Kategori
Uncategorized

HUKUM TALAK DALAM KONDISI HAID

HUKUM TALAK DALAM KONDISI HAID

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Ada pasangan suami istri yang pada awalnya harmonis entah sebab apa dikemudian hari suaminya dengan terpaksa mentalak istrinya dalam kondisi haid

Pertanyaan
Sahkah talak dalam kondisi haid, kalau sah sampai dimana perhitungan iddah bagi perempuan yang ditalak dalam kondisi sebagaimana Deskripsi

Waalaikumsalam.

Jawaban.

  1. Talak dalam kondisi haid hukumnya haram, namun Talaknya tetap sah

Penjelasan.

Dalam Islam, talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid disebut talak bid’i. Hukumnya adalah haram, tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahannya. Berikut adalah penjelasan mengenai masalah ini:
Keabsahan Talak saat Haid:
Mayoritas Ulama:
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (termasuk mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid tetap sah, meskipun haram hukumnya.
Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Umar, di mana Rasulullah SAW memerintahkan Ibnu Umar untuk merujuk istrinya yang ditalak saat haid. Perintah rujuk ini menunjukkan bahwa talak tersebut dianggap sah.
Namun, suami yang menjatuhkan talak dalam kondisi ini berdosa karena melanggar aturan syariat.
Pendapat Sebagian Ulama (terutama Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim):
Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat haid tidak sah. Mereka berargumen bahwa talak bid’i tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Pendapat ini menekankan pada tujuan syariat dalam mengatur talak, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi suami istri untuk rujuk dan memperbaiki hubungan.

  1. Masa Iddah bagi Wanita yang Ditalak saat Haid:

Masa iddah bagi wanita yang ditalak saat haid dihitung setelah ia suci dari haid tersebut.
Secara umum, masa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali masa suci.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an (QS. At-Thalaq: 1): “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.”
Jadi, jika seorang wanita ditalak saat haid, maka haid yang terjadi waktu talak itu tidak di hitung, lalu dihitung setelah suci dari haid tersebut.

Saran:
Sebaiknya, pasangan suami istri yang mengalami masalah rumah tangga berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik, dengan melibatkan keluarga atau mediator jika perlu.
Jika talak tidak dapat dihindari, sebaiknya dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu saat istri dalam keadaan suci dan belum digauli.
Jika terjadi talak saat haid, suami sebaiknya segera bertaubat kepada Allah SWT.

Referensi:

الحاوي الكبير ج.١٠،ص.١١٥
طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فِي حَيْضٍ أَوْ فِي طُهْرٍ مُجَامَعٍ فِيهِ. فَهُوَ مَحْظُورٌ مُحَرَّمٌ بِوِفَاقٍ. وَاخْتُلِفَ فِي وُقُوعِهِ مَعَ تَحْرِيمِهِ. فَمَذْهَبُنَا إِنَّهُ وَاقِعٌ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمًا. وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam Al-Mawardi

“Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau pada saat suci yang telah dicampuri (jima’). Maka, talak seperti ini dilarang dan haram secara sepakat (ulama). Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan talak tersebut meskipun haram. Mazhab kami (Syafi’i) berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah meskipun haram. Ini adalah pendapat para sahabat, tabi’in, dan mayoritas ahli fiqih.”
Penjelasan:
Talak Bid’ah:
Talak bid’ah adalah talak yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau dalam keadaan suci setelah dicampuri.
Para ulama sepakat bahwa talak seperti ini hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Perbedaan Pendapat tentang Keabsahan Talak: Meskipun haram, para ulama berbeda pendapat mengenai apakah talak tersebut tetap sah atau tidak.
Mazhab Syafi’i, yang diikuti oleh penulis kitab Al-Hawi Al-Kabir, berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah. Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas ulama.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa talak tersebut tidak sah, karena talak tersebut dilakukan dengan cara yang dilarang.
Hikmah Pelarangan Talak Bid’ah:

Pelarangan talak bid’ah bertujuan untuk menghindari tindakan cerai yang tergesa-gesa dan merugikan istri.
Talak pada saat haid dapat memperpanjang masa iddah istri, sedangkan talak pada saat suci setelah dicampuri dapat menimbulkan penyesalan jika ternyata istri sedang hamil.
Secara umum, teks tersebut menjelaskan bahwa talak bid’ah adalah perbuatan yang diharamkan, namun para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan talak tersebut.

Referensi:

فقه الإسلامي وادلته للشيخ وهبة الزحيلي ج٩ص ٦٩٢٣-٦٩٢٤

 وفي رواية عنه: «أنه طلق امرأة له وهي حائض، فذكر ذلك عمر للنبي صلّى الله عليه وسلم، فتغيَّظ فيه رسول الله صلّى الله عليه وسلم ثم قال: ليراجعْها، ثم يمسكْها حتى تطهُر، ثم تحيض فتطهر، فإن بدا له أن يطلّقها، فليطلقها قبل أن يمسها، فتلك العدة كما أمر الله تعالى». وفي لفظ: «فتلك العدة التي أمر الله أن يُطلَّق لها النساء» فهو يدل على أن الطلاق جائز حال الطهر الذي لم يجامع فيه.
وهذا متفق مع الآية القرآنية: {يا أيها النبي إذا طلقتم النساء، فطلقوهن لعدتهن} [الطلاق:١/ ٦٥] أي مستقبلات عدتهن.
والسبب هو عدم إطالة العدة على المرأة، ففي الطلاق في أثناء الحيض أو في طهر جامعها فيه ضرر بالمرأة بتطويل العدة عليها؛ لأن الحيضة التي وقع فيها الطلاق لا تحتسب من العدة، وزمان الحيض زمان النفرة، وبالجماع مرة في الطهر تفتر الرغبة.
وبه يتبين أن الطلاق البدعي يكون للمرأة التي دخل بها زوجها، وكانت ممن تحيض، أما التي لم يدخل بها الزوج أو كانت حاملاً أو لا تحيض، فلا يكون طلاقها بدعياً قبيحاً شرعاً، قال ابن عباس: الطلاق على أربعة أوجه: وجهان حلال، ووجهان حرام، فأما اللذان هما حلال: فأن يطلق الرجل امرأته طاهراً من غير جماع، أو يطلقها حاملاً مستبيناً حملها، وأما اللذان هما حرام: فأن يطلقها حائضاً أو يطلقها عند الجماع، لا يدري، اشتمل الرحم على ولد أم لا (٢).
أثر مخالفة هذا القيد: يقع الطلاق باتفاق المذاهب الأربعة في حال الحيض أو في حال الطهر الذي جامع الرجل امرأته فيه؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم أمر ابن عمر بمراجعة

امرأته التي طلقها، وهي حائض، والمراجعة لا تكون إلا بعد وقوع الطلاق، ويؤيده رواية: «وكان عبد الله طلَّق تطليقة، فحسبت من طلاقها».
وقال الشيعة الإمامية والظاهرية وابن تيمية وابن القيم (١): يحرم الطلاق في أثناء الحيض أو النفاس أو في طهر وطئ الرجل زوجته فيه، ولا ينفذ هذا الطلاق البدعي، بدليل ما يأتي:
١ً – ما أخرجه أحمد وأبو داود والنسائي عن ابن عمر بلفظ: «طلق عبد الله ابن عمر امرأته وهي حائض، قال عبد الله: فردها علي رسول الله صلّى الله عليه وسلم ولم يرها شيئاً». وهذا الحديث صحيح كما صرح به ابن القيم وغيره.
ونوقش بأنه قد أعل هذا الحديث بمخالفة أبي الزبير لسائر الحفاظ، وقال ابن عبد البر: قوله «ولم يرها شيئاً»: منكر لم يقله غير أبي الزبير، وليس بحجة فيما خالفه فيه مثله، فكيف إذا خالفه من هو أوثق منه، ولو صح فمعناه عندي ـ والله أعلم ـ ولم يرها شيئاً مستقيماً، لكونها لم تكن على السنة.
وقال الخطابي: وقد يحتمل أن يكون معناه: ولم يرها شيئاً تحرم معه المراجعة، أو لم يرها شيئاً جائزاً في السنة.
٢ً – حديث: «من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد» (٢) والطلاق في حال الحيض مخالف لأمر الشارع، فيكون مردوداً لا أثر له. ونوقش بأن المردود هو بسبب مخالفة ركن أو شرط من أركان أو شروط العمل. وأما المخالفة بسبب تطويل العدة أو عدم وجود الحاجة إلى الطلاق، فليس أحدهما ركناً أو شرطاً للطلاق، فلا تستوجب الرد وعدم وقوع الطلاق.

Riwayat tentang perceraian saat haid:
“Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya saat haid. Umar melaporkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah. Kemudian beliau bersabda, ‘Suruh dia rujuk, lalu tahan dia hingga suci, kemudian haid lagi lalu suci. Jika dia ingin menceraikannya, ceraikanlah sebelum menyentuhnya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah Ta’ala.’ Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan wanita.’ Ini menunjukkan bahwa perceraian diperbolehkan saat suci yang belum digauli.”
Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (QS. At-Thalaq: 1).
Alasannya adalah agar masa iddah tidak terlalu lama bagi wanita. Perceraian saat haid atau saat suci yang telah digauli akan merugikan wanita karena memperpanjang masa iddah. Sebab, haid yang terjadi saat perceraian tidak dihitung dalam masa iddah, dan masa haid adalah masa ketidaksukaan. Selain itu, jika telah digauli sekali saat suci, keinginan (untuk rujuk) akan berkurang.
Dari sini jelas bahwa perceraian bid’ah terjadi pada wanita yang telah digauli suaminya dan mengalami haid. Sedangkan wanita yang belum digauli suaminya, wanita hamil, atau wanita yang tidak mengalami haid, perceraian mereka tidak dianggap bid’ah yang buruk secara syar’i. Ibnu Abbas berkata, “Perceraian ada empat macam: dua halal dan dua haram. Yang halal adalah jika seorang pria menceraikan istrinya saat suci tanpa digauli, atau menceraikannya saat hamil yang jelas kehamilannya. Yang haram adalah jika menceraikannya saat haid atau saat digauli, tanpa diketahui apakah rahimnya mengandung janin atau tidak.”
Dampak dari pelanggaran ketentuan ini:
Perceraian tetap sah menurut kesepakatan empat mazhab, meskipun terjadi saat haid atau saat suci yang telah digauli. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk dengan istrinya yang diceraikannya saat haid, dan rujuk tidak mungkin terjadi kecuali setelah perceraian terjadi. Hal ini diperkuat oleh riwayat: “Abdullah menceraikan satu talak, dan itu dihitung sebagai talaknya.”
Namun, mazhab Syi’ah Imamiyah, Zhahiriyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa perceraian saat haid, nifas, atau saat suci yang telah digauli adalah haram dan tidak sah. Dalil mereka adalah:

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i dari Ibnu Umar: “Abdullah bin Umar menceraikan istrinya saat haid. Abdullah berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan dia kepadaku dan tidak menganggapnya sebagai apa pun.'” Hadits ini sahih menurut Ibnul Qayyim dan lainnya.
Namun, hadits ini dipermasalahkan karena Abu Zubair dianggap bertentangan dengan para hafiz hadits lainnya. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ucapan ‘tidak menganggapnya sebagai apa pun’ adalah munkar, tidak ada yang mengatakan selain Abu Zubair, dan itu bukan hujjah jika bertentangan dengan orang yang setara dengannya, apalagi jika bertentangan dengan orang yang lebih tepercaya darinya. Jika sahih pun, maknanya menurutku—wallahu a’lam—adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang lurus, karena tidak sesuai dengan sunnah.”
Al-Khaththabi berkata, “Mungkin juga maknanya adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengharamkan rujuk, atau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan dalam sunnah.”
Hadits: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” Perceraian saat haid bertentangan dengan perintah syariat, maka tertolak dan tidak berpengaruh.
Namun, hal ini dipermasalahkan karena yang tertolak adalah amalan yang melanggar rukun atau syaratnya. Sedangkan pelanggaran karena memperpanjang masa iddah atau tidak adanya kebutuhan untuk bercerai, bukanlah rukun atau syarat perceraian, sehingga tidak menyebabkan perceraian tertolak dan tidak sah. Wallahu a’lam