Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan Muamalat Uncategorized

HUKUM MENYEMBELIH HEWAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT MESIN LISTRIK

Assalamualaikum

Deskripsi masalah.
Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu dan tehnologi canggih yang semakin maju, dimana tidak sedikit alat-alat itu telah dipakai oleh sebagian masyarakat yang diantaranya menyembelih hewan dengan alat mesin listrik, ini adalah penemuan baru yang tidak ada pada masa lalu yang biasa menyembelih hewan dengan menggunakan alat yang tajam seperti pisau pedang dll.

Pertanyaan.

Bagaimana hukumnya menyembelih hewan dengan alat listrik, halalkah hewan tersebut?

Waalaikum salam.
Hukum sembelihan dengan alat mesin menurut sebagian madzhab Maliki adalah boleh dan halal, karena menurut mereka syarat menyembelih tidaklah harus dengan benda tajam yang terpenting adalah niat tujuanya untuk menyembelih untuk dimakan dan terputusnya ruh, dengan demikian boleh hewan disembelih dengan alat listrik namun hukumnya makruh.

Dalam kitab halal dan Haram Dr.Yusuf al-Qardhowi menjelaskan.
Apakah hewan yang disembelih dengan sengatan listrik dan sejenisnya dihalalkan itu, disyaratkan seperti penyembelihan dalam ajaran agama kita, yakni dengan benda tajam dileher? Karena kebanyakan ulama mensyaratkan hal itu, sedangkan sebagian kelompok dikalangan madzhab Imam Malik memfatwakan tidak disyaratkan.( Wafwa ini termasuk dalil yang sangat jelas atas dasar ilmu agama, dan kehati-hatian Imam Malik beliu tidak terlalu gegabah mengatakan haram sebagaimana dilakukan oleh sebagian ulama sekarang , beliau cukup mengatakan dengan hukum makruh karena ada dua dalil ( dasar )umum yang kontradiktif, yaitu dalil umum hewan yang disembelih atas nama selain Allah dan makanan ahli kitab pada umumnya. Beliau telah memadukan antara kebudayaan sebagaimana kami sebekan )

Tentang Tafsir ayat Al-Maidah tersebut, Al-Qadi Ibnu Arabi mengatan, ini merupakan dalil yang qath’i bahwa buruan dan makanan ahli kitab termasuk makanan baik-baik yang dibolehkan Allah ia adalah halal secara mutlak. Allah SWT mengulang-mengulangnya tidak lain dalam rangka menghilangkan keraguan dan praduga-praduga (kewatiran) yang tidak benar yang kadang melintas, yang hanya menimbulkan pertentangan pendapat yang kepanjangan. Saya bernah ditanya tentang seorang nasrani yang membunuh ayam dengan memilin lehernya, lalu memasaknya, apakah ia boleh dimakan ? Saya katakan boleh. Karena ia adalah makanan dan makanan para pendeta serta rahib-rahibnya, meskipun praktek itu bukan termasuk penyembelihan yang menurut kita. Akan tetapi Allah menghalalkan untuk kita makanan mereka secara mutlak, sesuai dengan pandangan agama yang mereka anut. Semua halal bagi kita, kecuali apa yang Allah dustakan.Para ulama mengatakan, mereka memberikan kepada kita wanita-wanitanya sebagai istri, halal bagi kita mencampurinya, lalu bagaimana mungkin tidak boleh memakannya dibandingkan pernikahan, dalam hal halal dan haram?
Itulah ditegaskan Ibnu Arabi. Ditempat lain mengatakan, apa yang mereka makan bukan dengan cara menyembelih seperti mencekik dan memukul kepala, adalah bangkai yang diharamkan .
Kedua itu tidak bertentangan. Karena maksud pernyataan itu adalah apa yang mereka pandangan sebagai penyembelihan yang sah menurut agama kita. Sebaliknya, apa yang mereka tidak mereka anggap sebagai penyembelihan menurut agama mereka tidaklah halal bagi kita.
Cara pandang yang sama-sama kita akui tentang penyembelihan adalah kesengajaan untuk menghilangkan nyawa binatang dengan niat menghalalkannya untuk dimakan. Itulah madzhab sebagai kelompok maliki.
Berdasarkan perspektif ini tahulah kita hukum daging impor dari negeri ahli kitab, seperti dagingnya ayam daging sapi kalengan, yang boleh jadi penyembelihannya dengan cara sengatan listrik dan sejenisnya. Selama mereka menganggapnya sebagai sembelihan yang halal maka ia halal bagi kita sesuai dengan umumnya makna ayat.
Adapun daging yang diimpor dari negeri-negeri komunitas maka tidak boleh kita mengkonsumsinya, karena kerena membangkan kepada Allah dan semua risahnya. WALLAHU A’LAM BISH-SHAWAB.

كتاب الحلال والحرام للشيخ الدكتور يوسف القرضاوى ص ٧٥-

ما ذكوه بطريق الصعق الكهربائي ونحوه

هل يشترط أن تكون تذكيتهم مثل تذكيتنا ، بمُحدَّد في الحلق

:المسألة الثا نية

إشترط ذلك أكثر العلماء ، والذي أفتى به جماعة من المالكية أن ذلك ليس بشرط قال القاضي ابن العربي في تفسير آية المائدة= هذا دليل قاطع على أن الصيد وطعام الذين أوتوا الكتاب ، من الطيبات التي أباحها الله وهو الحلال المطلق
وإنما كرره الله تعالى ليرف به الشكوك ويزيل الإعتراضات عن الخواطر الفاسدة ، التي توجب الإعتراضات وتحوج إلى تطويل القول.
ولقد سُئلت عن النصراني يفتل عنق الدجاجة ثم يطبخها هل تؤكل لأنها طعامه وطعام أحباره ورهبانه وإن لم تكن هذه ذكاة عندناولكن أباح الله لنا طعامهم مطلقا ، وكل ما يرونه حلالا في دينهم فإنه حلال لنا إلا ماكتب الله.
هذه الفتوى من أظهر الأدلة على فقه الإمام مالك ودينه وورعه رضي الله عنه إذ لم يسارع إلى التحريم كمايفعل بعضهم اليوم واكتفى بالكراهة ، حيث وجدعمومين متعارضين عموم ما أهل لغير الله به وعموم طعام أهل الكتاب وقد جمع بينهما بما ذكرناه فيه . ولقد قال علماؤنا : إنهم يعطوننا نساءهم أزواجا ، فيحل لنا وطؤهن ، فكيف لا نأكل ذبائحهم ، والأكل دون الوطء في الحل(١ )هذا ماقرره ابن العربي .والحرمة؟+وقال هذا في موضع ثانٍ : = ما أكلوه على غير وجه الذكاة كالخنق وحطم
(²)ولا تنافي بين القولين ، فإن المراد : أن ما يرونه مذكًى عندهم حلَّ لناوإن لم تكن ذكاتُه عندنا ذكاةًصحيحة وما لا يرونه مُذكًى عندهم لا يحل لنا . والمفهوم المشترك للذكاة : هو القصد إلى إزهاق روح الحيوان بنية تحليل أكله .وهذا هو مذهب جماعة المالكية . وعلى ضوء ما ذكرنا نعرف الحكم في اللحوم المستوردة ، من عند أهل الكتاب كالدجاج ولحوم البقر المحفوظة ، مما قد تكون تذكيته بالصعق الكهربائي ونحوه . فما داموا يعتبرون هذا حلال مذكًّى فهو حِلٌّ لنا وَفق عموم الآية.
أما اللحوم المستوردة من بلاد شيوعية : فلا يجوز تناولها بحال،
لأنهم ليسوا أهل كتاب ، وهم يكفرون بالأديان كلها ، ويجحدون بالله ورساالته جميعا .والله أعلم بالصواب

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum memotong hewan dengan mesin adalah halal, selama mesin dan cara memotongnya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Pemotongnya seorang muslim/ahlu kitab yang asli
  2. Alat mesin yang dipergunakan, merupakan benda tajam yang bukan dari tulang atau kuku , Sengaja menyembelih hewan tersebut

بجيرمى ج ٦ص٢٨٦
وشرط فى الذبح قصد اى قصد العين أو الجنس بالفعل (قوله قصد العين) وإن أخطأفى ظنه، أو الجنس فى الإصابة – ح ل – والمرد بقصد العين أو بالجنس بالفعل أى قصد إيقاع الفعل على العين أو على واحد من الجنس وإن لم يقصد الذبح.

Syarat dalam memotong hewan: menyengaja terhadap hewannya atau jenisnya dengan perbuatan (kata-kata menyengaja pada hewan), meskipun keliru dalam persangkaannya atau jenisnya dalam kenyataannya … artinya menyengaja ialah: sengaja terhadap hewan itu atau jenisnya walupun tidak sengaja menyembelih.

الجمل ج ٥ ص ٢٤١-٢٤٢
وشرط في الآلة كونها محددة بفتح الدال المشددة أى ذات حدة تجرح كحديد أى كمحدد حديد وقصب وحجر ورصاص وذهب وفضة إلا عظما كسن وظفر لخبر الشيخين: ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السنّ والظفر وألحق بهما باقي العظام

Syarat alat untuk menyembelih harus tajam yang bisa melukai seperti pisau besi, bambu, batu, timah, emas, perak, kecuali (tidak boleh) dengan tulang dan kuku. Dengan dasar hadits shohih bukhori dan muslim: sesuatu yang dapat mengalirkan darah dengan menyebut nama Allah maka makanlah selama bukan dengan tulang dan kuku. dan disamakan dengan keduanya semua jenis tulang.

يعلم من قوله الآتى أو كونها جارية سباع او طير الخ … حيث أطلق فيه ولم يشترط أن تقتله بوجه مخصوص. فيسفاد من الإطلاق أنه يحل مقتولها بسائر أنواع القتل.

Telah diketahui dari kata-kata yang akan datang adanya alat memotong hewan, dapat melukainya binatang atau burung dst. Sekira dimutlakkan dan tidak disyaratkan, cara membunuh dengan cara yang khusus, maka dapat diambil pengertian halal apa yang di bunuh binatang dengan segala cara membunuh. Wallahu A’lam bish-shawab

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan Uncategorized

HUKUM MENGKONSUMSI KEPITING

HUKUMNYA MENGKONSUMSI KEPITING

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Terkadang kita jumpai seseorang asal makan pernah alfakir mampir diwarung makan yang didalamnya banyak anika ragam ikan mulai ikan ayam telur sapi, kambing, ikan burung, Kapeting bahkan semua ikan dilautan ada seperti ikan cumi-cumi, kerrang ,udang, mamiran,keramba, Garita, Rajungan dll.padahal dalam agama tidak semua hewan itu halal dimakan kecuali hewan yang berada dilaut, tapi anehnya ketika saya makan ada orang minta ikan kepiting, yang serupa dengan rajungan namun tidak sama bentuknya.

Pertanyaanya.
Bagaimana sebenarnya makan kepiting menurut Ulama fiqih.

Waalaikum salam.
Jawaban.

Ulama berbeda pandang tentang halal dan tidaknya mengkonsumsi kepiting:
➡️Menurut Hanafiyah dan Syafiiyah hukumnya tidak halal.alasannya kerena termasuk kategori Khabaaits
➡️Menurut Malikiyah boleh mengkonsumsi. Alasannya karena tidak ada nash yang mengharamkan
➡️ Menurut Imam Hambali boleh mengkonsumsi dengan syarat disembelih .

Pendapat yang mengharamkan dipatahkan oleh mayoritas ulama’ bahwa pendapat tersebut lemah dan kepeting halal untuk dikonsumsi sebagaimana telah dihikayatkan oleh Syaikh Al-Baghawi dari Syaikh Hulaimiy

Dari beberapa pendapat diatas melihat kondisi kehidupanya Kepiting hidup didua alam, namun setelah diadakan penelitian ternyata kepiting, rajungan dan kampat tidak mampu hidup didua alam oleh karena itu tiga binatang ini hukumnya halal.( Lihat fiqih fauna pustaka sidogiri hal: 151)
Namun untuk menjaga kehati- hatian taqlid kepada Imam Milik, Wallahu a’lamu .
.
Dasar hukum:

المجموع على شرح المهذب. ٣٠/٩ حيات الحيوان ٢٠/٢

الضرب الثانى مايعش فى البر أيضا إلى قوله…..وعدّ الشيخ أبو حامد وإمام الحرمين من هذا الضرب الضفداع والسرطان وهما محرمان على المذهب الصحيح المنصوص وبه قطع الجمهور وفيهما قول ضعيف إنهما حلالتان

( بجيرمى على الخطيب)
( وقوله وسرطان)

وهو من خلق الماء ويعيش فى البر أيضا وهو جيد المشي سريع العدو ذو فكّين ومحلب وأظفار حدّاد وله ثمانية أرجل وهو يمشي على جنبه

Referensi:

المجموع شرح المهذب – ١٣١/٩٧٩٢

(فرع)
ما يعيش في البحر مما له نفس سائلة إن كان مأكولا فميتته طاهرة ولا شك أنه لا ينجس الماء وما لا يؤكل كالضفدع وكذا غيره إذا قلنا لا يؤكل فإذا مات في ماء قليل أو مائع قليل أو كثير نجسه صرح به أصحابنا في طرقهم وقالو لا خلاف فيه إلا صاحب الحاوي فإنه قال في نجاسته به قولان: ولعله أراد أن في نجاسته به خلافا مبنيا على حل أكله وإن أراد مع تحريم أكله فشاذ مردود: وذكر الروياني في الضفدع وجهين أحدهما لا نفس لها سائلة فيكون في نجاسة الماء بها قولان والثاني لها نفس سائلة فتنجسه قطعا وهذا الثاني هو المشهور فِي كُتُبِ الْأَصْحَابِ وَجَعَلُوا الْمَسْأَلَةَ خِلَافِيَّةً فَحَكَوْا هُمْ وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ ومحمد ابن الْحَسَنِ وَأَبِي عُبَيْدٍ أَنَّ الضِّفْدَعَ لَا يُنَجِّسُ مَا مَاتَ فِيهِ وَكَذَلِكَ السَّرَطَانُ وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُنَجِّسُهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ


Referensi:

المجموع شرح المهذب – ٤٥٠٦/٩٧٩٢
(الضرب)

الثاني ما يعيش في الماء وفي البر أيضا فمنه طير الماء كالبط والإوز ونحوهما وهو حلال كما سبق ولا يحل ميتته بلا خلاف بل تشترط زكاته وعد الشيخ أبو حامد وإمام الحرمين من هذا الضرب الضفدع والسرطان وهما محرمان على المذهب الصحيح المنصوص وبه قطع الجمهور وفيهما قول ضعيف انهما حلال وحكاه البغوي في السرطان عن الحليمي.

