Kategori
Uncategorized

PRIORITAS ANTARA SHALAT FARDHU DAN SHALAT JENAZAH

PRIORITAS ANTARA SHALAT FARDHU DAN SHALAT JENAZAH

Deskripsi Masalah:

Kematian adalah ketentuan Allah SWT yang pasti akan dialami setiap makhluk hidup. Sebagai umat Muslim, terdapat kewajiban tajhizul jenazah terhadap saudara Muslim yang meninggal, meliputi memandikan (kecuali syahid), mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan. Dalam praktik sehari-hari, seringkali muncul situasi di mana waktu pelaksanaan shalat jenazah bertepatan dengan waktu shalat fardhu, baik shalat lima waktu maupun shalat Jum’at. Hal ini menimbulkan pertanyaan yaitu

Mana yang harus didahulukan antara shalat fardu dan shalat jenazah sebagaimana Deskripsi

Jawaban .

Prioritas antara shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) dan shalat jenazah ketika waktunya bersamaan dikondisikan oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan shalat fardhu berikut penjelasannya :

1️⃣Jika Waktu Shalat Fardhu Luas: Apabila waktu untuk melaksanakan shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) masih cukup luas setelah menunaikan shalat jenazah, maka shalat jenazah lebih diutamakan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan untuk memuliakan jenazah dan kekhawatiran akan perubahan kondisi jenazah jika penundaan terlalu lama.

2️⃣Jika Waktu Shalat Fardhu Sempit: Jika waktu untuk melaksanakan shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) menjadi sempit apabila shalat jenazah didahulukan, sehingga dikhawatirkan akan keluar dari waktunya, maka shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) lebih diutamakan. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu pada waktunya adalah prioritas utama dalam Islam. Ini berdasar pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa shalat fardhu didahulukan jika dikhawatirkan waktunya habis. Jika tidak dikhawatirkan habis waktu shalat fardhu, maka shalat jenazah didahulukan atas shalat Id dan gerhana sebagai penghormatan kepada jenazah, sebagaimana juga didahulukan atas shalat Jumat jika tidak dikhawatirkan habis waktunya .

Kesimpulan:
Keputusan mengenai prioritas antara shalat fardhu dan shalat jenazah yang waktunya bersamaan bergantung dengan situasi dan kondisi jika shalat fardhu masih mencukupi setelah menunaikan shalat jenazah. Maka shalat jenazah didahulukan sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah. Namun, jika waktu shalat fardhu menjadi sempit, maka shalat fardhu wajib didahulukan agar tidak keluar dari waktunya.Wallahu a’lam.

Referensi:

المكتبة الشاملة فقه الإسلامي وادلته ج٢ص١٤٣٧

خامساً ـ هل تقدم صلاة الكسوف على غيرها عند اجتماعها معها؟ إذا اجتمع صلاتان كالكسوف مع غيره من الجمعة أو فرض آخر أو العيد، أو الجنازة أو الوتر فأيهما يقدم؟
قال الشافعية والحنابلة (١):يقدم الفرض إن خيف فوته، لضيق وقته، وإلا بأن لم يخف فوت الفرض، يقدم الكسوف، ثم يخطب للجمعة متعرضاً للكسوف، ثم تصلى الجمعة، وتكفي عند الشافعية خطبة الجمعة عن خطبة الكسوف.ولو اجتمع عيد أوكسوف مع صلاة جنازة، قدمت الجنازة على الكسوف والعيد إكراماً للميت، ولأنه ربما يتغير بالانتظار، كما تقدم الجنازة على صلاة الجمعة إن لم يخف فوتها.وتقدم صلاة الكسوف على صلاة العيد والمكتوبة إن أمن الفوت.ويقدم الخسوف على الوتر باتفاق الشافعية والحنابلة، كما يقدم عند الشافعية على التراويح، وإن خيف فوت الوتر أو التراويح؛ لأنه آكد، ولأن الوتر يمكن تداركه بالقضاء. وتقدم التراويح على الخسوف عند الحنابلة إذا تعذر فعلهما؛ لأنها تختص برمضان وتفوت بفواته.

Al-Maktabah Asy-Syamilah, Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 2, halaman 1437:
Kelima: Apakah shalat gerhana matahari (kusuf) didahulukan atas shalat lainnya jika waktunya bersamaan?
Jika dua shalat bertemu waktunya, seperti shalat gerhana dengan shalat Jumat, shalat fardhu lainnya, shalat Id, shalat jenazah, atau shalat witir, maka manakah yang didahulukan?
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat:
Shalat fardhu didahulukan jika dikhawatirkan waktunya akan habis karena waktunya sempit.
Jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat fardhu, maka shalat gerhana didahulukan. Kemudian, khatib berkhutbah untuk shalat Jumat dengan menyinggung tentang gerhana, lalu dilaksanakan shalat Jumat. Menurut ulama Syafi’iyah, khutbah Jumat sudah cukup menggantikan khutbah gerhana.
Jika bertemu waktu shalat Id atau gerhana dengan shalat jenazah, maka shalat jenazah didahulukan atas shalat gerhana dan shalat Id sebagai penghormatan kepada jenazah dan karena dikhawatirkan kondisi jenazah akan berubah jika menunggu. Sebagaimana shalat jenazah juga didahulukan atas shalat Jumat jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat Jumat.
Shalat gerhana didahulukan atas shalat Id dan shalat wajib (maktubah) jika aman dari habisnya waktu shalat wajib tersebut.
Shalat gerhana bulan (khusuf) didahulukan atas shalat witir menurut kesepakatan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Begitu juga menurut ulama Syafi’iyah, didahulukan atas shalat tarawih, jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu witir atau tarawih karena witir lebih ditekankan (aakad) dan dapat diqadha. Shalat tarawih didahulukan atas shalat gerhana bulan menurut ulama Hanabilah jika keduanya tidak mungkin dikerjakan bersamaan, karena tarawih khusus dilakukan di bulan Ramadan dan akan terlewat jika bulan Ramadan berakhir.

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٢ج ص٩٧

ج – أَنَّ فَرْضَ الْعَيْنِ يَلْزَمُ بِالشُّرُوعِ إِلاَّ لِعُذْرٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، وَكَذَلِكَ فَرْضُ الْكِفَايَةِ خِلاَفًا لِلشَّافِعِيَّةِ، فَلاَ يَلْزَمُ فَرْضُ الْكِفَايَةِ بِالشُّرُوعِ إِلاَّ فِي الْجِهَادِ وَالْجِنَازَةِ وَالْحَجِّ تَطَوُّعًا عِنْدَهُمْ فَإِنَّهُ لاَ يَقَعُ إِلاَّ فَرْضَ كِفَايَةٍ.
د – أَنَّ مَنْ تَرَكَ فَرْضَ عَيْنٍ أُجْبِرَ عَلَيْهِ، وَفِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ خِلاَفٌ كَمَا فِي تَوَلِّي الْقَضَاءِ وَكَفَالَةِ اللَّقِيطِ وَغَيْرِهَا (١) .
الْمُفَاضَلَةُ بَيْنَ فَرْضِ الْعَيْنِ وَفَرْضِ الْكِفَايَةِ:
٥ – ذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الإْسْفَرايِينِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ إِلَى أَنَّ لِلْقِيَامِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ أَفْضَلِيَّةً عَلَى الْقِيَامِ بِفَرْضِ الْعَيْنِ مِنْ حَيْثُ إِنَّ فِي أَدَائِهِ إِسْقَاطًا لِلْحَرَجِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنِ الْمُسْلِمِينَ.
وَذَهَبَ ابْنُ عَابِدِينَ وَالْجَلاَل الْمَحَلِّيُّ فِي شَرْحِهِ عَلَى جَمْعِ الْجَوَامِعِ إِلَى أَنَّ الْقِيَامَ بِفَرْضِ الْعَيْنِ أَفْضَل، لِشِدَّةِ اعْتِنَاءِ الشَّارِعِ بِهِ بِقَصْدِ حُصُولِهِ مِنْ كُل مُكَلَّفٍ، وَلأَِنَّهُ مَفْرُوضٌ حَقًّا لِلنَّفْسِ فَهُوَ أَهَمُّ عِنْدَهَا وَأَكْثَرُ مَشَقَّةً، وَنَقَل الْعَطَّارُ فِي حَاشِيَتِهِ مِنْ كَلاَمِ الإِْمَامِ الشَّافِعِيِّ وَالأَْصْحَابِ مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ، فَقَدْ قَالُوا: إِنَّ قَطْعَ الطَّوَافِ الْمَفْرُوضِ لِصَلاَةِ الْجِنَازَةِ مَكْرُوهٌ، وَعَلَّلُوهُ بِأَنَّهُ لاَ يَحْسُنُ تَرْكُ فَرْضِ الْعَيْنِ لِفَرْضِ الْكِفَايَةِ، فَإِذَا ازْدَحَمَ فَرْضُ الْكِفَايَةِ وَفَرْضُ الْعَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ لاَ يَسَعُ إِلاَّ أَحَدَهُمَا وَجَبَ تَقْدِيمُ فَرْضِ الْعَيْنِ إِلاَّ إِذَا كَانَ لَهُ بَدَلٌ، كَمَا فِي سُقُوطِ الْجُمُعَةِ مِمَّنْ لَهُ قَرِيبٌ يُمَرِّضُهُ، بَل قَالُوا: لَوِ اجْتَمَعَ جِنَازَةٌ وَجُمُعَةٌ وَضَاقَ الْوَقْتُ قُدِّمَتِ الْجُمُعَةُ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَقَدَّمَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجِنَازَةَ لأَِنَّ لِلْجُمُعَةِ بَدَلاً.
وَإِنْ كَانَ فِي الْوَقْتِ مُتَّسَعٌ فَيُقَدَّمُ فَرْضُ الْكِفَايَةِ، كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ كُسُوفٌ وَفَرْضٌ، وَلَمْ يُخَفْ فَوْتُ الْفَرْضِ، قُدِّمَ الْكُسُوفُ كَيْ لاَ يَفُوتَ، وَكَذَلِكَ يُقَدَّمُ إِنْقَاذُ الْغَرِيقِ عَلَى إِتْمَامِ الصَّوْمِ فِي حَقِّ صَائِمٍ لاَ يَتَمَكَّنُ مِنْ إِنْقَاذِهِ إِلاَّ بِالإِْفْطَارِ لِخَوْفِ الْفَوَاتِ (١) .

(Ensiklopedia Fikih Kuwait) juz 32 halaman 97 :
Bagian C:
Bahwa fardhu ‘ain (kewajiban individual) menjadi mengikat dengan dimulainya pelaksanaannya, kecuali karena adanya udzur (halangan) menurut kesepakatan para fuqaha (ahli fikih). Demikian pula halnya dengan fardhu kifayah (kewajiban kolektif), berbeda dengan madzhab Syafi’iyah. Menurut madzhab Syafi’iyah, fardhu kifayah tidak menjadi mengikat dengan dimulainya pelaksanaannya kecuali dalam jihad, jenazah, dan haji sunnah. Menurut mereka, ibadah haji sunnah tidak terlaksana kecuali sebagai fardhu kifayah.
Bagian D:
Bahwa barang siapa meninggalkan fardhu ‘ain, maka ia dipaksa untuk melaksanakannya. Adapun dalam fardhu kifayah, terdapat perbedaan pendapat sebagaimana dalam pengangkatan hakim, menanggung anak temuan, dan lain-lain (1).
Perbandingan Antara Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah:
5 – Abu Ishaq al-Isfarayini dan Imam al-Haramain berpendapat bahwa melaksanakan fardhu kifayah lebih utama daripada melaksanakan fardhu ‘ain dari sisi bahwa dalam pelaksanaannya terdapat penghilangan kesulitan dari dirinya sendiri dan dari kaum Muslimin.
Ibnu ‘Abidin dan Jalal al-Mahalli dalam syarahnya atas Jam’ al-Jawami’ berpendapat bahwa melaksanakan fardhu ‘ain lebih utama, karena perhatian syariat yang besar terhadapnya dengan tujuan agar terlaksana dari setiap mukallaf (orang yang terkena kewajiban), dan karena ia diwajibkan sebagai hak bagi diri sendiri sehingga ia lebih penting baginya dan lebih berat pelaksanaannya. Al-‘Aththar dalam hasyiyahnya menukil dari perkataan Imam Syafi’i dan para pengikutnya apa yang mendukung pendapat ini. Mereka berkata: Sesungguhnya memutus thawaf wajib untuk melaksanakan shalat jenazah adalah makruh. Mereka memberikan alasan bahwa tidak baik meninggalkan fardhu ‘ain demi fardhu kifayah.
Maka, jika fardhu kifayah dan fardhu ‘ain berbenturan dalam satu waktu yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan keduanya, maka wajib mendahulukan fardhu ‘ain kecuali jika ada penggantinya, seperti gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi orang yang memiliki kerabat yang sakit dan ia merawatnya. Bahkan mereka berkata: Jika berkumpul jenazah dan shalat Jumat, dan waktu sempit, maka shalat Jumat didahulukan menurut madzhab. Sementara Syaikh Abu Muhammad mendahulukan jenazah karena shalat Jumat ada penggantinya.
Jika waktu masih luas, maka fardhu kifayah didahulukan, seperti jika berkumpul gerhana dan shalat wajib, dan tidak dikhawatirkan terlewatnya shalat wajib, maka gerhana didahulukan agar tidak terlewat. Demikian pula, menyelamatkan orang yang tenggelam didahulukan atas menyempurnakan puasa bagi orang yang berpuasa yang tidak dapat menyelamatkannya kecuali dengan berbuka karena khawatir terlewat .

كتاب كنز الراغبين شرح منهاج الطالبين
وَإِنْ اجْتَمَعَ جُمُعَةٌ وَجِنَازَةٌ وَلَمْ يَضِقْ الْوَقْتُ قُدِّمَتْ الْجِنَازَةُ، وَإِنْ ضَاقَ قُدِّمَتْ الْجُمُعَةُ

“Dan jika berkumpul (waktu) shalat Jumat dan shalat jenazah, dan waktu (untuk keduanya) tidak sempit, maka shalat jenazah didahulukan. Namun, jika waktu (untuk shalat Jumat) sempit, maka shalat Jumat didahulukan.”Wallahu a’lam