Kategori
Uncategorized

STATUS KEMAHRAMAN SAUDARA/I MERTUA

Status Mahram Saudara/i Mertua dalam Islam

Deskripsi Masalah:
Dalam praktik masyarakat, proses mencari pasangan seringkali diawali dengan khithbah (bertunangan) dengan seseorang yang bukan mahram. Muncul pertanyaan mengenai status kemahraman saudara/i dari mertua (paman/bibi dari pihak ibu atau bapak) setelah pernikahan terjadi, terutama terkait kemahraman menantu dan dan sebaliknya juga keadaan wudhu’ ketika bersentuhan.

Pertanyaan.

Apakah termasuk mahram saudara/i dari mertua ? Kalau termasuk termasuk mahram lalu termasuk mahram apa?

Jawaban:

Saudara/i dari mertua (paman/bibi dari pihak ibu atau bapak) tidak termasuk mahram selamanya (mahram ta’biid atau Muabbaad ) bagi menantu laki-laki atau perempuan. Mereka termasuk dalam kategori mahram ghairu ta’biid, yaitu mahram yang keharamannya bersifat sementara( permanen) karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka (dalam satu pernikahan).

Penjelasan Mahram Ghairu Ta’biid:

Mahram ghairu ta’biid adalah orang-orang yang haram dinikahi selama ikatan pernikahan dengan pasangan (anak dari saudara/i mertua) masih berlangsung. Larangan pernikahan ini akan hilang jika ikatan pernikahan tersebut berakhir (karena perceraian atau kematian salah satu pihak).sebagaimana Usman bin Affan menikahi Ruqoiyyah binti Rasulillah setelah Ummi kulsum binti Rasulullah meninggal dunia.

Contoh Tambahan Mahram Ghairu Ta’biid:
Selain saudara/i mertua, contoh lain dari mahram ghairu ta’biid adalah:

a). Saudari istri (ipar perempuan) bagi suami.

b).Saudara suami (ipar laki-laki) bagi istri.

c). Istri dari paman dari pihak ayah atau ibu (bibi tiri).

d.Suami dari bibi dari pihak ayah atau ibu (paman tiri) dan seterusnya.

Alasan Mengapa Saudara/i Mertua Termasuk Mahram Ghairu Ta’biid:

Keharaman menikahi saudara/i mertua didasarkan pada prinsip larangan mengumpulkan dua wanita bersaudara atau wanita dengan bibinya dalam satu pernikahan. Hal ini sesuai dengan hadis dan penjelasan para ulama.
Tujuan dari larangan ini adalah untuk mencegah potensi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan keluarga.

Contoh: Seorang laki-laki tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya (adik ipar) atau bibi dari pihak istri (saudari ibu atau bapak istri) selama ia masih terikat pernikahan dengan istrinya. Namun, jika istrinya meninggal dunia atau diceraikan dan telah menyelesaikan masa iddah, maka laki-laki tersebut diperbolehkan menikahi saudara perempuan atau bibi dari mantan istrinya.

Implikasi Terhadap Wudhu’:
Karena saudara/i mertua bukan termasuk mahram muabbad atau ta’biid ( selamanya) melainkan mahram Ghairu ta’bid permanen, maka bersentuhan kulit secara langsung (tanpa penghalang) antara menantu laki-laki/perempuan dengan saudara/i mertua yang bukan mahram muabbad lain jenis dapat membatalkan wudhu’ menurut pandangan mayoritas ulama. Ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ( muabbad/ta’bid) dan tidak ada penghalang yang tebal dapat membatalkan wudhu’.

Kesimpulan:
Saudara/i dari mertua termasuk dalam kategori bukan mahram selamanya ( على التأبيد ) akan tetapi mahram ghairu ta’biid. Karena keharaman mengumpulkan dua perempuan. Oleh karenanya Status kemahraman ini bersifat sementara selama ikatan pernikahan dengan anak mereka ( mertua) masih berlangsung. Maka, dalam kondisi normal (tidak ada ikatan pernikahan dengan anak mereka), mereka adalah bukan mahram , dan bersentuhan kulit dengan mereka yang bukan mahram (lain jenis) dapat membatalkan wudhu’. Adapun larangan mengumpulkan (menggabungkan ) antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya.” Berdasarkan Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berikut:

Referensi:

فقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي ج٤ص-٢٩

ودليل ذلك: ما رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة – رضي الله عنه -، أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: ” لا يُجمعُ بين المرأة وعَمَّتها، ولا بين المرأة وخالتها “.
(البخاري: النكاح، باب: لا تنكح المرأة على عمّتها، رقم: ٤٨٢٠. مسلم: النكاح، باب: تحريم الجمع بين المرأة وعمّتها … ، رقم: ١٤٠٨.
الحكمة من هذا التحريم:
والحكمة من تحريم الجمع بين مَن ذكرنَ ما في هذا الجمع من إيقاع الضغائن بين الأرحام، بسبب ما يحدث بين الضرائر من الغيرة.
روى ابن حبان: (أن النبي – صلى الله عليه وسلم – نهى أن تُزوّج المرأة على العمّة والخالة، وقال: إنّكنّ إذا فعلتنّ ذلك قطعتنّ أرحامكم).
وأخرج أبو داود في المراسيل عن عيسى بن طلحة قال: (نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن تنكح المرأة على قرابتها مخافة القطيعة). [نيل الأوطار: ٦/ ١٥٧]. فإذا ماتت واحدة منهنّ أو طٌلِّقت، وانقضت عدّتها حلّت الأخرى.

Fiqih Manhaji Ala Mazhab Imam Syafi’i Jilid 4 Halaman 29
Dalil untuk itu:
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya.”
(HR. Bukhari: Kitab Nikah, Bab: Tidak boleh menikahi wanita bersama bibinya, nomor: 4820. Muslim: Kitab Nikah, Bab: Haramnya menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya…, nomor: 1408.)
Hikmah dari pengharaman ini:
Hikmah dari pengharaman menggabungkan antara wanita-wanita yang disebutkan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan di antara kerabat, disebabkan oleh kecemburuan yang terjadi di antara para madu.
Ibnu Hibban meriwayatkan: (Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi seorang wanita bersama bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya jika kalian melakukan hal itu, kalian akan memutuskan tali silaturahim kalian.”)
Abu Daud meriwayatkan dalam Al-Marasil dari Isa bin Thalhah, ia berkata: (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi seorang wanita bersama kerabatnya karena khawatir terjadinya pemutusan hubungan kekerabatan.) [Nailul Authar: 6/157]. Maka, jika salah satu dari mereka meninggal atau diceraikan, dan masa iddahnya telah selesai, maka halal bagi yang lain (untuk dinikahi).

الحاوي الكبير، ج: ١٨، ص: ٧٢.
والجواب الثاني: أنه تعليل يوجب اعتبار العتق بالنكاح وهما مفترقان، لأن النكاح أعم تحريماً من العتق، لأنه يتجاوز تحريم النسب إلى تحريم السبب من رضاع ومصاهرة، والعتق يقصر عنه في النسب، فيقتصر عنه في السبب. ولئن كان إبراهيم النخعي قد اعتبر كل محرمة بنسب وسبب، فإن أبا حنيفة لا يعتبر المحرمة بالسبب من رضاع أو مصاهرة. وإنما يعتبرهما بالنسب من أبوة أو بنوة، فكان التعليل بها أولى من التعليل بالتحريم.

Al-Hawi al-Kabir, Juz 18, Halaman 72.
Jawaban kedua: Sesungguhnya itu adalah alasan yang mengharuskan pertimbangan pembebasan budak dengan pernikahan, padahal keduanya terpisah. Karena pernikahan lebih umum keharamannya daripada pembebasan budak, sebab pernikahan melampaui keharaman nasab (keturunan) hingga keharaman sebab (perkawinan) dari persusuan dan hubungan perkawinan. Sedangkan pembebasan budak terbatas pada nasab, sehingga terbatas pula pada sebab. Seandainya Ibrahim an-Nakha’i menganggap setiap wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, maka Abu Hanifah tidak menganggap wanita yang haram dinikahi karena sebab dari persusuan atau hubungan perkawinan. Beliau hanya menganggapnya haram karena nasab dari jalur ayah atau anak. Oleh karena itu, alasan dengan nasab lebih utama daripada alasan dengan keharaman secara umum.

فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب (ص: ١١٦):
فصل: (والمحرمات) أي المحرم نكاحهن (بالنسب أربع عشرة) وفي بعض النسخ أربعة عشر (سبع بالنسب وهن الأم وإن علت والبنت وإن سفلت) وأما المخلوقة كانت من ماء زنى شخص، فتحل له على الأصح وإن مع الكراهة وسواء كانت المزني بها مطاوعة أو لا، وأما المرأة فلا يحل لها ولدها من الزنى (والأخت) شقيقة كانت أو لأب أو لأم (والخالة) حقيقة أو بواسطة خالة الأب أو الأم (والعمة) حقيقة أو بواسطة عمة الأب (وبنت الأخ) وبنات أولاده من ذكر وأنثى (وبنت الأخت) وبنات أولادها من ذكر وأنثى، وعطف المصنف على قوله سابقاً سبع قوله هنا (واثنتان) أي المحرمات بالرضاع اثنتان (الأم من الرضاع) والأخت من الرضاع) وإنما اقتصر المصنف على الاثنتين للنص عليهما في الآية، وإلا فالمحرمة بالنسب تحرم بالرضاع أيضاً كما سيأتي التصريح به في كلام المتن (و) المحرمات بالرضاع (أربع بالمصاهرة) وهن (أم الزوجة) وإن علت أمهاتها سواء من نسب أو رضاع سواء وقع الدخول بالزوجة أم لا (والربيبة) أي بنت الزوجة (إذا دخل بالأم وزوجة الأب) وإن علا (وزوجة الابن) وإن سفل (والمحرمات السابقة حرمتها على التأبيد (وواحدة) حرمتها لا على التأبيد بل (من جهة الجمع) فقط (وهي أخت الزوجة) فلا يجمع بينها وبين أختها من أب أو أم بينهما بنسب أو رضاع ولو رضيت أختهما بالجمع

Fathul Qarib al-Mujib dalam Syarah Lafadz-lafadz at-Taqrib (Halaman 116):
Fasal: (Wanita-wanita yang haram dinikahi) yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi (karena nasab ada empat belas) dan dalam sebagian naskah empat belas (tujuh karena nasab, yaitu ibu dan terus ke atas, serta anak perempuan dan terus ke bawah). Adapun wanita yang tercipta dari air zina seseorang, maka halal baginya menurut pendapat yang lebih sahih meskipun dengan makruh, baik wanita yang berzina itu rela maupun tidak. Adapun wanita, maka tidak halal baginya anak hasil zina (saudara perempuan) baik sekandung, sebapak, atau seibu (bibi dari pihak ibu) baik bibi kandung atau bibi dari jalur kakek atau nenek dari pihak ibu (bibi dari pihak ayah) baik bibi kandung atau bibi dari jalur kakek dari pihak ayah (anak perempuan saudara laki-laki) dan anak perempuan dari keturunan mereka baik laki-laki maupun perempuan (anak perempuan saudara perempuan) dan anak perempuan dari keturunan mereka baik laki-laki maupun perempuan. Mushannif mengathafkan (menghubungkan) pada perkataannya yang sebelumnya yaitu tujuh, dengan perkataannya di sini (dan dua) yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi karena persusuan ada dua (ibu dari persusuan) dan (saudara perempuan dari persusuan). Mushannif hanya membatasi pada dua karena adanya nash (dalil) tentang keduanya dalam ayat. Jika tidak, maka wanita yang haram karena nasab juga haram karena persusuan sebagaimana akan datang penjelasannya dalam matan (dan) wanita-wanita yang haram dinikahi karena persusuan (ada empat karena hubungan perkawinan) yaitu (ibu mertua) meskipun ibu dari ibu (istri) dan terus ke atas, baik karena nasab maupun persusuan, baik telah terjadi hubungan suami istri dengan anak perempuannya atau belum (anak tiri perempuan) yaitu anak perempuan istri (jika telah berhubungan badan dengan ibunya, dan istri ayah) meskipun terus ke atas (dan istri anak laki-laki) meskipun terus ke bawah (dan wanita-wanita yang haram dinikahi sebelumnya, keharamannya adalah abadi (dan satu) yang keharamannya tidak abadi tetapi (karena alasan penggabungan) saja (yaitu saudara perempuan istri) maka tidak boleh menggabungkan antara dia dan saudara perempuannya baik sebapak atau seibu, baik ada hubungan nasab maupun persusuan di antara keduanya, meskipun saudara perempuan istrinya rela untuk digabungkan.

الباجوري ج ١ ص ٦٩-٧٠

(وقوله و الرابع) أي من نواقض الوضوء (قواه لمس الرجل المرأة) هكذا في بعض النسخ بالإضافة من إضافة المصادر للمفاعيل أو لأنه أفادوا لمس المفعول به أو لأنه على عكس السابق بعض المسائل الرابطة الرجل من كلام اللمس لكن لزيادة الشارح وهو يجري فيه ما ذكر من إضافة المصادر للمفاعيل أو مفعول به وزيادة الرجل على بعض النسخ وتقديره لمس المرأة الرجل التقى الأفقي وهو معيب عندهم هناك قول بجوازه نظره لكون الشرح وافق المتن الواحد لكن غالب النسخ فيها فقط الرجل من اللمس وينتقض وضوء كل منهما مع قصد أو وجود شهوة أو كونه الرجل هو المباشر أو كونهما أجنبيين ولو كان على غير صورة الآدمي حيث تحققت المخالفة الكبرى ولو تمكن حتى لو كان شراً والنقض الحسن وهو أن يكون بين مختلفين كورة و أن لا يخرج بذلك الرجل والمرأة من الخنثى والمشتبه والخشي والمرأة من الصبي وغير المشتهي فيخرج الشريح والنظر فلا ينقض حتى منها الخلاف النظر إذا كشفها له ينقض ثالثها أن يكون كل منهما بالغاً مشتهوة عرفاً عند أهل الطباع السليمة فغير بالغ لم أحدها لم الشهوة فلا ينقض رابعها عدم الحرمية ولو كان هناك محرمية ولو احتمالا فلا ينقض خامساً أن لا يكون بحائل دقيق كأن كان عاقلاً ولو رقيقاً فلا ينقض بل يعبر غالباً من كلام المتن والشرح ولو تصور صورة الرجل صورة امرأة أو عكس فلا ينقض في الأول لأنه لم يتحقق اللمس بأن لم يتبين له وإنما انغمضت صورة البعض والملومس الرجل لما استركته عن قصده فإنه حينئذ تبدل حكمه بأن فقدانه تبدل صفته تغير بلموس غير أصفائه وكذا يحتمل الحرم بلمس النفس ولم يوسع المصنف سبر الذرع الصف الآخر فترجحه بتغير الصف الثاني وفي الصف المنسوخ حجر ما يفسد يحتمل أن يجعل اللمس المجرد كالمظنة ولا ينقض المدنو لبيان ولو وجد جزءاً من أركان كان تحت ثيابي عليه اسم المرأة فلا ينقض واللائق (قواه الأجنبية) أي يقينا فسر الشارح بقوله غير المحرم فخرج المحرم فلا ينقض بسهولة لو لاشئ من الحرمة فلا ينقض لأن الطهر لا يرفع بالشك

Perkataannya, dan yang keempat, yaitu dari hal-hal yang membatalkan wudhu’, (kekuatannya adalah menyentuh laki-laki kepada perempuan). Demikianlah dalam sebagian naskah dengan penambahan dari penambahan mashdar (kata dasar yang berfungsi sebagai objek) kepada maf’ul (objek), atau karena mereka (para ulama) memahami menyentuh objek (perempuan), atau karena berbeda dengan masalah-masalah sebelumnya yang mengaitkan laki-laki dari sisi menyentuh. Akan tetapi, untuk tambahan dari syarih (penjelas kitab) dan apa yang ia jalankan di dalamnya berupa apa yang disebutkan dari penambahan mashdar kepada mafa’il atau maf’ul bih, dan penambahan kata “laki-laki” pada sebagian naskah, dan perkiraannya adalah “menyentuh perempuan kepada laki-laki yang bertemu kulitnya secara langsung”, dan ini dianggap cacat menurut mereka. Di sana ada pendapat yang membolehkannya, dengan alasan bahwa penjelasan sesuai dengan matan (teks utama) yang satu. Akan tetapi, mayoritas naskah hanya menyebutkan “laki-laki dari menyentuh”, dan wudhu’ keduanya batal dengan adanya maksud (kesengajaan) atau adanya syahwat (keinginan), atau karena laki-laki yang langsung menyentuh, atau karena keduanya adalah orang asing (bukan mahram), meskipun dalam bentuk yang bukan bentuk manusia jika terwujud perbedaan yang besar (antara laki-laki dan perempuan). Bahkan jika memungkinkan meskipun dengan paksaan, dan pembatalan yang baik adalah jika terjadi antara dua jenis yang berbeda (laki-laki dan perempuan dewasa), dan tidak keluar dari pengertian itu laki-laki dan perempuan yang khuntsa musykil (berkelamin ganda yang tidak jelas), khasi (laki-laki yang dikebiri), dan perempuan dari anak kecil dan yang tidak memiliki syahwat, maka dikecualikan syarih dan nadzar (melihat), maka tidak batal wudhu’ darinya hingga ada perbedaan pendapat tentang melihat jika ia membukanya untuknya, maka batal. Yang ketiga, hendaknya keduanya baligh (dewasa) dan memiliki syahwat menurut kebiasaan ahli tabiat yang sehat, maka yang tidak baligh atau salah satunya tidak memiliki syahwat maka tidak batal. Yang keempat, tidak adanya hubungan mahram. Jika ada hubungan mahram, meskipun hanya dugaan, maka tidak batal. Yang kelima, tidak adanya penghalang yang tipis, seolah-olah berakal dan tipis, maka tidak batal. Bahkan biasanya disebutkan dari perkataan matan dan syarih, meskipun terbayang bentuk laki-laki seperti perempuan atau sebaliknya, maka tidak batal pada yang pertama karena tidak terwujud sentuhan karena tidak jelas baginya, melainkan tersembunyi bentuk sebagian, dan yang disentuh adalah laki-laki karena ia menariknya dari maksudnya, maka saat itu berubah hukumnya karena ketiadaannya mengubah sifatnya, berubah dengan sentuhan yang bukan sifatnya. Demikian pula kemungkinan haram dengan menyentuh diri sendiri, dan mushannif (penulis kitab) tidak memperluas penelitian tentang pendapat lain, maka ia mengunggulkannya dengan perubahan pendapat kedua, dan pada pendapat yang dinasakh (dihapus hukumnya) ada hal yang merusak, kemungkinan menjadikan sentuhan semata seperti dugaan, dan tidak batal karena adanya penjelasan, meskipun ditemukan sebagian dari rukun (wudhu’) yang ada di bawah pakaiannya ada nama perempuan, maka tidak batal. Dan yang layak adalah (kekuatannya adalah orang asing), yaitu qiya’uhu (budak perempuannya). Syarih menafsirkannya dengan perkataannya “bukan mahram”, maka dikecualikan mahram, maka tidak batal dengan mudah jika tidak ada sesuatu pun dari keharaman, maka tidak batal karena kesucian tidak diangkat dengan keraguan.

وذَلِكَ كَما اختلط محرمه بِأَجْنَبِيَّاتٍ غَيْرٍ محصورة وَتزَوج وَاحد منهُنَّ فَلَا نقض أيضا على الْمُتَعَمد خلافا لإبن ِعَبْدِ الْحق كَالخطبِيبِ كَذَا لزَوْجُتهُ إِذَا اسْتَلْحَقَهَا ولم يصدقه فإن النسبَ يسبت لَا يَنْفَسِخُ نِكَاحُهُ وَلَا يَنتقض وُضُوهُ عَلَى الْمعتمدِ وَلامانع مِن تبعيضِ الْأَحْكَامِ قَالَ بَعْضُهُمْ وَلَيْسَ لنا من ينكح أخته فى الإسلام إلا هَذَا (قَوْلُهُ وَلَوْ ميتة ) وَكَذَاكَ عكسه فلو قال وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا ميتا لكَانَ أَعم وَوقع للنووى فى رؤوس المسائل أنه رجع عدم النقض بلمس الميت والميتة وعد من السهو ولا يَنْتَقِضُ وُضُوءُ الْمَيِّتِ (قَوْلُهُ وَالْمُرَادُ بِالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ذكر وَأُنْثَى إِلَخْ) أَيْ وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِمَا الذَّكَرَ الْبَالِغَ وَالْأُنْثَى الْبَالِغَةَ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ حَقِيقَتَهُمَا وَالْخُرْجُ الصَّبِيُّ وَالصَّبِيَّةُ وَإِنْ بَلَغَا حَدّ الشَّهْوَةِ (قَوْلُهُ بلغا حد الشَّهْوَةِ) أَيْ يَقِينا فَلَوْ شَكَّ فَلَا نْقض وَضَابِطُ الشَّهْوَةِ انْتِشَارُ آلَةِ إنتشار الرَّجُلِ وَمَيْلُ الْقَلْبِ فى المرأة وقوله عرفا أى عند أرباب الطباع السليمة كالإمام الشافعي والسيدة نفسية ولاتنقض صغيرة ويصغير لم يبلغ كل منهما حد الشهوة بخلاف مالم بلغا ها وإن انتفت بعد ذلك لنحو هرم لأنه مامن ساقط الا ولها لاقطة

Dan demikian itu seperti bercampurnya mahramnya dengan perempuan-perempuan ajnabi (bukan mahram) yang tidak terhitung, lalu menikahi salah satu dari mereka, maka tidak batal pula (wudhunya) bagi orang yang sengaja, berbeda dengan pendapat Ibnu Abdil Haq seperti orang yang berkhotbah. Demikian pula istrinya jika ayahnya mengakui (sebagai anaknya) dan suaminya tidak membenarkannya, maka nasab itu tetap dan pernikahannya tidak fasakh, dan tidak mengkhususkan wudhunya atas kesengajaan dan amanah dari sebagian hukum. Sebagian ulama berkata, “Dan tidaklah bagi orang yang dinikahi untuk tinggal kecuali bersamanya.” Ini adalah (perkataannya), “Meskipun mayat.” Dan demikian pula kebalikannya, seandainya dikatakan, “Meskipun salah satunya mayat,” maka itu lebih umum. Dan telah terjadi pada Imam Nawawi dalam Rau’us al-Masa’il bahwa beliau kembali dari pendapat tidak batalnya wudhu’ dengan menyentuh mayat laki-laki dan perempuan, dan itu dianggap dari kelupaan. Dan tidak batal wudhunya mayat. (Perkataannya, “Dan yang dimaksud dengan laki-laki dan perempuan adalah dzakar dan unsta, dst.”) Yaitu, dan yang dimaksud dengan keduanya bukanlah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa, meskipun itu hakikat keduanya. Dan yang dikecualikan adalah anak laki-laki dan anak perempuan, meskipun keduanya telah mencapai batas syahwat. (Perkataannya, “Mencapai batas syahwat”) Yaitu, dengan yakin. Maka jika ragu, maka tidak batal. Dan tolok ukur syahwat adalah ereksi alat kelamin laki-laki dan condongnya hati pada perempuan. Dan perkataannya, “Menurut kebiasaan,” yaitu menurut pemilik tabiat yang sehat, seperti Imam Syafi’i dan wanita yang suci hatinya. Maka tidak batal (wudhunya) anak laki-laki kecil dan anak perempuan kecil yang keduanya belum mencapai batas syahwat, berbeda dengan keduanya yang telah mencapai batas syahwat meskipun setelah itu hilang (syahwatnya) karena usia tua, karena tidak ada sesuatu yang jatuh kecuali ada yang memungutnya.

(وقوله والمراد بالمحرم ) أى الذي هو مفهوم من نكاحها ونكاح أمهاتها الأجنبية السابقة أي الذي هو مفهوم الأجنبية (قوله من حرم نكاحها) خرج بذلك من لا يحرم نكاحها وهي الأجنبية السابقة وقوله لأجل نسب أو قرابة كما فى الأم والبنت والأخت وقوله أو رضاع كالأم من الرضاع وقوله أو مصاهرة أى ارتباط يشبه القرابة كما في أم الزوجة وبنتها وزوجة الأب وزوجة الابن وخرج بذلك أخت الزوجة وعمتها وخالتهم أم الموطوءة بشبهة بنتها وزوجاته صلى الله عليه وسلم فإن كلامنهن ليس محرما لأن تحريم ليس بنكاحهن لأجل نسب ولارضاع ولامصاهرة ولاجل التوضيح عدل عن قولهم في تعريف المحرم من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها فخرج بقولهم على التأبيد أخت الزوجة بنتها وعمتها وخالتها فإن تحريمهن ليس على التأبيد بل من جهة الجمع وبقولهم بسبب مباح بنت المطوأة بشبهة أمها لأن تحريمهما ليس بسبب مباح إذ وطئ الشبهة لايتصف بإباحة ولاغيرها وبقولهم لحرمتها زوجاته صلى الله عليه وسلم فإن تحريمهن لحرمته صلى الله عليه وسلم

(Ucapan penulis: “Yang dimaksud dengan mahram”) yaitu orang yang dipahami sebagai mahram dari pernikahan wanita tersebut dan pernikahan ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya, maksudnya adalah orang yang dipahami sebagai bukan mahram (ucapan penulis: “orang yang haram dinikahi”) mengecualikan orang yang tidak haram dinikahi, yaitu ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya (ucapan penulis: “karena nasab atau kekerabatan”) seperti ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan (ucapan penulis: “atau karena persusuan”) seperti ibu susuan (ucapan penulis: “atau karena mushaharah”) yaitu hubungan yang menyerupai kekerabatan, seperti ibu mertua, anak perempuan tiri, ibu tiri, dan menantu perempuan. Dikecualikan dari pengertian mahram ini adalah saudara perempuan istri, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat, anak perempuannya, dan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena mereka ini tidak termasuk mahram, sebab keharaman menikahi mereka bukan karena nasab, bukan karena persusuan, dan bukan karena mushaharah. Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, penulis tidak menggunakan definisi mahram yang biasa diungkapkan oleh para ulama, yaitu “orang yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (dibolehkan) karena kemuliaannya”. Ungkapan “selamanya” mengecualikan saudara perempuan istri, anak perempuannya, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu, karena keharaman menikahi mereka tidak bersifat selamanya, melainkan karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka dalam pernikahan. Ungkapan “karena sebab yang mubah” mengecualikan ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat dan anak perempuannya, karena keharaman menikahi mereka bukan karena sebab yang mubah, sebab persetubuhan karena syubhat tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mubah maupun tidak mubah. Ungkapan “karena kemuliaannya” mengecualikan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, karena keharaman menikahi mereka adalah karena kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
(Perkataan pengarang) “Yang dimaksud dengan mahram” yaitu yang dipahami dari pernikahan wanita tersebut dan pernikahan ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya, yaitu yang dipahami dari wanita yang bukan mahram.
(Perkataan pengarang) “yaitu wanita yang haram dinikahi”. Dengan demikian, tidak termasuk wanita yang tidak haram dinikahi, yaitu wanita yang bukan mahram sebelumnya.
(Perkataan pengarang) “karena nasab atau kekerabatan”, seperti ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan.
(Perkataan pengarang) “atau karena persusuan”, seperti ibu susuan.
(Perkataan pengarang) “atau karena pernikahan (mushaharah)”, yaitu hubungan yang menyerupai kekerabatan, seperti ibu mertua, anak perempuan tiri, istri ayah, dan istri anak laki-laki.
Dengan demikian, tidak termasuk saudara perempuan istri, bibi dari pihak ayah dan ibu, ibu dari wanita yang digauli karena syubhat, anak perempuannya, dan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena mereka semua tidak termasuk mahram, sebab keharaman menikahi mereka bukan karena nasab, persusuan, atau pernikahan.
Untuk memberikan penjelasan, pengarang beralih dari definisi mahram yang biasa diucapkan, yaitu “wanita yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (dibolehkan) karena kehormatannya”.
Dengan perkataan “selamanya”, maka tidak termasuk saudara perempuan istri, anak perempuannya, bibi dari pihak ayah dan ibu, karena keharaman menikahi mereka tidak bersifat selamanya, melainkan karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka (dalam satu pernikahan).
Dengan perkataan “karena sebab yang mubah”, maka tidak termasuk ibu dari wanita yang digauli karena syubhat dan anak perempuannya, karena keharaman menikahi mereka bukan karena sebab yang mubah, sebab persetubuhan karena syubhat tidak bersifat mubah atau tidak mubah.
Dengan perkataan “karena kehormatannya”, maka tidak termasuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena keharaman menikahi mereka adalah karena kehormatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Wallahu a’lam bishawab