Referensi:

الفقه الإسلامي و أدلته – ٢٧١٩/٧٧٢٢
النوع الثالث ـ الحيوان البرمائي:
وهو الذي يعيش في البر والماء معا، كالضفدع والسلحفاة والسرطان، والحية والتمساح وكلب الماء ونحوها. وفيه آراء ثلاثة:
١ – قال الحنفية والشافعية (١): لا يحل أكلها؛ لأنها من الخبائث، وللسمية في الحية، ولأن «النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن قتل الضفدع» (٢) ولو حل أكله، لم ينه عن قتله.
٢ – وقال المالكية (٣): يباح أكل الضفادع والحشرات والسرطانات والسلحفاة، إذ لم يرد نص في تحريمها. وتحريم الخبائث: هو ما نص عليه الشرع، فلا يحرم ما تستخبثه النفوس مما لم يرد فيه نص.
٣ – وفصل الحنابلة فقالوا (٤): كل ما يعيش في البر من دواب البحر، لا
يحل بغير ذكاة كطير الماء، والسلحفاة، وكلب الماء، إلا مالا دم فيه كالسرطان، فإنه يباح في رأي أحمد بغير ذكاة؛ لأنه حيوان بحري يعيش في البر، وليس له دم سائل، فلاحاجة إلى ذبحه، خلافا لما له دم، لا يباح بغير ذبح. والأصح كما في شرح المقنع لابن مفلح الحنبلي (٢١٤/ ٩): أن السرطان لا يحل إلا بالذكاة.
ولا يباح أكل الضفدع؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم ـ فيما رواه النسائي ـ نهى عن قتله، فيدل ذلك على تحريمه.كما لا يباح أكل التمساح.


Referensi:

( عيش البحر للفقير محمد انوار من اهل صيد البحر البتاعي القوماني ١-٣ )

(الكفيطيع)

من حيوان البحر الذي لا يعيش الا فيه وهو يشبه الرجوعن وله ستة ارجل ذو فكين واظفار لكن ليس في اظفاره  مخلب كاظفار السرطان وذو الة العوم في اخر ارجله وشأنه ان يقدر عليه وانما سمي بذلك لمربوطه بعد ان يأخذ عليه حذرا من تقريضه لآن من شأنه ان يقرض على آخذه بسرعة وقوة —– الى ان قال —– فالكفيطيع حكمه حل الاكل لآن عيشه في البر عيش مذبوح او عيش حي لا يدوم ، ومن قال بتحريمه لم يأت على تحريمه دليل من قول العلماء اى ان قال —- وما نقل بعض المشايخ من الافتاء بتحريمه لم يصح على تحريمه فقد نص الشافعي رضي الله عنه على ان الحيوان البحر الذي يعيش الا فيه يؤكل لعموم الاية وما ذكر في الكتاب المجموع الجاوي ان الكفيطيع حرام لم يأت على تحريمه دليل ولا نقل من قول العلماء فلا يلتفت اليه اهـــ

Referensi:

 ( عيش البحر للفقير محمد انوار من اهل صيد البحر البتاعي القوماني ٩-١٠)

(السرطان)

من حيوان الماء الذي يعيش لا يعيش دائما فيه والبر وهو يشبه الكرايا ولونه اما سواد خالص مشرب بحمرة واما بياض خالص وبياض مشرب بحمرة وايضا بياض مع نقطة سوداء على ظهره وله ثمانية ارجل ذو فكين واظفار حداد ومخلب سريع العدو وجيد المشي ومسكنه اما في الساحل واما في اطراف النهر وفي البستان وقد يتخذ فيه حجرا عامقا يسكن فيه وهو اذ طلع من حجره على وجه الارض ورأى انسانا يعود إفلي جحره بسرعة مخافة على ان يأخذ عليه وهو بالجاوي العريكي ثلاثة اسماء السرينطيل الذي يسكن في الساحل وثانيها الويدع يسكن في اطراف النهر والبستان وثالثها اليويو الذي يسكن فيهما وفي الارض المزرعة وهذا المذكور هو عين السرطان الحكم يحرم اكله للخبيث خلافا لمالك القائل بحله فيجوز للانسان ان ياكله تقليدا لمالك ولأن الاولى تركه احتياطا اهـ

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan Uncategorized

HUKUM MEMELIHARA BURUNG DAN MEMAKAN DAGINGNYA

HUKUMNYA MEMELIHARA BURUNG,DAN MEMAKAN DAGINGNYA

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah.
Manusia hidup dihiasi dengan bermacam kecintaan dan hobi yang berbeda-beda, ada yang senang dan hobi memelihara burung hewan ternak dan hiasan berupa emas dll. sebagaimana hal tersebut telah difirmankan oleh Allah.Yang artinya:” Dijadikan perasaan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik ( QS.Al-Imran:14 ).Studi kasus ada orang yang punya hobi atau senag memelihara burung ternak labet dan burung merpati, ada juga memelihara burung elang dalam sangkar .

Pertanyaannya.

  1. Bagaimana hukumnya seorang punya kesenangan ( hobi) memelihara burung di dalam sangkar ?
  2. apakah boleh memakan daging burung elang ? mohon diterangkan ! syukron, wassalam. 

Waalaikum salam.

Jawaban No.1

Jika mampu merawatnya, maka hukumnya BOLEH, dan jika berkemungkinan tidak mampu merawatnya, maka hukumnya HARAM.

Referensi :

  • Hasyiyah as-Syarwani, 9/210 :

وسئل القفال عن حبس الطيور في أقفاص لسماع أصواتها وغير ذلك فأجاب بالجواز إذا تعهدها مالكُها بما تحتاج إليه لأنها  كالبهيمة تُربط


”imam al-Qaffal ditanya tentang hukum memelihara burung dalam sangkar, untuk didengarkan suaranya atau semacamnya. Beliau menjawab, itu dibolehkan selama pemiliknya memperhatikan kebutuhan burung itu, karena hukumnya sama dengan binatang ternak yang diikat.” (Hasyiyah as-Syarwani, 9/210).

  • Fathul Bari, 10/584 :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ – قَالَ: أَحْسِبُهُ – فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya memiliki seorang adik lelaki, namanya Abu Umair. Usianya mendekati usia baru disapih. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdatang, beliau memanggil, ‘Wahai Abu Umair, ada apa dengan Nughair?’ Nughair adalah burung yang digunakan mainan Abu Umair. (HR. Bukhari )
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan Hukum Dari hadist di atas :


جواز إمساك الطير في القفص ونحوه


“(Hadis ini dalil) bolehnya memelihara burung dalam sangkar atau semacamnya.” (Fathul Bari, 10/584).HR. Muslim, no. 1552 : Dan memberi makan binatang termasuk Sedekah berdasar hadist berikut : Dari shohabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :


دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, : “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?”  Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.”  (HR. Muslim, no. 1552).
Pada riwayat Muslim yang lain disebutkan :


مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ


“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman tersebut akan menjadi sedekah baginya. Apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan sedekahnya.” (HR. Muslim, no. 1552).

  • Hasyiyatan Qolyubi 4/95 :


حاشيتا قليوبي وعميرة4/95

فَرْعٌ: لَهُ حَبْسُ حَيَوَانٍ وَلَوْ لِسَمَاعِ صَوْتِهِ، أَوْ التَّفَرُّجِ عَلَيْهِ، أَوْ نَحْوَ كَلْبٍ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ مَعَ إطْعَامِهِ.

Bagi seseorang diperbolehkan menahan (memelihara) hewan walau untuk sekedar mendengar suaranya atau melihatnya, atau menahan anjing untuk kebutuhan, dengan syarat hewan-hewan itu diberi makan.

  • Faidhul Qodir 1/112 :

فيض القدير ١- ص ١١٢


١٠٢ – (اتخذوا) ندبا وارشادا (هذه الحمام) كسحاب ما عب وهدر أي شرب الماء بلا مص وصوت يقع على الذكر والأنثى ودخول الهاء لإفادة الوحدة لا للتأنيث قال ابن العماد: ويقع على الذي يألف البيوت واليمام والقماري وساق حر والفاختة والقطا والورشان والعصفور والفتح والحجل والدراج (المقاصيص) جمع مقصوصة أي مقطوعة ريش الأجنحة لئلا تطير. يقال: قصصت الشعر أي قطعته وقصصته بالتثقيل مبالغة (في بيوتكم) بضم الباء وتكسر أي أماكن سكنكم (فإنها تلهي) من لها يلهو لعب (الجن عن) عبثهم بنحو (صبيانكم) وأذاهم قيل وللأحمر في ذلك مزيد خصوصية [ص: ١١٢] ولعل وجهه أن الجن تحب من الألوان الحمرة كما ورد في خبر فإذا كان الحمام باللون المحبوب لهم كانوا أكثر إقبالا على اللهو به والإشتغال به عن العبث بالأطفال قال في القاموس: ومجاورتها أمان من الخدر والفالج والسكتة والجمود والثبات ومن فوائد اتخاذ الحمام أنه يطرد الوحشة فقد أخرج الخطيب في التاريخ عن ابن عباس قال: شكا رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم الوحشة فقال: اتخذ زوج حمام يؤنسك في الليل لكن فيه محمد بن زياد كذاب وأخرج ابن السني عن معاذ أن عليا شكا إلى النبي صلى الله عليه وسلم الوحشة فأمره أن يتخذ زوج حمام ويذكر الله تعالى عند هديره وأشار المصطفى صلى الله عليه وسلم بقوله المقاصيص إلى عدم اتخاذ غيرها فإنه يجر إلى اللعب به بالتطير أو المسابقة وذلك مكروه بل ترد الشهادة بإدامته وفيه جواز حبس الطير في القفص مع القيام بمؤنته قال في شرح المقاصد: والجن أجسام لطيفة هوائية تتشكل بأشكال مختلفة ويظهر منها أحوال عجيبة والشياطين أجسام نارية شأنها إلقاء الناس في الفساد والغواية انتهى.


Disunahkan memelihara burung merpati yang dipotong bulu sayapnya di dalam rumah ( jika tanpa disangkar agar tidak terbang ), karena burung tersebut (lebih-lebih yang berwarna merah ) bisa melalaikan Jin dari bermain dengan anak-anak kecil penghuni rumah .
Menurut Imam Ibnu Imad : Begitu pula memelihara burung-burung yang biasa hinggap di rumah-rumah dari sejenis burung merpati / dara, burung kutilang, burung layang-layang (emprit), burung puyuh dan burung yang indah dipandang ( bentuknya seperti puyuh paruhnya pendek ) .

  • Riyadus Salihin :Dikutip dari Kitab Riyadus Salihin Karya Imam Nawawi Rahimahullah. Allah Subhanahu wa Ta’alla berfirman :

بسم الله وما من دآبة في الأرض ولا طئر يطير بجناحين إلآ أمم أمثل لكم.

” Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat juga seperti kamu.”(QS. Al-An’am: 38).


وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر ، فانطلق لحاجته ، فرأينا حمرة معها فرخان ، فأخذنا فرخيها، فجاءت الحمرة تعرش فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولدها ؟ ردوا ولدها إليهاورأى قرية نمل قد حرقناها ، فقال : من حرق هذه ؟ قلنا: نحن. قال:إنه لا ينبغي أن يعذب بالنار إلا رب النار.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA. Ia berkata aku pernah bersama Rasulullah SAW di sebuah perjalanan ketika beliau sedang membuang hajatnya, kami melihat ada seekor burung yang mempunyai dua ekor anak. Lalu induknya datang dan terbang berputar-putar mencari anaknya.
Kemudian Nabi SAW datang dan bersabda:” Siapakah yang mempermainkan burung itu dengan mengambil anaknya? Kembalikanlah anak burung itu kepadanya.”Dan beliau juga melihat perkampungan semut yang telah kami bakar. Beliau bertanya:” Siapakah yang telah membakar perkampungan semut ini?”
Kami menjawab: ” Kami.” Beliau bersabda :” Siapapun tidak pantas menyiksa sesuatu dengan api kecuali Tuhan yang telah membuat api.” (HR. Abu Dawud: 2675).

وعن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ، لا هي أطعمتها وسقتها، إذ هي حبستها ولاهي تركتها تأكل من خشاش الأرض.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA . Bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda : ” Ada seorang wanita di siksa di dalam neraka, lantaran seekor kucing yang di kurung olehnya sampai mati. Di mana ia tidak memberi makan dan minum kepada kucingnya saat ia mengurungnya dan ia juga tidak membiarkan pergi untuk mencari serangga atau makanan di bumi.” (Muttafaq ‘alaih Bukhari: 2365 dan Muslim : 2242).
……………………………………….

Jawaban No.2
HARAM hukumnya memakan daging burung elang. Disebutkan dalam sebuah hadits :

حرم على أمتي كل ذي محلب من الطير وكل ذي ناب من السباء.


” Diharamkan bagi umatku (memakan) semua yang memiliki kuku cengkraman dari jenis burung dan semua yang bertaring dari binatang buas.” ( HR. Abu Dawud).

  • Al-Wasiit fil Madzhab 7/158 :

الكتاب: الوسيط في المذهبالمؤلف: أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي (المتوفى: 505هـ)
فَجَمِيع مَا يُمكن أكله مُبَاح إِلَّا مَا يستثنيه عشرَة أصُولالأول مَا حرم بِنَصّ الْكتاب كَالْخمرِ وَالْخِنْزِير وَالدَّم والمنخنقة والموقوذة وَكَذَلِكَ مَا حرم بِالنَّصِّ عَلَيْهِ فِي السّنة كالحمر الْأَهْلِيَّةالأَصْل الثَّانِي مَا فِي معنى الْمَنْصُوص عَلَيْهِ كالنبيذ الَّذِي هُوَ فِي معنى الْخمر الْمَنْصُوص عَلَيْهِالأَصْل الثَّالِث كل ذِي نَاب من السبَاع وكل ذِي مخلب من الطير إِذْ نهى رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم عَنهُ وَيحرم الْفِيل لِأَنَّهُ ذُو نَاب مكاوح وَكَذَا الدب وَمن ذَوَات المخلب الْبَازِي والشاهين والصقر وَالْعِقَاب والنسر وَجَمِيع جوارح الطير
الْبَازِي = Elang

Wallohu a’lam.

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan Uncategorized

HUKUM NADZAR DENGAN MENGGUKAN ISTITSNA’ (PENGECUALIAN)

Assalamualaikum.

Deskripsi masalah.
Saya bernazar jika saya sembuh dari penyakit maka saya ingin menyembelih 1 kambing kecuali barang dalam ( hati) setelah disembelih hatinya kambing itu saya ambil dan saya masak didapur kemudian saya tinggalkan dan saya istirahat sebentar dikamar tidur, jelang beberapa menit saya kedapur dengan niat mau makan hati ternyata hati itu habis diatas kompor padahal tidak ada kucing sama sekali.

Pertanyaannya
Sahkah nadzar saya tersebut, mengingat hati dan kambing itu satu juz ( bagian dari kambing), kalau sah disebut Nazar apakah hal sebagaimana deskripsi.
Mohon jawabannya.

Jawaban :
Jika seseorang menentukan Nadzarnya dengan menggunakan Istitsna’ ( Pengecualian) , maka Nadzarnya boleh dan sah, kalau melihat dari deskripsi,maka disebut Nadzar Muallaq, dengan kata muayyan dan istitsna’ . Sebagaimana ibaroh berikut:

الموسوعة الفقهية – 6238/31949

هـ – النذور:
15 – المذهب عند المالكية والحنابلة، وهو الوجه الصحيح لدى الشافعية: أن من نذر نذرا معينا وغير مطلق فعليه إخراجه مما عينه، ولا يجوز العدول عن المعين إلى غيره بدلا أو قيمة. وفي ذلك خلاف وتفصيل ينظر في (النذر) .
ويرى الحنفية جواز ذلك مطلقا، كما يجوز عندهم العدول عن الواجب إلى القيمة في النذور، واستثنوا نذر العتق والهدي والأضحية. (2)

ح – النذر:
39 – اتفق الفقهاء على جواز تعليق النذر بالشرط، ولا يجب الوفاء قبل حصول المعلق عليه؛ لعدم وجود سبب الوفاء، فمتى وجد المعلق عليه وجد النذر ولزم الوفاء به. (2) على تفصيل في ذلك في مصطلح (نذر) .
…………………………..
الموسوعة الفقهية – 1721/31949

جهالة المستثنى بإلا وأخواتها:
23 – الاستثناء من حيث الجهالة نوعان:
الأول: ما سوى العقود، كالإقرار، فيجوز أن يستثني المتكلم شيئا مجهولا كأن يقول المقر: له عندي ألف دينار إلا شيئا، أو: إلا قليلا، أو: إلا بعضها، أو يقر له بدار ويستثني غرفة منها دون أن يعينها.
وكما يجري في الإقرار يجري في غيره من النذر واليمين والطلاق وغيرها. ويطالب المتكلم ببيان ما أبهمه، ويلزمه ذلك إن تعلق به حق الغير، وفي حكم ذلك في الأبواب المختلفة تنظر المصطلحات الخاصة بتلك الأبواب. النوع الثاني: العقود، والاستثناء المبهم في العقود باطل ومفسد للعقد (2) . وفي الحديث نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الثنيا إلا أن تعلم. (3)
وعلة ذلك أن المعقود عليه يشترط أن يكون معلوما، فلو كان ما استثنى غير معلوم عاد المستثنى منه غير معلوم، كمن باع ثوبا إلا شيئا منه.
24 – وقد وضع الحنفية قاعدة لما يجوز استثناؤه في العقود بأن ” ما جاز إيراد العقد عليه بانفراده صح

استثناؤه من العقد ” فبيع قفيز من صبرة جائز، فكذا استثناؤه (1) .
واشترط المالكية كذلك معلومية المستثنى، فلو استثنى جزءا شائعا فله استثناء ما شاء، أما إن استثنى قدرا معلوما بالكيل من صبرة باعها جزافا، أو أرطالا من لحم شاة، لم يجز أن يستثني أكثر من قدر الثلث، ويجوز عندهم استثناء جلد وساقط من رأس وأكارع، في السفر فقط، وإنما جاز استثناؤهما في السفر فقط لخفة ثمنهما فيه دون الحضر (2) .
والحنابلة في اشتراط كون المستثنى معلوما يوافقون الحنفية، ويقولون بالقاعدة التي قرروها في هذه المسألة، وإن كانوا يخالفونهم في بعض آحاد المسائل، لمخالفتهم في تحقق مناط الحكم فيها، فهم مثلا يجيزون استثناء الرأس والأطراف من الشاة المبيعة؛ لأنهم اعتبروها معلومة.
واحتجوا بأن النبي صلى الله عليه وسلم لما هاجر إلى المدينة ومعه أبو بكر وعامر بن فهيرة، مروا براعي غنم، فذهب أبو بكر وعامر، فاشتريا منه شاة وشرطا له سلبها (3) .

ما يثبت فيه حكم الاستثناء الحقيقي:
25 – حكم الاستثناء الحقيقي عند الجمهور التخصيص، وعند الحنفية القصر، لأنهم يشترطون في المخصص أن يكون مستقلا. ويثبت
حكمه هذا حيثما تمت شروطه المعتبرة التي تقدم ذكرها، فيثبت في العقود والوعود والنذور والأيمان والطلاق، وسائر التصرفات القولية، فلو استثنى من المبيع جزءا معلوما من العين، أو منفعة معلومة لمدة معلومة جاز، إلا أنه قد يعرض لبعض الاستثناءات البطلان لمانع (1) .

ما يثبت فيه حكم الاستثناء بالمشيئة:
26 – الاستثناء بالمشيئة إذا تمت شروطه يستتبع أثره وهو: إبطال حكم ما قبله. وهذا الإبطال إما بمعنى الحل بعد الانعقاد، وإما بمعنى منع الانعقاد، فإذا بدا للحالف مثلا أن يستثني بعد تمام يمينه تنحل يمينه باستثنائه عند من أجاز نية الاستثناء بعد تمام اليمين. والذي ينويه الحالف قبل الفراغ من يمينه ثم يأتي به يمنع انعقاد يمينه (2) . 27 – أما ما يبطله الاستثناء، فقد اتفق الفقهاء على أنه يبطل اليمين (3) ، لما ورد من الأحاديث التي قدم ذكرها. وأما ما عدا ذلك فقد اختلفوا فيه على اتجاهين:

الاتجاه الأول: أن الاستثناء بالمشيئة يمنع انعقاد ما اقترن به من التصرفات القولية. وهذا مذهب الحنفية والشافعية. غير أن الحنفية نصوا على أن حكم الاستثناء يثبت في صيغ الإخبار، وإن كان إنشاء إيجاب، لا في الأمر والنهي. فلو قال: اعطوا ثلث مالي لفلان بعد موتي إن شاء الله بطل الاستثناء وصحت الوصية.
وعن الحلواني من الحنفية: أن كل ما يختص باللسان يبطله الاستثناء، كالطلاق والبيع، بخلاف ما لا يختص به كنية الصوم، فلا يرفعها الاستثناء فلو قال: نويت صيام غد إن شاء الله، له أداؤه بتلك النية (1)

الاتجاه الثاني: أن الاستثناء بالمشيئة لا يمنع انعقاد أي تصرف ما عدا الأيمان، وهو مذهب المالكية، والحنابلة. وبه قال الأوزاعي والحسن وقتادة، فعند المالكية – باستثناء ابن المواز – أن الاستثناء (بإن شاء الله) يبطل الأيمان، ولا يبطل ما قبله في غير الأيمان، فلو أقر قائلا: له في ذمتي ألف إن شاء الله، أو: إن قضى الله، لزمه الألف؛ لأنه لما أقر علمنا أن الله شاء أو قضى (2) .
وسواء عند المالكية أكان الطلاق والعتاق منجزا أم كان معلقا. قال ابن عبد البر من المالكية في المشيئة بعد تعليق الطلاق: إنما ورد التوقيف بالاستثناء في اليمين بالله تعالى، وقول المتقدمين: الأيمان بالطلاق والعتاق إنما جاز على التقريب والاتساع، ولا يمين في الحقيقة إلا بالله، وهذا طلاق وعتاق (3) .
أما الحنابلة فقد نصوا على أن اليمين يبطلها الاستثناء. وأما غيرها فلا يؤثر فيه، كما لو قال

بعتك أو وهبتك كذا إن شاء الله، فيثبت حكم البيع والهبة
وهذا هو القول المقدم عندهم.
أما الطلاق والعتاق ففي رواية: توقف أحمد عن القول فيهما. وفي رواية أخرى: قطع أنه لا ينفعه الاستثناء فيهما، وقال: من حلف فقال: إن شاء الله لم يحنث، وليس له استثناء في الطلاق والعتاق لأنهما ليسا من الأيمان. ونقله صاحب المغني أيضا عن الحسن وقتادة، وقال: إن الحديث إنما تناول الأيمان، وليس هذا بيمينه، إنما هو تعليق على شرط (1) .
28 – وذكر متأخرو الحنابلة في الاستثناء في الطلاق والعتاق وغيرهما قولا ثالثا، قال ابن تيمية، ونقله رواية عن أحمد – وهو أن إيقاع الطلاق والعتاق لا يدخل فيما يبطله الاستثناء، أما الحلف بالطلاق والعتاق فيدخل – قال: ومن أصحابه من قال: إن كان الحلف بصيغة القسم (كما لو قال: علي الطلاق لأفعلن كذا) دخل في حديث الاستثناء، ونفعته المشيئة رواية واحدة.
وإن كان بصيغة الجزاء كما لو قال لزوجته: إن فعلت كذا فأنت طالق ففيه روايتان. قال ابن تيمية: وهذا القول هو الصواب المأثور عن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وجمهور التابعين كسعيد والحسن، لم يجعلوا في الطلاق استثناء، ولم يجعلوه من الأيمان. ثم نقل عن الصحابة وجمهور التابعين أنهم جعلوا الحلف بالصدقة والهدي والعتاق ونحو ذلك يمينا مكفرة. وقال أحمد: إنما يكون الاستثناء فيما فيه كفارة (1) . وتمام القول في الاستثناء في الطلاق المعلق ينظر في بحث الأيمان، وتمام الكلام على تفريع مسائل الاستثناء وتفصيل الكلام فيها في أبواب الفقه المختلفة، فيرجع في كل مسألة منها إلى بابها في الطلاق والعتاق والهبة واليمين والنذر وغير ذلك، وما يتعلق منه بالمباحث الأصولية يرجع إليه في الملحق الأصولي..

Wallahu a’lam bisshowab

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan

H022. KRITERIA HEWAN KURBAN WAJIB

Pertanyaan :
a. Bagaimana batas hewan Kurban itu dihukumi wajib ?
b. Adakah pendapat ulama’ dalam lingkup Madzahib Arba’ah yang memperbolehkah daging kurban nadzar/wajib diberikan kepada orang yang kaya ?
c. Bagaimana hukum mencampur daging kurban wajib dengan kurban sunnah dimana hal itu memungkinkan penyalurannya jatuh ketangan orang kaya ?
d. Bagaimana hukum menjual kulit hewan kurban yang wajib untuk ongkos atau yang lainnya ?

Jawaban :
a. Tafsil :
1) Jika pemilik hewan berkata, “ini hewan kurbanku” atau “saya akan kurban hewan ini” serta bermaksud untuk memberi kabar (ikhbar) atau untuk memerintah (insya’), maka hukum hewannya menjadi kurban sunnah (artinya, hewan tersebut boleh dijual maupun diganti yang lain).
2) Jika pemilik hewan berkata, “ini hewan kurbanku” atau “saya akan kurban hewan ini” serta bermaksud untuk kurban wajib (nadzar atau iqror), maka hukum kurbannya menjadi wajib (artinya, hewan tersebut tidak boleh dijual maupun diganti dengan hewan lain. Jika hewan tersebut mati, maka wajib menggantinya).
b. Tidak ada, karena orang kaya tidak boleh memanfaatkan daging kurban tersebut. Akan tetapi ada sebagian Ulama’ Hanabilah
(أبوبكر والقاضي والمصنف والشارح وصاحب الفائق)
yang berpendapat, boleh makan daging kurban yang wajib (nadzar/iqror).
c. Tidak boleh dan wajib menggantinya jika penyaluran dagingnya tidak sah.
d. Tidak boleh walaupun dijadikan ongkos penyembelih.

Referensi Jawaban a :


فتح القريب والباجوري ـ (ج ٢ / ص ٢٩٦)
(والأضحية سنة مؤكدة) علي الكفاية فإذا أتى بها واحد من أهل بيت كفى عن جميعهم ولا تجب الأضحية الا بالنذر.
(قوله ولاتجب الأضحية إلا بالنذر) أي حقيقة أوحكما فالأول كقوله: لله علي أن أضحي بهذه والثاني كقوله: جعلت هذه أضحية، فالجعل بمنزلة النذر بل متى قال: هذه أضحية صارت واجبة وإن جهل ذلك فمايقع من العوام عند سؤالهم عمايريدون التضحية به مِنْ قَوْلِهِمْ: هَذِهِ اُضْحِيَةٌ، تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يَقْبَلُ قَولُهُمْ: أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَام وَهُوَ قَرِيْبٌ لكن ضعفه مشايخنا فالجواب المخلص من ذلك أن يقول المسؤل: نريد أن نذبحها يوم العيد نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَاكَرِيْمُ ونحو ذلك ولايشترط في المعينة ابتداء بالنذر نية بخلاف المتطوع بها والواجبة بالجعل أوبالتعيين عمافي الذمة فيشترط لها نية عند الذبح أوعند التعيين لمايضحى به كالنية في الزكاة.

الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي ـ (ج ١ / ص ٢٣٢)
ﺣﻜﻢ اﻷﺿﺤﻴﺔ:
ﻫﻲ ﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ، ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﻗﺪ ﺗﺠﺐ ﻟﺴﺒﺒﻴﻦ اﺛﻨﻴﻦ:
اﻷﻭﻝ: ﺃﻥ ﻳﺸﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺩاﺧﻞ ﻓﻲ ﻣﻠﻜﻪ ﻣﻦ اﻟﺪﻭاﺏ اﻟﺼﺎﻟﺤﺔ ﻟﻷﺿﺤﻴﺔ، ﻓﻴﻘﻮﻝ: ﻫﺬﻩ ﺃﺿﺤﻴﺘﻲ، ﺃﻭ ﺳﺄﺿﺤﻲ ﺑﻬﺬﻩ اﻟﺸﺎﺓ، ﻣﺜﻼ، ﻓﻴﺠﺐ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺃﻥ ﻳﻀﺤﻲ ﺑﻬﺎ.
اﻟﺜﺎﻧﻲ: ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺰﻡ اﻟﺘﻘﺮﺏ ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﺑﺄﺿﺤﻴﺘﻪ، ﻛﺄﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻲ ﺃﻥ ﺃﺿﺤﻲ، ﻓﻴﺼﺒﺢ ﺫﻟﻚ ﻭاﺟﺒﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﻛﻤﺎ ﻟﻮ اﻟﺘﺰﻡ ﺑﺄﻱ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻣﻦ اﻟﻌﺒﺎﺩاﺕ، ﺇﺫ ﺗﺼﺒﺢ ﺑﺬﻟﻚ ﻧﺬﺭا.

الياقوت النفيس ـ (ص ٨٢٤)
وقال السيد عمر البصري ينبغي أن يكون محله ما لم يقصد الإخبار، فإن قصده إي هذه الشاة التي أريد التضحية بها فلا تعيين. وقد وقع الجواب كذلك في نازلة وقعت في لهذا الحقير وهي أن شخصا اشترى شاة للتضحية فلقيه شخص أخر فقال ما هذه ؟ فقال اضحيتي.

حاشية الباجوري ـ (ج ٢ / ص ٣٠٠)
وَقَولُهُ مِنَ الأُضْحِيَّةِ المَنْذُورَةِ أي حَقِيْقَةً كَمَالَوقَالَ: للهِ عَلَيَّ أن أُضْحِيَ بِهَذِهِ، فَهَذِهِ مُعَيَّنَةٌ بِالنَذْرِ إبْتِدَاءً، كَمَالَوقَالَ: للهِ عَلَيَّ أُضْحِيَّةٌ ثم عينها بعد ذلك فهذه معينة عمافي الذمة أوْحُكْمًا كَمَا لَوْقَالَ: هَذِه اُضْحِيَةٌ اَوجَعَلْتُ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ فَهَذِهِ وَاجِبَةٌ بِالجَعْلِ لَكِنَّهَا فِى حٌكْمِ المَنْذُرَةِ كمامر فاندفع اعتراض المحشي بقوله لوقال: الواجبة لكان أولى وأعم والهدى المنذور ودم الجبران كالأضحية المنذورة فلايجوز له الأكل من ذلك.

الحاوى الكبير للماوردى – (ج 15 / ص 120)
فصل : فأما الجلد فهو في حكم الأضحية في تحريم بيعه على المضحي، وفي جواز تفرده به وجهان : أحدهما : يجوز، لأنه بعض الأضحية. والثاني : لا يجوز حتى يشارك فيه الفقراء، لأنه غير اللحم فلزم الإشراك فيه كاللحم، فإن باعه كان بيعه باطلا، وقال عطاء : يجوز له بيع الجلد، وتملك ثمنه، لأن مقصود الأضحية إراقة الدم وإطعام اللحم. وقال الأوزاعي : يجوز له بيع الجلد بآلة البيت التي تعار كالقدر والميزان والسكين، ولا يجوز بيعه للآلة وتلزمه الإعارة. وقال أبو حنيفة : يجوز له بيعه بالآلة دون غيرها، ولا يلزمه إعارتها اعتبارا بالعرف.
ودليلنا : ما رواه مجاهد، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى عن علي عليه السلام أنه قال : أمرني رسول الله – {صلى الله عليه وسلم} – أن أقوم على بدنة، فأقسم جلودها وجلالها، وأمرني أن لا أعطي الجازر منها شيئا، وقال : نحن نعطيه من عندنا فقسم الجلود كما قسم اللحم، فدل على اشتراكهما في الحكم. وروى عبد الرحمن الأعرج عن أبي هريرة أنه قال : من باع جلد أضحيته فلا أضحية له، وهذا إن انتشر إجماع، وإن لم ينتشر حجة، إذ ليس له مخالف، ولأنه بعض الأضحية فلم يجز بيعه كاللحم، ولأن ما لم يجز بيع لحمه لم يجز بيع جلده كدم التمتع والقران.

المجموع شرح المهذب ـ (ج 8 / ص 418-419)
قال المصنف رحمه الله (ولا يجوز بيع شئ من الهدى والاضحية نذرا كان أو تطوعا لما روي عن على رضى الله عنه قال (امرني رسول الله صلى الله عليه وسلم ان اقوم على بدنه فاقسم جلالها وجلودها وامرني ان لا اعطي الجازر منها شيئا وقال نحن نعطيه من عندنا) ولو جاز اخذ العوض عنه لجاز ان يعطي الجازر في اجرته ولانه انما اخرج ذلك قربة فلا يجوز ان يرجع إليه الا ما رخص فيه وهو الاكل)
(الشرح) حديث على رضى الله عنه رواه البخاري ومسلم بلفظه وجلالها – بكسر الجيم – جمع جل واتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك وحكى امام الحرمين ان صاحب التقريب حكى قولا غريبا انه يجوز بيع الجلد والتصدق بثمنه ويصرف مصرف الاضحية فيجب التشريك فيه كالانتفاع باللحم والصحيح المشهور الذي تظاهرت عليه نصوص الشافعي وقطع به الجمهور انه لا يجوز هذا البيع كما لا يجوز بيعه لاخذ ثمنه لنفسه وكما لا يجوز بيع اللحم والشحم قال اصحابنا ولا فرق في بطلان البيع بين بيعه بشئ ينتفع به في البيت وغيره والله أعلم ويستحب أن يتصدق بجلالها ونعالها التى قلدتها ولا يلزمه ذلك صرح به البندنيجي وغيره والله أعلم (فرع) قال أصحابنا لا يكفي التصدق بالجلد إذا قلنا بالمذهب أنه يجب التصدق بشئ من اللحم لان المقصود هو اللحم قالوا والقرن كالجلد (فرع) ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يجوز بيع جلد الاضحية ولاغيره من أجزائها لا بما ينتفع به في البيت ولا بغيره وبه قال عطاء والنخعي ومالك وأحمد واسحاق هكذا حكاه عنهم ابن المنذر ثم حكى عن ابن عمر واحمد واسحق أنه لا بأس أن يبيع جلد هديه ويتصدق بثمنه قال ورخص في بيعه أبو ثور وقال النخعي والاوزاعي لا بأس أن يشتري به الغربال والمنخل والفأس والميزان ونحوها قال وكان الحسن وعبد الله بن عمير لا يريان بأسا أن يعطى الجزار جلدها وهذا غلط منابذ للسنة. وحكى أصحابنا عن أبي حنيفة أنه يجوز بيع الاضحية قبل ذبحها وبيع ما شاء منها بعد ذبحها ويتصدق بثمنه قالوا وان باع جلدها بآلة البيت جاز الانتفاع بها. دليلنا حديث علي رضى الله عنه والله أعلم

حاشية البجيرمي على الخطيب ـ (ج 4 / ص 339) مكتبة دار الفكر
( وَلاَ يَبِيعُ مِنْ اْلأُضْحِيَّةِ شَيْئًا ) وَلَوْ جِلْدَهَا أَيْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ ذَلِكَ وَلاَ يَصِحُّ سَوَاءً أَكَانَتْ مَنْذُورَةً أَمْ لاَ وَلَهُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِجِلْدِ أُضْحِيَّةِ التَّطَوُّعِ كَمَا يَجُوزُ لَهُ الانْتِفَاعُ بِهَا كَأَنْ يَجْعَلَهُ دَلْوًا أَوْ نَعْلًا أَوْ خُفًّا وَالتَّصَدُّقُ بِهِ أَفْضَلُ وَلاَ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَلاَ إجَارَتُهُ ِلأَنَّهَا بَيْعُ الْمَنَافِعِ لِخَبَرِ الْحَاكِمِ وَصَحَّحَهُ { مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ } وَلاَ يَجُوزُ إعْطَاؤُهُ أُجْرَةً لِلْجَزَّارِ وَتَجُوزُ إعَارَتَهُ كَمَا لَهُ إعَارَتُهَا اهـ

حاشية الشرقاوي ـ (ج 2 / ص 21)
)قوله ولا بيع لحم اضحية الخ) ومثل اللحم الجلد والشعر والصوف ومحل امتناع ذلك فى حق المضحى اما من انتقل اليه اللحم او نحوه فان كان فقيرا جاز له البيع او غنيا فلا =إلى أن قال= ولا فرق فى الاضحية بين الواجبة والمندوبة اهـ

ترشيح المستفدين ـ (ص 201)
وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره بخلاف الغنى اذا أرسل اليه شيئ أو أعطيه فانما يتصرف فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة لان غايته أنه كالمضحى والقول بانهم أي الاغنياء يتصرفون فيه بما شاؤا ضعيف اهـ

شرح الياقوت النفيس ـ (ج 3 / ص 370)
والأضحية كما ذكرنا سنة وتجب بالنذر ويجب التصدق بلحم المنذورة كلها لأنها خرجت بالنذر من ملكه إلى ملك الفقراء.
(تنبيه) من اشترى شاة وقال هذه أضحيتي لازمته، ووجب التصدق بلحمها كله. إنما بعض المتأخرين قال لا تجب بالنسبة للعامة لأن العامى معذور لأنه لا يدرك معنى ما قاله ولا يقصد به النذر والعبارة إنشاء لا إقرار يعني غير مقر بأنها أصيحت أضحيته بمعنى هذه الشاة التي أريد أن أضحي بها. وفرق بين نية النذر ونية الإخبار كما قال في حاشية الياقوت ينبغي أن يكون محله ما لم يقصد الإخبار .

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي – (ص ٥٤٨)
(مسألة: ب): ظاهر كلامهم أن من قال: هذه أضحية أو هي أضحية أو هدي تعينت وزال ملكه عنها، ولا يتصرف إلا بذبحها في الوقت وتفرقتها، ولا عبرة بنيته خلاف ذلك لأنه صريح، قال الأذرعي: كلامهم ظاهر في أنه إنشاء وهو بالإقرار أشبه، واستحسنه في القلائد قال: ومنه يؤخذ أنه إن أراد أني أريد التضحية بها تطوعاً كما هو عرف الناس المطرد فيما يأخذونه لذلك حمل على ما أراد، وقد أفتى البلقيني والمراغي بأنها لا تصير منذورة بقوله: هذه أضحيتي بإضافتها إليه، ومثله: هذه عقيقة فلان، واستشكل ذلك في التحفة ثم ردّه، والقلب إلى ما قاله الأذرعي أميل.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 4 / ص 282)
وقال الشافعية: الأضحية الواجبة ـ المنذورة أو المعينة بقوله مثلاً: «هذه أضحية» أو «جعلتها أضحية» : لا يجوز الأكل منها، لا المضحي ولا من تلزمه نفقته. ويتصدق بجميعها وجوباً. ويذبح ولد الأضحية المعينة كأمه، لكن يجوز للمضحي أكله كله قياساً على اللبن، إذ أن له شرب فاضل لبنها عن ولدها مع الكراهة.

