Kategori
005. BAB MASAJID Uncategorized

HUKUM MEMBANGUN MASJID BARU DALAM SATU KOTA ATAU DESA KETIKA MASJD YANG LAMA MAMPU MENAMPUNG JAMAAH

Hukum Pembangunan Masjid  Baru Dalam satu desa atau kata ketika Masjid yang  lama  Mampu Menampung Jamaah 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Pembangunan masjid merupakan salah satu amalan yang sangat mulia dalam Islam, karena masjid berperan sebagai pusat ibadah dan kegiatan keagamaan bagi umat Muslim. Namun, ada beberapa pandangan dan pertimbangan terkait pembangunan masjid baru di suatu daerah, terutama ketika masjid yang sudah ada masih cukup untuk menampung jamaah yang ada.

Dalam beberapa kasus, pembangunan masjid baru dilakukan meskipun masjid lama masih berfungsi dengan baik dan mampu memenuhi kebutuhan jamaah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan tujuan dari pembangunan tersebut.

  1. Bagaimana hukum pembangunan masjid baru disatu desa sementara masjid yang lama masih memuat menampung jamaah?
  2. Apa yang dimaksud Kota atau desa?

Waalikum salam

Jawaban.
Membangun masjid lebih dari satu dalam satu desa menurut pendapat yang kuat) adalah dibolehkan secara mutlak, dengan syarat jumlah jamaah di setiap masjid tidak kurang dari empat puluh orang. Jika kurang dari itu, maka mereka bergabung dengan jamaah terdekat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengimami shalat Jumat dengan jumlah yang lebih sedikit. Begitu pula para salaf saleh setelah beliau. Dan pendapat yang mengatakan tidak boleh kecuali jika sulit berkumpul di satu tempat tidak ada dalil yang jelas atau yang mendekati jelas, baik dari nash (teks Al-Qur’an dan hadis) maupun dari qiyas (analogi). Bahkan, tujuan syariat yang ingin dicapai adalah menunjukkan kekuasaan agama Islam pada hari itu dan meninggikan suara di atas mimbar untuk menyeru kepada Allah dan memberi nasihat kepada umat Islam. Semakin banyak mimbar, semakin jelas tanda-tanda kekuasaan Islam dan semakin terangkat kejayaan agama Islam di berbagai tempat sekaligus jika setiap masjid dipenuhi oleh empat puluh orang atau lebih. Inilah yang tampak jelas bagi saya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Referensi.


قرة العين فتاوى إسماعيل عثمان زين ص ٩٠-٩١

حكم تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة
مسألة:
ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة مع تحقق العدد المعتبر في كل منهما مسجد من مساجدها. (١) فهل تصح جمعة الجميع أو فيه تفصيل فيما يظهر لكم ؟

Hukum Banyaknya Shalat Jumat di Satu Kota atau Desa

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang banyaknya shalat Jumat di satu kota atau desa, padahal jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat sudah terpenuhi di masing-masing masjid?

الجواب
“أما مسألة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقًا، بشرط أن لا ينقص عدد كل عن أربعين رجلاً، فإن نقص عن ذلك انضموا إلى أقرب جمعة إليهم إذ لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جمع بأقل من ذلك. وكذلك السلف الصالح من بعده، والقول بعدم الجواز إلا عند تعذر الاجتماع في مكان واحد ليس عليه دليل صريح ولا ما يقرب من الصريح لا نصًا ولا شبهه، بل إن الستر المقصود بالشريعة هو في إظهار الشعار في ذلك اليوم وأن ترفع الأصوات على المنابر بالدعوة إلى الله والنصح للمسلمين. فكلما كانت المنابر أكثر كانت الشعارات أظهر وتبلوّت عزة دين الإسلام في آن واحد في أماكن متعددة إذا كان كل مسجد عامرًا بأربعين فأكثر. هذا هو الظاهر لي. والله ولي التوفيق.
تخصيص المسجد لطائفة معينة)
سؤال:
ما قولكم في بناء مسجدين أو أكثر في قرية واحدة لا لكثرة المجمعين فيها؛ بل لوقوع التشاجر والعداوة بينهم؛ ففريق منهم يمنع آخر عن أن يصلي في مسجده، وكذلك الفريق الآخر يمنعه عن أن يصلي في مسجده؟
الجواب:
والله الموفق للصواب: لا مانع من كثرة المساجد في قرية واحدة. وأما ما ذكر في السؤال من كون كل مسجد منها يختص لطائفة ويمنعون الآخرين من الصلاة فيه فهذا لا يجوز، فينبغي للعلماء المصلحين أن يعالجوا مثل هذه المشاكل بما يرفع الوحشة والبغضاء ويوجب الألفة والمودة بين المسلمين.
(1). كون إقامة الجمعة في المسجد ليس شرطًا لها عند جمهور الفقهاء الحنفية والشافعية والحنابلة خلافا للمالكية حيث يشترطون المسجد الجامع لصحة إقامتها. والله أعلم.

وأما بالنسبة لصلاة الجمعة فمذهب الشافعية أن تعدد صلاة الجمعة في قرية واحدة لا يجوز إلا لحاجة. وقد ذكروا أسباب الحاجة، وأن منها مثل ما ذكر في السؤال من الشحناء القبلية وخوف الفتنة. نسأل الله أن يهدي المسلمين أجمعين وأن يؤلف بين قلوبهم. والله سبحانه وتعالى أعلم.
مقدار المسافة التي يجب منها حضور الجمعة)
سؤال:
كم مقدار المسافة التي يجب على أهل الجمعة أن يصليها في مسجده. وهل يصح لشخص أن يصلي الجمعة في مسجد آخر؟”

“Adapun masalah banyaknya shalat Jumat, maka yang zahir (pendapat yang kuat) adalah dibolehkan secara mutlak, dengan syarat jumlah jamaah di setiap masjid tidak kurang dari empat puluh orang. Jika kurang dari itu, maka mereka bergabung dengan jamaah terdekat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengimami shalat Jumat dengan jumlah yang lebih sedikit. Begitu pula para salaf saleh setelah beliau. Dan pendapat yang mengatakan tidak boleh kecuali jika sulit berkumpul di satu tempat tidak ada dalil yang jelas atau yang mendekati jelas, baik dari nash (teks Al-Qur’an dan hadis) maupun dari qiyas (analogi). Bahkan, tujuan syariat yang ingin dicapai adalah menunjukkan kekuasaan agama Islam pada hari itu dan meninggikan suara di atas mimbar untuk menyeru kepada Allah dan memberi nasihat kepada umat Islam. Semakin banyak mimbar, semakin jelas tanda-tanda kekuasaan Islam dan semakin terangkat kejayaan agama Islam di berbagai tempat sekaligus jika setiap masjid dipenuhi oleh empat puluh orang atau lebih. Inilah yang tampak jelas bagi saya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Memperuntukkan Masjid untuk Golongan Tertentu

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang membangun dua masjid atau lebih di satu desa, bukan karena banyaknya jamaah, tetapi karena adanya perselisihan dan permusuhan di antara mereka, sehingga satu kelompok melarang kelompok lain untuk shalat di masjidnya, dan begitu pula sebaliknya?
Jawaban:
Wallahu a’lam bisshawab (Hanya Allah yang mengetahui kebenaran): Tidak ada larangan untuk banyaknya masjid di satu desa. Adapun apa yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu setiap masjid diperuntukkan bagi kelompok tertentu dan mereka melarang orang lain untuk shalat di sana, maka hal ini tidak dibolehkan. Para ulama yang shalih seharusnya mengatasi masalah seperti ini dengan cara yang dapat menghilangkan permusuhan dan kebencian serta menimbulkan keakraban dan kasih sayang di antara umat Islam.
(1). Mendirikan shalat Jumat di masjid bukanlah syarat bagi sahnya shalat Jumat menurut jumhur ulama Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, berbeda dengan mazhab Maliki yang mensyaratkan masjid jami’ untuk sahnya shalat Jumat. Wallahu a’lam.
Adapun mengenai shalat Jumat, maka mazhab Syafi’i berpendapat bahwa banyaknya shalat Jumat di satu desa tidak dibolehkan kecuali karena suatu kebutuhan. Mereka telah menyebutkan beberapa sebab kebutuhan, di antaranya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu permusuhan antar suku dan kekhawatiran akan fitnah. Kita mohon kepada Allah agar menunjuki seluruh umat Islam dan menyatukan hati mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.

الميزان الكبرى (١/٢٠٩)

(وقال القرافي يحكي ونقل ذكر الكفارة في الأبدال والأوقات بحسب الداجة واختلف العلماء في جواز تعدد الجمعة في البلد الواحد فمن قال جوازها قال إنما تجوز في الضرورة ومساواة الكل – فإن كان هذا القول مقبولاً فالأولى وقوف الناس عند إمام واحد لئلا يكثر الجدل والاختلاف في الأوقات وأما من قال جواز ذلك مطلقاً فإنه لو كان كذلك لكان عندنا في كل ناحية مساجد كثيرة والناس يترددون بينها والأمر عندنا غير مقيد بعلماء بعينهم وجال ذكره ذلك وأنه في حبس واحد.

فتاوى السبكي (١٨٧-١٨٨)

واختلف مع كثير من مشايخنا في هذا المعنى فوجدت في أذهان أكثرهم أن القول بجواز التعدد مع عدم الحاجة رواية عن محمد ولقد فحصت ونقبت الكثير في كتبه فلم أر أحداً صرح بجواز التعدد عند عدم الحاجة بل بعضهم أطلق عن جواز التعدد وبعضهم قيد بالحاجة.

حاشية على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح، (١/٣٢٧)

ومقابل الأصح ما في البدايع أن ظاهر الرواية جوازها في موضعين فلا تجوز في أكثر من ذلك وعليه الاعتمد اه فإن المذهب الجواز مطلقاً الى ان قال – والأصح إطلاق الجواز في مواضع لا إطلاق الدليل اهـ

الإنصاف للشيخ علي بن سليمان بن أحمد المرداوي (٤٠١-٢/٤٠٠)

قال الزرقشي هو المشهور ومختار الأصحاب وأطلقها في الفائق وعنه: لا يجوز إقامتها في أكثر من موضع واحد وأطلقها في المحرر.

Al-Mīzān al-Kubrā (1/209)

“Al-Qarafi meriwayatkan dan menyebutkan tentang kafarat dalam pengganti dan waktu sesuai dengan kondisi yang berlaku. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mendirikan shalat Jumat di lebih dari satu tempat dalam satu kota. Sebagian ulama yang membolehkan mengatakan bahwa hal itu hanya diperbolehkan karena adanya kebutuhan mendesak dan kesetaraan di antara semua pihak. Jika pendapat ini dapat diterima, maka lebih utama jika masyarakat berkumpul di belakang satu imam agar tidak terjadi banyak perdebatan dan perselisihan terkait waktu pelaksanaan. Adapun bagi mereka yang membolehkan hal itu secara mutlak, jika demikian maka di setiap sudut kota akan terdapat banyak masjid dan orang-orang akan berpindah-pindah di antara masjid tersebut. Namun, di sisi kami, masalah ini tidak dibatasi oleh ulama tertentu dan pendapat ini diungkapkan dalam konteks tertentu.”

Fatāwā as-Subkī (187-188)

“Aku berbeda pendapat dengan banyak guru kami dalam masalah ini. Aku mendapati bahwa di benak sebagian besar dari mereka, pendapat tentang bolehnya mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat tanpa adanya kebutuhan adalah riwayat dari Muhammad (bin Hasan as-Syaibani). Aku telah meneliti dan menelaah dengan seksama kitab-kitabnya, namun aku tidak menemukan seorang pun yang dengan jelas membolehkan pendirian shalat Jumat di beberapa tempat tanpa adanya kebutuhan. Sebagian ulama membolehkan secara umum, sedangkan sebagian lainnya membatasinya dengan adanya kebutuhan.”

Hāsyiyah ‘alā Marāqī al-Falāḥ Syarḥ Nūr al-Īdhāḥ (1/327)

“Pendapat yang berseberangan dengan yang paling shahih adalah apa yang terdapat dalam kitab al-Badā’i bahwa riwayat yang tampak adalah kebolehan mendirikan shalat Jumat di dua tempat, dan tidak diperbolehkan di lebih dari itu. Pendapat ini dipegang kuat. Pendapat yang paling shahih adalah kebolehan secara mutlak di beberapa tempat, bukan kebolehan yang bersifat umum tanpa batasan dalil.”

 

Al-Inṣāf oleh Syaikh ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardāwī (2/400-401)

“Az-Zarkasyi berkata, pendapat yang masyhur dan dipilih oleh para ulama madzhab adalah kebolehan mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat. Hal ini disebutkan secara umum dalam kitab al-Fā’iq. Disebutkan pula bahwa tidak boleh mendirikan shalat Jumat di lebih dari satu tempat, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muḥarrar.”

Jawaban N0.2

Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi
kota, desa, atau perkampungan.
Diantara mereka berpendapat

Suatu kota (masr) tidak dianggap sebagai tempat yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat jika tidak memiliki pemimpin yang sah (hakim syar’i), polisi, dan pasar. Sementara itu, sebuah desa (balad) tidak dianggap memenuhi syarat jika tidak memiliki sebagian dari fasilitas tersebut. Sedangkan sebuah perkampungan (qaryah) harus memiliki semua

Yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah kumpulan bangunan tempat tinggal yang padat, baik itu kota, desa, atau perkampungan. Syaratnya adalah harus ada pemimpin yang sah, polisi, dan pasar. Kota adalah tempat yang memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan desa harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

Referensi :

حاشية البجيرمي على المنهج ج ١ ص ٣٥٠

أن المصر ما كان فيها حاكم شرعي وشرطي وسوق والبلد ما خلت عن بعض ذلك والقرية ما خلت عن الجميع 

إعانة الطالبين ج ٢ ص ٥٩

وقوله: بمحل معدود من البلد) المراد بالبلد: أبنية أوطان المجمعين، سواء كانت بلدا أو قرية أو مصرا، وهو ما فيه حاكم شرعي، وحاكم شرطي، وأسواق للمعاملة.والبلد: ما فيه بعض ذلك.والقرية ما خلت عن ذلك كله 

تحفة المحتاج ج ٢ ص ٣٤٢

قال ابن عجيل ولو تعددت مواضع متقاربة وتميز كل باسم فلكل حكمه .ا هـ .وإنما يتجه إن عد كل مع ذلك قرية مستقلة عرفا 

كفاية الأخيار  

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ 

كفاية الأخيار

إِذَا تَقَارَبَ

قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ 

الفتاوى الفقهية الكبرى ج ٢ صـــ ٤٥٧

( وسئل )

أعاد الله علينا من بركاته لو اتصلت قريتان فهل يجوز تعدد الجمعة فيهما ؟ ( فأجاب ) بقوله الذي يظهر أنهم حيث عدوهما كالقرية الواحدة بالنسبة إلى مجاوزة عمرانهما في السفر امتنع تعددها وإلا جاز ويدل لذلك قولهم في توجيه تعدد الجمعة في بغداد أنها كانت قرى ثم اتصلت ولا فرق حيث اتصلتا الاتصال الذي ذكروه بين أن يتميز كل منهما باسم أو لا ولا بين أن يحجز بين بعض جوانبهما نهر أو لا .

مجموع فتاوى العلامة الفقيه المحقق الباحت المدقق الحبيب عبد الله بن عمر بن يحيى / ص ٥٣-٥٦

تعريف حد البلد والقرية وهي كما في الفتح وغيره الأبنية المجتمعة عرفا ولما قال في المنهاج في شروط الجمعة ((الثاني)) ان تقام في خطة ابنية (قال ابن حجر في التحفة) والمراد بالخطة كما هو ظاهر من كلامهم وصرح به جمع متقدمون محل معدود من البلد او القرية بان لم يجز لمريد السفر منها القصر فيه اهـ، ثم قال بعد كلام قال ابن عجيل ولو تعددت مواضع وتميز كل باسم فلكل حكمه اهـ وانما يتجه ان عد كل مع ذلك قرية مستقلة عرفا اهـ

فقوله ان عد الخ اي بحيث ان المسافر اذا خرج من احدهما الى جهة الاخرى يجوز له القصر قبل دخولها فهذا هو بيان العرف والاستقلال وسيأتي ما يؤيده ان شاء الله.


فكل قرية اتصل بناءها في العرف ببناء غيرها بحيث لم يتخلل بينهما شيء فهما بلدة واحدة، والمراد بالعرف الاتصال المعروف بين غالب دور البلد ومتى تخلل بينهما شيء مما ذكر او لم يتخلل لكن لم يتصل دورها الاتصال الغالب في دور البلدان فهما قريتان وهذا شيء يسير ولهذا قال في العباب والقريتان المتصلتان كالقرية لا المنفصلتان ولو يسيرا اهـ فانظر قوله يسيرا.

وقال في التحفة والقريتان ان اتصلتا عرفا فكقرية وان اختلفا اسما والا كفى مجاوزة قرية المسافر، وقول الماوردي ((ان الانفصال بذراع كاف)) في اطلاقه نظر والوجه ما ذكرته من اعتبار العرف ثم رأيت الاذرعي وغيره اعتمدوه اهـ.

فما نظر الشيخ الا في اطلاق الماوردي ان الفصل بذراع كاف من غير تقييد بان يعدهما العرف بالذراع منفصلتين فلو قيده بذلك لم يكن في كلامه نظر عند ابن حجر فتأمله بانصاف. وعلم من قوله وان اختلفا اسما الخ انه لا عبرة باتحاد الاسم ولاختلافه بل المدار على الانفصال والاتصال اتحد الاسم او تعدد.

وقال في النهاية والقريتان المتصلتان عرفا كالواحدة وان ختلف اسمها والا اكتفي بمجاوزة قرية المسافر، وقول الماوردي يكفي في الانفصال ذراع جري على الغالب والمعول عليه العرف اهـ، فالجمال الرملي موافق لابن حجر على اعتبار العرف في الانفصال والاتصال وقد جعل الفصل بالذراع الذي ذكره الماوردي هو الفصل في العرف غالبا وقد لا يكون هو الفصل في العرف في غير الغالب فليزد عليه حتى يحكم العرف بانهما منفصلتان فتدبره لتعلم به انه يحصل في العرف بشيء يسير.

وقال في فتح الجواد ولو انفصلت قريتان ولو يسيرا لم يشترط مجاوزة الاخرى اهـ. فتأمل قوله ولو يسيرا ونحوه في شرح المختصر

Ringkasan Umum
Teks-teks di atas membahas syarat-syarat berdirinya shalat Jumat dalam Islam, khususnya terkait dengan jumlah penduduk yang harus ada di suatu tempat. Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi “tempat” atau “daerah” yang dimaksud, apakah itu sebuah kota, desa, atau perkampungan. Mereka juga membahas kriteria yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya, seperti adanya batas-batas fisik, jumlah penduduk, dan keberadaan fasilitas umum.

Terjemah dan Penjelasan dari beberapa referensi diatas sebagai berikut:

Hasyiah al-Bajuri:

“Suatu kota (masr) tidak dianggap sebagai tempat yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat jika tidak memiliki pemimpin yang sah (hakim syar’i), polisi, dan pasar. Sementara itu, sebuah desa (balad) tidak dianggap memenuhi syarat jika tidak memiliki sebagian dari fasilitas tersebut. Sedangkan sebuah perkampungan (qaryah) harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

  • Penjelasan: Teks ini memberikan syarat-syarat minimal untuk sebuah tempat agar bisa dijadikan tempat shalat Jumat.

I’anat al-Talibin:
“Yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah kumpulan bangunan tempat tinggal yang padat, baik itu kota, desa, atau perkampungan. Syaratnya adalah harus ada pemimpin yang sah, polisi, dan pasar. Kota adalah tempat yang memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan desa harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

  • Penjelasan: Teks ini memperkuat pendapat sebelumnya dan memberikan definisi yang lebih rinci tentang “kota”.
    Tahfah al-Muhtāj
    “Jika ada beberapa tempat yang berdekatan dan masing-masing memiliki nama yang berbeda, maka setiap tempat memiliki hukumnya sendiri. Namun, jika setiap tempat dianggap sebagai satu desa secara umum, maka hukumnya menjadi berbeda.”
  • Penjelasan: Teks ini membahas kasus di mana ada beberapa tempat yang berdekatan.

Kafiyat al-Akhyaar:

Teks ini membahas syarat-syarat bagi seseorang untuk dianggap sebagai bagian dari jumlah 40 orang yang diperlukan untuk menyelenggarakan shalat Jumat.

  • Penjelasan: Bagian ini tidak secara langsung membahas definisi tempat, tetapi lebih kepada syarat-syarat bagi individu yang ikut dalam shalat Jumat.
    Kafiyat al-Akhyaar (lanjutan)
    “Jika ada dua desa yang berdekatan dan masing-masing memiliki kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat, meskipun jika digabungkan jumlahnya mencapai 40 orang, shalat Jumat tidak bisa dilaksanakan. Hal ini karena 40 orang tersebut tidak berada di tempat yang sama.”
  • Penjelasan: Teks ini membahas kasus di mana ada dua desa yang berdekatan tetapi jumlah penduduknya tidak mencukupi untuk shalat Jumat.

Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:

Teks ini membahas kasus di mana dua desa bergabung menjadi satu.

  • Penjelasan: Bagian ini membahas apakah shalat Jumat bisa dilaksanakan di dua tempat yang sebelumnya terpisah tetapi kemudian bergabung.

Kesimpulan:

  1. Hukum Pembangunan Masjid Baru di Desa atau Kota: Membangun masjid baru di satu kota atau desa diperbolehkan, dengan syarat bahwa jumlah jamaah di setiap masjid mencapai minimal 40 orang. Jika jumlah jamaah kurang dari itu, jamaah tersebut dianjurkan untuk bergabung dengan masjid terdekat. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan shalat Jumat dapat berlangsung sesuai dengan tuntunan syariat.
  2. Kota dan Desa dalam Konteks Syariah: Kota (masr) atau desa (balad) didefinisikan berdasarkan keberadaan pemimpin yang sah, pasar, dan fasilitas lainnya. Sebuah kota dianggap memenuhi syarat jika memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan sebuah desa harus memiliki semua fasilitas ini. Jika dua tempat berdekatan memiliki syarat dan jumlah jamaah yang mencukupi, maka masing-masing dapat melaksanakan shalat Jumat secara mandiri.
  3. Perbedaan Masjid Berdasarkan Golongan: Membangun masjid untuk golongan tertentu yang melarang orang lain shalat di dalamnya tidak dibolehkan. Para ulama dianjurkan untuk menyelesaikan permasalahan yang memecah belah umat Islam agar tercipta persatuan dan kasih sayang.

Secara keseluruhan, pembangunan masjid baru diizinkan selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan, dan pembangunan masjid tidak boleh dilakukan semata-mata untuk kepentingan golongan tertentu yang dapat memecah belah umat.Wallahu A’lam bish-shawab

Kategori
005. BAB MASAJID Bahtsul Masail Uncategorized

HUKUMNYA ISTIRAHAT ( TIDUR DIMASJID)

HUKUMNYA ISTIRAHAT/ TIDUR DIMASJID

Assalamualaikum.

Masjid merupakan “Baitullah ” satu-satu tempat yang mulia didunia sebagai sarana ibadah, ber sujud kepada Allah, dari keutamaan dan kemuliaannya hingga ia akan didatangkan oleh Allah melalui malaikat dihari kiamat yaitu mana kala umat takut melewati shirath yang dibentangkan diatasnya api neraka menuju surga. Hal ini bisa terjadi bagi umat yang hatinya ( وقلبه معلق بالمساجد) terhubung setiap saat dengan masjid, bahkan menjadi sebab memperoleh naungan ketika tiada naungan kecuali Naungan Allah yang Maha Agung.

Studi kasus:

Saya berjalan melewati sebuah jalan hendak mememenuhi kebutuhan dan saya sempat melihat di salah satu masjid terdapat rombongan istrahat dimasjid dan ke banyakan dari mereka tidur didamnya .

Pertanyaan

Bagaimana hukumnya tidur dalam masjid sebagaima deskripsi, mohon jawaban dan dalilnya.

Waalaikum salam.

JAWABAN :

Ulama’ berbeda pandang mengenai hukum tidur dalam masjid:

✔️Menurut Hanafiyah Makruh hukumnya tidur dimasjd
✔️Menurut Malikiyah tidur dimasjid Hukumnya mubah/boleh

✔️Menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya membolehkannya.

Catatan: Kebolehan tidur dimasjid dengan syarat selama tidak mengotori terhadap masjid dan tidak mengganggu kepada orang yang sholat.

الموسوعة الفقهية – ٢٧٤٥٨/٣١٩٤٩

خامسا: النوم في المسجد:
١٤ – اختلف الفقهاء فى حكم النوم  في المسجد: فذهب بعضهم إلى أنه مكروه، وأجازه بعضهم بقيود

الموسوعة الفقهية – ٢٣٩٥٥/٣١٩٤٩

الأكل والنوم في المسجد


٢١ – كره الحنفية الأكل فى المسجد  والنوم فيه وقيل: لا بأس للغريب أن ينام فيه، وأما بالنسبة للمعتكف فله أن يشرب ويأكل وينام في معتكفه لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يأوي في اعتكافه إلا إلى  المسجد، ولأنه يمكن قضاء هذه الحاجة  في المسجد فلا ضرورة إلى الخروج (١) .وأجاز المالكية إنزال الضيف بمسجد بادية وإطعامه فيه الطعام الناشف كالتمر لا إن كان مقذرا كبطيخ أو طبيخ فيحرم إلا بنحو سفرة تجعل تحت الإناء فيكره، ومثل مسجد البادية مسجد القرية الصغيرة وأما التصنيف في مسجد الحاضرة  فيكره ولو كان الطعام ناشفا كما هو ظاهر كلامهم.كما أجازوا النوم فيه بقائلة أي نهارا وكذا بليل لمن لا منزل له أو عسر الوصول إليه (٢) .أما المعتكف: فاستحبوا له أن يأكل فى المسجد أو في صحنه أو في منارته وكرهوا أكله خارجه، وأما النوم فيه مدة الاعتكاف فمن لوازمه، إذ يبطل اعتكافه بعدم  النوم فيه (٣) .وقال الشافعية: يجوز أكل الخبز والفاكهة والبطيخ وغير ذلك في  المسجد، فقد روي عن عبد الله بن الحارث بن جزء الزبيدي قال: كنا نأكل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم في المسجد الخبز واللحم (١) .قال: وينبغي أن يبسط شيئا خوفا من التلوث ولئلا يتناثر شيء من الطعام فتجتمع عليه الهوام، هذا إذا لم يكن له رائحة كريهة، فإن كانت كالثوم والبصل والكراث ونحوه فيكره أكله فيه ويمنع آكله من المسجد حتى يذهب ريحه، فإن دخل المسجد أخرج منه لحديث: من أكل ثوما أو بصلا فليعتزلنا، أو ليعتزل مسجدنا وليقعد في بيته (٢) .وقالوا أيضا بجواز النوم في  المسجد فقد نص عليه الشافعي  في الأم، فعن نافع أن عبد الله بن عمر أخبره: أنه كان ينام وهو شاب أعزب لا أهل له في مسجد النبي صلى الله عليه وسلم (٣) ، وأن عمرو بن دينار قال: كنا نبيت على عهد ابن الزبير في المسجد وأن سعيد بن المسيب والحسن البصري وعطاء والشافعي رخصوا فيه (٤) .


(الرابعة)

يجوز النوم في المسجد ولا كراهة فيه عندنا، نص عليه الشافعي رحمه الله في الأم واتفق عليه الأصحاب، وقال إبن المنذر في الأشراف: رخص في النوم في المسجد ابن المسيب وعطاء والحسن والشافعي . وقال ابن عباس : لاتتخذوه مرقدا: وروي عنه إن كنت تنام للصلاة فلابأس . وقال الأوزاعي يكره النوم في المسجد. وقال مالك : لابأس بذلك للغرباء ولاأرى ذالك للحاضر. وقال أحمد وإسحاق : إن كان مسافرا اوشبهه فلابأس ، وإن اتخذه مقيلا فلا. وقال البيهقي في السنن الكبير: روينا عن ابن مسعود وابن عباس ومجاهد وسعيد بن جبير ما يدل على كراهيتهم النوم في المسجد. اهـ

Artinya : Yang ke empat boleh tidur dalam masjid dan tidak makruh menurut kami (syafi’iyyah) seperti yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dikitab al-Umm dan disepakati oleh para pengikutnya, Ibnu Mundzir berkata dalam kitab al-Asyraaf “Ibn al-Musayyab, ‘Athaa’, al-Hasan dan as-Syafi’i memberi hukum ringan tentang tidur dalam masjid”.
Ibnu Abbas berkata “Tidak mengapa yang demikian (tidur di dalam masjid) bagi orang yang tengah berkelana tapi tidak bagi yang mukim”.
Ahmad dan Ishaq berkata “Bila ia tengah bepergian atau sejenisnya maka tidur di dalam masjid itu tidak masalah , namun bila dijadikan semacam tempat penginapan, maka jangan.. !!”.
✔Menurut Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kabiir “Kami meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Mujaahid dan sa’id Bin Jabir hukumnya makruh tidur dalam masjid”.
Al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab II/173

لكن إن كان المبيت فيه سيترتب عليه تلويث لفراشه أو دخول الحشرات أو البعوض ويكون في ذلك أذية للمصلين فيتعين تركه فكل مايؤذى المصلين يجب إبعاده عن المسجد ، بدليل النهى عن دخوله فى حق من تفوح منه رائحة تؤذي المصلين كرائحة الثوم والبصل ونحوهما

( Fatawa Asy Syabakah, Fatwa No. 96355 ) Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
005. BAB MASAJID Bahtsul Masail Uncategorized

Hukum menggunakan Aset masjid

Pertanyaan:
Mau bertanya, bagaimana hukum menyewa aset masjid…misalnya masjid punya BOR air kemudian disalurkan ke warga tapi mereka bayar setiap bulan ,mohon pejelasan kalau bisa dengan dalilnya kyai.

Jawaban:
Diperbolehkan bagi seseorang untuk menyewa aset masjid sebagamana deskripsi, masjid punya BOR air (artinya Mesin BOR air beserta airnya) yang disalurkan kemasyarakat, dengan cara menarik uang atau membayar setiap bulan (Pengguna membayar setiap bulan) dengan alasan karena hasil dari pendayagunaan aset tersebut kembali kepada kemaslahatan masjid.

Sebagaimana Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i mengatakan dalam kitab Takmilah al-Majmu’, juz 15, hal. 363).

وَوَظِيْفَةُ النَّاظِرِ حِفْظُ الْأُصُوْلِ وَثَمْرَتُهَا عَلَى وَجْهِ الْاِحْتِيَاطِ كَوَلِيِّ الْيَتِيْمِ كَمَا يَتَوَلَّى الْإِجَارَةَ وَالْعِمَارَةَ

“Kerja nadzir adalah menjaga pokok harta wakaf dan hasilnya atas jalan kehati-hatian seperti wali anak yatim, sebagaimana ia bekerja menyewakan dan membangun harta wakaf” Jika hasilnya barang wakaf itu lebih, apakah diperbolehkan untuk memperdagankan ( Menyiwakan) terhadap hasilnya ?

Jawaban: Sebagian dari ulama’ muta’akhkhiriin itu berfatwa tentang diperbolehkannya memperdagangkan (menyewakan)terhadap hasilnya barang wakaf.Tapi dengan syarat jika hasilnya barang wakaf itu milik masjid.

Referensi:

(قليوبي و عميرة – ج3 صــ 111)
فرع : فضل من ريع الوقف شيء هل يجوز الاتجار فيه ؟ أفتى بعض المتأخرين بالجواز إن كان للمسجد وإلا فلا . خاتمة : أراد بعض الناس ترميم الوقف وفي ريعه كفاية , نقل ابن دقيق العيد عن بعضهم منعه لما فيه من تعطيل غرض الواقف عليه من تحصيل الأجر . قال الزركشي : ولعله مفرع على أن الملك للواقف.
والله أعلم بالصواب……………
.

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 214 : SHOLAT TAHIYAH AL-MASJID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 214 :

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ اَلْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Qotadah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jika seseorang di antara kamu memasuki masjid maka janganlah ia duduk kecuali setelah sembahyang dua rakaat. Muttafaq Alaihi.

MAKNA HADITS :

Masjid merupakan rumah Allah yang mesti dimuliakan dan dihormati. Dia menjadikannya sebagai tempat yang suci. Rasulullah (s.a.w) menganjurkan agar setiap orang yang memasukinya mengerjakan sholat sunat dua rakaat sebagai penghormatan kepada masjid selain Masjid al-Haram, karena cara menghormatinya ialah dengan cara mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah ketika memasukinya bagi orang yang berhaji dan bagi orang yang sengaja hendak berthawaf. Sedangkan bagi orang yang menunggu waktu sholat atau menghadiri pengajian atau berniat i’tikaf, maka cara tahiyyat-nya (menghormatinya) adalah
mengerjakan sholat dua rakaat sama dengan keadaan ketika memasuki masjid-masjid yang lainnya.

Sholat sunat tahiyyat al-masjid atau menghormati masjid mesti dilakukan sebanyak dua rakaat yang merupakan batasan minimum rakaatnya. Jika seseorang memasuki masjid sedangkan sholat fardu telah didirikan, maka dia mestilah terus mengerjakan sholat fardu, sedangkan tahiyyah al-masjid sudah dianggap termasuk
di dalamnya jika dia telah berniat untuk mengerjakannya. Ini berlandaskan kepada hadits Rasulullah (s.a.w):

اذا أقيمت الصلاة فلا صلاة الا المكتوبة

Jika solat (fardu) telah diiqamahkan, maka tidak ada lagi solat selain solat fardu.

Kita mesti mengikuti perintah di dalam hadis ini dan jangan duduk di dalam masjid sebelum mengerjakan sholat sunat tahiyyah al-masjid.“`

FIQH HADITS :

1. Disyariatkan mengerjakan sholat sunat dua rakaat bagi orang yang memasuki masjid.

Imam al-Syafi’i berkata: “Tahiyyah al-masiid disyaratkan pada setiap
waktu hingga waktu khutbah sholat Jum’at, sekalipun dia memasukinya secara berulang kali.” Imam al-Syafi’i mentafsirkan hadis yang melarang mengerjakan sholat sunat sesudah Subuh hingga matahari terbit dan sholat sunat sesudah Asar hingga matahari terbenam hanya berlaku bagi sholat sunat yang tidak mempunyai sebab terdahulu. Beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) tidak pernah meninggalkan sholat sunat tahiyyah al-masjid walau dalam keadaan apa sekalipun. Baginda memerintahkan orang yang memasuki masjid dan terus
duduk dimana ketika itu baginda sedang menyampaikan khutbah untuk bangkit dari tempat duduknya dan mengerjakan sholat dua rakaat tahiyyah al-masjid. Seandainya Rasulullah (s.a.w) tidak memandang penting sholat tahiyyah al-masjid, tentu baginda tidak memerintahkan untuk mengerjakan sholat tersebut, karena waktu itu khutbah sedang disampaikan.”

Imam Malik berkata:
“Melakukan sholat tahiyyah al-masjid dalam waktu-waktu yang dilarang hukumnya makruh dan haram mengerjakannya ketika khutbah sedang disampaikan, begitu pula ketika matahari sedang terbit atau sedang tenggelam. Jika seseorang berulang kali memasuki masjid, maka mencukupi baginya mengerjakan sholat tahiyyah al-masjid yang pertama apabila dia segera memasuki masjid, tetapi jika masuk lagi ke dalam masjid dalam waktu yang lama, maka disunatkan baginya mengulangi lagi sholat sunat tahiyyah al-masjid itu.”

Imam Abu Hanifah berkata: “Melakukan sholat sunat tahiyyah al-masjid dalam waktu-waktu yang dilarang dan ketika khutbah sedang disampaikan hukumnya makruh. Sholat tahiyyah al-masjid tidak boleh dilakukan secara berulang setiap kali seseorang memasuki masjid, sebaliknya mencukupi baginya mengerjakan satu kali sholat dalam satu hari.”

Imam Ahmad berkata: “Disunatkan mengerjakan sholat tahiyyah al-masjid bagi setiap orang
yang memasuki masjid namun tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang dimakruhkan, yaitu sebelum dia duduk jika dalam keadaan bersuci, sekalipun dia memasukinya secara berulang kali. Akan tetapi, ia tidak boleh dilakukan ketika khatib telah memulakan khutbah, bukan pula masuk ke masjid untuk
mengerjakan sholat hari raya, dan bukan pula bagi yang bermukim di dalam masjid di mana dia keluar masuk ke dalamnya secara berulang.”

2. Dilarang duduk di dalam masjid kecuali sesudah mengerjakan sholat sunat dua rakaat. Ulama berbeda pendapat mengenai sholat tahiyyatul masjid baik waktunya berakhir setelah seseorang duduk di dalam masjid ataupun belum.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berkata: “Waktunya tidak terlewatkan karena seseorang terus duduk dalam memasuki masjid, meskipun dia duduk dalam waktu yang lama walaupun duduk sebelum mengerjakannya itu dimakruhkan. Ini berlandaskan kepada hadits mengenai seorang lelaki yang masuk ke dalam masjid dan kemudian terus duduk, kemudian Nabi (s.a.w) menyuruhnya mengerjakan sholat (tahiyyah al-masjid) sesudah dia duduk.”

Imam Ahmad berkata: “Waktu sholat tahiyyah al-masjid tidak terlewatkan karena seseorang terus duduk dalam memasuki masjid selama waktunya tidak terlalu lama, tetapi waktu sholat tahiyyah al-masjid menjadi habis apabila dia telah duduk dalam waktu yang lama.”

Sedangkan Imam al-Syafi‟i
memerincikan masalah duduk ini. Dalam kaitan ini, beliau berkata: “Apabila duduk karena lupa mengerjakan sholat tahiyyah al-masjid, maka waktu sholat
tahiyyah al-masjid masih belum habis. Jika duduk bukan karena lupa, maka waktunya menjadi habis.” Adapun orang yang hanya sekedar lewat di dalam masjid, maka tidak dianjurkan mengerjakan sholat dua rakaat tahiyyah al-masjid disisi mazhab Maliki; tetapi menurut jumhur ulama dia tetap dianjurkan mengerjakannya.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 213 : KEUTAMAAN MERAWAT MASJID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 213 :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى اَلْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا اَلرَّجُلُ مِنْ اَلْمَسْجِدِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَاسْتَغْرَبَهُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku sampai pahala orang yang membuang kotoran dari masjid.” Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits Gharib menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

MAKNA HADITS :

Rasulullah (s.a.w) amat mengambil berat kebersihan masjid. Barang siapa yang membersihkan kotoran di dalam masjid meskipun itu sedikit, maka dia pasti memperoleh pahala, terlebih lagi bagi orang yang menyapu, membersihkan debu dan kotoran. Dengan demikian, dia pasti memperoleh ganjaran pahala yang lebih besar lagi. Barang siapa yang mencemari masjid atau mengotorkannya, dia mendapat dosa.

FIQH HADITS :

1. Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala seseorang yang melakukan amal kebaikan, meskipun amalnya itu sedikit.

2. Menerangkan yang Rasulullah (s.a.w) diperlihatkan oleh Allah mengenai perkara-perkara yang berkaitan dengan akhirat.

3. Dianjurkan membersihkan masjid dan mengeluarkan sampah dari dalamnya.

4. Dilarang memandang remeh amal kebaikan, betapa pun itu kecil, sebab bisa jadi itu menjadi penyebab dosa diampuni.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 212 : HUKUM MENGHIAS MASJID DENGAN EMAS

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 212 :

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ اَلْمَسَاجِدِ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi masjid.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan shahih menurut Ibnu Hibban.

MAKNA HADITS :

Dahulu Masjid Nabawi dibangun dengan batu bata dan atapnya pula daun pelepah kurma, sedangkan tiangnya batang pohon kurma. Tujuan utama pembangunan
masjid ialah melindungi kaum muslimin dari cuaca panas dan cuaca sejuk di samping memudahkan mereka berkumpul untuk menunaikan sholat berjamaah dan mendengarkan nasihat serta memenuhi seruan kebaikan. Oleh sebab itu, Allah (s.w.t) tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk mengukir dan menghiasinya agar tidak mengganggu tujuan utama pembangunan masjid.

Orang yang pertama kali menghiasi masjid ialah al-Walid ibn Abdul Malik. Ada ulama yang memilih berdiam diri tanpa memprotes tindakan al-Walid bin Abdul Malik tersebut karena takut fitnah, namun ada diantara mereka yang memprotes, tetapi al-Walid tidak mempedulikan.

Ketika Khalifah Umar (r.a) mengubah suai Masjid Nabawi, beliau berkata: “Aku akan membuat atap untuk menaungi mereka dan jangan sekali-kali kamu mewarnainya dengan warna merah atau kuning kerana ia mengganggu orang yang sedang beribadah di dalamnya.”

FIQH HADITS :

1. Tidak disyaratkan membangun masjid lebih tinggi sekiranya itu memang yang diperlukan.

2. Dilarang menghiasi masjid dengan emas dan perak. Tetapi Imam Abu Hanifah memberikan kemudahan dalam masalah ini demi mengagungkan masjid, tetapi dengan syarat hendaklah biayanya tidak diambil dari baitul mal.
Sedangkan menurut jumhur ulama, larangan ini menunjukkan hukum makruh baik biaya yang akan digunakan untuk menghiasi masjid itu diambil dari harta pemerintah ataupun harta baitul mal. Dikatakan makruh karena harta telah dibelanjakan bukan pada tempat yang mustahak, di samping hati orang yang sedang beribadah di dalamnya terganggu dan khusyuk yang merupakan roh ibadah tidak dapat direalisasikan. Terlebih-lebih lagi dasar menghiasi masjid dengan berbagai jenis hiasan merupakan kebiasaan orang Yahudi dan orang Nasrani, sedangkan kita telah diperintahkan untuk tidak meniru perbuatan mereka.

3. Menerangkan mukjizat Rasulullah (s.a.w) karena baginda memberitakan perkara-perkara yang bakal terjadi di kemudian hari. Sesungguhnya mengecat masjid dan membangga-banggakannya telah sering kali dilakukan oleh
raja-raja dan pemimpin zaman sekarang ini hampir di semua tempat. Akibatnya masjid kini hanya menjadi musium, bukannya tempat ibadah.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 211 : KEMEGAHAN MEMBANGUN MASJID ADALAH TANDA-TANDA TERJADINYA HARI KIAMAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 211 :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَقُومُ اَلسَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى اَلنَّاسُ فِي اَلْمَسَاجِدِ ) أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat hingga orang-orang berbangga-bangga dengan (kemegahan) masjid.” Dikeluarkan oleh Imam Lima kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

MAKNA HADITS :

Allah (s.w.t) menganjurkan untuk membangun masjid-masjid atas landasan ketaatan dan ibadah. Untuk itu, Dia berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Surah al-Taubah: 18)

Allah melarang masjid-masjid itu diukir dan dihiasi dengan segala sesuatu yang dapat mengganggu ketenangan hati untuk menghadap Allah dalam keadaan sepenuh khusyuk ketika dalam sholat dan menghilangkan khusyuk yang
merupakan inti ibadah. Syariat memberitahu bahwa menghiasi masjid merupakan kebiasaan orang Yahudi dan orang Nasrani, sedangkan kita telah dilarang menyerupai perbuatan mereka.

Syariat menjelaskan bahwa sikap saling berbangga diri dengan menghiasi masjid yang diungkapkan melalui ucapan dan perbuatan pasti terjadi di akhir zaman. Ini merupakan tanda betapa dekat hari kiamat itu. Di dalam hadis ini hari kiamat diungkapkan dengan istilah al-sa’ah, karena hari kiamat terjadi dalam satu saat, sedangkan manusia dalam keadaan lalai mengenainya. Perkara ini telah
terjadi persis seperti apa yang diungkapkan dan diberitakan oleh Rasulullah (s.a.w) yang merupakan salah satu bukti kenabiannya.

FIQH HADITS :

1. Peringatan terhadap perbuatan menghiasi masjid dan berbangga diri, sebab itu termasuk kebiasaan ahli kitab dan merupakan salah satu tanda betapa dekatnya hari kiamat.

2. Menjelaskan mukjizat Rasulullah (s.a.w), karena baginda mengabarkan apa yang akan terjadi di hari kemudian.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 210 : HUKUM BERLUDAH DI DALAM MASJID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 210 :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْبُصَاقُ فِى الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas Radliyallahu ‘Anhu bahwa Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “meludah dalam mesjid adalah suatu kesalahan, maka untuk menebus (dendanya) ialah menimbunnya (menutupnya) dengan tanah.” Dikeluarkan oleh Muttafaqun ‘Alaihi.

MAKNA HADITS :

Allah (s.w.t) memerintahkan agar masjid senantiasa dijaga kebersihannya dan diagungkan. Untuk itu, Allah (s.w.t) berfirman :

……. وطهر بيتي للطائفين ……

“… Dan sucikanlah rumahku ini bagi orang yang thawaf…” (Surah al-Hajj: 26)

Allah melarang segala sesuatu yang membuat masjid menjadi kotor. Dia menjadikan perbuatan meludah di dalam masjid sebagai satu dosa, sekalipun orang itu ada niat untuk memendamnya. Jika dia memendamnya maka dosanya itu dihapuskan darinya.

Di dalam kitab Sunan Sa’id ibn Manshur disebutkan satu hadis dari Abu Ubaidah ibn al-Jarrah (r.a) bahwa beliau pernah meludah di dalam masjid pada suatu malam dan beliau lupa memendamnya hingga terus pulang menuju rumahnya. Kemudian beliau mengambil obor dan langsung mencari ludahnya (dahaknya) itu
dan segera memendamnya. Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah yang tidak mencatatkan satu dosa ke atas diriku malam ini.”

FIQH HADITS :

1. Air ludah itu suci hukumnya.

2. Meludah di dalam masjid merupakan satu dosa yang mesti ditebus dengan cara membersihkannya.

3. Rasulullah (s.a.w) mengajarkan umatnya hukum-hukum agama bagi mereka, walaupun itu perkara kecil.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 209 : SYARAT MEMBUAT TENDA DAN TIDUR DI DALAM MASJID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 209 :

وَعَنْهَا قَالَتْ : ( أَنَّ وَلِيْدَةَ سَوْدَاءَ كَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ، فَكَانَتْ تَأتِيْنِيْ، فَتَحَدَّثُ عِنْدِيْ (الحديثَ، متفق عليه)

‘Dari Aisyah (r.a) bahwa ada seorang hamba sahaya wanita berkulit
hitam yang mempunyai tenda di dalam masjid. Dia senantiasa datang kepadaku dan berbincang-bincang denganku…” hingga akhir hadis. (Muttafaq ‘alaih)

MAKNA HADITS :

Orang asing yang tidak mempunyai tempat tinggal dan orang miskin yang tidak mempunyai rumah dibolehkan beristirahat dan tidur di dalam masjid, tetapi dengan syarat mereka tidak mengotori masjid, mengganggu ahli masjid atau menimbulkan fitnah agama. Telah diceritakan oleh hadis ini bahwa ada seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam tinggal di dalam masjid. Dia mempunyai tenda yang terbuat dari bulu domba pada salah satu sudut masjid sebagai
tempat tinggalnya, dan tidak ada seorang pun yang melarangnya.

FIQH HADITS :

1. Menjelaskan tentang keutamaan bersifat jujur. Kejujuran dapat
menyelamatkan diri seseorang dari kebinasaan.

2. Do’a orang yang dianiaya akan dikabulkan.

3. Boleh membuat kemah di dalam masjid.

4. Boleh tidur dan istirahat di dalam masjid bagi orang yang tidak mempunyai tempat tinggal, baik lelaki ataupun perempuan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
005. BAB MASAJID B. KITAB SHALAT (IBANAH AL-AHKAM) KAJIAN HADITS

HADITS KE 208 : HUKUM MENGADAKAN PERMAINAN DI DALAM MASJID

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MASJID

HADITS KE 208 :

وَعَنْهَا قَالَتْ : ( رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى اَلْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي اَلْمَسْجِدِ ) اَلْحَدِيثَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menghalangiku ketika aku sedang melihat orang-orang habasyah tengah bermain di dalam masjid. Hadits Muttafaq Alaihi

MAKNA HADITS :

Nabi (s.a.w) diutus membawa agama yang mengamalkan prinsip toleransi. Oleh itu, didalam Islam terdapat prinsip kemudahan dan dilarang bersikap ekstrim dalam beragama apa lagi menyiksa diri sendiri. Dalam hadis ini diceritakan Rasulullah (s.a.w) mengakui permainan orang Habsyah ketika memainkan tombak di dalam masjid. Baginda melarang Umar al-Faruq yang ingin melarang mereka dari meneruskan permainan itu kerana berpegang kepada satu kaedah di mana masjid mesti dibersihkan dari segala bentuk permainan.

Nabi (s.a.w) bersabda kepada Umar (r.a): “Biarkan mereka bermain,” kerana sekarang adalah hari raya dan hari gembira. Baginda tidak suka mengganggu atau menyekat
kegembiran mereka. Tidak hanya sampai di situ, baginda malah membolehkan keluarganya untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Pertunjukan tersebut hanyalah untuk menyaksikan permainan mereka semata dan bukan menyaksikan keadaan diri mereka. Ini tentu tidak mengandung unsur yang boleh membahayakan agama.

FIQH HADITS :

1. Boleh menyaksikan pertunjukan yang diperbolehkan oleh syariat.

2. Wanita boleh menyaksikan pertunjukan kaum lelaki yang bukan mahramnya.

3. Boleh bermain (memainkan) senjata untuk latihan berperang dan melatih diri dalam menggunakannya.

4. Mencontohi kemuliaan akhlak Rasulullah (s.a.w) di kalangan keluarganya dan sikapnya yang terpuji dalam bergaul bersama mereka.

5. Menjelaskan keutamaan dan kedudukan Aisyah (r.a).

6. Hamba sahaya dibolehkan memainkan permainan dan pertunjukan yang tidak
boleh dilakukan oleh selain mereka.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..