HJ011. JIKA TERJADI SENTUHAN KULIT DUA JENIS BUKAN MAHROM SAAT THOWAF

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Di madzhab syafi’i saling bersentuhan kulit dua jenis bukan mahrom (mubaasyaroh) membatalkan wudu, sedangkan dalam thowaf hal ini bukanlah hal yang mudah dihindari dan pasti terjadi. Bagaimana cara mencari solusinya ? [Wahab Abdul].

JAWABAN :

Waalaikumussalam Warohmatullahi wabarokaatuh..

Ada solusi Qiil dalam madzhab syafi’i. Menurut imam Furoni dan Imam Haromain tidak batal bila tak disengaja, menurut imam Ibnu Suraij tidak batal bila tidak syahwat, menurut imam AL AUZA’I tidak batal bila tidak menyentuh dengan tangan. Baca ktab AL BAHJAH JuZ 1 HLM 137 -138. Apakah itu muTLAQ APA khusus dalam thowaf ? Muthlaq.

Memang terdapat pendapat di kalangan Syafiiyah yang menyatakan tidak membatalkan wudhu bila persentuhan terjadi akibat tidak adanya kesengajaan, yaitu pendapat al-Furaani dan Imam Haramain. SOLUSINYA :

1. Mengikuti pendapat di atas

2. Pindah Madzhab, namun demikian harus mengikuti segala ketentuaan yang berlaku dalam madzhab yang diikutinya seperti syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan wudhu.

( قَوْلُهُ : وَسَوَاءٌ إلَخْ ) وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ لَا يُنْتَقَضُ وُضُوءُ الْمَلْمُوسِ ، وَوَجْهٌ أَنَّ لَمْسَ الْعُضْوِ الْأَشَلِّ أَوْ الزَّائِدِ لَا يَنْقُضُ ، وَوَجْهٌ لِابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ الشَّهْوَةُ فِي الِانْتِقَاضِ قَالَ الْحَنَّاطِيُّ وَحُكِيَ هَذَا عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ ، وَوَجْهٌ حَكَاهُ الْفُورَانِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَآخَرُونَ أَنَّ اللَّمْسَ لَا يَنْقُضُ إلَّا إذَا وَقَعَ قَصْدًا ، وَأَمَّا تَخْصِيصُ النَّقْضِ بِأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَيْسَ وَجْهًا لَنَا بَلْ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ وَحُكِيَ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ إلَّا اللَّمْسُ بِالْيَدِ كَذَا فِي الْمَجْمُوعِ

Dari kalangan Syafiiyah juga terdapat beberapa pendapat :

a.Ada yang menyatakan tidak menjadi batal wudhunya orang yang disentuh

b.Ada yang menyatakan tidak membatalkan menyentuh anggauta badan yang telah lumpuh atau anggauta tambahan

c.Ada yang menyatakan (pendapat Ibn Suraij) yang membatalkan saat terjadi syahwat dalam persentuhan, berkata al-Hannaathy diceritakan ini adalah hokum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i

d.Ada yang menyatakan (Pendapat al-Furaani dan Imam Haramain dan ulama-ulama lain) persentuhan kulit tidak membatalkan kecuali bila terjadi unsur kesengajaan.

Sedang bersentuhan kulit yang membatalkan terbatas pada anggauta wudhu’ saja bukan merupakan pendapat kalangan syafi’i namun pendapat al-Auzaa’i yang juga diceritakan menurutnya bahwa tidak membatalkan wudhu kecuali menyentuhnya dengan tangan, inilah yang diuaraikan dalam kitab al-majmuu’. [ Syarh alBahjah alWardiyyah II/44 ].

ومما تعم به البلوي في الطواف ملامسة النساء للزحمة ، فينبغي للرجل أن لا يزاحمهن ولها أن لا تزاحم الرجال خوفا من انتقاض الطهارة ، فإن لمس أحدهما بشرة الآخر ببشرته انتقض طهور اللامس وفي الملموس قولان للشافعي رحمه الله تعالي أصحهما أنه ينتقض وضوءه وهو نصه في أكثر كتبه ، والثاني لا ينتقض واختاره جماعة قليلة من أصحابه والمختار الأول .

Termasuk cobaan yang umum dalam thowaf adalah bersentuhan kulit dengan wanita karena berdesakan, maka sebaiknya bagi laki-laki tidak mendesaknya dan bagi wanita tidak mendesak kaum pria karena dikhawatirkan rusaknya bersuci, bila terjadi persentuhan kulit diantara keduanya naka batal kesuciannya orang yang menyentuh. Sedang bagi yang disentuh terdapat dua pendapat milik Imam Syafi’i rh. Pendapat yang paling shahih menyatakan juga batal wudhunya ini teks keterangan beliau dibeberapa kitabnya, sedang menurut pendapat yang kedua tidak batal, pendapat ini dipilih oleh sebagian golongan dari pengikut beliau sedang pendapat yang terpilih adalah pendapat yang pertama. [ Al-Iidhooh Hal. 102 ].

Wallahu A’lamu Bis Showaab.

HJ010. HUKUM TOWAF MENGENDARAI SKUTER

PERTANYAAN :

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh.

Sahkah towafnya orang yang bertowaf mengelilingi baitulloh dengan mengendarai unta (skuter)?

JAWABAN :

Wa alaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh.

Sah apabila ada udzur seperti sakit atau cacat.

Rosululloh Shollalloohu alaihi wasallam bertowaf pada haji wada’ di atas untanya Rosululloh Shollalloohu alaihi wasallam. Tujuan dari Rosuululloh itu bertowaf di atas untanya ialah agar supaya Rosululloh yang sedang towaf itu dilihat oleh orang-orang, dan agar supaya Rosululloh itu bisa melihat kepada orang-orang dari atas untanya. Alasannya ialah karena orang-orang itu mengerumuni (mengelilingi) Rosululloh.

Jadi, orang yang sakit itu diperbolehkan dan sah bertowaf di atas unta (di atas skuter).

[الطَّوَافُ رَاكِبًا]

أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ الْمَكِّيُّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: «طَافَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ لِيَرَاهُ النَّاسُ وَأَشْرَفَ لَهُمْ لِأَنَّ النَّاسَ غَشَوْهُ» ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – طَافَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَاسْتَلَمَ الرُّكْنَ بِمَحَجَّتِهِ» ، أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ شُعْبَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِثْلَهُ، أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – طَافَ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ رَاكِبًا فَقُلْت: لِمَ؟ قَالَ لَا أَدْرِي قَالَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ» أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الْأَحْوَصِ بْنِ حَكِيمٍ قَالَ رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَطُوفُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ رَاكِبًا عَلَى

ج: 2 ص: 189

حول المشروع, اتصل بناالمكتبة الشاملة الحديثة

لا خلاف بين الفقهاء في صحة طواف الراكب إذا كان له عذر

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keabsahan thawaf di atas kendaraan bagi yang memiliki udzur. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 23/123).

[ وذهب الحنفية والمالكية وأحمد في إحدى الروايات عنه، إلى أن المشي في الطواف من واجبات الطواف، فإن طاف راكبا بلا عذر وهو قادر على المشي وجب عليه دم(الموسوعة الفقهية)

Hanafiyah, Malikiyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyatakan pendapat bahwa berjalan merupakan bagian kewajiban dalam thawaf. Jika ada orang yang thawaf di atas kendaraan tanpa udzur, dan dia mampu berjalan, maka wajib bayar dam (Al Mausuu’atul Fiqhiyyah).

Wallohu a’lamu bisshowab..

HUKUM UMROH BERRULANG-KALI DALAM HAJI TAMATTU’

PERTANYAAN :

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Langsung saja,
Kalau ada orang yg melakukan umroh di bulan2 ashurum maklumat (syawal, dulqo’dah, dulhijjah) maka ketika orang itu melakukan haji. hajinya di namakan haji tamattu” Yg mana haji tamattu’ harus bayar dam.

Pertanyaanya:
seandainya orang itu melakukan umroh berkali-kali, misal melakukan umroh sampai 4 kali apakah harus bayar dam 4 kali juga? (Umroh satu kali maka bayar damnya satu kali juga, Umroh 4 kali maka harus bayar dam 4 kali juga) apakah seperti ini?

Kami memohon jawaban dgn referensinya yg valid dan shohih yg sesuai pertanyaan.
Dan atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih, wassalam.!

JAWABAN :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Ulama Khilaf dalam masalah ini :

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj dan Hasiyatul Idhoh tidak adanya pengulangan dam artinya membayar dam cuma sekali
Dalam Nihayatul Muhtaj menuqil dari Imam Roimi membayar dam sesuai dengan jumlah umroh yg dia lakukan,
Dan pendapat yang mu’tamad menurut ‘Ali Syibro Malisi adalah membayar dam cuma sekali saja walaupun umrohnya berkali kali.

Referensi :

بغية المسترشدين : قلت وهل يتكرر الدم بتكرر العمرة في أشهر الحج أم لا واعتمد في التحفة وحاشية الإيضاح عدم التكرر. وقال في النهاية ولو قرر المتمتع لعمرة في أشهر الحج أفتى الريمي صاحب التفقيه شرح التنبيه بالتكرر وأفتى بعض مشايخ الناشري بعدمه قال أي الناشري وهو الظاهر اھ قال ع ش قوله وهو الظاهر هو المعتمد.

بغية المسترشدين ١١٩ حرمين

والله أعلم بالصواب

HJ008. HUKUM MENUNAIKAN HAJI TANPA IDZIN/ TASHRIH

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Bagaimana setatus haji seseorang yang berangkatnya tidak memenuhi aturan2 yang sudah ditentukan pemerintah Arab Saudi
katanlah tidak punya tashrih/izin?

JAWABAN :

Wa alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

Hajinya orang yang tidak memiliki idin untuk haji tersebut hukumnya sah bila memenuhi syarat dan rukunnya haji dan tidak wajib mengulangi hajinya karena haji tersebut sudah menggugurkan kewajiban. Akan tetapi haji tersebut dihukumi haram bila khawatir timbul bahaya seperti akan dipenjara ketika tertangkap sebab dianggap illegal misalnya. Wallohu a’lam.

البجيرمي على الخطيب ٢/٣٧٠ :
. : .ولكن الفقهاء قالوا إن الإنسان إذا أدى الحج واستوفى أركانه وشروطه فإن الحج يصح منه و يسقط عنه فريضته سواء أداه بمال حلال أو حرام. يسئلونك في الدين والحياة ٢/١٥٤ : والشرط السادس للوجوب تخلية الطريق أى أمنه ولو ظنا في كل مكان بحسب ما يليق به فلو خاف في طريقه علي نفسه أو عضوه أو نفس محترمة منه أو عضوها أو ماله ولو يسيرا سبعا أو عدوا أو رصديا ولا طريق له سواه لم يجب عليه لحصول الضرر ____بل ولا يستحب بل ربما حرم إذا غلب على ظنه الضرر

الباجوري ١/٣٠٩
والرابعة الوقوع عن فرض الإسلام وشرطها مع الإسلام والتمييز والبلوغ الحرية وإن لم يكن مستطيعا فيقع حج الفقير عن حجة الإسلام وإن حرم عليه السفر له إذا حصل له منه ضرر لكمال حاله.

Wallahu a’lamu bisshowab..

HJ007. HUKUM MEMAKAI MASKER DAN KACAMATA HITAM BAGI ORANG YANG BERIHRAM HAJI ATAU UMROH

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Deskripsi Masalah :

Suhu udara yang panas serta cuaca kawasan Arab yang kurang menguntungkan, menyebabkan sebagian jamaah haji meyiasatinya dengan sejumlah langkah antisipasi demi kelancaran dan kenyamanan ibadah hajinya. Mereka pada umumnya mengenakan kacamata hitam, entah karena sakit atau sekedar mengurangi sengatan terik matahari. Demikian pula masker, lazim dipakai untuk menghindari debu-debu yang beterbangan atau sekedar mengurangi hawa dingin, terutama saat malam hari. Padahal, menutup wajah bagi perempuan adalah satu di antara larangan-larangan dalam ihram.

Pertanyaan :

Bolehkah jamaah perempuan berkacamata hitam (atau warna lain) atau memakai masker anti flu dan juga menutup kening dengan jilbab sebagaimana kebiasaan mereka selama ini?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Hukumnya memakai kacamata bagi perempuan yang sedang ihram dan memakai masker anti flu jika terdapat hajat (kebutuhan), adalah boleh menurut Imam Syafi’I tetapi wajib membayar fidyah, sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, tidak wajib membayar fidyah..

Catatan : Bentuk fidyah dalam permasalahan ini adalah menyembelih kambing kurban, atau puasa tiga hari atau bershodaqoh 3 sho’ pada 6 orang miskin.

Adapun menutup sebagian kening dengan jilbab diperbolehkan, selama tidak melebihi batas penyempurna kewajiban menutup aurat kepala.

Referensi :

الياقوت النفيس ص: 340-341

ويحرم على المرأة ستر الوجه والكفبن ويجوز لها لبس المحيظ ومن هنا نشأ الخلاف بين العلماء في حكم وجه المرأة وكيفيها هل هما عورة؟ فلو كان عورة لما أمرها الله بكشفهما هنا لكن المعتمد عند أكثر أهل العلم أنهما عورة علي غير محارمها ويجت سترهما بالإتفاق إذا لم تأمن الفتنة وقد ردوا على القائلين بأنهما ليسا بعورة بحجج كثيرة منها قول سيدتنا عائشة إذا كان الركبان يمرون بنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم محرمات فإذا حاذوا بنا سدلت احدانا جلبابها على وجهها فإذا جاوزوا بناكشفنا رواه ابن داوود وابن ماجةز قالوا يجب عليه الستر إذا خشيت الفتنة أما إذا أمنت الفتنة فلا تستره ومما لا شك فيه أن الفتنة في هذا الزمان غير مأمؤنة ويجوز لها لبس النظارة والإمام الشافعي شدد عليها ويلزمها بالفدية إذا سترت وجهها خوفا من الفتنة لكن يحملها قول الإمام أحمد بعدم الفدية.

الفقه على المذاهب الأربعة الجزء الأول صـ 645

ويجوز للمرأة أن تستر وجهها ويديها وهي محرمة إذا قصدت الستر عن الأجانب بشرط أن تسدل على وجهها ساترا لا يمس وجهها عند الحنفية والشافعية وخالف الحنابلة والمالكية فانظر مذهبيهما تحت الخط.

الحنابلة قالوا للمرأة أن تستر وجهها لحاجة كمرور الأجانب بقربها ولا يضر النصاق الساتر بوجهها وفي هذا سعة ترفع المشقة والحرج والمالكية قالوا إذا قصدت المرأة بستر يديها أو وجهها التستر عن أعين الناس فلها ذلك إذا تحققت أن هناك من ينظر اليها بالفعل أو كانت بارعة الجمال لأنها مظنه نظر الرجال وهى محرمة يشرط الساتر لا غرز فيه ولا ربط وإلا كان محرما وعليها الفدية في ستر الوجه كما يأتي فإذا لم يتحقق هذان الشرطان فإنه يحرم عليها ستر وجهها ويديها بشيئ يحيط بهما كالقفاز وهو لباس يعمل على قدر اليدين لاتقاء البرد ويحرم سترهما بشيئ فيه خياطة أو ربط وأما إدخالهما في قميصها فلا يحرم كما لا يحرم عليها ستر جزء من وجهها يتوقف عليه ستر رأسها ومقاصيصها.

البيان الجزء الرابع صـ 144-145

فإن أرادت المرأة أن تستر وجهها عن الناس عقدت الثوب على رأسها وسدلته على وجهها وجافته عن الوجه بعود حتى لا يقع على وجهها لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن محرمات فكان إذا مر بنا الركبان وحاذوا بنا سدلت احدانا جلبابها من فوق رأسها على وجهها فإذا جاوزنا رفعته فإن وقع الثوب على وجهها بغير احتيارها فإن رفعته في الحال فلا شيئ عليها وإن أقرته مع القدرة على رفعه وهي ذاكرة عالمة بالتحريم وجبت عليها الفدية -إلى أن قال– وثبت في الحاشية (ب)فالطريق أن تجمع طرف مقنعتها على ناحيتها وترسل سلكا من جهتي أذنيها ثم ترسل طرف نقابها أو طرف ثوب بحيث يصير حجابا ولا يرى الناس وجهها ولا تتعدى بحر ولا برد ولا يلاقي الثوب بشرة وجهها فيكون كالمظلة

فتح الجواد الجزء الأول ص 244

وإنما يحرم ستر ما مر من الرجل والمرأة والخنثى بملاق له يعد في العرف ساترا وإن لم يحط به ولا اعتيد الستر به كطين ومرهم وحناء ثخين وكذا يده أو يد غيره إن قصد به الستر كما هو ظاهر لاستره بنحو خيط شده به بأن لم يكن عريضا كالعصابة – إلى أن قال – وإنما عد نحو ماء كدر ساترا في الصلاة لأن المعتبر ثم منع إدراك لون البشرة وهنا الساتر العرفي وإن لم يمكنه كزجاج وساتر رقيق يحكي البشرة ومن قال لايضر هذا هنا فقد وهم إهــ

كفاية الأخيار الجزء الأول ص: 228

وأما المرأة فالوجه في حقها كرأس الرجل وتستر جميع رأسها وبدنها بالمخيط ولها أن تستر وجهها بثوب أو خرقة بشرط ألا يمس وجهها سواء كان لحاجة أو لغير حاجة من حر أو برد أو خوف فتنة، ونحو ذلك فلو أصاب الساتر وجهها باختيارها لزمها الفدية وإن كان بغير اختيارها فإن أزالته في الحال فلا فدية وإلا جبت الفدية. ثم هذ ا كله حيث لا عذر أما المعذور كمن احتاج إلى ستر رأسه أو لبس ثيابه لحر أو برد أو مداواة ستر وجبت الفدية والله أعلم.

بغية المسترشدين ص: 118

[فائدة]: محرمات الإحرام على أربعة أقسام – إلى أن قال – ثالثها : ما فيه الفدية ولا إثم وهو عشرة: احتياج الرجل إلى ستر رأسه أو لبس المحيط في بدنه لحر أو برد أو مرض أو مداواة أو فجأة حرب ولم يجد ما يدفع به العدوّ ونحو ذلك واحتياج المرأة إلى ستر وجهها ولو لنظر أجنبي – إلى أن قال – والحاصل في هذا القسم أن كل ما فعله للحاجة المبيحة لفعله وهي المشقة الشديدة، وإن لم تبح التيمم ففيه الفدية ولا إثم. رابعها: سائر المحرمات غير ما مر اهـ كردي.

البجيرمي على الخطيب الجزء الثاني ص: 466

( والثاني الدم الواجب بالحلق والترفه ) كالقلم من اليد أو الرجل – إلى أن قال – ( وهو ) أي الدم الواجب بما ذكر هنا ( على التخيير ) والتقدير فتجب ( شاة ) مجزئة في الأضحية أو ما يقوم مقامها من سبع بدنة أو سبع بقرة ( أو صوم ثلاثة أيام ) ولو متفرقة ( أو التصدق بثلاثة آصع ) بمد الهمزة وضم المهملة جمع صاع ( على ستة مساكين ) لكل مسكين نصف صاع وتقدم في زكاة الفطر بيان الصاع وذلك لقوله تعالى “فمن كان منكم مريضا أو به أذى من رأسه” أي فحلق “ففدية من صيام أو صدقة أو نسك” .

Wallahu a’lamu bisshowab..

HJ006. SISTEM TUNGGU KUOTA HAJI TIDAK MENGGUGURKAN KEWAJIBAN BERANGKAT HAJI

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Pertanyaan, Mengamati lamanya menungu bagi jamaah haji indonesia menimbulkan sebuah permasalahan, masih wajibkah daftar haji bagi orang yang sudah berusia 50 tahun ke atas?

Apakah kasusnya bisa disamakan dengan haji muhshar?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Orang berumur 50 tahun ataupun lebih dari 50 ke atas ia masih berkewajiban melakukan ibadah haji manakala ia mampu.

Firman Allah swt, Suroh Ali lmron ayat 97 :

وانما شرطت الإستطاعة لقوله تعالى :
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا.

قال ابن عباس : والإستطاعة ان يكون قادرا على الزاد والراحلة وان يصح بدن العبد وان يكون الطريق أمنا.
إعانة الطالبين ج ٢ ص ٣١٨

Jadi yang di maksud mampu adalah: punya bekal, Ada kendaraan, badan sehat Dan Dalam perjalanan Aman.

Mampu disini oleh ulama di bagi 2 yaitu :
1- Mampu mubasyaroh, mencakup fisik Dan harta benda.
2-Mampu Niyabah, mencakup harta benda.

Referensi :
i’anatut tolibin juz 2 Hal 318.

ثم الإستطاعة نوعان :
أحدهما : الاستطاعة مباشرة،وهذه يقال لها استطاعة بالبدن والمال ولها أحد عشر شرطا.. الى ان قال…
وثانيها بإنابة الغير عنه،وهذه يقال لها استطاعة بالمال فقط،وانما تكون في ميت ومعضوب.. الخ

Juga dijelaskan dalam kitab :

مغنى المحتاح
الْخَصْلَةُ الثَّانِيَةُ لِلاِسْتِطَاعَةِ: صِحَّةُ الْبَدَنِ:
– إِنَّ سَلاَمَةَ الْبَدَنِ مِنَ الأَْمْرَاضِ وَالْعَاهَاتِ الَّتِي تَعُوقُ عَنْ الْحَجِّ شَرْطٌ لِوُجُوبِ الْحَجِّ.
فَلَوْ وُجِدَتْ سَائِرُ شُرُوطِ وُجُوبِ الْحَجِّ فِي شَخْصٍ وَهُوَ مَرِيضٌ زَمِنٌ أَوْ مُصَابٌ بِعَاهَةٍ دَائِمَةٍ، أَوْ مُقْعَدٌ أَوْ شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَثْبُتُ عَلَى آلَةِ.