Referensi Jawaban b :


تحفة المحتاج وحاشية الشرواني ـ (ج 9 / ص 364)
أما الواجبة فلا يجوز الأكل منها سواء المعينة ابتداء أوعما في الذمة.
( قوله: فلا يجوز الأكل منها ) ينبغي ولا إطعام الأغنياء اهـ

موهبة ذى الفضل ـ (ج 4 / ص 698)
(قوله فلا يجوز له) اى للناذر تفريع المتن (قوله أكل شيئ منها) اى من الاضحية المنذورة وما ألحق بها ولا اطعام الأغنياء منها كما بحثه ابن قاسم الى ـــــ أن قال ـــــ (قوله يغرم قيمته) اى الماكول كما لو اتلفه غيره هذا بناء على ان اللحم متقوم والا فيجب شراء اللحم كما مر نظيره وعن الوالد عن الناشرى قال قد يفرق بين جملة الحيوان فانه انواع مختلفة لاتنضبط فيجب فيه القيمة وبين من اتلف رطلا من لحم الظفر خاصة فيجب مثله ولهذا لايجوز السلم فى جلد الحيوان لانه يختلف ويجوز السلم فى جلد قطع متناسبا اذا ضبط بالوصف انتهى قال بعضهم وما هنا من الثانى انتهى ومر فرق اخر الطف من هذا.

حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري – (ج 10 / ص 420)
( قوله وغيرها مما يتأتى ) من ذلك التعيين بالنذر قال في الإيعاب والجعل كهذه عقيقة أخذ من قول المجموع وتتعين الشاة إذا عينت للعقيقة كما ذكرناه في الأضحية سواء لا فرق بينهما فيجب التصدق بجميعها على المنقول ولا يجوز له الأكل منها ولا إطعام الأغنياء اهـ شوبري لكن يفرق بينها أي العقيقة المنذورة وبين الأضحية المنذورة بأن العاق هنا مخير بين أن يتصدق بجميعها نيئا وبين أن يتصدق بالبعض نيئا والبعض مطبوخا ولا يصح أن يتصدق بالجميع مطبوخا ، وأما الأضحية المنذورة فيجب التصدق بجميعها نيئا كما تقدم ا هـ من شرحي م ر وحج.

درر الحكام شرح غرر الأحكام في الفقه الحنفي – (ج 3 / ص 266)
قَالَ الزَّيْلَعِيُّ وَهَذَا فِي الْأُضْحِيَّةِ الْوَاجِبَةِ وَالسُّنَّةِ سَوَاءٌ إذَا لَمْ تَكُنْ وَاجِبَةَ النَّذْرِ وَإِنْ وَجَبَتْ بِهِ فَلَيْسَ لِصَاحِبِهَا أَكْلُ شَيْءٍ مِنْهَا وَلَا إطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ سَوَاءٌ كَانَ النَّاذِرُ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا لِأَنَّ سَبِيلَهَا التَّصَدُّقُ وَلَيْسَ لِلْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ صَدَقَتِهِ وَلَا أَنْ يُطْعِمَ الْأَغْنِيَاءَ اهـ وَسَوَاءٌ ذَبَحَهَا فِي أَيَّامِهَا أَوْ بَعْدَهَا.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 4 / ص 279)
قال جمهور الفقهاء (الحنفية والمالكية والحنابلة) : يجوز الأكل من الأضحية المتطوع بها، أما المنذورة، أو الواجبة بالشراء عند الحنفية فيحرم الأكل منها، كما يحرم الأكل من ولد الأضحية التي تلده قبل الذبح، أو من المشتركة بين سبعة نوى أحدهم بحصته القضاء عن الماضي. أما عند المالكية والحنابلة فيجوز الأكل من المنذورة كالمتطوع بها. والمستحب أن يجمع المضحي في حالة التطوع، أو في حالة النذر عند المالكية والحنابلة بين الأكل منها، والتصدق، والإهداء، ولو أكل الكل بنفسه أو ادخره لنفسه فوق ثلاثة أيام، جاز مع الكراهة عند الحنفية والمالكية. وجاز أكل الأكثر عند الحنابلة، فإن أكل الكل ضمن أقل ما يطلق عليه اسم اللحم كالأوقية. وليس للجمع بين الأمور الثلاثة في المشهور عند المالكية حد مقدر في ذلك بثلث ولاغيره.

الإقناع في الفقه الحنبلي – (ج 2 / ص 243)
(ولا يأكل من الاضحية المنذورة) والهدي المنذور كدم الجبرانات في الحج (شيئا) أي يحرم عليه ذلك فإن أكل من ذلك شيئا غرمه.

الإنصاف في الفقه الحنبلي – (ج 4 / ص 104)
واختار أبوبكر والقاضي والمصنف والشارح وصاحب الفائق : جواز الأكل من الأضحية المنذورة كالأضحية على رواية وجوبها في أصح الوجهين لكن جمهور الأصحاب على خلاف ذلك.

المغني في الفقه الحنبلي – (ج 21 / ص 499)
فَصْلٌ : وَإِنْ نَذَرَ أُضْحِيَّةً فِي ذِمَّتِهِ ثُمَّ ذَبَحَهَا فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا وَقَالَ الْقَاضِي : مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ مَنَعَ الْأَكْلَ مِنْهَا وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ وَبَنَاهُ عَلَى الْهَدْيِ الْمَنْذُورِ وَلَنَا أَنَّ النَّذْرَ مَحْمُولٌ عَلَى الْمَعْهُودِ وَالْمَعْهُودُ مِنْ الْأُضْحِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ ذَبْحُهَا وَالْأَكْلُ مِنْهَا وَالنَّذْرُ لَا يُغَيِّرُ مِنْ صِفَةِ الْمَنْذُورِ إلَّا الْإِيجَابَ وَفَارَقَ الْهَدْيَ الْوَاجِبَ بِأَصْلِ الشَّرْعِ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ مِنْهُ فَالْمَنْذُورُ مَحْمُولٌ عَلَيْهِ بِخِلَافِ الْأُضْحِيَّةِ.

العدة شرح العمدة في الفقه الحنبلي – (ج 1 / ص 202)
مسألة : ( ولا يأكل من واجب إلا من هدي التمتع والقران ) لأن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم كن متمتعات إلا عائشة فإنها كانت قارنة لإدخالها الحج على العمرة وقالت : [ إن رسول الله صلى الله عليه وسلم نحر عن آل محمد في حجة الوداع بقرة واحدة قالت : فدخل علينا لحم بقر فقلت ما هذا ؟ فقيل ذبح رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أزواجه ولأنه دم نسك فجاز الأكل منه كالأضحية ولا يجوز الأكل من واجب سواها لأنه كفارة فلم يجز الأكل منه ككفارة اليمين ] وعنه له الأكل من الجميع إلا المنذور وجزاء الصيد وروت أم سلمة [ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا دخل العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئا حتى يضحي ] رواه مسلم.

فيض القدير – (ج 1 / ص 508)
أما الأضحية الواجبة بنحو نذر أو بقوله جعلتها أضحية فيحرم أكله منها ولو ضحى عن غيره بإذنه كميت أوصى فليس له ولا لغيره من الأغنياء الأكل.

عمدة القاري – (ج 10 / ص 58)
وقال صاحب ( الهداية ) ويأكل من لحم الأضحية قال هذا في غير المنذورة أما في المنذورة فلا يأكل الناذر سواء كان معسرا أو موسرا وبه قالت الثلاثة أعني مالكا والشافعي وأحمد وعن أحمد يجوز الأكل من المنذورة أيضا.

Referensi Jawaban c :


حاشيتا قليوبي وعميرة ـ (ج ٣ / ص١٨٧)
(ولو خلطها بماله ولم تتميز ضمن) لتعديه (ولو خلط دراهم كيسين للمودع ضمن في الأصح) لمخالفته للغرض في التفريق، والثاني يقول: قد لا يكون له فيه غرض.
قوله: (لو خلطها) ولو سهوا، ونقل عن شيخنا الرملي خلافه. قوله: (بماله) أو مال غيره. قوله: (ولم تتميز) أي لم يسهل تمييزها ضمن فشمل خلط بر بشعير فإن تميزت كما ذكر لم يضمنها، فإن نقضت بالخلط ضمن أرشها ولو لم يتميز بعضها ضمنه فقط.

الموسوعة الفقهية الكويتية ـ (ج ١٩ / ص ٢٢٣)
الخلط تعديا:
٤ – إذا خلط الغاصب المال المغصوب بغيره، أو اختلط عنده، أو خلط الأمين كالمودع والوكيل، وعامل القراض المال المؤتمن عليه بغيره، فإن أمكن التمييز لزمه، وإن شق عليه، وإلا فكالتالف، فينتقل الحق إلى ذمة الغاصب أو الأمين، سواء خلطه بمثله أم بأجود منه، أم بأردأ، وللضامن أن يدفع من المخلوط بمثله أو بأجود منه؛ لأنه قدر على دفع بعض ماله إليه مع رد المثل في الباقي، فلم يجب عليه الانتقال إلى بدله في الجميع.

المنثور في القواعد ـ (ج 2 / ص 125)
الخلط بما لا يتميز بمنزلة الإتلاف ولهذا لو خلط الوديعة بماله ولم تتميز ضمن ولو غصب حنطة أو زيتا وخلطها بمثلها فهو إهلاك، حتى ينتقل ( ذلك ) المال إليه ويترتب في ذمته بدله، وحينئذ فيضمن ضمان المغصوب ولم يجعلوه هلاكا في ( الفلس )، فإذا خلط المشتري صاع ( البائع ) بصاع مثله، ثم حجر عليه بالفلس أخذ البائع صاعا منه مقدما على الغرماء ولم يسلكوا به في البيع مسلك الغصب، ولا الفلس، بل جعلوه ( تعييبا )، فقالوا : لو باع فاختلطت بغيرها قبل القبض لا ينفسخ البيع في الأصح لبقاء ( المبيع )، ويتخير المشتري.

كفاية الاخيار ـ (ج ١ / ص ٥٣٣)
ﺃﺧﺮﻩ ﺣﺘﻰ ﺗﻠﻒ ﻟﺰﻣﻪ ﺿﻤﺎﻧﻪ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ ﻗﻴﺎﺳﺎ ﻋﻠﻰ ﺟﺰاء اﻟﺼﻴﺪ ﻭﺩﻣﺎء اﻟﺠﺒﺮاﻧﺎﺕ ﻓﻠﻮ ﺃﻛﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﺷﻴﺌﺎ ﻏﺮﻡ ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﺇﺭاﻗﺔ ﺩﻡ ﺛﺎﻧﻴﺎ ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﻓﻌﻠﻪ ﻭﻓﻴﻤﺎ ﻳﻀﻤﻦ ﺃﻭﺟﻪ اﻟﺮاﺟﺢ ﻭﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﻐﺮﻡ ﻗﻴﻤﺘﻪ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﺃﺗﻠﻔﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﻣﺜﻞ اﻟﻠﺤﻢ ﻭاﻟﺜﺎﻟﺚ ﻳﺸﺎﺭﻁ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺫﺑﻴﺤﺔ ﺃﺧﺮﻯ

Referensi Jawaban d :


حاشية الباجوري ـ (ج 2 / ص 301)
(ولايبيع) اي يحرم على المضحي بيع شيء (من الأضحية) اي من لحمها أوشعرها أو جلدها.
(قوله ولايبيع) اي ولايصح البيع مع الحرمة ـــــ إلى أن قال ـــــ لكن البيع صورة يقع الموقع ان كان المستري من أهلها بأن كان فقيرا فيقع صدقة له ويسترد الثمن من البائع اهـ

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan

H021. SYARAT MENYEMBELIH HEWAN

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Apakah menyembelih itu ada syarat kepalanya tidak boleh putus? Jika kepalanya putus apakah sembelihannya tidak sah alias menjadi bangkai ??

JAWABAN :

Waalaikumussalam Warahmatullah Wabarokatuh..

Sah sembelihannya dan hasilnya halal, alias tidak menjadi bangkai, namun metode tersebut ada yang mengatakan haram, dan ada yang mengatakan makruh. Ta’bir :

Pertama : dalam kitab Hasyiyah Qalyubi 16/51 (maktabah syamilah) :

وَلَا يَحْرُمُ قَطْعُ مَا زَادَ وَلَوْ بِانْفِصَالِ رَأْسِهِ

Tidak haram memotong organ lebih dari HULQUUM (saluran nafas) dan MARII` (saluran makanan), meskipun dengan terpisahnya kepala

Kedua : dalam kitab Hasyiyah Bujairimi ‘Alal Iqna’ juz 22 halaman 69 (maktabah syamilah) :

وَالزِّيَادَةُ عَلَى الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ وَالْوَدَجَيْنِ قِيلَ بِحُرْمَتِهَا لِأَنَّهَا زِيَادَةٌ فِي التَّعْذِيبِ وَالرَّاجِحُ الْجَوَازُ مَعَ الْكَرَاهَةِ

(Menyembelih) melebihi HULQUUM (saluran nafas), MARII` (saluran makanan) dan WADAJAIN (dua urat leher) ada yang mengatakan haram, karena hal itu menambah penyiksaan. Pendapat yang rajih(kuat) adalah boleh disertai karaahah (makruh).

Kesimpulan : Menyembelih tidak ada syarat kepalanya tidak boleh putus, jika kepalanya putus sembelihannya tetap sah dan hasilnya halal dimakan, namun penyembelihan seperti itu hukumnya makruh.

– Hasyiyah al Bujairimi ‘alaa Fat_hil Wahhaab juz IV halaman 287 :

و يكره له ابانة راسها حالا، و زيادة القطع و كسر العنق و قطع عضو عنها و تحريكها و نقلها حتى تخرج روحها

Dimakruhkan memisahkan kepalanya seketika, menambah pemotongan, mematahkan leher, memotong anggota tubuhnya, menggerak-gerakan serta memindahkan sampai ruhnya keluar.

Wallohu a’lamu bisshowab..

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan

H020. HUKUM MENGKONSUMSI HEWAN YANG MATI DI TEMBAK

Di dalam kehidupan kita ada banyak orang yang sering menembak burung atau tupai untuk di jadikan makanan…

Sebenarnya bagaimanakah hukum memakan daging hewan yang di tembak?

Jawaban pendeknya, hewan-hewan hasil buruan itu pada dasarnya halal dimakan, kecuali hewan yang aslinya tidak boleh dimakan seperti biawak karena termasuk hewan buas.

Selebihnya, ayam hutan, kelinci, rusa dan lainnya pada dasarnya memang hewan halal, maka kalau mati dengan cara diburu dengan sengaja dan memenuhi ketentuan syariat Islam, hukum dagingnya halal dimakan, meski tidak lewat penyembelihan.

Dalam syariat Islam, sesungguhnya berburu adalah salah satu cara untuk mendapatkan makanan yang halal, selain lewat penyembelihan yang syar’i.

Dasar Kebolehan Menurut Al-Quran dan As-Sunnah

Bahkan Al-Quran Al-Karim sendiri tegas menghalalkan hewan yang didapat dari hasil berburu. Tentu saja hewan itu mati ketika diburu, sehingga tidak perlu lagi disembelih secara syar’i, karena penyembelihan syar’inya digantikan dengan perburuan.

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا

Apabila kalian telah bertahallul (selesai dari ihram), silahkan berburu (QS. Al-Maidah : 2)

Bahkan yang lebih menarik lagi, Al-Quran dengan tegas membolehkan kita berburu hewan dengan menggunakan hewan pemburu. Dan hewan pemburu itu sendiri tidak lain adalah hewan buas, yang umumnya pandai berburu hewan lain untuk dimangsa dan dijadikan makanan. Dan salah satu hewan pemburu yang dibolehkan adalah anjing pemburu.

أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu waktu melepaskannya. (QS. Al-Maidah :4)

Selain Al-Quran, As-Sunnah pun juga tegas menghalalkan kita memakan hewan hasil buruan. Ada begitu banyak hadits yang bisa kita jadikan acuran, diantaranya hadits-hadits berikut :

مَا صِدْتَ بِقَوْسِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُل ومَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل

Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan panahmu dan melafadzkan nama Allah, makanlah. Dan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)

عن عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَال : قُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَتَصَيَّدُ بِهَذِهِ الْكِلاَبِ فَمَا يَحِل لَنَا مِنْهَا ؟ فَقَال : إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَطَهَا كَلْبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ تَأْكُل .

Dari Adi bin Hatim radhiyalahuanhu berkata,”Aku bertanya,”Ya Rasulallah, kami adalah kaum yang biasa berburu dengan menggunakan anjing, apakah halal hasil buruannya?”. Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu melepaskan anjingmu yang sudah terlatih dengan menyebut nama Allah, maka makanlah dari hasil buruannya. Namun bila anjing itu ikut memakannya, maka jangan dimakan, karena aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. Dan bila ada anjing lain yang ikut makan, janganlah dimakan. (HR. Bukhari)

Intinya, hewan yang mati karena sengaja kita berburu adalah hewan yang halal dimakan. Termasuk bila berburu menggunakan hewan buas yang sudah dilatih.

Penjelasan Lebih Dalam

Namun tidak cukup kita hanya membaca dalil Al-Quran dan Hadits saja. Kita perlu membaca lebih dalam tentang detail teknis dari berburu, sebagaimana yang telah dituliskan oleh para ulama. Misalnya tentang syarat apa saja yang wajib terpenuhi bagi seorang pemburu, agar hewan hasil buruannya menjadi halal. Selain itu hewan yang diburu pun harus memenuhi syarat tertentu.

Dan apabila kita berburu dengan menggunakan hewan pemburu, juga ada syarat dan ketentuannya.

A. Syarat Pemburu

Agar hasil buruannya menjadi halal untuk dimakan, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan adalah sebagai berikut :

1. Aqil dan Mumayyiz

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, satu pendapat dari mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan pemburu harus aqil dan mumayyiz.

Maka agar hasil hewan buruannya halal dimakan, syarat pertama adalah bahwa pemburu harus orang yang berakal dan bukan orang gila atau tidak waras. Orang gila meski pintar berburu, hasil buruannya haram dimakan.

Demikian juga anak kecil yang belum mumayyiz, mungkin saja dia mampu berburu dan berhasil mendapatkan hasil buruan. Namun hasil buruannya belum boleh dimakan, karena ada syarat minimal, bahwa seorang anak harus sudah mumayyiz untuk dibolehkan berburu.

Namun pendapat yang lain dari mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mensyaratkan pemburu harus aqil dan baligh. Maka dalam pendapat yang lainnya dari mazhab Asy-Syafi’iyah, hasl buruan orang gila dan anak kecil hukumnya halal dan boleh dimakan.

2. Tidak Dalam Keadaan Berihram

Orang yang sedang melakukan ibadah haji atau umrah diharuskan berihram. Dan di antara larangan daam berihram adalah tidak boleh menyembelih atau berburu hewan. Maka bila seorang yang sedang berihram melakukannya, dia berdosa dan wajib membayar kaffarah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berburu dalam keadaan berihram.(QS. Al-Maidah : )

Lalu bagaimana dengan hewan hasil buruannya?

Para ulama mengatakan hewan hasil buruannya itu tidak sah sebagai hasil berburu yang sesuai dengan syariat. Karena itu hukumnya pun tidak halal dimakan, karena kedudukannya sama seperti bangkai hewan umumnya.

Mungkin di masa sekarang ini tidak terbayang bagaimana jamaah haji masih sempat berburu hewan. Tetapi di masa lalu, dimana haji masih dilakukan dengan berjalan kaki melintasi alam liar atau padang pasir, kebutuhan untuk makan salah satunya didapat dengan cara berburu hewan. Namun jamaah haji tidak boleh berburu hewan.

3. Muslim atau Ahli Kitab

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang faktor agama penyembelih hewan, maka faktor agama yang dianut oleh orang yang berburu sangat berpengaruh pada kehalalan hewan buruannya. Hanya mereka yang beragama Islam atau ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang dianggap sah perburuannya dan halal hasilnya.

Demikian juga dengan hasil buruan orang yang beragama Nasrani atau Yahudi (ahlul kitab) dihalalkan dalam syariat Islam karena Allah SWT berfirman:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah: 5).

Tidak perlu ada ukuran tentang sejauh mana seseorang ahli kitab aktif menjalankan ritus-ritus keagamaan yang dianutnya. Cukup secara formal seseorang mengakui agama yang dianutnya. Sebagai contoh, hewan hasil buruan orang yang mengaku beragama Islam dianggap halal, meskipun barangkali dia sering meninggalkan shalat, puasa, atau melanggar perintah-perintah agama. Karena yang dibutuhkan hanya status dan bukan kualitas dalam menjalankan perintah-perintah agama.

Demikian juga dengan kaum Nasrani. Tidak menjadi ukuran apakah dia taat dan rajin menjalankan ritual keagamaannya, sebab yang menjadi ukuran adalah formalitas pengakuan atas agama yang dianutnya. Kualitas dalam menjalankan agamanya tidak dijadikan patokan.

Kesimpulannya, orang yang beragama Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi, Shinto dan lain-lain, tidak sah jika berburu dan hasil buruannya haram dimakan.

4. Membaca Basmalah

Membaca lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan oleh para ulama. Dalilnya adalah firman Allah:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan. Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau karena sengaja, hukumnya tidak sah.

Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah (membaca basmalah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat sah penyembelihan. Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam penyembelihan.

Pertama, mereka beralasan dengan hadis riwayat ummul-mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada satu kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)

Hadits ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca basamalah.

Seandainya bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah memerintahkan untuk memakan saja.

Kedua, mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه), mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah. Maksud kata “disebut nama selain Allah” adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan bermakna “tidak membaca basmalah”.

Ketiga, halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Dan sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)

Padahal para ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.

Namun demikian, mazhab Asy-Syafi’iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.

5. Bukan Niat Untuk Yang Selain Allah

Seorang pemburu hewan tidak boleh berniat ketika berburu untuk dipersembahkan kepada apapun selain Allah. Tidak boleh diniatkan buruan itu untuk dipersembahkan kepada berhala, roh, arwah, jin, setan dan sebagainya.

Hewan hasil buruan ahlul kitab bisa halal selama diketahui dengan pasti mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika berburu, semisal menyebut nama Isa Almasih, ‘Udzair, atau berhala, maka saat itu hasil buruan mereka menjadi tidak halal, berdasarkan firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Ma-idah: 3)

6. Melakukannya Dengan Tangannya Sendiri

Seorang pemburu harus menggunakan tangannya sendiri ketika berburu, meski dengan memanfaatkan alat seperti panah, tombak, pisau, senapan, dan lainnya.

Tidak boleh menggunakan tangan orang lain, seperti budak, pembantu, asisten, pemburu bayaran, kecuali mereka adalah orang-orang yang memang telah memenuhi syarat untuk berburu.

7. Bukan Hewan Salah Sasaran

Ketika seorang berburu dan melepaskan anak panah atau menembakkan senjatanya, sejak awal maksud yang ada di dalam hatinya harus benar-benar berburu, bukan untuk maksud yang lain atau karena tidak sengaja, atau juga bukan karena salah sasaran.

Umpamanya ada seseorang yang sedang belajar atau latihan menambak. Sasarannya adalah botol-botol kosong yang ditumpuk sekian meter jauhnya. Ketika peluru dilepaskan, tak ada satu pun dari peluru itu yang mengenai sasaran, tetapi tiba-tiba ayam tetangga jatuh tergeletak tak berdaya dan mati. Ternyata ayam itu mati menjadi korban salah sasaran tembakan yang melenceng. Maka kalau ayam itu langsung mati mendadak, otomatis berubah jadi bangkai.

Tetapi bila sebelum menghembuskan ajalnya, ayam itu sempat diberi pertolongan terakhir, alias disembelih secara syar’i, maka ada harapan untuk makan sate ayam mendadak. Tentu dengan kewajiban membayar kerugian harga seekor ayam.

Berdosa saja agar yang kena peluru salah sasaran itu hanya sebatas ayam tetangga, dan jangan sampai burung perkutut yang baru memenangkan kejuaraan tingkat nasional.

Kenapa?

Karena harganya bisa sampai 1 milyar rupiah. Kalau sampai hal itu yang terjadi, maka kita rugi dua kali. Selain perkutut yang mati ketembak itu berubah jadi bangkai tidak bisa dimakan, harga uang penggantiannya pun bisa langsung mengubah seseorang jadi kere alias gelandangan untuk beberapa keturunan, karena harus menjual seluruh rumah warisan dari nenek moyang.

8. Tidak Buta

Syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan haruslah orang yang masih bisa melihat dengan baik dan tidak buta.

Syarat ini diajukan oleh mazhab Asy-Syafi’iyah, dimana mereka mengharamkan orang buta untuk melepaskan anak panah untuk berburu hewan, atau dengan memanfaatkan hewan pemburu.

B. Syarat Hewan Yang Diburu

Tidak semua hewan halal untuk dimakan dengan cara diburu. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antarnya :

1. Halal Dagingnya

Seluruh ulama menegaskan bahwa syarat yang paling utama dalam hal kehalalan hewan yang matinya dengan cara diburu adalah hewan itu sendiri harus termasuk jenis hewan yang halal daging sejak semula. Seperti rusa, kijang, kelinci, ayam, itik, atau pun hewan-hewan yang hidup di dalam air.

Sedangkan hewan-hewan yang hukum aslinya sudah haram dimakan, maka memburunya pun haram, apabila niatnya untuk dimakan.

Namun bila berburu hewan yang niatnya bukan untuk dimakan, maka para ulama berbeda pendapat, apakah boleh memburu hewan yang haram dimakan atau tidak tetap tidak boleh.

a. Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah : Syarat Berburu

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan haramnya berburu bila daging hewan itu tidak halal untuk dimakan.

Dan pendapat itu tercermin dengan jelas pada definisi berburu yang mereka kemukakan, yaitu :

حَيَوَانٌ مُقْتَنَصٌ حَلاَلٌ مُتَوَحِّشٌ طَبْعًا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَلاَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ

Hewan yang halal dagingnya yang hidup di alam liar secara alami, yang bukan milik perorangan dan tidak bisa dipelihara

b. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah : Bukan Syarat

Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah dalam hal ini berpendapat bahwa hukumnya boleh dan tidak mengapa. Mereka memandang hukum memburunya kembali kepada hukum dasar, yaitu boleh atau halal. Sebab bisa saja manfaat yang ingin didapat bukan untuk memakan dagingnya, melainkan untuk diambil kulitnya.

Dan kulit hewan yang haram dimakan bisa menjadi suci asalkan disamak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” (HR. Muslim)

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)

Selain boleh diburu untuk diambil manfaatnya secara syar’i, kebolehannya untuk diburu juga atas sebab bila untuk menolak bahaya dan ancaman dari hewan itu sendiri.

2. Mutawahhisy

Yang dimaksud hewan mutawahhisy adalah hewan yang hidup secara liar di alam bebas, dimana cirinya tidak bisa ditangkap begitu saja kecuali dengan perangkap khusus atau diburu dengan senjata.

Meski kalau dikejar-kejar bisa berlari menghindar, tetapi ayam peliharaan bukan termasuk hewan mutawahhisy, sebab ayam bisa ditangkap dengan mudah. Apalagi ayam broiler yang sama sekali tidak bisa mempertahankan diri.

Oleh karena itu berburu ayam kampuang, ayam negri atau ayam broiler dengan cara ditembak hanya akan menyebabkan ayam-ayam itu jadi bangkai.

Tetapi ayam hutan yang hidup liar di tengah belantara, tidak bisa ditangkap pakai tangan. Harus digunakan perangkap tertentu untuk bisa mendapatkannya, karena sifatnya yang liar atau mutawahhisy itu. Ayam hutan itu layak untuk diburu hingga mati dan dagingnya halal dimakan.

3. Bukan Hewan Tanah Haram

Hewan yang menjadi penghuni tanah haram hukumnya haram untuk diburu. Dasarnya adalah hadits berikut ini :

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِل لأَِحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِل لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّمَا حُلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan tanah Mekkah, maka tidak halal bagi siapa pun sebelum Aku dan sesudahku untuk menebang pohonnya dan memburu hewan-hewannya. (HR. Bukhari)

4. Matinya Karena Terkena Peluru Senjata

Disyaratkan agar hewan yang diburu itu menjadi halal dagingnya, ketika ditembakkan dengan senjata, baik anak panah, tombak atau peluru panas, hewan itu mati saat itu juga atau beberapa saat namun tidak terlalu lama.

Bila hewan itu masih hidup terus dalam waktu yang lama, dengan hidup yang normal, baru kemudian mati, ada kemungkinan hewan itu tidak mati karena sebab panah si pemburu. Maka hewan itu tidak halal dimakan dan statusnya menjadi bangkai

5. Tidak Menghilang Terlalu Lama

Syarat lainnya adalah hewan yang sudah terkena tembakan itu tidak menghilang dalam waktu yang lama. Sebab bila hewan yang sudah kena tembak itu sempat menghilang dalam waktu lama, dan pemburunya sudah menyelesaikan perburuannya, baru kemudian hewan itu ditemukan dalam keadaan mati, ada keraguan bahwa hewan itu mati bukan karena peluru, tetapi juga ada unsur pembunuh yang lain.

C. Syarat Berburu Menggunakan Senjata

Senjata yang dibenarkan dalam perburuan hewan intinya harus tajam dan bisa melukai atau merobek kulit hewan buruan, sehingga terjadi luka dan menyemburkan darah dari luka itu.

Senjata itu bisa saja berupa anak panah, pedang, pisau, belati, tombak atau pun peluru tajam yang ditembakkan dari senapan modern, tapi intinya bagaimana peluru itu bisa menembus kulit hewan sehingga melukai dan keluar darah dari lukanya.

Sedangkan senjata yang sifatnya tidak tajam dan tidak sampai merobek kulit hingga mengeluarkan darah, meski mematikan, tetapi tidak halal untuk digunakan.

Maka berburu dengan batu yang bulat, tongkat yang tidak tajam, cakram, palu godam atau martil, hukumnya haram. Karena meski bisa mematikan, namun tidak mampu mengoyak kulit hewan buruannya.

Demikian juga berburu dengan katapel, bila peurunya berupa batu atau kelereng, meski hewan itu mati, tetapi bila tidak ada koyak pada kulit hewan itu hingga mengeluarkan darah, hukumnya tidak sah.

D. Syarat Berburu Menggunakan Hewan

Selain menggunakan senjata, berburu juga bisa menggunakan hewan pemburu. Tentunya hewan pemburu adalah hewan yang buas dan punya kemampuan dasar berburu. Hewan-hewan jinak atau ternak biasanya tidak punya kemampuan itu.

Yang dimaksud dengan berburu dengan hewan pemburu adalah membunuh hewan buruan itu dengan dikejar dan diterkam mati oleh hewan pemburu. Jadi intinya, hewan yang diburu itu memang mati semata-mata oleh sebab dilukai dan diterkam oleh hewan pemburu.

Fungsi dan peran hewan pemburu itu memang untuk membunuh buruannya, dan bukan sekedar untuk menangkap hidup-hidup lalu disembelih oleh manusia. Dan hukum memakan hasil buruan ini halal dimakan dalam pandangan syariat, sehingga sudah tidak perlu lagi dilakukan penyembelihan.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Makanlah hewan yang diburu oleh hewan pemburu untukny dan sebutlah nama Allah (ketika melepas hewan pemburu). (QS. Al-Maidah : 4)

Namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku sebagai hewan pemburu yang harus dipenuhi dalam syariat Islam, antara lain :

1. Hewan Pemburu Harus Terlatih

Di dalam istilah Al-Quran, istilahnya adalah mu’allam (مُعُلُّم), artinya hewan itu sudah diajarkan tata cara berburu dan terlatih untuk melakukanya dengan benar, serta taat dan patuh pada perintah pemiliknya.

Dasar dari syarat ini adalah firman Allah SWT :

وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ

Dan hewan-hewan yang kamu ajarkan (QS. Al-Maidah : 4)

Dan juga didasarkan kepada hadits nabi SAW :

مَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل

Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah.(HR. Bukhari Muslim)

Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa bila bahwa syarat dari hewan yang terlatih adalah bila diperintah, dia mengerjakan. Sebaliknya, bila dilarang, dia pun tidak mengerjakan.

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menambahkan lagi syaratnya, yaitu bila hewan itu memburu hewan lain, tidak sama sekali tidak ikut memakan hewan buruannya itu. Hal itu didasari oleh hadits nabi :

إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ

Kecuali bila anjing pemburu itu ikut memakannya, maka janganlah kamu makan (hewan burua itu), sebab aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari)

Namun syarat ini tidak berlaku bila hewan pemburunya berupa burung pemburu, karena sulitnya mengajarkan hal itu. Syarat ini juga tidak termasuk bila hewan pemburu itu meminum darahnya tapi tidak memakan dagingnya. Maksudnya, bila hewan pemburu itu hanya meminum darah korbannya tanpa memakan dagingnya, maka hewan buruan itu masih halal untuk dimakan manusia.

2. Kulit Buruan Harus Luka dan Terkoyak

Syarat kedua dalam masalah ini adalah dari segi teknik membunuh, yaitu hewan pemburu itu harus dapat sampai mengoyak kulit hewan buruannya, sehingga dari lukanya itu keluar darah segar. Dan matinya hewan buruan itu semata-mata karena luka dan kehabisan darah.

Posisi letak luka yang mengeluarkan darah segar itu sendiri tidak harus di leher seperti ketika menyembelih. Posisinya bisa dimana saja dari tubuhnya. Sebab intinya bagaimana caranya agar hewan buruan itu mati karena kehabisan darah, akibat keluar lewat luka-luka yang menganga.

Maka bila hewan buruan itu ditemukan mati setelah diburu dan dikejar-kejar, tetapi tidak ada luka menganga dan tidak ada darah yang keluar, berarti boleh jadi hewan itu mati oleh sebab lain. Hewan buruan yang terbukti mati karena tercekik, terantuk batu, jatuh dari ketinggian, atau luka dalam, terpukul, terbanting dan sebagainya, maka hukumnya tidak halal dimakan. Dan statusnya adalah bangkai. Baik hal itu disebabkan atau dikerjakan oleh hewan pemburu atau pun hewan itu mengalami sendiri.

Syarat ini diajukan oleh Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah secara resmi, dan juga oleh sebagian dari para ulama di dalam lingkup mazhab As-Syafi’iyah. Istilahnya versi muqabilul adhzar.

Sedangkan versi al-ahdzhar dari mazhab As-Syafi’iyah tidak mensyaratkan masalah ini. Demikian juga pendapat Abu Yusuf yang termasuk berada di dalam jajaran para ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, tidak mengajukan syarat ini. Dasar pendapat mereka adalah umumnya ayat, dimana Allah SWT mempersilahkan kita makan dari apa yang diburu oleh hewan pemburu, tanpa menyebutkan syarat harus ada luka di tubuh hewan itu yang mengeluarkan darah dan mati karena hal itu.

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ

Makanlah dari apa yang telah diburu oleh hewan pemburu itu untukmu. (QS. Al-Maidah : 4)

3. Tuannya Harus Muslim atau Ahli Kitab

Syarat ketiga adalah bahwa hewan pemburu itu tidak berburu untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja atas perintah dan komando dari tuannya. Dan syarat yang berlaku dalam hal ini, tuannya harus seorang muslim, atau setidak-tidaknya dia seorang ahli kitab, baik memeluk agama Kristen dan Yahudi.

Bila hewan itu tanpa dikomando telah melakukan perburuan sendiri, meski tidak dimakannya, tetap saja hasil buruannya itu haram dimakan.

Sebaliknya, meski hewan itu berburu lewat perintah tuannya, tapi bila tuannya bukan seorang muslim atau ahli kitab, tetap saja hewan buruan itu haram dimakan.

Dasar dari syarat ini dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem surat Al-Maidah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ

Sembelihan ahli kitab itu halal bagimu dan sembelihanmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)

Meski ayat ini bicara tentang sembelihan, namun menurut para ulama, ayat ini juga mencakup masalah berburu hewan menggunakan hewan pemburu.

4. Hewan Itu Tidak Mengerjakan Hal Lain

Syarat yang keempat dari berburu dengan memanfaatkan hewan pemburu adalah ketika diperintah oleh tuannya, hewan itu tidak mengerjakan perbuatan yang lain, tetapi langsung berburu. Syarat ini dinashkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.

Sebab kalau hewan itu mengerjakan perbuatan yang lain dulu baru berburu, maka langkahnya dalam berburu bukan lagi atas dasar perintah tuannya, melainkan karena keinginannya sediri.

Maka bila setelah diperintah dan dilepakan hewan pemburu itu sempat makan roti terlebih dahulu, atau menunaikan hajatnya seperti kencing atau buang air besar, maka ketika dia meneruskan berburunya, diaggap sudah bukan lagi atas dasar perintah tuannya.

Hal yang sama juga berlaku manakala setelah dilepas tuannya lalu tidak berhasil dan kembali lagi kepada tuannya, lantas tiba-tiba hewan itu kembali lagi mengejar buruannya semula namun tanpa perintah dari tuannya, maka hukumnya hasil buruannya juga tidak halal.

Demikian penjelasan singkat terkait dengan ketentuan berburu hewan dalam syariat Islam. Semoga bermanfaat, amin.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan

H019. HUKUM MENJUAL KAMBING AQIQAH YANG SUDAH DITA’YIN (DINIATKAN)

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Deskripsi Masalah :
Ada orang mau àqìqah kpd famili/lembaga/masjid yg ada di madura, sedangkan orang yg mempunyai hajat (yang mau aqiqoh) ada di jawa.

Pertanyaanya :

1. Bolehkan kambing yg ada di jawa di tukar dgn dengan kambing yg ada di madura (dgn cara dijual dulu lalu uangnya ditransfer, lalu dibelikan kambing madura). Sedangkan kambingnya sudah di niatkan?

2. Apakah boleh uang hasil dari penjualan aqiqoh itu di jadikan alat untuk pembangunan masjid dll (yg berbentuk amal jariah)?

3. Apakah hikmah aqiqah?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Jawaban No.1:

Kalau sdh diniatkan/ada takyin tdk boleh dijual lagi.

Referensi :

الياقوت النفيسة ص ٨٢٤

والأضحية كما ذكرنا سنة وتجب بالنذر ويجب التصدق بلحم المنذورة كلها لأنها خرجت بالنذر من ملكه إلى ملك الفقراء

Jika dalam perkataan pemilik hewan, dia bermaksud untuk memberi kabar (ikhbar, insyak), maka hukum hewannya tetap menjadi qurban sunnah, ini berarti hewannya boleh dijual maupun diganti yang lain. Namun jika dalam perkataannya pemilik bermaksud untuk kurban wajib (nadzar, iqror), maka hukum kurbannya juga menjadi wajib, hewan tersebut tidak boleh dijual maupun diganti dengan hewan lain, bila mati maka wajib mengganti.

المجموع شرح المهذب ج ٨ ص ٢٦٩

ـ ( الشرح ) قال أصحابنا : إذا لزم ذمته أضحية بالنذر أو هدي بالنذر أو دم تمتع أو قران ، أو لبس أو غير ذلك مما يوجب شاة في ذمته . فقال : لله علي أن أذبح هذه الشاة عما في ذمتي لزمه ذبحها بعينها لما ذكره المصنف ، ويزول ملكه عنها فلا يجوز له بيعها ولا إبدالها ، هذا هو المذهب ، وبه قطع المصنف والجمهور

Menurut pendapat mayoritas ulama’ dari kalangan Madzhab Hanafi, Syafi’ dan Hanafi Bulu hewan yang telah diniatkan (dita’yin) aqiqoh tidak boleh dijual. Karena adanya hadits: Dari Ibnu Abbas” Bahwa Rasulullah melarang menjual Harga dari aqiqoh bahkan bulunya bahkan susu yang masih ada dikampornya.red.) sehingga ia dimakan (dihidangkan).

Referensi :

موسوعة الفقهية.ص:
– ذهب الجمهور (الحنفية والشافعية والحنابلة) إلى عدم جواز بيع الصوف على ظهر الغنم، لحديث ابن عباس – رضي الله عنهما -: نهي أن تباع ثمرة حتى تطعم ولا صوف على ظهر ولا لبن في ضرع (٣) .

