Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh Uncategorized

HUKUM MEREBUS TELUR DENGAN AIR KENCING

Hukum Merebus Telur dengan Air Kencing

Deskripsi:

Di sebagian masyarakat, terdapat praktik merebus telur dengan air kencing untuk tujuan tertentu, baik karena kepercayaan tradisional maupun alasan lainnya, begitu juga dengan halnya biji-bijian yang berkulit . Dalam Islam, air kencing termasuk dalam kategori najis menurut kesepakatan ulama. Oleh karena itu, penggunaan benda najis dalam proses pengolahan makanan menjadi persoalan yang perlu dikaji dalam perspektif syariat Islam.

Salah satu kasus yang perlu diperhatikan adalah ketika seseorang katakanlah si Fulan merebus telur dengan menggunakan air kencing. Dalam Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan sebagaimana berikut:

Bagaimana status telur dan biji-bijian yang direbus dengan air kencing dalam tinjauan syariat Islam ?

Jawaban:

Hukum merebus telur dengan air kencing atau memasak makanan yang terkena najis memiliki beberapa rincian sebagai berikut:

A. Jika Telur ataupun biji-bijian Masih Utuh dan Tidak Pecah

Najis Hanya pada Kulit Telur dan biji-bijian

Jika telur ataupun biji-bijian direbus dengan air kencing tetapi masih dalam keadaan utuh, maka bagian dalam telur maupun biji-bijian tetap suci. Namun, kulit telur ataupun yang terkena najis dihukumi sebagai mutanajjis (terkena najis). Oleh karena itu, sebelum dikonsumsi, telur dan biji-bijian harus dibersihkan terlebih dahulu agar kembali suci, kecuali terserap sampai kedalam maka najis

Dalil:

Dalam kitab Al-Iqna’ dan Hasyiah al-Bujairimi disebutkan:

وَلَوْ سُقِيَتْ سِكِّينٌ أَوْ طُبِخَ لَحْمٌ بِمَاءٍ نَجِسٍ كَفَى غَسْلُهُمَا

“Jika sebuah pisau terkena najis atau daging dimasak dengan air najis, maka cukup dengan mencucinya.” (Al-Iqna’ wa Hasyiyah al-Bujairimi, Juz 1, Hal. 112)

Dalam Bughyah al-Mustarsyidin juga disebutkan:

وَإِنْ بَقِيَ طَعْمُ الْبَوْلِ بِبَاطِنِهِ إِذْ تَشَرَّبَ مَا ذُكِرَ كَتَشَرُّبِ الْمَسَامِ، كَمَا فِي التُّحْفَةِ

“Jika rasa air kencing masih terserap dalam makanan, maka makanan tersebut tetap dihukumi najis.” (Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, Hal. 34)

Dalam Al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj disebutkan:

(فرع)

لو ابتل حب بماء نجس أو بول صار رطبا وغسل بماء طاهر حال الرطوبة طهر ظاهرا وباطنا

“Jika biji-bijian terkena air najis atau air kencing hingga menjadi basah, lalu dicuci dengan air suci dalam keadaan basah, maka ia menjadi suci baik bagian luar maupun dalamnya.” (Al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj, Juz 1, Hal. 100)

B. Jika Telur Pecah dan Bercampur dengan Air Kencing

Apabila telur pecah saat direbus dan isinya bercampur dengan air kencing, maka telur tersebut dihukumi najis secara keseluruhan dan tidak dapat disucikan.

Dalil dari Bughyah al-Mustarsyidin:

وَإِنْ بَقِيَ طَعْمُ الْبَوْلِ بِبَاطِنِهِ إِذْ تَشَرَّبَ مَا ذُكِرَ كَتَشَرُّبِ الْمَسَامِ

“Jika rasa air kencing masih terserap ke dalam makanan, maka makanan tersebut tetap dihukumi najis.”

Kesimpulan:

Jika telur masih utuh dan hanya terkena air kencing pada kulitnya, maka cukup dicuci agar kembali suci dan dapat dikonsumsi. Jika telur pecah dan bercampur dengan air kencing, maka telur tersebut dihukumi najis dan tidak bisa disucikan. Hukum ini juga berlaku untuk biji-bijian dan makanan lain yang memiliki kulit keras, di mana najis hanya memengaruhi bagian luar dan bisa disucikan dengan cara mencuci.

Referensi:

Fathul Mu’in dan I’anah at-Thalibin, Juz 1, Hal. 104 Al-Iqna’ wa Hasyiyah al-Bujairimi, Juz 1, Hal. 112 Al-Bujairimi ‘ala al-Minhaj, Juz 1, Hal. 100 Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, Hal. 34

Demikian penjelasan mengenai hukum merebus telur dengan air kencing menurut perspektif fiqih .Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh

STATUS KESUCIAN AIR NAJIS YANG TELAH DIOLAH MELALUI PENYULINGAN

Status Kesucian Air Najis yang Telah Diolah melalui penyulingan

Dalam fiqih Islam, air yang awalnya terkena najis dapat kembali menjadi air suci mensucikan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat utama adalah hilangnya sifat-sifat najis dari air tersebut, yaitu warna, rasa, dan bau. Jika air yang najis telah mengalami perubahan total sehingga tidak lagi memiliki sifat najisnya, maka ia dihukumi kembali sebagai air suci dan dapat digunakan untuk bersuci.
Perubahan ini bisa terjadi secara alami (misalnya dengan bercampur air suci dalam jumlah besar) atau melalui proses penyaringan dan pemurnian yang efektif.

Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, kini telah tersedia alat penyulingan yang mampu mengubah air asin menjadi air tawar dan bahkan menyaring air kotor/najis hingga menjadi air bersih yang tidak lagi berbau, berwarna, atau berasa najis.

Pertanyaan

Bagaimana status air najis berubah yang dikelola dengan alat bantu penyulingan najiskah atau suci menurut ulama’ fiqih?

Waalaikum salam

Jawaban

Hukum Air Najis yang Disucikan dengan Alat Penyulingan

Mayoritas ulama berpendapat bahwa air yang telah berubah secara total hingga kehilangan sifat najisnya, baik melalui proses alami maupun buatan (seperti penyulingan atau pemurnian), kembali menjadi air suci mensucikan. Dalam madzhab Syafi’i, air yang najis dapat menjadi suci kembali asalkan perubahan itu membuatnya kembali ke sifat asal air yang murni.
Oleh karena itu, air yang awalnya najis kemudian diproses dengan alat penyulingan hingga benar-benar bersih dan tidak lagi memiliki sifat najis, dihukumi sebagai air suci mensucikan dan dapat digunakan untuk wudhu, mandi, dan keperluan ibadah lainnya.

Namun, sebagian ulama dari madzhab Hanbali lebih ketat dalam hal ini dan menganggap bahwa meskipun air telah berubah dengan proses penyulingan, tetap tidak bisa kembali suci karena asalnya telah terkena najis.

Pendapat ini lebih bersifat kehati-hatian.

Kesimpulan
Dalam pandangan mayoritas ulama, air najis yang telah disucikan dengan alat penyulingan hingga hilang sifat najisnya dianggap sebagai air suci mensucikan. Dengan demikian, air hasil pemurnian dapat digunakan untuk bersuci dan keperluan ibadah lainnya selama sudah benar-benar bersih dari najis.

Catatan Menurut Fatwa MUI kesucian air yang diolah harus memenuhi tiga syarat

ثلاث طرق لتطهير الماء النجس كما يلي:

أ. طريقة النضح

(Thariqat an-Nazh):

وهي بإزالة الماء الذي أصابته النجاسة أو الذي تغيرت صفاته، بحيث لا يبقى إلا الماء الذي لم تصبه النجاسة ولم تتغير صفاته.

Tiga cara mensucikan air najis sebagai berikut:

a.Thariqat an-Nazh: yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya

b.Thariqah al-Mukatsarah: yaitu dengan cara menambahkan air suci lagi mensucikan (thahir muthahhir) pada air yang terkena najis (mutanajjis) atau yang berubah (mutaghayyir) tersebut hingga mencapai volume paling kurang dua kullah, serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang

c. Thariqah Taghyir: yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi mensucikan (thahirmulthahhirmulthahhirmuthahhir), dengan syarat:

Volume airnya lebih dari dua kullah Alat bantu yang digunakan harus suci

ب. طريقة المكاثرة

(Thariqah al-Mukatsarah):

وهي بإضافة ماء طاهر مطهر إلى الماء المتنجس (المتنجس) أو المتغير (المتغير) حتى يصل حجمه إلى قُلَّتين على الأقل، بحيث تزول النجاسة وكل الصفات التي تسببت في تغيّر الماء.

ج. طريقة التغيير

(Thariqah at-

Taghyir): وهي باستخدام أدوات معالجة لإعادة الماء المتنجس أو المتغير إلى حالته الأصلية بحيث يصبح طاهرًا مطهرًا، بشرط:

أن يكون حجم الماء أكثر من قُلَّتين. أن تكون الأدوات المستخدمة

Referensi:

المجموع شرح المهذب ج١ص ١٣٢
(إذَا أَرَادَ تَطْهِيرَ الْمَاءِ النَّجِسِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَتُهُ بِالتَّغَيُّرِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ طَهُرَ: بِأَنْ يَزُولَ التَّغَيُّرُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِأَنْ يُضَافَ إلَيْهِ مَاءٌ آخَرُ: أَوْ بِأَنْ يُؤْخَذَ بعضه لان النجاسة
بالتغير وقد زال)

(الشرح)

 ادا زَالَ تَغَيُّرُ الْمَاءِ النَّجِسِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ نُظِرَ إنْ زَالَ بِإِضَافَةِ مَاءٍ آخَرَ إلَيْهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ سَوَاءٌ كَانَ الْمَاءُ الْمُضَافُ طَاهِرًا أَوْ نَجِسًا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا وَسَوَاءٌ صُبَّ الْمَاءُ عَلَيْهِ أَوْ نَبَعَ عَلَيْهِ وَإِنْ زَالَ بِنَفْسِهِ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَحْدُثْ فيه شيئا بَلْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ أَوْ الرِّيحِ أَوْ مُرُورِ الزَّمَانِ طَهُرَ أَيْضًا عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ: وَحَكَى الْمُتَوَلِّي عَنْ أَبِي سعيد الاصطخرى أنه لا يطهر لانه شئ نجس فلا يطهر بنفسه: وهذا ليس بشئ لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ: فَإِذَا زَالَ طَهُرَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجَسْ وَإِنْ زَالَ بِأَخْذِ بَعْضِهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ بِشَرْطٍ أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي بَعْدَ الْأَخْذِ قُلَّتَيْنِ: فَإِنْ بَقِيَ دُونَهُمَا لم يطهر بلا خلاف

Apabila seseorang ingin mensucikan air yang najis, maka harus dilihat terlebih dahulu. Jika kenajisannya terjadi karena adanya perubahan (warna, rasa, atau bau) dan jumlah air tersebut lebih dari dua qullah, maka air tersebut menjadi suci dengan beberapa cara:
Perubahan itu hilang dengan sendirinya Ditambahkan air lain ke dalamnya Sebagian air diambil, karena najisnya disebabkan oleh perubahan, dan perubahan itu telah hilang.
(Penjelasan) Apabila perubahan pada air yang najis telah hilang, sementara air tersebut lebih dari dua qullah, maka diperinci:
Jika perubahan itu hilang karena ditambahkan air lain, maka air itu menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Baik air yang ditambahkan itu suci maupun najis, baik sedikit maupun banyak, baik dituangkan ke dalam air yang najis atau mengalir ke dalamnya.
Jika perubahan itu hilang dengan sendirinya, seperti karena sinar matahari, angin, atau berlalunya waktu, maka air tersebut juga menjadi suci menurut pendapat yang dipegang dalam mazhab. Pendapat ini juga menjadi pegangan mayoritas ulama.
Namun, al-Mutawalli meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Istakhri bahwa air tersebut tidak menjadi suci, karena sesuatu yang najis tidak bisa menjadi suci dengan sendirinya. Tetapi pendapat ini tidak dapat diterima, sebab sebab utama kenajisan adalah perubahan. Jika perubahan itu hilang, maka air tersebut kembali suci, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Apabila air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak menjadi najis.”
Jika perubahan itu hilang dengan cara mengambil sebagian airnya, maka air itu juga menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat, dengan syarat bahwa sisa air yang tertinggal setelah pengambilan masih berjumlah dua qullah. Jika jumlah yang tersisa kurang dari dua qullah, maka air tersebut tetap tidak suci tanpa ada perbedaan pendapat.

المجموع شرح المهذب ص ١٣٤

واعلم أن صُورَةَ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَكُونَ كَدِرًا وَلَا و تَغَيُّرَ فِيهِ أَمَّا إذَا صَفَا فَلَا يَبْقَى خِلَافٌ بَلْ إنْ كَانَ التَّغَيُّرُ مَوْجُودًا فَنَجِسٌ قَطْعًا وَإِلَّا فَطَاهِرٌ قَطْعًا كَذَا صَرَّحَ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ التَّغَيُّرُ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الرَّائِحَةِ فَفِي الْجَمِيعِ القولان هذا هو الصوب: وقال الشيخ أبو عمر وبن الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ عِنْدِي أَنَّ الْقَوْلَيْنِ إذَا تَغَيَّرَ بِالرَّائِحَةِ فَأَمَّا إذَا تَغَيَّرَ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ فَلَا يَطْهُرُ قَطْعًا لِأَنَّهُ يَسْتَتِرُ بِالتُّرَابِ قَالَ وَهَذَا تَحْقِيقٌ لَوْ عُرِضَ عَلَى الْأَئِمَّةِ لَقَبِلُوهُ: وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ رَحِمَهُ اللَّهُ خِلَافُ ظَاهِرِ كَلَامِ الْأَصْحَابِ وَخِلَافُ مُقْتَضَى إطْلَاقِ مَنْ أَطْلَقَ مِنْهُمْ وَخِلَافُ تَصْرِيحِ الْبَاقِينَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمَاعَةٌ مِنْ كِبَارِهِمْ بِأَنَّهُ لَا فَرْقَ قَالَ الْمَحَامِلِيُّ فِي التَّجْرِيدِ إنْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ فَوَرَدَ عليه ماله لَوْنٌ كَالْخَلِّ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ أَوْ تَغَيُّرَ رِيحِهِ فَوَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَهُ رِيحٌ كَالْكَافُورِ فَأَزَالَهُ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ قَالَ وَإِنْ طُرِحَ عَلَيْهِ مَا لَا رِيحَ لَهُ وَلَا لَوْنَ كَالتُّرَابِ وَغَيْرِهِ فَأَزَالَهُ فَقَوْلَانِ: وَقَالَ هُوَ فِي الْمَجْمُوعِ إذَا تَغَيَّرَ طَعْمُ الْمَاءِ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ نَجِسَ وَيَطْهُرُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا وَخَامِسٍ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَذَكَرَ زَوَالَهُ بِنَفْسِهِ وَبِمَا يُضَافُ إلَيْهِ أَوْ يَنْبَعُ فِيهِ أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ وَالْمُخْتَلَفُ فِيهِ أَنْ يَزُولَ بِالتُّرَابِ فَقَوْلَانِ ثُمَّ قَالَ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ متى تغير طعم الماء فورد عليه ماله طعم: أو ريحه فورد عليه ماله ريح: أو لونه فورد عليه ماله لَوْنٌ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ: وَإِنْ وَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَا طَعْمَ لَهُ وَلَا لَوْنَ وَلَا رِيحَ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ فَهَلْ يَطْهُرُ فِيهِ قَوْلَانِ هَذَا كَلَامُ الْمَحَامِلِيِّ

Ketahuilah bahwa bentuk permasalahan ini adalah jika air tersebut keruh tetapi tidak mengalami perubahan.
Adapun jika air tersebut menjadi jernih, maka tidak ada perbedaan pendapat lagi. Namun, jika perubahan tetap ada, maka air itu secara pasti menjadi najis. Jika tidak mengalami perubahan, maka tetap suci secara pasti. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Mutawalli dan ulama lainnya.

Tidak ada perbedaan apakah perubahan itu terjadi pada rasa, warna, atau bau, sehingga dalam semua kasus ini terdapat dua pendapat. Inilah pendapat yang lebih kuat (ash-shawab).

