hari adalah hari Jumat.'”
Az-Zarqani mengumpulkan antara riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan hari Arafah dan hari Jumat, lalu beliau berkata: “Hari Arafah adalah hari yang paling utama dalam setahun, sedangkan hari Jumat adalah hari yang paling utama dalam seminggu.” Al-Bujairimi juga menyebutkan hal yang serupa.
 
Referensi:

كتاب السبعيات ص١٠٩-١١٦


 
 المجلس السابع في يوم الجمعة
قال الله تعالى :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. وَرَوَى ابْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ مَالِكًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ ابْنَ الْأُسْتَاذِ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ فِي الْمَجْلِسِ الْأَوَّلِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ صِلَةٌ وَنِكَاحٌ وَقَالُوا كَيْفَ ذَٰلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كَانُوا يَنْكِحُونَ فِيهِ )بِسَاطُ الْمَجْلِسِ( قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ سَبْعُ أَنْكِحَةٍ حَصَلَتْ بَيْنَ سَبْعَةٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُمْ آدَمُ وَحَوَّاءُ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَالثَّانِي يُوسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَزُلَيْخَا عَلَيْهَا السَّلَامُ وَالثَّالِثُ مُوسَىٰ وَصَفُّورَاءُ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ * وَالرَّابِعُ سُلَيْمَانُ وَبَلْقِيسُ عَلَيْهِمَا الرَّحْمَةُ وَالسَّلَامُ * وَالْخَامِسُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا * وَالسَّادِسُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا * وَالسَّابِعُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَفَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَمَّا الْأَوَّلُ نِكَاحُ آدَمَ وَحَوَّاءَ حَصَلَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ بِدَلِيلِ مَا رَوَىٰ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ قَالَ خَالَقَ اللَّهُ تَعَالَىٰ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَسْكَنَهُ الْجَنَّةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَخْرَجَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَابَ عَلَيْهِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَفِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَىٰ فِيهَا إِلَّا اسْتَجَابَ لَهُ وَقِصَّتُهُ أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمَّا خَلَقَهُ اللَّهُ تَعَالَىٰ نَظَرَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ جِنْسِهِ لِيَسْتَأْنِسَ بِهِ كَمَا قِيلَ.


 
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila panggilan untuk salat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan Ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Malik radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Ibnu al-Ustadz yang telah kami sebutkan pada majelis pertama, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang hari Jumat, maka beliau bersabda: “Hari Jumat adalah (hari) silaturahmi dan pernikahan.” Mereka bertanya: “Bagaimana bisa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Karena para nabi ‘alaihimush shalatu was salam dahulu menikah pada hari itu.” (Dalam majelis) Berkata sebagian ulama: Tujuh pernikahan terjadi antara tujuh nabi dan wali pada hari Jumat. Yang pertama adalah Adam dan Hawa ‘alaihimas salam, yang kedua adalah Yusuf ‘alaihis salam dan Zulaikha ‘alaihas salam, yang ketiga adalah Musa dan Shafura’ ‘alaihimas salam, yang keempat adalah Sulaiman dan Balqis ‘alaihimar rahmah was salam, yang kelima adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khadijah radhiyallahu ‘anha, yang keenam adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang ketujuh adalah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra’ radhiyallahu ‘anhuma. Adapun yang pertama, pernikahan Adam dan Hawa terjadi pada hari Jumat berdasarkan riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam pada hari Jumat, memasukkannya ke surga pada hari Jumat, mengeluarkannya dari surga pada hari Jumat, dan menerima tobatnya pada hari Jumat. Di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba muslim bertepatan dengannya lalu berdoa kepada Allah Ta’ala melainkan Dia akan mengabulkannya.” Dan kisahnya adalah bahwa Adam ‘alaihis salam ketika Allah Ta’ala menciptakannya, ia melihat ke langit dan bumi, ia tidak melihat seorang pun dari jenisnya untuk ia jadikan penenang, sebagaimana dikatakan.


طَيْرٌ يَطِيرُ مَعَ شَكْلِهِ فَاسْتَوْحَشَ وَاشْتَاقَ إِلَىٰ جِنْسِهِ وَكَانَ جَالِسًا فَغَشِيَهُ النُّعَاسُ وَكَانَ بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إِذَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَىٰ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِأَنْ يُخْرِجَ ضِلْعًا مِنْ جَانِبِهِ الْأَيْسَرِ وَلَمْ يَتَأَلَّمْ مِنْهُ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَخَلَقَ اللَّهُ تَعَالَىٰ مِنْهَا حَوَّاءَ وَكُلُّ مَلَاحَةٍ وَجَمَالٍ وَحُسْنٍ وَظَرَافَةٍ يَكُونُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وُضِعَ فِيهَا وَكُلُّ طَرَافَةٍ وَنَزَاهَةٍ وَرَزَانَةٍ وُضِعَتْ فِيهَا وَكُلُّ شَوْقٍ وَعِشْقٍ وَمَحَبَّةٍ وَمَوَدَّةٍ وُضِعَتْ فِي قَلْبِ آدَمَ حَتَّىٰ صَارَتْ حَوَّاءُ أَحْسَنَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَصَارَ آدَمُ أَعْشَقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ أَلْبَسَهَا اللَّهُ تَعَالَىٰ سَبْعِينَ حُلَّةً مِنْ حُلَلِ الْجَنَّةِ وَتَوَّجَهَا وَأَجْلَسَهَا عَلَىٰ كُرْسِيٍّ مِنْ ذَهَبٍ ثُمَّ أَيْقَظَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعَرَضَهَا عَلَيْهِ فَنَادَاهَا آدَمُ مَنْ أَنْتِ وَلِمَنْ أَنْتِ فَقَالَتْ حَوَّاءُ خَلَقَنِي اللَّهُ تَعَالَىٰ لِأَجْلِكَ فَقَالَ ائْتِينِي قَالَتْ بَلْ أَنْتَ فَقَالَ آدَمُ وَذَهَبَ إِلَيْهَا فَمِنْ ذَٰلِكَ الْوَقْتِ جَرَتِ الْعَادَةُ يَذْهَبُ الرَّجُلُ إِلَى الْمَرْأَةِ فَلَمَّا قَرُبَ مِنْهَا أَرَادَ أَنْ يَمُدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا سَمِعَ النِّدَاءَ يَا آدَمُ أَمْسِكْ فَإِنَّ صُحْبَتَكَ مَعَ حَوَّاءَ لَا يَحِلُّ إِلَّا بِالصَّدَاقِ وَالنِّكَاحِ ثُمَّ أَمَرَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ سُكَّانَ الْجَنَّةِ بِأَنْ يُزَيِّنُوهَا وَيُزَخْرِفُوهَا وَيُحْضِرُوا مَوَائِدَ النِّثَارِ وَأَطْبَاقَهَا ثُمَّ أَمَرَ مَلَائِكَةَ السَّمَاوَاتِ بِأَنْ يَجْتَمِعُوا تَحْتَ شَجَرَةِ طُوبَىٰ فَاجْتَمَعُوا ثُمَّ أَثْنَىٰ اللَّهُ تَعَالَىٰ بِنَفْسِهِ عَلَىٰ نَفْسِهِ وَزَوَّجَهَا آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَىٰ الْحَمْدُ ثَنَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْخَلْقُ كُلُّهُمْ عَبِيدِي إِمَائِي.


Seekor burung terbang bersama jenisnya, maka ia merasa sunyi dan rindu kepada jenisnya. Dan ia sedang duduk lalu kantuk mendatanginya, dan ia berada di antara tidur dan bangun, tiba-tiba Allah Ta’ala memerintahkan Jibril ‘alaihissalam untuk mengeluarkan tulang rusuk dari sisi kirinya, dan Adam ‘alaihissalam tidak merasakan sakit karenanya. Dan Allah Ta’ala menciptakan Hawa darinya, dan segala keelokan, keindahan, kebaikan, dan kejenakaan yang ada hingga hari kiamat diletakkan padanya, dan segala keunikan, kesucian, dan ketenangan diletakkan padanya, dan segala kerinduan, cinta, kasih sayang, dan kelembutan diletakkan di hati Adam hingga Hawa menjadi makhluk paling cantik di langit dan bumi, dan Adam menjadi makhluk yang paling jatuh cinta di langit dan bumi. Kemudian Allah Ta’ala memakaikannya tujuh puluh pakaian dari pakaian surga, memahkotainya, dan mendudukkannya di kursi dari emas. Kemudian Allah membangunkan Adam ‘alaihissalam dan memperlihatkannya kepadanya. Maka Adam memanggilnya: “Siapa engkau dan milik siapa engkau?” Hawa menjawab: “Allah Ta’ala menciptakan aku untukmu.” Adam berkata: “Datanglah kepadaku.” Hawa berkata: “Bahkan engkau (yang datang).” Adam pun pergi kepadanya. Maka sejak saat itu berlakulah kebiasaan seorang laki-laki pergi kepada seorang wanita. Ketika Adam mendekatinya dan hendak mengulurkan tangannya kepadanya, ia mendengar seruan: “Wahai Adam, tahanlah! Sesungguhnya kebersamaanmu dengan Hawa tidak halal kecuali dengan mahar dan pernikahan.” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan penduduk surga untuk menghiasinya, memperindahnya, dan menghadirkan hidangan taburan dan piring-piringnya. Kemudian Dia memerintahkan para malaikat langit untuk berkumpul di bawah pohon Thuba, maka mereka berkumpul. Kemudian Allah Ta’ala memuji diri-Nya sendiri dan menikahkan Hawa dengan Adam ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman: “Segala puji adalah sanjungan-Ku, keagungan adalah sarung-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, dan seluruh makhluk adalah hamba-hamba laki-laki dan perempuan-Ku.”


 
أُشْهِدُ مَلَائِكَتِي وَسُكَّانَ سَمَوَاتِي زَوَّجْتُ حَوَّاءَ بِآدَمَ بَدِيْعِ فِطْرَتِي عَلَى صَدَاقٍ وَيُسَبِّحُنِي وَيُهَلِّلُنِي ثُمَّ نَثَرَ الْغِلْمَانُ وَالْمَلَائِكَةُ نِثَارَ اللُّؤْلُؤِ وَالْيَاقُوْتِ وَسَلَّمُوا حَوَّاءَ لِآدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَطَلَبَتْ حَوَّاءُ الصَّدَاقَ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلهِي أَيُّ شَيْءٍ أُعْطِيْهَا أَذَهَبًا أَمْ فِضَّةً أَمْ جَوْهَرًا فَقَالَ اللهُ تَعَالَى لَا فَقَالَ إِلَهِي أَصُوْمُ أَصْلِي أُسَبِّحُ لَكَ فَقَالَ لَا فَقَالَ إِلَهِي أَيُّ شَيْءٍ هُوَ فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَاقُ حَوَّاءَ أَنْ تُصَلِّيَ عَشَرَ مَرَّاتٍ عَلَى نَبِيِّي وَصَفِيِّي مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ.
نُكْتَةٌ: قَالَ اللهُ تَعَالَى لِآدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى أُحِلَّ لَكَ حَوَّاءَ وَقَالَ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا صَلُّوا عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى أُحَرِّمَ عَلَيْكُمُ النِّيْرَانَ وَسَلِّمُوا عَلَيْهِ حَتَّى أُحِلَّ لَكُمُ الْجِنَانَ.
وَالثَّانِي نِكَاحُ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ زُلَيْخَا بِنْتُ مَلِكِ مِصْرَ وَيُسَمَّى عَزِيْزًا وَزُلَيْخَا صَارَتْ فَقِيْرَةً عَجُوْزًا عَمْيَاءَ وَمَعَ ذَلِكَ مَحَبَّةُ يُوْسُفَ وَعِشْقُهُ يَزْدَادُ فِي قَلْبِهَا كُلَّ يَوْمٍ فَلَمَّا عَيِيَ صَبْرُهَا وَاشْتَدَّ أَمْرُهَا وَهِيَ تَعْبُدُ الْوَثَنَ إِلَى ذَلِكَ الْيَوْمِ رُفِعَتْ وَثَنُهَا وَضُرِبَتْ بِهِ عَلَى الْأَرْضِ وَتَبَرَّأَتْ مِنْهُ وَآمَنَتْ بِاللَّهِ الْحَيِّ الْقَيُّوْمِ وَنَاجَتْ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ بِمُنَاجَاةٍ كَثِيْرَةٍ وَقَالَتْ إِلهِي لَمْ يَبْقَ لِي مَالٌ وَلَا جَمَالٌ وَصِرْتُ عَجُوْزًا حَقِيْرَةً ذَلِيْلَةً فَقِيْرَةً وَابْتَلَيْتَنِي بِحُبِّ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعِشْقِهِ فَإِنْ أَوْصَلْتَنِي إِلَيْهِ فَارْجِعْ حُبَّهُ إِلَهَنَا وَسَيِّدَنَا إِنَّ زُلَيْخَا جَاءَتْ إِلَى سَيِّدِنَا.


Aku persaksikan para malaikat-Ku dan penduduk langit-Ku, Aku nikahkan Hawa dengan Adam, makhluk ciptaan-Ku yang pertama, dengan mahar berupa ia bertasbih dan bertahlil kepada-Ku. Kemudian para pemuda dan para malaikat menaburkan taburan mutiara dan yaqut, dan mereka menyerahkan Hawa kepada Adam ‘alaihissalam. Maka Hawa meminta mahar, lalu Adam ‘alaihissalam berkata: “Wahai Tuhanku, apa yang akan aku berikan kepadanya? Apakah emas, perak, atau permata?” Allah Ta’ala berfirman: “Tidak.” Adam berkata: “Wahai Tuhanku, apakah aku berpuasa, salat, bertasbih kepada-Mu?” Allah berfirman: “Tidak.” Adam berkata: “Wahai Tuhanku, lalu apa itu?” Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Mahar Hawa adalah engkau bersalat sepuluh kali atas nabi-Ku dan kekasih-Ku, Muhammad, penghulu para rasul dan penutup para nabi.”
(Sebuah catatan) Allah Ta’ala berfirman kepada Adam ‘alaihissalam: “Bersalatlah atas Muhammad hingga Aku halalkan Hawa bagimu.” Dan Dia berfirman kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersalat dan bersalamlah atasnya. Bersalatlah atas Muhammad hingga Aku haramkan neraka atas kalian, dan bersalamlah atasnya hingga Aku halalkan surga bagi kalian.”
Dan yang kedua adalah pernikahan Yusuf ‘alaihissalam dengan Zulaikha, putri raja Mesir yang juga disebut Aziz. Dan Zulaikha menjadi wanita miskin, tua, dan buta. Meskipun demikian, cinta dan kerinduan Yusuf bertambah di hatinya setiap hari. Ketika kesabarannya habis dan urusannya semakin sulit, dan ia masih menyembah berhala hingga hari itu, ia mengangkat berhalanya dan memukulkannya ke tanah, lalu ia berlepas diri darinya dan beriman kepada Allah Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. Ia bermunajat pada malam Jumat dengan munajat yang banyak dan berkata: “Wahai Tuhanku, tidak tersisa bagiku harta maupun kecantikan, dan aku telah menjadi wanita tua yang hina, rendah, dan miskin, dan Engkau mengujiku dengan cinta dan kerinduan kepada Yusuf ‘alaihissalam. Maka jika Engkau mempertemukanku dengannya, kembalikanlah cintanya, wahai Tuhan dan junjunganku. Sesungguhnya Zulaikha datang kepada junjungan kita.”


أَنَّ زُلَيْخَا جَاءَتْ إِلَىٰ حَضْرَتِكَ تَدْعُوْكَ بِأَسْمَائِهَا وَإِخْلَاصِهَا فَأَجَابَهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ يَا مَلَائِكَتِي قَدْ حَانَ وَقْتُ نَجَاتِهَا وَخَلَاصِهَا فَكَانَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَمُرُّ عَلَيْهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ مَعَ خَدَمِهِ إِذْ خَرَجَتْ زُلَيْخَا فَلَمَّا قَرُبَ مِنْهَا نَادَتْ بِأَعْلَى صَوْتِهَا سُبْحَانَ مَنْ جَعَلَ الْعَبِيْدَ بِرَحْمَتِهِ مُلُوْكًا فَوْقَ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ مَنْ أَنْتَ قَالَتْ أَنَا الَّتِي اشْتَرَيْتُكَ بِالْجَوَاهِرِ وَاللُّؤْلُؤِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمِسْكِ وَالْكَافُوْرِ أَنَا الَّتِي لَمْ أَشْبَعْ بَطْنِي مِنَ الطَّعَامِ مُنْذُ عِشْقِكَ وَلَا نِمْتُ لَيْلَةً كُلَّهَا مُنْذُ رَأَيْتُكَ فَقَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِمَلَكِ زُلَيْخَا فَقَالَتْ بَلَىٰ يَا يُوْسُفُ فَقَالَ أَيْنَ مَالُكِ وَجَمَالُكِ وَخَزَائِنُكِ فَقَالَتْ أَغَارَ عِشْقُكَ عَلَيْهَا كُلَّهَا فَقَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَيْفَ عِشْقُكِ قَالَتْ كَمَا كَانَ بَلْ يَزْدَادُ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ
نُكْتَةٌ : كَذَلِكَ حَالُ الْمُؤْمِنِ إِذَا وُضِعَ فِيْ قَبْرِهِ يَأْتِيْهِ مَلَكَانِ فَيَقُوْلَانِ لَهُ أَيْنَ مَالُكَ فَيَقُوْلُ ذَهَبَ بِهِ الْحُصَّاءُ فَيَقُوْلَانِ أَيْنَ ضِيَاعُكَ وَبَسَاتِيْنُكَ فَيَقُوْلُ ذَهَبَ بِهَا الْحُصَّاءُ فَيَقُوْلَانِ أَيْنَ دُوْرُكَ وَبُيُوْتُكَ فَيَقُوْلُ ذَهَبَ بِهَا الْبَنَاتُ وَالْأَبْنَاءُ فَيَقُوْلَانِ كَيْفَ مَعْرِفَتُكَ بِاللَّهِ تَعَالَىٰ فَيَقُوْلُ اللهُ رَبِّي وَالْإِسْلَامُ دِيْنِيْ وَمُحَمَّدٌ نَبِيِّيْ. (رَجَعْنَا إِلَى الْقِصَّةِ) فَقَالَ لَهَا يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا تُرِيْدِيْنَ يَا زُلَيْخَا فَقَالَتْ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ أُرِيْدُ الْحَالَ وَالْمَالَ وَالْوِصَالَ فَقَصَدَ أَنْ يَمُرَّ فَأَوْحَىٰ اللهُ تَعَالَىٰ إِلَيْهِ يَا يُوْسُفُ قُلْتَ لِزُلَيْخَا مَا تُرِيْدِيْنَ فَلَمْ تُجِبْهَا إِلَىٰ مَا أَرَادَتْ فَاعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَىٰ زَوَّجَ زُلَيْخَا بِكَ خَطَبَ بِنَفْسِهِ وَأَشْهَدَ مَلَائِكَتَهُ وَنَثَرَ الْحُوْرُ الْعِيْنُ النِّثَارَ فَقَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَا جِبْرِيْلُ لَيْسَ لِزُلَيْخَا مَالٌ وَلَا جَمَالٌ وَلَا شَبَابٌ فَقَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُوْلُ لَكَ اللهُ تَعَالَىٰ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا مَالٌ وَلَا جَمَالٌ فَلِيْ قُوَّةٌ وَجَلَالٌ وَنَوَالٌ وَقُدْرَةٌ وَفِعَالٌ فَوَهَبَهَا اللهُ تَعَالَىٰ شَبَابَهَا وَجَمَالَهَا حَتَّىٰ صَارَتْ أَحْسَنَ مَا كَانَتْ كَأَنَّهَا بِنْتُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أَلْقَىٰ اللهُ تَعَالَىٰ الْمَحَبَّةَ وَالْمَوَدَّةَ وَالْعِشْقَ فِيْ قَلْبِ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَصَيَّرَ الْمَعْشُوْقَ عَاشِقًا وَالْعَاشِقَ مَعْشُوْقًا فَرَجَعَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَىٰ مَنْزِلِهِ وَأَرَادَ الْخَلْوَةَ مَعَ زُلَيْخَا وَقَدْ شَرَعَتْ فِي الصَّلَاةِ وَكَانَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَنْتَظِرُ كَثِيْرًا وَهِيَ لَا تُسَلِّمُ حَتَّىٰ فَرَغَ صَبْرُهُ وَنَادَىٰ يَا زُلَيْخَا أَلَسْتِ الَّتِيْ قَدَّدْتِ قَمِيْصِيْ حِيْنَ فَرَرْتُ مِنْكِ فَسَلَّمَتْ وَأَجَابَتْ أَنَا هِيَ لَكِنْ لَيْسَ قَلْبِيْ كَمَا كَانَ.


Sesungguhnya Zulaikha datang ke hadirat-Mu menyeru-Mu dengan nama-nama-Mu dan keikhlasannya, maka Allah Ta’ala menjawab mereka: “Wahai para malaikat-Ku, telah tiba waktu keselamatannya dan kebebasannya.” Dahulu Yusuf ‘alaihissalam lewat di hadapannya setiap hari bersama para pelayannya, ketika Zulaikha keluar. Ketika Yusuf mendekatinya, ia berseru dengan suara keras: “Maha Suci Allah yang menjadikan para hamba dengan rahmat-Nya sebagai raja di atas Yusuf ‘alaihissalam.” Yusuf bertanya: “Siapa engkau?” Ia menjawab: “Aku adalah orang yang membelimu dengan permata, mutiara, emas, perak, misk, dan kafur. Aku adalah orang yang tidak mengenyangkan perutku dengan makanan sejak aku mencintaimu, dan aku tidak tidur semalam penuh sejak aku melihatmu.” Maka Yusuf ‘alaihissalam berkata kepada (bekas) majikan Zulaikha, lalu Zulaikha menjawab: “Benar, wahai Yusuf.” Yusuf bertanya: “Di mana hartamu, kecantikanmu, dan perbendaharaanmu?” Ia menjawab: “Cintamu telah menghabiskan semuanya.” Yusuf ‘alaihissalam bertanya: “Bagaimana cintamu?” Ia menjawab: “Seperti dulu, bahkan bertambah setiap waktu dan saat.”
(Sebuah catatan) Demikianlah keadaan seorang mukmin ketika diletakkan di kuburnya, dua malaikat mendatanginya lalu berkata kepadanya: “Di mana hartamu?” Ia menjawab: “Telah dibawa oleh kerikil.” Mereka bertanya: “Di mana ladang-ladangmu dan kebun-kebunmu?” Ia menjawab: “Telah dibawa oleh kerikil.” Mereka bertanya: “Di mana rumah-rumahmu dan tempat tinggalmu?” Ia menjawab: “Telah dibawa oleh anak-anak perempuan dan laki-laki.” Mereka bertanya: “Bagaimana pengetahuanmu tentang Allah Ta’ala?” Ia menjawab: “Allah adalah Tuhanku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad adalah nabiku.” (Kita kembali ke kisah) Yusuf ‘alaihissalam berkata kepadanya: “Apa yang engkau inginkan, wahai Zulaikha?” Ia menjawab: “Tiga hal yang aku inginkan: keadaan (baik), harta, dan pertemuan.” Yusuf bermaksud untuk berlalu, maka Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya: “Wahai Yusuf, engkau bertanya kepada Zulaikha apa yang ia inginkan, namun engkau tidak mengabulkan apa yang ia inginkan. Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala telah menikahkan Zulaikha denganmu, Dia sendiri yang melamarnya, mempersaksikan para malaikat-Nya, dan para bidadari menaburkan taburan (bunga).” Yusuf ‘alaihissalam berkata: “Wahai Jibril, Zulaikha tidak memiliki harta, tidak memiliki kecantikan, dan tidak memiliki kemudaan.” Maka Jibril ‘alaihissalam berkata: “Allah Ta’ala berfirman kepadamu: ‘Jika ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki kecantikan, maka bagiku ada kekuatan, keagungan, pemberian, kekuasaan, dan perbuatan.'” Maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepadanya kemudaan dan kecantikannya hingga ia menjadi lebih cantik dari sebelumnya, seolah-olah ia adalah gadis berusia empat belas tahun. Kemudian Allah Ta’ala menanamkan cinta, kasih sayang, dan kerinduan di hati Yusuf ‘alaihissalam, maka yang dicintai menjadi mencintai dan yang mencintai menjadi dicintai. Yusuf ‘alaihissalam kembali ke rumahnya dan ingin berduaan dengan Zulaikha, dan Zulaikha telah memulai salat. Yusuf ‘alaihissalam menunggu lama, namun Zulaikha tidak mengucapkan salam (mengakhiri salat) hingga kesabarannya habis dan ia berseru: “Wahai Zulaikha, bukankah engkau yang telah mengoyak bajuku ketika aku melarikan diri darimu?” Zulaikha mengucapkan salam dan menjawab: “Benar, aku orangnya, akan tetapi hatiku tidak seperti dulu lagi.”


حُكِيَ:   عَنِ الشِّبْلِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ أَنَّهُ حُمَّى فِي آخِرِ عُمُرِهِ فَدَخَلَ عَلَيْهِ الْجُنَيْدُ فِي لَيْلَةٍ فَرَآهُ يَدُوْرُ فِي بَيْتٍ مُظْلِمٍ وَهُوَ يَقُوْلُ شِعْرًا كُلُّ قَلْبٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُمُحْتَاجٍ إِلَى السُّرُجِ وَوَجْهُكَ الْمَأْمُوْلُ حُجَّتُنَا يَوْمَ تَأْتِي النَّاسُ بِالْحُجَجِ لَا تَفْتَحِ اللَّهُ لِيْ فَرَجًا يَوْمَ أَدْعُوْكَ بِالْفَرَجِ. ثُمَّ قَامَتْ زُلَيْخَا وَشَرَعَتْ فِي الصَّلَاةِ فَأَخَذَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَمِيْصَهَا وَجَرَّهُ إِلَيْهِ فَتَخَرَّقَ قَمِيْصُهَا فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ يَا يُوْسُفُ قَمِيْصٌ يَقَمِيْصٌ فَارْفَعِ الْعِتَابَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ زُلَيْخَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا.


(Dikisahkan) dari Asy-Syibli rahimahullah ‘alaihi bahwa beliau demam di akhir umurnya. Lalu Al-Junaid masuk menemuinya pada suatu malam dan melihatnya berputar-putar di dalam rumah yang gelap sambil mengucapkan syair: Setiap hati yang Engkau tempati tidak membutuhkan lentera, dan wajah-Mu yang diharapkan adalah hujjah kami pada hari ketika manusia datang dengan hujjah-hujjah. Ya Allah, jangan bukakan bagiku kelapangan pada hari aku memohon kelapangan kepada-Mu.
Kemudian Zulaikha berdiri dan mulai salat. Lalu Yusuf ‘alaihissalam mengambil bajunya dan menariknya ke arahnya, maka robeklah baju Zulaikha. Kemudian turunlah Jibril ‘alaihissalam dan berkata: “Wahai Yusuf, baju demi baju, angkatlah celaan antara engkau dan Zulaikha radhiyallahu ‘anha.”


(وَالثَّالِثُ) نِكَاحُ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَصَفُّوْرَاءَ بِنْتُ شُعَيْبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ اللهُ تَعَالَىٰ قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيَّ الْأَمِيْنَ وَهُوَ أَنَّ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِمَا قَدَّمَ مِنْ مَدْيَنَ وَسَقَىٰ غَنَمَ شُعَيْبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ ثُمَّ تَوَلَّىٰ إِلَى الظِّلِّ فَرَأَىٰ نَفْسَهُ فَقِيْرًا غَرِيْبًا جَائِعًا تَعْبَانًا فَقَالَ أَنَا الْمَرِيْضُ أَنَا الْغَرِيْبُ أَنَا الضَّعِيْفُ أَنَا الْفَقِيْرُ فَنُوْدِيَ فِيْ سِرِّهِ يَا مُوْسَىٰ الْمَرِيْضُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ طَبِيْبٌ وَالضَّعِيْفُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ رَقِيْبٌ وَالْفَقِيْرُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ نَصِيْبٌ وَالْغَرِيْبُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ حَبِيْبٌ فَرَجَعَتْ بِنْتَا شُعَيْبٍ وَقَصَّتَا عَلَىٰ أَبِيْهِمَا الْقِصَّةَ فَأَرْسَلَ إِلَىٰ مُوْسَىٰ أَحَدَهُمَا فَجَاءَتْهُ تَمْشِيْ عَلَى اسْتِحْيَاءٍ وَهِيَ صَفُّوْرَاءُ


(Dan yang ketiga) adalah pernikahan Musa ‘alaihissalam dengan Shafura’, putri Syuaib ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman, salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Dan itu adalah Musa ‘alaihissalam, karena apa yang telah ia lakukan di Madyan dan ia memberi minum kambing Syuaib ‘alaihissalam. Kemudian ia berpaling ke tempat yang teduh lalu melihat dirinya dalam keadaan miskin, asing, lapar, dan lelah. Maka ia berkata: “Aku adalah orang yang sakit, aku adalah orang yang asing, aku adalah orang yang lemah, aku adalah orang yang miskin.” Lalu diserukan dalam hatinya: “Wahai Musa, orang yang sakit yang tidak ada baginya dokter seperti Aku, dan orang yang lemah yang tidak ada baginya pengawas seperti Aku, dan orang yang miskin yang tidak ada baginya bagian seperti Aku, dan orang yang asing yang tidak ada baginya kekasih seperti Aku.” Lalu kedua putri Syuaib kembali dan menceritakan kisah itu kepada ayah mereka. Maka Syuaib mengutus salah seorang dari mereka kepada Musa, lalu datanglah kepadanya seorang wanita berjalan dengan malu-malu, dan dia adalah Shafura’.


(نُكْتَةٌ) أَنَّ مَشِيْئَةَ النِّسَاءِ عَلَى الاسْتِحْيَاء لَوْ لَمْ تَكُنْ مُرْضِيَةً عِنْدَ اللهِ لَمَا أُخْبِرَتْ بِمَشْيِهَا عَلَى الِاسْتِحْيَاءِ وَقَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَشُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرْسَلَ بِنْتَهُ لِمُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ تَدْعُوْهُ لِيَجْزِيَهُ أَجْرَ مَا سَقَىٰ لَهُ فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَرْسَلَ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَىٰ عِبَادِهِ يَدْعُوْهُمْ لِيَجْزِيَهُمْ أَجْرًا عَظِيْمًا.
فَقَالَتْ َفُّوْرَاءُ لِأَبِيْهَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيَّ الْأَمِيْنَ فَقَالَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا رَأَيْتُ مِنْ قُوَّتِهِ وَأَمَانَتِهِ فَقَالَتْ إِنَّهُ رَفَعَ الْحَجَرَ الَّذِيْ عَلَىٰ رَأْسِ الْبِئْرِ وَحْدَهُ وَلَا يَرْفَعُهُ إِلَّا أَرْبَعُوْنَ رَجُلًا وَكُنْتُ أَمْشِيْ قُدَّامَهُ فِي الطَّرِيْقِ فَقَالَ تَأَخَّرِيْ حَتَّىٰ لَا يَقَعَ بَصَرِيْ عَلَىٰ أَعْضَائِكِ فَلَمَّا سَمِعَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَغِبَ فِيْهِ وَقَالَ لِمُوْسَىٰ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَىٰ ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ فَقَالَ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنِّيْ فَقِيْرٌ غَرِيْبٌ لَيْسَ لِيْ قُدْرَةٌ عَلَى الصِّدْقِ فَقَالَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ثُمَّ جَمَعَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَهْلَ بَلَدِهِ وَعَقَدَ النِّكَاحَ وَسَلَّمَهَا إِلَيْهِ وَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ


(Sebuah catatan) Bahwa jalannya kaum wanita dengan rasa malu, seandainya tidak diridhai di sisi Allah, niscaya tidak dikabarkan tentang jalannya dengan rasa malu. Dan (salah seorang wanita itu) berkata: “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberimu balasan atas (kebaikanmu) memberi minum (ternak) kami.” Maka Syuaib ‘alaihissalam mengutus putrinya kepada Musa ‘alaihissalam untuk memanggilnya agar memberinya balasan atas (kebaikan) Musa memberi minum (ternak) mereka. Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada hamba-hamba-Nya menyeru mereka agar Dia memberi mereka balasan yang agung.
Maka Shafura’ berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja, sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Maka Syuaib ‘alaihissalam berkata: “Aku tidak melihat (tanda-tanda) kekuatan dan amanahnya.” Maka Shafura’ berkata: “Sesungguhnya ia telah mengangkat batu besar yang ada di atas sumur seorang diri, padahal tidaklah dapat mengangkatnya kecuali empat puluh orang laki-laki.
Dan aku berjalan di depannya di jalan, lalu ia berkata: “Mundurlah agar pandanganku tidak jatuh pada anggota tubuhmu.” Maka ketika Syuaib ‘alaihissalam mendengar (hal itu), ia menyukainya dan berkata kepada Musa: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini.” Maka Musa ‘alaihissalam berkata: “Sesungguhnya aku adalah orang miskin dan asing, aku tidak memiliki kemampuan untuk (memberikan) mahar.” Maka Syuaib ‘alaihissalam berkata: “Dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya menjadi sepuluh tahun, maka itu adalah kebaikan darimu.” Kemudian Syuaib ‘alaihissalam mengumpulkan penduduk negerinya dan melangsungkan akad nikah serta menyerahkannya (putrinya) kepada Musa, dan itu terjadi pada hari Jumat .


(نُكْتَةٌ) أَنَّ شُعَيْبًا لَمَّا رَأَىٰ أَمَانَةَ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَدِيَانَتَهُ أَسْرَعُ إِلَىٰ صِلَتِهِ وَقَالَ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ الْآيَةَ فَاللَّهُ تَعَالَىٰ لَمَّا عَلِمَ مِنْ صَلَاحِ عِبَادِهِ وَإِيْمَانِهِمْ وَتَقْوَاهُمْ وَدُعَائِهِمْ أَضَافَهُمْ إِلَىٰ نَفْسِهِ فَقَالَ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ وَقَالَ تَعَالَىٰ إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ. قَالَ السُّدِّيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ أَنَّ مَلَكًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ أَتَىٰ شُعَيْبًا عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَىٰ صُوْرَةِ آدَمِيٍّ وَوَضَعَ عِنْدَهُ الْعَصَا وَدِيْعَةً.


(Sebuah catatan) Bahwa Syuaib ketika melihat amanah Musa ‘alaihissalam dan kesalehannya, ia segera berhubungan dengannya dan berkata: “Sesungguhnya aku ingin menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini.” Ayat ini (menjelaskan bahwa) Allah Ta’ala ketika mengetahui kesalehan hamba-hamba-Nya, keimanan, ketakwaan, dan doa mereka, Dia menyandarkan mereka kepada diri-Nya, maka Dia berfirman: “Bukankah Aku Tuhanmu?” Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” Berkata As-Suddi rahimahullah ‘alaihi bahwa seorang malaikat dari para malaikat datang kepada Syuaib ‘alaihissalam dalam rupa seorang manusia dan meletakkan tongkat di sisinya sebagai titipan.


 
وَكَانَتِ الْعَصَا مِنْ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ نَزَلَ بِهَا آدَمُ مِنَ الْجَنَّةِ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَخَذَهَا جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَىٰ وَقْتِ شُعَيْبٍ، ثُمَّ نَزَلَ بِهَا إِلَىٰ شُعَيْبٍ لِأَجْلِ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا عُقِدَ النِّكَاحُ قَالَ لِمُوسَىٰ: ادْخُلْ فِي الْبَيْتِ وَخُذْ لَكَ الْعَصَا مِنْ بَيْنِ الْعِصِيِّ وَاذْهَبْ نَحْوَ الْغَنَمِ. فَدَخَلَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَخَرَجَ بِالْعَصَا، فَرَآهَا شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: هَٰذِهِ أَمَانَةٌ رُدَّهَا إِلَىٰ مَوْضِعِهَا وَخُذْ غَيْرَهَا. فَرَجَعَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَىٰ الْبَيْتِ وَوَضَعَهَا وَأَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ غَيْرَهَا فَدَخَلَتْ هَٰذِهِ الْعَصَا فِي يَدِهِ، وَكُلَّمَا جَهَدَ أَنْ يَأْخُذَ غَيْرَهَا لَمْ يَقْدِرْ. فَأَخَذَ تِلْكَ الْعَصَا وَذَهَبَ نَحْوَ الْغَنَمِ، فَتَبِعَهُ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ: إِنَّهُ ذَهَبَ بِأَمَانَةِ الْغَيْرِ. فَلَحِقَهُ وَاسْتَرَدَّهَا مِنْهُ. فَأَدْرَكَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ: أَعْطِنِي الْعَصَا. فَأَبَىٰ مُوسَىٰ فَتَنَازَعَا وَاتَّفَقَا عَلَىٰ أَنْ يُحَكِّمَ بَيْنَهُمَا مَنْ لَقِيَاهُ أَوَّلًا. فَلَقِيَا مَلَكًا عَلَىٰ صُورَةِ آدَمِيٍّ فَقَالَا لَهُ: احْكُمْ بَيْنَنَا. فَحَكَمَ فَقَالَ لِمُوسَىٰ: ضَعِ الْعَصَا عَلَى الْأَرْضِ، فَإِنْ قَدِرْتَ أَنْ تَرْفَعَهَا فَهِيَ لَكَ وَإِنْ قَدِرَ هُوَ أَنْ يَرْفَعَهَا فَهِيَ لَهُ. فَوَضَعَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى الْأَرْضِ، فَجَهَدَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ يَرْفَعَهَا مِنَ الْأَرْضِ فَمَا قَدِرَ أَنْ يُحَرِّكَهَا لَبِنَةً، فَتَنَاوَلَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْعَصَا فَرَفَعَهَا مِنَ الْأَرْضِ، ثُمَّ ظَهَرَتْ مِنْهَا مُعْجِزَاتٌ كَثِيرَةٌ حَتَّىٰ أَنَّ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ


Dan  ada  tongkat itu dari Sidratul Muntaha, dengannya Adam turun dari surga. Ketika Adam ‘alaihis salam wafat, Jibril ‘alaihis salam mengambilnya hingga masa Syuaib. Kemudian Jibril turun membawanya kepada Syuaib demi Musa ‘alaihis salam. Ketika akad nikah telah dilaksanakan, Syuaib berkata kepada Musa, “Masuklah ke dalam rumah dan ambillah tongkat untukmu dari antara tongkat-tongkat itu, lalu pergilah menuju kambing-kambing.” Maka Musa ‘alaihis salam masuk dan keluar membawa tongkat itu. Syuaib ‘alaihis salam melihatnya lalu berkata, “Ini adalah amanah, kembalikanlah ke tempatnya dan ambillah yang lain.” Musa ‘alaihis salam kembali ke rumah dan meletakkannya. Ketika ia hendak mengambil yang lain, tongkat ini masuk ke tangannya, dan setiap kali ia berusaha mengambil yang lain, ia tidak mampu. Lalu ia mengambil tongkat itu dan pergi menuju kambing-kambing. Syuaib ‘alaihis salam mengikutinya dan berkata, “Sesungguhnya ia telah membawa amanah orang lain.” Lalu Syuaib menyusulnya dan mengambil kembali tongkat itu darinya. Musa ‘alaihis salam menyusul dan berkata, “Berikan kepadaku tongkat itu.” Musa menolak, lalu keduanya berselisih dan sepakat untuk meminta keputusan kepada orang pertama yang mereka temui. Mereka bertemu dengan seorang malaikat dalam wujud manusia, lalu mereka berkata kepadanya, “Berilah keputusan di antara kami.” Malaikat itu memutuskan dan berkata kepada Musa, “Letakkan tongkat itu di tanah. Jika engkau mampu mengangkatnya, maka itu milikmu, dan jika ia (Syuaib) mampu mengangkatnya, maka itu miliknya.” Musa ‘alaihis salam meletakkannya di tanah, lalu Syuaib ‘alaihis salam berusaha keras mengangkatnya dari tanah, namun ia tidak mampu menggerakkannya sedikit pun. Kemudian Musa ‘alaihis salam meraih tongkat itu dan mengangkatnya dari tanah. Kemudian dari tongkat itu tampak mukjizat-mukjizat yang banyak, hingga Musa ‘alaihis salam.


كَانَ إِذَا تَعِبَ رَكِبَ عَلَيْهَا فَكَانَتْ تَمْشِي بِهِ كَالْفَرَسِ الْجَوَادِ، وَكَانَ إِذَا اشْتَهَى طَعَامًا ضَرَبَهَا عَلَى الْأَرْضِ فَيَظْهَرُ أَنْوَاعٌ مِنَ الْأَطْعِمَةِ، وَإِذَا اشْتَهَى مَاءً خَرَجَتْ مِنْهَا عَيْنُ مَاءٍ، وَإِذَا أَظْلَمَ اللَّيْلُ سَطَعَ مِنْهَا النُّوْرُ كَأَنَّهَا الشَّمْسُ، وَإِذَا ضَاقَ صَدْرُهُ وَاسْتَوْحَشَ صَارَتْ لَهُ مُؤْنِسَةً وَمُحَدِّثَةً. إِذَا أَلْقَاهَا نَحْوَ عَدُوٍّ صَارَتْ ثُعْبَانًا يَظْهَرُ مِنْ عَيْنَيْهِ وَمِنْخَرَيْهِ النَّارُ وَتَصِيْحُ كَالرَّعْدِ الْقَاصِفِ. وَمِمَّا قِيْلَ فِيْهَا مِنَ اللُّغْزِ شِعْرٌ:
وَمَاشِيَةٌ لَهَا وَرَقٌ وَظِلٌّ، لَحْمٌ نَاعِمٌ وَلَهَا عِظَامٌ. لَهَا عَيْنَانِ تَقَشَّعُ مِنْ بَرَاهَا، وَتَبْسِمُ مَا يُقَالُ مِنَ الْكَلَامِ. ثُمَّ أَتَمَّ ثَمَانَ حِجَجٍ قَالَ شُعَيْبٌ: يَا مُوسَى، كُلَّمَا وَلَدَتْ حَامِلٌ أُنْثَى فَهِيَ لَكَ فِي هَذِهِ السَّنَةِ. وَكَانَ مُوسَى يَرْعَى الْأَغْنَامَ، فَإِذَا سَقَاهَا أَلْقَى عَصَاهُ فِي الْمَاءِ يَسْقِيْهَا، فَوَلَدَتْ نِعَاجُهُ كُلُّهَا إِنَاثًا فِي تِلْكَ السَّنَةِ. وَقَالَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ: فِي السَّنَةِ الْعَاشِرَةِ كُلَّمَا وَلَدَتْ حَامِلٌ ذَكَرًا فَهُوَ لَكَ. فَوَلَدَتْ فِي تِلْكَ السَّنَةِ نِعَاجُهُ كُلُّهَا ذُكُوْرًا فَاجْتَمَعَ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ أَغْنَامٌ كَثِيْرَةٌ. فَرَجَعَ مَعَ أَهْلِهِ فَآنَسَ فِي الطَّرِيْقِ نَارًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: إِنِّي آنَسْتُ نَارًا الْآيَةُ.
(الرَّابِعُ)

نِكَاحُ سُلَيْمَانَ ابْنِ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ بِبِلْقِيْسَ، وَهُوَ حِيْنَ أَتَتْ إِلَى سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ عَرْشِهَا بِدُعَاءِ آصَفَ بْنِ بَرْخِيَا. (يُرْوَى) أَنَّهُ كَانَ لَهُ سَبْعُوْنَ قَائِدًا عِنْدَ كُلِّ قَائِدٍ أَلْفُ رَجُلٍ فَارِسٍ. وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: عِنْدَ كُلِّ قَائِدٍ خَمْسُمِائَةِ فَارِسٍ. وَبِلْقِيْسُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ ذَاتَ جَمَالٍ وَكَمَالٍ فَحَسَدَتْهَا الْجِنُّ وَقَالَتْ أَنَّ لَهَا عَيْبَيْنِ أَحَدُهُمَا نَاقِصَةُ الطَّوْلِ، وَالثَّانِي أَنَّ سَاقَهَا مِثْلُ سَاقِ الْجِمَالِ. فَأَمَرَ سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَتَتْ بِأَنْ يُنْكَرَ وَأَعْرَشَهَا فَنَكَّرُوْهُ ثُمَّ أَمَرَ بِأَنْ يَعْمَلُوا صَرْحًا مِنْ زُجَاجٍ.


Dahulu, jika Musa merasa lelah, ia menungganginya, maka tongkat itu berjalan bersamanya seperti kuda yang sangat cepat. Jika ia menginginkan makanan, ia memukulkannya ke tanah, lalu muncullah berbagai macam makanan. Jika ia menginginkan air, keluarlah mata air darinya. Jika malam menjadi gelap, memancarlah darinya cahaya seolah-olah matahari. Jika dadanya sesak dan merasa kesepian, tongkat itu menjadi penghibur dan teman bicaranya. Jika ia melemparkannya ke arah musuh, tongkat itu berubah menjadi ular yang dari kedua mata dan hidungnya keluar api, dan berteriak seperti guruh yang dahsyat. Di antara teka-teki tentangnya terdapat syair:
Dan sesuatu yang berjalan, memiliki daun dan naungan, daging yang lembut, dan memiliki tulang. Ia memiliki dua mata yang sinarnya memancar dari keindahannya, dan ia mendengar apa yang dikatakan dari perkataan. Kemudian Musa menyempurnakan delapan tahun, Syuaib berkata, “Wahai Musa, setiap kali ada hewan betina hamil melahirkan betina, maka itu menjadi milikmu pada tahun ini.” Dan Musa menggembalakan kambing, maka ketika ia memberinya minum, ia melemparkan tongkatnya ke dalam air untuk diminumkannya, lalu seluruh kambing betinanya melahirkan betina pada tahun itu. Dan Syuaib ‘alaihis salam berkata, “Pada tahun kesepuluh, setiap kali ada hewan betina hamil melahirkan jantan, maka itu menjadi milikmu.” Maka pada tahun itu seluruh kambing betinanya melahirkan jantan, lalu terkumpullah bagi Musa ‘alaihis salam kambing yang banyak. Lalu ia kembali bersama keluarganya, dan ia melihat api di jalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya aku melihat api,” ayat.
(Yang keempat) Pernikahan Sulaiman bin Daud ‘alaihimas salam dengan Balqis, yaitu ketika ia datang kepada Sulaiman ‘alaihis salam bersama singgasananya dengan doa Ashif bin Barkhiya. (Diriwayatkan) bahwa Sulaiman memiliki tujuh puluh panglima, dan di bawah setiap panglima terdapat seribu prajurit berkuda. Dan Muhammad bin Ishaq berkata, “Di bawah setiap panglima terdapat lima ratus prajurit berkuda.” Dan Balqis radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan dan kesempurnaan, lalu jin menghasudnya dan berkata bahwa ia memiliki dua cacat, salah satunya adalah kurang tinggi, dan yang kedua adalah betisnya seperti betis unta. Maka Sulaiman ‘alaihis salam memerintahkan agar singgasananya disamarkan dan ditinggikan, lalu mereka menyamarkannya, kemudian ia memerintahkan agar dibuatkan istana dari kaca.


وَيَجْرِي مِنْ تَحْتِهِ وَحَوَالَيْهِ نَهْرًا وَيَجْعَلُوا فِيْهِ السَّمَكَ وَالضَّفَادِعَ وَأُمِرَ بِأَنْ يَتَّخِذُوا عَلَى رَأْسِ الْمَاءِ قَنْطَرَةً مِنْ زُجَاجٍ فَفَعَلُوا مَا أُمِرَ ثُمَّ سَأَلَهَا سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ وَلَمْ تَقُلْ نَعَمْ لِأَنَّهُ مُغَيَّرٌ وَلَمْ تَقُلْ لَا لِأَنَّهَا كَانَتْ تَرَى بَعْضَ عَلَامَاتِ عَرْشِهَا فَعَلِمَ سُلَيْمَانُ بِهَذَا الْقَوْلِ أَنَّهَا عَاقِلَةٌ ثُمَّ أَمَرَهَا بِأَنْ تَدْخُلَ الصَّرْحَ وَعَزَمَتْ عَلَى الدُّخُوْلِ فَرَأَتِ الزُّجَاجَ عَلَى الْمَاءِ فَحَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا فَرَأَى سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ لَيْسَ فِيْهَا شَيْءٌ مِنَ الْعُيُوْبِ وَالْمَنْقَصَةِ قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيْرَ أَيْ زُجَاجٍ فَلَمَّا رَأَتْ بِلْقِيْسُ هَذِهِ الْعَلَامَةَ تَفَكَّرَتْ فِي نَفْسِهَا أَنَّهُ مَعَ عِظَمِ عَرْشِي وَكَثْرَةِ جُنُوْدِي وَحَشَمِي وَسِعَةِ بَلَدِي وَقَلَاعِي وَبُعْدِ الْمَسَافَةِ بَيْنِي وَبَيْنَ سُلَيْمَانَ وَأُحْضِرُ فِي سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ أَحَدٌ إِلَّا اللَّهُ الْمَلِكُ الْمُتَعَالِي وَقَالَتْ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ فَمَنْ يَقْدِرُ أَنْ يَصِفَ عَرْشَ رَسُوْلِ اللَّهِ سُلَيْمَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي كَانَتِ الرِّيْحُ مَرْكَبَهُ وَالْإِنْسُ وَالْجِنُّ جُنُوْدَهُ وَالطَّيْرُ مُعِيْنَهُ مُحَدِّثَهُ وَالْوَحْشُ مُسَخَّرَةٌ وَالْمَلَائِكَةُ رُسُلُهُ وَكَانَ لَهُ مَيْدَانٌ لَبِنَةٌ مِنْ فِضَّةٍ وَكَانَ مُدُّ عَسْكَرِهِ مِائَةَ فَرْسَخٍ وَكَانَ مَنْزِلُهُ شَهْرًا وَكَانَتِ الْجِنُّ نَسَجَتْ لَهُ بِسَاطًا مِنْ ذَهَبٍ وَمِنْ فِضَّةٍ فِيْهِ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ مِحْرَابٍ فِي كُلِّ مِحْرَابٍ كُرْسِيٌّ مِنْ ذَهَبٍ وَفِضَّةٍ عَلَى كُلِّ كُرْسِيٍّ عَالِمٌ مِنْ عُلَمَاءِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَكَانَ يُطْبَخُ فِي كُلِّ يَوْمٍ أَلْفُ جَزُوْرٍ وَأَرْبَعَةُ آلَافِ بَقَرَةٍ وَأَرْبَعُوْنَ أَلْفًا مِنَ الْغَنَم


Dan mengalir dari bawahnya dan sekelilingnya sungai, dan mereka membuat di dalamnya ikan-ikan dan katak-katak. Dan diperintahkan untuk membuat di atas permukaan air jembatan dari kaca, maka mereka melakukannya sesuai perintah. Kemudian Sulaiman alaihissalam bertanya kepadanya, “Apakah seperti ini singgasanamu?” Dia menjawab, “Seakan-akan itu dia.” Dia tidak mengatakan “ya” karena ia telah diubah, dan tidak pula mengatakan “tidak” karena ia melihat sebagian tanda-tanda singgasananya. Maka Sulaiman mengetahui dari perkataan ini bahwa dia berakal. Kemudian dia memerintahkannya untuk memasuki istana. Dan dia bertekad untuk masuk, maka dia melihat kaca di atas air, lalu dia menyangkanya genangan air dan menyingkapkan
kedua betisnya. Maka Sulaiman  alaihissalam melihat bahwa tidak ada sesuatu pun yang cacat dan kurang padanya. Dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah istana yang licin terbuat dari kaca,” yaitu kaca. Maka ketika Bilqis melihat tanda ini, dia berpikir dalam dirinya, bahwa meskipun singgasanaku agung, tentaraku dan pengawalku banyak, negeriku luas, benteng-bentengku kokoh, dan jarak antara aku dan Sulaiman jauh, namun singgasanaku dihadirkan dalam satu jam.
Apa yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun kecuali Allah, Raja Yang Maha Tinggi. Dan dia (Bilqis) berkata sebagaimana yang dia katakan, “Ya Tuhanku,sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” Kemudian Sulaiman bin Daud  alaihimasdalam menikahinya. Maka siapakah yang mampu menggambarkan singgasana Rasulullah Sulaiman shallallahu alaihi wasallam yang angin menjadi kendaraannya, manusia dan jin menjadi tentaranya, burung-burung menjadi pembantu dan pemberi kabar baginya, binatang buas tunduk kepadanya, dan malaikat menjadi utusannya? Dan dia memiliki lapangan (atau bangunan) yang satu batanya terbuat dari perak. Dan luas perkemahannya seratus farsakh, dan jarak perjalanannya sebulan. Dan jin telah menenun untuknya permadani dari emas dan perak yang di dalamnya terdapat dua belas ribu mihrab, di setiap mihrab terdapat kursi dari emas dan perak, dan di setiap kursi terdapat seorang alim dari ulama Bani Israil. Dan dimasak setiap hari seribu ekor unta, empat ribu ekor sapi, dan empat puluh ribu ekor kambing.


(نُكْتَةُ) الرَّاهِبُ نَظَرَ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ مَرَّةً وَاحِدَةً فَأَكْرَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِالْإِيمَانِ وَأَنْقَذَهُ مِنْ عَذَابِهِ، فَالْمُؤْمِنُ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى قَلْبِهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ الرَّؤُوفِ الْمَنَّانِ ثَلَاثَمِائَةٍ وَسِتِّينَ نَظْرَةً فَيَرَى فِيهِ التَّوْحِيدَ وَالصَّفَاءَ وَالْإِحْسَانَ وَالنَّدَامَةَ عَلَى عِصْيَانِهِ، أَفَلَا يُنْقِذُهُ مِنَ النِّيْرَانِ (وَ) يُوجِبُ الْجِنَانَ وَيُزَوِّجُهُ بِالْحُوْرِ الْحِسَانِ الَّذِي لَمْ يَطْمَثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ؟ وَكَيْفَ لَا يَطْمَعُهُ مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ؟ بَلْ يُشَرِّفُهُ وَيُفَضِّلُ عَلَيْهِ بِرُؤْيَتِهِ وَهُوَ الرَّحِيمُ الرَّحْمَانُ.
فَلَمَّا وَصَلَ الْعِيْرُ إِلَى الشَّامِ وَاتَّجَرُوا فِيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمَيْسَرَةُ خَرَجُوا إِلَى عِيْدٍ لِلْيَهُوْدِ لِلنَّظَارَةِ، فَلَمَّا وَصَلُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ دَخَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ إِلَى بَيْعَتِهِمْ فَنَظَرَ إِلَى الْقَنَادِيْلِ الَّتِي كَانَتْ مُعَلَّقَةً بِالسَّلَاسِلِ فَتَقَطَّعَتْ سَلَاسِلُهَا جَمِيْعًا، فَخَافَتِ الْيَهُوْدُ وَقَالَتْ لِعُلَمَائِهِمْ: مَا هَذِهِ الْعَلَامَةُ الَّتِيْ ظَهَرَتْ؟ قَالُوا: نَجِدُ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ مُحَمَّدًا نَبِيٌّ آخِرِ الزَّمَانِ إِذَا حَضَرَ فِيْ عِيْدِ الْيَهُوْدِ تَظْهَرُ هَذِهِ الْعَلَامَةُ فَلَعَلَّهُ قَدْ حَضَرَ الْيَوْمَ، فَطَلَبُوْهُ وَقَالُوا: لَوْ وَجَدْنَاهُ لَقَتَلْنَاهُ وَدَفَعْنَا شَرَّهُ. فَلَمَّا سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمَيْسَرَةُ هَذَا الْقَوْلَ تَبَادَرُوا لِلرُّجُوْعِ إِلَى مَكَّةَ فَرَجَعُوا. وَكَانَ مَيْسَرَةُ إِذَا دَنَا مِنْ مَكَّةَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يُرْسِلُ أَحَدًا إِلَى خَدِيْجَةَ يُبَشِّرُهَا بِقُدُوْمِهِ، فَقَالَ لِمُحَمَّدٍ ﷺ: لَوْ أَرْسَلْتُكَ بَشِيْرًا هَلْ تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ أَقْدِرُ. فَأَرْسَلَ مَيْسَرَةُ نَاقَةً وَزَيَّنَهَا بِأَنْوَاعِ الْحَرِيْرِ وَأَرْكَبَ عَلَيْهَا رَسُوْلَ اللَّهِ وَوَجَّهَهُ نَحْوَ مَكَّةَ، وَكَتَبَ كِتَابًا وَقَالَ فِيْهِ: يَا سَيِّدَةَ قُرَيْشٍ إِنَّ التِّجَارَةَ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ أَرْبَحُ تِجَارَاتِيْ فِيْ سَائِرِ السَّنِيْنَ. فَسَاقَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ النَّاقَةَ وَغَابَ عَنْ أَعْيُنِهِمْ، فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ أَطْوِ الْأَرْضَ تَحْتَ أَقْدَامِ نَاقَةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم.


(Sebuah catatan) Seorang rahib melihat cincin kenabian hanya sekali, maka Allah Ta’ala memuliakannya dengan keimanan dan menyelamatkannya dari azab-Nya. Maka seorang mukmin yang melihat ke dalam hatinya, kepada Raja Yang Maha Menghakimi, Maha Penyayang, Maha Pemberi karunia, sebanyak tiga ratus enam puluh kali, lalu dia melihat di dalamnya tauhid, kejernihan, kebaikan, dan penyesalan atas kemaksiatannya, bukankah Dia akan menyelamatkannya dari neraka? Dan mewajibkan baginya surga, dan menikahkannya dengan para bidadari yang cantik jelita yang belum pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelum mereka? Dan bagaimana mungkin Dia tidak memberikannya harapan dari setiap buah sepasang-sepasang? Bahkan Dia memuliakannya dan melebihkannya dengan melihat-Nya, dan Dia adalah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.
Maka tatkala kafilah itu sampai ke Syam dan mereka berdagang di sana, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Maisarah keluar menuju hari raya orang-orang Yahudi untuk melihat-lihat. Tatkala mereka sampai ke tempat salat mereka, Rasulullah ﷺ masuk ke gereja mereka, lalu beliau melihat lentera-lentera yang tergantung dengan rantai, maka terputuslah semua rantainya. Orang-orang Yahudi pun ketakutan dan berkata kepada para ulama mereka, “Apa tanda yang telah tampak ini?” Mereka menjawab, “Kami dapati dalam Taurat bahwa Muhammad adalah nabi akhir zaman, jika dia hadir pada hari raya orang-orang Yahudi, maka tanda ini akan tampak. Barangkali dia telah hadir hari ini.” Maka mereka mencarinya dan berkata, “Seandainya kami menemukannya, pasti kami akan membunuhnya dan menyingkirkan kejahatannya.” Tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Maisarah mendengar perkataan ini, mereka bersegera untuk kembali ke Mekah, maka mereka pun kembali. Dan adalah Maisarah, jika dia mendekati Mekah tujuh hari lamanya, dia akan mengirim seseorang kepada Khadijah untuk memberikan kabar gembira tentang kedatangannya. Maka dia berkata kepada Muhammad ﷺ, “Seandainya aku mengutusmu sebagai pembawa kabar gembira, apakah engkau sanggup melakukan itu?” Beliau menjawab, “Ya, aku sanggup.” Maka Maisarah mengirim seekor unta dan menghiasinya dengan berbagai macam sutra, dan menaikkan Rasulullah di atasnya serta menghadapkannya ke arah Mekah. Dan dia menulis surat yang berbunyi, “Wahai pemimpin wanita Quraisy, sesungguhnya perniagaan pada tahun ini adalah perniagaanku yang paling menguntungkan di seluruh tahun-tahun yang lain.” Maka Rasulullah ﷺ menuntun unta itu dan menghilang dari pandangan mereka. Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada Jibril ‘alaihissalam untuk melipat bumi di bawah kaki unta Muhammad SAW


وَيَا إِسْرَافِيلُ أَحْفَظُهُ عَنْ يَمِينِهِ وَيَا مِيكَائِيلُ أَحْفَظُهُ عَنْ يَسَارِهِ وَيَا سَحَابُ أَظِلَّهُ فَأَلْقَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ النَّوْمَ فَنَامَ فَأَوْصَلَهُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ إِلَى مَكَّةَ وَكَانَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا جَالِسَةً عَلَى الرُّوَاقِ وَنَظَرَتْ نَحْوَ الشَّامِ فَرَأَتْهُ رَاكِبًا يُقْبِلُ وَالسَّحَابُ عَلَى رَأْسِهِ يُظَلِّلُهَا كَانَ حَوْلَهَا حَوَارٌ كَثِيرَةٌ فَقَالَتْ هَلْ تَعْرِفْنَ ذَلِكَ الرَّاكِبَ الَّذِي يَجِيءُ؟ فَقَالَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ يُشْبِهُ مُحَمَّدًا الْأَمِينَ فَقَالَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِنْ كَانَ هُوَ مُحَمَّدًا الْأَمِينَ فَقَدْ أَعْتَقْتُكُنَّ جَمِيعَكُنَّ لِقُدُومِهِ فَوَصَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَابَ دَارِهَا فَاسْتَقْبَلَتْهُ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَأَكْرَمَتْهُ وَبَجَّلَتْهُ وَقَالَتْ وَهَبْتُ لَكَ النَّاقَةَ الَّتِي رَكِبْتَ بِمَا عَلَيْهَا ثُمَّ ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى بَيْتِ عَمِّهِ وَمَرَّتْ أَيَّامٌ فَجَاءَ يَوْمًا إِلَى دَارِ خَدِيجَةَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا يَا مُحَمَّدُ تَكَلَّمْ وَأَخْبِرْنِي بِمَا تُرِيدُ فَقَالَ إِنَّ عَمِّي وَعَمَّتِي أَرْسَلَانِي بِأَنْ أَسْأَلَ الْأُجْرَةَ الْأُسْرَةِ يُرِيدَانِ أَنْ يُزَوِّجَانِي وَقَالَ هَذَا الْقَوْلَ وَاسْتَحَى وَنَكَّسَ رَأْسَهُ فَقَالَتْ خَدِيجَةُ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ الْأَجْرَ قَلِيلٌ فَلَا يَحْصُلُ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَكِنْ أُزَوِّجُكَ زَوْجَةً مِنْ أَشْرَافِ الْعَرَبِ وَأَحْسَنِهَا حَالًا وَأَكْثَرِهَا مَالًا وَهِيَ تَرْغَبُ فِيهَا مُلُوكُ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ فَلَمْ تَقْبَلْ وَأَنَا أَسْعَى فِي تَزْوِيجِهَا لَكَ وَلَكِنْ فِيهَا عَيْبٌ وَهُوَ أَنَّهُ كَانَ لَهَا زَوْجٌ قَبْلَكَ فَإِنْ قَبِلْتَ فَهِيَ خَادِمَتُكَ وَجَارِيَتُكَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِهَا وَلَمْ يُكَلِّمْ بِشَيْءٍ وَأَتَى بَيْتَ عَمِّي وَعَمَّتِهِ وَقَالَ إِنَّ خَدِيجَةَ قَدْ سَحَرَتْ بِي وَقَالَتْ لِي كَيْتَ وَكَيْتَ فَقَالَتْ عَاتِكَةُ إِنْ كَانَ مَا قَالَتْ حَقًّا فَأُنَازِعُ مَعَهَا فَأَتَتِ الْبُهَا وَقَالَتْ يَا خَدِيجَةُ إِنْ كَانَ لَكِ مَالٌ وَنَسَبٌ فَلَنَا حَسَبٌ وَنَسَبٌ فَلِمَاذَا تَسْحَرِينَ بِابْنِ أَخِي مُحَمَّدٍ فَقَامَتْ وَاعْتَذَرَتْ وَقَالَتْ مَنْ يُطِيقُ أَنْ يَسْحَرَ مِنْ أَنْسَابِكُمْ وَلَكِنِّي عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنْ قَبِلَنِي تَزَوَّجْتُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَحَدًا إِلَى أَنْ أَمُوتَ فَقَالَتْ عَاتِكَةُ هَلْ عَلِمَ بِهَذَا الْقَوْلِ عَمُّكِ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ فَقَالَتْ لَا وَلَكِنْ قَوْلِي لِأَخِيكِ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يَتَّخِذَ ضِيَافَةً وَيَدْعُوَ عَمِّي وَرَقَةَ ابْنَ نَوْفَلٍ وَيَسْقِيَهُ مِنَ الْأَشْرِبَةِ وَيَخْطُبَنِي مِنْهُ فَرَجَعَتْ عَاتِكَةُ وَأَخْبَرَتْ أَخَاهَا بِقَوْلِ خَدِيجَةَ فَاتَّخَذَ ضِيَافَةً وَدَعَا وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلٍ وَأَشْرَافَ الْعَرَبِ وَخَطَبَ خَدِيجَةَ فَقَالَ قَبِلْتُ إِلَّا أَنِّي أُشَاوِرُهَا وَذَهَبَ إِلَى بَيْتِ خُدَيْجَةَ فَشَاوَرَهَا فَقَالَتْ يَا عَمِّي كَيْفَ أَرُدُّ خِطْبَةَ مُحَمَّدٍ وَلَهُ أَمَانَةٌ وَصِيَانَةٌ وَحَسَبٌ وَأَصَالَةٌ فَقَالَ وَرَقَةُ نَعَمْ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ مَالٌ فَقَالَتْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ فَلِي مَالٌ بِلَا حَدٍّ وَلَا حَاجَةَ لِي فِي الْمَالِ مُرَادِي الرِّجَالُ فَقَدْ وَكَّلْتُكَ يَا عَمِّي بِتَزْوِيجِي إِيَّاهُ فَرَجَعَ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ إِلَى دَارِ أَبِي طَالِبٍ وَعَقَدَ النِّكَاحَ وَخَطَبَ بِنَفْسِهِ خُطْبَةً بَلِيغَةً فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُرِيدُ أَنْ تَذْهَبَ مَعِي إِلَى دَارِ خَدِيجَةَ فَقَالَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حُبًّا وَكَرَامَةً ثُمَّ أَتَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِدَارِعَةٍ مِصْرِيَّةٍ وَعِمَامَةٍ وَأَلْبَسَهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَا إِلَى دَارِ خَدِيجَةَ وَكَانَتْ خَدِيجَةُ أَقَامَتْ مِائَةَ غُلَامٍ عَلَى يَمِينِ بَابِهَا بِيَدِ كُلِّ وَاحِدٍ طَبَقٌ مَمْلُوءٌ مِنْ دُرٍّ وَيَاقُوتٍ وَزَبَرْجَدٍ فَلَمَّا حَضَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَثَرَ الْغِلْمَانُ الْجَوَاهِرَ كُلَّهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَارَهَا وَقَدَّمَتْ مَوَائِدَ عَلَيْهَا أَلْوَانُ الْأَطْعِمَةِ فَأَكَلَ ثُمَّ رَجَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَكَلَّمَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَالَتْ يَا مُحَمَّدُ وَالْعَبِيدُ وَالطَّارِفُ وَالتَّالِدُ كُلُّهَا لَكَ فَلِذَلِكَ نَزَلَ قَوْلُهُ تَعَالَى وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى يَعْنِي عَالَ خَدِيجَةَ وَيُقَالُ إِنَّ خَدِيجَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَاشَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ سَنَةً وَخَمْسَةَ أَشْهُرٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنْهَا خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً قَبْلَ الْوَحْيِ وَالْبَاقِي بَعْدَ الْوَحْيِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ تَزَوَّجَهَا ابْنَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً فَوَلَدَتْ مِنْهُ سَبْعَةَ أَوْلَادٍ ثَلَاثَةً ذُكُورًا الْقَاسِمَ وَالطَّاهِرَ وَالْمُطَهَّرَ كُلُّهُمْ مَاتُوا فِي الصِّغَرِ وَأَرْبَعًا إِنَاثًا فَاطِمَةَ وَزَيْنَبَ وَرُقَيَّةَ وَأُمَّ كُلْثُومٍ فَزَوَّجَ فَاطِمَةَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَزَيْنَبَ بِأَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ وَأُمَّ كُلْثُومٍ بِعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَمَاتَتْ عِنْدَهُ ثُمَّ زَوَّجَهُ بِرُقَيَّةَ وَكَانَتِ الْأَنْكِحَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.


“Wahai Israfil, jagalah dia dari kanannya. Wahai Mikail, jagalah dia dari kirinya. Wahai awan, naungilah dia.” Maka Allah Ta’ala menimpakan tidur kepadanya, lalu ia tidur. Kemudian Allah membawanya pada saat itu juga ke Makkah. Dan Khadijah radhiyallahu ‘anha sedang duduk di beranda, lalu ia melihat ke arah Syam dan melihatnya datang berkendara, awan di atas kepalanya menaunginya. Di sekelilingnya banyak wanita, lalu ia bertanya, “Apakah kalian mengenali pengendara yang datang itu?” Salah seorang dari mereka berkata, “Ia mirip Muhammad Al-Amin.” Khadijah radhiyallahu ‘anha berkata, “Jika benar ia adalah Muhammad Al-Amin, maka aku bebaskan kalian semua karena kedatangannya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di depan pintu rumahnya, lalu Khadijah radhiyallahu ‘anha menyambutnya, memuliakannya, dan mengagungkannya. Ia berkata, “Aku hibahkan kepadamu unta yang engkau tunggangi beserta apa yang ada di atasnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke rumah pamannya. Beberapa hari berlalu, lalu suatu hari beliau datang ke rumah Khadijah. Khadijah radhiyallahu ‘anha berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bicaralah dan beritahukan kepadaku apa yang engkau inginkan.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya pamanku dan bibiku mengutusku untuk meminta upah keluarga, mereka ingin menikahkan aku.” Beliau mengatakan perkataan ini dengan malu dan menundukkan kepalanya.
Khadijah berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya upah itu sedikit dan tidak menghasilkan apa-apa. Akan tetapi, aku akan menikahkanmu dengan seorang wanita dari bangsawan Arab, yang paling baik keadaannya, paling banyak hartanya, dan raja-raja Arab dan ‘Ajam (non-Arab) menginginkannya. Ia tidak menerimanya, dan aku berusaha untuk menikahkannya denganmu. Akan tetapi, ada satu aib padanya, yaitu ia pernah memiliki suami sebelummu. Jika engkau menerimanya, maka ia adalah pelayan dan sahayamu.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dari sisinya dan tidak berkata apa pun. Beliau pergi ke rumah paman dan bibinya dan berkata, “Sesungguhnya Khadijah telah menyihirku dan mengatakan kepadaku begini dan begitu.” ‘Atikah berkata, “Jika apa yang ia katakan benar, maka aku akan berselisih dengannya.” Lalu ia datang kepada Khadijah dan berkata, “Wahai Khadijah, jika engkau memiliki harta dan nasab, maka kami juga memiliki kemuliaan dan nasab. Mengapa engkau menyihir keponakanku, Muhammad?” Khadijah berdiri dan meminta maaf, seraya berkata, “Siapa yang sanggup menyihir dari keturunan kalian? Akan tetapi, aku menawarkan diriku kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia menerimaku, aku akan menikah dengannya. Jika ia tidak menerimaku, aku tidak akan menikah dengan siapa pun sampai aku mati.”
‘Atikah berkata, “Apakah pamanmu, Waraqah bin Naufal, mengetahui perkataan ini?” Khadijah menjawab, “Tidak. Akan tetapi, katakan kepada saudaramu, Abu Thalib, untuk mengadakan jamuan makan, mengundang pamanku, Waraqah bin Naufal, memberinya minuman, dan meminangku darinya.” Maka ‘Atikah kembali dan memberitahukan saudaranya tentang perkataan Khadijah. Abu Thalib mengadakan jamuan makan, mengundang Waraqah bin Naufal dan para bangsawan Arab, dan meminang Khadijah. Waraqah berkata, “Aku terima, hanya saja aku akan bermusyawarah dengannya.” Lalu ia pergi ke rumah Khadijah dan bermusyawarah dengannya. Khadijah berkata, “Wahai pamanku, bagaimana aku menolak pinangan Muhammad, sedangkan ia memiliki amanah, penjagaan diri, kemuliaan, dan keaslian nasab?” Waraqah berkata, “Benar, hanya saja ia tidak memiliki harta.” Khadijah berkata, “Jika ia tidak memiliki harta, maka aku memiliki harta yang tak terbatas dan aku tidak membutuhkan harta. Tujuanku adalah laki-laki itu. Aku telah mewakilkan kepadamu, wahai pamanku, untuk menikahkanku dengannya.”
Maka Waraqah bin Naufal kembali ke rumah Abu Thalib dan melaksanakan akad nikah serta berkhutbah dengan khutbah yang fasih. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, “Aku ingin engkau pergi bersamaku ke rumah Khadijah.” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Dengan senang hati dan penghormatan.” Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu datang dengan membawa baju gamis Mesir dan surban, lalu memakaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berdua pergi ke rumah Khadijah. Khadijah telah menyiapkan seratus budak laki-laki di sebelah kanan pintu rumahnya, di tangan masing-masing terdapat nampan yang penuh dengan mutiara, yaqut, dan zamrud. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir, para budak laki-laki itu menaburkan seluruh permata itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya, dan Khadijah telah menyiapkan hidangan dengan berbagai macam makanan, lalu beliau makan. Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali ke rumahnya.
Lalu Khadijah radhiyallahu ‘anha berbicara dan berkata, “Wahai Muhammad, semua budak, harta baru, dan harta warisan adalah milikmu.”
“Maka karena itulah turun firman Allah Ta’ala: ‘Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.’ (Ad-Dhuha: 8) Yakni, kekurangan karena Khadijah. Dikatakan bahwa Khadijah radhiyallahu ‘anha hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh empat tahun, lima bulan, dan delapan hari. Lima belas tahun di antaranya sebelum wahyu, dan sisanya setelah wahyu. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikahinya berusia dua puluh lima tahun. Khadijah melahirkan tujuh orang anak dari beliau, tiga laki-laki yaitu Al-Qasim, At-Thahir, dan Al-Muthahhar, mereka semua meninggal di usia kecil. Dan empat perempuan yaitu Fatimah, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum. Rasulullah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Zainab dengan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’, dan Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma, lalu Ummu Kultsum meninggal di sisi Utsman. Kemudian beliau menikahkan Utsman dengan Ruqayyah. Dan pernikahan-pernikahan itu terjadi pada hari Jumat.”

Referensi

 
هَدِيَّةُ الْأَحْيَاءِ إِلَى الْأَمْوَاتِ وَمَا يَصِلُ إِلَيْهِمْ لِلْبُخَارِيِّ ١/١٧٤ :
ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ يَأْتُونَ كُلَّ جُمُعَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقِفُونَ بِحِذَاءِ دُورِهِمْ وَبُيُوتِهِمْ فَيُنَادِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِصَوْتٍ حَزِينٍ: يَا أَهْلِي وَوُلْدِي وَأَهْلَ بَيْتِي وَقَرَابَاتِي، اعْطِفُوا عَلَيْنَا بِشَيْءٍ، رَحِمَكُمُ اللَّهُ، وَاذْكُرُونَا وَلَا تَنْسَوْنَا، وَارْحَمُوا غُرْبَتَنَا، وَقِلَّةَ حِيلَتِنَا، وَمَا نَحْنُ فِيهِ، فَإِنَّا قَدْ بَقِينَا فِي سِجْنٍ وَضَيِّقٍ، وَغَمٍّ طَوِيلٍ، وَوَهْنٍ شَدِيدٍ، فَارْحَمُونَا رَحِمَكُمُ اللَّهُ، وَلَا تَبْخَلُوا عَلَيْنَا بِدُعَاءٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ تَسْبِيحٍ، لَعَلَّ اللَّهَ يَرْحَمُنَا قَبْلَ أَنْ تَكُونُوا أَمْثَالَنَا، فَيَا حَسْرَتَاهُ وَانْدَامَاهُ يَا عِبَادَ اللَّهِ، اسْمَعُوا كَلَامَنَا، وَلَا تَنْسَوْنَا، فَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّ هَذِهِ الْفُضُولَ الَّتِي فِي أَيْدِيكُمْ كَانَتْ فِي أَيْدِينَا، وَكُنَّا لَمْ نُنْفِقْ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَمَنَعْنَاهَا عَنِ الْحَقِّ فَصَارَ وَبَالًا عَلَيْنَا وَمَنْفَعَتُهُ لِغَيْرِنَا وَالْحِسَابُ عَلَيْنَا .


Hadiah orang-orang yang hidup kepada orang-orang yang mati dan apa yang sampai kepada mereka (diriwayatkan) oleh Bukhari 1/174:
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang setiap malam Jumat ke langit dunia, lalu mereka berdiri di dekat rumah-rumah dan tempat tinggal mereka. Kemudian setiap satu dari mereka memanggil dengan suara sedih: ‘Wahai keluargaku, anak-anakku, ahli baitku, dan kerabatku, berilah kami sesuatu, semoga Allah merahmati kalian. Ingatlah kami dan jangan lupakan kami, kasihanilah keterasingan kami dan sedikitnya daya upaya kami serta keadaan kami. Sesungguhnya kami telah tinggal di penjara dan kesempitan, serta kesedihan yang panjang dan kelemahan yang parah. Maka kasihanilah kami, semoga Allah merahmati kalian. Janganlah kalian kikir kepada kami dengan doa, sedekah, atau tasbih, semoga Allah merahmati kami sebelum kalian menjadi seperti kami. Maka alangkah menyesalnya dan alangkah ruginya kami! Wahai hamba-hamba Allah, dengarkanlah perkataan kami dan janganlah kalian melupakan kami. Sesungguhnya kalian mengetahui bahwa kelebihan harta yang ada di tangan kalian dahulu ada di tangan kami, dan kami tidak menginfakkannya dalam ketaatan kepada Allah, dan kami menahannya dari kebenaran, maka ia menjadi bencana atas kami dan manfaatnya untuk orang lain, sedangkan hisabnya (perhitungannya) atas kami.'”


البجيرمي على الخطيب ٢/٣٠١
قوله: (ويندب الزيارة القبور) فرع: روح المؤمن لها ارتباط بقبره لا تفارقه أبداً، لكنها أشد ارتباطاً به من عصر الخميس إلى شمس السبت؛ ولذلك اعتاد الناس الزيارة يوم الجمعة وفي عصر يوم الخميس وأما زيارته – صلى الله عليه وسلم – لشهداء أحد يوم السبت فلقضاء يوم الجمعة عما يطلب فيه من الأعمال مع بعدهم عن المدينة. اهـ. ق ل على المحلي وقال – صلى الله عليه وسلم -: “إن أرواح المؤمنين يأتون في كل ليلة إلى سماء الدنيا ويقفون بحذاء بيوتهم وينادي كل واحد بصوت حزين ألف مرة يا أهلي وأقاربي وولدي يا من سكنوا بيوتنا ولبسوا ثيابنا واقتسموا أموالنا هل منكم من أحد يذكرنا ويفكرنا في غربتنا ونحن في سجن طويل وحضن شديد؟ فارحمونا يرحمكم الله ولا تبخلوا علينا قبل أن تصيروا مثلنا يا عباد الله إن الفضل الذي في أيديكم كان في أيدينا وكنا لا ننفق منه في سبيل الله وحسابه ووباله علينا والمنفعة لغيرنا؛ فإن لم تنصرف أي الأرواح بشيء فينصرفون بالحسرة والحرمان”. اهـ من الجامع الكبير


Al-Bujairami ‘ala al-Khatib 2/301
Perkataannya: (Disunnahkan menziarahi kubur) Cabang: Ruh seorang mukmin memiliki keterikatan dengan kuburnya yang tidak pernah berpisah selamanya, akan tetapi keterikatannya lebih kuat dari waktu Ashar hari Kamis hingga terbit matahari hari Sabtu; oleh karena itu orang-orang terbiasa berziarah pada hari Jumat dan pada waktu Ashar hari Kamis. Adapun ziarah beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kepada syuhada Uhud pada hari Sabtu adalah untuk mengqadha’ (mengganti) amalan hari Jumat yang diminta untuk dikerjakan meskipun mereka jauh dari Madinah. Selesai. Q.L. mengutip dari Al-Mahalli dan bersabda – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: “Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang pada setiap malam ke langit dunia dan mereka berdiri di dekat rumah-rumah mereka. Kemudian setiap satu dari mereka memanggil dengan suara sedih seribu kali: ‘Wahai keluargaku, kerabatku, dan anak-anakku, wahai orang-orang yang mendiami rumah-rumah kami, mengenakan pakaian kami, dan membagi-bagi harta kami, adakah di antara kalian yang mengingat kami dan memikirkan keterasingan kami, padahal kami berada di penjara yang panjang dan pelukan yang sempit? Kasihanilah kami, semoga Allah mengasihi kalian. Janganlah kalian kikir kepada kami sebelum kalian menjadi seperti kami, wahai hamba-hamba Allah. Sesungguhnya kelebihan harta yang ada di tangan kalian dahulu ada di tangan kami, dan kami tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka perhitungannya dan akibat buruknya menimpa kami, sedangkan manfaatnya untuk orang lain; maka jika ruh-ruh itu tidak kembali dengan sesuatu (pahala), maka mereka kembali dengan penyesalan dan kerugian.'” Selesai dari Al-Jami’ Al-Kabir.


غاية تلخيص المراد بهامش بغية المسترشدين ص : ٢٠٦ دار الفكر
(مسألة) إذا سأل رجل آخر هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة فلا يحتاج إلى جواب لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر المنجم زجرا بليغا فلا عبرة بمن يفعله. وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا كذا، والمؤثر هو الله عز وجل. فهذا عندي لا بأس فيه وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات. وأفتى الزملكاني بالتحريم مطلقا وأفتى ابن الصلاح بتحريم الضرب بالرمل والحصى ونحوها قال حسين الأهدل وما يوجد من التعاليق في الكتب من ذلك فمن خرافات بعض المنجمين والمتخذلقين وترهاتهم لا يحل اعتقاد ذلك وهو من الاستقسام بالأزلام ومن جملة الطيرة المنهى عنها وقد نهى عنه علي وابن عباس رضي الله عنهما.


Tujuan: Ringkasan dari maksud catatan kaki kitab Bughyatul Mustarsyidin hal. 206 Darul Fikr
(Masalah) Jika seseorang bertanya kepada orang lain, “Apakah malam ini atau hari ini baik untuk akad nikah atau pindah rumah?”, maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal itu, dan ahli nujum dicela dengan celaan yang keras, maka tidak ada nilai bagi orang yang melakukannya. Ibnu Al-Farqah meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa jika ahli nujum mengatakan dan meyakini bahwa tidak ada yang memberi pengaruh kecuali Allah, tetapi Allah telah menetapkan kebiasaan bahwa akan terjadi demikian demikian, dan Yang Maha Memberi Pengaruh adalah Allah Azza wa Jalla. Maka menurutku ini tidak mengapa. Dan di mana ada celaan, maka itu ditujukan kepada orang yang meyakini pengaruh bintang-bintang dan makhluk lainnya. Az-Zarkasyi memberi fatwa haram secara mutlak, dan Ibnu Ash-Shalah memberi fatwa haram terhadap praktik meramal dengan pasir, kerikil, dan sejenisnya. Husain Al-Ahdal berkata, “Dan apa yang terdapat dalam catatan-catatan di kitab-kitab dari hal itu, maka itu termasuk khurafat sebagian ahli nujum dan orang-orang yang sok tahu serta omong kosong mereka. Tidak halal meyakini hal itu, dan itu termasuk istiqsam bil azlam (mengundi nasib dengan anak panah). Dan termasuk bagian dari thiyarah (merasa bernasib sial karena sesuatu) yang dilarang, dan Ali serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma telah melarangnya.” Wallahu a’lam bishawab
 


Kategori
Uncategorized

HUKUM MENYENTUH METODE PRAKTIS PEMBELAJARAN AL-QUR’AN “ATTANZIL” BAGI PEREMPUAN HAID ATAU HADATS

Hukum Menyentuh Metode Praktis Pembelajaran Al-Qur’an ( AT-TANZIL) bagi Perempuan Haid atau Berhadats Kecil

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Perkembangan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an untuk anak usia dini (TK/RA/TPA) terus berkembang. Berbagai metode praktis seperti At-Tanzil,yang ditulis oleh Ust.H Suroto Suruji Rahimahullah, ada juga metode Iqro’, Qiroati, dan Al-Barqi banyak digunakan. Metode-metode ini seringkali memuat potongan ayat Al-Qur’an sebagai materi pembelajaran.

Dalam praktik pengajarannya, mayoritas guru adalah perempuan, walaupun ada sebagian pengampunya laki-laki. Hal ini menimbulkan permasalahan terkait kondisi guru yang sedang haid atau berhadats kecil, terutama dalam hal menyentuh buku-buku metode tersebut.

Pertanyaan:

1.Bagaimana hukumnya perempuan yang sedang haid atau berhadats kecil menyentuh buku-buku metode pembelajaran Al-Qur’an (seperti At-Tanzil, juz 1,2,3 ,5 ,6 atau Iqro’, Qiroati, dan Al-Barqi)?

2 Apakah buku-buku metode praktis tersebut, khususnya metode At-Tanzil, dikategorikan sebagai mushaf, mengingat adanya potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya?

Poin-poin Penting:

✔️ Fokus pada hukum menyentuh buku metode pembelajaran Al-Qur’an, bukan membaca Al-Qur’an.
✔️Mempertimbangkan kondisi guru perempuan yang seringkali berhadapan dengan situasi haid atau hadats kecil.
✔️ Mempertanyakan status buku-buku metode tersebut apakah sama dengan mushaf.

Waalaikumsalam salam

Jawaban: no.1

Ditafsil:

A. Juz Terpisah:

✅Juz 1 dan 2 (fokus pada pengenalan huruf hijaiyah dan kata sambung): Diperbolehkan menyentuh tanpa wudhu.

B. Juz 3-6 Metode At-Tanzil(mengandung potongan ayat Al-Qur’an dan surat pendek): Haram menyentuh tanpa wudhu.

C. Kitab metode At-Tanzil Utuh (Semua Juz Disatukan):

✅Jika lebih banyak tulisan non-ayat: Misalkan pengenalan huruf hijaiyyah dan kata sambung selain ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera didalamnya seperti: -أَبَجَدٌ-هَوَزٌ- خَطَيَ- كَمُلَ- مَتَنَ صَصِصُ atau صَاصَ dll. Tak terkecuali misalkan didalamnya ada bahasan ilmu tajwid dan nadhomannya dalam hal ini Diperbolehkan menyentuh tanpa wudhu.

✅Jika lebih banyak huruf ayat -ayat Al-Qur’an atau surat pendek: Haram menyentuh tanpa wudhu.

Dalam artian, jika jumlah huruf Al-Qur’an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an sebanyak 162.671) atau jumlah ayat al-Quran yang ada di metode At-Tanzil masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada Metode Attanzil, maka dalam hal ini diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab kitab atau buku praktis Metode At-Tanzil. Hal ini disamakan dengan tafsir. Sebagaimana sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhrurrazi, Al-Qurtuby, Ibnu katsir, dll.

Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf Al-Qur’an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu. 

Pertanyaan: Apakah Metode At-Tanzil termasuk mushaf?

Jawaban: 02

Tergantung pada kandungan juznya.
Jika mengandung tulisan ayat-ayat Al-Qur’an atau surat-surat dalam Al-Qur’an, maka termasuk bagian dari mushaf.Tapi jika dalam sebagian juz tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an maka tidaklah termasuk mushaf

Kesimpulan:

Hukum menyentuh Metode AT-TANZIL tanpa wudhu bergantung pada kandungan ayat Al-Qur’an di dalamnya.

✅Bagian yang mengandung ayat Al-Qur’an dikategorikan sebagai bagian dari mushaf dan harus diperlakukan dengan hormat ( punya wudhu’).

✅Untuk menjaga kehati hatian, lebih baik dalam keadaan suci ketika menyentuh kitab atau buku Metode tersebut yang didalamnya terdapat ayat Al-quran, lagi pula bagi guru dalam keadaan suci lebih utama.

referensi

المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٨ص٥-٦

مُصْحَفٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الْمُصْحَفُ بِضَمِّ الْمِيمِ، وَيَجُوزُ الْمِصْحَفُ بِكَسْرِهَا، وَهِيَ لُغَةُ تَمِيمٍ، وَهُوَ لُغَةً: اسْمٌ لِكُل مَجْمُوعَةٍ مِنَ الصُّحُفِ الْمَكْتُوبَةِ ضُمَّتْ بَيْنَ دَفَّتَيْنِ، قَال الأَْزْهَرِيُّ: وَإِِِنَّمَا سُمِّيَ الْمُصْحَفُ مُصْحَفًا لأَِنَّهُ أُصْحِفَ، أَيْ جُعِل جَامِعًا لِلصُّحُفِ الْمَكْتُوبَةِ بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ (١) .
وَالْمُصْحَفُ فِي الاِصْطِلاَحِ: اسْمٌ لِلْمَكْتُوبِ فِيهِ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ.
وَيَصْدُقُ الْمُصْحَفُ عَلَى مَا كَانَ حَاوِيًا لِلْقُرْآنِ كُلِّهِ، أَوْ كَانَ مِمَّا يُسْمَّى مُصْحَفًا عُرْفًا وَلَوْ قَلِيلاً كَحِزْبٍ، عَلَى مَا صَرَّحَ بِهِ الْقَلْيُوبِيُّ، وَقَال ابْنُ حَبِيبٍ: يَشْمَل مَا كَانَ مُصْحَفًا جَامِعًا أَوْ جُزْءًا أَوْ وَرَقَةً فِيهَا بَعْضُ سُورَةٍ أَوْ لَوْحًا أَوْ كَتِفًا مَكْتُوبَةً (٢) .

الأَْلْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ:
الْقُرْآنُ:
١ – الْقُرْآنُ لُغَةً: الْقِرَاءَةُ، قَال اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِِِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ} (١) .
وَهُوَ فِي الاِصْطِلاَحِ: اسْمٌ لِكَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُنَزَّل عَلَى رَسُولِهِ مُحَمِّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ، الْمَكْتُوبِ فِي الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُول إِِِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتَرًا (٢) .
فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُصْحَفِ: أَنَّ الْمُصْحَفَ اسْمٌ لِلْمَكْتُوبِ مِنَ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ الْمَجْمُوعِ بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ وَالْجِلْدِ، وَالْقُرْآنُ اسْمٌ لِكَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَكْتُوبِ فِيهِ (٣) .
الأَْحْكَامُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِالْمُصْحَفِ:
تَتَعَلَّقُ بِالْمُصْحَفِ أَحْكَامٌ مِنْهَا:
لَمْسُ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ لِلْمُصْحَفِ
٢ – ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِِِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ، رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمِّدٍ
وَالْحَسَنِ وَقَتَادَةَ وَعَطَاءٍ وَالشَّعْبِيِّ، قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَلاَ نَعْلَمُ مُخَالِفًا فِي ذَلِكَ إِِلاَّ دَاوُدَ (١) .
وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْجَنَابَةُ وَالْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ، فَلاَ يَجُوزُ لأََحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الأَْحْدَاثِ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ حَتَّى يَتَطَهَّرَ، إِِلاَّ مَا يَأْتِي اسْتِثْنَاؤُهُ.
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ يَمَسُّهُ إِِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ} (٢) .
وَبِمَا فِي كِتَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِِلَى أَهْل الْيُمْنِ (٣) ، وَهُوَ قَوْلُهُ لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِِلاَّ طَاهِرٌ (٤) ، وَقَال ابْنُ عُمَرَ: قَال النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِِلاَّ طَاهِرٌ (٥) .
لَمْسُ الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ لِلْمُصْحَفِ
٤ – ذَهَبَ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ إِِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ، وَجَعَلَهُ ابْنُ قُدَامَةَ مِمَّا لاَ يَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا عَنْ غَيْرِ دَاوُدَ.
وَقَال الْقُرْطُبِيُّ: وَقِيل: يَجُوزُ مَسُّهُ بِغَيْرِ وُضُوءٍ، وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ: وَحَكَى ابْنُ الصَّلاَحِ قَوْلاً غَرِيبًا بِعَدِمِ حُرْمَةِ مَسِّهِ مُطْلَقًا (١) .
وَلاَ يُبَاحُ لِلْمُحْدِثِ مَسُّ الْمُصْحَفِ إِِلاَّ إِِذَا أَتَمَّ طَهَارَتَهُ، فَلَوْ غَسَل بَعْضَ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ لَمْ يَجُزْ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِهِ قَبْل أَنْ يُتِمَّ وُضُوءَهُ، وَفِي قَوْلٍ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ: يَجُوزُ مَسُّهُ بِالْعُضْوِ الَّذِي تَمَّ
غَسْلُهُ

Definisi Mushaf :

“Mushaf” dengan dhammah pada huruf mim, dan boleh juga “mishhaf” dengan kasrah, ini adalah dialek suku Tamim.

Secara bahasa : Mushaf itu adalah nama untuk setiap kumpulan lembaran-lembaran tertulis yang disatukan di antara dua sampul. Azhari berkata: “Mushaf dinamakan mushaf karena ‘ushifa’, yaitu dijadikan sebagai kumpulan lembaran-lembaran tertulis di antara dua sampul.”

Secara istilah syariat: mushaf adalah nama untuk tulisan yang di dalamnya terdapat firman Allah Ta’ala di antara dua sampul. Mushaf berlaku untuk apa pun yang berisi seluruh Al-Qur’an, atau apa pun yang secara umum disebut mushaf meskipun sedikit, seperti satu hizb (bagian dari Al-Qur’an), sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qalyubi. Ibnu Habib berkata: “Mencakup apa pun yang merupakan mushaf lengkap atau sebagian, atau lembaran yang berisi sebagian surah, atau papan, atau tulang belikat yang tertulis.”
Kata-kata yang Berkaitan:
Al-Qur’an:

Pengertian Al-Qur’an.

Secara bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Allah Ta’ala berfirman: “Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu.”

Secara istilah syariat, Al-Qur’an adalah nama untuk firman Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ibadah dilakukan dengan membacanya, tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan kepada kita secara mutawatir.

Perbedaan antara Al-Qur’an dan Mushaf

Mushaf adalah nama untuk tulisan dari Al-Qur’an yang mulia yang dikumpulkan di antara dua sampul dan jilid,

sedangkan Al-Qur’an adalah nama untuk firman Allah Ta’ala yang tertulis di dalamnya.

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Mushaf:

Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan mushaf, di antaranya:

1️⃣.Menyentuh Mushaf oleh Orang Junub dan Haid:

Para ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats besar untuk menyentuh mushaf. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan, Qatadah, Atha’, dan Asy-Sya’bi. Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui ada yang berbeda pendapat dalam hal ini kecuali Dawud.”
Baik itu janabah (keadaan junub), haid, maupun nifas, tidak boleh bagi siapa pun yang mengalami hadats-hadats ini untuk menyentuh mushaf hingga ia bersuci, kecuali apa yang akan disebutkan pengecualiannya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Dan dengan apa yang ada dalam surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amr bin Hazm radhiyallahu ‘anhu untuk penduduk Yaman, yaitu sabda beliau: “Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Ibnu Umar berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”

2️⃣Menyentuh Mushaf oleh Orang yang Berhadats Kecil:

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf. Ibnu Qudamah menjadikannya sebagai hal yang tidak diketahui ada perbedaan pendapat di dalamnya selain dari Dawud. Al-Qurthubi berkata: “Dikatakan: Boleh menyentuhnya tanpa wudhu.” Al-Qalyubi dari kalangan Syafi’iyah berkata: “Ibnu Shalah meriwayatkan pendapat yang aneh dengan tidak mengharamkan menyentuhnya secara mutlak.”
Tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf kecuali jika ia telah menyempurnakan kesuciannya. Jika ia membasuh sebagian anggota wudhu, maka tidak boleh menyentuh mushaf dengannya sebelum ia menyempurnakan wudhunya. Dalam sebuah pendapat di kalangan Hanafiyah: Boleh menyentuhnya dengan anggota tubuh yang telah selesai dibasuh.

Referensi:


حاشية الباجورى ج١ص١١٧

( والرابع مس المصحف ) وهو اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين ( وحمله ) إلا إذا خافت عليه ( قوله وهو ) أى المصحف وقوله اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين أى بين دفتى المصحف وهذا التفسير ليس مرادا هنا وإنما المراد به هنا كل ما كتب عليه قرآن لدراسته ولو عمودا أو لوحا أو نحوهما الى أن قال …. والعبرة بقصد الكاتب إن كان يكتب لنفسه وإلا فقصد الآمر أو المستأجر

[ Haasyiyah al-Baajuri I/117 ].

Yang No. 4 dari hal yang diharamkan bagi wanita haid adalah memegang Mushaf. Mushaf ialah nama dari tulisan firman Allah diantara dua lampiran. Juga haram membawanya kecuali saat ia menghawatirkannya. (keterangan Mushaf ialah nama dari tulisan firman Allah diantara dua lampiran) yang dikehendaki adalah setiap perkara yang ditulis Al-Qur’an untuk dibaca meskipun berupa tiang, papan atau lainnya…. Pertimbangannya diserahkan pada penulis bila tujuan penulisannya untuk pribadi , bila penulisannya bukan untuk pribadi maka pertimbangannya diserahkan kepada orang yang menyuruh menulis Al Qur’an atau diserahkan kepada penyewa jasa penulisan Al Qur’an.

Referensi :

تحفة المحتاج .ج١ص١٤٩

( و ) حمل ومس ( ما كتب لدرس قرآن ) ولو بعض آية ( كلوح فى الأصح ) لأنه كالمصحف وظاهر قولهم بعض آية أن نحو الحرف كاف وفيه بعد بل ينبغى فى ذلك البعض كونه جملة مفيدة

[ Tuhfah al-Muhtaaj I/149 ].

Dan haram membawa serta memegang tulisan quran untuk dibaca meskipun hanya sebagian ayat seperti halnya yang berupa papan menurut pendapat yang paling shahih karena ia seperti mushaf. (keterangan meskipun hanya sebagian ayat) tidak semacam huruf KAAF, pengertian ini terlalu jauh semestinya batasan dikatakan sebagian ayat adalah susunan kalimat yang berfaedah.

Referensi:


مناهل العرفان للشيخ محمد عبد العظيم الزقني ج٢ص٨٠

وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض 

(Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80) 

Artinya: Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain

Terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:

Referensi :

نهاية الزين للشيخ محمد النووي البنتني. ج١ ص ٣٣

أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان

( Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33).

Artinya: Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis di bawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan . Wallahub a’lam bishawab

بغية المسترشدين ج ٢٦

( مسألة ى ) يكره حمل التفسير ومسه إن زاد على القرآن وإلا حرم. وتحرم قراءة القرآن على نحو جنب بقصد القراءة ولو مع غيرها لا مع الإطلاق على الراجح ولا بقصد غير القراءة كرد غلط وتعليم وتبرك ودعاء .


[ Bughyah al-Mustarsyidiin hal0 26 ].

Makruh membawa dan memegang Tafsir yang jumlahnya melebihi tulisan qurannya bila tidak maka haram. Dan haram membacanya bagi semisal orang junub bila bertujuan untuk membacanya meskipun alQurannya bersama tulisan lain tapi tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya menurut pendapat yang kuat dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya seperti saat membenarkan bacaan yang salah, mengajar, mencari keberkahan dan berdoa.

وحكى وجه أن للجنب أن يقرأ ما لم يدخل فى حد الإعجاز وهو ثلاث آيات ونقل الترمذى فى الجامع عن الشافعى أنه قال لا يقرأ الحائض والجنب شيئا إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك أفاده فى البكرى.

[ At-Turmusy hal. 427-428 ].

Dihikayahkan sebuah pendapat bahwa bagi orang junub diperbolehkan membaca alQuran asal tidak dalam batasan ‘hal yang dapat melemahkan’ dari alQuran yakni berupa tiga ayat, Imam at-Turmudzi mengutip dari Imam Syafi’i yang berkata “Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca sesuatu dari alQuran kecuali ujung ayat , huruf dan sejenisnya.Wallahu a’lam bishawab