(٣) حديث: ” نهي أن تباع ثمرة حتى تطعم “. أخرجه الدارقطني (٣ / ١٤ – ط دار المحاسن) والبيهقي (٤ / ٣٤٠ – ط دائرة المعارف العثمانية) وقال البيهقي: تفرد برفعه عمر

Jawaban No. 2 :
Karena tidak boleh dijual bagaimana bisa dijadikan uang sedangkan aqiqoh harus disembelih dan dihidangkan. maka kesimpulannya tidak boleh.

Jawaban No.3 :
Adapun hikmah dan manfaatnya aqiqoh adalah:

– Untuk menanpakkan bagi manusia (adanya anak yang lahir)

– Menampakkan adanya nikmat(mensyukuri nikmat)

– Tersebarnya nasab (adanya nasab)

Segaimana ibarah berikut:

موسوعة الفقهية

حكمة مشروعية العقيقة:
٥ – شرعت العقيقة لما فيها من إظهار للبشر والنعمة ونشر النسب.

العقيقة عن الميت:
٦- قال الشافعية: لو مات المولود قبل السابع استحبت العقيقة عنه كما تستحب عن الحي.
وقال الحسن البصري ومالك: لا تستحب العقيقة عنه (١) .

العقيقة عن الأنثى:
٧ – ذهب الجمهور إلى أن الأنثى تشرع العقيقة عنها كما تشرع عن الذكر لحديث أم كرز الخزاعية رضي الله عنها أنها قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول في العقيقة: عن الغلام شاتان مكافئتان، وعن الجارية شاة (٢)

من تطلب منه العقيقة:
٨- ذهب الشافعية إلى أن العقيقة تطلب من الأصل الذي تلزمه نفقة المولود بتقدير فقره، فيؤديها من مال نفسه لا من مال المولود،
(١) المجموع للنووي ٧ /٤٤٨
(٢) حديث أم كرز ” عن الغلام شاتان. . . “. أخرجه الترمذي (٤ / ٩٧) وقال: حديث حسن صحيح.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan

H018. HUKUM HEWAN AQIQAH YANG MATI SEBELUM DISEMBELIH

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Diskripsi masalah :
Ada seseorang yg menyerahkan aqiqoh kepada bapak saya ustadz, rencananya mau di sembelih ktika ada orang kerja di masjid, tapi tau2 kemaren kambing itu mati ustadz, yang mau saya tanyakan apakah bapak saya harus ganti aqiqohnya orang tersebut atau gimana?

mohon jawabanx ustadz

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Menurut Imam Syafii, jika seseorang membeli hewan kurban, baik kurban wajib atau sunah, kemudian mati sebelum disembelih, maka dia tidak perlu mengganti hewan kurban tersebut. Dalam kitab Alumm, beliau mengatakan;

واذا اشترى الرجل الضحية فأوجبها او لم يوجبها فماتت او ضلت اوسرقت فلا بدل عليه

Apabila seseorang membeli hewan kurban baik itu wajib atau bukan, kemudian mati, menghilang atau dicuri, maka dia tidak perlu mengganti.

Hal ini sebagaimana fatwa Ibnu Abbas ketika didatangi orang yang kehilangan kambing yang sudah diniatkan untuk dijadikan kurban, kemudian Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal tersebut tidak masalah sehingga tidak harus diganti.

Fatwa tersebut disebutkan oleh Imam Albaihaqi dalam kitabnya Sunan Albaihaqi dari Tamim bin Huwaish, dia berkata;

اشتريت شاة بمنى اضحية فضلت فسألت ابن عباس رضي الله عنهما فقال لايضرك

Saya membeli hewan kambing di Mina untuk dijadikan kurban, lalu kambing tersebut hilang. Kemudian saya bertanya kepada Ibn ‘Abbas, maka dia menjawab; Hal tersebut tidak memudaratkanmu.”

Adapun menurut ulama Hanafiyah, jika hewan kurban yang mati tersebut milik orang mampu, maka dia wajib mengganti dengan hewan yang lain. Hal ini karena berkurban pada hari Idul Adha hukumnya wajib bagi orang yang mampu. Sehingga apabila hewan kurban tersebut mati sebelum disembelih, maka agar bisa melakukan kurban, dia wajib mengganti dengan hewan lain.

Dalam kitab Almufshshal fi Ahkamil Udhiyah disebutkan;

ويرى الحنفية بأن الموسر اذا اشترى اضحية فضلت او ماتت او سرقت انه يجب عليه بشاة اخرى

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila orang yang berkecukupan harta membeli hewan kurban, lalu mati, hilang atau dicuri, maka dia wajib mengganti dengan binatang yang lain.”

Dengan demikian, jika hewan kurban mati sebelum disembelih, maka sebaiknya diganti apabila masih memiliki harta yang cukup. Namun jika tidak mampu, maka tidak harus memaksa untuk mengganti dengan hewan dan insya Allah akan mendapat pahala di sisi Allah dengan niat dan usaha yang sudah dilakukan.

– kitab tuhfah (9/356) :

( فإن تلفت )

أو ضلت أو سرقت أو تعيبت بعيب يمنع الإجزاء ( قبله ) أي وقت الأضحية بغير تفريط أو فيه قبل تمكنه من ذبحها وبغير تفريط أيضا ( فلا شيء عليه ) فلا يلزمه بدلها لزوال ملكه عنها

Jika hewan kurban (nadzar) mati atau hilang atau dicuri atau menjadi cacat yang mencegah cukupnya kurban, hal itu terjadi sebelum waktu kurban dan kejadian tersebut tanpa adanya kecerobohan, atau hal itu terjadi dalam waktu kurban namun sebelum disembelih dan kejadian tersebut tanpa adanya kecerobohan, maka tidak ada kewajiban sama sekali atasnya, maksudnya tidak wajib menggantinya karena miliknya sudah hilang darinya.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Bahtsul Masail Hewan dan Perburuan

H017. HUKUM MAKAN DAGING MENTAH

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum Ustadz..

Bagaimana hukum memakan daging hewan dalam keadaan mentah?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Penyembelihan adalah syarat bagi halalnya daging hewan untuk dikonsumsi serta bagi pemanfaatan bagian tubuh hewan yang lainnya. Dengan kata lain, daging hewan dan bagian tubuh lainnya haram untuk dimakan/dimanfaatkan bila tidak melalui penyembelihan terlebih dahulu. Hal ini telah tegas difirmankan Allah dalam Al Qur’an:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (QS. Al An’am : 121).

Menurut pandangan secara umum dari madzhab Syafi’i bahwa bila binatang yang halal bila telah melewati proses penyembelihan secara syar’i maka dagingnya halal dimakan, baik daging itu mentah ataupun telah dimasak. Di dalam madzhab ini tidak diterangkan secara khusus tentang masalah daging mentah.

Ulama dari kalangan Madzahab Hanbali seperti Imam Ibnu Muflih mengatakan: Tidak masalah makan daging mentah, sebagaimana riwayat yang dinukil dari Muhana (murid Imam Ahmad). Juga dibolehkan makan daging yang sudah bau, sebagaimana riwayat yang dinukil dari Abul Harits. Sementara sekelompok ulama Hanbali mengatakan tentang daging mentah dan daging yang sudah bau hukumnya makruh.

Hal ini juga yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, sebagaimana keterangan Imam al Kharsyi: Keterangan penulis ‘sampai daging mentah’ maksudnya adalah mubah memakannya. Yang dimaksud mubah adalah yang tidak haram dan tidak makruh.

Dalam madzhab Syafi’i tidak ditemukan penjelasan secara khusus mengenai hukum mengkonsumsi daging mentah, para ulama’ madzhab Syafi’i hanya menjelaskan asalkan hewan telah disembelih dengan sembelihan yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan maka dagingnya halal dimakan, dari kemutlakan tersebut dapat dipahami bahwa daging hewan yang telah disembelih boleh dimakan meskipun masih mentah.

Sedangkan para ulama’ dari kalangan madzahab madzhab Hanbali berbeda pendapat mengenai masalah ini, menurut sebagian ulama’ hukumnya makruh, dan menurut sebagian ulama’ lainnya hukumnya boleh dan tidak makruh, pendapat yang kedua ini dinukil oleh Muhana (murid Imam Ahmad) dan pendapat ini merupakan pendapat ashoh (lebih shahih) menurut penjelasan dalam Syarah Al-Muntaha.

Syekh al-Khorsyi, seorang ulama’ madzhab Maliki dalam Syarah Mukhtashor Kholil juga menyatakan bahwa memakan daging mentah hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh. Ada juga sebagian ulamak yang memakruhkan apabila memakannya terus menerus.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut mayoritas ulama’ mengkonsumsi daging mentah hukumnya boleh, namun tentu saja hal ini dengan batasan asalkan hal tersebut tidak membahayakan kesehatan.

Referensi:

Nihayah al Muhtaj juz 8 hal. 112-113

والذبائح) جمع ذبيحة وجمعها لأنها تكون بالسكين وبالسهم وبالجوارح، والأصل فيه قوله تعالى {أحل لكم صيد البحر} [المائدة: 96] وقوله {إلا ما ذكيتم} [المائدة: 3] وقوله {وإذا حللتم فاصطادوا} [المائدة: 2] ومن السنة ما سنذكره، والرافعي ذكر هنا الصيد والذبائح والأطعمة والنذر فتبعه المصنف هنا وفاقا للمزني وأكثر الأصحاب، وخالفه في الروضة فذكرها في آخر ربع العبادات لأن طلب الحلال فرض عين. وأركان الذبح بالمعنى الحاصل بالمصدر أربعة ذبح وذابح وذبيح وآلة (ذكاة الحيوان المأكول) البري المطلوبة شرعا لحل أكله تحصل (بذبحه في حلق) وهو أعلى العنق (أو لبة) بفتح اللام وهي أسفله (إن قدر عليه) بالإجماع، وروى الدارقطني والبيهقي عن أبي هريرة «أن النبي – صلى الله عليه وسلم – بعث بديلا يصيح في فجاج منى: ألا إن الذكاة في الحلق واللبة» فلا يحل شيء من الحيوان المأكول من غير ذكاة

Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab juz 8 hal. 412

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر) فهذا حديث مرسل ذكره أبو داود في المراسيل والبيهقي (وأجاب) أصحابنا عن الآية التي احتج بها الأولون أن المراد ما ذبح للأصنام كما قال تعالى في الآية الأخرى (وما ذبح على النصب وما أهل به لغير الله) ولهذا قال تعالى (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه وانه لفسق) وقد أجمعت الأمة على أن من أكل متروك التسمية ليس بفاسق فوجب حملها على ما ذكرناه ويجمع بينها وبين الآيات السابقات مع حديث عائشة (وأجاب) بعض أصحابنا بجواب آخر وهو حمل النهي على كراهة التنزيه جمعا بين الأدلة (والجواب) عن حديثي علي وأبي ثعلبة أن ذكر التسمية للندب

Al Furu’ juz 10 hal. 379

ﻭﻳﻜﺮﻩ ﻣﺪﺍﻭﻣﺔ ﺃﻛﻞ ﻟﺤﻢ ) ﻗﺎﻟﻪ ﺍﻷﺻﺤﺎﺑﻘﻠﺖ ﻭﻣﺪﺍﻭﻣﺔ ﺗﺮﻙ ﺃﻛﻠﻪ ﻷﻥ ﻛﻼ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻳﻮﺭﺙ ﻗﺴﻮﺓ ﺍﻟﻘﻠﺐ ( ﻭ ) ﻳﻜﺮﻩ (ﺃﻛﻞ ﻟﺤﻢ ﻣﻨﺘﻦ ﻭﻧﻲﺀ ) ﺫﻛﺮﻩ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﺟﺰﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺷﺮﺣﻪ : ﻓﻼ ﻳﻜﺮﻩ ﺃﻛﻠﻬﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﺢ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ : ﻭﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻠﺤﻢ ﻧﻲﺀ ﻧﻘﻠﻬﻤﻬﻨﺎ، ﻭﻟﺤﻢ ﻣﻨﺘﻦ ﻧﻘﻠﻬﺄﺑﻮ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﻭﺫﻛﺮ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﻭﺟﻌﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻻﻧﺘﺼﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ

Syarh Muntaha al Iradat juz 3 hal. 412

و) يكره (مداومة أكل لحم) لأنه يورث قسوة (و) يكره (ماء بئر بين قبور وبقلها وشوكها) قال ابن عقيل كماء سمد بنجس والجلالة و (لا) يكره (لحم نيء ومنتن) نصا

Syarh Mukhtashar Khalil juz 3 hal. 26

قوله تناوله في حالة الاختيار) ويأتي ما يباح تناوله للضرورة وظاهره أن الميتة للمضطر ليست بطاهرة وسيأتي ما فيه (قوله ولا عكس) أي وليس كل طاهر مباحا كالسم أي والجراد الميت فالعكس باعتبار الصفة (قوله حتى اللحم النيء) أي لقوله في توضيحه أي يجوز أكله والمراد بالمباح ما ليس محرما ولا مكروه

Kasysyaf al-Qina’, juz 6 hal. 195

(ويكره مداومة أكل لحم) قاله الأصحاب قلت ومداومة ترك أكله لأن كلا منهما يورث قسوة القلب (و) يكره (أكل لحم منتن ونيء) ذكره جماعة وجزم في المنتهى بعدم الكراهة وقال في شرحه: فلا يكره أكلهما على الأصح قال في الفروع: ولا بأس بلحم نيء نقله مهنا، ولحم منتن نقله أبو الحارث وذكر جماعة فيهما يكره وجعله في الانتصار في الثانية اتفاقا.

Wallahu a’lamu bisshowab..