PERBEDAAN MENGHORMATI DAN AIB DALAM MENYANTUNI ANAK YATIM DAN FAKIR MISKIN

PERBEDAAN MENGHORMATI DAN AIB DALAM MENYANTUNI ANAK YATIM DAN FAKIR MISKIN

Assalamualaikum.

Sebelumnya mohon maaf kepada Kiyai dan Ust.

Langsung saja Saya bertanya

Apakah mendatangkan ( mengundang )orang fakir dan yatim sebuah aib atau menghormati dalam bersedekah?

Walaikum salam.

Jawaban
Mendatangkan ( mengundang ) anak-anak Yatim itu adalah merupakan penghormatan dan mengagungkan sebagai bentuk kepedulian terhadap mereka karena tanpa ada tujuan untuk menghormati tidaklah mungkin orang mengundangnya baik itu acara santunan ataupun yang lainnya, dan bukan untuk menampakkan aib. Maka sepantasnya jika seseorang dihormati maka seharusnya dia menghormati.( َمن عَظّمَ عُظّم )

Sedangkan aib sendiri dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, atau hal yang tidak baik tentangnya.

الموسوعة الفقهية ص ٦٩٦٤
ب – التَّعْظِيمُ:
٣ – التَّعْظِيمُ: مَصْدَرُ عَظَّمَ، يُقَال: عَظَّمَهُ تَعْظِيمًا أَيْ: كَبَّرَهُ وَفَخَّمَهُ. وَالتَّعْظِيمُ يَكُونُ بِاعْتِبَارِ الْوَصْفِ وَالْكَيْفِيَّةِ، وَيُقَابِلُهُ التَّحْقِيرُ فِيهِمَا بِحَسَبِ الْمَنْزِلَةِ وَالرُّتْبَةِ

الموسوعة الفقهية ص ١٩٥٦٦
التَّعْرِيفُ:
١ – الْعَيْبُ لُغَةً: الْوَصْمَةُ وَالنَّقِيصَةُ، وَالْجَمْعُ أَعْيَابٌ وَعُيُوبٌ، وَرَجُلٌ عَيَّابٌ وَعَيَّابَةٌ وَعَيْبٌ: كَثِيرُ الْعَيْبِ، يُقَال: عَيَّبَ الشَّيْءَ فَعَابَ: إِذَا صَارَ ذَا عَيْبٍ فَهُوَ مَعِيبٌ، أَوْ هُوَ: مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ. (١)
وَاصْطِلاَحًا يَخْتَلِفُ تَعْرِيفُ الْعَيْبِ بِاخْتِلاَفِ أَقْسَامِهِ، قَال النَّوَوِيُّ: حُدُودُهَا مُخْتَلِفَةٌ، فَالْعَيْبُ الْمُؤَثِّرُ فِي الْبَيْعِ الَّذِي يَثْبُتُ بِسَبَبِهِ الْخِيَارُ: هُوَ مَا نَقَصَتْ بِهِ الْمِلْكِيَّةُ أَوِ الرَّغْبَةُ أَوِ الْغَبْنُ، وَالْعَيْبُ فِي الْكَفَّارَةِ: مَا أَضَرَّ بِالْعَمَل ضَرَرًا بَيِّنًا، وَالْعَيْبُ فِي الأُْضْحِيَّةِ: هُوَ مَا نَقَصَ بِهِ اللَّحْمُ، وَالْعَيْبُ فِي النِّكَاحِ: مَا يُنَفِّرُ عَنِ الْوَطْءِ وَيَكْسِرُ ثَوْرَةَ التَّوَاقِ، وَالْعَيْبُ فِي الإِْجَارَةِ: مَا يُؤَثِّرُ فِي الْمَنْفَعَةِ تَأْثِيرًا يَظْهَرُ بِهِ تَفَاوُتُ الأُْجْرَةِ


Jadi sangat berbeda antara menghormati dan aib, karena aib berarti cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya, sedangkan menghormati berarti mengagungkan memuliakan karena sebab adanya kelebihan atau kebaikan bukti bahwa anak yatim punya kelebihan dan keistimewaan dibandingkan dari yang lainnya disebutkan dalam sebuah hadits berikut yang berasal dari Musnad Ahmad, 7/36 berikut:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيمٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلَّا لِلَّهِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مَرَّتْ عَلَيْهَا يَدُهُ حَسَنَاتٌ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيمَةٍ أَوْ يَتِيمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَفَرَّقَ بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Artinya: Diriwayatkan dari Umamah, sesungguhnya Nabi bersabda: Barang siapa mengusap kepala yatim semata-mata karena Allah, maka setiap rambut yang ia usap memperoleh satu kebaikan. Barang siapa berbuat baik kepada yatim di sekitarnya, maka ia denganku ketika di surga seperti dua jari ini. Nabi menunjukkan dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengahnya.

Secara tekstual hadits ini tidak menyebutkan secara spesifik harus diselenggarakan pada 10 Muharram, namun mengusap kepala yatim tetap dianjurkan kapan pun. Pertanyaannya mengapa yang dianjurkan adalah mengusap kepala anak yatim? Apa hikmahnya?

Dalam Kitab Majma’ Zawaid dijelaskan seperti ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ: امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ». رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ.

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah, sesungguhnya seseorang melaporkan kekerasan hatinya kepada Nabi Muhammad, lalu Nabi berpesan: Usaplah kepala yatim dan berilah makanan orang miskin (HR Ahmad, para perawinya sahih)

Dalam salah satu riwayat Thabrani dari Abu Darda’ memiliki pesan senada:

وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: «أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلٌ يَشْكُو قَسْوَةَ قَلْبِهِ، قَالَ: ” أَتُحِبُّ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ وَتُدْرَكَ حَاجَتُكَ؟ ارْحَمِ الْيَتِيمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ». رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَفِي إِسْنَادِهِ مَنْ لَمْ يُسَمَّ، وَبَقِيَّةُ: مُدَلِّسٌ

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Darda’, ia berkata: Seorang laki-laki sowan Rasulullah mengeluhkan kekerasan hatinya, lalu Rasulullah berpesan: Apakah kamu ingin hatimu lembut dan hajatmu terkabul? Sayangilah yatim, usaplah kepalanya, berilah ia makan dari makananmu, maka hatimu akan lembut dan hajatmu akan terkabul (HR Thabrani, sanadnya ada yang tidak disebutkan dan sebagian mudallis).

Kemudian dalam kitab Tanbihul Ghafilin bi-Ahaditsi Sayyidil Anbiya wal Mursalin karya Abullaits Assamarqandi (w. 373 H) menyebutkan besarnya pahala mengusap kepala yatim:

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً

Artinya: Barang siapa berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharram, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat dan pahala 10.000 pahala syuhada’. Dan barang siapa mengusap kepala yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.

Dari beberapa redaksi Hadits di atas, yang juga terdapat dalam kitab ulama, dapat disimpulkan bahwa hikmah mengusap kepala yatim adalah membentuk kasih sayang dan kepedulian kepada mereka. Di sisi lain, yatim merindukan belaian kasih sayang ayahnya. Sehingga dari pertemuan itu akan mengubah hati yang keras menjadi lembut dan doa terkabulkan.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من مسح رأس اليتيم رحمة كتب الله له بكل شعرة مرت عليها يده حسنة ومحا عنه بكل شعرة سيئة ورفع له بكل شعرة درجة .

Barang siapa yang mengusap kepala anak yatim karena belas kasihan maka setiap sehelai rambut yang berjan tangannya diatas kepalanya ( yang diusap) adalah satu kebaikan dan Allah menghapus satu kejelekan dan Allah mengangkat setiap satu helai rambut satu derajat ( Alhadits )

Dengan demikian tujuan mengundang anak-anak yatim bukan untuk menampakkan aib, atau menjadi Aib yang berarti menampakkan cela keburukan, melainkan tujuannya adalah menghormati, memuliakan sebagai bentuk kepedulian terhadap mereka agar tidak menjadi aib sedangkan agama memberi kebebasan dalam bersedekah baik dengan cara mendatangkan atau mendatangi.

Jadi, cara kita memberikan makanan kepada orang miskin dan anak yatim itu bebas, terserah kita baik dengan cara kita mendatangi orang miskin dan anak yatim, atau dengan cara anak yatim itu kita undang ke rumah kita , yang terpenting semata didasarkan atas niatan ihlas semata untuk memperoleh ridho Allah SWT.

Mengajak ( mengundang )anak yatim dalam acara makan berikut penjelasannya:

عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّ يَتِيمًا كَانَ يَحْضُرُ طَعَامَ ابْنِ عُمَرَ، فَدَعَا بِطَعَامٍ ذَاتَ يَوْمٍ، فَطَلَبَ يَتِيمَهُ فَلَمْ يَجِدْهُ، فَجَاءَ بَعْدَ مَا فَرَغَ ابْنُ عُمَرَ، فَدَعَا لَهُ ابْنُ عُمَرَ بِطَعَامٍ، لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ، فَجَاءَه بِسَوِيقٍ وَعَسَلٍ، فَقَالَ‏:‏ دُونَكَ هَذَا، فَوَاللَّهِ مَا غُبِنْتَ يَقُولُ الْحَسَنُ‏:‏ وَابْنُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا غُبِنَ‏.‏


Dari Al-Hasan Al Bashri bahwasanya seorang yatim piatu biasa hadir makan bersama Ibnu ‘Umar. Suatu hari dia meminta makanan dan dia mencari anak yatim ini tetapi tidak dapat menemukannya. Dia tiba setelah Ibnu ‘Umar selesai. Ibnu ‘Umar meminta lebih banyak makanan untuk dibawakan kepadanya tetapi mereka tidak memilikinya. Maka ia dibawakan sawiq dan madu. Dia berkata, “Ini, ambil ini! Demi Allah, kamu tidak tertipu!” Al-Hasan berkata, “Demi Allah, Ibnu ‘Umar tidak tertipu!”. (HR. Ahmad dalam kitab Az-zuhdu no. 1051 dan Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 134)
Riwayat ini memberikan faedah bahwa Ibnu Umar selalu bersemangat di dalam menghadirkan anak yatim pada waktu beliau makan. Jika sudah waktunya maka maka beliau mencarinya, sebagaimana faidah ini di dapat pada ucapan beliau (Al Hasan) :
“… dia mencari anak yatim ini tetapi tidak dapat menemukannya”.
Si yatim ini pun datang setelah Ibnu Umar selesai dari makannya. Dan Ibnu Umar meminta makan yang lain buatnya namun sudah tidak ada. Makanan yang tadi dihidangkan sudah habis dan akhirnya beliau membawa sawiq dan ‘asal (madu) dan memberikannya kepada si yatim.
Dan beliau berkata : “Ini, ambil ini! Demi Allah, kamu tidak tertipu!” Maksudnya adalah kamu tidak rugi dengan tidak makan bersama kami, bahkan makanan yang ini adalah makanan yang baik.
Perkataan Al-Hasan Al Bashri, “Demi Allah, Ibnu ‘Umar tidak tertipu!” Artinya beliau mendapatkan keuntungan yang besar karena telah berbuat baik kepada si yatim ini. Dan ini adalah kebiasaan Ibnu Umar yang mana beliau tidak makan kecuali menghadirkan anak yatim dalam makan beliau.


عَنْ أَبِيْ بَكْرِ بْنُ حَفْصٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ كَانَ لاَ يَأْكُلُ طَعَامًا إِلاَّ وَعَلَى خِوَانِهِ يَتِيمٌ‏.‏ رواه البخاري في الأدب المفرد وصحَّحه الألباني.


Dari Abu Bakar bin Hafsh : Bahwasanya Abdullah bin Umar dahulu tidaklah beliau makan kecuali di atas mejanya makan beliau ada seorang anak yatim”. (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 136 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala).
Al kharaaithiyyu meriwayatkan dalam kitab makarimul akhlak dari Naafi’, beliau berkata :


كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا لَا يَأْكُلُ طَعَامًا إِلَّا وَعَلَى خِوَانِهِ أَيْتَامٌ.


“Dahulu Ibnu Umar tidaklah makan suatu makanan kecuali dimeja makan beliau ada beberapa anak yatim”. (Dikeluarkan oleh Al kharaaithiyyu dalam kitab makarimul akhlak no. 652)
Riwayat ini menunjukkan akan kesungguhan beliau dalam berbuat baik kepada anak-anak yatim dimana beliau tidaklah makan suatu makanan kecuali disitu ada mereka. Dan Allah berfirman :


وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِيْنًا وَيَتِيْمًا وَأَسِيْرًا


“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. (Al-Insan : 8)
Dalam suatu kesempatan, mereka menyukai harta dan makanan namun disisi lain mereka mendahulukan hal itu kepada kecintaan Allah dari pada kecintaan diri-diri mereka sendiri dengan memberikan kepada orang-orang yang paling membutuhkan dari kalangan orang miskin, yatim dan tawanan. Mereka meniatkan wajah Allah dalam hal itu dengan memberikan infaq dan makanan kepada mereka. Bahkan mereka tidak sedikit menginginkan balasan mereka dan ucapan terima kasihnya mereka.

Anggaplah anak yatim sebagaimana keluarga sendiri

عَنْ حَمْزَةَ بْنِ نَجِيحٍ أَبِي عُمَارَةَ قَالَ‏:‏ سَمِعْتُ الْحَسَنَ يَقُولُ‏:‏ لَقَدْ عَهِدْتُ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ لَيُصْبِحُ فَيَقُولُ‏:‏ يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَتِيمَكُمْ يَتِيمَكُمْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، مِسْكِينَكُمْ مِسْكِينَكُمْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، جَارَكُمْ جَارَكُمْ، وَأُسْرِعَ بِخِيَارِكُمْ وَأَنْتُمْ كُلَّ يَوْمٍ تَرْذُلُونَ‏.‏


Dari Hamzah bin Najih Abu Umaroh beliau berkata :
Aku mendengar Al Hasan Al Bashri rahimahullahu ta’ala berkata : “Aku ingat suatu saat di antara kaum Muslimin ketika laki-laki mereka berteriak (untuk mengingatkan keluarga mereka), ‘Hai keluarga! Wahai keluarga! (Jagalah) anak yatim kalian! Yatim piatu kalian! Wahai keluarga! Setelah anak yatim kalian! Orang miskin kalian! Orang miskin kalian! Wahai keluarga! Wahai keluarga! (Jagalah) tetangga kalian! Waktu telah berlalu dengan cepat dalam mengambil yang terbaik dari kalian, sementara setiap hari kalian menjadi orang yang lebih rendah.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 139)
Yaitu seseorang memanggil keluarganya : Wahai keluarga! (Jagalah) anak yatim kalian! Yatim piatu kalian! Wahai keluarga!”. Berbuat baiklah kepada mereka, muliakanlah mereka dan berikan perhatian kalian kepada mereka. Dan ini adalah komando kepada siapapun yang dia jumpai. Mereka saling berwasiat agar memperhatikan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan hak-hak para tetangga.
Di zaman para sahabat dahulu terdapat penerang dan pelita dalam hal kebaikan ini dan juga ada saling memerintah agar memiliki perhatian yang besar terhadap anak-anak yatim. Telah tetap beberapa sahabat dan shohabiat yang mereka menjadi penanggung jawab anak-anak yatim baik yang laki-laki maupun perempuan. Mereka mengumpulkan anak-anak yatim itu di rumah-rumah mereka, memiliki perhatian besar terhadap mereka, berbuat baik kepada mereka dan mereka (para sahabat dan shohabiat) menjadi tempat berlindungnya anak-anak yatim bahkan tempat terakhir dalam kebaikan. Demikian pula hal ini terjadi di kalangan para tabi’in dan pengikut mereka setelahnya.

Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala, halaman 112-116.


تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية ٨

{ وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا}
[ سورة الإنسان: ٨]
 الآية السابقة
آية رقم ٨ 

«ويطعمون الطعام على حبه» أي الطعام وشهوتهم له «مسكينا» فقيرا «ويتيما» لا أب له «وأسيرا» يعني المحبوس بحق.
تفسير السعدي : ويطعمون الطعام على حبه مسكينا ويتيما وأسيرا

{ وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ }- أي: وهم في حال يحبون فيها المال والطعام، لكنهم قدموا محبة الله على محبة نفوسهم، ويتحرون في إطعامهم أولى الناس وأحوجهم { مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا } .
تفسير البغوي : مضمون الآية 8 من سورة الإنسان

“ويطعمون الطعام على حبه”، أي على حب الطعام وقلته وشهوتهم له وحاجتهم إليه.
وقيل: على حب الله عز وجل، “مسكيناً”، فقيراً لا مال له، “ويتيماً”، صغيراً لا أب له “وأسيراً”، قال مجاهد وسعيد بن جبير وعطاء: هو المسجون من أهل القبلة.
وقال قتادة: أمر الله بالأسراء أن يحسن إليهم، وإن أسراهم يومئذ لأهل الشرك.
وقيل: الأسير المملوك.
وقيل: المرأة، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “اتقوا الله في النساء فإنهن عندكم عوان” أي أسراء.
واختلفوا في سبب نزول هذه الآية، قال مقاتل: نزلت في رجل من الأنصار أطعم في يوم واحد مسكيناً ويتيماً وأسيراً.
وروى مجاهد وعطاء عن ابن عباس: أنها نزلت في علي بن أبي طالب رضي الله عنه، وذلك أنه عمل ليهودي بشيء من شعير، فقبض الشعير فطحن ثلثه فجعلوا منه شيئاً ليأكلوه، فلما تم إنضاجه أتى مسكين فسأل فأخرجوا إليه الطعام، ثم عمل الثلث الثاني فلما تم إنضاجه أتى يتيم فسأل فأطعموه، ثم عمل الثلث الباقي فلما تم إنضاجه أتى أسير من المشركين، فسأل فأطعموه، وطووا يومهم ذلك: وهذا قول الحسن وقتادة، أن الأسير كان من أهل الشرك، وفيه دليل على أن إطعام الأسارى، وإن كانوا من أهل الشرك، حسن يرجى ثوابه.
التفسير الوسيط : ويستفاد من هذه الآية

ثم وصفهم- سبحانه – بصفات أخرى فقال: وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً.
أى: أن هؤلاء الأبرار من صفاتهم- أيضا أنهم يطعمون الطعام مع حب هذا الطعام لديهم، ومع حاجتهم إليه واشتهائهم له.

ومع كل ذلك فهم يقدمونه للمسكين، وهو المحتاج إلى غيره لفقره وسكونه عن الحركة..ولليتيم: وهو من فقد أباه وهو صغير، وللأسير: وهو من أصبح أمره بيد غيره.
وخص الإطعام بالذكر: لما في تقديمه من كرم وسخاء وإيثار، لا سيما مع الحاجة إليه، كما يشعر به قوله-تبارك وتعالى- عَلى حُبِّهِ أى: على حبهم لذلك الطعام، وقيل الضمير في قوله عَلى حُبِّهِ يعود إلى الله- عز وجل – أى: يطعمون الطعام على حبهم له-تبارك وتعالى-.

Dalil Aib dalam al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 19 tentang perintah menutup aib sesama:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلْفَٰحِشَةُ فِى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.

Namun jika ditinjau dari sudut padang keutamaannya mungkin berbeda antara mendatangkan dan mendatangi  menarik untuk dicermati. Kita harus mengakui perubahan norma sosial yang terjadi di masyarakat. Kalau dulu masyarakat hampir tidak mempermasalahkan pemberian santunan yatim di muka umum, hari ini nilai sosial itu bergeser. Masyarakat–meski tidak semua–mempersoalkan pemberian santunan yatim dan dhuafa di muka umum.

Dalam Islam, masalah ini juga pernah didiskusikan oleh ulama. Masalah ini diangkat dalam kaitannya dengan keutamaan amal ibadah atau amal saleh yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan secara tersembunyi.

Imam Al-Ghazali menjadikan tindakan yang menyakitkan atau mengganggu sebagai tolok ukur atas kebolehan amal saleh dan amal ibadah yang dilakukan secara tersembunyi atau dilakukan secara terang-terangan. Sejauh tidak menyakiti penerima santunan, pemberian santunan dapat dilakukan secara terbuka atau terang-terangan.

وأما ما يمكن إسراره كالصدقة والصلاة فإن كان إظهار الصدقة يؤذي المتصدق عليه ويرغب الناس في الصدقة فالسر أفضل لأن الإيذاء حرام


Artinya, “Adapun amal ibadah yang dapat dilakukan secara sembunyi seperti sedekah dan shalat, jika sedekah terang-terangan (di muka umum) menyakiti orang yang menerima sedekah dan itu dapat memotivasi orang lain untuk sedekah, maka amal secara sembunyi lebih utama karena tindakan menyakitkan (meski dengan niat baik) diharamkan,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 325).

Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan sejauh mana dampak mafsadat suatu perbuatan. Sedekah atau amal saleh lainnya–meski dilakukan dengan niat baik–dapat diharamkan jika berdampak pada kezaliman atau berdampak pada adanya orang yang tersakiti atau terganggu.

Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits riwayat berikut ini sebagai keutamaan amal ibadah yang dilakukan secara tersembunyi.


وقد روي في الحديث إِنَّ عَمَلَ السِّرِّ يُضَاعَفُ عَلَى عَمَل ِالعَلَانِيَةِ سَبْعِيْنَ ضِعْفًا وَيُضَاعَفُ عَمَلُ العَلَانِيَةِ إِذَا اسْتُنَّ بِعَامِلِهِ عَلَى عَمَلِ السِّرِّ سَبْعِيْنَ ضِعْفًا

Artinya, “Dalam hadits diriwayatkan, Rasulullah saw bersabda, ‘Amal ibadah secara sembunyi dilipatgandakan 70 kali lipat dibanding amal ibadah terang-terangan. Sedangkan amal ibadah secara terang-terangan yang dijadikan teladan dilipatgandakan 70 kali lipat dibanding amal ibadah secara sembunyi,’” (HR Al-Baihaqi).

Disebutkan Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma.Beliau berkata:

أَمْرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ جَادٍّ بِعَشَرَةِ أَوْسُقٍ مِنْ تَمْرٍ، ‌بِقِنْوٍ ‌يُعَلَّقُ فِي الْمَسْجِدِ لِلْمَسَاكِينِ

“Nabi shallallahu‘alaihi wasallam memerintahkan dari setiap buah yang berjumlah sepuluh wasaq kurma (hasil panen) diambil satu tandan dan digantungkan di masjid untuk orang-orang miskin.”
(HR. Ahmad: 14867, Abu Dawud: 1662 dan Musnad Abi Ya’la: 2038 (4/34). Isnad-nya di-jayyid-kan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: 3/348. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 1465).
Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu berkata:

كُنَّا أَصْحَابَ نَخْلٍ فَكَانَ الرَّجُلُ يَأْتِي مِنْ نَخْلِهِ عَلَى قَدْرِ كَثْرَتِهِ وَقِلَّتِهِ، وَكَانَ الرَّجُلُ يَأْتِي بِالقِنْوِ وَالقِنْوَيْنِ فَيُعَلِّقُهُ فِي المَسْجِدِ، ‌وَكَانَ ‌أَهْلُ ‌الصُّفَّةِ ‌لَيْسَ ‌لَهُمْ ‌طَعَامٌ، فَكَانَ أَحَدُهُمْ إِذَا جَاعَ أَتَى القِنْوَ فَضَرَبَهُ بِعَصَاهُ فَيَسْقُطُ مِنَ البُسْرِ وَالتَّمْرِ فَيَأْكُلُ، وَكَانَ نَاسٌ مِمَّنْ لَا يَرْغَبُ فِي الخَيْرِ يَأْتِي الرَّجُلُ بِالقِنْوِ فِيهِ الشِّيصُ وَالحَشَفُ وَبِالقِنْوِ قَدْ انْكَسَرَ فَيُعَلِّقُهُ»، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ} [البقرة: ٢٦٧]

“Kami adalah petani kurma, setiap orang datang membawa hasil kurmanya sesuai banyak sedikitnya, seseorang datang membawa setangkai atau dua tangkai lalu menggantungkannya di masjid, sementara penghuni halaman masjid (ahlush shuffah) tidak memiliki makanan, jika salah seorang dari mereka merasa lapar, mereka datang ke tangkai-tangkai kurma dan memukulnya dengan tongkat hingga busr (kurma muda) dan kurma berjatuhan, lalu mereka memakannya, sedangkan orang-orang yang tidak menghendaki kebaikan, datang dengan membawa satu tangkai kurma yang keras lagi jelek dan satu tangkai yang sudah rusak, kemudian digantungkan di masjid, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.” (QS.Al-Baqarah: 267).” (HR. At-Tirmidzi: 2987 dan ia berkata hasan shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf: 11099 (6/419). Di-hasan-kan pula oleh Muqbil dalam ash-Shahih al-Musnad: 138 (1/119)).
Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata:

والظاهر من أهل الصفة: أنهم كانوا يأكلون في المسجد، وقد سبق حديث البراء بن عازب أنهم كانوا إذا جاعوا ضربوا ‌القنو المعلق في المسجد للصدقة فأكلوا منه

“Yang jelas dari Ahlus Shuffah adalah bahwa mereka makan di masjid. Dan telah berlalu hadits al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu bahwa mereka jika lapar memukul tandan kurma sedekah yang tergantung di masjid, lalu mereka memakannya.” (Fathul Bari li Ibni Rajab: 3/163).


. بغية المسترشدين ص : ٦٥ دار الفكر
(مسئلة ب) يجوز للقيم شراء عبد للمسجد ينتفع به لنحو نزح إن تعينت المصلحة فى ذلك.
إذ المدار كله من سائر الأولياء عليها نعم لا نرى للقيم وجها فى تزويج العبد المذكور كولى اليتيم إلا أن يبعه بالمصلحة فيزوجه مشتريه ثم يرد للمسجد بنحو بيع مراعيا فى ذلك المصلحة ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد فى المسجد من قهوة ودخون ونحوهما مما يرغب نحو المصلين وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته
. فتح الاله المنان للشيخ سالم بن سعيد بكير باغيثان الشافعي ص : ١٥٠
سئل رحمه الله تعالى عن رجل وقف اموالا كثيرة على مصالح المسجد الفلاني وهو الان معمور وفي خزنة المسجد من هذا الوقف الشئ الكثير فهل يجوز اخراج شئ من هذا الوقف لاقامة وليمة مثلا يوم الزينة ترغيبا للمصلين المواظبين ؟ فا جاب الحمد لله والله الموافق للصواب الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء والتجصيص المحكم و في أجرة القيم والمعلم والامام والحصر والدهن وكذا فيما يرغب المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الاهم فالاهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل اذافضل عن عمارته ولم يكن ثم ما هو اهم منه من المصالح اهـ
المساجد بيوت الله ص ١١٠-١١١
(باب: القسمة وتعليق القنو في المسجد)
ثم ذكر حديث أنس -رضي الله عنه -قال: «أتي النبي- صلى الله عليه وسلم -بمال من البحرين، فقال: (انثروه في المسجد) وكان أكثر مال أُتِيَ به رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فخرج رسول الله- صلى الله عليه وسلم -ولم يلتفت إليه، فلما قضى الصلاة جاء فجلس إليه، فما كان يرى أحدًا إلا أعطاه، فما قام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وثم منه درهم» (٢)
ففي هذا الحديث جواز تفريق المال في المسجد، بشرط ألاَّ يشغل المصلِّين، ولا يحصل فيه ازدحام وهيشات أصوات، فإن تيسَّر تفريقه في غير المسجد فهو أولى، ومثله تفريق الزكوات وصدقة الفطر، يجوز في المساجد عند الحاجة. (٣)
قال الخطابي: كره بعض السلف المسألة في المسجد، وكان بعضهم لا يرى أن يتصدق أحد على السائل المعترض في المسجد. ا. هـ (٢)
بل يقال: إذا مُنع الرجل أن ينشد ضالته في المسجد ,رغم كونه يبحث عن شيء هو يملكه؛ لئلا يشوِّش على المصلِّين، فإنه يُمنع من المسألة في المسجد؛ لأنها مثله وأولى. (٣)
وممَّا يتعلق بهذه الفائدة:
سؤال الصدقات وقت خطبة الجمعة: حيث ترى خادم المسجد يمر بالصندوق وقت الخطبة على الناس ليتصدقوا , وهذا بلا شك يشوِّش على الناس حال سماع الخطبة، كما أنه يتسبب في إبطال جمعة من يمر بهذا الصندوق، فقد قال النبي – صلى الله عليه وسلم-: “مَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا”. (٤)، وقال النبي – صلى الله عليه وسلم – “وَمَنْ لَغَا وَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ كَانَتْ لَهُ ظُهْرًا” (٥)
(١) أخرجه مسلم في الصحيح (١٠٢٨)، دون قول أبي بكر – رضي الله عنه – دخلت المسجد ….. ، وهي زيادة ضعيفة، في سندها مبارك بن فضالة، وهو مدلس وقد عنعنه.
(٢) ذكره البخاري (٤٢١) معلقاً بصيغة الجزم ووصله ابن حجر في التغليق (٢/ ٢٢٧)
(٣) انظر المجموع (٢/ ١٧٦) وفصول ومسائل تتعلق بالمساجد لابن جبرين (ص/٤٤)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *