Pengaruh Biaya Produksi Terhadap Kewajiban Zakat Pertanian
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Banyak petani saat ini merasa keberatan untuk mengeluarkan zakat dari hasil panen mereka karena tingginya biaya produksi, seperti biaya pupuk, panen, dan pestisida. Mereka timbul tanda tanya yaitu:
apakah biaya-biaya tersebut dapat mengurangi / pempengruhi jumlah zakat yang harus dikeluarkan atau bahkan menghapus kewajiban zakat.?
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban
Biaya produksi pertanian seperti pupuk, panen, dan pestisida tidak mengurangi persentase zakat yang harus dikeluarkan. Namun, biaya-biaya ini dapat mempengaruhi kewajiban mengeluarkan zakat itu sendiri.
Penjelasan
* Persentase Zakat Tetap: Jika hasil panen sudah mencapai nishab (batas minimal harta yang wajib dizakati) dan haul (satu tahun penuh), maka persentase zakat yang harus dikeluarkan tetap sesuai dengan ketentuan syariat, misalnya 10% untuk hasil pertanian tertentu.
* Pengaruh terhadap Kewajiban Zakat: Biaya produksi dapat mempengaruhi apakah zakat harus dikeluarkan atau tidak. Jika setelah dikurangi semua biaya, harta yang tersisa masih mencapai nishab dan haul, maka zakat tetap wajib. Namun, jika setelah dikurangi biaya, harta yang tersisa tidak mencapai nishab, maka zakat tidak wajib dikeluarkan.
Contoh:
Seorang petani memiliki hasil panen padi sebesar 10 ton. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar 5 ton, sisanya masih 5 ton. Karena 5 ton masih mencapai nishab, maka petani tetap wajib mengeluarkan zakat dari 5 ton tersebut.
Hal Penting yang Perlu Diingat:
* Niat: Niat untuk mengeluarkan zakat adalah hal yang sangat penting. Meskipun biaya produksi tinggi, niat untuk menunaikan zakat harus tetap ada.
“Dan dari ‘Ata’ bahwa yang terkena biaya (nafkah) itu gugur. Jika masih tersisa sejumlah yang harus dizakati, maka dizakati, jika tidak, maka tidak.”
Fatawa al-Azhar, 1/179:
“Dan Ibnu al-‘Arabi dalam Syarh at-Tirmidzi membahas masalah ini lalu berkata: Berbeda pendapat ulama kami, apakah biaya (mu’nah) itu mengurangi harta yang dizakati, sehingga zakat hanya dikenakan pada sisa harta yang bersih, atau biaya pengelolaan harta itu termasuk beban hingga menjadi hasil bagi pemilik harta, sehingga zakat diambil dari keseluruhan hasil? Beliau berpendapat bahwa yang benar adalah biaya itu mengurangi hasil dan hanya sisa hasil itulah yang dikenakan sepersepuluh. Beliau dalilkan dengan hadits Nabi ﷺ yang berbunyi, ‘Tinggalkan sepertiga atau seperempat.’ Dan sepertiga atau seperempat itu hampir sama dengan jumlah biaya. Jika dihitung apa yang dikonsumsi dalam bentuk basah dan apa yang dikeluarkan sebagai biaya, maka sisanya adalah tiga perempat atau dua pertiga. Beliau berkata, ‘Kami telah mencobanya dan mendapati bahwa hal itu paling sering terjadi demikian.’”Wallahu Alam bisshowab
Latar Belakang
Seseorang memiliki emas sebanyak 100 gram dan telah mencapai haul (1 tahun). Emas tersebut telah mencapai nisab, yaitu 85 gram.
Pertanyaan
1. Apakah kelebihan emas dari 85 gram wajib dizakati?
2. Berapa besar zakat yang harus dikeluarkan?
Wa’alaikumussalam.
Jawaban
Ya, kelebihan emas dari 85 gram wajib dizakati.
Perhitungan Zakat Emas
1. Jumlah emas: 100 gram
2. Nisab: 85 gram
3. Kelebihan: 15 gram
4. Zakat: 2,5% dari jumlah emas (100 gram)
Perhitungan Zakat
1. Zakat dalam gram: 2,5% x 100 = 2,5 gram
2. Zakat dalam rupiah: 2,5% x Rp60.000.000 = Rp1.500.000
Perhitungan Zakat Kelebihan
1. Zakat dari 15 gram: 2,5% x Rp9.000.000 = Rp225.000
2. Jumlah zakat total: Rp1.500.000 + Rp225.000 = Rp1.725.000
Rp1.725.000 ÷ Rp600.000/gram = 2,875 gram
Jadi, zakat emas yang harus dibayarkan setara dengan 2,875 gram emas.
Sumber
1. Fathul Qarib
2. Kitab Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq
3. Fatwa-fatwa ulama kontemporer
4. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Ketentuan Nisab Emas
Menurut Fathul Qarib Al-Mujib (hal. 127):
Nisab emas: 20 mitsqal (sekitar 85 gram)
Zakat dikenakan atas kelebihan dari 20 mitsqal.
Perhitungan zakat: 2,5% dari jumlah emas.
Catatan
1 mitsqal ≈ 4,25 gram
Nisab emas ≈ 85 gram
Zakat emas 2,5% dari jumlah emas yang dimiliki.
فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب، صفحة ١٢٧
{فصل} `(ونصاب الذهب عشرون مثقالا)` تحديدا بوزن مكة، والمثقال درهم وثلاثة أسباع درهم، `(وفيه) أي نصاب الذهب (ربع العشر،` وهو نصف مثقال، `وفيما زاد) على عشرين مثقالا (بحسابه) وإن قل الزائد.`والله أعلم بالصواب
“Fathul Qarib Al-Mujib” halaman 127, disebutkan:
“Bagian: Nisab Emas
Nisab emas adalah 20 mitsqal, ditentukan berdasarkan berat Makkah, dimana 1 mitsqal sama dengan 1 dirham dan 3/4 dirham. Dalam hal ini, nisab emas adalah 1/4 dari 10 mitsqal, yaitu setengah mitsqal. Zakat dikenakan atas kelebihan dari 20 mitsqal, berdasarkan perhitungan yang sama, meskipun kelebihannya .sedikit.”
Polemik Penampakan Sedekah: Pendapat Ulama tentang Santunan untuk Duafa’ dan Anak Yatim
Assalamualaikum Deskripsi masalah. Telah terjadi polemik antara ulama perihal menampakan sedekah atau zakat pada duafa’ dan anak yatim dengan memajang mereka dimuka umum ( dalam acara ) santunan anak yatim pada 2 bulan yang lalu ( 10 muharrom) Menurut sebagian mereka lebih utama tidak dinampakkan karena dinampakkan dapat menyakiti hati mereka sebagian lebih utama dinampakkan. Bagaimana menanggapi hukum hal tersebut menurut perspektif ulama fiqih ( apakah lebih utama tidak dinampakkan sedekah atau sebaliknya).
Waalaikumsalam.
Jawaban
Perdebatan mengenai menampakkan sedekah atau zakat, terutama yang diberikan kepada duafa’ dan anak yatim, memang menjadi isu yang kompleks di kalangan ulama. Terdapat dua pandangan utama dalam masalah ini:
Menampakkan Sedekah atau Zakat Sebagian ulama berpendapat bahwa menampakkan sedekah atau zakat, terutama dalam konteks acara santunan, bisa bermanfaat untuk beberapa alasan:
Memberi Motivasi kepada Masyarakat: Menampilkan bantuan dapat menginspirasi orang lain untuk berpartisipasi dalam amal, sehingga dapat meningkatkan kepedulian sosial.
Mengangkat Martabat Penerima: Dalam beberapa konteks, memperlihatkan penerima zakat atau sedekah dapat membantu mengangkat martabat mereka dan memberikan mereka pengakuan sebagai bagian dari masyarakat.
Transparansi: Menampakkan penerima sedekah dapat memberikan transparansi dalam distribusi bantuan, memastikan bahwa sumbangan digunakan dengan tepat. Ini berdasarkan pada apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi Madzhab Syafi’i beliau Imam Nawawi berkata: “Yang lebih utama dalam zakat adalah menampakkan penyerahannya agar dilihat orang lain, sehingga mereka dapat menirunya, dan juga agar tidak disangka buruk terhadapnya. Ini sama halnya dengan salat wajib yang dianjurkan untuk ditampakkan, sedangkan yang dianjurkan untuk disembunyikan adalah salat dan puasa sunnah.” (Al-Majmu’: 6/233. Lihat juga: Fiqh Imam Ja’far: 2/96, di mana disebutkan dalam riwayat: “Menampakkan lebih baik daripada menyembunyikan.”) Hal ini karena zakat adalah salah satu syiar Islam yang dengan menampakkannya, memuliakannya, dan melakukannya secara terang-terangan dapat memperkuat agama dan menegaskan identitas kaum Muslimin. Seorang pemberi zakat harus memiliki motivasi untuk menjaga makna-makna luhur ini, bukan untuk pamer di hadapan manusia yang dapat merusak niat, mencemari amal, dan menghilangkan pahala di sisi Allah. Adapun berusaha untuk menampakkan syiar-syiar Islam, memuliakannya, dan membuat orang mencintainya, ini adalah tanda-tanda keimanan dan bukti ketakwaan. Allah berfirman: “Demikianlah, dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Mungkin inilah yang dimaksud dengan sikap sombong (bangga diri) yang disukai oleh Allah dalam hal sedekah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi: “Sikap sombong yang disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla adalah bangga diri seorang lelaki ketika dalam peperangan dan saat bersedekah.” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan, Kitab Zakat: 5/79). Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala: “Jika kalian menampakkan sedekah-sedekah kalian, maka itu adalah hal yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 271).
Tidak Menampakkan Sedekah atau Zakat Di sisi lain, banyak ulama yang berpendapat bahwa lebih baik tidak menampakkan sedekah atau zakat. Alasan-alasan mereka antara lain:
Menghindari Rasa Malu atau Tertekan pada Penerima: Memajang penerima bantuan di muka umum dapat membuat mereka merasa tertekan, kehilangan harga diri, atau malu. Islam mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan individu.
Mencari Ridha Allah: Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi lebih baik daripada yang diumumkan (Q.S. Al-Baqarah: 271-273). Ini menunjukkan bahwa tujuan utama sedekah adalah untuk mendapatkan ridha Allah, bukan untuk menunjuk-nunjukkan.
Prinsip Keikhlasan: Keikhlasan dalam beramal menjadi terganggu ketika amal tersebut ditujukan untuk menunjukkan diri kepada orang lain.Ini berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Imam Malik bahwa tidak menampakkan itu lebih baik karena menampakkan hal itu hukumnya makruh, karena dapat menyakiti hati orang miskin
Kesimpulan Menanggapi perdebatan ini, perspektif ulama fiqih bisa berbeda-beda tergantung pada konteks dan tujuan amal itu sendiri. Jika menampakkan sedekah bertujuan untuk mendorong amal dan tidak merugikan penerima, maka bisa dipertimbangkan. Namun, jika ada risiko menyinggung perasaan penerima atau menimbulkan rasa malu, maka lebih utama untuk menyembunyikan sedekah tersebut. Sebagai langkah bijaksana, tentang keutamaan keutamaannya adalah sebaiknya dilaksanakan dengan mempertimbangkan stuasi dan kondisi penerima dan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, seperti menjaga martabat, keikhlasan, dan niat baik. Sebuah pendekatan yang bijaksana dan penuh empati harus diutamakan.
Referensi:
فقه الزكاة للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي الجزء الثانى ص ٦٤٢-٦٤٣ إظهار إخراج الزكاة قال الإمام النووي: الأفضل في الزكاة إظهار إخراجها ليراه غيره، فيعمل عمله، ولئلا يساء الظن به، وهذا كما أن الصلاة المفروضة يستحب إظهارها، وإنما يستحب الإخفاء في نوافل الصلاة والصوم (المجموع: ٦/٢٣٣، انظر: فقه الإمام جعفر: ٢/٩٦، حيث قال في رواية: “الإعلان أفضل من الإسرار “. وذلك أن الزكاة من شعائر الإسلام التي في إظهارها وتعظيمها والمعالنة بها تقوية للدين وتأكيد لشخصية المسلمين، ويجب أن يكون الحرص على هذه المعاني الكريمة رائد المزكي، لا مراءاة الناس التي تفسد النية، وتلوث العمل، وتحبط الأجر عند الله. أما الحرص على إظهار شعائر الإسلام وتعظيمها وتحبيبها إلى الناس، فهذا من دلائل الإيمان، وأمارات التقوى. قال تعالى: (ذلك ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب). (الحج: ٣٢). ولعل هذا هو المراد بالاختيال الذي يحبه الله في الصدقة الذي جاء به الحديث النبوي: (والاختيال الذي يحبه الله عز وجل اختيال الرجل بنفسه عند القتال وعند الصدقة) (رواه النسائي في السنن، كتاب الزكاة: ٥/٧٩)، وأصل ذلك قوله تعالى: (إن تبدوا الصدقات فنعما هي). (البقرة: ٢٧١). هل يخبر الفقير بأنها زكاة؟ إذا لم تكن الحكومة المسلمة هي التي تتولى أمر الزكاة جباية وتوزيعًا، وكان الأفراد هم الذين يقومون بصرفها على مستحقيها -كما هو الشأن في معظم البلاد الإسلامية اليوم- فالأولى لمن يخرج الزكاة: ألا يخبر الفقير أن ما يعطيه إياه زكاة فقد يؤذى الآخذ ذلك القول -وخاصة إذا كان من المستورين الذين يتعففون عن أخذ الصدقات- ولا حاجة إليه. قال في “المغنى”: “وإذا دفع الزكاة إلى من يظنه فقيرًا، لم يحتج إلى إعلامه أنه زكاة، قال الحسن: أتريد أن تقرعه؟! لا تخبره. وقال أحمد بن الحسن: قلت لأحمد: يدفع الرجل الزكاة إلى الرجل فيقول: هذا من الزكاة أو يسكت؟ قال: “ولم يبكته بهذا القول؟! يعطيه ويسكت. ما حاجته إلى أن يقرعه”؟! (المغنى: ٢/٦٤٢). بل قال بعض المالكية: يكره، لما فيه من كسر قلب الفقير (بلغة السالك وحاشية الصاوي: ١/٣٣٥)
Menampakkan Penyerahan Zakat Imam Nawawi berkata: “Yang lebih utama dalam zakat adalah menampakkan penyerahannya agar dilihat orang lain, sehingga mereka dapat menirunya, dan juga agar tidak disangka buruk terhadapnya. Ini sama halnya dengan salat wajib yang dianjurkan untuk ditampakkan, sedangkan yang dianjurkan untuk disembunyikan adalah salat dan puasa sunnah.” (Al-Majmu’: 6/233. Lihat juga: Fiqh Imam Ja’far: 2/96, di mana disebutkan dalam riwayat: “Menampakkan lebih baik daripada menyembunyikan.”) Hal ini karena zakat adalah salah satu syiar Islam yang dengan menampakkannya, memuliakannya, dan melakukannya secara terang-terangan dapat memperkuat agama dan menegaskan identitas kaum Muslimin. Seorang pemberi zakat harus memiliki motivasi untuk menjaga makna-makna luhur ini, bukan untuk pamer di hadapan manusia yang dapat merusak niat, mencemari amal, dan menghilangkan pahala di sisi Allah. Adapun berusaha untuk menampakkan syiar-syiar Islam, memuliakannya, dan membuat orang mencintainya, ini adalah tanda-tanda keimanan dan bukti ketakwaan. Allah berfirman: “Demikianlah, dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Mungkin inilah yang dimaksud dengan sikap sombong (bangga diri) yang disukai oleh Allah dalam hal sedekah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi: “Sikap sombong yang disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla adalah bangga diri seorang lelaki ketika dalam peperangan dan saat bersedekah.” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan, Kitab Zakat: 5/79). Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala: “Jika kalian menampakkan sedekah-sedekah kalian, maka itu adalah hal yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 271).
Apakah orang miskin diberitahu bahwa itu adalah zakat? Jika pemerintah Muslim tidak mengurus pengumpulan dan distribusi zakat, dan individu-lah yang memberikan kepada yang berhak—seperti yang terjadi di sebagian besar negara Islam saat ini—maka sebaiknya orang yang mengeluarkan zakat tidak memberitahu orang miskin bahwa yang diberikan adalah zakat, karena hal itu bisa menyakiti perasaan penerima, terutama jika mereka adalah orang yang tertutup dan enggan menerima sedekah. Dalam kitab “Al-Mughnī”, disebutkan: “Dan jika dia memberikan zakat kepada seseorang yang dia anggap miskin, tidak perlu untuk memberitahunya bahwa itu adalah zakat.” Al-Hasan berkata: “Apakah kamu ingin mempermalukannya? Jangan beri tahu dia.” Ibn al-Hasan berkata: “Aku bertanya kepada Ahmad: Apakah seorang lelaki memberikan zakat kepada seorang lelaki dan berkata: Ini dari zakat, atau dia diam saja?” Ahmad menjawab: “Mengapa dia harus mempermalukannya dengan ucapan itu?! Dia memberinya dan diam saja. Apa perlunya untuk mempermalukannya?” (Al-Mughnī: 2/642). Bahkan, beberapa ulama Maliki mengatakan bahwa hal itu tidak hukumnya makruh, karena dapat menyakiti hati orang miskin (dalam Bahjat al-Salik dan Hasyiah al-Sawi: 1/335).Wallahu A’lam
Dalam konteks zakat, “hilah” mengacu pada upaya manipulatif untuk menghindari kewajiban membayar zakat atau menyalurkannya kepada pihak yang tidak sah menurut syariat. Beberapa contoh hilah dalam zakat termasuk:
Menyalurkan Zakat kepada Orang Tua Melalui Orang Lain: Jika seseorang ingin memberikan zakat kepada orang tuanya — yang tidak diperbolehkan karena adanya hubungan nafkah — ia akan memberikan zakatnya kepada orang miskin. Kemudian, orang miskin tersebut diminta atau diarahkan untuk memberikan uang tersebut kepada orang tua. Ini adalah bentuk hilah karena zakat dialihkan kepada pihak yang tidak berhak menerimanya.
Menjual Bagian dari Harta Sebelum Haul: Seseorang yang memiliki emas yang mencapai nishab, tetapi belum genap satu tahun (haul), menjual sebagian kecil emasnya (misalnya 3 gram) untuk mengurangi jumlah emas sehingga zakat tidak wajib baginya.
Pertanyaan yang Diajukan: Apakah diperbolehkan untuk menghindari atau melarikan diri dari kewajiban zakat? Dan apakah diperbolehkan menggunakan hilah untuk menghindari kewajiban zakat bagi mereka yang wajib membayarnya?
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban:
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai masalah hilah dalam zakat:
Pandangan Ibn Taimiyah: Dalam bukunya “Al-Qawa’id An-Nuraniyah,” Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa Abu Hanifah membolehkan penggunaan hilah untuk menghindari zakat. Namun, ada perbedaan di kalangan pengikutnya: Muhammad bin Hasan menganggapnya makruh, sementara Abu Yusuf tidak.
Pandangan Imam Malik: Imam Malik melarang penggunaan hilah untuk menghindari zakat dan tetap mewajibkan zakat meskipun ada hilah.
Pandangan Imam Syafi’i: Imam Syafi’i menganggap hilah dalam menghindari zakat adalah makruh.
Pandangan Imam Ahmad: Imam Ahmad sependapat dengan Imam Malik, yakni penggunaan hilah untuk menggugurkan kewajiban zakat adalah haram, dan zakat tetap wajib dikeluarkan meskipun ada hilah.
Pandangan Abu Yusuf dalam kitabnya “Al-Kharaj” juga menyatakan bahwa penggunaan hilah untuk menggugurkan zakat adalah haram. Beliau menegaskan bahwa tidak boleh menggunakan hilah untuk menggugurkan zakat dalam kondisi apapun.
Mazhab Hanafi membedakan antara beberapa bentuk hilah yang makruh dan yang tidak makruh. Sebagai contoh, penggunaan hilah untuk menyalurkan zakat kepada orang tua yang miskin dengan cara memberikan zakat kepada orang lain kemudian diarahkan kepada orang tua adalah makruh. Namun, hilah untuk menyalurkan zakat kepada hal-hal seperti pembangunan masjid atau pengurusan jenazah dianggap sah.
Mazhab Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan hilah secara umum. Dalam mazhab Malik, jika seseorang mencoba menghindari kewajiban zakat dengan menjual atau menukar harta sebelum haul, zakat tetap wajib dikeluarkan dari harta yang ditukar.
Pandangan Mazhab Zaidiyah:
Sebelum zakat wajib: Jika seseorang sengaja mengurangi nishab sebelum haul untuk menghindari zakat, hal ini dianggap tidak diperbolehkan dan merupakan dosa.
Setelah zakat wajib: Jika zakat diberikan kepada fakir miskin dengan syarat agar dikembalikan, maka hal ini dianggap tidak sah dan dilarang.
Kesimpulan: Hilah dalam zakat, atau upaya manipulatif untuk menghindari kewajiban zakat atau menyalurkannya secara tidak sah, adalah masalah yang diperdebatkan di kalangan ulama. Namun, pandangan yang lebih kuat adalah bahwa penggunaan hilah untuk menghindari zakat tidak diperbolehkan, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa ini adalah dosa. Seorang Muslim seharusnya melaksanakan kewajiban zakat dengan niat yang tulus tanpa mencoba menghindarinya melalui hilah.
Referensi Fiqih Zakat Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, jilid 2, halaman 622.
Al-Jami’u Li Ahkamil Qur’an 9/236.
Al-Furu’: 4/138. Berikut ibarat dalam kitab tersebut:
هل يجوز التهرب أو الفرار من الزكاة؟ وبعبارة أخرى: هل يجوز الاحتيال لإسقاط الزكاة عمن وجبت عليه؟ اختلاف الفقهاء: ذكر ابن تيمية في “القواعد النورانية” أن أبا حنيفة يجِّوز الاحتيال لإسقاط الزكاة، قال: واختلف أصحابه: هل هو مكروه أم لا، فكرهه محمد، ولم يكرهه أبو يوسف. قال: وحرم مالك الاحتيال لإسقاطها، وأوجبها مع الحيلة، وكره الشافعي الحيلة في إسقاطها. وأما أحمد فقوله في الاحتيال كقول مالك: يحرم الاحتيال لسقوطها ويوجبها مع الحيلة، كما دلت عليه سورة (ن). (يقصد قصة أصحاب الجنة، كما سيأتي ذلك في كلام ابن قدامة)، وغيرها من الدلائل (القواعد النورانية ص ٨٩). وما ذكره ابن تيمية عن أبى يوسف يخالف ما صرح به في كتابه “الخراج” حيث قال ما نصه بالحرف: “لا يحل لرجل يؤمن بالله واليوم الآخر منع الصدقة، ولا إخراجها من ملكه إلى ملك جماعة غيره، ليفرقها بذلك، فتبطل عنه الصدقة، بأن يصير لكل واحد منهم من الإبل والبقر والغنم ما لا تجب فيه الصدقة، ولا يحتال في إبطال الصدقة بوجه ولا سبب ” (الخراج لأبى يوسف ص ٨). وهذا الكلام واضح الدلالة على أن الإمام أبا يوسف يحرم الاحتيال لإسقاط الزكاة وإبطالها بأي وجه أو سبب. فلعل الذي ذكره ابن تيمية واشتهر عن أبى يوسف: أن الحيل تنفذ قضاء، وإن كانت لا تجوز ديانة. والمنصوص في كتب الحنفية: أن بعض الحيل يكره وبعضها لا يكره. فقد قالوا: يكره أن يحتال في صرف الزكاة إلى والديه المعسرين بأن تصدق بها على فقير ثم صرفها الفقير إليهما، وهى شهيرة مذكورة في غالب الكتب. وحين ذكروا: أن الزكاة لا تصرف لبناء مسجد، ولا إلى كفن ميت وقضاء دينه ونحو ذلك، قالوا: والحيلة في الدفع إلى هذه الأشياء مع صحة الزكاة أن يتصدق على الفقير، ثم يأمره بفعل هذه الأشياء، ويكون له ثواب الزكاة، وللفقير ثواب هذه القرب، كما قالوا هنا: إن للفقير أن يخالف أمره إن شاء؛ لأنه مقتضى صحة التمليك، والظاهر أنه لا شبهة فيه؛ لأنه ملكه إياه عن زكاة ماله وشرط عليه شرطًا فاسدًا، والهبة والصدقة لا يفسدان بالشرط الفاسد (الدر المختار وحاشيته: ٢/٦٩). ولكن يلاحظ أن هذه الحيل – ما يكره منها وما لا يكره – في صرف الزكاة. أما في إسقاط الزكاة عن مالك النصاب، فلم أجد في كتب الحنفية التي راجعتها من صرح بجوازه. المالكية يحرمون الحيل ويبطلون أثرها: وعند المالكية: لا تجوز الحيل ديانة ولا تنفذ قضاء. ولهذا قالوا: من كان عنده نصاب من مال تجب فيه الزكاة، كالماشية مثلاً، فأبدله كله أو بعضه بعد الحول أو قبله بقليل، كشهر، بماشية أخرى من نوعها كأن أبدل خمسة من الإبل بأربعة، أو من غير نوعها، كأن يبدل الإبل بغنم أو عكسه، سواء أكانت الأخرى نصابًا أم أقل من نصاب، أو أبدلها بعروض أو نقود، أو ذبح ماشيته، أو نحو ذلك، وعلم أنه فعل ذلك فرارًا من الزكاة، وتهربًا من وجوبها – ويعرف ذلك بإقراره، أو بقرائن الأحوال، فإن ذلك الإبدال أو غيره من التصرفات لا يسقط عنه زكاة المال المبدل، بل يؤخذ بزكاته معاملة له بنقيض قصده، ولا يؤخذ بزكاة البدل وإن كانت زكاته أكثر؛ لأن البدل لم تجب فيه زكاة لعدم مرور الحول عليه. وذلك لما تقرر في المذهب: أن الحيل لا تفيد في العبادات ولا في المعاملات. قالوا: ولا يكون فارًا إلا إذا كان مالكًا للنصاب. قالوا: ومن الحيل الباطلة: أن يهب ماله أو بعضه لولده أو لعبده قرب الحول ليأتي عليه الحول ولا زكاة عليه، ثم يعتصره أو ينتزعه منه، ليكون – بزعمه – ابتداء ملكه، وقد يقع ذلك للزوج مع زوجته ثم يقول لها: ردى إلى ما وهبته لك، بقصد إسقاط الزكاة عنه! فتؤخذ منه ويجب إخراجها (انظر: بلغة السالك وحاشيته: ١/٢١٠). الحنابلة كالمالكية: وقال ابن قدامة في “المغنى”: ” قد ذكرنا أن إبدال النصاب بغير جنسه يقطع الحول، ويستأنف حولاً آخر، فإن فعل هذا فرارًا من الزكاة لم تسقط عنه، سواء أكان البدل ماشية أو غيرها من النصب، وكذا لو أتلف جزءًا من النصاب قصدًا للتنقيص لتسقط عنه الزكاة لم تسقط، وتؤخذ الزكاة منه في آخر الحول، إذا كان إبداله وإتلافه قرب الوجوب، ولو فعل ذلك في أول الحول لم تجب الزكاة؛ لأن ذلك ليس بمظنة الفرار. ” وبما ذكرناه قال مالك والأوزاعي وابن الماجشون وإسحاق وأبو عبيد وقال أبو حنيفة والشافعي: تسقط عنه الزكاة؛ لأنه نقص قبل تمام حوله، فلم تجب فيه الزكاة، كما لو أتلف لحاجته. قال ابن قدامة: ولنا قول الله تعالى: (إنا بلوناهم كما بلونا أصحاب الجنة إذ أقسموا ليصرمنها مصبحين ولا يستثنون فطاف عليها طائف من ربك وهم نائمون فأصبحت كالصريم).(القلم: ١٧ – ٢٠). فعاقبهم الله تعالى بذلك لفرارهم من الصدقة، ولأنه قصد إسقاط نصيب من انعقد سبب استحقاقه (يعنى الفقراء والمستحقين). فلم يسقط، كما لو طلق امرأته في مرض موته، ولأنه لما قصد قصدًا فاسدًا، اقتضت الحكمة معاقبته بنقيض قصده، كمن قتل مورثه لاستعجال ميراثه عاقبه الشرع بالحرمان (المغنى المطبوع مع الشرح الكبير: ٢: ٥٣٤ – ٥٣٢)، وهذا بخلاف ما إذا أتلف بعض ماله لحاجته، فإنه لم يقصد قصدًا فاسدًا فلا يستحق العقاب. الزيدية يحرمون الحيل: وعند الزيدية في ذلك بعض تفصيل، حيث قالوا: لا يجوز التحيل لإسقاط الزكاة، وفى ذلك صورتان: إحداهما قبل الوجوب (وبتعبير أدق: قبل حصول الشرط وهو الحول)، والثانية: بعده. أما قبل الوجوب، فنحو أن يملك نصابًا من نقد، فإذا قرب حولان الحول عليه، اشترى به شيئًا لا تجب فيه الزكاة كالطعام، قصدًا للحيلة في إسقاطها. فذلك لا يجوز، فإن فعل أثم وسقطت. ومن فقهائهم من قال: إنه مباح. وأما الصورة التي بعد الوجوب، فنحو أن يصرفها إلى الفقير ويشرط عليه الرد إليه ويقارن الشرط العقد نحو أن يقول: قد صرفت إليك هذا عن زكاتي، على أن ترده على، فإن هذه الصورة لا تجوز ولا تجزئ، بلا خلاف في المذهب. فإن تقدم الشرط نحو أن تقع مواطأة – قبل الصرف – على الرد، ثم صرفها إليه من غير شرط مما تواطآ عليه، فالمذهب أن ذلك لا يجوز ولا يجزئ، وقال بعضهم تجزئ مع الكراهة التحريمية
“الجامع لأحكام القرآن” (٩ / ٢٣٦)
يجوز للرجل أن يبيع ماله قبل حلول الحول إذا احتاج إلى ذلك ، ما لم يقصد الفرار من الزكاة قال القرطبي رحمه الله : ” أجمع العلماء على أن للرجل قبل حلول الحول التصرف في ماله بالبيع والهبة إذا لم ينو الفرار من الصدقة ” انتهى
فإذا كان هذا المال معدا للتجارة فباعه : فإذا بلغ النصاب على رأس الحول زكّاه ، وإذا لم يبلغ إلا بضمه إلى ماله الذي عنده ، أو لم يبلغ ماله الذي عنده النصاب إلا بضمه إليه ضمه إليه وزكاه ؛ لأن العبرة فيما أعد للتجارة قيمته المالية .
“الفروع” (٤/١٣٨).
قال ابن مفلح رحمه الله : ” وتضم قيمة عروض التجارة إلى كل واحد ، من الذهب والفضة ، جزم به صاحب المستوعب ، والشيخ وعلله بأنه يُقَوَّم بكل واحد منهما ، وقال : لا أعلم فيه خلافا . قال : ولو كان ذهب وفضة وعروض ، ضم الجميع في تكميل النصاب ” . انتهى والله أعلم بالصواب
Seorang muslim memiliki harta yang telah mencapai nisab dan telah berlalu satu tahun hijriah (haul), yang berarti zakat atas harta tersebut telah wajib ditunaikan. Namun, karena suatu alasan, ia menunda pembayaran zakatnya hingga beberapa bulan setelah jatuh tempo. Alasan penundaan ini bisa bermacam-macam, seperti menunggu waktu yang lebih tepat, seperti bulan Ramadan, menunggu kerabat yang lebih membutuhkan, atau kesulitan dalam menemukan mustahik (penerima zakat). Dari kasus ini muncul sebuah pertanyaan :
1. Apakah diperbolehkan menunda pembayaran zakat dengan alasan tertentu, seperti menunggu bulan Ramadan atau kesulitan distribusi? Menurut pandangan ulama’ fiqih dan ulama kontemporer seperti Dr.Yusuf al-Qardhawi?
Masalah ini penting untuk dibahas agar umat Islam memahami batasan penundaan zakat, sehingga mereka tidak terjebak dalam kelalaian dalam menunaikan kewajiban zakat.
Waalaikum salam. Jawaban
Hukum Menunda Pengeluaran/Pembayaran Zakat Mal
Menunda pembayaran zakat mal (setelah satu tahun berlalu atau setelah mencapai nisab) adalah hal yang sering ditanyakan oleh umat Islam. Berikut adalah penjelasan hukum syar’i terkait dengan penundaan pembayaran zakat mal menurut para ulama fikih serta pandangan dari Dr. Yusuf al-Qaradawi:
1. Pendapat Para Ulama
Menurut para ulama fikih, hukum menunda pembayaran zakat setelah waktu wajibnya (yakni setelah mencapai nisab dan melewati satu tahun hijriah) umumnya tidak diperbolehkan tanpa alasan yang syar’i, kecuali dalam keadaan darurat atau ada kebutuhan mendesak yang membenarkan penundaan. Berikut beberapa pandangan:
– Mazhab Syafi’i: Zakat harus segera dikeluarkan setelah satu tahun penuh (haul) dan tidak diperbolehkan menunda pembayaran zakat tanpa alasan yang syar’i, seperti menunggu waktu tertentu atau menunda karena alasan pribadi.
– Mazhab Hanafi: Sama seperti dalam mazhab Syafi’i, zakat wajib segera dibayar ketika syarat-syaratnya terpenuhi. Namun, jika ada alasan syar’i seperti sulit menemukan orang yang berhak menerima zakat, maka diperbolehkan menunda asalkan tidak terlalu lama.
– Mazhab Maliki dan Hanbali: Kedua mazhab ini juga mewajibkan pembayaran zakat segera setelah satu tahun berlalu. Namun, mereka memperbolehkan penundaan jika ada alasan yang kuat, seperti kesulitan dalam distribusi zakat atau adanya keadaan darurat yang tidak dapat dihindari.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa menunda pembayaran zakat mal (dengan alasan menunggu waktu tertentu seperti bulan Ramadan)” diharamkan“. Ini karena kebutuhan orang yang berhak menerima zakat tidak dapat ditunda. Seperti yang dikatakan oleh Syekh Zakariya al-Ansari:
“Pembayaran zakat pada waktunya, ketika mampu, wajib segera karena diperintahkan dengan adanya kebutuhan mendesak dari para mustahik.”
Namun, jika penundaan dilakukan karena alasan yang sah, seperti menunggu kerabat, tetangga, atau orang yang lebih membutuhkan, maka tidak apa-apa. Seperti yang dikatakan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari:
إن أخر لانتظار قريب، أو جار، أو أحوج، أو أصلح، لم يأثم
“Jika penundaan dilakukan karena menunggu kerabat, tetangga, atau orang yang lebih membutuhkan atau lebih tepat, maka tidak berdosa.”
Ini berlaku jika mustahik yang ada tidak dalam kondisi darurat. Namun, jika kondisinya sangat mendesak, maka tidak boleh menunda zakat. Syekh al-Bakri ibn Shaṭṭa mengatakan:
محله ما لم يشتد ضرر الحاضرين، وإلا أثم بالتأخير، لأن دفع ضررهم فرض، فلا يجوز تركه لحيازة الفضيلة.
“Penundaan diperbolehkan untuk menunggu kerabat, orang yang lebih membutuhkan, atau tetangga jika kondisi mustahik yang ada tidak darurat. Jika kondisinya sangat mendesak, maka haram menunda karena membantu menghilangkan kesulitan mereka adalah kewajiban, dan tidak boleh ditinggalkan demi mengejar keutamaan.”
Secara umum, para ulama sepakat bahwa menunda zakat tanpa alasan syar’i tidak diperbolehkan, dan orang yang menundanya dianggap lalai dalam menunaikan kewajiban zakat. Zakat harus segera dikeluarkan karena itu adalah hak bagi fakir miskin.
2. Pendapat Dr. Yusuf al-Qardhawi
Dalam bukunya Fiqh al-Zakat, Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan hukum penundaan pembayaran zakat. Beliau merinci sebagai berikut:
– Jika zakat sudah wajib dan mencapai haul, maka harus segera dikeluarkan. Tidak boleh ditunda kecuali jika ada alasan darurat. Menunda zakat tanpa alasan yang jelas dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak fakir miskin dan kelalaian dalam menunaikan kewajiban.
– Dr. al-Qardhawi menegaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga merupakan hak fakir miskin yang harus segera dipenuhi. Menunda pemberian hak ini tanpa alasan syar’i adalah tidak dapat diterima dalam syariat.
– Namun, jika ada alasan syar’i untuk menunda pembayaran zakat, seperti menunggu waktu yang tepat untuk distribusi atau kesulitan dalam menemukan mustahik, atau dalam keadaan darurat, maka boleh menunda sementara hingga masalah tersebut teratasi. Zakat harus segera dikeluarkan begitu alasan tersebut hilang.
Kesimpulan – Hukum Asal: Menunda pembayaran zakat setelah tiba waktunya (haul) tidak diperbolehkan/haram , kecuali jika ada alasan syar’i seperti keadaan darurat atau kesulitan menemukan orang yang berhak menerima zakat, atau alasan lainnya yang dibenarkan syariat.
– Jika Ditunda Tanpa Alasan: Penundaan ini dianggap sebagai kelalaian dalam menunaikan kewajiban, sehingga disarankan untuk segera mengeluarkan zakat sesegera mungkin guna menghindari tanggungan lebih besar dalam kewajiban syar’i.
– Pandangan Dr. Yusuf al-Qardhawi: Penundaan tidak diperbolehkan kecuali ada alasan syar’i. Jika ada alasan syar’i, maka penundaan harus bersifat sementara, dan zakat harus segera dikeluarkan setelah alasan tersebut hilang.
Dengan demikian, jika zakat ditunda tanpa alasan yang sah, maka harus segera dikeluarkan untuk menghindari tanggungan akibat kelalaian ini.
Wallahu a’lam. Berikut adalah referensi yang digunakan dalam penjelasan mengenai hukum penundaan zakat:
1. Zakarīyā al-Anṣārī, Asna al-Matalib : Buku ini adalah salah satu referensi penting dalam mazhab Syafi’i. Dalam Asna al-Matalib, al-Anṣārī menjelaskan bahwa pembayaran zakat harus dilakukan segera setelah mencapai nisab dan melewati haul, kecuali ada alasan syar’i. [Asna al-Matalib, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Jilid 4, Halaman 481].
2. Zainuddin al-Malibari, “Fath al-Mu’in“: Karya ini banyak digunakan dalam kajian fikih Syafi’i. Al-Malibari memperbolehkan penundaan zakat dalam keadaan tertentu, seperti menunggu kerabat atau orang yang lebih membutuhkan, namun melarang penundaan jika mustahik dalam keadaan darurat. [Fath al-Mu’in, Semarang, Thoha Putra, Edisi Ketiga, 2001, Halaman 76].
3. Syekh al-Bakri ibn Shaṭṭa,” I’ana al-Thalibin“:
Dalam kitab ini, al-Bakri ibn Shaṭṭa menjelaskan bahwa menunda zakat hanya diperbolehkan jika tidak ada orang yang sangat membutuhkan. Jika ada yang mendesak, maka menunda zakat tidak diperbolehkan. [*I’ana al-Thalibin*, Beirut, Dar al-Fikr, Edisi Pertama, 1997, Jilid 2, Halaman 200].
4. Dr. Yusuf al-Qardjawi, “Fiqh al-ZakatJuz 2:
Kitab ini adalah salah satu karya modern terkemuka mengenai fikih zakat. Dalam Fiqh al-Zakat, Dr. al-Qardhawi menegaskan bahwa zakat harus segera dikeluarkan begitu zakat wajib, dan penundaan hanya diperbolehkan dengan alasan syar’i. [Fiqh al-Zakat, Dr. Yusuf al-Qardhawi].
Dalam karya ini dijelaskan bahwa zakat harus segera dibayar setelah wajib, namun penundaan diperbolehkan jika ada alasan syar’i. [Fath al-Qadir].
6. Ibnu Qudamah,” Al-Mughni (Mazhab Hanbali):
Ibnu Qudamah juga menyebutkan bahwa zakat wajib dibayar segera setelah mencapai nisab dan haul, namun ada toleransi untuk penundaan jika ada kesulitan atau keadaan darurat. [Al-Mughni].
Dalam kitab ini, Ibnu Rusyd juga membahas bahwa zakat harus dibayar segera setelah memenuhi syarat, dan menunda pembayaran tanpa alasan syar’i tidak diperbolehkan. [*Bidayat al-Mujtahid*].
Referensi-referensi ini menjelaskan pandangan ulama klasik dan kontemporer mengenai pentingnya menunaikan zakat tepat waktu dan ketentuan penundaan dengan alasan syar’i.Wallahu A’lam bisshowab.
حكم تأخير الزكاة
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الوصف:
مسلم يمتلك مالًا قد بلغ النصاب، ومرت عليه سنة هجرية (الحول)، مما يعني أن الزكاة على هذا المال قد وجبت. ومع ذلك، لأسباب معينة، قام بتأجيل دفع الزكاة لعدة أشهر بعد استحقاقها. قد تتنوع أسباب التأخير، مثل انتظار وقت أفضل مثل شهر رمضان، أو انتظار أحد الأقارب الذين يحتاجون الزكاة، أو صعوبة العثور على المستحقين للزكاة.
السؤال الذي يطرح نفسه: هل يجوز تأخير دفع الزكاة لأسباب معينة، مثل انتظار شهر رمضان أو وجود صعوبة في التوزيع؟ وفقًا لرأي علماء الفقه والعلماء المعاصرين مثل الدكتور يوسف القرضاوي.
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الجواب
حكم تأخير إخراج الزكاة
تأخير إخراج الزكاة بعد مرور الحول والوصول إلى النصاب هو مسألة يتساءل عنها كثير من المسلمين. وفيما يلي توضيح الحكم الشرعي بشأن تأخير إخراج الزكاة وفقًا لآراء علماء الفقه وكذلك رأي الدكتور يوسف القرضاوي:
آراء الفقهاء وفقًا للفقهاء، فإن حكم تأخير إخراج الزكاة بعد وقت وجوبها (أي بعد وصول النصاب ومرور الحول) عمومًا غير جائز دون عذر شرعي، إلا في حالات الضرورة أو الحاجة الملحة التي تبرر التأخير. وفيما يلي بعض الآراء:
١.المذهب الشافعي يجب إخراج الزكاة فورًا بعد مرور الحول، ولا يجوز تأخير دفع الزكاة دون عذر شرعي، مثل انتظار وقت معين أو التأجيل لأسباب شخصية.
٢. المذهب الحنفي مثل المذهب الشافعي، تجب الزكاة فورًا عند تحقق الشروط. ومع ذلك، إذا كان هناك عذر شرعي مثل صعوبة العثور على المستحقين، يجوز التأخير بشرط ألا يطول.
٣. المذهب المالكي والحنبلي يوجبان إخراج الزكاة فورًا بعد مرور الحول، لكنهما يسمحان بالتأخير إذا كان هناك عذر قوي، مثل صعوبة في التوزيع أو وجود ضرورة ملحة لا يمكن تجنبها.
من خلال هذه الآراء، يُفهم أن تأخير إخراج الزكاة (بنية انتظار وقت معين كرمضان) حرام ، لأن حاجة المستحقين للزكاة لا يمكن تأجيلها. كما قال الشيخ زكريا الأنصاري:
“أداؤها في وقتها عند التمكن منه واجب على الفور للأمر به مع نجاز حاجة المستحقين.”
ومع ذلك، إذا تم التأخير بسبب عذر شرعي، مثل انتظار قريب أو جار أكثر حاجة، فلا بأس. كما قال الشيخ زين الدين المليباري:
“إن أخر لانتظار قريب، أو جار، أو أحوج، أو أصلح، لم يأثم.”
ولكن إذا كانت حاجة المستحقين ملحة، فيحرم التأخير. كما قال الشيخ البكري بن شطة:
“محله ما لم يشتد ضرر الحاضرين، وإلا أثم بالتأخير، لأن دفع ضررهم فرض.”
عمومًا، يتفق العلماء على أن تأخير الزكاة بدون عذر شرعي غير جائز، ومن يؤخرها يعتبر مقصرًا في أداء واجب الزكاة. رأي الدكتور يوسف القرضاوي في كتابه “فقه الزكاة”، يوضح الدكتور يوسف القرضاوي حكم تأخير إخراج الزكاة بالتفصيل، حيث يؤكد ما يلي:
١. إذا وجبت الزكاة وبلغت الحول، فيجب إخراجها فورًا، ولا يجوز تأخيرها إلا إذا كان هناك عذر شرعي. يعتبر تأخير إخراج الزكاة بدون سبب مشروع تعديًا على حقوق الفقراء وتقصيرًا في أداء الواجب.
٢. يوضح الدكتور القرضاوي أن الزكاة ليست مجرد واجب مالي، بل هي حق للفقراء والمساكين يجب الوفاء به فورًا. تأخير إعطاء هذا الحق بدون عذر شرعي غير مقبول في الشريعة.
٣. ومع ذلك، إذا كان هناك عذر شرعي لتأخير إخراج الزكاة، مثل انتظار الوقت المناسب للتوزيع أو صعوبة العثور على المستحقين، أو في حالة الضرورة، يجوز التأخير بشكل مؤقت حتى يتم حل المشكلة. ويجب إخراج الزكاة فور زوال العذر.
الخلاصة
– الحكم الأصلي: تأخير دفع الزكاة بعد استحقاقها (الحول) غير جائز، إلا إذا كان هناك عذر شرعي مثل حالة ضرورة أو صعوبة العثور على مستحقي الزكاة.
–إذا تم التأخير دون عذر: يعتبر هذا التأخير تقصيرًا في أداء الواجب، لذلك ينصح بإخراج الزكاة فورًا لتجنب الوقوع في مخالفة شرعية.
–رأي الدكتور يوسف القرضاوي:** لا يجوز تأخير الزكاة إلا إذا كان هناك عذر شرعي، وإذا وجد عذر شرعي فيجب أن يكون التأخير مؤقتًا، وتجب المبادرة بإخراج الزكاة فور زوال العذر.
والله أعلم
فيما يلي المراجع المستخدمة في الشرح حول حكم تأخير الزكاة:
١. زكريا الأنصاري،أسنى المطالب هذا الكتاب من المراجع الهامة في المذهب الشافعي. في أسنى المطالب، يوضح الأنصاري أن الزكاة يجب أن تؤدى فور بلوغ النصاب ومرور الحول، إلا إذا كان هناك سبب شرعي. [أسنى المطالب، بيروت، دار الكتب العلمية، الجزء ٤، الصفحة ٤٨١].
٢. زين الدين المليباري،فتح المعين هذا العمل يستخدم كثيرًا في دراسة الفقه الشافعي. المليباري يسمح بتأخير الزكاة في ظروف معينة، مثل انتظار الأقارب أو الأشخاص الأكثر حاجة، ولكنه يحرم التأخير إذا كان المستحقون في حالة طارئة. [*فتح المعين*، سمارة، طهى بن بطرس، الطبعة الثالثة، ٢٠٠١، الصفحة ٧٦].
٣. الشيخ البكري بن شطة،إعانة الطالبين في هذا الكتاب، يوضح البكري بن شطة أن تأخير الزكاة جائز فقط إذا لم يكن هناك شخص في حاجة ماسة. وإذا كان هناك مستحقون في حاجة عاجلة، فلا يجوز تأخير الزكاة. [*إعانة الطالبين*، بيروت، دار الفكر، الطبعة الأولى، ١٩٩٧، الجزء ٢، الصفحة ٢٠٠٠].
٤. الدكتور يوسف القرضاوي،فقه الزكاة الجزء الثاني هذا الكتاب من الأعمال المعاصرة الهامة حول فقه الزكاة. في فقه الزكاة، يوضح الدكتور القرضاوي أن الزكاة يجب أن تؤدى فور وجوبها، ولا يجوز تأخيرها إلا بسبب شرعي. [فقه الزكاة، الدكتور يوسف القرضاوي الجزء الثانى].
٥. ابن الهمام،فتح القدير (المذهب الحنفي) في هذا العمل، يوضح أن الزكاة يجب أن تؤدى فور وجوبها، ولكن يسمح بالتأخير إذا كان هناك سبب شرعي. [فتح القدير].
٦. ابن قدامة،المغني (المذهب الحنبلي) يشير ابن قدامة إلى أن الزكاة يجب أن تؤدى فور بلوغ النصاب ومرور الحول، ولكنه يسمح بالتأخير إذا كانت هناك صعوبة أو ضرورة. [المغني].
٧.ابن رشد،بداية المجتهد (المذهب المالكي) في هذا الكتاب، يناقش ابن رشد أن الزكاة يجب أن تؤدى فور استيفاء الشروط، وأن تأخير دفعها بدون سبب شرعي غير جائز. [*بداية المجتهد*].
توضح هذه المراجع آراء الفقهاء التقليديين والمعاصرين حول أهمية أداء الزكاة في وقتها وشروط التأخير بعذر شرعي.
HUKUM ZAKAT TEMBAKAU DALAM PERSPEKTIF ULAMA’ FIQIH
Deskripsi Masalah
Penanaman tembakau memiliki sejarah panjang yang terkait dengan faktor ekonomi, sosial, dan pertanian. Asal-usul tembakau berasal dari Benua Amerika, terutama dari daerah tropis dan subtropis. Tembakau diperkenalkan ke berbagai wilayah dunia oleh penjelajah Eropa pada abad ke-15 dan ke-16, terutama setelah perjalanan Christopher Columbus.
Di Indonesia, penanaman tembakau dimulai sejak era kolonial Belanda pada abad ke-19. Tembakau menjadi komoditas penting dalam sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Daerah seperti Deli di Sumatra Timur dan Temanggung di Jawa Tengah terkenal sebagai pusat produksi tembakau. Jenis tembakau yang ditanam bervariasi, tetapi yang paling terkenal adalah tembakau Deli, yang diekspor dalam jumlah besar ke pasar internasional.
Salah satu faktor yang mendorong penanaman tembakau adalah nilai ekonominya yang tinggi: tembakau memiliki permintaan besar di pasar dunia, terutama untuk industri rokok. Ini menjadikan tembakau sebagai tanaman komersial yang menguntungkan.
Namun, penanaman tembakau juga membawa dampak sosial dan lingkungan yang beragam, seperti ketergantungan petani pada komoditas ini, serta masalah kesehatan dan lingkungan yang terkait dengan industri tembakau. Saat ini, penanaman tembakau masih menjadi sektor penting di beberapa daerah, meskipun ada tekanan dari kampanye kesehatan global yang menyoroti dampak negatif tembakau terhadap kesehatan masyarakat.
Pertanyaan: Apakah tembakau wajib zakat menurut pandangan para ulama?
Jawaban:
Menurut Imam Abu Hanifah, zakat diwajibkan pada semua hasil bumi yang bermanfaat, baik berupa tanaman pangan maupun lainnya, termasuk tanaman yang bukan bahan makanan pokok seperti tembakau.
Berdasarkan pandangan ini, tembakau termasuk dalam hasil pertanian yang bisa dikenakan zakat, karena tembakau ditanam, dipanen, dan dijual. Zakat dihitung sebesar 10% jika disiram dengan air hujan atau sungai, atau 5% jika disiram dengan irigasi yang membutuhkan biaya, seperti halnya tanaman pertanian lainnya.
Namun, mayoritas ulama tidak mewajibkan zakat pada tembakau karena bukan termasuk tanaman pokok yang disebutkan secara eksplisit dalam teks syariah.
Dalam pandangan Imam Abu Hanifah, zakat wajib pada tembakau karena beliau memperluas definisi hasil pertanian yang harus dikenakan zakat, termasuk tanaman non-pangan seperti tembakau. Sedangkan mayoritas ulama seperti Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, hanya mewajibkan zakat pada tanaman yang dianggap sebagai bahan makanan pokok seperti biji-bijian dan buah-buahan yang disebutkan dalam teks syariah. Oleh karena itu, mereka tidak mewajibkan zakat pada tembakau.
خلفية زراعة التبغ لها تاريخ طويل يرتبط بالعوامل الاقتصادية والاجتماعية والزراعية. يعود أصل التبغ إلى قارة أمريكا، خاصة من المناطق الاستوائية وشبه الاستوائية. وقد قُدِّم إلى مناطق مختلفة من العالم من قبل المستكشفين الأوروبيين في القرن الخامس عشر والسادس عشر، خاصة بعد رحلة كريستوفر كولومبوس.
في إندونيسيا، بدأت زراعة التبغ منذ الحقبة الاستعمارية الهولندية في القرن التاسع عشر. أصبح التبغ من السلع المهمة في نظام الزراعة القسري (Cultuurstelsel) الذي فرضته الحكومة الاستعمارية. اشتهرت مناطق مثل دلي في شرق سومطرة وتمنغونغ في وسط جاوة كمراكز إنتاج التبغ. الأنواع المزروعة من التبغ متنوعة، ولكن التبغ الأكثر شهرة هو تَبْغ دلي، الذي يُصدَّر بكميات كبيرة إلى الأسواق الدولية. من بين العوامل التي تشجع على زراعة التبغ هو القيمة الاقتصادية العالية: التبغ يحظى بطلب كبير في الأسواق العالمية، وخاصة لصناعة السجائر. هذا ما يجعل التبغ محصولًا تجاريًا مربحًا. ومع ذلك، فإن زراعة التبغ تحمل أيضًا تأثيرات اجتماعية وبيئية متنوعة، مثل اعتماد المزارعين على هذه السلعة، بالإضافة إلى المشكلات الصحية والبيئية المتعلقة بصناعة التبغ. اليوم، لا تزال زراعة التبغ قطاعًا مهمًا في بعض المناطق، رغم الضغوط التي تأتي من الحملات الصحية العالمية التي تسلط الضوء على التأثيرات السلبية للتبغ على صحة المجتمع. السؤال: هل التبغ واجب الزكاة حسب رأي العلماء؟
الجواب عند الإمام أبي حنيفة، الزكاة تجب في كل ما تخرجه الأرض مما يُنتفع به سواء كان من المحاصيل الزراعية أو غيرها، بما في ذلك النباتات التي ليست من المواد الغذائية الأساسية مثل التبغ.
بحسب هذا الرأي، التبغ يُعد من المحاصيل التي يمكن أن تجب عليها الزكاة، لأنه يدخل ضمن الإنتاج الزراعي الذي يُزرع ويُحصد ويُباع. وبالتالي، تُحسب الزكاة بنسبة 10% إذا كان يُسقى بماء المطر أو الأنهار، أو 5% إذا كان يُسقى بوسائل الري المكلفة، على غرار غيره من المحاصيل الزراعية.
ومع ذلك، فإن غالبية الفقهاء لا يرون وجوب الزكاة في التبغ لأنه ليس من المحاصيل الأساسية التي ذُكرت بشكل صريح فى النصوص الشرعية
في مسألة وجوب الزكاة على التبغ، وفقًا لمذهب الإمام أبي حنيفة، يستند الفقه الحنفي إلى قاعدة عامة أن الزكاة تجب في كل ما تخرجه الأرض مما يُنتفع به، حتى لو لم يكن من المحاصيل الغذائية الأساسية. ويُفهم هذا الرأي بناءً على توسع الإمام أبي حنيفة في تعريف المحاصيل الزراعية التي تجب فيها الزكاة، مما يشمل النباتات غير الغذائية مثل التبغ.
أما بالنسبة إلى الأغلبية من الفقهاء، فإنهم يشترطون أن تكون الزكاة في المحاصيل التي تُعتبر غذاءً أو قوتًا أساسيًا مثل الحبوب والثمار المذكورة في النصوص الشرعية. وهذا التوجه هو الذي يعتمده جمهور الفقهاء، كالمالكية والشافعية والحنابلة، الذين يرون أن التبغ ليس من هذه المحاصيل الأساسية وبالتالي لا تجب فيه الزكاة . وهذه المراجع مع العباراة التالية :
Referensi:
1️⃣.Fiqhussunnah Sayyid Sabiq .h. 349
١ . رأي أبي حنيفة: أن الزكاة واجبة في كل ما انبته الارض، لا فرق بين الخضروات وغيرها، واشترط أن يقصد بزراعته استغلال الارض ونماؤها عادة، واستثنى الحطب، والقصب الفارسي (١) والحشيش، والشجر الذي لا ثمر له. واستدل لذلك بعموم قوله صلى الله عليه وسلم. (فيما سقت السماء العشر) وهذا عام يتناول جميع أفراده، ولانه يقصد بزراعته نماء الارض فأشبه الحب. ٢ – رأي أبي يوسف ومحمد: أن الزكاة واجبة في الخارج من الارض، بشرط أن يبقى سنة بلا علاج كثير، سواء أكان مكيلا كالحبوب، أو موزونا كالقطن والسكر
. ARTINYA:
1.Pendapat Imam Abu Hanifah : Zakat wajib dikeluarkan dari setiap yang tumbuh dari tanah, tanpa membedakan antara sayuran dan lainnya. Dia mensyaratkan bahwa niat dari menanamnya adalah untuk memanfaatkan tanah dan biasanya menumbuhkannya. Namun, dia mengecualikan kayu bakar, bambu Persia, rumput, dan pohon yang tidak berbuah. Dalilnya adalah keumuman sabda Rasulullah SAW: “Pada apa yang disirami oleh langit (hujan) dikenakan zakat sepersepuluh.” Ini berlaku umum mencakup semua jenis tanaman, karena tujuan menanamnya adalah untuk memanfaatkan tanah dan meningkatkan hasilnya, mirip dengan biji-bijian.
2 . Pendapat Abu Yusuf dan Muhammad: Zakat wajib dikeluarkan dari hasil bumi, dengan syarat hasil tersebut bisa bertahan selama setahun tanpa perlu perawatan yang banyak, baik itu berupa barang yang ditakar seperti biji-bijian, atau yang ditimbang seperti kapas dan gula.
Dasar kewajiban zakat dari hasil bumi adalah firman Allah Ta’ala: “Infakkanlah sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi”(Al-Baqarah: 267). Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hasil usaha” adalah harta perdagangan, yang menjelaskan kewajiban zakat perdagangan, sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya “apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi” adalah kewajiban zakat sepersepuluh (dari hasil bumi). Allah Ta’ala juga berfirman: “Berikanlah haknya pada hari panen” (Al-An’am: 141), dan Rasulullah SAW bersabda: “Apa saja yang dikeluarkan oleh bumi, maka padanya ada zakat sepersepuluh”.
Dasar dari pendapat Imam Abu Hanifah adalah bahwa segala sesuatu yang ditumbuhkan oleh taman dan ditujukan untuk memanfaatkan lahan, wajib dikeluarkan zakat sepersepuluh darinya, baik itu biji-bijian, sayuran, buah-buahan segar, bunga, indigo (tanaman pewarna), saffron, mawar, atau kembang kuning (wars). Pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Abbas RA, yang diriwayatkan bahwa ketika ia menjadi gubernur Basra, ia mengambil zakat sepersepuluh dari sayuran, satu dari setiap sepuluh ikat. Abu Hanifah berpegang pada hadits umum: “Apa yang disirami oleh langit (hujan) maka padanya ada zakat sepersepuluh dan apa yang dikeluarkan oleh bumi maka padanya ada zakat sepersepuluh.”
Menurut Abu Hanifah, zakat sepersepuluh adalah beban dari tanah yang produktif, mirip dengan pajak kharaj. Sebagaimana semua ini dianggap sebagai hasil pertumbuhan tanah yang wajib dikeluarkan kharaj, maka sama halnya dengan kewajiban zakat sepersepuluh. Namun, Abu Hanifah mengecualikan lima hal: pelepah kurma karena termasuk cabang pohon, jerami karena batang biji-bijian mirip dengan pohon bagi buah, rumput karena tidak ditujukan untuk memanfaatkan tanah, serta sejenis bambu dan batang tebu Persia karena tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan lahan secara umum. Sedangkan tebu yang digunakan untuk membuat gula wajib dizakati sepersepuluh, sebagaimana juga tanaman yang digunakan untuk membuat bahan lainnya.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, zakat hanya wajib pada hasil bumi yang memiliki buah yang tetap dan dianggap bernilai, seperti biji-bijian dan buah yang bisa disimpan lama, sedangkan sayuran dan tanaman yang cepat layu tidak dikenakan zakat. Mereka berdalil dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Musa bin Thalhah dari ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat pada sayuran.”
Menurut Abu Hanifah, hadits ini diartikan bahwa tidak ada zakat yang diambil dari sayuran jika tidak melewati ‘amil zakat, karena sayuran biasanya mudah didapat oleh orang kaya maupun miskin, sehingga tidak wajib dikeluarkan zakat.
من كتاب “رد المحتار” يتناول أحكام الزكاة المرتبطة بالعشر، حيث يتم تعريف العشر بأنه جزء من عشرة أجزاء المحصولات الزراعية التي تُحصَل، ويشمل الأحكام المتعلقة بزكاة المحاصيل الزراعية مثل الحبوب والخضراوات والعسل، وغيرها من المحاصيل التي تُحصَد. ويشرح أيضاً الفرق بين الأراضي العشرية والأراضي الخراجية، حيث تختلف الزكاة الواجبة بحسب نوع الأرض وكيفية سقي المحاصيل، سواء بالمطر أو وسائل أخرى.
كما يتعرض المقطع لقضايا مثل اشتراط النصاب والبقاء في الزكاة، ويبين أنه في بعض الحالات لا يشترط النصاب أو الحول في وجوب العشر. يتطرق أيضاً إلى الخلافات بين العلماء حول بعض الشروط مثل وجوب الزكاة في العسل أو المحاصيل التي تنبت في الجبال والأراضي غير المملوكة.
الفقرة تناقش أيضًا من يجب عليه إخراج الزكاة، بما في ذلك الصغار والمجانين وأصحاب الأراضي الوقفية، وتوضح أن الزكاة تجب على الغلة دون اشتراط ملكية
Teks dari kitab “Radd al-Muhtar” ini membahas hukum zakat yang berkaitan dengan ‘usyr, yaitu sepersepuluh dari hasil pertanian yang diambil sebagai zakat. Bagian ini juga mencakup hukum zakat hasil pertanian seperti biji-bijian, sayuran, madu, dan hasil panen lainnya. Teks ini juga menjelaskan perbedaan antara tanah ‘usyriah (tanah yang dikenakan zakat usyr) dan tanah kharajiah (tanah yang dikenakan pajak kharaj), di mana jumlah zakat yang diwajibkan berbeda tergantung pada jenis tanah dan cara penyiraman tanaman, baik dengan air hujan atau cara lainnya.
Selain itu, teks ini membahas isu-isu seperti syarat nishab (batas minimal kekayaan yang dikenakan zakat) dan kelangsungan hasil dalam penentuan zakat. Dijelaskan bahwa dalam beberapa kasus, tidak diperlukan nishab atau berlalunya satu tahun (haul) dalam kewajiban zakat ‘usyr. Teks ini juga menyinggung perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait beberapa syarat, seperti kewajiban zakat pada madu atau hasil tanaman yang tumbuh di pegunungan atau tanah yang tidak dimiliki.
Bagian ini juga membahas siapa yang wajib mengeluarkan zakat, termasuk anak-anak, orang yang tidak waras, dan pemilik tanah wakaf. Dijelaskan bahwa zakat diwajibkan atas hasil panen tanpa syarat kepemilikan tanah.
ثانياً: زكاة الأراضي الأرض إما أن تكون زراعية فيزكى نتاجها زكاة الزروع والثمار، أو تكون معدة للتجارة فتزكى زكاة عروض التجارة، وإن كانت للإيجار فالزكاة فيما يحول عليه الحول من إيرادها، مع توافر شروط الزكاة، وإن كانت للانتفاع الشخصي كالمشتراة لبناء سكن فيها فلا زكاة فيها.
ثالثاً: زكاة المواد الخام (الداخلة في الصناعة) والمواد المساعدة ١ – المواد الخام (المواد الأولية) المعدَّة للدخول في تركيب المادة المصنوعة، كالحديد في صناعة السيارات. والزيوت في صناعة الصابون، تجب الزكاة فيها بحسب قيمتها التي يمكن الشراء بها في نهاية الحول. وينطبق هذا أيضاً على الحيوانات (المعدة للتعليب) والنباتات المعدَّة للتصنيع. ٢ – المواد المساعدة التي لا تدخل في تركيب المادة المصنوعة، كالوقود في الصناعات، لا زكاة فيها كالأصول الثابتة رابعاً: زكاة السلع غير المنتهية الصنع والسلع المصنَّعة تجب الزكاة في السلع المصنَّعة، وفي السلع غير المنتهية الصنع، زكاة عروض التجارة، بحسب قيمتها في حالتها الراهنة في نهاية الحول.
خامساً: اجتماع سبب آخر للزكاة مع عروض التجارة إذا اجتمع مع عروض التجارة سبب آخر للزكاة كالسوائم أو الزروع تزكى زكاة عروض التجارة.
Syaikh Mushonnif (Penulis) berkata: semoga Allah merahmatinya,: “Zakat diwajibkan pada setiap apa yang dikeluarkan oleh bumi, yang menjadi makanan pokok, dapat disimpan, dan ditanam oleh manusia, seperti gandum, barley, sorgum, jagung, jawawut, dan beras serta sejenisnya. Ini berdasarkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pada tanaman yang disirami oleh hujan, air alami, sungai, sumur, atau mata air, zakatnya adalah sepersepuluh. Adapun yang disirami dengan usaha seperti irigasi, zakatnya setengah dari sepersepuluh. Ini berlaku untuk buah-buahan, gandum, dan biji-bijian.’
(Adapun) mentimun, semangka, delima, daun lobak, dan sayuran lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkannya (tidak mewajibkan zakat atasnya). Ini karena makanan pokok lebih banyak manfaatnya, seperti halnya hewan ternak. Begitu juga zakat diwajibkan pada jenis kacang-kacangan, seperti kacang lentil, kacang arab, kacang hijau, kacang kedelai, kacang polong, dan kacang kapri, karena dapat dimakan dan disimpan untuk keperluan makan, sehingga statusnya sama dengan gandum dan barley.”
Penjelasan:
Hadits Mu’adz diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan Al-Kubra, namun hadits ini mursal (terputus sanadnya), dan di akhir hadits tersebut disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan zakat dari jenis tanaman tersebut. Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam bentuk ringkas, bahwa Mu’adz menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang sayuran, dan beliau menjawab: ‘Tidak ada zakat atasnya.’ At-Tirmidzi berkata: Isnad (rantai periwayatan) hadits ini tidak sahih. Ia juga menyatakan: Tidak ada hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini. Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa tidak ada zakat pada sayuran, kecuali Imam Abu Hanifah, yang mewajibkannya seperti yang dijelaskan dalam bab zakat buah-buahan.
Al-Baihaqi setelah meriwayatkan hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang mursal menyatakan: Semua hadits ini mursal, namun datang dari berbagai jalur yang saling menguatkan, ditambah lagi adanya pendapat para sahabat. Kemudian diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum tentang hal ini.
Istilah dan Penjelasan:
Kata “Al-Jawarish” adalah sejenis biji kecil dari jenis jagung, mirip dengan kacang polong, tetapi jagung lebih besar dari biji ini.
“Ar-Ruz” (beras) memiliki enam cara pengucapan dalam bahasa Arab.
“Al-Qutha”, yaitu sayuran basah yang tidak diwajibkan zakat atasnya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaafkannya.
Kacang-kacangan seperti kacang lentil, kacang hijau, kacang arab, dan lainnya termasuk yang diwajibkan zakatnya jika memenuhi syarat.
Dalam penjelasan fiqihnya, para ulama sepakat bahwa zakat pada tanaman wajib memenuhi dua syarat:
Tanaman tersebut adalah makanan pokok.
Ditumbuhkan oleh manusia.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, misalnya seperti asbiyush (biji katun) atau tanaman liar yang tidak tumbuh secara sengaja, maka tidak ada zakat atasnya. Begitu juga jika biji tersebut tumbuh secara tidak sengaja karena jatuh, tetap wajib zakat jika mencapai nishab.
Ada seorang asal Indonesi punya usaha diluar negri diantara usahanya adalah ternak sapi dengan di gembalakan artinya tidak dengan diusahakan makanan oleh pemiliknya, melainkan hewan ( sapi ) tersebut mencari makan sendiri lama- lama kemudian sapi tersebut banyak berkisar 40- keatas
Pertanyaannya
1. Apakah boleh zakat sapi tersebut perupa daging sapi atau diuangkan seharga satu sapi ? Mengingat sapinya berada diluar negeri
2.Bolehkah zakat tersebut diberikan oleh muzakki diluar batas tempat domisili ( kepada mustahik zakat diluar negeri ) ?
Waalikum salam.
Jawaban.1
Harta yang telah dimiliki oleh seseorang secara sempurna ( hak milik penuh ) dan sampai batasan nisab dan haul maka wajib dikeluarkan kecuali harta tambang dan tanaman (maka tidak perlu syarat haul).”
Sedangkan jika hartanya berupa binatang ternak semisal sapi maka zakatnya harus berupa sapi bukan dengan cara disembelih berupa dagingnya ataupun berupa uang, alasannya karena sudah diatur didalam syariat bahwa zakatnya sapi harus dikeluarkan berupa sapi dan harus diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat. Berikut rincian nisabnya sapi adalah :
1. 30 ekor maka wajib dikeluarkan zakatnya 1 ekor sapi umur 1 tahun
2. 40 ekor 1 ekor sapi umur 2 tahun Setelah aset mencapai 60 ekor, maka setiap kelipatan 30, zakatnya 1 ekor sapi umur 1 tahun, dan setiap kelipatan 40, zakatnya 1 ekor sapi umur 2 tahun.
Contoh:
1. Aset 60 ekor sapi, zakatnya adalah 2 ekor sapi umur 1 tahun, sebab, 60 ekor terdiri dari 30 ekor x2.
2. 2.Aset 70 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor sapi umur 1 tahun dan 1 ekor sapi umur 2 tahun. Sebab, 70 ekor sapi terdiri dari 30 ekor dan 40 ekor sapi.
3. Aset 120 ekor sapi, zakatnya adalah 4 ekor sapi umur 1 tahun atau 3 ekor sapi umur 2 tahun. Sebab, 120 ekor terdiri dari 30 ekor x 4 atau 40 ekor x 3. (Lihat Muhammad Nawawi ibn Umar, Qut al-Habib al-Gharib, Surabaya, al-Hidayah, halaman 103-104)
“Dari Mu’adz ibn Jabal, ia berkata, ‘Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam mengutusku ke Yaman, kemudian beliau memerintahku untuk mengambil zakat dari setiap tiga puluh ekor sapi, seekor sapi berusia setahun, menginjak usia tahun keduanya, jantan atau betina, dan dari setiap empat puluh ekor sapi, seekor sapi berusia dua tahun,menginjak usia ketiga’.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Suatu harta tidak wajib dizakati kecuali telah melewati masa setahun.” (HR. Abu Dawud)
فقه الإسلامى وادلته ج ٣ ص ١٧٨٨
إخراج جزء مخصوص من مال بلغ نصاباً، لمستحقه، إن تم الملك، وحول، غير معدن وحرث
Artinya: “Keharusan mengeluarkan bagian tertentu dari suatu harta ketika telah mencapai nishab (jumlah minimum wajib zakat) kepada penerima zakat, dengan catatan jika harta tersebut merupakan milik sempurna dan mencapai haul, kecuali harta tambang dan tanaman (maka tidak perlu syarat haul).” (Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, III/1788).
ولان العوامل والمعلوفة لا تقتنى للنماء فلم تجب فيها الزكاة كثياب البدن وأثاث الدار
“Karena sesungguhnya binatang ternak yang dipekerjakan dan binatang yang diberi makan dengan cara dicarikan rumput tidak semata-mata untuk dikembang-biakan, sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana pakaian dan perabot rumah.” (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman: 323). Dari penjelas diatas dapat disimpulkan bahwa sapi yang wajib dizakati adalah.
1. Sampai minimal satu nisab
2. harus haul sampai satu tahun
3. Milik sempurna
4. Harus digembalakan ( mencari makan sendiri ) .
Jawaban .No 2
Batasan memindah zakat, ( diluar tempat domisili ) Para pakar fiqh masih silang pendapat tentang batasan jarak tidak diperbolehkanya memindah zakat, namun menurut sumber, yang lebih kuat adalah pendapat yang membatasi sampai tempat mulai diperkenankannya mengqosor dan menjama’ sholat.
(حاشية الجمل ج.٤ ص ١٠٨ ) (فرع) ما حد المسافة التى يمتنع نقل الزكاة اليها فيه تردد والمتجه منه ان ضابطها فى البلد ونحوه ما يجوز الترخص ببلوغه ثم رأيت حج مشى على ذلك فى فتاويه فحاصله انه يمتنع نقلها الى مكان يجوز فيه القصر وتجوز الى ما لا يجوز فيه القصر اهـ سم على حج.
Menurut qoul adzhar tidak boleh memindah zakat dari tempat diwajibkannya mengeluarkan zakat seraya wujudnya orang-orang yang berhak menerima zakat, dipindah ke daerah lain yang juga ada orang-orang yang berhak menerimanya. Semisal, zakat tersebut diberikan kepada mereka (mustahiq zakat yang berada didaerah lain), maka hukumnya diharamkan dan tidak mencukupi, karena berdasarkan hadits Bukhorî dan Muslim. “Shodaqoh (Zakat) itu diambilkan dari orang-orang yang kaya, kemudian zakat tersebut dikembalikan (diberikan) kepada orang-orang faqir dari golongan mereka”. Sedangkan menurut pendapat yang kedua “Boleh memindah zakat dan sudah dianggap mencukupi karena berdasarkan kemutlakan firman Allah”. Dan apabila disebuah daerah tidak ditemukan ashnâf yang menerima zakat, maka zakat wajib pindah kedaerah yang paling terdekat.
Pendapat yang ke-dua ini telah dipilih oleh segolongan ulama’ dari ashâb imam Syafi’I, seperti Ibnu Sholah, Ibnu Al-Farkâh dan ulama’ yang lainnya. Syaikhunâ (Zakaria Al-Anshôrî) berkata dengan mengikuti terhadap pendapat guru kami imam Ar-Romlî, diperbolehkan bagi seseorang mengamalkan pendapat tersebut untuk dirinya sendiri, begitu pula mengamalkan semua hukum-hukum dengan berpijak terhadap pendapat ulama’ yang dapat dipercaya dari beberapa ulama’. Seperti imam Al-Adzrô’I, Al-Subukî dan imam Al-Isnâwî menurut qoul mu’tamad “.
حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء ٣ صحيفة :٢٠٤ مكتبة دار إحياء الكتب العربية
Ketahuilah, Semoga Allah memberkatimu “Sesungguhnya masalah memindah zakat terdapat khilafiyah diantara ulama’. Menurut Pendapat yang masyhûr dalam madzhab syâfi’i adalah melarang memindah zakat pada daerah lain, apabila pada daerah tersebut ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat.
Sedangkan menurut muqôbil masyhûr yang memperbolehkan memindah zakat, itu adalah madzhab imam Abu Hanifah ra, dan segolongan ulama’ dari para mujtahid, diantara mereka adalah imam Al-Bukhôrî. Menurut pengarang syârih (Al-Qostholânî), menurut dzohirnya ibarat diatas, bahwa pengarang “Î’anah Al-tholibîn” memilih memperbolehkan memindah zakat dari daerah harta zakat, itu adalah juga pendapat madzhab Hanifiah. Sedangkan menurut pendapat yang ashoh madzhab Syâfi’î dan Malikiyyah tidak memperbolehkannya”.
Pendapat madzhab (syafi’i) yang paling unggul tidak memperbolehkan pemindahan zakat ke (daerah lain). Sekelompok ulama memilih di perbolehkan pemindahan zakat, seperti pendapat Ibnu ‘Ujail dan Ibnu Shalah. Yang lebih baik menurut Ibnu Makhromah adalah (kebolehan memindah zakat) untuk daerah yang dekat. Pendapat ini juga di anut oleh Imam Al-Rauyani, Al-khathabi, Ibnu ‘Atiq dan sebagian besar ulama, maka boleh mengikuti mereka itu.
Menurut salah satu pendapat Imam Syafi’i yang lebih shahih, tidak diperkenankan memindahkan zakat (maal) dan (fitrah). Dalam karya Tuhfah dan Nihayah terdapat pengecualian untuk tempat yang berdekatan dan masih dianggap satu walaupun berada di luar perbatasan. Daerah tempat perputaran harta merupakan tempat pengeluaran zakatnya. Hal ini jika menempati di suatu tempat, sedangkan kalau bepergian, maka boleh mengakhirkan zakat sehingga sampai ke tempat yang dituju. Dan daerah tempat terbenamnya matahari dan orang yang berada di sana merupakan tempat pengeluaran zakat fitrahnya “. Wallohu a’lam.
USAHA PETERNAK AYAM PETELUR KORELASINYA DENGAN ZAKAT.
Dalam upanya meningkatkan pendapatan usaha dalam rumah tangga. Mahfudh yang sehari-harinya bekerja sebagai guru Madrasah Diniyah dia mencoba mencari keberuntungan untuk menambah usaha baru yang menurutnya akan membawa pengaruh positif yang menguntungkan karena didairahnya sama sekali belum ada orang yang mencoba usaha ternak ayam petelur sehingga Hafidh memutuskan akan berternak ayam pedagang dan petelur. Dia ( Hafidh) melakukan pembelian ayam tidak tanggung-tanggung melainkan dengan jumlah banyak dan besar . Ternyata dalam realita apa yang dia usahakan tidaklah sia-sia . Berternak ayam yang merupakan usaha barunya yang dia rintis tersebut mendapatkan hasil yang cukup memuaskan, karena belum sampai satu tahun dalam mengelola peternakan Hafidh sudah mampu mendapatkan laba bersih sebesar 50 ini awal tahun perintisan namun setelah tahun ke3/4 karena laris ada saingannya sehingga rugi namun modal tetap diatas minimal satu nisab misalkan mudalnya 100 juta ketika dikelola mendapatkan kerugian yang mana jika ditaksir dengan uang menjadi 90 juta
Pertanyaannya.
Apakah ternak ayam dalam jumlah yang besar sebagaimana deskripsi wajib zakat?
Andaikan wajib zakat usaha peternak ayam, lalu bagaimana caranya untuk menghitung pengeluaran zakatnya.Kemudian timbul pertanyaan baru lagi yaitu:
Jika awal modal melebihi batas minimal nisob kewajiban zakat tijaroh, lalu bagaimana jika rugi namun modal masih satu nisob( diatas batas minim) kewajiban zakat?
Waalaikum salam. Jawaban.No.1 Pada dasarnya ayam yang diternakkan tidak termasuk pada kategori hewan yang wajib zakat dalam arti bukan zakat ain, akan tetapi jika pada awal membuka usaha peternak ayam diniatkan untuk ” Tijarah ” perdagangan maka Hafidh wajib mengeluarkan zakat atas nama zakat tijarah.
Jawaban No.2 Adapun cara untuk menghitung zakatnya adalah sebagai berikut: 1️⃣ Semua dagangan ( ayam yang diperdagangkan) ditaksir nilainya dengan harga tertinggi ( nilai uang) pada akhir tahun. 2️⃣Mahfudh harus mengetahui harganya emas sebesar 85 Gr ( batas minimal nisab zakat dagangan) karena zakat dagangan dikiyaskan dengan nisabnya emas, yang wajib dikeluarkan 2,5% 3️⃣ Hafidh harus membandingkan antara nilai hasil dari kalkulasi uang dari penjualan ayam dengan nilai harga satu nisab emas. 4️⃣ Jika pengkalkulasian uang dari penjual ayam ternak telah setara atau bahkan lebih besar dari nilai harga emas satu nisab maka wajib zakat, akan tetapi sebaliknya jika pengkalkulasian uang dari hasil penjualan ayam tersebut dibawah nilai harga emas maka hafidh tidak wajib mengeluarkan zakat.
Jawaban No 3 Jika modal awal yang diniati ” tijaroh ” melebihi nisab dagangan dengan jumlah 100 juta namun kemudian pada akhir tahun mengalami kerugian misalkan ayamnya terkena penyakit andaikan ditaksir jumlah uangnya barang dagangannya ( ayamnya) menjadi 90 juta,, dan masih mencukupi minimalnya nisab ,maka dalam hal ini tetap wajib dikeluarkan zakatnya.Alasannya ialah karena menurut syafiiyyah,barang dagangan yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah: (1)Barang dagangan itu dimiliki dengan cara diperjual belikan (2)Orang itu harus meniatkan barang dagangannya untuk tijaroh(diperjual belikan). (3)Hendaklah orang itu tidak meniatkan terhadap barangnya untuk disimpan untuk dirinya. (4)Harus sampai satu tahun mulai dari membeli barang dagangan itu. (5)Hendaklah orang itu tidak menjadikan semua barang dagangannya,menjadi uang. (6)Hendaklah harganya barang dagangannya itu mencapai nishob pada akhir tahun dan seterusnya……………
Referensi:
حواشى المدينة (ج١ص٩٥) وقد قررنا أن مالازكاة فى عينه يجب في زكاة التجارة من الجذوع والتبن والأرض إذ ليس فى هذه المذكرات زكاة عين ومالا ومالازكاة فى عينه يجب فيه زكاة التجارة.
حاشية إعانة الطالبين ج٢ص٣٨ (واعلم) أن لزكاة التجارة شروطا ستة – زيادة على ما مر في زكاة النقدين -. أحدهما: أن يكون ملك ذلك المال بمعاوضة ولو غير محضة، وذلك لأن المعاوضة قسمان: محضة، وهي ما تفسد بفساد مقابلها، كالبيع والشراء. وغير محضة، وهي ما لا تفسد بفساد مقابلها كالنكاح. ثانيها: أن تقترن نية التجارة بحال المعاوضة في صلب العقد أو في مجلسه، وذلك لأن المملوك بالمعاوضة قد يقصد به التجارة، وقد يقصد به غيرها، فلا بد من نية مميزة، إن لم يجددها في كل تصرف بعد الشراء بجميع رأس المال. ثالثها: أن لا يقصد بالمال القنية، وهي الإمساك للانتفاع. رابعها: مضي حول من الملك. خامسها: أن لا ينض جميعه، أي مال التجارة من الجنس، ناقصا عن النصاب في أثناء الحول، فإن نض كذلك ثم اشترى به سلعة للتجارة، فابتداء الحول يكون من الشراء. سادسها: أن تبلغ قيمته آخر الحول نصابا، وكذا إن بلغته دون نصاب ومعه ما يكمل به، كما لو كان معه مائة درهم فابتاع بخمسين منها وبلغ مال التجارة آخر الحول مائة وخمسين – فيضم لما عنده، وتجب زكاة الجميع. اه. ملخصا من البجيرمي. (وقوله: قيمة العرض) – بفتح العين، وسكون الراء – اسم لكل ما قابل النقدين من صنوف الأموال. ويطلق أيضا على ما قابل الطول. وبضم العين ما قابل النصل في السهام. وبكسرها: محل الذم والمدح من الإنسان. وبفتح العين والراء معا. ما قابل الجوهر. واحترز بقوله قيمة: عن نفس العرض، فلا يجوز إخراج زكاته منه. (واعلم) أن مال التجارة يقوم آخر الحول بما ملك به إن ملك بنقد ولو في ذمته، فإن ملك بغير نقد – كعرض، ونكاح، وخلع – فبغالب نقد البلد. (وقوله: في مال تجارة) متعلق بيجب. ولا يخفى ما في عبارته من الركاكة. إذ العرض الذي يجب ربع عشر قيمته هو مال التجارة. ولو حذف لفظ العرض ولفظة: في – لكان أولى وأخصر. والتجارة: هي تقليب المال المملوك بالمعاوضة بالنية – كشراء – سواء كان بعرض أم نقد أم دين – حال، أم مؤجل -.وخرج بذلك ما ملك بغير معاوضة كإرث، فإذا ترك لورثته عروض تجارة لم تجب عليهم زكاتها، وكهبة بلا ثواب.
غاية التلخيص ص١١٣ (مسئلة) أفتى البلقني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقير فى زكاة النقد والتجارة وقال إنه الذي أعتقده وبه أعمل وإن كان مخالفا لمذهب الشافعى والفلوس أنفع للمستحقين وأسهل وليس فيها عش كما فى الفضة المغشوشة ويتضرر المستحق إذا وردت عليه ولايجد بدلا. إنتهى. ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثر رغبة الناس فيها وقد سلف البلقني فى ذلك البخاري وهو معدود من الشافعية فإنه قال فى صحيحه باب العروض فى الزكاة وقال طاووس قال معاذ لأهل اليمن ائتوني بعِرض ثياب خميص أو لبيس فى الصدقة مكان الشعير والذرة أهون عليكم وخيّر لأصحاب النبي صَلَّى الله عليه وسلم بالمدينة .إنتهى . قال شارحه ابن حجر باب العِرض أى جواز أخذ العرض بسكون الراء ماعدا النقدين ووافق البخاري فى هذه المسئلة الحنفية مع كثرة مخالفته لهم لكن ساقه إلى ذلك الدليل .إنتهى .ولاشك أن الفلوس إذا راجت رواج النقدين فهى أولى بالجواز من العرض لأنها أقرب إلى النقود فهى مترقيةعن العرض بل قضية كلام الشيخين وصريح كلام المحلى أنها من النقد وحينئذ فسبيل من أراد إخراجها تقليد من قال بجوازه ويسعه ذلك فيما بينه وبين الله تعالى ويبرأ عن والواجب وقد أرشد العلماء إلى التقليد عند الحاجة.
فقه الإسلامى وأدلته ص ١٣١ ملاحظة: إن التقدير الذي اعتمدته هنا على الأصح: هو أن الدينار (٢٥،٤غم) والدرهم (٩٧٥،٢ غم) ونصاب الفضة في الزكاة (٥٩٥غم) ونصاب الذهب (٨٥غم) .
فقه الإسلامى وأدلته ص ١٨٠٠
وأما المحتكر أو غير المدير: فهو الذي يشتري السلع، وينتظر بها الغلاء. فلا زكاة عليه فيها حتى يبيعها، فإن باعها بعد حول أو أحوال، زكى الثمن لسنة واحدة. والخلاصة: إن الجمهور غير المالكية قالوا: المدير وغير المدير لهما حكم واحد، وأن من اشترى عرضاً للتجارة فحال عليه الحول، قومه وزكاه، فلا يجب على المدير شيء عند الجمهور؛ لأن الحول إنما يشترط في عين المال، لا في نوعه. وأما مالك فأوجب على المدير الزكاة، وإن لم يحل الحول على عين المال، ويكفي حولانه على نوع المال، لئلا تسقط الزكاة رأساً عن المدير، وهذا أخذ بمبدأ المصالح المرسلة التي لا يشترط فيها عند مالك استنادها إلى أصول منصوص عليها.
٢ً – حولان الحول: أن يحول على الأموال (أي القيمة) الحول من وقت ملك العروض، لا على السلعة نفسها. والمعتبر في ذلك عند الحنفية، والمالكية (في غير المدير): طرفا الحول لا وسطه، أما في الابتداء فلتحقق الغنى، وأما في الانتهاء فللوجوب، فمن ملك في أول الحول نصاباً، ثم نقص في أثنائه، ثم كمل في آخره، وجبت فيه الزكاة، أما لو نقص في أوله أو في آخره فلا تجب فيه الزكاة. والمعتبر عند الشافعية: بلوغ النصاب آخر الحول من البدء بالمتاجرة؛ لأنه وقت الوجوب، لا بطرفيه معاً أي أوله وآخره، وبناء عليه إذا كان مع تاجر في أول الحول ما يكمل به النصاب كمئة درهم اشترى بخمسين منها عرضاً للتجارة، فبلغت قيمته في آخر الحول مئة وخمسين، فإنه تلزمه زكاة الجميع آخر الحول. والمعتبر عند الحنابلة: بلوغ النصاب في جميع الحول، ولا يضر النقص اليسير في أثنائه كنصف يوم مثلاً، أي أنه لا زكاة قبل اكتمال النصاب في البدء والأثناء والانتهاء.
٣ً – نية التجارة حال الشراء: أن ينوي المالك بالعروض التجارة حالة شرائها، أما إذا كانت النية بعد الملك، فلا بد من اقتران عمل التجارة بنية، ويشترط أيضاً عند الحنفية أن يكون الشيء المتجر فيه صالحاً لنية التجارة، فلو اشترى أرضاً خراجية للتجارة، ففيها الخراج لا الزكاة، ولو اشترى أرضاً عشرىة وزرعها، وجب في الزرع الناتج العشر، دون الزكاة. واشترط الشافعية أن ينوي بالعروض التجارة حال المعاوضة في صلب العقد أو في مجلسه، فإن لم ينو على هذا الوجه فلا زكاة فيها. ويشترط تجديد نية التجارة عند كل معاوضة حتى يفرغ رأس المال.
٤ً – ملك العروض بمعاوضة: اشترط الجمهور غير الحنفية أن تملك العروض بمعاوضة كشراء وإجارة ومهر، فإن ملكت بغير معاوضة كإرث أو خلع أو هبة أو وصية أو صدقة مثلاً، كأن ترك شخص لورثته عروض تجارة، فلا زكاة فيها حتى يتصرفوا فيها بنية التجارة. وزاد المالكية أن يكون ثمن العروض ممتلكاً بمعاوضة مالية أيضاً، لا بنحو هبة أو إرث، ومن كان يبيع العروض بالعرض ولا ينض (يتحول نقداً) له من ثمن ذلك نقد، فلا زكاة عليه عند المالكية إلا أن يفعل ذلك فراراً من الزكاة فلا تسقط، وعليه الزكاة عند المذاهب الأخرى. ٥ ً – ألا يقصد بالمال القِنْية (أي إمساكه للانتفاع به وعدم الاتجار به): هذا شرط ذكره الشافعية والحنابلة والمالكية، فإن قصد ذلك انقطع الحول، وإذا أراد التجارة بعدئذ، احتاج لتجديد نية التجارة. ٦ ً – ألا يصير جميع مال التجارة في أثناء الحول نقداً وهو أقل من النصاب: هذا شرط آخر عند الشافعية، فإن صار جميع المال نقداً مع كونه أقل من نصاب، انقطع الحول. ولم يشترط غير الشافعية هذا الشرط. ٧ً – ألا تتعلق الزكاة بعين العرض: هذا شرط عند المالكية، فإن تعلقت الزكاة بعينه كحلي الذهب أو الفضة، وكالماشية (الإبل والبقر والغنم) والحرث (الزرع والثمر) وجبت زكاته إن بلغ نصاباً مثل زكاة النقدين والأنعام والحرث، فإن لم تتعلق الزكاة بعين المال كالثياب والكتب وجبت زكاة التجارة. والخلاصة: إن الحنابلة اشترطوا لوجوب الزكاة في عروض التجارة شرطين (١): الأول ـ أن يملكها بفعله كالشراء، وهو الشرط الرابع لدينا. الثاني ـ أن ينوي التجارة حال التملك، وهو الشرط الثالث السابق. والحنفية اشترطوا أربعة شروط: الأول ـ بلوغ النصاب.والثاني ـ حولان الحول. والثالث ـ نية التجارة مصحوبة بعمل التجارة فعلاً؛ لأن مجرد النية لا يكفي. والرابع ـ أن تكون الأموال صالحة لنية التجارة. والمالكية اشترطوا خمسة شروط: الأول ـ ألا تتعلق الزكاة في عينه كالثياب والكتب. الثاني ـ أن يملك العرض بمعاوضة أو مبادلة كشراء، لا بإرث وهبة ونحوهما. الثالث ـ أن ينوي بالعرض التجارة حال شرائه. الرابع ـ أن يكون ثمن الشراء الذي اشترى به العرض مملوكاً بمعاوضة مالية أي بشراء، لا بنحو إرث أو هبة مثلاً. الخامس ـ أن يبيع المحتكر من ذلك العرض نصاباً فأكثر، أو بأي شيء ولو درهماً إذا كان مديراً. والشافعية اشترطوا ستة شروط: الأول ـ أن تملك العروض بمعاوضة كشراء، لا بإرث مثلاً. الثاني ـ أن ينوي بالعروض التجارة في صلب عقد المعاوضة أو في مجلسه، وإلا احتاج لتجديد نية التجارة. الثالث ـ ألا يقصد بالمال القنية. الرابع ـ مضي الحول من وقت ملك العروض أي من الشراء. الخامس ـ ألا يصير جميع مال التجارة نقوداً وكان أقل من نصاب، وعبر عنهالشافعية بقولهم: ألا ينضّ المال في الأظهر أي يصير الكل نقداً من نقود البلد ببيع أو إتلاف من شخص معتد. السادس ـ أن تبلغ قيمة العروض آخر الحول نصاباً.
ثالثاً ـ تقويم العروض ومقدار الواجب في هذه الزكاة وطريقة التقويم: يقوِّم التاجر العروض أو البضائع التجارية في آخر كل عام بحسب سعرها في وقت إخراج الزكاة، لا بحسب سعر شرائها، ويخرج الزكاة المطلوبة، وتضم السلع التجارية بعضها إلى بعض عند التقويم ولو اختلفت أجناسها، كثياب وجلود ومواد تموينية، وتجب الزكاة بلا خلاف في قيمة العروض، لا في عينها؛ لأن النصاب معتبر بالقيمة، فكانت الزكاة منها، وواجب التجارة هو ربع عشر القيمة كالنقد باتفاق العلماء، قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن في العروض التي يراد بها التجارة: الزكاة إذا حال عليها الحول (١). وأدلة وجوب زكاة التجارة ما يأتي (٢): ١ً – قوله تعالى: {يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم} [البقرة:٢٦٧/ ٢] قال مجاهد: نزلت في التجارة. ٢ً – وقوله صلّى الله عليه وسلم: «في الإبل صدقتها، وفي البقر صدقتها، وفي الغنم صدقتها، وفي البَزّ (٣) صدقته» (٤) وقال سمرة بن جندب: «كان رسول الله صلّى الله عليه وسلميأمرنا أن نخرج الزكاة مما نعده للبيع» (١) وعن أبي عمرو بن حماس عن أبيه قال: «أمرني عمر، فقال: أدّ زكاة مالك، فقلت: ما لي مال إلا جعاب وأدم، فقال: قوّمها، ثم أدّ زكاتها» (٢) قال ابن قدامة صاحب المغني: وهذه قصة يشتهر مثلها، ولم تنكر، فيكون إجماعاً. وأما ما حكي عن مالك وداود أنه لا زكاة في التجارة لحديث: «عفوت لكم عن صدقة الخيل والرقيق» فالمراد به زكاة العين فلا زكاة في عين الخيل، لازكاة القيمة، بدليل الأخبار التي ذكرتها، ثم إن هذا الخبر عام، والأخبار المذكورة خاصة، فيجب تقديمها. والمقرر عند المالكية هو وجوب زكاة التجارة. وطريقة تقويم العروض (٣): هي عند الجمهور غير الشافعية أن تقوم السلع إذا حال الحول بالأحظ للمساكين من ذهب أو فضة احتياطاً لحق الفقراء، ولا تقوم بما اشتريت به. فإذا حال الحول على العروض، وقيمتها بالفضة نصاب، ولا تبلغ نصاباً بالذهب، قومناها بالفضة ليحصل للفقراء منها حظ، ولو كانت قيمتها بالفضة دون النصاب، وبالذهب تبلغ نصاباً قومناها بالذهب لتجب الزكاة فيها، ولا فرق بين أن يكون اشتراؤها بذهب أو فضة أو عروض. وقال الشافعية: تقوم العروض بما اشتراها التاجر به من ذهب أو فضة؛ لأن نصاب العروض مبني على ما اشتراه به، فيجب أن تجب الزكاة فيه، وتعتبر به، كما لو لم يشتر به شيئاً. وعلى هذا إن ملك العرض بنقد قوِّم به إن ملك بنصاب أو دونه في الأصح، سواء أكان ذلك النقد هو الغالب أم لا، والله أعلم بالصواب
HUKUMNYA KAKAK IPAR MEGELUARKAN ZAKAT FITRA UNTUK ADIK IPARNYA
Diskripsi Amin adalah manten baru yang hidup bersama mertuanya. Namun satu tahun kemudian, kedua mertuanya meninggal. Secara otomatis yang menggantikan posisi kedua mertuanya Amin adalah kakak iparnya Amin. Selama Amin hidup bersama kakak iparnya itu, dia tidak lagi berpenghasilan tetap. Lebih tepatnya, Amin lebih menggantungkan hidupnya kepada kakak iparnya karna berbagai faktor. Pernah di suatu kesempatan, sempat kakak iparnya amin yang membayarkan zakat fitrahnya amin dan istrinya amin.
Pertanyaan:
Sebagai kepala keluarga (suami dari istrinya) wajibkah amin memgeluarkan zakat fitrah sendiri?
Benarkah tindakan iparnya amin secara hukum?
Waalaikum salam. Jawaban.
Amin tidak wajib mengeluarkan zakat walaupun sebagai kepala rumah tangga sedangkan Tindakan kakak iparnya Amin tidaklah dibenarkan dan zakatnya tidak sah kecuali dengan seindzinya, kenapa Amin tidak wajib zakat , dan tindakan kakaknya tidak dibenarkan karena Amin bukanlah orang yang wajib membayar zakat karena masuk orang yang tidak mampu ( miskin ),dan juga Amin bukanlah hak kewajiban kakak iparnya dalam menafkahi kebutuhan hidupnya, hal ini dikiyaskan dengan orang tua yang mengeluarkan zakat untuk anaknya dengan tanpa seidzinnya sedangkan anaknya sudah baligh dan sehat serta mampu berkasab. Sedangkan ketentuan kewajiban membayar zakat fitrah hanya bagi orang yang mampu menunaikan zakat fitrah. Mampu di sini ialah orang yang pada saat malam hari raya Id dan hari raya Id memiliki harta yang mencukupi untuk kebutuhan hidupnya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi.
“Kebutuhan tersebut meliputi makanan pokok, pakaian, rumah, dan terbebas dari utang yang melilitnya. Jika harta yang ia miliki tidak mencukupi untuk memenuhi salah satu dari kebutuhan tersebut pada saat malam hari raya Id, maka menunaikan zakat fitrah baginya adalah hal yang tidak wajib,”
Solusinya yang lebih pantas kakak Ipararnya harus mengeluarkan zakat dirinya lalu diberikan kepada Amin .Alasannya Amin termasuk orang yang fakir yang berhak menerima zakat sedangkan hasil dari pemungutan zakat dari kakak iparnya dikeluarkan oleh Amin.
Referensi
فتح الوهاب بشرح المنهاج الطلاب.ج١ص ٢٠٠
ـ (ولا فطرة على معسروهو من لم يفضل عن قوته وقوت ممونه يومه وليلته و) عن (ما يليق بهما من ملبس ومسكن وخادم يحتاجها ابتداءا وعن دينه ما يخرجه) في الفطرة، بخلاف من فضل عنه ذلك
Tidak wajib zakat fitrah bagi orang yang tidak mampu, yakni orang yang tidak memiliki harta yang lebih untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok dirinya dan orang yang wajib ia nafkahi pada saat malam id dan hari raya id, dan untuk memiliki pakaian dan rumah yang layak untuknya serta pelayan yang ia butuhkan dan (melunasi) hutang yang ia miliki, (tidak memiliki harta yang lebih) untuk mengeluarkan zakat fitrah. Berbeda ketika orang tersebut memiliki harta yang lebih untuk zakat fitrah setelah tercukupi kebutuhan di atas (maka wajib baginya zakat fitrah)”
فقه المنهاجى على مذهب الإمام الشافعى.ج.١ص ٢٢٩
فلا يجب أن يخرجها عن ولده البالغ القادر على الاكتساب، ولا عن قريبه الذي لا يكلف بالإنفاق عليه، بل لا يصح أن يخرجها عنه إلا بأذنه
Artinya:” Maka tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anaknya yang telah baligh yang mampu bekerja, juga kerabatnya yang ia tanggung nafkahnya. Akan tetapi, tidak sah jika mengeluarkan zakat fitrah baginya tanpa izin darinya.
[تقي الدين الحصني، كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار، صفحة ١٨٧]
القول في تأويل قوله : إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60) قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: ما الصدقات إلا للفقراء والمساكين، (24) ومن سماهم الله جل ثناؤه. * * * ثم اختلف أهل التأويل في صفة ” الفقير ” و ” المسكين “. فقال بعضهم: ” الفقير “، المحتاج المتعفف عن المسألة، و ” المسكين “، المحتاج السائل. (25) * ذكر من قال ذلك: 16818- حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا جرير, عن أشعث, عن الحسن: (إنما الصدقات للفقراء والمساكين)، قال: ” الفقير “، الجالس في بيته = ” والمسكين “، الذي يسعى. 16819- حدثني المثنى قال، حدثنا عبد الله قال، حدثنا معاوية, عن علي, عن ابن عباس قوله: (إنما الصدقات للفقراء والمساكين)، = قال: ” المساكين “، الطوافون, و ” الفقراء “، فقراء المسلمين. 16820- حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا أبو أسامة, عن جرير بن حازم قال، حدثني رجل, عن جابر بن زيد: أنه سئل عن ” الفقراء “, قال: ” الفقراء “، المتعففون, و ” المساكين “، الذين يسألون. 16821- حدثنا أحمد بن إسحاق قال، حدثنا أبو أحمد قال، حدثنا معقل بن عبيد الله الجزريّ قال: سألت الزهري عن قوله: (إنما الصدقات للفقراء)، قال: الذين في بيوتهم لا يسألون, و ” المساكين “، الذين يخرجون فيسألون. (26) 16822- حدثنا الحارث قال، حدثنا القاسم قال، حدثنا يحيى بن سعيد, عن عبد الوارث بن سعيد, عن ابن أبي نجيح, عن مجاهد قال: ” الفقير ” الذي لا يسأل, و ” المسكين “، الذي يسأل. 16823- حدثنا يونس قال، أخبرنا ابن وهب, قال، قال ابن زيد في قوله: (إنما الصدقات للفقراء والمساكين)، قال: ” الفقراء “، الذين لا يسألون الناس، أهلُ حاجة (27) = و ” المساكين “، الذين يسألون الناس. 16824- حدثنا الحارث قال، حدثني عبد العزيز قال، حدثنا عبد الوارث, عن ابن أبي نجيح, عن مجاهد قال: ” الفقراء “، الذين لا يسألون, و ” المساكين ” الذين يسألون. * * * وقال آخرون: ” الفقير “، هو ذو الزمانة من أهل الحاجة، و ” المسكين “، هو الصحيح الجسم منهم. (28) * ذكر من قال ذلك: 16825- حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال، حدثنا محمد بن ثور, عن معمر, عن قتادة: (إنما الصدقات للفقراء والمساكين)، قال: ” الفقير “، من به زَمانة = و ” المسكين “، الصحيح المحتاج. 16826- حدثنا بشر قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد, عن قتادة قوله: (إنما الصدقات للفقراء والمساكين)، أما ” الفقير “، فالزَّمِن الذي به زَمانة, وأما ” المسكين “، فهو الذي ليست به زمانة. * * * وقال آخرون: ” الفقراء “، فقراء المهاجرين، و ” المساكين “، من لم يهاجر من المسلمين، وهو محتاج. * ذكر من قال ذلك: 16827- حدثنا الحارث قال، حدثنا عبد العزيز قال، حدثنا جرير بن حازم, عن علي بن الحكم, عن الضحاك بن مزاحم: (إنما الصدقات للفقراء)، قال: فقراء المهاجرين = و ” المساكين “، الذين لم يهاجروا. (29)
HUKUM ORANG TUA MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH UNTUK ANAKNYA YANG SUDAH BALIGH DAN MENIKAH
Assalamualaikum Deskripsi masalah Pasutri dikaruniai tiga anak yang pertama telah dewasa dan telah melangsungkan ikatan Nikah namun kondisi kasabnya dalam kehidupan-sehari-harinya pas-pasan hanya cukup untuk makan, Artinya untuk makan sehari harus bekerja dalam keseharian,baik untuk dirinya, istrinya anaknya, Namun demikian orang tuanya termasuk orang yang mampu karena sebelum menikahkan anaknya semua anaknya dipemondokkan dipondok pesantren termasuk anak yang kedua dan baligh masih dipondok sehingga belum bisa dikatakan mampu mencari penghasilan dengan alasan karena masih terikat dengan sekolah dipondoknya, sedangkan anak yang perempuan sudah dewasa dan baligh namun masih perawan tua karena belum pernah menikah .
Pertanyaannya.
Apakah orang tua berkewajiban membayarkan zakat fitrah terhadap anak-anaknya baik yang sudah berkeluarga atau tidak namun anak tersebut sudah baligh.
Waalaikum salam.
Jawaban ditafsil
🅰️Orang tua tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah kepada anaknya yang masuk dalam kategori sebagai berikut:
Anak sudah Dewasa ( baligh )dan sehat serta mampu berkasab ( mencari pengasilan)
Anak yang sudah baligh dan berkeluarga, dengan alasan karena orang tua telah lepas dari tanggung jawabnya kewajiban-kewajiban terhadap anaknya, jika terpaksa mengeluarkan zakat untuk anaknya yang sudah baligh dan berkeluarga serta sehat dan mampu untuk bekerja maka zakatnya tidak sah kecuali dengan seidzinnya.
🅱️ Wajib orang tua mengeluarkan zakat untuk anak-anaknya baik laki-laki dan perempuan yang masuk dalam kategori:
Anak yang belum baligh, sampai kepada cucu-cucuni ( jika orang tua cucu tidak mampu)
.Anak sudah baligh namun nafkah masih dalam tanggungannya dan belum punya penghasilan ( karena mencari ilmu /mondok ) baik anaknya laki-laki maupun perempuan yang masih belum menikah.Akan tetapi jika anak perempuannya sudah pernah menikah maka tidaklah wajib.
Disebutkan dalam kitab Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī, sebagai berikut:
يجب على من توفرت لديه هذه الشرائط الثلاثة، أن يخرج زكاة الفطر عن نفسه، وعمن تلزمه نفقتهم، كأصوله وفروعه، وزوجته. فلا يجب أن يخرجها عن ولده البالغ القادر على الاكتساب
Artinya: Mereka yang memenuhi tiga syarat ini wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya sendiri, orang-orang yang wajib ia nafkahi, seperti jalur keturunan ke atas maupun ke bawah, dan istrinya. Maka tidak wajib mengeluarkan zakat untuk anak laki-lakinya yang telah baligh yang telah mampu bekerja. [Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī Juz I (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), hlm. 229]
أن يكونوا كبارا أصحاء لا يعجزون عن منافع أنفسهم فمذهب الشافعي، أنه لا تجب على الوالد نفقاتهم ولا زكاة فطرهم
Artinya: ” Jika seorang anak itu sudah besar yang memiliki kondisi fisik sehat, namun belum mampu mencukupi dirinya sendiri (belum bekerja), maka dalam madzhab Syafi’i, walinya tidak wajib menafkahinya, begitu pula zakat fitrah-nya. [al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqhi Mażhabi al-Imām asy-Syāfi’ī Juz III (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiah, 1999), hlm. 353]
Jika telah memenuhi syarat wajib zakat fitrah seperti: 1) Islam; 2) masih hidup hingga terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadan; dan 3) memiliki kecukupan bahan makanan bagi dirinya sendiri dan keluarga dalam waktu 24 jam terhitung sejak hari pertama bulan Syawal, maka diwajibkan baginya membayar zakat untuk dirinya sendiri, dan orang-orang yang berada dalam tanggungan nafkahnya seperti uṣūl, furū’, dan istrinya. Dalam mazhab Syafi’i, istilah uṣūl merupakan jalur keturunan ke atas, seperti: bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya. Sementara furū’ merupakan jalur keturunan ke bawah, seperti: anak, cucu, dan seterusnya.
Berikut batasan orang tua wajib menafkahi anak atau keturunannya sekaligus mengeluarkan zakat fitrahnya dengan Mengutip ungkapan Abu Hanifah dalam kitab Ḥilyah al-Ulamā’fī Ma’rifati Mażāhib al-Fuqahā’ beikut.
وقال أبو حنيفة: نفقة الأنثى لا تسقط حتى تتزوج
Artinya: Abu Hanifah berkata: Nafkah bagi anak perempuan tidak berhenti sampai ia menikah.
Begitu pula Husain bin Muhammad al-La’iy dalam kitabnya, Badru at-Tamām Syaraḥ Bulughul Marām Juz 8 halaman 323, mengungkapkan hal yang sama sebagai berikut.
وذهب الجمهور إلى أن الواجب أن ينفق عليهم حتَّى يبلغ الذكر أو تتزوج الأنثى
Artinya: Mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib menafkahi anak laki-laki hingga menginjak baligh, atau hingga menikah bagi anak perempuan
Meskipun anak laki-laki sudah tergolong tidak wajib dinafkahi, sehingga pengeluaran zakat tentunya juga sudah tidak wajib dibayarkan oleh bapak atau wali, seperti memiliki kemampuan fisik untuk bekerja dan telah baligh, bukan berarti jika masih tetap dibayar zakatnya oleh bapaknya itu tidak sah. Namun, dapat menjadi tidak sah jika wali atau bapak membayarkan zakatnya tanpa seizinnya.
فلا يجب أن يخرجها عن ولده البالغ القادر على الاكتساب، ولا عن قريبه الذي لا يكلف بالإنفاق عليه، بل لا يصح أن يخرجها عنه إلا بأذنه
Artinya: Maka tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anaknya yang telah baligh yang mampu bekerja, juga kerabatnya yang ia tanggung nafkahnya. Akan tetapi, tidak sah jika mengeluarkan zakat fitrah baginya tanpa izin darinya. [Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī Juz I (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), hlm. 229]
Selain pengecualian bagi anak telah baligh yang tidak memiliki fisik yang sehat, juga berlaku bagi anak telah baligh yang sedang menuntut ilmu.
فإن عاقه عن الاكتساب اشتغال بالعلم مثلاُ، فإنه ينظر فإن كان العلم متعلقاً بواجباته الشخصية: كأمور العقيدة، والعبادة، فذلك يُعدّ عجزاً عن الكسب، وتجب نفقته على أبيه
Artinya: Jika dia (الولد صحيحاً بالغاً) terhalang bekerja karena disibukkan dengan (mencari) ilmu, atau semisalnya, maka hendaknya dia mempertimbangkan: Bahwa jika ilmu itu terkait dengan kewajiban yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri, seperti ilmu aqidah dan ibadah, maka kondisi ini dianggap sebagai ketidakmampuan mencari nafkah. Wajib bagi ayahnya untuk menafkahi dirinya. [Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī Juz IV (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), hlm. 124]
Dengan demikian, anak dengan kategori masih dalam tanggungan wajib nafkah seorang wali, maka pengeluaran zakat fitrah pun juga demikian. Anak laki-laki yang telah mencapai usia baligh dan telah mampu bekerja, tidak wajib bagi wali untuk membayar zakat fitrahnya, namun tetap sah jika wali membayarkannya asal atas seizin anak tersebut. Namun kategori ini dapat dikatakan masih wajib dinafkahi dan dibayarkan zakat fitrahnya jika masih menuntut ilmu (ilmu ḥāl).
Adapun anak yang memiliki keterbatasan fisik, meskipun telah mencapai usia baligh, maka wajib bagi wali untuk menafkahinya dan pembayaran zakat fitrah wajib dibayarkan oleh wali. Selain itu, kewajiban menafkahi anak perempuan ialah hingga ia menikah. Sehingga kewajiban wali membayar zakat fitrah-nya ialah juga sampai ia menikah. Wallahu A’lam.