Syaikh Abu ‘Umar Ibnus Shalah rahimahullah berkata:

“Menurut saya, dua pendapat ini berlaku apabila air berubah karena bau. Namun, jika perubahan terjadi karena rasa atau warna, maka air itu secara pasti tidak menjadi suci karena perubahan tersebut dapat tersembunyi dengan tanah.”

Ia berkata lagi:

“Pendapat ini merupakan suatu penelitian mendalam yang jika dikemukakan kepada para imam, mereka pasti akan menerimanya.”

Namun, pendapat yang dikemukakan oleh beliau (Ibnus Shalah) bertentangan dengan pendapat yang tampak dari kalam (ucapan) para ulama mazhab, bertentangan dengan ketetapan dari mereka yang menyatakannya secara mutlak, dan juga bertentangan dengan pernyataan eksplisit dari para ulama lainnya.

Sejumlah ulama besar telah menegaskan bahwa tidak ada perbedaan (dalam hukum perubahan air, baik karena rasa, warna, maupun bau).

Al-Mahamili dalam kitab At-Tajrid berkata:

“Jika warna air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki warna, seperti cuka, yang kemudian menghilangkan perubahan warna tersebut, atau jika bau air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki bau, seperti kapur barus, yang kemudian menghilangkannya, maka dalam hal ini air tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat.”

Beliau juga berkata:

“Namun, jika air tersebut dicampur dengan sesuatu yang tidak memiliki bau atau warna, seperti tanah dan sejenisnya, lalu perubahan air tersebut hilang, maka ada dua pendapat dalam hal ini.”

Dalam kitab Al-Majmu’, disebutkan:

“Jika rasa, warna, atau bau air berubah, maka air itu menjadi najis dan dapat disucikan dengan empat cara yang disepakati serta satu cara yang masih diperselisihkan.”

Cara yang disepakati adalah:

Hilangnya perubahan dengan sendirinya, Ditambahkan sesuatu padanya, Air tersebut bersumber dari mata air, Diambil sebagian dari air itu.

Kemudian beliau berkata:

“Cara yang masih diperselisihkan adalah jika perubahan tersebut dihilangkan dengan tanah, maka dalam hal ini ada dua pendapat.”

Selanjutnya beliau menyimpulkan:

“Kesimpulannya, jika perubahan terjadi pada rasa air lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki rasa, atau perubahan terjadi pada baunya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki bau, atau perubahan terjadi pada warnanya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki warna, maka air itu tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Namun, jika ditambahkan sesuatu yang tidak memiliki rasa, warna, maupun bau sehingga menghilangkan perubahan air tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.”

مغني المحتاج ١/٢٢ :

(أو) زال تغيره ظاهرا كأن زال ريحه (بمسك و) لونه بنحو (زعفران) وطعمه بنحو خل (فلا) يطهر، لانا لا ندري أن أوصاف النجاسة زالت أو غلب عليها المطروح فسترها، وإذا كان كذلك فالاصل بقاؤها. فإن قيل: العلة في عدم عود الطهورية احتمال أن التغير استتر ولم يزل، فكيف يعطفه المصنف على ما جزم فيه بزوال التغير ؟ وذلك تهافت. أجيب بأن المراد زواله طاهرا كما قدرته وإن أمكن استتاره باطنا، فلو طرح مسك على متغير الطعم فزال تغيره طهر، إذ المسك ليس له طعم. وكذا يقال في الباقي

Mughnī al-Muhtāj 1/22:

 

“Atau hilang perubahan (pada air) secara lahiriah, seperti hilangnya baunya dengan misik, warnanya dengan sesuatu seperti za’faran, dan rasanya dengan sesuatu seperti cuka, maka (air tersebut) tidak menjadi suci. Sebab, kita tidak mengetahui apakah sifat-sifat najis itu benar-benar hilang atau hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan sehingga menutupinya. Jika demikian, maka hukum asalnya tetap dianggap najis.

 

Jika dikatakan: ‘Sebab tidak kembalinya sifat menyucikan air adalah karena ada kemungkinan bahwa perubahan itu hanya tertutupi dan tidak benar-benar hilang. Lalu bagaimana mungkin penyusun kitab ini menghubungkan (mengumpamakan) hal ini dengan keadaan di mana perubahan telah dipastikan hilang? Bukankah ini merupakan kontradiksi?’

 

Dijawab bahwa yang dimaksud adalah hilangnya perubahan itu secara lahiriah, sebagaimana yang telah ditetapkan (dalam hukum), meskipun ada kemungkinan perubahan itu masih tersembunyi secara batin. Maka, jika seseorang menambahkan misik ke dalam air yang berubah rasanya lalu perubahan itu hilang, maka air tersebut menjadi suci, karena misik tidak memiliki rasa. Hal yang sama juga berlaku untuk warna dan bau.”

.نهاية المحتاج ١/٧٧-٧٨

وحاصل ذلك أن شرط إناطة الحكم بالشك في زوال التغير أو استتاره حتى يحكم ببقاء النجاسة تغليبا لاحتمال الاستتار أنه لا بد من احتمال إحالة زوال التغير على الواقع في الماء من مخالط أو مجاور ، فحيث احتمال إحالته على استتاره بالواقع فالنجاسة باقية لكوننا لم نتحقق زوال التغير المقتضي [ ص: 78 ] للنجاسة بل يحتمل زواله واستتاره والأصل بقاؤها ، وحيث لم يحتمل ذلك فهي زائلة فيحكم بطهارته ، وعلم أن رائحة المسك لو ظهرت ثم زالت وزال التغير حكمنا بالطهارة ؛ لأنها لما زالت ولم يظهر التغير علمنا أنه زال بنفسه.

Nihāyah al-Muhtāj 1/77-78:

“Kesimpulannya adalah bahwa syarat dalam menggantungkan hukum pada keraguan terhadap hilangnya perubahan atau tersembunyinya perubahan hingga dihukumi tetap najis, lebih didasarkan pada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu disebabkan oleh sesuatu yang bercampur atau berdekatan dengan air tersebut.

Jika ada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan ke dalam air, maka air tetap dihukumi najis, karena kita tidak dapat memastikan bahwa perubahan yang menyebabkan kenajisan benar-benar hilang. Bisa jadi perubahan itu memang hilang, tetapi bisa juga hanya tertutupi, dan hukum asalnya tetap najis.

Namun, jika kemungkinan tersebut tidak ada, maka perubahan dianggap benar-benar hilang, sehingga air dihukumi suci.

Diketahui pula bahwa jika bau misik muncul kemudian menghilang, dan perubahan air juga ikut hilang, maka air dihukumi suci. Sebab, ketika bau misik menghilang dan perubahan air tidak muncul kembali, ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut benar-benar hilang dengan sendirinya.”

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh

STATUS HUKUM ANAK HASIL HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DAN HEWAN ( ANJING))

Status Hukum Anak Hasil Hubungan Antara Manusia dan Hewan ( Anjing) dalam Perspektif Islam

Assalaamualaikum

Deskripsi Masalah:

Di suatu daerah, terjadi peristiwa yang melibatkan hubungan seksual antara manusia dan hewan  dalam hal ini anjing. Dari hubungan tersebut, lahir keturunan yang memiliki bentuk fisik yang mirip dengan salah satu induknya, baik menyerupai anjing ataupun manusia.

Pertanyaan: Bagaimana status hukum terhadap anak yang lahir dari hubungan tersebut? Apakah anak tersebut dianggap suci atau najis dalam perspektif hukum Islam?

Waalaikum salam

Jawaban:

Jika anak yang lahir dari hubungan antara manusia dan anjing berbentuk anjing, maka hukumnya najis. Namun, jika anak tersebut berbentuk manusia, maka menurut Imam ar-Ramlī, anak tersebut dianggap suci. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitamī, anak tersebut tetap dianggap najis, namun dalam keadaan yang dimaafkan (ma’fu). Dalam hal ini, anak tersebut dapat menjalankan berbagai aktivitas sosial seperti menjadi imam, memasuki masjid, bergaul dengan orang lain, dan mengemban tugas-tugas tertentu seperti menjadi hakim atau mengurus urusan pernikahan. Meskipun demikian, menurut Syekh al-Khatib, anak tersebut tetap dianggap najis dalam urusan pernikahan, perbudakan, penyembelihan, dan pewarisan.

Kesimpulan:

Berdasarkan pendapat para ulama, status hukum anak yang lahir dari hubungan antara manusia dan hewan (seperti anjing) tergantung pada bentuk fisiknya. Jika anak tersebut berbentuk anjing, maka ia dianggap najis. Namun, jika anak tersebut berbentuk manusia, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama.

Menurut Imam ar-Ramlī, anak yang berbentuk manusia dianggap suci. Sebaliknya, menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitamī, meskipun anak tersebut berbentuk manusia, ia tetap najis, tetapi dalam keadaan yang dimaafkan (ma’fu). Dalam hal ini, anak tersebut dapat menjalankan berbagai aktivitas sosial seperti menjadi imam, memasuki masjid, bergaul dengan orang lain, dan mengemban tugas-tugas tertentu seperti menjadi hakim atau mengurus urusan pernikahan, meskipun masih terdapat pandangan yang menganggap anak tersebut najis dalam urusan pernikahan, perbudakan, penyembelihan, dan pewarisan.

Pendapat ini menggarisbawahi bahwa meskipun ada perbedaan dalam penilaian status anak tersebut, ada konsensus bahwa apabila bentuk fisiknya menyerupai manusia, ia lebih dianggap memiliki status yang lebih dekat dengan kesucian, meskipun terdapat perbedaan dalam interpretasi hukum tertentu.

Referensi:

حاشية الشرواني على تحفة المحتاج في شرح المنهاج، ج ١ ص ٢٩١
(قَوْلُهُ وَبَحْثُ طَهَارَتِهِ نَظَرًا لِصُورَتِهِ إلَخْ) إشَارَةٌ لِرَدِّ مَا تَقَدَّمَ عَنْ الرَّمْلِيِّ وَوَالِدِهِ عِبَارَةُ شَيْخِنَا وَفِي الْبُجَيْرِمِيِّ نَحْوُهَا `فَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّدُ بَيْنَ كَلْبٍ وَآدَمِيٍّ عَلَى صُورَةِ الْكَلْبِ فَنَجِسٌ وَإِنْ كَانَ عَلَى صُورَةِ الْآدَمِيِّ فَطَاهِرٌ عِنْدَ الرَّمْلِيِّ وَنَجِسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ عِنْدَ ابْنِ حَجّ فَيُصَلِّي إمَامًا وَيَدْخُلُ الْمَسَاجِدَ وَيُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يُنَجِّسُهُمْ بِلَمْسِهِ مَعَ رُطُوبَةٍ وَلَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ الْقَلِيلَ وَلَا الْمَائِعَ وَيَتَوَلَّى الْوِلَايَاتِ كَالْقَضَاءِ وَوَلَايَةِ النِّكَاحِ وَخَالَفَ الشَّيْخُ الْخَطِيبُ فِي ذَلِكَ وَلَهُ حُكْمُ النَّجِسِ فِي الْأَنْكِحَةِ وَالتَّسَرِّي وَالذَّبِيحَةِ وَالتَّوَارُثِ وَجَوَّزَ لَهُ ابْنُ حَجّ التَّسَرِّيَ إنْ خَافَ الْعَنَتَ` وَالْمُتَوَلِّدُ بَيْنَ كَلْبَيْنِ نَجِسٌ وَلَوْ كَانَ عَلَى صُورَةِ الْآدَمِيِّ وَالْمُتَوَلِّدُ بَيْنَ آدَمِيَّيْنِ طَاهِرٌ وَلَوْ كَانَ عَلَى صُورَةِ الْكَلْبِ فَإِذَا كَانَ يَنْطِقُ وَيَعْقِلُ فَهَلْ يُكَلَّفُ قَالَ بَعْضُهُمْ يُكَلَّفُ؛ لِأَنَّ مَنَاطَ التَّكْلِيفِ الْعَقْلُ وَهُوَ مَوْجُودٌ.

Referensi :

الشرواني ج١ص ٤٦٩ مكتبة مرجع الأكبر

وعبارته ؛ (وبحث طهارته نظراً لصورته الخ) إشارة لرد ما تقدم عن الرملي ووالده عبارة شيخنا وفي البجيرمي نحوها فإن كان المتولد بين كلب وآدمي على صورة الكلب فنجس وإن كان على صورة الآدمي فطاهر عند الرملي ونجس معفوّ عنه عند ابن حج فيصلي إماماً ويدخل المساجد ويخالط الناس ولا ينجسهم بلمسه مع رطوبة ولا ينجس الماء القليل ولا المائع ويتولى الولايات كالقضاء وولاية النكاح وخالف الشيخ الخطيب في ذلك وله حكم النجس في الأنكحة والتسري والذبيحة والتوارث وجوّز له ابن حج التسري إن خاف العنت والمتولد بين كلبين نجس ولو كان على صورة الآدمي والمتولد بين آدميين طاهر ولو كان على صورة الكلب فإذا كان ينطق ويعقل فهل يكلف قال بعضهم يكلف لأن مناط التكليف العقل وهو موجود وكذا المتولد بين شاتين وهو على صورة الآدمي إذا كان ينطق ويعقل ويجوز ذبحه وأكله وإن صار خطيباً وإماماً اهـ

كاشفة السجا على شرح سفينة
النجا ص ٤٠

وفرع أحدهما أى مع الآخر تبعا لهما أو مع غيره من حيوان طاهر تغليبا للنجس لأن الفرع يتبع أخس الأصلين في النجاسة وتحريم الذبيحة والمناكحة والأكل وعدم صحة الأضحية والعقيقة وقد ذكر الجلال السيوطى أحكام الفرع في جميع أبواب الفقه نظما من بحر الخفيف وهو فاعلاتن مستفعلن فاعلاتن مرتين فقال      يتبع الفرع في انتساب أباه *ولأم في الرق والحرية

والزكاة الأخف والدين الأعلى * والذي اشتد في جزاء ودية     وأخس الصلين رجسا وذبحا * ونكاحا والأكل والأضحية      ـ إلى أن قال ـ

فلو تولد آدمي بين مغلظ ذكرا كان أو أنثى وآدمي كذلك وكان على صورة الآدمي ولو في النصف الأعلى فقط دون الأسفل فهو محكوم بطهارته في العبادات أخدا بإطلاقهم طهارة الآدمي وتجري عليه الأحكام لأنه بالغ عاقل والعقل مناط التكليف فيصلي ويؤمهم لأنه لا يلزمه الردة أى ويدخل المسجد ويخالط الناس ولا ينجس بمسه مع رطوبة ولا ينجس به الماء القليل ولا المائع ويفطم عن الولايات كولايات نكاح وقضاء كالقن بل أولى على المعتمد في جميع ذلك ولا تحل منكحته ولا ذبيحته ولا توارث بينه وبين آدمي على المعتمد وقال بعضهم يرث من أمه وأولاده دون أبيه ولا قود على قاتله فله حكم النجس في الأنكحة لأن في أحد أصليه ما لا يحل رجلا كان أو امرأة ولو لمن هو مثله وإن استويا في الدين وكذا التسري على المعتمد لأن شرط حل التسري حل المناكحة وجوز له ابن حجر التسري حيث خاف العنت وحكم بأنه نجس معفو عنه ومعتمد الرملي ما تقدم أما لو كان على صورة الكلب مع الأكل والنطق فهو نجس على المعتمد وله حكم المغلظ في سائرأحكامه وكذا ولد الولد لأنه فرع بالواسطة قال ابن قاسم إنه لا يكلف حينئذ وإن تكلم وميز وبلغ عدة بلوغ الآدمي وكذا لو كان على صورة الآدمي وتولد بين مغلظين لأن الصورة لا تفيده الطهارة حينئذ لضعفها فنجس اتفاقا قال القليوبي وإذا كان ينطق ويفهم فالقياس التكليف لأن مناطه العقل وأما ميتته فهي نجسة نظرا لأصله ولو تولد بين مغلظ وحيوان آخر غير آدمي فهو نجس معفو عنه باتفاق وأما المتولد بين آدميين فهو طاهر اتفاقا ولو كان على صورة الكلب فإذا كان ينطق ويعقل فقال بعضهم يكلف لأن مناط التكليف العقل وهو موجود فيه وكذا المتولد بين شاتين وهو على صورة الآدمي وإذا كان ينطق ويعقل ويجوز ذبحه وأكله وإن صار خاطبا وإماما ولذا قيل لنا خطيب يذبخ ويؤكل

– Fatawi Syihab Romli :

ﻭﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﺸﻬﺎﺏ ﺍﻟﺮﻣﻠﻲ ﻣﺎ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺫﻟﻚ ﻓﻠﻴﺮﺍﺟﻊ ، ﺃﻗﻮﻝ : ﻭﻳﻮﺟﻪ ﺑﻤﺎ ﻭﺟﻪ ﺑﻪ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﺪ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻭﺍﻵﺩﻣﻲ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ( ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻻ ﻳﻨﺠﺲ ﺣﻴﺎ ﻭﻻ ﻣﻴﺘﺎ ) ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﻘﻴﺪ ﺫﻟﻚ ﺑﺎﻵﺩﻣﻲ ، ﻭﻻ ﻳﺸﻜﻞ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﺘﻘﻴﻴﺪ ﺑﺎﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﻭﻧﻈﺎﺋﺮﻩ ﻟﻴﺲ ﻹﺧﺮﺍﺝ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺑﻞ ﻟﻠﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ ﻓﻴﻪ

Hasyiyah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz 1, Halaman 291

(Perkataannya: “dan pembahasan kesuciannya dengan memandang bentuknya” dst.)
Hal ini merupakan isyarat untuk menolak pendapat sebelumnya yang dinukil dari ar-Ramli dan ayahnya. Pernyataan dari guru kami, yang juga terdapat dalam Bughyah al-Mustarsyidin, mengatakan:
“Jika sesuatu yang dilahirkan dari persilangan antara anjing dan manusia berbentuk seperti anjing, maka ia najis. Namun, jika berbentuk seperti manusia, maka menurut ar-Ramli ia suci. Sementara menurut Ibn Hajar, ia najis tetapi dimaafkan. Dengan demikian, ia dapat menjadi imam, masuk masjid, bergaul dengan masyarakat, dan tidak menajiskan orang lain jika disentuh dengan keadaan basah. Ia juga tidak menajiskan air sedikit atau benda cair lainnya. Selain itu, ia juga dapat menjabat jabatan pemerintahan, seperti hakim atau wali nikah. Namun, Syekh al-Khathib berbeda pendapat dalam hal ini, dengan mengatakan bahwa ia memiliki hukum najis dalam urusan pernikahan, perbudakan, penyembelihan, dan warisan. Ibn Hajar mengizinkan perbudakan terhadapnya jika khawatir jatuh dalam dosa besar (zina).”