شُرُوطُ الزَّادِ وَآلَةِ الرُّكُوبِ:
– ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ شُرُوطًا فِي الزَّادِ وَآلَةِ الرُّكُوبِ الْمَطْلُوبَيْنِ لاِسْتِطَاعَةِ الْحَجِّ، هِيَ تَفْسِيرٌ وَبَيَانٌ لِهَذَا الشَّرْطِ، نَذْكُرُهَا فِيمَا يَلِي:
أ – أَنَّ الزَّادَ الَّذِي يُشْتَرَطُ مِلْكُهُ هُوَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي ذَهَابِهِ وَإِيَابِهِ مِنْ مَأْكُولٍ وَمَشْرُوبٍ وَكِسْوَةٍ بِنَفَقَةٍ وَسَطٍ لاَ إِسْرَافَ فِيهَا وَلاَ تَقْتِيرَ، فَلَوْ كَانَ يَسْتَطِيعُ زَادًا أَدْنَى مِنَ الْوَسَطِ الَّذِي اعْتَادَهُ لاَ يُعْتَبَرُ مُسْتَطِيعًا لِلْحَجِّ، وَيَتَضَمَّنُ اشْتِرَاطُ الزَّادِ أَيْضًا مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ آلاَتٍ لِلطَّعَامِ وَالزَّادِ مِمَّا لاَ يَسْتَغْنِي عَنْهُ.

وَجْهُ الاِسْتِدْلاَل أَنَّ ” مَنْ كَانَ صَحِيحَ الْبَدَنِ قَادِرًا عَلَى الْمَشْيِ وَلَهُ زَادٌ فَقَدِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً فَيَلْزَمُهُ فَرْضُ الْحَجِّ “.

Kesimpulan :
Tidak Ada batasan umur dalam Melaksanakan kewajiban haji, Selama bukan Anak Anak (Belum baligh) Dan tidak Gila Maka haji tetap wajib.

Jawaban no 2.
Tidak Sama, ibarot telah disinggung pada jawaban no 1.

Wallahu a’lamu bisshowab..

HJ005. HUKUM MEMANGGIL “HAJI” TERHADAP ORANG YANG BELUM BERHAJI

PERTANYAAN :

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Saya mau tanya ustadz..
Pertanyaannya, Bagaimana hukumnya orang yang memanggil haji kepada orang yang hanya melakukan ibadah umroh?

JAWABAN :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Memanggil “pak haji” dengan tujuan ta’dhim (memuliakan) sementara yang bersangkutan belum melaksanakan ibadah haji hukumnya harom.

– Hasyiyah Jamal :

وقع السؤال مما يقع كثيرا فى مخاطبة الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيم…ا له هل هو حرام ام لا والجواب عنه ان الظاهر الحرمة لانه كذب الى ان قال نعم ان اراد بيا حاج فلان المعنى اللغوى وقصد به معنى صحيحا كان اراد بيا حاج يا قاصد التوجه الى كذا كالجماعة او غيرها فلا حرمة اهـ ع ش . (حاشية الجمل ص372جز2

“Ada yang bertanya mengenai pemanggilan terhadap orang yang tidak berhaji “wahai haji/hajah fulan..!” sedangkan tujuan memanggil haji/hajjah kerena memuliakan kepadanya.
Apakah panggilan itu haram?

Jawaban dari pentanyaan tersebut, bahwa secara dzohir panggilan itu adalah haram karena ia adalah BOHONG apabila tujuan dari perkataan tersebut adalah panggilan membenarkan. Namun apabila seseorang memanggilnya secara bahasa saja karena berhadapan dengan jamaah misalnya atau dengan orang lain maka tiada apa-apa (tidak haram).

Wallahu a’lamu bisshowab..

HJ004. UMROH TIDAK MENGGUGURKAN KEWAJIBAN HAJI

PERTANYAAN :

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Bagaimana orang yang sudah umrah apakah masih punya hutang atau berkewajiban haji?

JAWABAN :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Orang yang sudah melaksanakan umroh masih tetap mempunyai kewajiban haji apabila mampu, karena rukun islam yang kelima adalah haji ke baitullah bagi yang mampu, bukan umrah.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA:

بُنِىَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ اَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّ اﷲُ٬ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اﷲِ٬ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ ٠ وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ ٬ وصَوْمِ رَمَضَانَ ٬ وَحِجِّ الْبَيْتِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً٠

Artinya: “Islam dibina atas lima perkara:

1) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu Rasul Allah,
2) mendirikan shalat,
3) menunaikan zakat,
4) puasa di bulan Ramadhan, dan
5) melakukan haji ke Baitullah, bagi orang yang mampu melakukan perjalanan kesana.”

Adapun ijma’, maksudnya bahwa para ulama’ kaum muslimin seluruhnya sepakat atas fardhunya haji ini, tanpa ada seorang pun di antara mereka yang berpendapat lain. Dan oleh karenanya, mereka menghukumi kafir terhadap orang yang mengingkari kefardhuan haji, karena berarti mengingkari sesuatu yang secara otentik dinyatakan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.

Kesimpulannya :
Orang yang umrah masih berkewajiban haji apabila ia mampu (punya biaya).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ } [آل عمران: 97]

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam“. QS. Ali Imran: 97.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

هذه آية وُجُوب الحج عند الجمهور. وقيل: بل هي قوله: { وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ } [البقرة:196] والأول أظهر.

Artinya: “Ini adalah ayat yang menunjukkan wajibnya haji menurut pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, ada juga yang berpendapat bahwa dalil yang menunjukkan kewajiban haji adalah firman Allah Ta’ala:

{ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ }

Artinya: “Dan Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”. QS. Al Baqarah: 196. Dan pendapat pertama lebih jelas (pendalilannya)”. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.

Dan dalil dari wajibnya haji juga berdasarkan hadits riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhubahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam berasabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ، ثُمَّ قَالَ، ذَرُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ ».

Artinya: “Wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian berhaji maka berhajilah”, kemudian ada seorang bertanya: “Apakah setiap tahun Wahai Rasulullah?”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawab sampai ditanya tiga kali, barulah setelah itu beliau menjawab: “Jika aku katakan: “Iya”, maka niscya akan diwajibkan setiap tahun belum tentu kalian sanggup, maka biarkanlah apa yang sudah aku tinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian, akibat banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi mereka, maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah darinya sesuai dengan kemampuan kalian dan jika aku telah melarang kalian akan sesuatu maka tinggalkanlah”.HR. Muslim.

Wallahu a’lamu bisshowab..

HJ003. HUKUM THOWAF SAMBIL MENYENTUH KA’BAH

PERTANYAAN :

Assalamualaikum ustadz..

Bagaimana hukum thowaf sambil menyentuh ka’bah?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.

Hukum melaksanakan thawaf sambil menyentuh dinding Ka’bah dapat membatalkan thawaf itu sendiri apabila sentuhan dilakukan di sisi Ka’bah yang terdapat Syadzarwan dan kedalaman tangan atau anggota badan yang menyentuh Ka’bah sejajar dengan syadzarwan. dalam hal ini bukan masalah menyentuhnya akan tetapi disebabkan sebagian dari anggota tubuh berada sejajar dengan Syadzarwan / Lebih dalam dari pinggir luarnya Syadzarwan, sedangkan menurut Ulama’ Syafi’iyah Syadzarwan merupakan bagian dari bangunan Ka’bah.

Berikut penjelasan Imam Nawawi dalam kitabnya al-Idhoh Fi Manasik al-Hajj wal-Umrah Juz 1 hal.226.

الإيضاح في مناسك الحج والعمرة جز : ١ – ص: ٢٢٦

ولَوْ طافَ خَارِجَ الشَّاذَرْوَانِ وكَانَ يَضَعُ إحْدَى رجْلَيْهِ أَحياناً علَى الشَّاذروَانِ ويقفزُ بالأخْرَى لَمْ يَصحَّ طَوَافُه ولوْ طَافَ خَارجَ الشَّاذروَانِ وَلمسَ بيده الجدَارَ في مُوَازَاةِ الشَّاذروَانِ أو غيرِهِ من أجزاء الْبيتِ لم يصحَّ

Apabila seseorang thawaf diluar Syadzarwan dan terkadang salah satu kakinya menginjak di atas Syadzarwan maka tidak sah thawafnya.
Dan apabila seseorang thawaf diluar Syadzarwan dan tangannya menyentuh dinding Ka’bah yang (kedalamannya) sejajar dengan syadzarwan atau selainnya yang termasuk bagian dari Ka’bah maka tidak sah thawafnya.

Masih dalam kitab dan halaman yang sama Imam Nawawi menjelaskan:

قَالَ أصْحابُنَا وغَيرُهمْ مِنْ العُلَمَاءِ هَذَا الشَّاذرْوَانُ جُزءٌ من الْبَيْتِ نَقصَتْه قُرَيشٌ مِنْ أَصْلِ الْجِدَارِ حينَ بَنَوا الْبَيْتَ وهوَ ظَاهرٌ في جَوَانِبِ الْبَيْتِ لكن لا يَظْهَرُ عنْدَ الْحَجَرِ الأسودِ

Para sahabat kami (Ulama Syafi’iyah) berkata: Syadzarwan merupakan bagian dari bangunan Ka’bah, suku Quraisy sengaja membiarkannya saat merenovasi Ka’bah sebagai pondasi / kaki-kaki tembok bangunan. Syadzarwan tampak kelihatan di samping Ka’bah akan tetapi tidak tampak di sisi Hajar Aswad.

Gambar Syadzarwan :

Lalu jika masih menyisakan pertanyaan; kenapa pelaksanaan thawaf yang apabila anggota tubuh berada sejajar diatas Syadzarwan, Thawaf menjadi batal. hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu kewajiban, sebagaimana keterangan di bawah ini.

الواجب الخامس: أنْ يكونَ في طَوَافِهِ خَارجاً بجميع بدَنِهِ عن جميعِ البيت فلو طاف على شَاذَروَانِ الْبَيْتِ أو في الحَجْرِ لم يَصحّ طَوَافُهُ لأنه طَافَ في الْبَيْتِ لا بالبيت وقد أمر اللهُ تعالى بالطَّوَافِ بالبَيْتِ، والشَّاذَروَانُ والْحِجْرُ مِنَ البيتِ.

Kewajiban yang kelima: Agar thawafnya dilakukan dengan keadaan semua anggota badan di luar Ka’bah. maka apabila seseorang thawaf di atas Syadzarwan atau dalam Hijr Ismail maka thawafnya tidak sah, karena pada saat demikian dia thawaf didalam Ka’bah bukan diluar Ka’bah, sedangkan Allah memerintahkan thawaf diluar Ka’bah. adapun Syadzarwan dan Hijr merupakan bagian dari Ka’bah. al-Idhoh Fi Manasik al-Hajj wal-Umrah Juz 1 hal.225-226.

Syadzarwan adalah dinding yang mengelilingi Ka’bah yang berada dalam bagian bangunan yang berbentuk melengkung di bawah dinding Ka’bah sampai permukaan tanah kecuali di Hijr Ismail. Panjang Syadzarwan pada sisi multazam 12,84 meter, pada sisi Rukun Yamani sampai Hajar Aswad 11,52 meter, pada sisi Rukun Yamani sampai Hijr Ismail 12,11 meter dan diantara dua ambang pintu Hijr Ismail 11,28 meter.

(وَلَوْ مَشَى عَلَى الشَّاذَرْوَانِ) بِفَتْحِ الذَّالِ الْمُعْجَمَةِ وَهُوَ الْجِدَارُ الْبَارِزُ عَنْ عُلُوِّهِ بَيْنَ رُكْنِ الْبَابِ وَالرُّكْنِ الشَّامِيِّ (أَوْ مَسَّ الْجِدَارَ) الْكَائِنَ (فِي مُوَازَاتِهِ) أَيْ الشَّاذَرْوَانِ (أَوْ دَخَلَ مِنْ إحْدَى فَتْحَتَيْ الْحِجْرِ) بِكَسْرِ الْحَاءِ (وَخَرَجَ مِنْ الْأُخْرَى) وَهُوَ بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ الشَّامِيَّيْنِ عَلَيْهِ جِدَارٌ قَصِيرٌ (لَمْ تَصِحَّ طَوْفَتُهُ) فِي الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ لِأَنَّهُ فِيهَا طَائِفٌ فِي الْبَيْتِ لَا بِهِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ} [الحج: ٢٩]
حاشيتا قليوبي وعميرة جز: ٢ ص: ١٣٣

وَمِنْهَا أَن يكون خَارِجا بِجَمِيعِ بدنه عَن جَمِيع الْبَيْت حَتَّى لَو مَشى على شاذروان الْكَعْبَة لم يَصحطَوَافه لِأَنَّهُ جُزْء من الْبَيْت وَكَذَا لَو طَاف وَكَانَت يَده تحاذي الشاذروان لم يَصح وَهِي دقيقة قل من ينتبه لَهَا فاعرفها وَعرفهَا
كفاية الاخيار جز ١ ص ٢١٥

 :فتح المعين
– وخامسها: جعل البيت عن يساره مارا تلقاء وجهه فيجب كونه خارجا بكل بدنه حتى بيده عن شاذروانه وحجره للاتباع فإن خالف شيئا من ذلك لم يصح طوافه

 :اعانة الطالبين
(وقوله: مارا تلقاء وجهه) أي على الهيئة المعتادة له في المشي، سواء طاف منتصبا، أو منحنيا، أو زحفا، أو حبوا وإن قدر على المشي في الجميع.
(قوله: فيجب كونه إلخ) هذا التفريع لا محل له، فالأولى التعبير بالواو ويكون
مستأنفا، ساقه لبيان شرط آخ.
وقوله: بكل بدنه ومثله ثوبه المتحرك بحركته عند حجر، لا نحو عود في يده.
ومشى الخطيب في مغنيه: والرملي في النهاية، على أن الثوب وإن تحرك بحركته لا يضر.
(قوله: حتى بيده) أي حتى يجب خروج يده.
(قوله: عن شاذروانه) متعلق بخارجا، وهو جدار قصير نقصه ابن الزبير من عرض الأساس، وهو من الجهة الغربية واليمانية فقط كما في شرح بأفضل وموضع من النهاية وغيرهما، لكن المعتمد كما في التحفة ثبوته في جهة الباب أيضا.

والحاصل أنه مختلف في ثبوته من جميع الجوانب فالإمام والرافعي لا يقولان به إلا في جهة البا وشيخ الإسلام ومن وافقه لا يقولان به من جهة الباب، وأبو حنيفة لا يقول به في جميع الجوانب، وفيه رخصة عظيمة، بل لنا وجه إن مس جدار الكعبة لا يضر، لخروج معظم بدنه عن البيت

Arti dalam Kitab I’anathuttholibin :

Dan kesimpulannya Didalam keberadaan /penetapan syadarwan masih diperselisihkan ulamak apakah dari semua sisi kakbah?
Menurut imam haromain dan imam romli shogir tidak dikatagorikan bagian syadarwan selaian khusus didalam arah pintu ka’bah, dan adapun syaikhul islam Zakariyya Al Anshori dan yang mendukungnya beliau tidak mengatakan syadarwan dari arah pintu kakbah, (Tidak masalah bagi muhrim yang menyentuhnya jika datang dari arah selain pintu kakbah, artinya beliau tidak mensyaratkan Badan muhrim harus keluar dari syadarwan yang bagian dari arah selain pintu ), Dan kalau imam abu hanifah tidak mengatakan yang termasuk bagian ‘syadzarwan adalah didalam semua sisi kakbah, dan ini ( pendapat imam abu hanifah) tentu rhukhsah /kemudahan bagi kita madhaz syafi”i (kalau kita mentaqlidnya) Bahkan ada satu pendapat kuat pula bahwa sesungguhnya hukum sekedar menyentuh dinding kakbah (Dari bagian manapun) adalah tidak membatalkan tawaf sebab bagian besar anggota tubuh si muhrim jelas berada di luar kakbah.

حاشية قليوبي وعميرة من مذهب الشافعي..

(وَفِي مَسْأَلَةِ الْمَسِّ وَجْهٌ)
أَنَّهُ تَصِحُّ طَوْفَتُهُ فِيهَا لِأَن مُعْظَمَ بَدَنِهِ خَارِجٌ فَيَصْدُقُ أَنَّهُ طَائِفٌ بِالْبَيْتِ

قَوْلُهُ: (أَوْ مَسَّ الْجِدَارَ) أَيْ يُجْزِئُ مِنْ بَدَنِهِ
وَلَا يَضُرُّ مَسُّهُ بِمَلْبُوسِهِ أَوْ بِشَيْءٍ فِي يَدِهِ كَمَا لَا يَضُرُّ مَسُّ جِدَارِ الشاذروان مِنْ أَسْفَلِهِ بِبَدَنِهِ وَلَا مَسُّ جِدَارِ الْبَيْت فِي غَيْرِ جِهَةِ الشاذروان كَمَا مَرَّ. قَوْلُهُ:

Arti pokoknya :

Dalam masalah menyentuh ka’bah dalam ( الشافعية ) ada sebuah wajhun/pendapat bahwa TIDAK BATAL jika hanya sebatas menyentuh dengan catatan BAGIAN BESAR tubuh si muhrim towaf tetap BERADA DILUAR kakbah, Bagian besar : (معظم بدن المحرم).

Enggi…..
Setuju Ini tambahkan ke dokumen/ web langsung ke inti. Mungkin dengan bahasa begini,

Pendapat lain mengatakan bahwa menyentuh dinding Ka’bah tidak membatalkan thawaf sebagaimana yang diuraikan dalam kitab I’anah at-Thalibin dalam mengomentari lafadz عن شاذروانه sebagai berikut:

فتح المعين
– وخامسها: جعل البيت عن يساره مارا تلقاء وجهه فيجب كونه خارجا بكل بدنه حتى بيده عن شاذروانه وحجره للاتباع فإن خالف شيئا من ذلك لم يصح طوافه

(قوله: عن شاذروانه) متعلق بخارجا، وهو جدار قصير نقصه ابن الزبير من عرض الأساس، وهو من الجهة الغربية واليمانية فقط كما في شرح بأفضل وموضع من النهاية وغيرهما، لكن المعتمد كما في التحفة ثبوته في جهة الباب أيضا.
والحاصل أنه مختلف في ثبوته من جميع الجوانب فالإمام والرافعي لا يقولان به إلا في جهة الباب، وشيخ الإسلام ومن وافقه لا يقولان به من جهة الباب، وأبو حنيفة لا يقول به في جميع الجوانب، وفيه رخصة عظيمة، بل لنا وجه إن مس جدار الكعبة لا يضر، لخروج معظم بدنه عن البيت

Dan kesimpulannya Didalam keberadaan /penetapan syadarwan masih diperselisihkan ulama’ apakah dari semua sisi kakbah?,
Menurut Imam Haromain dan Imam Ramli Shogir tidak dikatagorikan bagian syadarwan kecuali khusus di arah pintu kakbah, dan adapun Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshori dan yang mendukungnya, beliau tidak mengatakan syadarwan dari arah pintu kakbah, (Tidak masalah bagi muhrim yang menyentuhnya jika datang dari arah selain pintu kakbah, artinya beliau tidak mensyaratkan Badan muhrim harus keluar dari Syadzarwan yang bagian dari arah selain pintu), Dan kalau imam Abu Hanifah tidak mengatakan yang termasuk bagian Syadzarwan adalah didalam semua sisi kakbah, dan ini (pendapat Imam Abu Hanifah) tentu rhukhsah /kemudahan bagi kita madhaz syafi”i (kalau kita mentaqlidnya)
Bahkan ada satu pendapat kuat pula bahwa Sesungguhnya hukum sekedar menyentuh dinding ka’bah (Dari bagian manapun) adalah tidak membatalkan tawaf sebab bagian besar anggota tubuh si muhrim jelas berada di luar Ka’bah.

Namun ada Pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh dinding Ka’bah tidak membatalkan thawaf sebagaimana yang diuraikan dalam kitab I’anah at-Thalibin dalam mengomentari lafadz عن شاذروانه sebagai berikut:

– وخامسها: جعل البيت عن يساره مارا تلقاء وجهه فيجب كونه خارجا بكل بدنه حتى بيده عن شاذروانه وحجره للاتباع فإن خالف شيئا من ذلك لم يصح طوافه

(قوله: عن شاذروانه) متعلق بخارجا، وهو جدار قصير نقصه ابن الزبير من عرض الأساس، وهو من الجهة الغربية واليمانية فقط كما في شرح بأفضل وموضع من النهاية وغيرهما، لكن المعتمد كما في التحفة ثبوته في جهة الباب أيضا.
والحاصل أنه مختلف في ثبوته من جميع الجوانب فالإمام والرافعي لا يقولان به إلا في جهة الباب، وشيخ الإسلام ومن وافقه لا يقولان به من جهة الباب، وأبو حنيفة لا يقول به في جميع الجوانب، وفيه رخصة عظيمة، بل لنا وجه إن مس جدار الكعبة لا يضر، لخروج معظم بدنه عن البيت

Kesimpulannya, dalam penetapan Syadzarwan masih diperselisihkan ulama’ apakah dari semua sisi kakbah?,
Menurut Imam Haramain dan Imam Ramli Shogir tidak terdapat bagian Syadzarwan kecuali khusus di arah pintu kakbah, dan adapun Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshori dan yang mendukungnya, beliau tidak mengatakan Syadzarwan dari arah pintu kakbah, (Tidak masalah bagi muhrim yang menyentuhnya jika datang dari arah selain pintu kakbah, artinya beliau tidak mensyaratkan Badan muhrim harus keluar dari Syadzarwan yang bagian dari arah selain pintu), sedangkan Imam Abu Hanifah tidak mengatakan bahwa semua sisi Ka’bah terdapat Syadzarwan, dalam hal ini (pendapat Imam Abu Hanifah) tentu terdapat rhukhsah /kemudahan yang besar bagi kita. Bahkan ada satu pendapat bahwa Sesungguhnya hukum sekedar menyentuh dinding ka’bah (dari bagian manapun) adalah tidak membatalkan tawaf sebab bagian besar anggota tubuh si muhrim jelas berada di luar Ka’bah. I’anah at-Thalibin, Juz 2 hal.336

TENTANG MENYENTUH KA’BAH APABILA ADA WEWANGIAN YANG MELEKAT DI KA’BAH BAGI YANG BERIHROM :

:العبارة
واما بخصوص مس المحرم لطيب الكعبة؛ فإن كانالمحرم يريد التبرك بها فجائز، وإن شم الطيب أو علقت به رائحته؛ لأن الرائحة انتقلت بالمجاورة

وأما إذا وضع يده على الكعبة ولا يظن أن بها طيبا أو ظنه طيبا يابسا فبان رطبا وعلق بيده فلا شيء عليه، وعليه غسله، لكن إن تعمد ذلك افتدى، وهذا مذهب الشافعي.

وأما إذا تعذر الغسل لزحام ونحوه فيمكنه الترخص بمذهب المالكية القائل بعدم وجوب الغسل ما لم يكثر؛ للضرورة
، ولأننا مأمورون بالقرب من الكعبة، وهي لا تخلو من الطيب غالبا.

Arti pokoknya:

Jika si muhrim menyentuh dinding ka’bah dengan tangannya dan sebelumnya punya praduga kuat bahwa di kain kakbah tidak ada wewangiannya atau sudah punya praduga kuat ( ظن) bahwa wewangian ADA namun kering menurutnya. Namun Ternyata melekat maka tawafnya tidak batal.

Oleh sebab itu bersegeralah mencuci tangan itu.
Dan seandainya sulit keluar ( sampai menyakiti diri ) karena ramai sekali sehingga tak ada jalan gampang menerobos keluar mncari air maka kita TAQLID ke Madzhab Maliki saja.
Disini tidak mewajibkan membasuh selamu tidak terlalu banyak bagian yang dikena minyak wangi kain kakbah tersebut.

Namun apabila hal ini dilakukan secara sengaja maka dia WAJIB BAYAR FIDYAH. ini madzhab syafi’i.

Wallahu A’lamu Bishshawab…

H002. HUKUM MEWAKILKAN HAJI

Pelaksanaan+Ibadah+haji

 

PERTANYAAN :

Assalamualaikum ustadz..

Diskripsi ;
Diantara syarat sebelum berangkat haji adalah para jamaah wajib tes kesehatan terlebih dahulu. Namun tanpa diduga, banyak para Jamaah yang mendadak sakit ketika tengah melakukan ritual haji.

Pertanyaan :
Apakah bagi seseorang yang sakit ketika tengah menunaikan ritual haji diperbolehkan mewakilkan orang lain supaya menyempurnakan hajinya?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Boleh, bahkan wajib sebab mewakilkan keseluruhan ritual haji tatkala sakit saja diperbolehkan apalagi hanya mewakilkan sebagiannya saja. Tapi bagi orang yang mati di tengah-tengah dia melakukan ibadah haji maka dia dicegah dari menyempurnakan ibadah haji alasannya ialah karena dia sudah keluar dari keahlian(kecakapan ke pantasan)secara keseluruhan.

Referensi :

(فتاوي الرملي,الجزء ٢,صحيفۃ ٩٣)
)سءل عن حاج ترك طواف الاءفاضۃ وجاء الی مصر مثلا ثم صار معضوبا(اي مقطوعا) بشرطه فهل يجوز له ان يستنيب في هذا الطواف او في غيره من ركن او واجب(فاءجاب) باءنه يجوز له ذلك بل يجب عليه لاءن الاءنا بۃ اذا اجزاءت في جميع النسك ففي بعضه اولی, لا يقال النسك عبادۃ بدنيۃ فلا يبنی فيه فعل شخص علی فعل غيره لاءن محله عند موته او قدرته علی تمامه, واما عند العجز عنه فيبني ,فقط قالوا ان الحاج لو وقف بعرفۃ مجنونا وقع حجه نفلا, واستشكل بوقوف المغمی عليه فاءجيب باءن الجنون لا ينافي الوقوع نفلا,بخلاف المغمی عليه,وقالو ان للولي ان يحرم عن المجنون ابتداء ففي الدوام اولی ان يتم حجه ويقع نفلا,بخلاف المغمی عليه, وقالوا ان للولي ان يحرم عن الصبي المميز وغير المميز والمجنون, ويفعل ما عجز كل منهما عنه,ففي هاتين المساءلتين تم النسك النفل بالاءنابۃ, مع انه لا اثم علی من وقع له بترك اتمامه, بخلاف مساءلتنا, لقوله صلی اﷲ عليه وسلم (اذا امرتكم باءمر فاءتوا منه ما استطعتم) ولاءن الميسور لا يسقط بالمعسور, وقالوا ان من عجز عن الرمي وقته وجب عليه ان يستنيب فيه,وعللوه باءن الاءستتابۃ في الحج جاءزۃ,وكذالك في ابعاضه, فنزلوا فعل ماءذونه منزلۃ فعله, فاءذا كان هذا في الواجب الذي يجبر تركه ولو مع القدرۃ عليه بدم, فكيف بركن النسك, وانما امتنع اتمام نسك من مات في اثناءه لخروجه عن الاءهليۃ بالكليۃ, انتهی.

PERIHAL BADAL HAJI

Masalah menghajikan orang lain Pendapat ulama yang mengatakan boleh menghajikan orang lain, dengan syarat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat sehingga tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji namun ia kuat secara finansial. Ulama Haanfi mengatakan orang yang sakit atau kondisi badanya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji namun mempunyai harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk menghajikannya, apalagi bila sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib meninggalkan wasiat agar dihajikan. Mazhab Maliki mengatakan menghajikan orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Untuk yang telah meninggal sah menghajikannya asalkan ia telah mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mazhab Syafi’i mengatakan boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua atau sakit sehingga tidak sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua orang yang telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, Ahli warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ditinggalkan, kalau ada. Ulama syafi’i dan Hanbali melihat bahwa kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang sifatnya tidak langsung, yaitu mereka yang secara fisik tidak mampu, namun secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji.

Dalil-dalil :

1. Hadist riwayat Ibnu Abbas “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?” Jawab Rasulullah “Ya, berhajilah untuknya” (H.R. Bukhari Muslim dll.).

2. Hadist riwayat Ibnu Abbas ” Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Rasulullah s.a.w. bertanya “Rasulullah!, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab “Hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi” (H.R. Bukhari & Nasa’i).

3. “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata “Ayahku meninggal, padahal dipundaknya ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab “Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib membayarnya ? “Iya” jawabnya. Rasulullah berkata :”Berahjilah untuknya”. (H.R. Dar Quthni)

4. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata “Labbaik ‘an Syubramah” (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?”. “Dia saudaraku, Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah”, lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan “Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah”. Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur’an. Dalam sebuah hadist riwayat Ubay bin Ka’ab pernah mengajari al-Qur’an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja”.(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah” (H.R. Abu Dawud).

Sebagian ulama Hanafi dan mayoritas ulama Syafi’i dan Hanbali mengatakan boleh saja menyewa orang melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakilkan, dengan landasan hadist yang mengatakan “Sesungguhkan yang layak kamu ambil upah adalah Kitab Allah” (Dari Ibnu Abbas H.R. Bukhari). dan hadist-hadiat yang mengatakan boleh mengambil upah Ruqya (pengobatan dengan membaca ayat al-Qur;an). Ulama yang mengatakan boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum meninggal. Ulama Maliki mengatakan makruh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, karena hanya upah mengajarkan al-Qur’an yang diperbolehkan dalam masalah ini menurutnya. Menyewa orang melaksanakan ibadah haji juga hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan telah mewasiatkan untuk menyewa orang melakukan ibadah haji untuknya. Kalau tidak mewasiatkan maka tidak sah.

Syarat-syarat menghajikan orang lain :

1. Niyat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram. Dengan mengatakan, misalnya, “Aku berniyat melaksanakan ibadah haji atau umrah ini untuk si fulan”.

2. Orang yang dihajikan tidak mampu melaksanakan ibadah haji, baik karena sakit atau telah meninggal dunia. Halangan ini, bagi orang yang sakit, harus tetap ada hingga waktu haji, kalau misalnya ia sembuh sebelum waktu haji, maka tidak boleh digantikan.

3. Telah wajib baginya haji, ini terutama secara finansial.

4. Harta yang digunakan untuk biaya orang yang menghajikan adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.

5. Sebagian ulama mengatakan harus ada izin atau perintah dari pihak yang dihajikan. Ulama Syafi’i dan Hanbali mengatakan boleh menghajikan orang lain secara sukarela, misalnya seorang anak ingin menghajikan orang tuanya yang telah meninggal meskipun dulu orang tuanya tidak pernah mewasiatkan atau belum mempunyai harta untuk haji.

6. Orang yang menghajikan harus sah melaksanakan ibadah haji, artinya akil baligh dan sehat secara fisik.

7. Orang yang menghajikan harus telah melaksanakan ibadah haji, sesuai dalil di atas. Seorang anak disunnahkan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Dalam sebuah hadist Rasulullah berkata kepada Abu Razin “Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah”. Dalam riwayat Jabir dikatakan “Barang siapa menghajikan ayahnya atau ibunya, maka ia telah menggugurkan kewajiban haji keduanya dan ia mendapatkan keutamaan sepuluh haji”. Riwayat Ibnu Abbas mengatakan “Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua orang tuanya atau membayar hutangnya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat nanti bersama orang-orang yang dibebaskan” (Semua hadist riwayat Daruquthni). Demikian, semoga membantu.

الحديث)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا : رواه مسلم(1149 )

المغني ابن قدامة جزء 3 ص185 :

فصل : ولا يجوز أن يستنيب من يقدر على الحج بنفسه في الحج الواجب إجماعا . قال ابن المنذر : أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة الإسلام ، وهو قادر على أن يحج ، لا يجزئ عنه أن يحج غيره عنه ، والحج المنذور كحجة الإسلام ، في إباحة الاستنابة عند العجز ، والمنع منها مع القدرة ; لأنها حجة واجبة ، فأما حج التطوع ، فينقسم أقساما ثلاثة

أحدها ، أن يكون ممن لم يؤد حجة الإسلام ، فلا يصح أن يستنيب في حجة التطوع ، لأنه لا يصح أن يفعله بنفسه ، فبنائبه أولى .

الثاني ، أن يكون ممن قد أدى حجة الإسلام ، وهو عاجز عن الحج بنفسه ، فيصح أن يستنيب في التطوع ، فإن ما جازت الاستنابة في فرضه ، جازت في نفله ، كالصدقة . الثالث ، أن يكون قد أدى حجة الإسلام ، وهو قادر على الحج بنفسه ، فهل له أن يستنيب في حج التطوع ؟ فيه روايتان ; إحداهما ، يجوز . وهو قول أبي حنيفة ; لأنها حجة لا تلزمه بنفسه ، فجاز أن يستنيب فيها ، كالمعضوب . والثانية ، لا يجوز . وهو مذهب الشافعي ; لأنه قادر على الحج بنفسه ، فلم يجز أن يستنيب فيه ، كالفرض

شرح النووي على مسلم جزء 8 ص 27

والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه ، واعتذر القاضي عياض عن مخالفة مذهبهم – أي : المالكية – لهذه الأحاديث في الصوم عن الميت والحج عنه بأنه مضطرب ، وهذا عذر باطل ، وليس في الحديث اضطراب ، ويكفى في صحته احتجاج مسلم به في صحيحه

فتح الباري جزء 4 ص70

واتفق من أجاز النيابة في الحج على أنها لا تجزى في الفرض إلا عن موت أو عضَب – أي : شلل – ، فلا يدخل المريض ؛ لأنه يرجى برؤه ، ولا المجنون ؛ لأنه ترجى إفاقته ، ولا المحبوس ؛ لأنه يرجى خلاصه ، ولا الفقير ؛ لأنه يمكن استغناؤه

المجموع شرح المهذب جزء 7 ص 96

قال المصنف رحمه الله تعالى ( وتجوز النيابة في حج الفرض في موضعين ( أحدهما ) : في حق الميت إذا مات وعليه حج ، والدليل عليه حديث بريدة ( والثاني ) : في حق من لا يقدر على الثبوت على الراحلة إلا بمشقة غير معتادة ، كالزمن والشيخ الكبير ، والدليل عليه ما روى ابن عباس رضي الله عنه ، أن امرأة من خثعم أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت : يا رسول الله إن فريضة الله في الحج على عباده ، أدركت أبي شيخا كبيرا ، لا يستطيع أن يستمسك على الراحلة ، أفأحج عنه ؟ قال : نعم ، قالت أينفعه ذلك ؟ قال : نعم ، كما لو كان على أبيك دين فقضيته نفعه : ولأنه أيس من الحج بنفسه فناب عنه غيره كالميت ، وفي حج التطوع قولان ( أحدهما ) : لا يجوز ; لأنه غير مضطر إلى الاستنابة فيه ، فلم تجز الاستنابة فيه كالصحيح ( والثاني ) أنه يجوز ، وهو الصحيح ; لأن كل عبادة جازت النيابة في فرضها جازت النيابة في نفلها كالصدقة ، فإن استأجر من يتطوع عنه ، وقلنا : لا يجوز ، فإن الحج للحاج ، وهل يستحق الأجرة ؟ فيه قولان ( أحدهما ) : أنه لا يستحق ، لأن الحج قد انعقد له ، فلا يستحق الأجرة كالصرورة ( والثاني ) : يستحق ; لأنه لم يحصل له بهذا الحج منفعة ; لأنه لم يسقط به عنه فرض ولا حصل له به ثواب بخلاف الصرورة ، فإن هناك قد سقط عنه الفرض .

( فأما ) الصحيح الذي يقدر على الثبوت على الراحلة ، فلا تجوز النيابة عنه في الحج ; لأن الفرض عليه في بدنه ، فلا ينتقل الفرض إلى غيره إلا في الموضع الذي وردت فيه الرخصة ، وهو إذا أيس وبقي فيما سواه على الأصل ، فلا تجوز النيابة عنه فيه ( وأما ) المريض ، فينظر فيه ، فإن كان غير مأيوس منه لم يجز أن يحج عنه غيره ; لأنه لم ييأس من فعله بنفسه ، فلا تجوز النيابة عنه فيه كالصحيح فإن خالف وأحج عن نفسه ثم مات ، فهل يجزئه عن حجة الإسلام ؟ فيه قولان

أحدهما : يجزئه ; لأنه لما مات تبينا أنه كان مأيوسا منه :والثاني : لا يجزئه ; لأنه أحج وهو غير مأيوس منه في الحال ، فلم يجزه ، كما لو برئ منه ، وإن كان مريضا مأيوسا منه جازت النيابة عنه في الحج ; لأنه مأيوس منه فأشبه الزمن والشيخ الكبير :فإن أحج عن نفسه ثم برئ من المرض ، ففيه طريقان ( أحدهما ) أنه كالمسألة التي قبلها ، وفيها قولان ( والثاني ) أنه يلزمه الإعادة قولا واحدا ; لأنا تبينا الخطأ في الإياس ، ويخالف ما إذا كان غير مأيوس منه فمات ، لأنا لم نتبين الخطأ ; لأنه يجوز أنه لم يكن مأيوسا منه ، ثم زاد المرض ، فصار مأيوسا منه ، ولا يجوز أن يكون مأيوسا منه ، ثم يصير غير مأيوس منه.

Wallahu a’lamu bisshowab..