DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Kategori
005. BAB MASAJID Uncategorized

HUKUM MEMBANGUN MASJID BARU DALAM SATU KOTA ATAU DESA KETIKA MASJD YANG LAMA MAMPU MENAMPUNG JAMAAH

Hukum Pembangunan Masjid  Baru Dalam satu desa atau kata ketika Masjid yang  lama  Mampu Menampung Jamaah 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Pembangunan masjid merupakan salah satu amalan yang sangat mulia dalam Islam, karena masjid berperan sebagai pusat ibadah dan kegiatan keagamaan bagi umat Muslim. Namun, ada beberapa pandangan dan pertimbangan terkait pembangunan masjid baru di suatu daerah, terutama ketika masjid yang sudah ada masih cukup untuk menampung jamaah yang ada.

Dalam beberapa kasus, pembangunan masjid baru dilakukan meskipun masjid lama masih berfungsi dengan baik dan mampu memenuhi kebutuhan jamaah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan tujuan dari pembangunan tersebut.

  1. Bagaimana hukum pembangunan masjid baru disatu desa sementara masjid yang lama masih memuat menampung jamaah?
  2. Apa yang dimaksud Kota atau desa?

Waalikum salam

Jawaban.
Membangun masjid lebih dari satu dalam satu desa menurut pendapat yang kuat) adalah dibolehkan secara mutlak, dengan syarat jumlah jamaah di setiap masjid tidak kurang dari empat puluh orang. Jika kurang dari itu, maka mereka bergabung dengan jamaah terdekat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengimami shalat Jumat dengan jumlah yang lebih sedikit. Begitu pula para salaf saleh setelah beliau. Dan pendapat yang mengatakan tidak boleh kecuali jika sulit berkumpul di satu tempat tidak ada dalil yang jelas atau yang mendekati jelas, baik dari nash (teks Al-Qur’an dan hadis) maupun dari qiyas (analogi). Bahkan, tujuan syariat yang ingin dicapai adalah menunjukkan kekuasaan agama Islam pada hari itu dan meninggikan suara di atas mimbar untuk menyeru kepada Allah dan memberi nasihat kepada umat Islam. Semakin banyak mimbar, semakin jelas tanda-tanda kekuasaan Islam dan semakin terangkat kejayaan agama Islam di berbagai tempat sekaligus jika setiap masjid dipenuhi oleh empat puluh orang atau lebih. Inilah yang tampak jelas bagi saya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Referensi.


قرة العين فتاوى إسماعيل عثمان زين ص ٩٠-٩١

حكم تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة
مسألة:
ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة مع تحقق العدد المعتبر في كل منهما مسجد من مساجدها. (١) فهل تصح جمعة الجميع أو فيه تفصيل فيما يظهر لكم ؟

Hukum Banyaknya Shalat Jumat di Satu Kota atau Desa

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang banyaknya shalat Jumat di satu kota atau desa, padahal jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat sudah terpenuhi di masing-masing masjid?

الجواب
“أما مسألة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقًا، بشرط أن لا ينقص عدد كل عن أربعين رجلاً، فإن نقص عن ذلك انضموا إلى أقرب جمعة إليهم إذ لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جمع بأقل من ذلك. وكذلك السلف الصالح من بعده، والقول بعدم الجواز إلا عند تعذر الاجتماع في مكان واحد ليس عليه دليل صريح ولا ما يقرب من الصريح لا نصًا ولا شبهه، بل إن الستر المقصود بالشريعة هو في إظهار الشعار في ذلك اليوم وأن ترفع الأصوات على المنابر بالدعوة إلى الله والنصح للمسلمين. فكلما كانت المنابر أكثر كانت الشعارات أظهر وتبلوّت عزة دين الإسلام في آن واحد في أماكن متعددة إذا كان كل مسجد عامرًا بأربعين فأكثر. هذا هو الظاهر لي. والله ولي التوفيق.
تخصيص المسجد لطائفة معينة)
سؤال:
ما قولكم في بناء مسجدين أو أكثر في قرية واحدة لا لكثرة المجمعين فيها؛ بل لوقوع التشاجر والعداوة بينهم؛ ففريق منهم يمنع آخر عن أن يصلي في مسجده، وكذلك الفريق الآخر يمنعه عن أن يصلي في مسجده؟
الجواب:
والله الموفق للصواب: لا مانع من كثرة المساجد في قرية واحدة. وأما ما ذكر في السؤال من كون كل مسجد منها يختص لطائفة ويمنعون الآخرين من الصلاة فيه فهذا لا يجوز، فينبغي للعلماء المصلحين أن يعالجوا مثل هذه المشاكل بما يرفع الوحشة والبغضاء ويوجب الألفة والمودة بين المسلمين.
(1). كون إقامة الجمعة في المسجد ليس شرطًا لها عند جمهور الفقهاء الحنفية والشافعية والحنابلة خلافا للمالكية حيث يشترطون المسجد الجامع لصحة إقامتها. والله أعلم.

وأما بالنسبة لصلاة الجمعة فمذهب الشافعية أن تعدد صلاة الجمعة في قرية واحدة لا يجوز إلا لحاجة. وقد ذكروا أسباب الحاجة، وأن منها مثل ما ذكر في السؤال من الشحناء القبلية وخوف الفتنة. نسأل الله أن يهدي المسلمين أجمعين وأن يؤلف بين قلوبهم. والله سبحانه وتعالى أعلم.
مقدار المسافة التي يجب منها حضور الجمعة)
سؤال:
كم مقدار المسافة التي يجب على أهل الجمعة أن يصليها في مسجده. وهل يصح لشخص أن يصلي الجمعة في مسجد آخر؟”

“Adapun masalah banyaknya shalat Jumat, maka yang zahir (pendapat yang kuat) adalah dibolehkan secara mutlak, dengan syarat jumlah jamaah di setiap masjid tidak kurang dari empat puluh orang. Jika kurang dari itu, maka mereka bergabung dengan jamaah terdekat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengimami shalat Jumat dengan jumlah yang lebih sedikit. Begitu pula para salaf saleh setelah beliau. Dan pendapat yang mengatakan tidak boleh kecuali jika sulit berkumpul di satu tempat tidak ada dalil yang jelas atau yang mendekati jelas, baik dari nash (teks Al-Qur’an dan hadis) maupun dari qiyas (analogi). Bahkan, tujuan syariat yang ingin dicapai adalah menunjukkan kekuasaan agama Islam pada hari itu dan meninggikan suara di atas mimbar untuk menyeru kepada Allah dan memberi nasihat kepada umat Islam. Semakin banyak mimbar, semakin jelas tanda-tanda kekuasaan Islam dan semakin terangkat kejayaan agama Islam di berbagai tempat sekaligus jika setiap masjid dipenuhi oleh empat puluh orang atau lebih. Inilah yang tampak jelas bagi saya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Memperuntukkan Masjid untuk Golongan Tertentu

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang membangun dua masjid atau lebih di satu desa, bukan karena banyaknya jamaah, tetapi karena adanya perselisihan dan permusuhan di antara mereka, sehingga satu kelompok melarang kelompok lain untuk shalat di masjidnya, dan begitu pula sebaliknya?
Jawaban:
Wallahu a’lam bisshawab (Hanya Allah yang mengetahui kebenaran): Tidak ada larangan untuk banyaknya masjid di satu desa. Adapun apa yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu setiap masjid diperuntukkan bagi kelompok tertentu dan mereka melarang orang lain untuk shalat di sana, maka hal ini tidak dibolehkan. Para ulama yang shalih seharusnya mengatasi masalah seperti ini dengan cara yang dapat menghilangkan permusuhan dan kebencian serta menimbulkan keakraban dan kasih sayang di antara umat Islam.
(1). Mendirikan shalat Jumat di masjid bukanlah syarat bagi sahnya shalat Jumat menurut jumhur ulama Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, berbeda dengan mazhab Maliki yang mensyaratkan masjid jami’ untuk sahnya shalat Jumat. Wallahu a’lam.
Adapun mengenai shalat Jumat, maka mazhab Syafi’i berpendapat bahwa banyaknya shalat Jumat di satu desa tidak dibolehkan kecuali karena suatu kebutuhan. Mereka telah menyebutkan beberapa sebab kebutuhan, di antaranya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu permusuhan antar suku dan kekhawatiran akan fitnah. Kita mohon kepada Allah agar menunjuki seluruh umat Islam dan menyatukan hati mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.

الميزان الكبرى (١/٢٠٩)

(وقال القرافي يحكي ونقل ذكر الكفارة في الأبدال والأوقات بحسب الداجة واختلف العلماء في جواز تعدد الجمعة في البلد الواحد فمن قال جوازها قال إنما تجوز في الضرورة ومساواة الكل – فإن كان هذا القول مقبولاً فالأولى وقوف الناس عند إمام واحد لئلا يكثر الجدل والاختلاف في الأوقات وأما من قال جواز ذلك مطلقاً فإنه لو كان كذلك لكان عندنا في كل ناحية مساجد كثيرة والناس يترددون بينها والأمر عندنا غير مقيد بعلماء بعينهم وجال ذكره ذلك وأنه في حبس واحد.

فتاوى السبكي (١٨٧-١٨٨)

واختلف مع كثير من مشايخنا في هذا المعنى فوجدت في أذهان أكثرهم أن القول بجواز التعدد مع عدم الحاجة رواية عن محمد ولقد فحصت ونقبت الكثير في كتبه فلم أر أحداً صرح بجواز التعدد عند عدم الحاجة بل بعضهم أطلق عن جواز التعدد وبعضهم قيد بالحاجة.

حاشية على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح، (١/٣٢٧)

ومقابل الأصح ما في البدايع أن ظاهر الرواية جوازها في موضعين فلا تجوز في أكثر من ذلك وعليه الاعتمد اه فإن المذهب الجواز مطلقاً الى ان قال – والأصح إطلاق الجواز في مواضع لا إطلاق الدليل اهـ

الإنصاف للشيخ علي بن سليمان بن أحمد المرداوي (٤٠١-٢/٤٠٠)

قال الزرقشي هو المشهور ومختار الأصحاب وأطلقها في الفائق وعنه: لا يجوز إقامتها في أكثر من موضع واحد وأطلقها في المحرر.

Al-Mīzān al-Kubrā (1/209)

“Al-Qarafi meriwayatkan dan menyebutkan tentang kafarat dalam pengganti dan waktu sesuai dengan kondisi yang berlaku. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mendirikan shalat Jumat di lebih dari satu tempat dalam satu kota. Sebagian ulama yang membolehkan mengatakan bahwa hal itu hanya diperbolehkan karena adanya kebutuhan mendesak dan kesetaraan di antara semua pihak. Jika pendapat ini dapat diterima, maka lebih utama jika masyarakat berkumpul di belakang satu imam agar tidak terjadi banyak perdebatan dan perselisihan terkait waktu pelaksanaan. Adapun bagi mereka yang membolehkan hal itu secara mutlak, jika demikian maka di setiap sudut kota akan terdapat banyak masjid dan orang-orang akan berpindah-pindah di antara masjid tersebut. Namun, di sisi kami, masalah ini tidak dibatasi oleh ulama tertentu dan pendapat ini diungkapkan dalam konteks tertentu.”

Fatāwā as-Subkī (187-188)

“Aku berbeda pendapat dengan banyak guru kami dalam masalah ini. Aku mendapati bahwa di benak sebagian besar dari mereka, pendapat tentang bolehnya mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat tanpa adanya kebutuhan adalah riwayat dari Muhammad (bin Hasan as-Syaibani). Aku telah meneliti dan menelaah dengan seksama kitab-kitabnya, namun aku tidak menemukan seorang pun yang dengan jelas membolehkan pendirian shalat Jumat di beberapa tempat tanpa adanya kebutuhan. Sebagian ulama membolehkan secara umum, sedangkan sebagian lainnya membatasinya dengan adanya kebutuhan.”

Hāsyiyah ‘alā Marāqī al-Falāḥ Syarḥ Nūr al-Īdhāḥ (1/327)

“Pendapat yang berseberangan dengan yang paling shahih adalah apa yang terdapat dalam kitab al-Badā’i bahwa riwayat yang tampak adalah kebolehan mendirikan shalat Jumat di dua tempat, dan tidak diperbolehkan di lebih dari itu. Pendapat ini dipegang kuat. Pendapat yang paling shahih adalah kebolehan secara mutlak di beberapa tempat, bukan kebolehan yang bersifat umum tanpa batasan dalil.”

 

Al-Inṣāf oleh Syaikh ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardāwī (2/400-401)

“Az-Zarkasyi berkata, pendapat yang masyhur dan dipilih oleh para ulama madzhab adalah kebolehan mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat. Hal ini disebutkan secara umum dalam kitab al-Fā’iq. Disebutkan pula bahwa tidak boleh mendirikan shalat Jumat di lebih dari satu tempat, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muḥarrar.”

Jawaban N0.2

Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi
kota, desa, atau perkampungan.
Diantara mereka berpendapat

Suatu kota (masr) tidak dianggap sebagai tempat yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat jika tidak memiliki pemimpin yang sah (hakim syar’i), polisi, dan pasar. Sementara itu, sebuah desa (balad) tidak dianggap memenuhi syarat jika tidak memiliki sebagian dari fasilitas tersebut. Sedangkan sebuah perkampungan (qaryah) harus memiliki semua

Yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah kumpulan bangunan tempat tinggal yang padat, baik itu kota, desa, atau perkampungan. Syaratnya adalah harus ada pemimpin yang sah, polisi, dan pasar. Kota adalah tempat yang memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan desa harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

Referensi :

حاشية البجيرمي على المنهج ج ١ ص ٣٥٠

أن المصر ما كان فيها حاكم شرعي وشرطي وسوق والبلد ما خلت عن بعض ذلك والقرية ما خلت عن الجميع 

إعانة الطالبين ج ٢ ص ٥٩

وقوله: بمحل معدود من البلد) المراد بالبلد: أبنية أوطان المجمعين، سواء كانت بلدا أو قرية أو مصرا، وهو ما فيه حاكم شرعي، وحاكم شرطي، وأسواق للمعاملة.والبلد: ما فيه بعض ذلك.والقرية ما خلت عن ذلك كله 

تحفة المحتاج ج ٢ ص ٣٤٢

قال ابن عجيل ولو تعددت مواضع متقاربة وتميز كل باسم فلكل حكمه .ا هـ .وإنما يتجه إن عد كل مع ذلك قرية مستقلة عرفا 

كفاية الأخيار  

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ 

كفاية الأخيار

إِذَا تَقَارَبَ

قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ 

الفتاوى الفقهية الكبرى ج ٢ صـــ ٤٥٧

( وسئل )

أعاد الله علينا من بركاته لو اتصلت قريتان فهل يجوز تعدد الجمعة فيهما ؟ ( فأجاب ) بقوله الذي يظهر أنهم حيث عدوهما كالقرية الواحدة بالنسبة إلى مجاوزة عمرانهما في السفر امتنع تعددها وإلا جاز ويدل لذلك قولهم في توجيه تعدد الجمعة في بغداد أنها كانت قرى ثم اتصلت ولا فرق حيث اتصلتا الاتصال الذي ذكروه بين أن يتميز كل منهما باسم أو لا ولا بين أن يحجز بين بعض جوانبهما نهر أو لا .

مجموع فتاوى العلامة الفقيه المحقق الباحت المدقق الحبيب عبد الله بن عمر بن يحيى / ص ٥٣-٥٦

تعريف حد البلد والقرية وهي كما في الفتح وغيره الأبنية المجتمعة عرفا ولما قال في المنهاج في شروط الجمعة ((الثاني)) ان تقام في خطة ابنية (قال ابن حجر في التحفة) والمراد بالخطة كما هو ظاهر من كلامهم وصرح به جمع متقدمون محل معدود من البلد او القرية بان لم يجز لمريد السفر منها القصر فيه اهـ، ثم قال بعد كلام قال ابن عجيل ولو تعددت مواضع وتميز كل باسم فلكل حكمه اهـ وانما يتجه ان عد كل مع ذلك قرية مستقلة عرفا اهـ

فقوله ان عد الخ اي بحيث ان المسافر اذا خرج من احدهما الى جهة الاخرى يجوز له القصر قبل دخولها فهذا هو بيان العرف والاستقلال وسيأتي ما يؤيده ان شاء الله.


فكل قرية اتصل بناءها في العرف ببناء غيرها بحيث لم يتخلل بينهما شيء فهما بلدة واحدة، والمراد بالعرف الاتصال المعروف بين غالب دور البلد ومتى تخلل بينهما شيء مما ذكر او لم يتخلل لكن لم يتصل دورها الاتصال الغالب في دور البلدان فهما قريتان وهذا شيء يسير ولهذا قال في العباب والقريتان المتصلتان كالقرية لا المنفصلتان ولو يسيرا اهـ فانظر قوله يسيرا.

وقال في التحفة والقريتان ان اتصلتا عرفا فكقرية وان اختلفا اسما والا كفى مجاوزة قرية المسافر، وقول الماوردي ((ان الانفصال بذراع كاف)) في اطلاقه نظر والوجه ما ذكرته من اعتبار العرف ثم رأيت الاذرعي وغيره اعتمدوه اهـ.

فما نظر الشيخ الا في اطلاق الماوردي ان الفصل بذراع كاف من غير تقييد بان يعدهما العرف بالذراع منفصلتين فلو قيده بذلك لم يكن في كلامه نظر عند ابن حجر فتأمله بانصاف. وعلم من قوله وان اختلفا اسما الخ انه لا عبرة باتحاد الاسم ولاختلافه بل المدار على الانفصال والاتصال اتحد الاسم او تعدد.

وقال في النهاية والقريتان المتصلتان عرفا كالواحدة وان ختلف اسمها والا اكتفي بمجاوزة قرية المسافر، وقول الماوردي يكفي في الانفصال ذراع جري على الغالب والمعول عليه العرف اهـ، فالجمال الرملي موافق لابن حجر على اعتبار العرف في الانفصال والاتصال وقد جعل الفصل بالذراع الذي ذكره الماوردي هو الفصل في العرف غالبا وقد لا يكون هو الفصل في العرف في غير الغالب فليزد عليه حتى يحكم العرف بانهما منفصلتان فتدبره لتعلم به انه يحصل في العرف بشيء يسير.

وقال في فتح الجواد ولو انفصلت قريتان ولو يسيرا لم يشترط مجاوزة الاخرى اهـ. فتأمل قوله ولو يسيرا ونحوه في شرح المختصر

Ringkasan Umum
Teks-teks di atas membahas syarat-syarat berdirinya shalat Jumat dalam Islam, khususnya terkait dengan jumlah penduduk yang harus ada di suatu tempat. Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi “tempat” atau “daerah” yang dimaksud, apakah itu sebuah kota, desa, atau perkampungan. Mereka juga membahas kriteria yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya, seperti adanya batas-batas fisik, jumlah penduduk, dan keberadaan fasilitas umum.

Terjemah dan Penjelasan dari beberapa referensi diatas sebagai berikut:

Hasyiah al-Bajuri:

“Suatu kota (masr) tidak dianggap sebagai tempat yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat jika tidak memiliki pemimpin yang sah (hakim syar’i), polisi, dan pasar. Sementara itu, sebuah desa (balad) tidak dianggap memenuhi syarat jika tidak memiliki sebagian dari fasilitas tersebut. Sedangkan sebuah perkampungan (qaryah) harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

  • Penjelasan: Teks ini memberikan syarat-syarat minimal untuk sebuah tempat agar bisa dijadikan tempat shalat Jumat.

I’anat al-Talibin:
“Yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah kumpulan bangunan tempat tinggal yang padat, baik itu kota, desa, atau perkampungan. Syaratnya adalah harus ada pemimpin yang sah, polisi, dan pasar. Kota adalah tempat yang memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan desa harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

  • Penjelasan: Teks ini memperkuat pendapat sebelumnya dan memberikan definisi yang lebih rinci tentang “kota”.
    Tahfah al-Muhtāj
    “Jika ada beberapa tempat yang berdekatan dan masing-masing memiliki nama yang berbeda, maka setiap tempat memiliki hukumnya sendiri. Namun, jika setiap tempat dianggap sebagai satu desa secara umum, maka hukumnya menjadi berbeda.”
  • Penjelasan: Teks ini membahas kasus di mana ada beberapa tempat yang berdekatan.

Kafiyat al-Akhyaar:

Teks ini membahas syarat-syarat bagi seseorang untuk dianggap sebagai bagian dari jumlah 40 orang yang diperlukan untuk menyelenggarakan shalat Jumat.

  • Penjelasan: Bagian ini tidak secara langsung membahas definisi tempat, tetapi lebih kepada syarat-syarat bagi individu yang ikut dalam shalat Jumat.
    Kafiyat al-Akhyaar (lanjutan)
    “Jika ada dua desa yang berdekatan dan masing-masing memiliki kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat, meskipun jika digabungkan jumlahnya mencapai 40 orang, shalat Jumat tidak bisa dilaksanakan. Hal ini karena 40 orang tersebut tidak berada di tempat yang sama.”
  • Penjelasan: Teks ini membahas kasus di mana ada dua desa yang berdekatan tetapi jumlah penduduknya tidak mencukupi untuk shalat Jumat.

Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:

Teks ini membahas kasus di mana dua desa bergabung menjadi satu.

  • Penjelasan: Bagian ini membahas apakah shalat Jumat bisa dilaksanakan di dua tempat yang sebelumnya terpisah tetapi kemudian bergabung.

Kesimpulan:

  1. Hukum Pembangunan Masjid Baru di Desa atau Kota: Membangun masjid baru di satu kota atau desa diperbolehkan, dengan syarat bahwa jumlah jamaah di setiap masjid mencapai minimal 40 orang. Jika jumlah jamaah kurang dari itu, jamaah tersebut dianjurkan untuk bergabung dengan masjid terdekat. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan shalat Jumat dapat berlangsung sesuai dengan tuntunan syariat.
  2. Kota dan Desa dalam Konteks Syariah: Kota (masr) atau desa (balad) didefinisikan berdasarkan keberadaan pemimpin yang sah, pasar, dan fasilitas lainnya. Sebuah kota dianggap memenuhi syarat jika memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan sebuah desa harus memiliki semua fasilitas ini. Jika dua tempat berdekatan memiliki syarat dan jumlah jamaah yang mencukupi, maka masing-masing dapat melaksanakan shalat Jumat secara mandiri.
  3. Perbedaan Masjid Berdasarkan Golongan: Membangun masjid untuk golongan tertentu yang melarang orang lain shalat di dalamnya tidak dibolehkan. Para ulama dianjurkan untuk menyelesaikan permasalahan yang memecah belah umat Islam agar tercipta persatuan dan kasih sayang.

Secara keseluruhan, pembangunan masjid baru diizinkan selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan, dan pembangunan masjid tidak boleh dilakukan semata-mata untuk kepentingan golongan tertentu yang dapat memecah belah umat.Wallahu A’lam bish-shawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *