Ada seseorang menjual sawahnya dengan istilah menjual tahunan ( 15 ) tahun dengan harga 50 juta akan tetapi jika sudah sampai 15 tahun sahwahnya itu ditarik kembali artinya sipembeli tanah itu hanya mengambil manfaatnya dari penghasilannya tersebut padahal setelah dikelola sawahnya itu belum tentu untung dalam masa 15 tahun mencapai penghasilan 50 juta atau lebih .
Wa alaikumussalam Jawaban: Hukum jual belinya tidak sah hal ini dijelaskan dalam kitab fathul wahhab, disebutkan bahwa syarat sahnya jual beli adalah عَدَمُ تَأْقِيْتٍ (‘adamu ta’qiitin, artinya akad jual beli itu adalah hendaklah tidak diberi batas waktu). Jadi jika ada seseorang ( Ahmad ) menjual sawahnya kepada Umar dengan istilah menjual tahunan ( 15 ) tahun dengan harga 50 juta akan tetapi jika sudah sampai 15 tahun sahwahnya itu ditarik kembali oleh Ahmad, artinya sipembeli tanah ( Umar ) itu hanya mengambil manfaatnya dari pengsilannya tersebut, maka akad jual beli diantara Ahmad dan Umar itu tidak sah. Alasannya ialah karena akad jual beli diantara Ahmad dan Umar itu dibatasi oleh waktu(yaitu 15 tahun). Sedangkan akad jual beli, menurut kitab fikih,itu adalah akad untuk selamanya. -Kecuali jika akadnya diubah, yaitu Ahmad menyewakan tanahnya kepada Umar selama 15 tahun. Sedangkan ujroh ( ongkos sewa )nya adalah Rp 50 juta.Maka akad sewa semacam ini hukumnya sah.
Sedangkan akadnya jual beli tahunan disebut akad batil ( tidak sah /batal )
Jual beli,menurut istilahnya fuqoha'( para ulama’ yang ahli fuqih ): Adalah akad yang datang atas saling tukar menukar harta yang satu dengan harta yang lainnya, dengan menjadikan hak milik selamanya. Akad jual beli itu tidak boleh dibatasi dengan waktu.
المكتبة الشاملة كتاب الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي [مجموعة من المؤلفين] جز : 6 ، صحيفة : 9 مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب الباب الأول البيع تعريفه – مشروعيته
البيع
تعريفه: هو في اللغة:
مقابلة شيء بشيء، سواء أكانا مالين أم لا، قال تعالى {إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ}. ثم قال: {فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ} التوبة١١١.
والشراء والبيع من الأضداد، أي يستعمل كل منهما بمعنى الآخر، قال تعالى: {وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ} (يوسف٢٠)، أي: باعوه. وفي الحديث ” لا يبع الرجل على بيع أخيه ” (١) أي لا يشتر، قال في مختار الصحاح: (فإنما وقع النهي على المشترى لا على البائع). ويطلق على البائع والمشتري البيعان، كما جاء في الحديث، وسيأتي عند الكلام عن خيار المجلس إن شاء الله تعالى. ………………
Jual beli, menurut istilahnya fuqoha'(para ulama’ yang ahli fuqih): Adalah akad yang datang atas saling tukar menukar harta yang satu dengan harta yang lain, dengan menjadikan hak milik selamanya. Akad jual beli itu tidak boleh dibatasi dengan waktu.
. وفي اصطلاح الفقهاء:
عقد يرد على مبادلة مال بمال تمليكاً على التأبيد. وذلك يعني: أنه لا بد في تبادل الأموال على سبيل التملّك من العقد، وكذلك لا يكون البيع والشراء إلا بما يُعتبر مالاً في عُرْف الشرع، وأيضاً لا بد في البيع من الملك والمليك، وأن لا يكون ذلك محدداً بوقت، وكل هذا سنعرفه مفصلاً فيما يأتي من فقرات البحث.
مشروعيته:
عقد البيع عقد مشروع، دلّ على مشروعيته الكتاب والسنّة، وحصل على ذلك الإجماع.
PERTANYAAN : Assalamualaikum. Wahai kiyai, benarkah muslimah diharamkan memakai celana panjang dan harus selalu memakai rok / gamis ? karena jika pakai celana panjang dikatakan menyerupai laki-laki (terlarang bagi perempuan yang menyerupai laki-laki begitu juga sebaliknya). Mohon penjelasannya. Terimakasih.
JAWABAN : Waalaikumsalam. Melihat bentuk celananya terlebih dahulu : ·Bila celana tersebut model celana yang khusus / kebanyakan dipakai pada kalangan wanita maka tidak terjadi tasyabbuh (penyerupaan) dengan laki-laki yang diharamkan. ·Bila celana yang memang khusus dipakai untuk pria / kebanyakan pria maka berarti terjadi tasyabbuh (penyerupaan) dengan laki-laki yang di haramkan. ·Bila bentuk celana tersebut masih sama umumnya dipakai oleh lelaki dan wanita juga masih tidak dikatakan tasyabbuh(penyerupaan)
Referensi:
(مسألة : ي) : ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة ، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر ، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه.
Batasan penyerupaan yang di haramkan pada kasus penyerupaan orang laki-laki pada perempuan dan sebaliknya adalah apa yang diterangkan oleh Ulama Fiqh dalam kitab Fath aljawaad, Tuhfah, Imdaad dan kitab syun alghooroh. Imam Romli juga mengikutinya dalam kitab Annihaayah, Batasannya adalah : “bila salah satu dari lelaki atau wanita tersebut berhias memakai barang yang dikhususkan untuk lainnya atau pakaian yang jamak di gunakan pada tempat tinggal lelaki dan wanita tersebut”. [ Bughyah Almustarsyidiin 604 ].
Macam-macam unsur tasyabbuh (penyerupaan wanita pada pria dan sebaliknya
Dalam GAYA Bertingkah laku seperti wanita. Maksud bertingkah laku seperti wanita adalah menyerupai wanita dalam gaya, berbicara, cara berjalan, pakaian, perhiasan yang umumnya di lakukan/di pakai oleh wanita, pelarangan ini bertendensi pada hadits riwayat Ibnu Abbas Ra : ”Nabi Muhammad SAW melaknat orang laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan para wanita yang bertingkah laku seperti pria” (HR. Bukhori) Dalam riwayat lain : ”Nabi Muhammad SAW melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai pria” (HR. Bukhori) Imam Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fath Albaari “Larangan ini berlaku bagi orang yang sengaja bertingkah laku semacam itu, sedang bagi orang yang memang dari penciptaannya memang demikian maka tuntutan kewajibannya adalah merobah sedikit demi sedikit, bila orang tersebut tidak mau berusaha merubahnya dengan pelan-pelan apalagi terkesan dalam dirinya tumbuh rela dengan keberadaannya maka dirinya berdosa. [ Mausuu’ah alFiqhiyyah alKuwaitiyyah XI/63 ].
Dalam Pakaian dan perhiasan Sama dalam keterangan di atas, dan yang ada di dokumen
(مسألة : ي) : ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة ، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر ، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه.
Masalah : Batasan penyerupaan yang di haramkan pada kasus penyerupaan orang laki-laki pada perempuan dan sebaliknya adalah apa yang diterangkan oleh Ulama Fiqh dalam kitab Fath aljawaad, Tuhfah, Imdaad dan kitab syun alghooroh. Imam Romli juga mengikutinya dalam kitab Annihaayah, Batasannya adalah “bila salah satu dari lelaki atau wanita tersebut berhias memakai barang yang dikhususkan untuk lainnya atau pakaian yang jamak digunakan pada tempat tinggal lelaki dan wanita tersebut”. [ Bughyah Almustarsyidiin 604 ].
Yang menjadi pertimbangan dalam masalah bisa dikatakan pakaian / perhiasan itu tasyabbuh atau tidak adalah KEBIASAAN TEMPAT DIMANA DIA BERDOMISILI BUKAN TEMPAT LAIN. Wallaahu A’lamu Bis Showaab
Fatawi Al-Azhar :
فتاوى الازهر روى أحمد والطبرانى أن عبد اللّه بن عمرو بن العاص رضى اللّه عنه رأى أم سعيد بنت أبى جهل متقلدة سيفا وهى تمشى مشية الرجال فقال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول “ليس منا من تشبه بالرجال من النساء، ولا من تشبه من النساء بالرجال ” . يؤخذ من هذه الأحاديث تحريم تشبه أحد من الجنسين بالجنس الآخر، ومحل الحرمة إذا تحقق أمران : أولهما : أن يكون التشبه مقصودا، بأن يتعمد الرجل فعل ما يكون من شأن النساء وأن تتعمد المرأة فعل ما يكون من شأن الرجال ، فإن هذا القصد فيه تمييع للخصائص أو إضعاف لها ، والواجب أن تكون خصائص كل جنس فيه قوية، فذلك تقسيم اللّه لخلقه وتنسيقه فيما أودع فى كل منهما من خصائص لمصلحة المجموعة البشرية ، أما مجرد التوافق بدون قصد وتعمد فلا حرج فيه ، فالناس بأجناسها تتفق فى أمور مشتركة كاستعمال أدوات الأكل وركوب الطائرات وما إلى ذلك . وهذا ما يعنيه لفظ “تشبه ” ففيه عمل وقصد، أما إذا انتفى القصد فيكون تشابها لا تشبُّها، ولا حرج فى التشابه فيما لم يقصد . والأمر الثانى :أن يكون التشبه فى شيء هو من خصائص الجنس الآخر، والذى يحدد ذلك إما أن يكون هو الدين ، وإما أن يكون هو الطبع نفسه ، أى الجبلة التى خلق عليها الإنسان ، وإما أن يكون هو العرف والعادة، وكثير من التشبه يكون فى ذلك فى أول الأمر، حيث يوجد القصد والتعمد والإعجاب ، ثم بعد ذلك يصير شيئا مألوفا لا شذوذ فيه ، ولا يعد تشبها مذموما
Fatwa Al-Azhar
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabarani bahwa Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu melihat Ummu Sa’id binti Abu Jahal membawa pedang sambil berjalan dengan gaya laki-laki. Lalu ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Bukan dari golongan kami perempuan yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai perempuan.'”
Dari hadis-hadis ini diambil kesimpulan tentang keharaman seseorang dari kedua jenis kelamin menyerupai jenis kelamin lainnya.
Keharaman ini berlaku jika terpenuhi dua syarat:
1. Adanya Niat dan Kesengajaan: Yaitu seorang laki-laki sengaja melakukan sesuatu yang merupakan kebiasaan perempuan, atau perempuan sengaja melakukan sesuatu yang merupakan kebiasaan laki-laki. Kesengajaan ini bertujuan untuk mengaburkan atau melemahkan karakteristik masing-masing jenis kelamin. Padahal, yang seharusnya adalah karakteristik setiap jenis kelamin harus tetap kuat dan jelas, karena ini merupakan pembagian dan pengaturan dari Allah dalam penciptaan-Nya demi kemaslahatan umat manusia. Adapun jika kesamaan terjadi tanpa ada niat atau kesengajaan, maka tidak ada dosa di dalamnya. Karena ada banyak hal yang secara alami sama di antara manusia, seperti penggunaan alat makan, naik pesawat, dan hal-hal serupa. Inilah yang dimaksud dengan kata “tasyabbuh” (menyerupai), yang mengandung unsur tindakan dan niat. Jika niat itu tidak ada, maka yang terjadi adalah kemiripan (tasyabuh), bukan penyerupaan (tasyabbuh), dan tidak ada dosa dalam kemiripan yang tidak disengaja.
2. Penyerupaan dalam Hal yang Khas bagi Jenis Kelamin Lain: Yang menentukan kekhususan ini bisa berasal dari agama, naluri alami (fitrah) yang Allah ciptakan dalam diri manusia, atau adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Banyak kasus penyerupaan terjadi pada tahap awal dengan adanya niat, kesengajaan, dan kekaguman. Namun, seiring berjalannya waktu, hal tersebut menjadi sesuatu yang lumrah dan tidak lagi dianggap sebagai penyerupaan yang tercela.
HUKUNYA DARAH YANG KELUAR KARENA KEGUGURAN 1 BULAN MASA KEHAMILAN
PERTANYAAN :
Assalaamu’alaikum. Orang hamil 1 bulan lalu keguguran. Apakah darah yang keluar disebut darah nifas ? Dan umur berapakah kandungan itu bisa di sebut ‘ALAQOH(segumpal darah)?
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Jawaban
Darah wanita yang keluar setelah keguguran hamil 1 bulan bukanlah darah nifas, darah tersebut dihukumi darah haidl bila memenuhi syarat-syarat darah haidl. Umur kandungan yang baru berumur 1 bulan (30 hari / 4 minggu) adalah masih berupa titik kecil yang menempel di dalam rahim, sedangkan batas minimal kandungan yang ketika keluar (dan atau keguguran), jika keluar darah setelahnya dinamakan nifas adalah kandungan yang minimal sudah berupa ‘alaqoh yakni berumur 40 hari (5 minggu lebih 5 hari). Oleh karena itu jika ada kandungan keluar sudah berwujud ‘alaqoh( segumpal darah)atau wujud setelahnya, jika ada darah yang keluar setelah wiladah(setelah melahirkan)tidak melebihi 15 hari maka disebut darah nifas, dan jika darah keluar setelah 15 hari maka disebut darah haidl (bukan nifas).
Hasyiyah Al-Bajuri I / 109 :
(والنفاس هو الدم الخارج عقب الولادة) فالخارج مع الولد أو قبله لا يسمى نفاساً
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Darah yang keluar bersamaan dengan anak atau sebelum keluarnya anak tidak disebut nifas.
(قوله عقب الولادة) أي بأن يكون قبل مضي خمسة عشر يوما منها ، فهذا ضابط العقبية وإلا كان حيضا ولا نفاس لها لكن لو نزل عليها الدم بعد عشرة أيام مثلا كانت تلك العشرة من النفاس عددا لا حكما ، فيجب عليها الصلاة ونحوها فيها كما قاله البلقيني واعتمده الرملي وكان الأولى أن يقول عقب فراغ الرحم من الحمل ليخرج ما بين التوأمين ومثل الولادة إلقاء علقة وهي الدم الغليظ المستحيل من المني سميت بذلك لأنها تعلق بما لاقته ، ومضغة وهي القطعة من اللحم المستحيلة من العلقة سميت بذلك لأنها بقدر ما يمضغ ـ اهـ الباجوري الجزء الأول ص ١٠٦
Dikatakan nifas dengan catatan keluarnya itu sebelum lewatnya 15 hari dari melahirkan, dan ini merupakan batas dari “setelah”, jika tidak demikian maka itu adalah haidl bukan nifas, akan tetapi jika darah turun atas perempuan setelah 10 hari dari melahirkan misalkan, maka 10 hari tersebut termasuk nifas dalam segi hitungan bukan hukum, maka wajib bagi perempuan untuk melaksanakan sholat dan semacamnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Bulqiniy dan dibuat pedoman /dikuatkan oleh Imam Ar-Romliy. dan yang lebih utama adalah mengatakan “setelah kosongnya rahim dari kehamilan” agar mengeluarkan waktu yang berada di antara dua bayi kembar .
Termasuk dari wiladah (melahirkan) adalah keguguran ‘alaqoh yaitu darah yang kental (menggumpal) yang berubah dari mani, disebut ‘alaqoh karena bergantung pada sesuatu yang darah itu melekat padanya, dan juga mudlghoh yaitu sepotong daging yang berubah dari ‘alaqoh, disebut mudlghoh karena seukuran sesuatu yang dikunyah.
Deskripsi Masalah : Di dalam sebuah desa sebut saja Desa kemusu, sudah marak yang namanya jual beli sepeda motor gelap, sebagian tidak tau persis apa sepeda motor itu bekas curian, telat pajak, ataupun yang lainnya. Yang jelas selain harganya murah , barang masih layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan sebagian ada suratnya Namun mati dan pemiliknya diketahui.
Pertanyaan : 1.Apakah hukum jual beli diatas melihat barang tersebut belum diketahui dengan jelas?
2.Bagaimana hukum uang yang dihasilkan dari sepeda motor tersebut semisal dibuat mengojek?
3.Langkah apa yang harus dilakukan si pembeli bila sudah terlanjur membeli barang tersebut?
Waalaikum salam.
Jawaban
-Hukumnya transaksi jual beli sepeda motor bodong itu di tafshil:
Jawaban No.1
Sah jika ahmad membeli sepeda motor bodong kepada muhammad,sedangkan sepeda motor itu adalah miliknya muhammad, tapi surat-suratnya sepeda motor itu sudah mati ( kadaluarsa ), atau surat-suratnya sepeda motor itu hilang. Maka Ahmad yang membeli sepeda motor bodong dari muhammad itu hukumnya sah.
Tidak sah jika barangnya tidak jelas .Karena bukan milik yang sempurna seperti sepeda gelap ( tidak dilengkapi surat- surat / dokumen resmi kepemilikan sepeda motor) sebagian tidak tau persis apa sepeda motor itu bekas curian, telat pajak, ataupun yang lainnya. Seperti halnya Andi membeli sepeda motor bodong kepada yuliadi, sedangkan sepeda motor itu diperoleh oleh yuliadi dengan cara mencuri. Maka andi yang membeli sepeda motor bodong dari yuliadi itu hukumnya tidak sah dan hukumnya haram.
Jawaban No.2
Halal
Jawaban No 3
Solusi bagi pembeli adalah mengembalikan pada pemilik sebelumnya. Apabila tidak diketahui maka dikembalikan pada ahli waris Apabila sama sekali tidak ditemukan , maka menjadi milik baitul mal dan ditashorrufkan (di bagikan ) untuk maslahatul muslimin ( kemanfaatan kaum muslimin).
Referensi:
(غاية البيان على شرح زبد ابن رسلان،صحيفة ١٨٣)
(ملك لذي العقد)اي ان يكون مملوكا لصاحب العقد الواقع وهو العاقد او موكله او موليه اي يكون مملوكا لاءحد الثلاثة فلا بصح بيع الفضولي (قوله فلا يصح بيع الفضولي)اي هو من ليس مالكا ولا وكيلا ولا وليا)
Dalil diwajibkannya rakyat untuk membayar pajak kendaraan bermotor milik rakyat.
Referensi:
(بغية المسترشدين ص 92 دار الفكر)
(مسألة : ك) يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم تجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً والا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباج بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر ه ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ
المجموع شرح المهذب (9/ 350)
فرع)قال الغزالي الأسواق التي بناها السلاطين بالأموال الحرام تحرم التجارة فيها وسكناها فإن سكنها بأجرة وكسب شيئا بطريق شرعي كان عاصيا بسكناه ولا يحرم كسبه وللناس أن يشتروا منه ولكن إن وجدوا سوقا أخرى فالشراء منها أولى لأن الشراء من الأولى إعانة لسكانها وترغيب في سكناها وكثرة أجرتها والله سبحانه وتعالى أعلم
الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي (7/ 182)
سُئِلَ عن مَغْصُوبٍ تَحَقَّقَ جَهْلُ مَالِكِهِ هل هو حَرَامٌ مَحْضٌ أو شُبْهَةٌ وَهَلْ يَحِلُّ التَّصَرُّفُ فيه كَاللُّقَطَةِ أو كَغَيْرِهَا فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ لَا يَحِلُّ التَّصَرُّفُ فيه ما دَامَ مَالِكُهُ مَرْجُوَّ الْوُجُودِ بَلْ يُوضَعُ عِنْدَ قَاضٍ أَمِينٍ إنْ وُجِدَ وَإِلَّا فَعَالِمٌ كَذَلِكَ فَإِنْ أَيِسَ من مَعْرِفَةِ مَالِكِهِ صَارَ من جُمْلَةِ أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ كما في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ فإنه قال ما مُلَخَّصُهُ من معه مَالٌ حَرَامٌ وَأَيِسَ من مَعْرِفَةِ مَالِكِهِ وَلَيْسَ له وَارِثٌ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ في الْمُصَالَحِ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالْمَسَاجِدِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ على فَقِيرٍ أو فُقَرَاءَوَيَتَوَلَّى صَرْفَهُ الْقَاضِي إنْ كان عَفِيفًا وَإِلَّا حَرُمَ التَّسْلِيمُ إلَيْهِ وَضَمِنَهُ الْمُسْلِمُ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُحَكِّمَ رَجُلًا من أَهْلِ الْبَلَدِ دَيِّنًا عَالِمًا فَإِنْ فَقَدْ تَوَلَّاهُ بِنَفْسِهِ وَأَخْذُ الْفَقِيرِ لِلْمَدْفُوعِ إلَيْهِ حَلَالٌ طَيِّبٌ وَلَهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ على نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ إنْ كَانُوا فُقَرَاءَ وَالْوَصْفُ مَوْجُودٌ فِيهِمْ بَلْ هُمْ أَوْلَى من يَتَصَدَّقُ عليهم وَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ منه قَدْرَ حَاجَتِهِ لِأَنَّهُ أَيْضًا فَقِيرٌ كَذَا ذَكَرَهُ الْأَصْحَابُ وَنُقِلَ عن مُعَاوِيَةَ وَأَحْمَدَ وَالْحَارِثِ الْمُحَاسِبِيِّ وَغَيْرِهِمْ من أَهْل الْوَرَعِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ إتْلَافُ الْمَالِ وَلَا رَمْيُهُ في الْبَحْرِ فلم يَبْقَ إلَّا مَصَالِحَ الْمُسْلِمِينَ ا ه
بغية المسترشدين (ص: 329)
(مسألة : ب ش) : وقعت في يده أموال حرام ومظالم وأراد التوبة منها ، فطريقة أن يرد جميع ذلك على أربابه على الفور ، فإن لم يعرف مالكه ولم ييأس من معرفته وجب عليه أن يتعرفه ويجتهد في ذلك ، ويعرفه ندباً ، ويقصد رده عليه مهما وجده أو وارثه ، ولم يأثم بإمساكه إذا لم يجد قاضياً أميناً كما هو الغالب في هذه الأزمنة اهـ. إذ القاضي غير الأمين من جملة ولاة الجور ، وإن أيس من معرفة مالكه بأن يبعد عادة وجوده صار من جملة أموال بيت المال ، كوديعة ومغصوب أيس من معرفة أربابهما ، وتركة من لا يعرف له وارث ، وحينئذ يصرف الكل لمصالح المسلمين الأهم فالأهم ، كبناء مسجد حيث لم يكن أعم منه ، فإن كان من هو تحت يده فقيراً أخذ قدر حاجته لنفسه وعياله الفقراء كما في التحفة وغيرها ، زاد ش : نعم قال الغزالي إن أنفق على نفسه ضيق أو الفقراء وسع أو عياله توسط حيث جاز الصرف للكل ، ولا يطعم غنياً إلا إن كان ببرية ولم يجد شيئاً ، ولا يكتري منه مركوباً إلا إن خاف الانقطاع في سفره اهـ. وذكر نحو هذا في ك وزاد : ولمستحقه أخذه ممن هو تحت يده ظفراً ، ولغيره أخذه ليعطيه به للمستحق ، ويجب على من أخذ الحرام من نحو المكاسين والظلمة التصريح بأنه إنما أخذه للرد على ملاكه ، لئلا يسوء اعتقاد الناس فيه ، خصوصاً إن كان عالماً أو قاضياً أو شاهداً
MENJUAL BARANG YANG SUDAH MENCAPAI SATU NISOB SEBELUM HAUL(SEBELUM SAMPAI SATU TAHUN)
Deskripsi Masalah : Di antara macam-macam nya zakat ada yang harus ditunaikan setiap tahun bila mencapai nishabnya seperti zakat hewan ternak, dagangan dll dan ada pula yang tidak harus menunggu satu tahun yang penting sudah sampai pada nishabnya seperti pertanian, perkebunan dll. Namun ada sebagian masyarakat yang nakal dengan menjual barang-barang tersebut agar ia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat. Seperti menjual hewan-hewannya yang sudah sampai nishab sebelum haulnya (sebelum mencapai satu tahun) atau menjual padinya sebelum di panin.
Pertanyaan :
Bagaimana hukum menjual barang seperti deskripsi di atas?
Jawaban :
Menjual barang yang semestinya wajib dikeluarkan zakatnya sebelum sampai waktunya adalah sah, akan tetapi hukumnya adalah makruh jika bertujuan menghindar dari kewajiban mengeluarkan zakat, bahkan menurut al Imam Al Gozali dalam kitab Al Wajiz dan Ihya’ Ulumiddin hukumnya adalah dosa jika dengan tujuan tersebut dan orang yang melakukannya pada dasarnya masih berkewajiban mengeluarkan zakat.
Sedangkan menurut imam Ibnu Hajar “apabila menjualnya karena ada hajat (keperluan)dan bukan karena agar bebas dari kewajiban mengeluarkan zakat maka jual belinya di hukumi tidak makruh.
Referensi :
فتح المعين ص٢٣٢ وكره أن يزيل ملكه ببيع أو مبادلة عما تجب فيه الزكاة لحيلة بأن يقصد به دفع وجوب الزكاة لأنه فرار من القربة. وفي الوجيز: يحرم. وزاد في الإحياء: ولا يبرئ الذمة باطنا وأن هذا من الفقه الضار. وقال ابن الصلاح: يأثم بقصده لا بفعله. قال شيخنا: أما لو قصده لا لحيلة بل لحاجة أو لها وللفرار فلا كراهة.