HUKUMNYA KEDUA KAKI MENYENTUH LANTAI KAMAR MANDI KORELASINYA DENGAN KESUCIAN KAKI DAN SOLUSINYA

HUKUMNYA KEDUA KAKI MENYENTUH LANTAI KAMAR MANDI KORELASINYA DENGAN KESUCIAN KAKI DAN SOLUSINYA

Assalamualaikum
Deskripsi masalah :
Dalam waqiiyah dimasyarat sebut saja joni, di dalam rumah-Nya ada kamar mandi, dan WC yang mana tempat itu merupakan tempat khusus yang dipergunakan Joni atau keluarganya untuk membersihkan diri dari kotoran. Sehingga kamar mandi dan sejenisnya selalu identik dengan najis, sebagaimana saat joni telah buang air kecil, maupun buang air besar tidak luput dari percikan najis.

Sebelum berwudhu si Joni membasuh kemaluannya dan tempat sekitarnya bahkan kedua kakinya lalu ia wudhu’ dan keluar kamar dengan tanpa alas kaki atau sandal. Namun demikian setiap si Joni selesai wudhu sering dihantui keragu-ramuan bahkan tidak hanya Joni seseorang yang serupa dengan joni dirumahnya terdapat kamar mandi yang menyatu dengan WC, merasa ragu yang bersumber dari telapak kaki sebagai anggota badan yang langsung bersentuhan dengan lantai kamar mandi. Sehingga seringkali Joni berjalan dengan berjinjit sangat hati-hati. Merasa seolah lantai kamar mandi itu tidak bebas dari najis, padahal lantai kamar mandi telah disiram berulang-ulang dengan air yang suci.

Pertanyaan :
Bagaimana hukum kaki si Joni, jika memandang  dari situasi dan kondisinya selalu terkena najis sebagaimana dalam deskripsi sucikah ataukah tidak ? Kalau tidak suci adakah solusinya ?

Waalikum salam.

Untuk menghukumi najis dan tidaknya kaki Joni adalah dikondisikan pada tempat yang ia pijak artinya jika lantai sudah dianggap suci setelah disirami air maka suci tetapi jika hanya bersih belum tentu suci karena untuk menghukum cuci dan tidaknya harus dilihat dari sudut pandang cara mencucikannya ( barang yang terkena najis).
Dalam konteks bisa suci yaitu harus menghilangkan sifatnya rasanya dan baunya jika ketiga tersebut sudah hilang maka tempat tersebut dianggap suci akan tetapi jika masih salah satu dari yang tiga ada misalkan berbau maka tentu masih blm dikatakan suci, kecuali apabila warna atau bau najis sulit dihilangkan maka tidak wajib menghilangkannya, bahkan tempat yang dikenainya telah nyata suci. Berbeda apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada di satu tempat yang dikenai satu najis maka tempat tersebut belum dihukumi suci karena kuatnya warna dan bau secara bersamaan dalam menunjukkan tetapnya dzat najis.
Begitu juga berbeda apabila rasa najis masih ada maka tempat yang dikenainya belum suci dan karena pada umumnya masih mudah untuk menghilangkan rasa najis tersebut.
Lalu bagaimana cara menghilangkan diantara sifat yang masih ada semisal warna dan bau ?

Adapun cara untuk menghilangkan (sifat-sifat) najis ainiah adalah mengerok dan menggosok sebanyak tiga kali. Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Azhari berkata, ‘Lafadz ( الحت) (mengerok berarti kamu mengerok dengan sisi batu atau kayu. Lafadz القَرْص (menggosok) berarti kamu menggosok dengan ujung jari-jari dengan cara menggosok secara kuat. Kemudian kamu menuangkan air pada tempat yang dikenai najis sampai dzat najis dan bekasnya hilang.’”

Apabila najis ainiah telah dikerok, digosok, dan dituangi air, ternyata masih ada warnanya atau baunya maka dihukumi sulit dan tempat yang dikenainya pun telah dihukumi suci. Tidak wajib menggunakan alat bantu semisal sabun dan tumbuhan asynan. Akan tetapi apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada maka wajib menggunakan alat bantu tersebut hingga mencapai batas ta’adzur (sulit menghilangkan). Batasan ta’adzur adalah sekiranya warna dan bau najis tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali dengan cara memotong tempat yang dikenai najis. Ketika telah dihukumi ta’adzur maka tempat yang dikenai najis dihukumi ma’fu. Kemudian apabila setelah dihukumi ma’fu, ternyata selang beberapa waktu, warna dan bau najis tersebut bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya. Namun, apabila sebelumnya seseorang telah melakukan sholat di tempat yang ma’fu tersebut maka ia tidak wajib mengulangi sholatnya setelah mampu dihilangkan. Jika tidak, maka tidak perlu dihukumi ma’fu.
Jadi inlah caranya menentukan suci dan tidaknya tempat dan kakinya Joni . Karena Syariah hanya Menghukumi Zhahirnya saja sedangkan masalah yang samar ( Batin ) adalah Urusan Allah yang penting usaha sudah dilakukan.

كتاب التحبير شرح التحرير المكتبة الشاملة ص ٣٧٩٢
وَرُبمَا اسْتدلَّ على ذَلِك بِمَا رُوِيَ عَن النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنه قَالَ: ” نَحن نحكم بِالظَّاهِرِ، وَالله يتَوَلَّى السرائر “، كَمَا اسْتدلَّ بِهِ الْبَيْضَاوِيّ وَغَيره.لكنه حَدِيث لَا يعرف، لَكِن رَوَاهُ الْحَافِظ أَبُو طَاهِر إِسْمَاعِيل بن عَليّ بن إِبْرَاهِيم بن أبي الْقَاسِم الجنزوي فِي كِتَابه: ” إدارة الْأَحْكَام ” فِي قصَّة الْكِنْدِيّ والحضرمي الَّذين اخْتَصمَا إِلَى النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وأصل حَدِيثهمَا فِي ” الصَّحِيحَيْنِ ” فَقَالَ الْمقْضِي عَلَيْهِ: قضيت عَليّ وَالْحق لي، فَقَالَ رَسُول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا نقضي بِالظَّاهِرِ وَالله يتَوَلَّى السرائر ” وَله شَوَاهِد.
والله أعلم بالصواب

Berikut cara mencucikan najis Mutawassithoh dijelaskan dalam kitab Kasyifat al-Saja Syarah Safinat al-Naja (كاشفة السجا شرح سفينة النجا)
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Nama yang dikenal di Arab:
محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي

Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi

والمتوسطة تنقسم على قسمين عينية) وهي التي تشاهد بالعين (وحكمية) أي وهي التي حكمنا على المحل بنجاسته من غير أن ترى عين النجاسة

Najis mutawasitoh dibagi menjadi dua macam, yaitu ainiah (yaitu najis yang terlihat oleh mata) dan hukmiah (yaitu najis yang tempat yang dikenainya itu kita hukumi sebagai najis tanpa terlihat dzat najisnya).

Ainiah

العينية) ضابطها هي (التي لها لون) من البياض والسواد والحمرة وغير ذلك (وريح) وهي بمعنى الرائحة عرض يدرك بحاسة الشم (وطعم) بفتح الطاء وهو ما يؤديه الذوق من الكيفية كالحلاوة وضدها

Pengertian najis mutawasitoh [ ainiah adalah najis yang masih memiliki warna], seperti; putih, hitam, merah, dan lain-lain, [dan bau], yakni sesuatu yang dapat diketahui dengan indra pencium, [dan rasa], yakni sesuatu yang dapat diketahui dengan indra pengicip, seperti; manis, pahit (dan lain-lain).

فلا بد من إزالة لو ا وريحها وطعمها) إلا ما عسر زواله من لون أو ريح فلا تجب إزالته بل يطهر محله حقيقة بخلاف ما لو اجتمعنا في محل واحد من نجاسة واحدة لقوة دلالتهما على بقاء عين النجاسة وبخلاف ما لو بقي الطعم لذلك أيضا ولسهولة إزالته غالبا


Cara mensucikan tempat yang dikenai najis ainiah [diwajibkan menghilangkan warna najis, baunya, dan rasanya] kecuali apabila warna atau bau najis sulit dihilangkan maka tidak wajib menghilangkannya, bahkan tempat yang dikenainya telah nyata suci. 
Berbeda apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada di satu tempat yang dikenai satu najis maka tempat tersebut belum dihukumi suci karena kuatnya warna dan bau secara bersamaan dalam menunjukkan tetapnya dzat najis.
Begitu juga berbeda apabila rasa najis masih ada maka tempat yang dikenainya belum suci dan karena pada umumnya masih mudah untuk menghilangkan rasa najis tersebut.

فالواجب في إزالة النجاسة الحت والقرص ثلاث مرات وفي المصباح قال الأزهري الحت أن تحك بطرف حجر أو عود والقرص أن تدلك بأطراف الأصابع دلكا شديدا وتصب عليه الماء حتى تزول عينه وأثره انتهى

Perkara yang diwajibkan dalam menghilangkan (sifat-sifat) najis ainiah adalah mengerok dan menggosok sebanyak tiga kali.
Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Azhari berkata, ‘Lafadz ( الحت) (mengerok) berarti kamu mengerok dengan sisi batu atau kayu.
Lafadz القَرْص (menggosok) berarti kamu menggosok dengan ujung jari-jari dengan cara menggosok secara kuat. Kemudian kamu menuangkan air pada tempat yang dikenai najis sampai dzat najis dan bekasnya hilang.’”

فإذا بقي بعد ذلك اللون أو الريح حكم بالتعسر وطهارة المحل ولا تجب الاستعانة بالصابون والاشنان وإن بقيا معا أو الطعم وحده تعينت الاستعانة بما ذكر إلى التعذر وضابطه أن لا يزول إلا بالقطع فإذا تعذر زوال ما ذكر حكم بالعفو فإذا قدر على الإزالة بعد ذلك وجبت ولا تجب إعادة ما صلاه به أولا وإلا فلا معنى للعفو،

Apabila najis ainiah telah dikerok, digosok, dan dituangi air, ternyata masih ada warnanya atau baunya maka dihukumi sulit dan tempat yang dikenainya pun telah dihukumi suci. Tidak wajib menggunakan alat bantu semisal sabun dan tumbuhan asynan. Akan tetapi apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada maka wajib menggunakan alat bantu tersebut hingga mencapai batas ta’adzur (sulit menghilangkan). Batasan ta’adzur adalah sekiranya warna dan bau najis tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali dengan cara memotong tempat yang dikenai najis. Ketika telah dihukumi ta’adzur maka tempat yang dikenai najis dihukumi ma’fu. Kemudian apabila setelah dihukumi ma’fu, ternyata selang beberapa waktu, warna dan bau najis tersebut bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya. Namun, apabila sebelumnya seseorang telah melakukan sholat di tempat yang ma’fu tersebut maka ia tidak wajib mengulangi sholatnya setelah mampu dihilangkan. Jika tidak, maka tidak perlu dihukumi ma’fu.

ويعتبر لوجوب نحو الصابون أن يفضل ثمنه عما يفضل عنه ثمن الماء في التيمم فإن لم يقدر عليه صلى عاريا وإن لم يقدر على الحت ونحوه لزمه أن يستأجر عليه بأجرة مثله إذا وجدها فاضلة عن ذلك أيضا ذكره الشرقاوى

Kewajiban menggunakan alat bantu semisal sabun harus mempertimbangkan bahwa biaya harga alat bantu tersebut lebihan atas biaya harga air dalam tayamum. Apabila seseorang yang pakaiannya terkena najis dan ia tidak memiliki biaya untuk mendapatkan alat bantu tersebut maka ia sholat dalam keadaan telanjang. Apabila ia tidak mampu mengerok dan menggosok najis dan ia memiliki biaya yang lebihan atas biaya air maka wajib atasnya menyewa orang lain untuk mengerokkan dan menggosokkan najis dengan upah dari biaya lebihan yang ia miliki itu, seperti yang telah disebutkan oleh Syarqowi.

Lalu bagaimana jika hal tersebut ( kamar mandi ) terjadi pada orang-orang besar yang berpangkat sementara dia menginap dihotel yang mana kamarnya terdapat kamarmandi sebagaimana tersebut diatas?
Maka jawabannya hukum Islam tidak memandang orang besar dan orang kecil artinya setiap muslim wajib mengetahui hal yang wajib diketahui dan diyakini secara muthlak baik waktu sholat maupun diluar sholat. ( lihat dalam kitab Syarah sullamuttaufiq ).

Artinya si Joni baik berpangkakat /orang besar ataupun tidak jika dia memandang  kakinya ada di tempat yang selalu terkena najis, dan menyakini bahwa tempat yang dipijak oleh kakinya Joni setelah dibasuh dengan cara tersebut diatas masih menyakini najis ,Maka hukumnya kakinya Joni itu adalah najis.Dan sebaliknya. Namun jika setiap melakukan wudhu’ meragukan maka solusinya sebagai bentuk kehati-kehatian adalah memakai sandalal khusus ( letakkan didekat luar pintu kamar mandi) setelah mengakat salah satu kakinya ( yang kanan) basuhlah lalu pakaian sandalnya lalu basuh kaki yang kiri dan masukkan kedalam sandal yang kiri, atau dengan cara membuat seperti tangga loncatan diluar kamar mandi dll.

Dalam sebuah qoidah disebutkan,

اليقين لا يزال بالشك


Artinya: Keyakinan(bahwa tempat yang dipijak oleh kakinya kakinya) itu najis,itu tidak bisa dihilangkan oleh keraguan (bahwa tempat yang dipijak oleh kakinya kakinya itu suci).
Adapun najis yang dima’fu (yang diampuni) adalah najis yang tidak bisa disaksikan dengan mata, karena sedikitnya najis itu , seperti najis yang tidak bisa disaksikan dengan penglihatan mata,seperti setitik darah,dan setitik khomer,dan najis yang tergantung pada kaki lalat. Alasannya ialah karena sulitnya menjaga terhadap najis itu.

Referensi:

(الاءقناع في حل الفاظ ابي شجاع)
(القَوْل فِي النَّجَاسَة المعفو عَنْهَا) وَيسْتَثْنى أَيْضا نجس لَا يُشَاهد بالبصر لقلته كنقطة بَوْل وخمر وَمَا يعلق بِنَحْوِ رجل ذُبَاب لعسر الِاحْتِرَاز عَنهُ فَأشبه دم البراغيث
قَالَ الزَّرْكَشِيّ وَقِيَاس اسْتثِْنَاء دم الْكَلْب من يسير الدَّم المعفو عَنهُ أَن يكون هُنَا مثله وَقد يفرق بَينهمَا بالمشقة وَالْفرق أوجه ويعفى أَيْضا عَن رَوْث سمك لم يُغير المَاء وَعَن الْيَسِير عرفا من شعر نجس من غير نَحْو كلب وَعَن كَثِيره من مركوب وَعَن قَلِيل دُخان نجس وغبار سرجين وَنَحْوه مِمَّا تحمله الرّيح كالذر وَعَن حَيَوَان مُتَنَجّس المنفذ إِذا وَقع فِي المَاء للْمَشَقَّة فِي صونه وَلِهَذَا لَا يُعْفَى عَن آدَمِيّ مستجمر وَعَن الدَّم الْبَاقِي على اللَّحْم والعظم فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنهُ وَلَو تنجس حَيَوَان طَاهِر من هرة أَو غَيرهَا ثمَّ غَابَ وَأمكن وُرُوده مَاء كثيرا ثمَّ ولغَ فِي طَاهِر لم يُنجسهُ مَعَ حكمنَا بِنَجَاسَة فَمه لِأَن الأَصْل نَجَاسَته وطهارة المَاء وَقد اعتضد أصل طَهَارَة المَاء بِاحْتِمَال ولوغه فِي مَاء كثير فِي الْغَيْبَة فرجح

Mengenai hal kehati-hatian Imam Nawawi menjelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab pernah menjelaskan,

 
اسْتِحْبَابُ الِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَاتِ وَغَيْرِهَا بِحَيْثُ لَا يَنْتَهِي إلَى الْوَسْوَسَة

Diperbolehkan berihthiyath (berhati-hati) dalam masalah ibadah dan yang lain sehingga tidak mengakibatkan waswas.

Penekanan Ihthiyath (kehati-hatian) lebih diutamakan pada masalah ini, dikarenakan bersuci dari najis adalah salah satu syarat sahnya shalat, jika saja ada najis yang mengenai pakaian seseorang, maka akan menjulur pada keabsahan shalat itu sendiri.

Sedangkan maksud dan tujuan dari memakai sandal sendiri adalah untuk menghindari keragu-raguan, najis dan kotoran itu sendiri. Maka jika terpenuhinya maksud tersebut adalah dengan memakai sandal, maka hal itu dianjurkan sebagai sarana terwujudnya maksud dan tujuan. Wallahu A’lam

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *