Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA Bahtsul Masail Shalat

CARA MENGQADHA SHALAT YANG TELAH DITINGGALKAN SELAMA BERTAHUN-TAHUN

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Seorang muslim setelah baligh bertahun-tahun meninggalkan shalat, baik karena kesibukan maupun karena keimanannya yang masih lemah. Namun, ketika menginjak usia lanjut, ia mendapatkan hidayah dari Allah dan menyadari bahwa meninggalkan shalat adalah dosa besar. Ia pun berniat untuk mengqadha shalat-shalat yang telah ditinggalkan selama ini.

Pertanyaan:
Bagaimana tata cara mengqadha shalat yang telah ditinggalkan bertahun-tahun tersebut?

Wa’alaikumsalam

Jawaban
Cara mengqadha shalat yang ditinggalkan adalah dengan memperkirakan jumlah shalat yang diyakini telah ditinggalkan, berdasarkan dugaan kuat setelah melakukan penelitian yang hati-hati. Hal ini sebagaimana pendapat ulama yang diantaranya al-Imam Ghazali. Jika seseorang tidak pernah shalat sama sekali sejak kecil, maka ia wajib menghitung seluruh shalat yang ditinggalkan sejak ia baligh hingga bertobat, lalu mengqadhainya sesuai kemampuan.

Referensi

إحياء علوم الدين،   ٣٧/ ٤

وَشَرْطُ صِحَّتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَاضِي، أَنْ يُرَدَّ فِكْرَتُهُ إِلَى أَوَّلِ يَوْمٍ بَلَغَ فِيهِ بِالسِّنِّ، أَوْ الِاحْتِلَامِ، فَيُفَتِّشُ عَمَّا مَضَى مِنْ عُمْرِهِ سَنَةً سَنَةً، وَشَهْرًا شَهْرًا، وَيَوْمًا يَوْمًا، فَنَفَسًا نَفَسًا، وَيَنْظُرُ إِلَى الظَّلَمَاتِ مَا الَّذِي قَصَّرَ فِيهِ مِنْهَا، أَوْ الْمَعَاصِي، مَا الَّذِي قَارَفَهُ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ تَرَكَ صَلَاةً، أَوْ صَلَاهَا فِي ثَوْبٍ نَجِسٍ، أَوْ صَلَاهَا بِبِنْيَةٍ غَيْرِ صَحِيحَةٍ، لِجَهْلِهِ، يَشْرَعْ قَضَاءَهَا مَعَ أُجْرَةٍ أُخْرَى، فَإِنْ شَكَّ فِي عَدَدِ مَا فَاتَهُ مِنْهَا، حَسَبَ مِنْ أَدْنَى مَا يُتَصَوَّرُ. فَهَذَا هُوَ قَدْرُ الِاجْتِهَادِ الَّذِي اقْتَضَتْهُ الْعَادَةُ وَقَضَى بِهِ الْبَاقِي، وَقِيلَ إِنَّهُ يَأْخُذُ فِيهِ بِغَالِبِ الظَّنِّ، وَيَصِلُ أَبَدًا عَلَى سَبِيلِ الشُّكْرِ وَالِاجْتِهَادِ. اهـ

Dan syarat sahnya (taubat dan qadha) terkait dengan kewajiban di masa lalu, hendaklah ia mengembalikan perhatiannya kepada hari pertama ia baligh, baik melalui usia maupun ihtilam. Kemudian ia meneliti (mengevaluasi) dari usia yang telah berlalu, tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, bahkan setiap napas yang telah ia lalui. Ia memperhatikan dosa-dosa dan kegelapan (maksiat) yang pernah ia lakukan, apakah ia meninggalkan shalat, atau shalat dengan pakaian yang najis, atau shalat dengan niat yang tidak sah karena ketidaktahuannya. Maka ia wajib mengqadha shalat itu beserta hal lainnya yang harus diganti.

Jika ia ragu terhadap jumlah shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia memperkirakan jumlah paling sedikit yang mungkin terjadi. Demikianlah kadar ijtihad yang dituntut oleh kebiasaan, dan ia harus melakukannya secara terus-menerus sebagai bentuk syukur dan kesungguhan.

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ٢/‏١١٦١ — و الزحيلي (ت ١٤٣٦)
خامسًا – القضاء إن جهل عدد الفوائت: قال الحنفية: من عليه فوائت كثيرة لا يدري عددها، يجب عليه أن يقضي حتى يغلب على ظنه براءة ذمته. وعليه أن يعين الزمن، فينوي أول ظهر عليه أدرك وقته ولم يصله، أو ينوي آخر ظهر عليه أدرك وقته ولم يصله، وذلك تسهيلًا عليه.
`وقال المالكية والشافعية والحنابلة: يجب عليه أن يقضي حتى يتيقن براءة ذمته من الفروض، ولا يلزم تعيين الزمن، بل يكفي تعيين المنوي كالظهر أو العصر مثلًا.`

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين — البكري الدمياطي, ج ١ ص ٣١
`قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع،` ويبادر به – ندبا – إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك.
_______________
(قوله: والذي يظهر أنه) أي من عليه فوائت فاتته بغير عذر.
`(قوله: ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد له منه) كنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو فعل واجب آخر مضيق يخشى فوته.`
(قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي.
والله اعلم بالصواب

Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaili (2/1161)

Kelima: Qadha’ jika jumlah shalat yang terlewat tidak diketahui
Menurut mazhab Hanafi, seseorang yang memiliki banyak shalat yang terlewat dan tidak mengetahui jumlah pastinya wajib mengqadha hingga ia merasa yakin bahwa tanggungannya telah gugur. Ia juga harus menentukan waktu shalat tersebut, seperti berniat: “Ini adalah shalat Zuhur pertama yang saya tinggalkan waktunya dan belum saya tunaikan,” atau berniat: “Ini adalah shalat Zuhur terakhir yang saya tinggalkan waktunya dan belum saya tunaikan,” untuk mempermudah dirinya.

Adapun menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, seseorang wajib mengqadha hingga ia yakin bahwa tanggungannya telah gugur dari kewajiban shalat fardhu. Tidak diwajibkan menentukan waktu shalat tersebut, cukup dengan menentukan jenis shalat, seperti Zuhur atau Ashar.

I’anah Ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fathul Mu’in karya Al-Bakri Ad-Dimyathi (Jilid 1, hlm. 31)

Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami:
“Yang tampak jelas adalah bahwa seseorang yang memiliki shalat terlewat tanpa uzur wajib menyisihkan seluruh waktunya untuk mengqadha, kecuali waktu yang diperlukan untuk hal-hal yang sangat penting. Selain itu, ia diharamkan melaksanakan shalat sunnah.”

Penjelasan tambahan:
Ia dianjurkan untuk segera mengqadha (secara sunnah) jika shalat tersebut terlewat karena uzur seperti tidur yang tidak disengaja atau kelupaan yang tidak disengaja.

Keterangan lebih lanjut:

1. “Yang tampak jelas adalah…” merujuk pada seseorang yang meninggalkan shalat tanpa uzur.

2. “Kecuali waktu yang diperlukan untuk hal-hal yang sangat penting,” seperti tidur, memenuhi nafkah orang yang menjadi tanggungannya, atau melaksanakan kewajiban lain yang waktunya sangat sempit dan dikhawatirkan akan terlewat.

3. “Diharamkan melaksanakan shalat sunnah,” jika ia dalam kondisi sehat, berbeda dengan pendapat Az-Zarkasyi. Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 61 : KEUTAMAAN MELAKSANAKAN SHALAT ‘ID DI TANAH LAPANG

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 61 :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ. فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ لَيِّنٍ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa mereka mengalami hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sholat hari raya bersama mereka di masjid. Riwayat Abu Dawud dengan sanad lemah.

MAKNA HADITS :

Pada asalnya sholat hari raya dikerjakan di suatu tempat yang lapang dan luas agar orang-orang dapat berkumpul di tempat tersebut. Dalam kaitan ini, Nabi (s.a.w) menganjurkan semua gadis remaja, gadis pingitan dan lain-lain turut serta mengerjakan sholat dan berdo’a bersama-sama kaum muslimin.

Rasulullah (s.a.w) selalu mengerjakan sholat hari raya di lapangan yang khusus digunakan untuk mengerjakan sholat. Hal ini menunjukkan bahwa mengerjakan sholat hari raya di lapangan lebih utama daripada melakukannya di dalam masjid, sekalipun masjid itu luas dan dapat menampung orang banyak.

Tetapi menurut pendapat sekumpulan ulama, sholat hari raya di dalam Masjidil
Haram adalah lebih utama karena masjid itu luas, dapat melihat Ka’bah secara
langsung dan pahalanya dilipatgandakan. Adapun sholat hari raya yang pernah
dilakukan oleh Nabi (s.a.w) di dalam Masjid Nabawi, seperti yang disebutkan di dalam hadis ini, dapat ditafsirkan untuk menunjukkan hukum boleh atau karena adanya udzur seperti hujan atau karena masjid itu sendiri cukup luas dapat menampung semua orang yang akan melakukannya.

FIQH HADITS :

Dibolehkan melakukan sholat hari raya di dalam masjid karena ada udzur seperti
hujan. Jika tidak ada uzur, maka disunatkan bahwa sholat hari raya itu dikerjakan di tanah lapang. Mengerjakannya di tanah lapang adalah lebih diutamakan dibandingkan dikerjakan di dalam masjid, karena ini telah menjadi kebiasaan Rasulullah (s.a.w) dan para Khulafa’ al-Rasyidin sesudahnya.

Inilah mazhab jumhur ulama. Alasan mereka karena Rasulullah (s.a.w) sudah biasa melakukannya di samping ia dapat menyemarakkan lagi syiar Islam
dan memberi kemudahan kepada para penunggang yang datang dari tempat
yang jauh. Mazhab Hanbali dan mazhab Maliki mengecualikan Masjidil Haram
mengingat masjid itu memiliki keluasan yang mampu menampung banyak umat manusia.

Mazhab al-Syafi’i mengatakan bahwa mengerjakan sholat hari raya di dalam
Masjidil Haram dan Baitul Muqdis adalah lebih utama dibanding di tengah padang
memandang kesucian kedua masjid itu, mudah untuk mendatanginya dan
memiliki keluasan yang bisa menampung banyak manusia. Adapun mengerjakan
sholat hari raya di dalam masjid-masjid yang lain karena masjid itu luas atau karena turun hujan sebagaimana yang ditegaskan oleh hadis ini, maka itu dibolehkan memandang kemuliaan yang ada padanya, mudah untuk didatangi serta tempatnya yang cukup luas pada keadaan pertama dan lantaran ada udzur pada keadaan kedua. Oleh itu, seandainya sholat dikerjakan di tengah padang, bererti mereka telah mengabaikan perbuatan yang lebih utama sehingga makruh pada keadaan kedua, bukan pada keadaan pertama. Apabila masjid itu sempit dan tidak ada udzur untuk mengerjakan di tengah lapang, maka makruh melakukan sholat hari raya di dalam masjid, karena adanya alasan kesusahan dan akan berlaku
desak-desakan di kalangan banyak orang. Jalan keluarnya adalah hendaklah orang
yang sehat dan kuat pergi ke tengah lapangan untuk mengerjakan sholat hari raya, kemudian melantik seorang imam di dalam masjid untuk mengerjakan sholat hari raya bersama orang yang lemah seperti orang tua dan orang sakit. Ini karena Khalifah Ali (r.a) pernah melantik Abu Mas’ud al-Ansari untuk berbuat demikian.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM)

HADITS KE 60 : ANJURAN BERJALAN KAKI MENUJU TEMPAT SHALAT ‘ID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 60 :

وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا ) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ, وَحَسَّنَهُ

Ali Radliyallaahu ‘anhu berkata: Termasuk sunnah Rasul adalah keluar menuju sholat hari raya dengan berjalan kaki. Hadits hasan riwayat Tirmidzi.

MAKNA HADITS :

Pada hakikatnya dibolehkan berkendaraan atau berjalan kaki ketika pergi menuju
tempat sholat hari raya maupun ketika pulang. Ini antara kemudahan yang
diberikan oleh Islam. Al-Bukhari telah membincangkan masalah ini dalam bab
tersendiri dalam kitabnya al-Shahih. Namun apa yang paling utama dalam Sunnah Nabi (s.a.w) ialah berangkat menuju tempat sholat hari raya dengan berjalan kaki, karena berjalan kaki lebih menampakkan lagi sikap tawadhu’ (rendah hati), memperbanyakkan lagi langkah, menghasilkan ganjaran pahala lebih banyak dan jalur lalu lintas lebih teratur mengingat anak-anak dan kaum wanita turut
hadir dalam perayaan itu. Dengan demikian, berjalan kaki menjadi lebih baik
karena berbelas kasihan kepada golongan yang kurang mampu.

Antara bimbingan yang dilakukan oleh Nabi (s.a.w) pada hari raya aidil fitri ialah hendaklah seseorang berbuka terlebih dahulu dengan beberapa butir buah kurma atau manisan yang berjumlah ganjil sebelum dia keluar berangkat menuju tempat sholat hari raya. Ini merupakan bukti wajib berbuka pada hari itu dan haram berpuasa demi menjunjung perintah Allah (s.w.t).

Apa yang disunahkan pada hari raya idul adha ialah berbuka setelah mengerjakan sholat hari raya dan setelah hewan qurban disembelih serta memakan sebagian dari dagingnya.

FIQH HADITS :

1. Disunahkan keluar menuju tempat sholat hari raya dengan berjalan kaki, karena setiap langkah dikira memperoleh satu pahala hingga semakin bertambah banyak pahala itu seiring dengan banyaknya langkah yang diayunkannya.

2. Makan sebelum berangkat menuju tempat sholat hari raya idul fitri.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 59 : BATASAN BERGEMBIRA DI HARI RAYA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 59 :

وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: ( قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ, وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا. فَقَالَ: “قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى, وَيَوْمَ الْفِطْرِ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tiba di Madinah dan mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari untuk bermain-main. Maka beliau bersabda: “Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari raya Adlha dan Fithri.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih.

MAKNA HADITS :

Oleh karena memperlihatkan keceriaan pada dua hari raya merupakan perkara
yang disunahkan untuk menghibur diri dan memberikan kegembiraan kepada
anak-anak sebagai satu tanda syukur kepada Allah (s.w.t), maka Allah (s.w.t)
mensyariatkan dua hari raya kepada hamba-Nya yaitu hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, sebagaimana pada zaman Jahiliah dimana mereka memiliki dua hari raya dalam setiap tahunnya. Namun hari raya pada zaman Jahiliah diramaikan dengan melakukan perkara-perkara yang dilarang dan menyampingkan nilai-nilai ibadah. Hari-hari raya dalam Islam dimeriahkan dengan melakukan sesuatu yang tidak dilarang oleh syariat disertai suasana kegembiraan dan syukur di atas nikmat Allah (s.w.t). Allah (s.w.t) berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا….. (58)

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira…” (Surah Yunus: 58)

Hari raya itu merupakan salah satu tanda syukur dan pujian kepada Allah (s.w.t). Hari raya yang pertama disyariatkan dalam Islam ialah hari raya idul
fitri bersamaan dengan tahun kedua Hijriah.

FIQH HADITS :

1. Dilarang bermain dan bergembira pada dua hari Nairuz dan Mahrajan, tidak boleh bagi seorang mukmin meniru amalan orang kafir dalam mengagungkan kedua hari tersebut dan demikian pula hari-hari lain yang termasuk hari perayaan mereka, karena dikawatiri menyerupai mereka.

2. Disyariatkan memperlihatkan kegembiraan dan keceriaan pada dua hari raya Islam. Ini termasuk syariat yang ditetapkan oleh Allah (s.w.t) ke atas hamba-hamba-Nya. Mengganti hari-hari perayaan Jahiliah dengan dua hari raya idul fitri dan idul adha yang telah disebutkan dalam hadis ini menunjukkan bahwa dibolehkan melakukan perkara-perkara yang biasa dilakukan pada zaman Jahiliah pada dua hari raya itu selagi tidak dilarang oleh Islam dan tidak melalaikan amal ibadah. Perbedaan antara hari raya
pada zaman Jahiliah dengan hari raya Islam ialah berkaitan ketentuan waktunya.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 59 : BERGEMBIRA DI HARI RAYA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 59 :

وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: ( قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ, وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا. فَقَالَ: “قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى, وَيَوْمَ الْفِطْرِ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tiba di Madinah dan mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari untuk bermain-main. Maka beliau bersabda: “Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari raya Adlha dan Fithri.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih.

MAKNA HADITS :

Oleh karena memperlihatkan keceriaan pada dua hari raya merupakan perkara
yang disunahkan untuk menghibur diri dan memberikan kegembiraan kepada
anak-anak sebagai satu tanda syukur kepada Allah (s.w.t), maka Allah (s.w.t)
mensyariatkan dua hari raya kepada hamba-Nya yaitu hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, sebagaimana pada zaman Jahiliah dimana mereka memiliki dua hari raya dalam setiap tahunnya. Namun hari raya pada zaman Jahiliah diramaikan dengan melakukan perkara-perkara yang dilarang dan menyampingkan nilai-nilai ibadah. Hari-hari raya dalam Islam dimeriahkan dengan melakukan sesuatu yang tidak dilarang oleh syariat disertai suasana kegembiraan dan syukur di atas nikmat Allah (s.w.t). Allah (s.w.t) berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا….. (58)

“Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira…”
(Surah Yunus: 58)

Hari raya itu merupakan salah satu tanda syukur dan pujian kepada Allah (s.w.t). Hari raya yang pertama disyariatkan dalam Islam ialah hari raya idul fitri bersamaan dengan tahun kedua Hijriah.

FIQH HADITS :

1. Dilarang bermain dan bergembira pada dua hari Nairuz dan Mahrajan, tidak boleh bagi seorang mukmin meniru amalan orang kafir dalam mengagungkan kedua hari tersebut dan demikian pula hari-hari lain yang termasuk hari perayaan mereka, karena dikawatiri menyerupai mereka.

2. Disyariatkan memperlihatkan kegembiraan dan keceriaan pada dua hari raya Islam. Ini termasuk syariat yang ditetapkan oleh Allah (s.w.t) ke atas hamba-hamba-Nya. Mengganti hari-hari perayaan Jahiliah dengan dua hari raya idul fitri dan idul adha yang telah disebutkan dalam hadis ini menunjukkan bahwa dibolehkan melakukan perkara-perkara yang biasa dilakukan pada zaman Jahiliah pada dua hari raya itu selagi tidak dilarang oleh Islam dan tidak melalaikan amal ibadah. Perbedaan antara hari raya pada zaman Jahiliah dengan hari raya Islam ialah berkaitan ketentuan waktunya.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 58 : ANJURAN MENEMPUH JALAN YANG BERBEDA ANTARA PULANG DAN PERGI SHALAT ‘ID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 58 :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيدِ خَالَفَ الطَّرِيقَ ) أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ. وَلِأَبِي دَاوُدَ: عَنِ ابْنِ عُمَرَ, نَحْوُهُ

Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pada hari raya biasanya mengambil jalan yang berlainan. Dikeluarkan oleh Bukhari. Abu Dawud juga meriwayatkan hadits serupa dari Ibnu Umar.

MAKNA HADITS :

Sholat hari raya merupakan salah satu syiar agama Islam. Pada hari itu, seluruh
kaum muslimin berkumpul, meskipun status mereka berlainan antara satu sama
lain, untuk meramaikan hari raya yang dipenuhi kegembiraan sebagai tanda syukur kepada Allah (s.w.t) di atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan. Antara
nikmat Allah itu adalah kaum muslimin berjaya melaksanakan ibadah puasa dan
sholat sunnah Ramadhan serta mereka berjaya melaksanakan manasik haji di Baitul Haram.

Oleh itu, Nabi (s.a.w) ingin menyemarakkan lagi syiar ini secara meluas dan salah satu caranya adalah disunahkan menempuh jalan yang berlainan antara berangkat dan pulang dimana seseorang hendaklah pulang dengan tidak menempuh jalan yang dilaluinya ketika dia berangkat menuju tempat sholat agar para malaikat yang berada pada kedua jalan tersebut menyaksikannya dan turut mendo’akannya. Di samping itu, diharapkan syiar Islam kelihatan semarak di pelataran jalan-jalan dan dipenuhi oleh orang banyak sambil bertakbir dan berzikir serta memakai pakaian baru. Suasana ini tentu penuh dengan kegembiraan dan nampaklah keagungan Islam dalam bentuk kemeriahan yang luar biasa itu.

FIQH HADITS :

Disunatkan berangkat menuju tempat sholat hari raya dengan menempuh suatu
jalan dan pulang dengan menempuh jalan yang berlainan. Ini berlaku bagi imam
dan makmum, Hikmah menempuh jalan yang berlainan adalah supaya kedua jalan yang dilaluinya turut bersaksi dengan kebaikan untuknya (kelak di akhirat); begitu pula penduduk yang tinggal di sekitar jalan itu, baik jin ataupun manusia yang berada di sekitarnya. Selain itu, ia bertujuan menyemarakkan lagi syiar Islam di kedua jalan tersebut agar orang kafir menjadi gentar melihat kaum muslimin dan semoga keberkahan memenuhi kedua jalan tersebut.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 57 : SURAH YANG DIBACA DALAM SHALAT ‘ID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 57 :

وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ: ( كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ بِـ (ق), وَ (اقْتَرَبَتْ). أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu waqid al-Laitsi Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dalam sholat hari raya Fithri dan Adlha biasanya membaca surat Qof dan Iqtarabat. Dikeluarkan oleh Muslim.

MAKNA HADITS :

Oleh karena sholat hari raya dihadiri oleh banyak orang hingga memenuhi tempat sholat yang terdiri dari kaum lelaki, wanita, bahkan anak-anak, maka keadaan ini merupakan satu peluang untuk memberikan nasehat dan menyadarkan mereka. Oleh itu, Nabi (s.a.w) memilih Surah Qaf dan Surah al-Qamar ketika mengerjakan sholat dua hari raya.

Surah Qaf dibaca pada rakaat pertama karena di dalamnya menjelaskan huru-
hara hari kiamat, keadilan ditegakkan di hadapan Allah, hisab amal, dan perkara-
perkara yang tentu menggerunak. Begitu pula Surah Qaf, di dalamnya mengandung
kisah singkat tentang keadaan umat terdahulu hingga mereka dibinasakan dan peringatan terhadap umat ini untuk tidak mengikuti jalan umat terdahulu yang
sesat supaya azab yang telah menimpa umat terdahulu tidak menimpa mereka.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa pada rakaat pertama dibaca Surah al-A’la, sedangkan pada rakaat kedua dibaca Surah al-Ghasyiyah. Rahsia yang terdapat di dalamnya hanya Allah yang mengetahuinya, tetapi Surah al-A’la menjelaskan permulaan kejadian, menceritakan nikmat Allah yang berlimpah dan perintah untuk senantiasa mengingatkan umat manusia dari kelalaian.

Surah al-Ghasyiyah pula menggambarkan tentang ahli neraka dan ahli syurga. Ia turut menerangkan siksaan yang telah disediakan oleh Allah bagi musuh-Nya serta kenikmatan yang berlimpah bagi kekasih-Nya. Surah ini mengingatkan umat manusia akan nikmat-nikmat Allah dan perintah mengingatkan umat manusia dari kelalaian sekaligus menerangkan tempat kembali semua makhluk adalah kepada Allah (s.w.t).

Ketentuan membaca surah-surah ini ketika mengerjakan sholat dua hari raya bukanlah sesuatu yang wajib, melainkan ia hanya sunat saja. Seandainya seseorang membaca surah selain itu, maka ia pun sudah dianggap mencukupi baginya.

FIQH HADITS :

1. Menguatkan suara bacaan al-Qur’an ketika mengerjakan sholat dua hari raya.

2. Disyariatkan membaca Surah Qaf dan Surah al-Qamar pada sholat dua
hari raya, karena dalam kedua surah tersebut memuat berita hari bangkit, kisah umat terdahulu yang mendustakan rasul mereka sehingga mereka dibinasakan, kemunculan manusia pada hari raya yang diumpamakan dengan kebangkitan mereka pada hari bangkit, dan kebangkitan umat manusia dari alam kubur diumpamakan dengan belalang yang beterbangan.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 56 : TAKBIR DALAM SHALAT ‘ID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 56 :

وَعَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلتَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ, وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنِ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ

Dari Amar Ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Takbir dalam sholat hari raya Fithri adalah tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua, dan bacalah al-fatihah dan surat adalah setelah kedua-duanya.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi mengutipnya dari shahih Bukhari.

MAKNA HADITS :

Bilangan witir mempunyai pengaruh yang besar dalam mengingat keesaan Allah
yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Bilangan tujuh mengandung rah asia
besar dimana syariat Islam menjadikan bilangan takbir sholat hari raya menjadi
ganjil. Syariat Islam menjadikannya pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali untuk
mengingatkan ada pekerjaan haji yang dilakukan sebanyak tujuh kali, yaitu tawaf,
sa’i dan melontar jumrah, yang kesemuanya dilakukan sebanyak tujuh kali. Di samping itu, ia bertujuan membuat hati senantiasa rindu untuk mengerjakan ibadah haji, karena menghayati hari raya idul adha mampu mengingatkan diri kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta ini melalui renungan terhadap semua perbuatan-Nya seperti penciptaan tujuh langit, tujuh bumi, dan tujuh hari beserta segala isinya. Hal ini mampu mengingatkan kepada Allah apabila dilakukan pada hari raya idul adha berbanding hari-hari biasa yang selainnya.

Kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah (s.a.w) dalam mensyariatkan segala
sesuatu selalu mengambil berat kemudahan, karena belas kasihan terhadap
umat ini. Antara kemudahan itu ialah bilangan rakaat kedua sholat hari raya lebih diringankan berbanding rakaat yang pertama. Oleh karena bilangan lima adalah bilangan yang mendekati angka tujuh, maka syariat Islam menetapkan lima kali takbir untuk rakaat kedua karena belas kasihan kepada umat ini sehingga diharapkan mereka selalu dalam keadaan taat kepada Allah dan Rasul-Nya

FIQH HADITS :

1. Disunatkan bertakbir dalam sholat dua hari raya, yaitu pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali takbir, sedangkan pada rakaat kedua lima kali takbir. Imam Malik dan Imam Ahmad berkata: “Pada rakaat pertama takbir dilakukan sebanyak tujuh kali termasuk takbiratul ihram, sedangkan pada rakaat kedua takbir dilakukan sebanyak lima kali selain takbir berdiri.”

Imam al-Syafi’i berkata: “Takbir dilakukan sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama selain takbiratul ihram dan pada rakaat kedua lima kali takbir selain takbir berdiri.” Imam Abu Hanifah berkata: “Empat kali takbir termasuk takbiratul ihram pada rakaat pertama dan takbir rukuk pada rakaat kedua tetap dikira empat takbir itu.”

Adapun kesinambungan dalam membaca takbir-takbir tersebut, maka Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa hendaklah seseorang melakukannya secara berkesinambungan tanpa memisahkannya dengan dzikir ataupun bacaan do’a dan hendaklah imam berdiam sebentar menunggu para makmum menyelesaikan bacaan takbirnya. Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad pula berpendapat bahwa antara setiap takbir hendaklah dipisahkan dengan waktu yang kadarnya lebih kurang sama dengan membaca satu ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek. Murid-murid Imam al-Syafi’i berbeda pendapat mengenai bacaan yang seharusnya dibaca dalam waktu berdiam itu. Kebanyakan mereka menyatakan bahwa waktu berdiam itu hendaklah diisi dengan bacaan:

سبحان الله والحمد لله ولا إله الا الله والله اكبر

“Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha-besar.”

Sebagian mereka pula mengatakan bahwa bacaan itu ialah:

لا اله الا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير

“Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia Maha Kuasa ke atas segala sesuatu.”

Mazhab Hanbali pula mengatakan bahwa kalimat yang dibaca ketika berdiam itu ialah:

الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا وصلى الله على محمد النبي وعلى أله وسلم تسليما كثيرا

“Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang berlimpah, dan Maha Suci Allah pada waktu pagi dan waktu petang, semoga Allah melimpahkan salawat-Nya ke atas Nabi Muhammad serta keluarganya, semoga pula keselamatan Allah sentiasa melimpah kepadanya.”

Jumhur ulama mengatakan bahwa setiap kali membaca takbir, kedua tangan mestilah diangkat. Abu Yusuf mengatakan bahwa kedua tangan tidak boleh diangkat melainkan hanya ketika takbiratul ihram Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik sebagaimana yang telah diriwayatkan pula oleh Ibn Mutharrif daripada Imam Malik bahwa disunatkan mengangkat kedua tangan setiap kali membaca takbir. Dalam riwayat lain yang bersumber dari Imam Malik disebutkan bahwa seseorang boleh memilih mana yang dia sukai.

Hukum takbir ketika mengerjakan sholat hari raya menurut pendapat jumhur ulama adalah sunat, sedangkan menurut mazhab Hanafi adalah wajib, dimana seseorang berdosa apabila meninggalkannya dengan sengaja. Seseorang yang meninggalkan bacaan takbir itu atau sebagian darinya karena lupa, maka ulama berbeda pandangan dalam masalah ini:

Mazhab al-Syafi’i dan mazhab Hanbali menyatakan bahwa apabila seseorang meninggalkannya hingga selesai bacaan al-Qur’an, dia tidak boleh mengulanginya lagi dan tidak perlu pula melakukan sujud sahwi.

Mazhab Maliki menegaskan bahwa apabila seseorang lupa hingga tidak membaca takbir hingga selesai bacaan al-Qur’an, sedangkan dia masih belum rukuk, maka dia dibolehkan melakukan takbir, kemudian melakukan sujud sahwi sesudah salam. Ini karena setiap takbir daripada takbir-takbir sholat hari raya merupakan sunat mu’akkad. Jika seseorang ingat setelah melakukan rukuk, maka hendaklah dia meneruskan sholatnya. Jika dia sebagai imam, maka hendaklah melakukan sahwi sesudah salam dan begitu pula seseorang yang mengerjakan sholat secara bersendirian.

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa seandainya seseorang meninggalkan
takbir hingga selesai bacaan al-Qur’an, namun dia baru mengingatinya
ketika sedang rukuk, maka dia boleh membaca takbir dalam keadaan rukuk
itu. Jika mengingatinya setelah mengangkat tubuh daripada rukuk, maka hendaklah dia melakukan sujud sahwi sebagai penggantinya karena orang itu telah melalaikan suatu yang wajib.

2. Membaca al-Qur’an pada sholat hari raya. Menurut jumhur ulama, ia dilakukan sesudah membaca takbir pada kedua rakaat tersebut. Imam Abu Hanifah menegaskan bahwa seseorang hendaklah meneruskan
kedua bacaan itu secara berkesinambungan. Dengan arti kata lain, dia melakukan takbir pada rakaat pertama, lalu membaca al-Qur’an dan pada rakaat yang kedua, dia terus membaca al-Qur’an dan setelah itu barulah melakukan takbir. Beliau mengatakan bahwa takbir merupakan pujian, sedangkan pujian yang disyariatkan pada rakaat pertama mendahului bacaan al-Qur’an dan doa iftitah sedangkan pada rakaat yang kedua
disyariatkan mengakhirkannya sama halnya dengan do’a qunut.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian kajian hadits hari ini

Semoga bermanfaat.. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 55 : RANGKAIAN IBADAH DALAM SHALAT ‘ID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 55 :

وَعَنْهُ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى, وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ, ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ -وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ- فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه

ِDari Abu Said Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam keluar pada hari raya Fithri dan Adlha ke tempat sholat, sesuatu yang beliau dahulukan adalah sholat, kemudian beliau berpaling dan berdiri menghadap orang-orang, orang-orang masih tetap pada shafnya, lalu beliau memberikan nasehat dan perintah kepada mereka. Muttafaq Alaihi.

MAKNA HADITS :

Apa yang dikerjakan oleh Nabi (s.a.w) ketika hari raya adalah keluar menuju tempat sholat dan mengerjakan sholat hari raya sebelum khutbah. Ketika berkhutbah, beliaumenghadapkan wajahnya ke arah kaum muslimin. Apa yang disampaikannya di dalam khutbah adalah nasehat, petunjuk, peringatan dan larangan. Baginda tidak
melakukan sholat sunnat, baik sebelum ataupun sesudahnya. Demikianlah Sunnah yang dilakukan oleh Nabi (s.a.w).

FIQH HADITS :

1. Disyariatkan keluar menuju tempat sholat untuk mengerjakan sholat hari raya.2. Mendahulukan sholat hari raya sebelum berkhutbah. 3. Tidak ada mimbar di tempat sholat karena sholat hari raya dilakukan di luar masjid.4. Khutbah mengandung perintah melakukan amal kebaikan dan nasehat.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
013. BAB SHALAT DUA HARI RAYA B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 54 : MENGERJAKAN SHALAT SUNNAH DI RUMAH SETELAH SHALAT ‘ID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHOLAT HARI RAYA IDUL
FITRI DAN IDUL ADLHA

HADITS KE 54 :

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا يُصَلِّي قَبْلَ الْعِيدِ شَيْئًا, فَإِذَا رَجَعَ إِلَى مَنْزِلِهِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ

Dari Abu Said Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak melakukan sholat apapun sebelum sholat hari raya, bila beliau kembali ke rumahnya beliau sholat dua rakaat. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad hasan.

MAKNA HADITS :

Jika ada dua hadis yang maknanya secara dzahir saling bertentangan, maka
pemahaman keduanya mestilah digabungkan. Dalam hadis sebelum ini telah
disebutkan bahwa tidak ada sholat (sunat) pada hari raya (yakni sholat sunat hari
raya), baik sebelum ataupun sesudahnya, sedangkan hadis ini menunjukkan
bahwa disyariatkan mengerjakan sholat sunat dua rakaat sesudahnya. Jika kedua hadis ini digabungkan, maka berarti penafian ini ditujukan kepada tempat sholat, sedangkan penetapan ditujukan kepada pelaksanaannya di dalam rumah. Dengan ini diharapkan tidak ada lagi perbedaan pemahaman diantara kedua hadis ini.

FIQH HADITS :

1. Tidak disunatkan mengerjakan sholat sunat sebelum mengerjakan sholat hari
raya.

2. Disyariatkan mengerjakan sholat dua rakaat di rumah setelah kembali pulang dari melaksanakan sholat hari raya.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..