“Adapun sesuatu yang dilahirkan dari persilangan dua anjing, ia tetap najis, meskipun berbentuk manusia. Sebaliknya, jika ia lahir dari dua manusia, maka ia suci meskipun berbentuk seperti anjing. Apabila ia berbicara dan memiliki akal, apakah ia terkena kewajiban syariat? Sebagian ulama mengatakan ia terkena kewajiban syariat karena dasar kewajiban adalah akal, dan itu terdapat padanya.”

Asy-Syarwani Juz 1 Halaman 469 (Maktabah Marji’ul Akbar)

“Pernyataannya: ‘dan pembahasan kesuciannya dengan memandang bentuknya’ dst.”
Ini merupakan isyarat untuk menolak pendapat yang dinukil dari ar-Ramli dan ayahnya. Dalam Bughyah al-Mustarsyidin disebutkan hal yang serupa:
“Jika sesuatu yang dilahirkan dari persilangan antara anjing dan manusia berbentuk seperti anjing, maka ia najis. Namun, jika berbentuk seperti manusia, menurut ar-Ramli, ia suci. Menurut Ibn Hajar, ia najis tetapi dimaafkan, sehingga dapat menjadi imam, masuk masjid, bergaul dengan masyarakat, dan tidak menajiskan dengan sentuhan basah. Air sedikit atau benda cair lainnya juga tidak menjadi najis karena dia. Ia pun dapat menjabat jabatan pemerintahan seperti hakim dan wali nikah. Namun, Syekh al-Khathib berbeda pendapat, mengatakan bahwa ia tetap dihukumi najis dalam pernikahan, perbudakan, penyembelihan, dan warisan. Ibn Hajar membolehkan perbudakan terhadapnya jika khawatir terjatuh dalam dosa besar (zina).”

“Adapun sesuatu yang dilahirkan dari persilangan dua anjing tetap najis, meskipun berbentuk manusia. Sebaliknya, jika ia lahir dari dua manusia, maka ia suci meskipun berbentuk anjing. Jika ia berbicara dan memiliki akal, apakah ia terkena kewajiban syariat? Sebagian ulama mengatakan iya, karena dasar kewajiban adalah akal, yang ada padanya. Hal ini juga berlaku bagi sesuatu yang lahir dari dua kambing tetapi berbentuk manusia dan memiliki akal serta berbicara. Ia boleh disembelih dan dimakan, serta dapat menjadi khatib dan imam.”

Kasyaifah an-Naja Halaman 40

“Jika sesuatu lahir dari persilangan antara dua jenis, baik antara yang suci dan najis atau yang najis dengan yang suci, maka hukum anak tersebut mengikuti yang terendah dalam kesuciannya. Anak tersebut dihukumi sebagai yang paling buruk dalam sifat-sifat najis, keharaman penyembelihan, larangan pernikahan, larangan makan, dan tidak sahnya kurban atau aqiqah darinya. Dalam nazham karya Jalaluddin as-Suyuthi, dijelaskan bahwa:

‘Anak mengikuti ayahnya dalam nasab, ibunya dalam kebebasan atau perbudakan, dan yang lebih ringan dalam zakat atau yang lebih berat dalam denda. Anak juga mengikuti yang paling buruk dalam hal najis, penyembelihan, pernikahan, dan makanan, serta tidak sah untuk kurban.’

Jika sesuatu lahir dari persilangan manusia dan najis (baik laki-laki maupun perempuan), dan bentuknya seperti manusia, baik sebagian atau sepenuhnya, maka ia dihukumi suci dalam ibadah karena dasar penyucian manusia. Ia juga dianggap sebagai mukallaf karena memiliki akal yang menjadi dasar kewajiban syariat. Oleh karena itu, ia dapat shalat, menjadi imam, masuk masjid, dan berinteraksi dengan masyarakat tanpa menajiskan dengan sentuhan basah. Namun, ia tetap tidak halal untuk dinikahi atau disembelih, serta tidak ada warisan antara dia dan manusia lain, sesuai pendapat yang lebih kuat. Tetapi, sebagian ulama mengatakan ia mewarisi dari ibunya dan anak-anaknya, tetapi tidak dari ayahnya. Tidak ada hukum qishash terhadap siapa pun yang membunuhnya.”

Fatawa Syihab Ramli

“Dan dalam Fatawa Syihab ar-Ramli, disebutkan pendapat yang sejalan dengan ini. Ia berkata, ‘Kesucian sesuatu yang dilahirkan dari persilangan anjing dan manusia dikuatkan dengan sabda Nabi SAW: ‘Seorang mukmin tidak najis, baik ketika hidup maupun setelah mati.’ Sabda ini tidak membatasi hanya pada manusia. Hadits ini tidak bertentangan dengan kenajisan orang kafir, karena penyebutan mukmin dalam konteks ini bertujuan untuk memuji keimanan dan mendorong untuk memeluknya.'”Wallahu a‘lam bish-shawab

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh

HUKUM PENGGUNAAN AIR ZAMZAM UNTUK BERSUCI DAN MENCUCIKAN NAJIS MENURUT MADZHAB YANG EMPAT

Hukum Penggunaan Air Zamzam untuk bersuci dan Menyucikan Najis Menurut Madzhab yang Empat.

Pendahuluan Masalah

Islam memberikan panduan rinci terkait kesucian, termasuk cara membersihkan najis yang berbeda-beda tingkatannya. Salah satu najis yang membutuhkan perlakuan khusus adalah najis mughaladhah, seperti najis yang berasal dari anjing. Rasulullah ﷺ menetapkan bahwa cara menyucikan najis ini adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, dan salah satunya harus menggunakan campuran air dan debu.Sebagaimana telah  ditegaskan dalam hadits:
Di sisi lain, air Zamzam memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam. Air ini dipandang diberkahi, serta sering digunakan untuk  diminum untuk tujuan pengobatan, atau memohon keberkahan.

Namun, keutamaan spiritual air Zamzam seringkali menimbulkan pertanyaan yaitu:

1. Apakah air Zamzam boleh digunakan untuk bersuci dan menyucikan najis mughaladhah?

2. Jika boleh, apakah prosedur penyucian tetap harus mengikuti aturan mencuci tujuh kali, salah satunya dengan campuran debu?

Waalaikum salam

Jawaban

1. Hukum Penggunaan Air Zamzam untuk Menghilangkan Najis

Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang penggunaan air Zamzam untuk bersuci. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga:

Pendapat Pertama
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, sebagian Malikiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat:

Diperbolehkan menggunakan air Zamzam untuk bersuci dari hadats.

Namun, dimakruhkan untuk menghilangkan najis, sebagai bentuk penghormatan terhadap air Zamzam.

Pendapat Kedua
Mayoritas ulama Malikiyah memperbolehkan penggunaan air Zamzam untuk segala jenis bersuci, baik dari hadats maupun untuk menghilangkan najis, tanpa larangan.

Pendapat Ketiga
Riwayat lain dari Imam Ahmad menyatakan:

Dimakruhkan secara mutlak menggunakan air Zamzam untuk bersuci, baik dari hadats maupun untuk menghilangkan najis.

Berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu:

“Saya tidak menghalalkan air Zamzam untuk orang yang mandi (menggunakannya di masjid), tetapi untuk orang yang minum atau berwudhu, hal itu diperbolehkan.”

2. Aturan Tujuh Kali Cucian dan Campuran Debu

Jika penggunaan air Zamzam diperbolehkan untuk menghilangkan najis mughaladhah, maka aturan mencuci najis ini tetap merujuk pada hadits Nabi SAW:

“Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka cucilah bejana itu sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.” (HR. Muslim, no. 279)

Kesimpulan Akhir

1. Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan air Zamzam untuk menghilangkan najis:

Mayoritas ulama membolehkan, tetapi sebagian memakruhkan demi menghormati keutamaan air Zamzam.

Malikiyah secara umum memperbolehkan tanpa larangan.

Riwayat lain dari Imam Ahmad menyatakan larangan mutlak.

2. Jika digunakan untuk menghilangkan najis mughaladhah, tetap harus mengikuti aturan syariat, yaitu mencuci tujuh kali, dan salah satu cucian menggunakan campuran air dan debu, sesuai hadits Nabi SAW.

Referensi:

الموسوعة الفقهية الكويتية جزء ٤١ ص ٣٣١
ماء زمزم :`إختلف الفقهاء في حكم استعمال ماء زمزم في الطهارة من الحدث أو إزالة النجس على ثلاثة أقوال :`
القول الأول : ذهب الحنفية والشافعية وأحمد في رواية وابن شعبان من المالكية إلى `جواز استعمال ماء زمزم من غير كراهة في إزالة الأحداث، أما في إزالة الأنجاس فيكره تشريفا له وإكراما`

الثاني : ذهب المالكية إلى جواز استعمال ماء زمزم من غير كراهة مطلقا , أي سواء أكان الاستعمال في الطهارة من الحدث أم في إزالة النجس.

القول الثالث : ذهب أحمد في رواية إلى كراهة استعماله مطلقا أي في إزالة الحدث والنجس لقول ابن عباس رضي الله عنه : لا أحلها لمغتسل يغتسل في المسجد وهي لشارب ومتوضئ حل وبل

Referensi:

المجموع شرح المهذب جزء ١ص ١٣٦
`وأما زمزم فمذهب الجمهور كمذهبنا أنه لا يكره الوضوء والغسل به` وعن أحمد رواية بكراهته لأنه جاء عن العباس رضي الله عنه أنه قال وهو عند زمزم لا أحله لمغتسل وهو لشارب حل وبل

Referensi:

  • قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
    إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.
Kategori
Bahtsul Masail Muamalat Thoharoh Uncategorized

PROBLEMATIKA PENGGUNAN HANGER DAN BEJANA NON MUSLIM NAJISKAH?

PROBLEMATIKA PENGGUNAN HANGER DAN BEJANA/PIRING NON MUSLIM NAJISKAH?

Assalamualaikum.

DESKRIPSI MASALAH

Sebagaimana yang kita maklumi bahwa Diprovensi Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu, dan sedikit ( minoritas) orang yang beragama Islam , sedangkan dirumahnya orang Hindu rata-rata terdapat anjing, suatu ketika Ahmad meminjam hanger atau tempat jemuran pakaian kepada orang Hindu,

Studi kasus yang serupa

Dalam waqiyah ada seorang muslimah bekerja kepada orang hindu/orang kristiani yang punya anjing dan iya bekerja memasak setiap harinya, dan belanja kepasar , namun demikian stiap harinya anjingnya keluar masuk kedalam kamar dapurnya.

Pertanyaannya.
Najiskah hanger, pakaian dan bejana , piring yang dipakai orang Muslim tersebut?

Waalaikum salam
Jawaban

Menggunakan hanger dan bejana Non Muslim ( orang kafir ) baik mereka ahlul kitab dan yang lainya, selama meyakini tidak adanya hal yang najis maka hukumnya boleh dan suci dengan alasan karena mengikuti terhadap hukum asal ( kesucian)-Nya.Hal ini berdasarkan kaidah yang berlaku bahwa “ketika bertentangan antara penilaian secara zahir dan hukum asal suatu perkara, maka yang menjadi pijakan adalah hukum asalnya.”
Bahwa sesungguhnya sesuatu yang asalnya suci lalu ia menduga kuat bahwa sesuatu itu najis, dikarenakan pada umumnya terkena najis pada hal sesamanya maka dalam hal ini berlaku dua pendapat yang dikenal dengan dua qoul ” yaitu asal dan dhahir atau ghalib (pada umumnya) maka dalam hal ini pendapat yang paling unggul ( kuat ) adalah sucinya sesuatu tersebut, karena berpijak pada pengamalan hukum asal yang diyakini, disebabkan hukum asal lebih konfrensif dibandingkan dari ghalib yang berbeda-beda berdasarkan kondisi dan waktu.

Jadi kesimpulan hanger pakaian dan piring yang digunakan oleh Ahmad dan Muslimah adalah suci karena berpijak pada hukum asal yang diyakini. Dengan demikian hukum menggunakannya boleh tanpa makruh kecuali nampak ada najisnya namun makruh menggunakan setelah disucikan menurut Imam Nawi .Wallahu A’lam bisshowab

فتح المعين هامش إعانة الطالبين ١٠٤/١

(قاعدة مهمة)

وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله، فيه قولان معروفان بقولي الاصل والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر، عملا بالاصل المتيقن، لانه أضبط من الغالب المختلف بالاحوال والازمان، (وذلك كثياب خمار وحائض وصبيان)، وأواني متدينين بالنجاسة، وورق يغلب نثره على نجس، ولعاب صبي، وجوخ اشتهر عمله بشحم الخنزير، وجبن شامي اشتهر عمله بإنفحة الخنزير. وقد جاءه صلى الله عليه وسلم جبنة من عندهم فأكل منها ولم يسأل عن ذلك ذكره شيخنا في شرح المنهاج.(قوله: وأواني متدينين بالنجاسة) أي أواني مشركين متدينين باستعمال النجاسة، كطائفة من المجوس يغتسلون بأبوال البقر تقربا.
(قوله: وجوخ إلخ) في المغني: سئل ابن الصلاح عن الجوخ الذي اشتهر على ألسنة الناس أن فيه شحم الخنزير ؟ فقال: لا يحكم بنجاسته إلا بتحقق النجاسة اهـ

حواشي الشرواني – (ج ١ / ص ١٢٧)
تتمة: يكره استعمال أواني الكفار وملبوسهم وما يلي أسافلهم أي مما يلي الجلد أشد وأواني مائهم أخف وكذلك المسلم الذي ظهر منه عدم تصوبه عن النجاسات ويسن إذا جن الليل تغطية الاناء ولو بعرض عود وألحق به ابن العماد البئر وإغلاق الابواب وإيكاء السقاء مسميا لله تعالى في الثلاثة وكف الصبيان والماشية أول ساعة من الليل وإطفاء المصباح للنوم ويسن ذكر اسم الله على كل أمر ذي بال كردي ومغني وقوله: (أواني الكفار) أي وإن كانوا يتدينون باستعمال النجاسة كطائفة من المجوس يغتسلون ببول البقر تقربا إلى الله تعالى قوله: (وكذلك المسلم الذي الخ) أي كمدمني الخمر والقصابين الذين لا يحترزون عن النجاسة مغني وشيخنا.

حواشي الشرواني – (ج ١ / ص ٥٥)
(قَوْلُهُ اسْتِعْمَالُهَا) أَيْ لَفْظَةُ يَنْبَغِي (قَوْلُهُ فِي الْمَنْدُوبِ تَارَةً وَالْوُجُوبِ أُخْرَى) ، وَتُحْمَلُ عَلَى أَحَدِهِمَا بِالْقَرِينَةِ نِهَايَةٌ بَقِيَ مَا لَوْ لَمْ تَدُلَّ قَرِينَةً وَيَنْبَغِي أَنْ تُحْمَلَ عَلَى النَّدْبِ إنْ كَانَ التَّرَدُّدُ فِي حُكْمٍ شَرْعِيٍّ، وَإِلَّا فَعَلَى الِاسْتِحْسَانِ وَاللِّيَاقَةِ وَمَعْنَاهَا هُنَا كَمَا قَالَ عَمِيرَةُ إنَّهُ يُطْلَبُ وَيَحْسُنُ شَرْعًا تَرْكُ خُلُوِّ الْكِتَابِ مِنْهَا ع ش قَوْلُ الْمَتْنِ (أَنْ يُخَلِّيَ) لَعَلَّهُ مِنْ الْإِخْلَاءِ

الأشباه والنظائر ٤٧
( والثالث ) ما يرجح فيه الاصل على الاصح وضابطهان يستند الاحتمال الى سبب ضعيف وامثلته لاتكاد تحصر منها الشئ الذى لا يتقين بنجاسته ولكن الغالب فيه النجاسة كاوانى وثياب مدنى الخمر والقصابين والكفار المتدينين بها كا المجوس ومن ظهر اختلاطه بالنجاسة وعدم اخترازه منها مسلمل كان او كافرا كما فى شرح المهذب عن الامام…….. الى ان قال وفى جميع ذلك قولان اصحهما الحكم بالطاهرة استصحابا للاصل اهـ

أسنى المطالب – (ج ١ / ص ١٣٧)
( فَرْعٌ إذَا غَلَبَتْ النَّجَاسَةُ ) فِي شَيْءٍ ( وَالْأَصْلُ ) فِيهِ أَنَّهُ ( طَاهِرٌ كَثِيَابِ مُدْمِنِي الْخَمْرِ وَ ) ثِيَابِ ( مُتَدَيِّنَيْنِ بِالنَّجَاسَةِ ) كَالْمَجُوسِ ( وَ ) ثِيَابِ ( صِبْيَانِ ) بِكَسْرِ الصَّادِ أَشْهَرُ مِنْ ضَمِّهَا ( وَمَجَانِينَ وَقَصَّابِينَ ) أَيْ جَزَّارِينَ ( حُكِمَ ) لَهُ ( بِالطَّهَارَةِ ) عَمَلًا بِالْأَصْلِ ، وَمَحَلُّ الْعَمَلِ بِهِ إذَا اسْتَنَدَ ظَنَّ النَّجَاسَةِ إلَى غَلَبَتِهَا ، وَإِلَّا عَمِلَ بِالْغَالِبِ كَمَا مَرَّ فِي بَوْلِ الظَّبْيَةِ ، وَذِكْرُ الْمَجَانِينِ مِنْ زِيَادَتِهِ ( وَمَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى مِنْ ذَلِكَ كَعُرْفِ الدَّوَابِّ ، وَلُعَابِهَا ، وَلُعَابِ الصَّبِيِّ ، وَالْحِنْطَةِ ) الَّتِي ( تُدَاسُ ، وَالثَّوْرُ يَبُولُ ) عَلَيْهَا جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ ( وَالْجُوخُ ، وَقَدْ اُشْتُهِرَ اسْتِعْمَالُهُ بِشَحْمِ الْخِنْزِيرِ مَحْكُومٌ بِطَهَارَتِهِ ) ، وَالتَّصْرِيحُ بِهَذَا مِنْ زِيَادَتِهِ ، وَلَوْ قَالَ ، وَكَذَا مَا عَمَّتْ إلَخْ ، وَحَذَفَ قَوْلِهِ مَحْكُومٌ بِطَهَارَتِهِ كَانَ أَوْضَحَ ، وَأَخْصَرَ .( قَوْلُهُ وَمَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى إلَخْ ) سُئِلَ ابْنُ الصَّلَاحِ عَنْ الْأَوْرَاقِ الَّتِي تُعْمَلُ وَتُبْسَطُ وَهِيَ رَطْبَةٌ عَلَى الْحِيطَانِ الْمَعْمُولَةِ بِرَمَادٍ نَجِسٍ فَقَالَ لَا يُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهَا وَسُئِلَ عَنْ قَلِيلِ قَمْحٍ فِي سُفْلٍ وَقَدْ عَمَّتْ الْبَلْوَى بِزِبْلِ الْفَأْرِ وَأَمْثَالِ ذَلِكَ فَقَالَ لَا يُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهِ إلَّا أَنْ تُعْلَمَ نَجَاسَةً فِي هَذَا الْحَبِّ الْمُعَيَّنِ.

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج ١ / ص ١٢٤)
وَلَوْ غَلَبَتْ النَّجَاسَةُ فِي شَيْءٍ ، وَالْأَصْلُ فِيهِ الطَّهَارَةُ كَثِيَابِ مُدْمِنِي الْخَمْرِ ، وَمُتَدَيِّنِينَ بِالنَّجَاسَةِ كَالْمَجُوسِ ، وَمَجَانِينَ ، وَصِبْيَانٍ بِكَسْرِ الصَّادِ أَشْهُرُ مِنْ ضَمِّهَا وَجَزَّارِينَ حُكِمَ لَهُ بِالطَّهَارَةِ عَمَلًا بِالْأَصْلِ ، وَكَذَا مَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى مِنْ ذَلِكَ كَعَرَقِ الدَّوَابِّ وَلُعَابِهَا وَلُعَابِ الصَّبِيِّ وَالْحِنْطَةِ الَّتِي تُدَاسُ ، وَالثَّوْرُ يَبُولُ عَلَيْهَا وَالْجُوخُ ، وَقَدْ اشْتَهَرَ اسْتِعْمَالُهُ بِشَحْمِ الْخِنْزِيرِ ، وَمِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ غَسْلُ ثَوْبٍ جَدِيدٍ وَقَمْحٍ وَفَمٍ مِنْ أَكْلِ نَحْوِ خُبْزٍ ، وَتَرْكُ مُؤَاكَلَةِ الصِّبْيَانِ لِتَوَهُّمِ نَجَاسَتِهَا قَالَهُ فِي الْعُبَابِ وَالْبَقْلُ النَّابِتُ فِي نَجَاسَةٍ مُتَنَجِّسٌ لَا مَا ارْتَفَعَ عَنْ مَنْبَتِهِ فَإِنَّهُ طَاهِرٌ ، وَلَوْ وَجَدَ قِطْعَةَ لَحْمٍ فِي إنَاءٍ أَوْ خِرْقَةٍ بِبَلَدٍ لَا مَجُوسَ فِيهِ فَطَاهِرَةٌ ، أَوْ مَرْمِيَّةً مَكْشُوفَةً فَنَجِسَةٌ أَوْ فِي إنَاءٍ أَوْ خِرْقَةٍ وَالْمَجُوسُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يَكُنْ الْمُسْلِمُونَ أَغْلَبَ فَكَذَلِكَ وَإِنْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ أَغْلَبَ فَطَاهِرَةٌ وَكَذَا إذَا اسْتَوَيَا فِيمَا يَظْهَرُ.

Menurut Imam Nawawi boleh dan tidak makruh kecuali mutanajis maka hukum menggunakannya makruh setelah dibasuh ( disucikan).

“أن استعمال أواني المشركين جائز لا كراهة فيه إلا إن كانوا يستعملونها في النجاسات، فلا تستعمل إلا بعد الغسل، واستعمالها والحال هذه مكروه، “

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh Uncategorized

HUKUMNYA KEDUA KAKI MENYENTUH LANTAI KAMAR MANDI KORELASINYA DENGAN KESUCIAN KAKI DAN SOLUSINYA

HUKUMNYA KEDUA KAKI MENYENTUH LANTAI KAMAR MANDI KORELASINYA DENGAN KESUCIAN KAKI DAN SOLUSINYA

Assalamualaikum
Deskripsi masalah :
Dalam waqiiyah dimasyarat sebut saja joni, di dalam rumah-Nya ada kamar mandi, dan WC yang mana tempat itu merupakan tempat khusus yang dipergunakan Joni atau keluarganya untuk membersihkan diri dari kotoran. Sehingga kamar mandi dan sejenisnya selalu identik dengan najis, sebagaimana saat joni telah buang air kecil, maupun buang air besar tidak luput dari percikan najis.

Sebelum berwudhu si Joni membasuh kemaluannya dan tempat sekitarnya bahkan kedua kakinya lalu ia wudhu’ dan keluar kamar dengan tanpa alas kaki atau sandal. Namun demikian setiap si Joni selesai wudhu sering dihantui keragu-ramuan bahkan tidak hanya Joni seseorang yang serupa dengan joni dirumahnya terdapat kamar mandi yang menyatu dengan WC, merasa ragu yang bersumber dari telapak kaki sebagai anggota badan yang langsung bersentuhan dengan lantai kamar mandi. Sehingga seringkali Joni berjalan dengan berjinjit sangat hati-hati. Merasa seolah lantai kamar mandi itu tidak bebas dari najis, padahal lantai kamar mandi telah disiram berulang-ulang dengan air yang suci.

Pertanyaan :
Bagaimana hukum kaki si Joni, jika memandang  dari situasi dan kondisinya selalu terkena najis sebagaimana dalam deskripsi sucikah ataukah tidak ? Kalau tidak suci adakah solusinya ?

Waalikum salam.

Untuk menghukumi najis dan tidaknya kaki Joni adalah dikondisikan pada tempat yang ia pijak artinya jika lantai sudah dianggap suci setelah disirami air maka suci tetapi jika hanya bersih belum tentu suci karena untuk menghukum cuci dan tidaknya harus dilihat dari sudut pandang cara mencucikannya ( barang yang terkena najis).
Dalam konteks bisa suci yaitu harus menghilangkan sifatnya rasanya dan baunya jika ketiga tersebut sudah hilang maka tempat tersebut dianggap suci akan tetapi jika masih salah satu dari yang tiga ada misalkan berbau maka tentu masih blm dikatakan suci, kecuali apabila warna atau bau najis sulit dihilangkan maka tidak wajib menghilangkannya, bahkan tempat yang dikenainya telah nyata suci. Berbeda apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada di satu tempat yang dikenai satu najis maka tempat tersebut belum dihukumi suci karena kuatnya warna dan bau secara bersamaan dalam menunjukkan tetapnya dzat najis.
Begitu juga berbeda apabila rasa najis masih ada maka tempat yang dikenainya belum suci dan karena pada umumnya masih mudah untuk menghilangkan rasa najis tersebut.
Lalu bagaimana cara menghilangkan diantara sifat yang masih ada semisal warna dan bau ?

Adapun cara untuk menghilangkan (sifat-sifat) najis ainiah adalah mengerok dan menggosok sebanyak tiga kali. Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Azhari berkata, ‘Lafadz ( الحت) (mengerok berarti kamu mengerok dengan sisi batu atau kayu. Lafadz القَرْص (menggosok) berarti kamu menggosok dengan ujung jari-jari dengan cara menggosok secara kuat. Kemudian kamu menuangkan air pada tempat yang dikenai najis sampai dzat najis dan bekasnya hilang.’”

Apabila najis ainiah telah dikerok, digosok, dan dituangi air, ternyata masih ada warnanya atau baunya maka dihukumi sulit dan tempat yang dikenainya pun telah dihukumi suci. Tidak wajib menggunakan alat bantu semisal sabun dan tumbuhan asynan. Akan tetapi apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada maka wajib menggunakan alat bantu tersebut hingga mencapai batas ta’adzur (sulit menghilangkan). Batasan ta’adzur adalah sekiranya warna dan bau najis tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali dengan cara memotong tempat yang dikenai najis. Ketika telah dihukumi ta’adzur maka tempat yang dikenai najis dihukumi ma’fu. Kemudian apabila setelah dihukumi ma’fu, ternyata selang beberapa waktu, warna dan bau najis tersebut bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya. Namun, apabila sebelumnya seseorang telah melakukan sholat di tempat yang ma’fu tersebut maka ia tidak wajib mengulangi sholatnya setelah mampu dihilangkan. Jika tidak, maka tidak perlu dihukumi ma’fu.
Jadi inlah caranya menentukan suci dan tidaknya tempat dan kakinya Joni . Karena Syariah hanya Menghukumi Zhahirnya saja sedangkan masalah yang samar ( Batin ) adalah Urusan Allah yang penting usaha sudah dilakukan.

كتاب التحبير شرح التحرير المكتبة الشاملة ص ٣٧٩٢
وَرُبمَا اسْتدلَّ على ذَلِك بِمَا رُوِيَ عَن النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنه قَالَ: ” نَحن نحكم بِالظَّاهِرِ، وَالله يتَوَلَّى السرائر “، كَمَا اسْتدلَّ بِهِ الْبَيْضَاوِيّ وَغَيره.لكنه حَدِيث لَا يعرف، لَكِن رَوَاهُ الْحَافِظ أَبُو طَاهِر إِسْمَاعِيل بن عَليّ بن إِبْرَاهِيم بن أبي الْقَاسِم الجنزوي فِي كِتَابه: ” إدارة الْأَحْكَام ” فِي قصَّة الْكِنْدِيّ والحضرمي الَّذين اخْتَصمَا إِلَى النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وأصل حَدِيثهمَا فِي ” الصَّحِيحَيْنِ ” فَقَالَ الْمقْضِي عَلَيْهِ: قضيت عَليّ وَالْحق لي، فَقَالَ رَسُول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا نقضي بِالظَّاهِرِ وَالله يتَوَلَّى السرائر ” وَله شَوَاهِد.
والله أعلم بالصواب

Berikut cara mencucikan najis Mutawassithoh dijelaskan dalam kitab Kasyifat al-Saja Syarah Safinat al-Naja (كاشفة السجا شرح سفينة النجا)
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Nama yang dikenal di Arab:
محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي

Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi

والمتوسطة تنقسم على قسمين عينية) وهي التي تشاهد بالعين (وحكمية) أي وهي التي حكمنا على المحل بنجاسته من غير أن ترى عين النجاسة

Najis mutawasitoh dibagi menjadi dua macam, yaitu ainiah (yaitu najis yang terlihat oleh mata) dan hukmiah (yaitu najis yang tempat yang dikenainya itu kita hukumi sebagai najis tanpa terlihat dzat najisnya).

Ainiah

العينية) ضابطها هي (التي لها لون) من البياض والسواد والحمرة وغير ذلك (وريح) وهي بمعنى الرائحة عرض يدرك بحاسة الشم (وطعم) بفتح الطاء وهو ما يؤديه الذوق من الكيفية كالحلاوة وضدها

Pengertian najis mutawasitoh [ ainiah adalah najis yang masih memiliki warna], seperti; putih, hitam, merah, dan lain-lain, [dan bau], yakni sesuatu yang dapat diketahui dengan indra pencium, [dan rasa], yakni sesuatu yang dapat diketahui dengan indra pengicip, seperti; manis, pahit (dan lain-lain).

فلا بد من إزالة لو ا وريحها وطعمها) إلا ما عسر زواله من لون أو ريح فلا تجب إزالته بل يطهر محله حقيقة بخلاف ما لو اجتمعنا في محل واحد من نجاسة واحدة لقوة دلالتهما على بقاء عين النجاسة وبخلاف ما لو بقي الطعم لذلك أيضا ولسهولة إزالته غالبا


Cara mensucikan tempat yang dikenai najis ainiah [diwajibkan menghilangkan warna najis, baunya, dan rasanya] kecuali apabila warna atau bau najis sulit dihilangkan maka tidak wajib menghilangkannya, bahkan tempat yang dikenainya telah nyata suci. 
Berbeda apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada di satu tempat yang dikenai satu najis maka tempat tersebut belum dihukumi suci karena kuatnya warna dan bau secara bersamaan dalam menunjukkan tetapnya dzat najis.
Begitu juga berbeda apabila rasa najis masih ada maka tempat yang dikenainya belum suci dan karena pada umumnya masih mudah untuk menghilangkan rasa najis tersebut.

فالواجب في إزالة النجاسة الحت والقرص ثلاث مرات وفي المصباح قال الأزهري الحت أن تحك بطرف حجر أو عود والقرص أن تدلك بأطراف الأصابع دلكا شديدا وتصب عليه الماء حتى تزول عينه وأثره انتهى

Perkara yang diwajibkan dalam menghilangkan (sifat-sifat) najis ainiah adalah mengerok dan menggosok sebanyak tiga kali.
Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Azhari berkata, ‘Lafadz ( الحت) (mengerok) berarti kamu mengerok dengan sisi batu atau kayu.
Lafadz القَرْص (menggosok) berarti kamu menggosok dengan ujung jari-jari dengan cara menggosok secara kuat. Kemudian kamu menuangkan air pada tempat yang dikenai najis sampai dzat najis dan bekasnya hilang.’”

فإذا بقي بعد ذلك اللون أو الريح حكم بالتعسر وطهارة المحل ولا تجب الاستعانة بالصابون والاشنان وإن بقيا معا أو الطعم وحده تعينت الاستعانة بما ذكر إلى التعذر وضابطه أن لا يزول إلا بالقطع فإذا تعذر زوال ما ذكر حكم بالعفو فإذا قدر على الإزالة بعد ذلك وجبت ولا تجب إعادة ما صلاه به أولا وإلا فلا معنى للعفو،

Apabila najis ainiah telah dikerok, digosok, dan dituangi air, ternyata masih ada warnanya atau baunya maka dihukumi sulit dan tempat yang dikenainya pun telah dihukumi suci. Tidak wajib menggunakan alat bantu semisal sabun dan tumbuhan asynan. Akan tetapi apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada maka wajib menggunakan alat bantu tersebut hingga mencapai batas ta’adzur (sulit menghilangkan). Batasan ta’adzur adalah sekiranya warna dan bau najis tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali dengan cara memotong tempat yang dikenai najis. Ketika telah dihukumi ta’adzur maka tempat yang dikenai najis dihukumi ma’fu. Kemudian apabila setelah dihukumi ma’fu, ternyata selang beberapa waktu, warna dan bau najis tersebut bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya. Namun, apabila sebelumnya seseorang telah melakukan sholat di tempat yang ma’fu tersebut maka ia tidak wajib mengulangi sholatnya setelah mampu dihilangkan. Jika tidak, maka tidak perlu dihukumi ma’fu.

ويعتبر لوجوب نحو الصابون أن يفضل ثمنه عما يفضل عنه ثمن الماء في التيمم فإن لم يقدر عليه صلى عاريا وإن لم يقدر على الحت ونحوه لزمه أن يستأجر عليه بأجرة مثله إذا وجدها فاضلة عن ذلك أيضا ذكره الشرقاوى

Kewajiban menggunakan alat bantu semisal sabun harus mempertimbangkan bahwa biaya harga alat bantu tersebut lebihan atas biaya harga air dalam tayamum. Apabila seseorang yang pakaiannya terkena najis dan ia tidak memiliki biaya untuk mendapatkan alat bantu tersebut maka ia sholat dalam keadaan telanjang. Apabila ia tidak mampu mengerok dan menggosok najis dan ia memiliki biaya yang lebihan atas biaya air maka wajib atasnya menyewa orang lain untuk mengerokkan dan menggosokkan najis dengan upah dari biaya lebihan yang ia miliki itu, seperti yang telah disebutkan oleh Syarqowi.

Lalu bagaimana jika hal tersebut ( kamar mandi ) terjadi pada orang-orang besar yang berpangkat sementara dia menginap dihotel yang mana kamarnya terdapat kamarmandi sebagaimana tersebut diatas?
Maka jawabannya hukum Islam tidak memandang orang besar dan orang kecil artinya setiap muslim wajib mengetahui hal yang wajib diketahui dan diyakini secara muthlak baik waktu sholat maupun diluar sholat. ( lihat dalam kitab Syarah sullamuttaufiq ).

Artinya si Joni baik berpangkakat /orang besar ataupun tidak jika dia memandang  kakinya ada di tempat yang selalu terkena najis, dan menyakini bahwa tempat yang dipijak oleh kakinya Joni setelah dibasuh dengan cara tersebut diatas masih menyakini najis ,Maka hukumnya kakinya Joni itu adalah najis.Dan sebaliknya. Namun jika setiap melakukan wudhu’ meragukan maka solusinya sebagai bentuk kehati-kehatian adalah memakai sandalal khusus ( letakkan didekat luar pintu kamar mandi) setelah mengakat salah satu kakinya ( yang kanan) basuhlah lalu pakaian sandalnya lalu basuh kaki yang kiri dan masukkan kedalam sandal yang kiri, atau dengan cara membuat seperti tangga loncatan diluar kamar mandi dll.

Dalam sebuah qoidah disebutkan,

اليقين لا يزال بالشك


Artinya: Keyakinan(bahwa tempat yang dipijak oleh kakinya kakinya) itu najis,itu tidak bisa dihilangkan oleh keraguan (bahwa tempat yang dipijak oleh kakinya kakinya itu suci).
Adapun najis yang dima’fu (yang diampuni) adalah najis yang tidak bisa disaksikan dengan mata, karena sedikitnya najis itu , seperti najis yang tidak bisa disaksikan dengan penglihatan mata,seperti setitik darah,dan setitik khomer,dan najis yang tergantung pada kaki lalat. Alasannya ialah karena sulitnya menjaga terhadap najis itu.

Referensi:

(الاءقناع في حل الفاظ ابي شجاع)
(القَوْل فِي النَّجَاسَة المعفو عَنْهَا) وَيسْتَثْنى أَيْضا نجس لَا يُشَاهد بالبصر لقلته كنقطة بَوْل وخمر وَمَا يعلق بِنَحْوِ رجل ذُبَاب لعسر الِاحْتِرَاز عَنهُ فَأشبه دم البراغيث
قَالَ الزَّرْكَشِيّ وَقِيَاس اسْتثِْنَاء دم الْكَلْب من يسير الدَّم المعفو عَنهُ أَن يكون هُنَا مثله وَقد يفرق بَينهمَا بالمشقة وَالْفرق أوجه ويعفى أَيْضا عَن رَوْث سمك لم يُغير المَاء وَعَن الْيَسِير عرفا من شعر نجس من غير نَحْو كلب وَعَن كَثِيره من مركوب وَعَن قَلِيل دُخان نجس وغبار سرجين وَنَحْوه مِمَّا تحمله الرّيح كالذر وَعَن حَيَوَان مُتَنَجّس المنفذ إِذا وَقع فِي المَاء للْمَشَقَّة فِي صونه وَلِهَذَا لَا يُعْفَى عَن آدَمِيّ مستجمر وَعَن الدَّم الْبَاقِي على اللَّحْم والعظم فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنهُ وَلَو تنجس حَيَوَان طَاهِر من هرة أَو غَيرهَا ثمَّ غَابَ وَأمكن وُرُوده مَاء كثيرا ثمَّ ولغَ فِي طَاهِر لم يُنجسهُ مَعَ حكمنَا بِنَجَاسَة فَمه لِأَن الأَصْل نَجَاسَته وطهارة المَاء وَقد اعتضد أصل طَهَارَة المَاء بِاحْتِمَال ولوغه فِي مَاء كثير فِي الْغَيْبَة فرجح

Mengenai hal kehati-hatian Imam Nawawi menjelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab pernah menjelaskan,

 
اسْتِحْبَابُ الِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَاتِ وَغَيْرِهَا بِحَيْثُ لَا يَنْتَهِي إلَى الْوَسْوَسَة

Diperbolehkan berihthiyath (berhati-hati) dalam masalah ibadah dan yang lain sehingga tidak mengakibatkan waswas.

Penekanan Ihthiyath (kehati-hatian) lebih diutamakan pada masalah ini, dikarenakan bersuci dari najis adalah salah satu syarat sahnya shalat, jika saja ada najis yang mengenai pakaian seseorang, maka akan menjulur pada keabsahan shalat itu sendiri.

Sedangkan maksud dan tujuan dari memakai sandal sendiri adalah untuk menghindari keragu-raguan, najis dan kotoran itu sendiri. Maka jika terpenuhinya maksud tersebut adalah dengan memakai sandal, maka hal itu dianjurkan sebagai sarana terwujudnya maksud dan tujuan. Wallahu A’lam

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh Uncategorized

BANGUN TIDUR CELANA/SARUNG BASAH TANPA MIMPI KELUAR MANI WAJIBKAH ADUS…?

BANGUN TIDUR CELANA /SARUNG BASAH TANPA MIMPI KELUAR MANI, WAJIBKAH ADUS/ MANDI?.

Assalamualaikum.

Deskripsi masalah.
Pada suatu malam saya tidur kemudian bangunnya saya temukan celana saya basah entah apa itu mazdi atau mani.
Tapi saya anggap itu bukan mani karena saya merasa tidak bermimpi jima’, karena saya tidak mimpi keluar mani maka saya cuman ambil wudhu dan kemudian saya sholat.

Pertanyaan nya.

Apakah anggapan saya itu bisa dibenarkan mohon penjelasannya juga antara keluarnya madza wadzi dan mani?


Untuk mentukan sangkaan ( anggapan) itu bisa dibenarkan sehingga dapat menyimpulkan wajib dan tidaknya seseorang mandi wajib ketika menemukan cairan yang membasahi sarungnya atau celananya ketika bangun tidur sementara dia tidak merasakan bermimpi keluar mani, maka dia harus melihat tanda-tanda mani dan sifatnya yaitu:
✔️keluar disertai syahwat (kenikmatan).
✔️ keluar dengan tersendat-sendat.
✔️jika basah baunya mirip adonan kue dan jika kering mirip putih telur.
Jika didapatkan salah satu dari tiga ciri di atas, diyakini cairan itu maninya sendiri, maka ia wajib mandi. Hal ini berlaku pada laki-laki dan perempuan dengan merujuk pada sebuah hadits riwayat Imam Muslim dalam Sahihnya:


إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ


“Sesungguhnya mandi itu karena keluar air (mani)” (HR. Muslim)
Dari hadis ini sebenarnya sudah jelas bahwa kewajiban mandi wajib/junub bukan karena mimpinya, melainkan karena keluarnya mani. Hal ini juga diperjelas oleh Mustafa al-Khin dan Mustafa al-Bugha dalam kitabnya, al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhabi Imam as-Syafii, dengan mengutip hadis riwayat Abu Dawud berikut:


 عن عائشة رضي الله عنها قالت سئل رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عن الرجل يجد البلل ولا يذكر احتلاماً؟ فقال ” يغتسل “. وعن الرجل يرى أن قد احتلم ولا يجد البلل؟ فقال: ” لا غسل عليه “. فقالت أم سليم: المرأة ترى ذلك، أعليها غسل؟ قال ” نعم ” النساء شقائق الرجال


“Dari Aisyah Ra. berkata bahwa Rasul pernah ditanyai oleh seorang laki-laki yang mendapati bajunya basah, dan ia tidak merasa ihtilam (mimpi melakukan hubungan seksual), kemudian Rasul menjawab, “Mandi.” Serta ada orang lain yang bertanya bahwa ia berihtilam, tapi tidak mendapati bajunya basah. Kemudian Rasul menjawab, “Tidak wajib mandi.” Kemudian Ummu Salamah bertanya, “Apakah perempuan saat seperti itu, apakah wajib mandi wahai Rasul?” Rasul pun menjawab, “Iya, karena perempuan menyerupai laki-laki.”
Sehingga bagi orang yang tidur, baik bermimpi ataupun tidak, tapi jika ia mengeluarkan mani, maka ia diwajibkan mandi.

Namun jika tiada-tanda bahwa yang basah itu bukan mani maka tidak wajib mandi berikut rincian Tanda dan perbedaan mani, madzi dan wadi.

MANI adalah cairan putih keluar dengan tersendat-sendat disertai syahwat serta menyebabkan loyo setelah keluarnya.
Hukumnya suci dan wajib mandi. Ciri-ciri mani ada 3, yaitu :
– keluar disertai syahwat (kenikmatan).
– keluar dengan tersendat-sendat.
– jika basah baunya mirip adonan kue dan jika kering mirip putih telur.
Jika didapatkan salah satu dari tiga ciri di atas, maka disebut mani. Hal ini berlaku pada laki-laki dan perempuan.
MADZI adalah cairan putih lembut dan licin keluar pada permulaan bergejolaknya syahwat. Istilah madzi untuk laki-laki, namun jika keluar dari perempuan dinamakan QUDZA.
Hukumnya najis dan membatalkan wudhu tapi tidak wajib mandi.
WADI adalah cairan putih keruh dan kental, keluar setelah melaksanakan kencing atau ketika mengangkat beban berat.
Hukumnya seperti madzi yaitu najis dan membatalkan wudhu’ tapi tidak wajib mandi.

KESIMPULAN :

  1. Jika cairan keluar mengandung salah satu ciri-ciri mani, maka dihukumi mani. Namun jika tidak ada dan keluarnya pada mulai gejolaknya syahwat atau sesudah syahwat, maka dihukumi madzi.
  2. Jika ragu yang keluar mani atau madzi ?, maka boleh memilih antara menjadikannya mani sehingga wajib mandi, atau menjadikannya madzi sehingga hukumnya najis, tidak wajib mandi namun batal wudhu’nya. Paling afdholnya menggabung keduanya yaitu mandi janabah dan menyucikan tempat yang terkena cairan tersebut.
  3. .Wanita juga mengeluarkan mani dengan ciri-ciri sebagaimana di atas. Namun menurut imam Al-Ghozali, mani wanita hanya bercirikan keluar disertai syahwat (kenikmatan).


التقريرات االسديدة في المسائل المفيدة ص ١١٥-١١٦
الفرق بين المني والمذي والودي :
المني : ماء أبيض يتدفق حال خروجه ويخرج بشهوة ويعقب خروجه فتور.
المذي : ماء أبيض رقيق لزج يخرج عند ثوران الشهوة بلا شهوة كاملة
الودي : ماء أبيض ثخين كدر يخرج بعد البول أو عند حمل شيئ ثقيل
الحكم عند خروج أحدها :
المني يوجب الغسل ولا ينقض الوضوء وهو طاهر
المذي والودي حكمهما كالبول فينقضان الوضوء وهما نجسان
علامة المني يجب الغسل إذا وجدت إحدى هذه العلامات ولا يشترط كلها والمرأة مثل الرجل في ذلك وهي ثلاثة :
١. التلذذ بخروجه أي يخرج بشهوة
٢. التدفق أي يخرج على دفعات
٣. الرائحة إذا كان رطبا كرائحة العجين أو الطلع ، وإذا كان جافا كرائحة بياض البيض
فليس من علامات المني كونه أبيضا أو يعقب خروجه فتور ولكن هذا على سبيل الغالب
كما قال صاحب صفوة الزبد :
ويعرف المني باللذة حين # خروجه وريح طلع أو عجن
مسألة : إذا شك هل الخارج مني ام مذي فما الحكم؟ يتخير فإن شاء جعله منيا فيجب عليه الغسل وإن شاء جعله مذيا فينتقض وضوؤه ويجب غسل ما أصابه منه والأفضل أن يجمع بينهما فيغتسل ويغسل ما اصابه منه .والله أعلم بالصواب

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh Uncategorized

JENAZAH SETELAH DIBUNGKUS KELUAR KOTORAN

JENAZAH SETELAH DIBUNGKUS KELUAR KOTORAN

Asslamualaikum.
Deskripsi masalah.
Dalam maslah Tajhizul jenazah , terkadang setelah selesai dimandikan dan diwudhu’in bahkan sudah dibungkus lalu keluar kotoran dari salah satu jalan yang dua.

Pertanyaannya.
Apakah mayat tersebut harus disucikan kembali mengingat keluar kotoran ?

Jawaban.

Jika keluar najis dari kemaluan mayat setelah dimandikan dan belum dikafani, maka harus dibersihkan tanpa ada perbedaan. Dalam masalah mengulangi pembersihannya (mandi) ada tiga pendapat yang terkenal, yang paling kuat adalah tidak diwajibkan apapun. Karena dia telah keluar dari taklif (beban kewajiban) dalam masalah batal suci. Juga diqiyaskan seperti orang terkena najis dari orang lain. Maka cukup dibersihkan tanpa ada perbedaan.” Akan tetapi jika keluar setelah dibungkus maka tidak perlu untuk dibasuh atu dihilangkan.

Kesimpulan jika keluar sebelum dibungkus maka wajib dibersihkan, tetapi jika keluarnya setelah dibungkus maka tidak perlu, dibasuh lagi.

Referensi;

{انظر كتاب المجموع شرح المهذب : ج ٥ ص ١٣٨. للإمام النووي الشافعي}.

وقال الامام النووي الشافعي رحمه الله في كتابه “المجموع شرح المهذب” :

” إذا خرج من أحد فرجي الميت بعد غسله وقبل تكفينه نجاسة وجب غسلها بلا خلاف , وفي إعادة طهارته ثلاثة أوجه مشهورة ” أصحها: لا يجب شيء; لأنه خرج عن التكليف بنقض الطهارة وقياساً على ما لو أصابته نجاسة من غيره، فإنه يكفي غسلها بلا خلاف ” ..” انتهى

Referensi.

[البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ١٢٦/٢]

ولو خرج منه بعد الغسل نجس لم ينقض الطهر، بل تجب إزالته فقط إن خرج قبل التكفين، لا بعده:

إعانة الطالبين ج٢ ص ١١٠
ولو خرج منه بعد الغسل نجس لم ينقض الطهر بل تجب إزالته فقط إن خرج قبل التكفين لا بعده
( قوله ولو خرج منه ) أي من الميت ولو من السبيلين
( قوله ولم ينقض الطهر ) أي لم يبطله
( قوله بل تجب إزالته ) أي النجس الخارج
( وقوله فقط ) أي من غير إعادة غسله وذلك لسقوط الفرض بما وجد وحصول النظافة بإزالة الخارج
( قوله إن خرج قبل التكفين لا بعده ) هكذا عبارة شيخه في فتح الجواد إلا أنه أحالها فيه على إفتاء البغوي وجزم في التحفة بوجوبها أيضا بعد التكفين ونصها مع الأصل ولو خرج بعده أي الغسل أي وقبل الإدراج في الكفن نجس ولو من الفرج وجب إزالته تنظيفا له فقط لأن الفرض قد سقط بما وجد.

Referensi:

الفقه على مذاهب الأربعة ص ٤٦٣
إذا خرج من الميت بعد غسله نجاسة علقت ببدنه أو بكفنه فإنها تجب إزالتها، ولا يعاد الغسل مرة أخرى، باتفاق المالكية؛ والشافعية، أما الحنفية؛ والحنابلة، فانظر مذهبيهما تحت الخط (٢) .
[كيفية غسل الميت]
ذكرت كيفية غسل الميت مفصلة في المذاهب؛ فانظرها تحت الخط (٣) .
(١) الحنابلة قالوا: يسن قص شارب غير المحرم وتقليم أظافره إن طالما وأخذ شعر إبطيه إلا أنها بعد نزعها توضع معه في كفنه، أما حلق رأسه الميت فحرام، لأنه إنما يكون لنسك أو زينة، أما حلق عانته فهو حرام لا مكروه، لما قد يترتب على ذلك من مس عورته أو نظرها.
المالكية قالوا: ما يحرم فعله في الشعر مطلقاً حال الحياة يحرم بعد الموت، وذلك كحلق لحيته وشاربه، وما يجوز حال الحياة يكره بعد الموت

(٢) الحنفية قالوا: النجاسة الخارجة من الميت لا تضر، سواء أصابت بدنة أو كفنه، إلا أنها تغسل قبل التكفين تنظيفاً لا شرطاً في صحة الصلاة عليه، أما بعد التكفين فإنها لا تغسل، لأن في غسلها مشقة وحرج، بخلاف النجاسة الطارئة عليه، كأن كفن بنجس فإنها تمنع من صحة الصلاة عليه.
الحنابلة قالوا: إذا خرج من الميت نجاسة بعد غسله وجبت إزالتها وإعادة غسله إلى سبع مرات. فإن خرج بعد السبع وجب غسل الخارج فقط ولا يعاد الغسل.
هذا إذا كان خروج النجاسة قبل وضعه في الكفن، أما بعده فلا ينتقض الغسل ولا يعاد

(٣) الحنفية قالوا: يوضع الميت على شيء مرتفع ساعة الغسل – كخشبة الغسل – ثم يبخر حال غسله ثلاثاً أو خمساً أو سبعاً بأن تدار المجمرة حول الخشبة ثلاث مرات أو خمساً أو سبعاً، كما تقدم ثم يُجرد من ثيابه ما عدا ساتر العورة، ويندب أن لا يكون معه أحد سوى الغاسل ومن يعينه، ثم يلف الغاسل على يده خرقة، يأخذ بها الماء ويغسل قُبُله ودبره – الاستنجاء -، ثم يوضأ، ويبدأ في وضوئه وجهه، لأن البدء بغسل اليدين إنما هو للأحياء الذين يغسلون أنفسهم فيحتاجون إلى تنظيف أيديهم، أما اللميت فإنه يغسله غيره، ولأن المضمضة والاستنشاق لا يفعلان في غسل الميت، ويقوم مقامهما

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh Uncategorized

HUKUMNYA ANGGOTA BADAN DAN PAKAIAN TERKENA PERCIKAN AIR DIJALAN

Assalamualaikum.

Deskripsi masalah.

Hujan merupakan ciptaan Allah yang terjadi karena peristiwa hidrologi yang melibatkan proses kondensasi,yang kemudian Allah ciptakan air lalu diturunkan ke bumi.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat Az-Zukhruf ayat 11.

وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ تُخْرَجُونَ

Artinya: Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).

Dalam Ayat lain Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 10:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ۖ لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ

Artinya: Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.

Maka seiring dengan datangnya musim hujan, tidak lah sedikit ruas jalan mulai dari jalan pelosok Desa hingga jalan raya bahkan pasar-pasar jual beli hewan tergenangi air hujan maupun lumpur, sehingga manakala seseorang mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki,atau bertepatan berada dipasar sapi pakaiannya terkena percikan air atau lumpur.

Pertanyaan

Bagaimana hukumnya badan dan pakaian yang terkena percikan air hujan di jalanan atau dipasar sapi sebagaimana deskripsi ?

Waalaikum salam.

Jawaban.

Menyikapi persoalan najis dan tidaknya badan dan pakaian yang terkena percikan air atau lumpur yang ada di jalanan,ketika hujan sebenarnya tidak lepas dari kondisinya jalan dan air itu sendiri. Jika jalan yang ditempuh ada genangan air atau lumpur terlihat telah bercampur dengan barang najis, seperti dipasar hewan , yang nampak kotoran kambing, sapi dll, maka dalam kondisi seperti ini sudah pasti mengakibatkan genangan air tersebut distatuskan najis atau mutanajjis (terkena atau bercampur najis). Akan tetapi jika jalan yang ditempuh airnya dijalan tidak nampak terkena najis namun diyakini kenajisannya tapi karena sulitnya memelihara pada umumnya, sedangkan percikan airnya sedikit, maka dalam hal ini dimakfu dan hukumnya badan dan pakaian tersebut dihumumi suci, sebagaimana dijelaskan Imam Al-Ghazali dan Imam Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-Aziz Syarhul Wajiz (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 1997) Cetakan I, Jilid II, halaman 22:


قال الغزالي : يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا


“Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air di beberapa jalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.”
Imam Ar-Rafi‘i kemudian memberikan komentar bahwa jika percikan air maupun lumpur tersebut diyakini mengandung najis, misalnya genangan air tersebut adalah luapan dari got ataupun comberan yang mengandung najis. Maka hal ini juga dimaafkan jika memang percikan tersebut sedikit.

وَأَمَّا مَا تَسْتَيْقِنُ نَجَاسَتُهُ فَيُعْفَى عَنِ القَلِيلِ مِنْهُ. وأمَّا الكَثِيْرُ فَلاَ يُعْفَى عنهُ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ

“Dan adapun sesuatu ( tempat) yang diyakini kenajisannya maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit, namun jika percikan tersebut banyak maka tidak dimaafkan, sebagaimana hukumnya najis-najis yang lain.”

Tambahan referensi:

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٩/١]
(وَطِينُ الشَّارِعِ الْمُتَيَقَّنِ نَجَاسَتَهُ يُعْفَى عَنْهُ عَمَّا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ غَالِبًا وَيَخْتَلِفُ بِالْوَقْتِ وَمَوْضِعِهِ مِنْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ) فَيُعْفَى فِي زَمَنِ الشِّتَاءِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي زَمَنِ الصَّيْفِ، وَيُعْفَى فِي الذَّيْلِ وَالرِّجْلِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي الْكُمِّ وَالْيَدِ، وَمَا لَا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا لَا يُعْفَى عَنْهُ، وَمَا تُظَنُّ نَجَاسَتُهُ لِغَلَبَتِهَا فِيهِ قَوْلًا الْأَصْلُ، وَالظَّاهِرُ أَظْهَرُهُمَا طَهَارَتُهُ عَمَلًا بِالْأَصْلِ، وَمَا لَمْ يُظَنُّ نَجَاسَتُهُ لَا بَأْسَ بِهِ.

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٩/١]
قَوْلُهُ: (وَطِينُ الشَّارِعِ) وَكَذَا مَاؤُهُ وَالْمُرَادُ بِهِ مَحَلُّ الْمُرُورِ. والله أعلم بالصواب

Dengan demikian maka dapat disimpulkan hukumnya badan dan pakaian yang terkena percikan air tersebut dikondisikan dengan adanya tanah jalan dan genangan air atau lumpur dijalan tersebut artinya jika jelas dengan kasat mata air bercampur najis maka paian dan badannya dihuhumi najis, dan jika tidak nampak atau diyakini kenajisannya namun karena sulitnya memelihara atau menghindarinya pada umumnya maka dimakfu dengan catatan percikannya air tersebut sedikit, apalagi tidak jelas kenajisan-Nya maka dihukumi suci, tetapi jika percikannya banyak dan diyakini najisnya maka hukumnya najis, Alasannya Karena Syariah hanya Menghukumi Zhahirnya saja sedangkan masalah yang samar ( Batin ) adalah Urusan Allah

كتاب التحبير شرح التحرير المكتبة الشاملة ص ٣٧٩٢

وَرُبمَا اسْتدلَّ على ذَلِك بِمَا رُوِيَ عَن النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنه قَالَ: ” نَحن نحكم بِالظَّاهِرِ، وَالله يتَوَلَّى السرائر “، كَمَا اسْتدلَّ بِهِ الْبَيْضَاوِيّ وَغَيره.لكنه حَدِيث لَا يعرف، لَكِن رَوَاهُ الْحَافِظ أَبُو طَاهِر إِسْمَاعِيل بن عَليّ بن إِبْرَاهِيم بن أبي الْقَاسِم الجنزوي فِي كِتَابه: ” إدارة الْأَحْكَام ” فِي قصَّة الْكِنْدِيّ والحضرمي الَّذين اخْتَصمَا إِلَى النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وأصل حَدِيثهمَا فِي ” الصَّحِيحَيْنِ ” فَقَالَ الْمقْضِي عَلَيْهِ: قضيت عَليّ وَالْحق لي، فَقَالَ رَسُول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا نقضي بِالظَّاهِرِ وَالله يتَوَلَّى السرائر ” وَله شَوَاهِد.
والله أعلم بالصواب

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh Uncategorized

HUKUM DARAH YANG KELUAR TERPUTUS-PUTUS BAGI WANITA HAID

HUKUM DARAH YANG KELUAR TERPUTUS-PUTUS BAGI WANITA HAID

Asslamualaikum.

Deskripsi masalah.

Haid biasa dimiliki oleh seorang perempuan memulai baligh namun terkadang antara yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam kebiasaan, oleh karena ulama menyimpulkan paling sedikitnya sehari semalam ( 24 jm) lumrahnya 6 hari atau 7 hari sedangkan maksimalnya adalah 15 hari.itu semua melalui ” Istiqro” atau penelitian Imam Syafi’i.

Misal haid tgl 1 Mei sampai tgl 7 nah tgl 7 nya itu langsung suci karena di anggap sudah bersih sampai Tanggal 12 pas tgl 13 itu keluar lagi terus keluar sampai lewat dari 15 hari, dalam kasus tersebut saya timbullah-

Pertanyaan

Bagaimana menurut Kiayai apakah darah itu disebut haid atau dinamakan istihadh karena kerena keluarnya darah dua kali ?

Waalaikum salam.

Jawaban.
Setelah meniliti dari deskripsi diatas maka dapat diartikan sebagai jawaban bahwa mulai tgl 1-6 itu keluar darah yang pertama dan tanggal 13 samapai 28/ 29/ 30 keluar darah kedua, maka dari tanggal ,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23, 24, 25,26,27,28,…. sudah melebihi 15 hari sedangkan keluarnya darah kedua tersebut masih berada dalam masa 15 hari dari permulaan keluarnya darah yang pertama maka perempuan yang mengalami seperti ini disebut perempuan “Mustahadhoh” artinya darahnya dihukumi darah penyakit bukan darah haid mulai dari tanggal 1-28 . Untuk mengetahui lebih lanjut tentang mustahadhoh bisa kunjungi di http/ikaba.id dan sebagian saya contohkan nanti dibawah.

Namun demikian penting kami jelaskan masa suci dari dua haid berikut contohnya.
Adapun batasan masa suci antara haid yang pertama dan haid berikutnya (haid kedua) adalah sebagai berikut:
🅰️Minimalnya 15 hari alasannya karena dalam satu bulan tidak lepas dari haid dan suci, apabila maksimalnya haid 15, maka pasti minimalnya sucinya adalah 15 hari .
Apabila sebagian darahnya keluar diwaktu suci dan sebagian keluar diwaktu haid, maka darah yang keluar diwaktu suci dinamakan ( dihukumi) darah istihadhoh sedangkan darah yang keluar diwaktu haid dinamakan ( dihukumi ) darah haid dengan syarat darah yang keluar diwaktu haid, mencukupi syarat haid ( tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 15 hari ) ( Lihat KH.Mohammad Ardani Ibn Ahmad, Risalah Haid .Surabaya :al-Miftah, t.t, h.19 )

Contoh. I

{1,2,3,4,5,6,7}8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22 {23,24,25,26,27,28} 29,30

Penjelasan.

  • Tanggal 1-7 dalam kurung Haid yang pertama dalam satu bulan
  • Tanggal 23-28 dalam kurung adalah haid yang kedua
  • Tanggal 8-22 tidak keluar darah ( berarti suci )maka masa sucinya antara haid yang pertama dan berikutnya ( kedua ) yaitu 5 hari .

Contoh II

{1,2,3,4,5,6,} 7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18. {19,20,21,22,23,24,25} 26,27,28,29,30

Keterangan.

  • Tanggal 1-6 keluar darah dan dihukumi haid.
  • Tanggal 19-21 dihukumi darah Istihadhoh alasannya karena keluarnya darah berada dalam masa suci ( dalam masa 15 hari setelah putus ya darah haid yang pertama).
  • Tanggal 22-25 dihukumi darah haid karena keluar diwaktu haid.
    Hukum seperti contoh ke II ini apabila darah yang kedua keluarnya setelah 15 hari dari permulaan keluarnya darah yang pertama, apabila keluarnya darah yang kedua masih dalam masa 15 hari dari permulaan keluarnya darah yang pertama, maka dalam hal ini perempuan disebut Mustahadhoh .

Contoh Mustahadhoh seperti jawaban kasus diatas

{ 1,2,3,4,5,6 } 7,8,9,10,11,12,13 {14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25 } 26,27,28,29,30

Penjelasan

  • Tanggal 1-6 keluar darah yang pertama dan tanggal 14- 25 keluar darah yang kedua, dan darah yang kedua keluarnya masih dalam masa 15 hari dari permulaan keluarnya darah yang pertama.Dengan demikian maka dari tanggal 1-25 perempuan tersebut “Mustahadhoh “

🅱️ Lumrahnya ( normalnya) yaitu 23 hari atau 24 hari karena lumrahnya haid adalah 6 atau 7 hari sehingga masa sucinya 23 hari atau 24 hari.
Contoh I
{1,2,3,4,5,6} ~7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30~

Penjelasan.
Sucinya 24 hari dari tanggal 7-30 Tanda tulis yang ditebalkan karena haidnya adalah 6 hari yaitu dari tanggal 1-6 yang berada dalam tanda kurung
Contoh II

{1,2,3,4,5,6,7} ~8,9,10,11,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30~

Penjelasan.
Sucinya 23 hari dari tanggal 8-30 tanda tulisan yang ditebalkan karena haidnya 7 hari yaitu mulai tanggal 1-7 yang berada dalam tanda kurung.
©️ Maksimalnya tidak ada batasnya karena ada kemungkinan perempuan tidak pernah mengalami haid sama sekali seumur hidupnya seperti Sayyidah Fatimah al-Zahrah dan juga seperti ibunya Imam al-Qadhi Abu Toyyib ( Lihat Muhammad Ibnu Muhammad al-Khotib, op.cit.jilid 1 h.227.
Adapun masa suci antara haid dan nifas ( bagi ulama yang berpendapat bahwa orang hamil mungkin haid ) atau antara nifas dan haid boleh kurang dari 15 hari, dan untuk masa suci antara nifas dan haid disyaratkan nifasnya sudah sampai 60 hari.( Lihat Mohammad Ibn Qosim, op.cit.h.11)
Contoh I
{ 1,2,3,4,5,6,7 },8,9,10,11,12,13,14,15,16,17, ~18. {19,20,21,22,23,24,25} 26,27,28,29,30~

Penjelasan.

  • Tanggal 1-7 keluar darah dan dihukumi haid.
  • Tanggal 18-30 yang ditandai dengan tulisan tebal keluar nifas , maka masa sucinya antara haid dan nifas kurang dari 15 hari ( 10 hari dari tanggal 8-17 ). ( Dikutip oleh penulis dari kitab Fiqih a-Nisa’ Risalah Ad-Dima’ hal:16-19 )

حاشية الجمال على شرح المنهج ص٢٣٥-٢٣٦

(فَرْعٌ)

الْمُبْتَدَأَةُ وَالْمُعْتَادَةُ يَثْبُتُ لَهُمَا حُكْمُ الْحَائِضِ بِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الدَّمِ فِي زَمَنِ الْإِمْكَانِ وَلَوْ غَيْرَ زَمَنِ الْعَادَةِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ حَيْضٌ فَتَتَرَبَّصُ، فَإِنْ انْقَطَعَ لِدُونِ أَقَلِّهِ فَلَا حَيْضَ لِتَبَيُّنِ أَنَّهُ دَمُ فَسَادٍ، وَإِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ لِأَقَلِّهِ تَرَبَّصَتْ وَإِنْ جَاوَزَ عَادَتَهَا مَثَلًا لِاحْتِمَالِ انْقِطَاعِهِ قَبْلَ مُجَاوَزَةِ الْأَكْثَرِ، وَإِنْ انْقَطَعَ فَعَلَتْ بَعْدَ كُلِّ انْقِطَاعٍ مَا تَفْعَلُهُ الطَّاهِرُ مِنْ نَحْوِ صَلَاةٍ وَوَطْءٍ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ عَدَمُ عَوْدَةٍ انْتَهَتْ. وَعِبَارَةُ الْإِرْشَادِ وَشَرْحُهَا لِابْنِ حَجَرٍ وَسِنُّهُ تِسْعُ سِنِينَ تَقْرِيبًا وَتَحِيضُ امْرَأَةٌ رَأَتْ الدَّمَ فِي سِنِّ الْحَيْضِ بِرُؤْيَتِهِ فَتُؤْمَرُ بِاجْتِنَابِ مَا تَجْتَنِبُهُ الْحَائِضُ مِنْ صَوْمٍ وَصَلَاةٍ وَوَطْءٍ وَلَا تَنْتَظِرُ بُلُوغَهُ يَوْمًا وَلَيْلَةً عَمَلًا بِالظَّاهِرِ مِنْ أَنَّ ذَلِكَ حَيْضٌ ثُمَّ إنْ نَقَصَ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ قَضَتْ مَا كَانَتْ تَرَكَتْهُ مِنْ صَوْمٍ وَصَلَاةٍ وَلَا يَلْزَمُهَا غُسْلٌ لِعَدَمِ الْحَيْضِ وَكَمَا أَنَّهَا تَحِيضُ بِرُؤْيَتِهِ تَطْهُرُ أَيْ يُحْكَمُ بِطُهْرِهَا بِانْقِطَاعِهِ بَعْدَ بُلُوغِ أَقَلِّهِ فَتُؤْمَرُ بِالْغُسْلِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَيَحِلُّ وَطْؤُهَا، فَإِنْ عَادَ فِي زَمَنِ الْحَيْضِ تَبَيَّنَ وُقُوعُ عِبَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ فَتُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ فَقَطْ وَلَا إثْمَ بِالْوَطْءِ لِبِنَاءِ الْأَمْرِ عَلَى الظَّاهِرِ، فَإِنْ انْقَطَعَ حُكِمَ بِطُهْرِهَا وَهَكَذَا مَا لَمْ يَعْبُرْ خَمْسَةَ عَشَرَ انْتَهَتْ (قَوْلُهُ: قَمَرِيَّةً) مَنْسُوبَةٌ إلَى الْقَمَرِ لِاعْتِبَارِهِ بِأَنَّهُ مِنْ حَيْثُ اجْتِمَاعُهُ مَعَ الشَّمْسِ لَا مِنْ حَيْثُ رُؤْيَتُهُ هِلَالًا وَهِيَ عِبَارَةٌ عَنْ ثَلَثِمِائَةٍ وَأَرْبَعَةٍ وَخَمْسِينَ يَوْمًا وَخُمْسِ يَوْمٍ وَسُدْسِ يَوْمٍ بِخِلَافِ الْعَدَدِيَّةِ، فَإِنَّهَا عِبَارَةٌ عَنْ ثَلَثِمِائَةٍ وَسِتِّينَ يَوْمًا لَا تَزِيدُ وَلَا تَنْقُصُ فَالْقَمَرِيَّةُ تَنْقُصُ عَنْ الْعَدَدِيَّةِ أَيْ الشَّمْسِيَّةِ سِتَّةَ أَيَّامٍ إلَّا خُمْسَ يَوْمٍ وَسُدُسَهُ وَخَرَجَ بِالْقَمَرِيَّةِ الشَّمْسِيَّةُ الْمَنْسُوبَةُ إلَى الشَّمْسِ لِاعْتِبَارِهَا مِنْ حَيْثُ حُلُولُهَا فِي نُقْطَةِ رَأْسِ الْحَمْلِ إلَى عَوْدِهَا إلَيْهَا وَهِيَ عِبَارَةٌ عَنْ ثَلَثِمِائَةٍ وَخَمْسَةٍ وَسِتِّينَ يَوْمًا وَرُبْعٍ إلَّا جُزْءًا مِنْ ثَلَاثِمِائَةِ جُزْءٍ مِنْ الْيَوْمِ اهـ بِرْمَاوِيٌّ. (فَرْعٌ) إمْكَانُ إنْزَالِهَا كَإِمْكَانِ حَيْضِهَا، وَقَدْ عَلِمْته بِخِلَافِ إمْكَانِ إنْزَالِ الصَّبِيِّ، فَإِنَّ التِّسْعَ فِيهِ تَحْدِيدِيَّةٌ فَلَا بُدَّ مِنْ تَمَامِهَا لِحَرَارَةِ طَبْعِهَا كَذَا قِيلَ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ إنْزَالَهَا كَإِنْزَالِهِ اهـ ح ل وَمِثْلُهُ شَرْحُ م ر فَلَوْ رَأَتْ الْمَنِيَّ قَبْلَ تَمَامِ التِّسْعِ فَلَا يَكُونُ مَنِيًّا وَلَا يُحْكَمُ بِبُلُوغِهَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ؛ لِأَنَّهُ تَحْدِيدٌ وَلَا فَرْق فِيهِ بَيْنَ الصَّبِيِّ وَالصَّبِيَّةِ بِخِلَافِ الْحَيْضِ فَهُوَ تَقْرِيبٌ وَهَذَا مَا اعْتَمَدَهُ الرَّمْلِيُّ فِي بَابِ الْحَجْرِ، وَإِنْ خَالَفَهُ هُنَا اهـ لِكَاتِبِهِ (قَوْلُهُ: وَإِلَّا فَلَا) أَيْ فَلَيْسَ بِحَيْضٍ وَإِنْ اتَّصَلَ بِدَمٍ قَبْلَهُ بَلْ هُوَ حَدَثٌ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ وَلَا يُوجِبُ الْغُسْلَ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَذَكَرَ الْعَلَّامَةُ الرَّمْلِيُّ هُنَا أَنَّ سِنَّ الْمَنِيِّ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى تَقْرِيبِيٌّ كَالْحَيْضِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُهُمَا مَنِيًّا فِي زَمَنٍ لَا يَسَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا حُكِمَ بِبُلُوغِهِ وَفِي بَابِ الْحَجْرِ أَنَّهُ تَحْدِيدٌ فِيهِمَا وَهُوَ الْوَجْهُ؛ لِأَنَّ الشَّيْءَ يُرَجَّحُ بِذِكْرِهِ فِي بَابِهِ وَالْمَنِيَّ لَا يُقَدَّرُ بِوَقْتٍ مَحْدُودٍ اهـ بِرْمَاوِيٌّ (قَوْلُهُ: بَلْ خَبَرٌ) أَيْ لِانْدِفَاعِ الْإِيهَامِ عَلَى الْخَبَرِيَّةِ قَالَ ابْنُ قَاسِمٍ وَفِيهِ أَنَّ الْإِيهَامَ مَوْجُودٌ عَلَى الْخَبَرِيَّةِ أَيْضًا لِشُمُولِهِ أَوَّلَ التَّاسِعَةِ وَأَثْنَائِهَا غَايَةُ مَا فِيهِ أَنَّ الْخَبَرِيَّةَ أَقَلُّ إيهَامًا اهـ وَيُمْكِنُ أَنْ يُجَابَ بِأَنَّ عُدُولَهُ عَنْ الظَّرْفِيَّةِ إلَى الْخَبَرِيَّةِ قَرِينَةٌ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ كَمَالُ التِّسْعِ اهـ ع ش. (فَرْعٌ) لَوْ رَأَتْ الدَّمَ أَيَّامًا بَعْضُهَا قَبْلَ زَمَنِ الْإِمْكَانِ وَبَعْضُهَا فِيهِ فَالْقِيَاسُ كَمَا قَالَ الْإِسْنَوِيُّ جَعْلُ الْمُمْكِنِ حَيْضًا اهـ أَقُولُ فَلَوْ رَأَتْ الدَّمَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الْعِشْرِينَ الْبَاقِيَةِ مِنْ التَّاسِعَةِ فَالْخَمْسَةُ الثَّانِيَةُ مِنْ الْعَشَرَةِ الْمُرَتَّبَةِ وَاقِعَةٌ فِي زَمَنِ الْإِمْكَانِ؛ لِأَنَّهَا مَعَ مَا بَعْدَهَا لَا تَسَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا فَهِيَ حَيْضٌ وَالْخَمْسَةُ الْأُولَى مِمَّا ذَكَرَ وَاقِعَةٌ قَبْلَ زَمَانِ الْإِمْكَانِ؛ لِأَنَّهَا مَعَ مَا بَعْدَهَا تَسَعُ مَا ذَكَرَ فَلَيْسَتْ حَيْضًا نَعَمْ يَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ بَعْضُهَا حَيْضٌ وَهُوَ الْيَوْمُ الْأَخِيرُ بِلَيْلَتِهِ نَاقِصًا شَيْئًا بِحَيْثُ يَكُونُ الْبَاقِي مَعَ مَا بَعْدَهُ لَا يَسَعُ حَيْضًا وَطُهْرًا بِأَنْ يَنْقُصَ عَنْ سِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا بِلَيَالِيِهَا وَهِيَ أَقَلُّ الطُّهْرِ وَالْحَيْضِ وَلَوْ رَأَتْ دَمًا جَمِيعَ الْعِشْرِينَ الَّتِي هِيَ تَمَامُ التَّاسِعَةِ فَقِيَاسُ مَا ذَكَرَ أَنْ يُقَالَ الْخَمْسَةُ الْأُولَى مَعَ الْقَدْرِ الَّذِي يَنْقُصُ بِهِ بَعْدَهَا عَنْ كَمَالِ سِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا بِلَيَالِيِهَا دَمُ فَسَادٍ وَالْبَاقِي بَعْدَ ذَلِكَ وَاقِعٌ فِي زَمَنِ الْإِمْكَانِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ أَكْثَرِ الْحَيْضِ فَيَكُونُ بَعْضُهُ حَيْضًا وَبَعْضُهُ طُهْرًا عَلَى مَا يُعْلَمُ مِنْ أَقْسَامِ الْمُسْتَحَاضَةِ الْآتِيَةِ، فَإِذَا كَانَتْ مُبْتَدَأَةً غَيْرَ مُمَيِّزَةٍ فَحَيْضُهَا يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ مِنْ أَوَّلِ ذَلِكَ فَلْيُحَرَّرْ اهـ سم (قَوْلُهُ: فَمَا قِيلَ) مُبْتَدَأٌ خَبَرُهُ لَيْسَ بِشَيْءٍ وَمَا بَيْنَهُمَا اعْتِرَاضٌ اهـ بِرْمَاوِيٌّ وَالْقَائِلُ هُوَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَقَوْلُهُ لَيْسَ وَتَقْرِيبًا مِنْ زِيَادَتِي. (وَأَقَلُّهُ) زَمَنًا (يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ) أَيْ قَدْرُهُمَا مُتَّصِلًا وَهُوَ أَرْبَعٌ وَعِشْرُونَ سَاعَةً (وَأَكْثَرُهُ) زَمَنًا (خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا بِلَيَالِيِهَا) وَإِنْ لَمْ تَتَّصِلْ وَغَالِبُهُ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ كُلُّ ذَلِكَ بِالِاسْتِقْرَاءِ مِنْ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – (كَأَقَلَّ) زَمَنِ (طُهْرٍ بَيْنَ) زَمَنَيْ (حَيْضَتَيْنِ) فَإِنَّهُ خَمْسَةَ عَشَرَ بِلَيَالِيِهَا لِأَنَّ الشَّهْرَ لَا يَخْلُو غَالِبًا عَنْ حَيْضٍ وَطُهْرٍ وَإِذَا كَانَ أَكْثَرُ الْحَيْضِ خَمْسَةَ عَشَرَ لَزِمَ أَنْ يَكُونَ أَقَلُّ الطُّهْرِ كَذَلِكَ وَخَرَجَ بِبَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ الطُّهْرُ بَيْنَ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ كَمَا سَيَأْتِي (وَلَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ) أَيْ الطُّهْرِ بِالْإِجْمَاعِ وَغَالِبُهُ بَقِيَّةُ الشَّهْرِ بَعْدَ غَالِبِ الْحَيْضِ. (وَحَرُمَ بِهِ) أَيْ بِالْحَيْضِ (وَبِنِفَاسٍ مَا حَرُمَ بِجَنَابَةٍ) ــ [حاشية الجمل] بِشَيْءٍ أَيْ لِأَنَّهُ لَا دَلَالَةَ فِي هَذِهِ الْعِبَارَةِ عَلَى ذَلِكَ إلَّا لَوْ ثَبَتَ أَنَّ الْقَائِلَ نَطَقَ بِتِسْعٍ مَفْتُوحَةٍ أَوْ ضَبَطَهَا بِقَلَمِهِ بِذَلِكَ وَلَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ عَنْهُ اهـ ح ل وَفِي ق ل عَلَى الْمَحَلِّيِّ وَلَفْظُ تِسْعٍ فِي كَلَامِهِ كَغَيْرِهِ مَرْفُوعٌ مِنْ الْخَبَرِ الْمُفْرَدِ عَنْ أَقَلَّ لَا مَنْصُوبٌ ظَرْفًا مِنْ الْخَبَرِ الْجُمْلَةِ عَنْهُ خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ ذَلِكَ فِي كَلَامِهِمْ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ عَدَمَ مَعْرِفَةِ قَدْرِ الْأَقَلِّ لِكَوْنِهِ مَظْرُوفًا فِي التِّسْعِ وَهَذَا مَعْنَى مَا فِي الْمَنْهَجِ فَقَوْلُهُ فِيهِ وَالتِّسْعُ مُبْتَدَأٌ وَلَيْسَتْ ظَرْفًا خَبَرُهُ وَمَا قِيلَ مُبْتَدَأٌ أَيْضًا وَلَيْسَ بِشَيْءٍ خَبَرُهُ وَمَا بَيْنَهُمَا اعْتِرَاضٌ فَرَاجِعْهُ اهـ (قَوْلُهُ: وَأَقَلُّهُ زَمَنًا) تَمْيِيزٌ مُحَوَّلٌ عَنْ الْمُضَافِ أَيْ أَقَلُّ زَمَنِهِ يَوْمٌ إلَخْ وَدَفَعَ بِهِ مَا أَوْرَدَ عَلَيْهِ مِنْ أَنَّ الضَّمِيرَ فِي (أَقَلُّهُ) رَاجِعٌ لِلدَّمِ وَاسْمُ التَّفْضِيلِ بَعْضُ مَا يُضَافُ إلَيْهِ فَكَأَنَّهُ قَالَ وَأَقَلُّ دَمِ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَهُوَ لَا يَجُوزُ لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِخْبَارِ بِاسْمِ الزَّمَانِ عَنْ الْجُثَّةِ، وَإِنَّمَا آثَرَ ذَلِكَ التَّمْيِيزَ عَلَى تَقْدِيرِ الْمُضَافِ لِمَا فِيهِ مِنْ الِاخْتِصَارِ وَعَدَمِ تَغْيِيرِ الْإِعْرَابِ؛ لِأَنَّهُ إنْ قَدَّرَهُ بَيْنَ الْمُتَضَايِفَيْنِ فَقَالَ: وَأَقَلُّ زَمَنِهِ غَيَّرَ صُورَةَ الْمَتْنِ بِتَصْيِيرِ الْهَاءِ مَكْسُورَةً بَعْدَ أَنْ كَانَتْ مَضْمُومَةً وَفَصَلَ بَيْنَ الْمُتَضَايِفَيْنِ، وَإِنْ أَخَّرَ الْبَيَانَ عَنْ الْمَتْنِ فَقَالَ أَيْ وَأَقَلُّ زَمَنِهِ بَعْدُ وَأَقَلُّهُ أَدَّى إلَى طُولٍ فَمَا ذَكَرَهُ أَخْصَرُ وَأَوْلَى اهـ شَوْبَرِيٌّ وع ش عَلَى م ر (قَوْلُهُ: أَيْ قَدْرُهُمَا مُتَّصِلًا) قَيَّدَ فِي تَحَقُّقِ الْأَقَلِّ فَقَطْ أَيْ لَا يُتَصَوَّرُ الْأَقَلُّ فَقَطْ إلَّا إذَا رَأَتْ أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ سَاعَةً عَلَى الِاتِّصَالِ، وَأَمَّا لَوْ رَأَتْهَا مُتَفَرِّقَةً فِي أَيَّامٍ لَا تَكُونُ أَقَلَّ فَقَطْ وَلَا يُنَافِي هَذَا قَوْلُ شَيْخِنَا رَأَتْ دَمًا مُتَقَطِّعًا يَنْقُصُ كُلٌّ مِنْهُ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، وَإِذَا جُمِعَ بَلَغَ يَوْمًا وَلَيْلَةً عَلَى الِاتِّصَالِ فَيَكُونُ كَافِيًا فِي حُصُولِ أَقَلِّ الْحَيْضِ؛ لِأَنَّ الْأَقَلَّ لَهُ صُورَتَانِ أَقَلُّ فَقَطْ وَأَقَلُّ مَعَ غَيْرِهِ إمَّا مَعَ الْغَالِبِ أَوْ مَعَ الْأَكْثَرِ اهـ ح ل (قَوْلُهُ: وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ) أَيْ وَكَانَ قَدْرُ مَجْمُوعِهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً (قَوْلُهُ: وَغَالِبُهُ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ) أَتَى بِهِ تَتْمِيمًا لِلْأَقْسَامِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَهُ شَرْحًا وَلَمْ يَذْكُرْهُ فِي الْمَتْنِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ وَذَكَرَهُ فِي الشَّرْحِ رِعَايَةً لِلَفْظِ الْحَدِيثِ الْآتِي وَذَكَرَ الْعَدَدَ لِحَذْفِ الْمَعْدُودِ اهـ بِرْمَاوِيٌّ (قَوْلُهُ: كُلُّ ذَلِكَ بِالِاسْتِقْرَاءِ) أَيْ لِأَنَّهُ لَا ضَابِطَ لَهُ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَرَجَعَ فِيهِ إلَى الْمُتَعَارَفِ بِالِاسْتِقْرَاءِ اهـ ز ي وَالْمُرَادُ بِالِاسْتِقْرَاءِ الِاسْتِقْرَاءُ النَّاقِصُ وَهُوَ دَلِيلٌ ظَنِّيٌّ فَيُفِيدُ الظَّنَّ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ تَتَبُّعٌ لِأَكْثَرِ الْجُزْئِيَّاتِ بَلْ يَكْتَفِي بِالِاسْتِقْرَاءِ النَّاقِصِ بِتَتَبُّعِ الْبَعْضِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَكْثَرَ كَمَا هُنَا وَهَذَا مَا انْحَطَّ عَلَيْهِ كَلَامُ سم فِي الْآيَاتِ الْبَيِّنَاتِ اهـ لِكَاتِبِهِ. (قَوْلُهُ: لِأَنَّ الشَّهْرَ لَا يَخْلُو غَالِبًا إلَخْ) عِبَارَةُ شَرْحِ م ر إذْ الشَّهْرُ غَالِبًا لَا يَخْلُو مِنْ حَيْضٍ وَطُهْرٍ، فَإِذَا كَانَ أَكْثَرُ الْحَيْضِ خَمْسَةَ عَشَرَ لَزِمَ أَنْ يَكُونَ أَقَلُّ الطُّهْرِ كَذَلِكَ وَلِأَنَّ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ فِي عِدَّةٍ الْآيِسَةِ فِي مُقَابَلَةِ ثَلَاثَةِ أَقْرَاءٍ وَذَلِكَ؛ لِأَنَّ الشَّهْرَ إمَّا أَنْ يَجْمَعَ أَكْثَرَ الْحَيْضِ وَأَقَلَّ الطُّهْرِ أَوْ عَكْسَهُ أَوْ أَقَلَّهُمَا أَوْ أَكْثَرَهُمَا لَا سَبِيلَ إلَى الثَّانِي وَالرَّابِعِ؛ لِأَنَّ أَكْثَرَ الطُّهْرِ غَيْرُ مَحْدُودٍ وَلَا إلَى الثَّالِثِ؛ لِأَنَّهُ أَقَلُّ مِنْ شَهْرٍ فَتَعَيَّنَ الْأَوَّلُ فَثَبَتَ أَنَّ أَقَلَّ الطُّهْرِ بَيْنَ الْحَيْضَتَيْنِ خَمْسَةَ عَشَرَ انْتَهَتْ (قَوْلُهُ: لَا يَخْلُو غَالِبًا) اُنْظُرْ أَيَّ حَاجَةٍ لَهُ وَهَلَّا اقْتَصَرَ عَلَى أَنَّ الشَّهْرَ قَدْ يَجْتَمِعُ فِيهِ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يَثْبُتُ الْمَطْلُوبُ اهـ سم عَلَى الْمَنْهَجِ أَقُولُ قَدْ يُقَالُ ذَكَرَهُ لِكَوْنِهِ الْمُطَابِقَ لِلْوَاقِعِ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَقَّفْ ثُبُوتُ الْمَطْلُوبِ عَلَيْهِ اهـ ع ش عَلَى م ر (قَوْلُهُ: فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ) أَيْ بَلْ يَجُوزُ أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهُمَا طُهْرًا أَصْلًا كَأَنْ يَتَّصِلَ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ اهـ ع ش (قَوْلُهُ: الطُّهْرُ بَيْنَ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ) وَكَذَا الطُّهْرُ بَيْنَ نِفَاسَيْنِ وَيُتَصَوَّرُ فِيمَا إذَا وَلَدَتْ ثُمَّ وَطِئَهَا فِي نِفَاسِهَا وَعَلِقَتْ بِنَاءً عَلَى أَنَّ النِّفَاسَ لَا يَمْنَعُ الْعُلُوقَ ثُمَّ بَعْدَ مُضِيِّ أَكْثَرِ النِّفَاسِ وَقَبْلَ مُضِيِّ أَقَلِّ الطُّهْرِ أَلْقَتْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً كَمَا صَوَّرَهُ سُلْطَانٌ اهـ (قَوْلُهُ: تَقَدَّمَ) أَيْ الطُّهْرُ عَلَى النِّفَاسِ أَوْ تَأَخَّرَ أَيْ عَنْ النِّفَاسِ وَكَانَ طُرُوُّهُ بَعْدَ بُلُوغِ النِّفَاسِ أَكْثَرَهُ بِأَنْ رَأَتْ النِّفَاسَ سِتِّينَ يَوْمًا ثُمَّ انْقَطَعَ يَوْمًا وَعَادَ، فَإِنَّهُ حَيْضٌ بِخِلَافِ مَا إذَا طَرَأَ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ أَكْثَرَهُ، فَإِنَّهُ لَا يَكُونُ حَيْضًا إلَّا إذَا فَصَلَ بَيْنَهُمَا خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا اهـ ح ل (قَوْلُهُ: أَيْ الطُّهْرِ) أَتَى بِأَيْ إشَارَةً إلَى أَنَّ الضَّمِيرَ رَاجِعٌ إلَى مُطْلَقِ الطُّهْرِ لَا بِقَيْدِ كَوْنِهِ بَيْنَ حَيْضَتَيْنِ اهـ بِرْمَاوِيٌّ. (قَوْلُهُ: وَحَرُمَ بِهِ وَبِنِفَاسٍ مَا حَرُمَ بِجَنَابَةٍ) أَيْ لِكَوْنِهِمَا أَغْلَظَ مِنْهَا بِدَلِيلِ أَنَّهُ يَحْرُمُ بِهِمَا أُمُورُ زِيَادَةٍ عَلَى مَا يَحْرُمُ بِهَا كَمَا أَشَارَ إلَيْهِ بِقَوْلِهِ وَعُبُورُ مَسْجِدٍ إلَخْ اهـ ح ل وَفِي الْأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ لِلسُّيُوطِيِّ مَا نَصُّهُ.

فقه العبادة على مذهب الإمام الشافعى.ص ١٨٦-١٩١

سن الحيض:- أقل زمن تحيض فيه المرأة تسع سنوات قمرية (السنة القمرية ٣٥٤ يوماً) فلو رأته قبل تمام التسع بزمن يضيق عن حيض وطهر فهو حيض، وإلا فهو دم فساد ينقض الوضوء، ولا تتعلق به أحكام الحيض. ولا حد لأكثر الحيض عند الشافعية، إذ يمكن أن تمكث المرأة فيه إلى حلول الموت، على أن الغالب انقطاع الحيض بعد اثنتين وستين سنة، خلاف ما عند باقي الأئمة.

مدة الحيض:- اقل الحيض يوم وليلة على الاتصال المعتاد في الحيض (وبناء عليه فما تراه الآيسة من دم متفرق خلال الخمسة عشر يوماً، إن لم يبلغ مجموعه سيلان دم يوم وليلة يعتبر استحاضة، والآيسة: هي المرأة المسنة التي انقطع حيضها ويئست منه) أي لا يتخلله نقاء، وأكثره خمسة عشر يوماً مع لياليها، فإن زاد على ذلك فهي مستحاضة. أما غالب الحيض فهو ستة أو سبعة أيام بلياليها (هذه المعلومات في بحث الحيض والنفاس حصلها الشافعي بالاستقراء، فما لم يوجد له ضابط في الشرع ولا في اللغة رجع فيه إلى العرف العام) لما روته حنة بنت جحش رضي الله عنها – وكانت تستحاض فلا تطهر – في حديث لها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لها: (إنما هو ركضة (أصل الركض الضرب بالرجل والإصابة بها، كما تركض الدابة وتصاب بالرجل، أراد الإضرار بها والأذى، والمعنى أن الشيطان قد وجد بذلك طريقاً إلى التلبيس عليها في أمر دينها وطهرها وصلاتها حتى أنساها ذلك عادتها، وصار في التقدير كأنه ركضة بآلة من ركضاته) من الشيطان فتحيضي ستة أيام أو سبعة أيام في علم الله (أي التزمي الحيض وأحكامه فيما أعلمك الله من عادة النساء) ثم اغتسلي، فإذا رأيت أنك قد طهرت واستنقأت فصلي أربعاً وعشرين ليلة، أو ثلاثاً وعشرين ليلة وأيامها، وصومي وصلي فإن ذلك يجزئك، وكذلك فافعلي كما تحيض النساء وكما يطهرن لميقات حيضهن وطهرهن) (الترمذي ج ١/ أبواب الطهارة باب ٩٥/١٢٨)
مدة الطهر:- أقل الطهر بين حيضتين خمسة عشر يوما بلياليها، ولا حد لأكثره ولا حد لأكثره، فقد تمكث المرأة دهراً بلا حيض. أما مدة الطهر بين حيض ونفاس فليس لها حد، فلو انقطع نفاسها يوماً ثم رأت الدم، فإنه قد يكون دم حيض. أما غالب الطهر فيعتبر بغالب الحيض، فإن كان الحيض ستة أيام مثلاً كان الطهر أربعة وعشرين يوماً
وبناء على ما تقدم من أقل الحيض وأكثره: لو حاضت سبعة أيام مثلاً، ونقيت بعده اثني عشر يوماً، ثم رأت الدم في اليوم الثالث عشر بعد النقاء، فيعتبر هذا الدم دم استحاضة، لأن أقل الطهر خمسة عشر يوماً، ويكون حكمها حكم المستحاضة في اليوم الثالث عشر والرابع عشر والخامس عشر اعتباراً من بدء النقاء، أما إن استمرت رؤية الدم لليوم السادس عشر وما بعده فيعتبر دم حيض عندئذ لأن المدة جاوزت أقل الطهر. ولو حاضت أربعة أيام مثلاً ثم نقيت بعدها ستة أيام، ثم رأت الدم ثانية فيعتبر هذا الدم دم حيض، لأن مجموع الأربعة والستة، عشرة وهي أقلمن أكثر الحيض، أي تعتبر الأيام الستة التي طهرت فيها من الحيض، ويبقى حكمها حكم الحائض لمدة خمسة أيام بعد ذلك، فإن جاوز الدم الثاني الخمسة أيام، تبين عندئذ أنها مستحاضة، لأن مجموع الأربعة والستة والخمسة، خمسة عشر يوماً وهي أكثر مدة الحيض، فما جاوزها يعتبر استحاضة، وسيرد بيان حالات الاستحاضة في حينه.
ويعتبر طهر غير المستحاضة منذ رؤيتها القصة البيضاء، لما روي ” أن النساء كن يبعثن إلى عائشة بالدُّرْجَة فيها الكُرْسُف فيه الصفرة فتقولك لا تعجلن حتى ترين القصة البيضاء، تريد بذلك الطهر من الحيضة” (البخاري ج ١/ كتاب الحيض باب ١٩، والدرجة: سفط صغير تضع المرأة فيه طيبها وما أشبهه، والكرسف: القطن، والقصة: الجصة، والجص معروف، والمراد في الحديث حتى ترين الخرقة بيضاء كالقصة لانقطاع الصفرة والكدرة في نهاية الحيض وخروج الرطوبة البيضاء) أما الصفرة والكدرة فهما من الحيض ما كانتا أيام الحيض قبل رؤية القصة البيضاء، سواء كانت مبتدأة (المبتدأة: هي التي حاضت للمرة الأولى) أو معتادة خالف عادتها أو واقعها، فإذا رؤيتا بعدها لم تعتبر من الحيض لما روت أم عطية رضي الله عنها قالت: “كنا لا نعد الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئاً” (أبو داود ج ١/ كتاب الطهارة باب ١١٩/٣٠٧)