PERTANYAAN :
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Diskripsi maslah:
Khutbah jum’at adalah merupakan bagian dari salah satu rukun shalat ju’mat, terkadang ketika kami bepergian sering kali kami shalat di kota dan khatbah diterjemah ada yang diterjemah dengan basaha Indonesia dan ada dengan basa madura.
Pertanyaannya:
1- Bagaiman hukumnya khutbah diterjemah?
2-Apakah Syaratnya khutbah harus difahami sehingga perlu diterjemah?
Mohon tanggapan/ jawabannya. Terimakasih.
JAWABAN :
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Jawaban No.1 :
Dalam madzhab Syafi’i tidak ada khilaf (perbedaan) dalam menterjemahkan khutbah jum’at hukumnya boleh selain rukun khutbah dengan catatan/ asalkan tidak panjang. Karena jika panjang ada salah satu pendapat dapat memutuskan muwalah. Sedangkan pendapat lain memperbolehkan.
Referensi :
البجيرمى الخطيب الجزء الأول ص٣٨٩
{قوله والمراد أركانهما} يفيد أنه لوكان مابين أركانهما بغير العربية لم يضر قال م ر محله مالم يطل الفصل بغير العربية وإلا ضر لإخلاله بالموالاة كالسكوت بين الأركان إذا طال بجامع أن غير العربية لغو لايحسب لأن العربيّ لايجزئ مع القدرة على العربي فهو لغو سم، والقياس عدم الضرر مطلقا ويفرق بينه وبين السكوت بأن فى السكوت إعراضا عن الخطبة بالكلية بخلاف غير العربيّ فإن فيه وعظا فى الجملة فلايخرج بذلك عن كونه من الخطبة ع ش.
(“Ungkapan Syaih Zakariyya al-Anshari.” Dan dimaksud adalah rukun-rukun dua khutbah jum’at.”) memberi pengertian, bila khutbah yang disampaikan selain rukun-rukun dua khutbah jum’at itu dengan selain bahasa Arab maka tidak apa-apa.
Al-Ramli berkata : Penerapan hukum tersebut bila pemisah antara rukun-rukun khutbah dengan selain bahasa Arab tersebut tidak panjang. Apabila panjang maka mempengaruhi keabsahan khutbah, karena merusak muwalah (kesinambungan antara rukun-rukunnya.) Seperti hal nya diam diantara rukun ketika diam itu panjang, yakni dengan titik temu bahwa selain bahasa Arab itu sia-sia yang tidak dianggap. Sebab bahasa selain bahasa Arab itu tidak mencukupi untuk khutbah ketika mampu berbahasa Arab. Maka bahasa selain bahasa Arab lghw (sia-sia). Demikian kata Ibnu Qasim al-Ubbadi. Namun yang sesuai Qiyas adalah tidak apa-apa secara muthlak. Maka antara selain bahasa Arab dan diam dibedakan yakni bahwa diam itu berpaling dari khutbah secara tolal, sedangkan selain bahasa Arab itu dalam sebagian kesempatan mengandung mauidhah (Nashehat). Maka denggan hal itu, selain bahasa Arab tidak keluar dari khutbah Begitu hemat Ali Syibramallisi”.
BERIKUT KAMI CANTUMKAN PENDAPAT RKH. ABDUL MAJID BATA-BATA TENTANG KHUTBAH JUM’AT TIDAK MEMAKAI BAHASA SELAIN BAHASA ARAB :
الحمد لله، وأما الفقير “عبد المجيد” فلم يترجم خطبة الجمعة ولم يفسرها بالعجمية، لأنه في شدة الرجاء بأن يحشر مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومع ورثته من العلماء الراسخين الصالحين، خصوصا قطب أهل مدوري “شيخ والدي المرحوم الحاج اسماعيل” قاضي القضاة في فمكاسن، وخصوصا قطب أهل جاوي ومدوري “شيخنا وشيخ مشايخنا المرحوم كياهي محمد خليل” بغكالن رحمة الله عليهم، وذلك لحديث البخاري “يحشر الناس مع من أحب”. ومن علامات محبتهم الأقتداء بهم، وهم في الخطبة لم يترجموها ولم يفسروها بالعجمية، لكن يصححون ترجمة سوى الأركان. والتفسير بالعجمية عند الولاء مع الكراهة، لأن من سنن الخطبة كما في كتبهم أن تكون بليغة أي غير مبتذلة ولاركيكة. والعجمية مبتذلة، فالفقير كذلك لم يترجم ولم يفسر بالعجمية الا لضرورة بل يصح ترجمة سوى الأركان. والتفسير بالعجمية مع الكراهة كما أنهم يصححون الصلاة مع كشف الرأس أو مع كشف البدن غير العورة ولكن لم يفعلوها، فالفقير كذلك.
“Segala puji bagi Allah, Adapun “Al-Faqir Abdul-Majid” tidak menterjemah khutbah jum’at dan tidak menafsirkannya ke dalam bahasa daerah (‘Ajami), dikarenakan harapan yang kuat agar supaya dikumpulkan bersama Rasulullah saw, beserta para pewarisnya dari golongan para ulama yang mendalam ilmunya yang saleh. khususnya Penghulu ahli madura, guru ayah saya Almarhum Haji Ismail hakim agung di daerah pamekasan, dan secara khususnya penghulu penduduk jawa dan madura, guru kami, guru para guru kami yaitu Almarhum Kiai Muhammad Kholil Bangkalan” Rahmatullah alaihim. Hal itu dikarenakan ada hadis yang diriwatkan oleh Imam Al-Bukhari: “Manusia akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai”. Dan diantara tanda-tanda mencintai mereka adalah mengikutinya. Mereka tidak menterjemahkan khutbah dan tidak menafsirkannya dengan bahasa daerah (‘Ajami). Namun mereka tetap membenarkan terjemah selain rukun-rukun khutbah dan menafsirkannya dengan bahasa ‘Ajami ketika dilakukan terus menerus tapi makruh. karena diantara sunnah-sunnahnya khutbah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab mereka, hendaknya menggunakan bahasa yang fasih, artinya tidak klise dan tidak dangkal maknanya, sedangkan bahasa ‘Ajami itu dangkal maknanya. Oleh karenanya al-Faqir seperti itu adanya tidak menterjemahkan dan tidak menafsirkan dengan bahasa ‘Ajami, kecuali karena darurat (terpaksa), bahkan sah menterjermahkan khutbah selain rukun-rukunya (khutbah) dan menafsirkannya dengan bahasa ‘Ajami, namun makruh, sebagaimana mereka menghukumi sah shalat dengan tanpa kopiyah dan tanpa pakaian, kecuali hanya menutup aurat, sekalipun demikian mereka tidak pernah melakukannya. Maka al-Faqir (Abdul Majid) seperti itu juga adanya.
والله أعلم بالصواب
Jawaban No.2 :
Adanya Khutbah tidak harus difahami/ dimengerti. Sebagimana yang telah kita ketahui bersama, adanya anggota jamaah shalat jum’at terkadang atau bahkan kebanyakan tidak mengerti maksud yang disampaikan oleh khatib. Apakah khatbah tersebut masih sah? maka selama masih mendengarkan khutbah meskipun tidak mengerti maksudnya tetap dihukumi sah.
Referensi :
مرقاة صعود التصديق في شرخ سلم التوفيق ص ٣٥
ولو سمعوا الخطبة ولم يفهموا معناها صحت
“Apabila para jamaah shalat jum’ah mendengarkan khutbah, namun tidak mengerti maksudnya maka khotbahnya sah”.
والله أعلم بالصواب