Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum sholat, ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, ia menjadi sedekah biasa. Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim.
MAKNA HADIST
Rasulullah (s.a.w) menjelaskan kewajiban zakat fitrah kepada umatnya sebagaimana baginda turut menjelaskan hikmah syariat apabila dikaitkan dengan orang yang puasa dan orang yang menerimanya. Baginda menjelaskan waktu wajibnya dimana kewajiban zakat fitrah itu mempunyai batasan waktu tertentu
FIQH HADIST
Wajib menunaikan zakat fitrah.
Zakat fitrah adalah suatu kebaikan di antara sekian banyak amal kebaikan yang lain dan dapat menghapus kejahatan sebagaimana yang dijelaskan di dalam firman-Nya: ان الحسنات يذهبن السيئات. “… Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan yang buruk…” (Surah Hud: 114)
Mengeluarkan zakat fitrah sebelum mengerjakan solat hari raya aidil fitri adalah lebih afdal. Hikmahnya ialah agar orang miskin tidak sibuk meminta-minta hingga meninggalkan solat hari raya.
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu berkata: Pada zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sho’ makanan, atau satu sho’ kurma, atau satu sho’ sya’ir, atau satu sho’ anggur kering. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat lain: Atau satu sho’ susu kering. Abu Said berkata: Adapun saya masih mengeluarkan zakat fitrah seperti yang aku keluarkan pada zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Dalam riwayat Abu Dawud: Aku selamanya tidak mengeluarkan kecuali satu sho’.
MAKNA HADIST
Kifarat, nisab dan kadar zakat merupakan perkara yang bersifat ta’abbudi, tidak ada ruang bagi akal untuk berperanan dalam masalah ini. Jika syariat telah menentukan suatu kadar tertentu, maka tidak boleh dikurangi, karena pengurangan itu bererti tidak mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sebagaimana Tidak boleh pula menambahkannya karena itu berarti membangkang terhadap hukum syariat. Oleh itu, Abu Sa’id (r.a) memprotes pendapat Mu’awiyah yang mengeluarkan zakat fitrah hanya setengah sha’ samara’ sebagai pengganti kepada satu sha’ jenis yang lainnya, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kebiasaan yang pernah berlaku pada zaman Nabi (s.a.w)
FIQH HADIST
Disyariatkan mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ dari jenis-jenis yang telah disebutkan di dalam hadis tersebut karena nashnya sudah jelas.
Zakat fitrah itu berupa makanan pokok kebanyakan penduduk negeri setempat. Pada zaman Nabi (s.a.w) makanan pokok kebanyakan adalah buah kurma, gandum, keju, anggur kering, dan oat. Seandainya pada suatu negeri tidak terdapat jenis-jenis makanan pokok tersebut, maka itu boleh diganti dengan makanan pokok lain yang biasa dijadikan sebagai makanan Pokok di negeri setempat, misalnya beras, jagung atau roti.
Keteguhan Abu Sa’id dalam mengikuti jejak Nabi (s.a.w).
Boleh berijtihad karena ia merupakan aktivitas yang terpuji. Tetapi apabila ada nash, maka ijtihad tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Ibnu Adiy dan Daruquthni dengan sanad yang lemah: “Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.
MAKNA HADIST
Rasulullah (s.a.w) mewajibkan zakat fitrah setelah puasa bulan Ramadhan untuk membersihkan orang yang puasa dari perkataan yang tidak bermanfaat dan keji dimana adakalanya itu dilakukan ketika sedang berpuasa. Zakat fitrah dapat menutupi kekurangan yang terjadi selama berpuasa, sebagaimana sujud sahwi dapat menutupi kekurangan yang terjadi di dalam solat. Zakat fitrah pada hari itu berfungsi memberikan kecukupan kepada orang fakir hingga mereka tidak lagi meminta-minta di samping sebagai pemberitahuan kepada mereka tentang hari raya yang dipenuhi dengan suasana kegembiraan dan kebahagiaan serta keagungan Islam. Pada hari itu seluruh kaum muslimin berkumpul dengan penuh rasa kasih sayang dan kebahagiaan. Nabi (s.a.w) menjadikan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atau selainnya yang merupakan makanan pokok negeri setempat. Baginda menetapkan kewajipannya atas setiap orang merdeka, hamba sahaya, lelaki, perempuan, anak-anak atau orang dewasa dari kalangan kaum muslimin. Baginda menyuruh dengan perintah sunat agar zakat fitrah diberikan sebelum solat mengerjakan solat hari raya aidil fitri
FIQH HADIST
Kewajiban zakat fitrah dan menjelaskan hukum wajib ini berlaku umum mencakup seluruh orang muslim, baik lelaki ataupun perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, orang merdeka ataupun hamba sahaya. Zakat fitrah anak yatim diambil dari hartanya sendiri apabila dia mempunyai harta, namun apabila tidak mempunyai harta, maka zakat fitrahnya ditanggung oleh penanggung jawab nafkahnya. Zakat fitrah hamba sahaya dibebankan kepada tuannya. Jumhur ulama mengatakan bahwa zakat fitrah isteri wajib dikeluarkan oleh suaminya karena dianggap sama dengan wajib nafkah. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa zakat fitrah isteri wajib atas dirinya sendiri karena berpegang kepada makna zahir sabda Nabi (s.a.w): “atau perempuan.”
Menjelaskan kadar zakat fitrah, yaitu satu sha’ atau satu al-kaylah. Jumhur ulama mengatakan bahwa zakat fitrah itu dalam bentuk makanan pokok penduduk negeri setempat. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa zakat fitrah boleh dibayar dalam bentuk uang yang senilai dengan satu sha’ makanan, karena orang fakir dapat bebas menggunakannya untuk memenuhi keperluannya yang lebih penting.
Menjelaskan waktu pembayaran zakat fitrah, yaitu sebelum mengerjakan solat hari raya idul fitri. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa zakat fitrah diwajibkan saat fajar hari raya terbit, karena waktu itu adalah waktu berbuka yang hakiki, di samping zakat fitrah merupakan amal taqarrub yang berkaitan dengan hari raya, maka waktu wajib tidak boleh didahulukan ke atas hari raya. Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa zakat fitrah diwajibkan setelah matahari akhir Ramadhan tenggelam, karena berbuka dari puasa Ramadhan tidak lain kecuali setelah matahari tenggelam di akhir harinya. Adapun menyegerakan zakat fitrah, Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa itu dibolehkan sejak awal Ramadhan karena penyebab untuk berzakat fitrah telah wujud. Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan bahwa boleh mendahulukan zakat fitrah sehari atau dua hari saja sebelum hari raya. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa boleh mendahulukan zakat fitrah secara mutlak tanpa perlu merincikan waktunya menurut pendapat yang sahih di kalangan mereka sebab penyebab yang mewajibkannya telah ada, yaitu orang yang wajib diberi nafkah.