Kategori
Uncategorized

STATUS KEMAHRAMAN SAUDARA/I MERTUA

Status Mahram Saudara/i Mertua dalam Islam

Deskripsi Masalah:
Dalam praktik masyarakat, proses mencari pasangan seringkali diawali dengan khithbah (bertunangan) dengan seseorang yang bukan mahram. Muncul pertanyaan mengenai status kemahraman saudara/i dari mertua (paman/bibi dari pihak ibu atau bapak) setelah pernikahan terjadi, terutama terkait kemahraman menantu dan dan sebaliknya juga keadaan wudhu’ ketika bersentuhan.

Pertanyaan.

Apakah termasuk mahram saudara/i dari mertua ? Kalau termasuk termasuk mahram lalu termasuk mahram apa?

Jawaban:

Saudara/i dari mertua (paman/bibi dari pihak ibu atau bapak) tidak termasuk mahram selamanya (mahram ta’biid atau Muabbaad ) bagi menantu laki-laki atau perempuan. Mereka termasuk dalam kategori mahram ghairu ta’biid, yaitu mahram yang keharamannya bersifat sementara( permanen) karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka (dalam satu pernikahan).

Penjelasan Mahram Ghairu Ta’biid:

Mahram ghairu ta’biid adalah orang-orang yang haram dinikahi selama ikatan pernikahan dengan pasangan (anak dari saudara/i mertua) masih berlangsung. Larangan pernikahan ini akan hilang jika ikatan pernikahan tersebut berakhir (karena perceraian atau kematian salah satu pihak).sebagaimana Usman bin Affan menikahi Ruqoiyyah binti Rasulillah setelah Ummi kulsum binti Rasulullah meninggal dunia.

Contoh Tambahan Mahram Ghairu Ta’biid:
Selain saudara/i mertua, contoh lain dari mahram ghairu ta’biid adalah:

a). Saudari istri (ipar perempuan) bagi suami.

b).Saudara suami (ipar laki-laki) bagi istri.

c). Istri dari paman dari pihak ayah atau ibu (bibi tiri).

d.Suami dari bibi dari pihak ayah atau ibu (paman tiri) dan seterusnya.

Alasan Mengapa Saudara/i Mertua Termasuk Mahram Ghairu Ta’biid:

Keharaman menikahi saudara/i mertua didasarkan pada prinsip larangan mengumpulkan dua wanita bersaudara atau wanita dengan bibinya dalam satu pernikahan. Hal ini sesuai dengan hadis dan penjelasan para ulama.
Tujuan dari larangan ini adalah untuk mencegah potensi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan keluarga.

Contoh: Seorang laki-laki tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya (adik ipar) atau bibi dari pihak istri (saudari ibu atau bapak istri) selama ia masih terikat pernikahan dengan istrinya. Namun, jika istrinya meninggal dunia atau diceraikan dan telah menyelesaikan masa iddah, maka laki-laki tersebut diperbolehkan menikahi saudara perempuan atau bibi dari mantan istrinya.

Implikasi Terhadap Wudhu’:
Karena saudara/i mertua bukan termasuk mahram muabbad atau ta’biid ( selamanya) melainkan mahram Ghairu ta’bid permanen, maka bersentuhan kulit secara langsung (tanpa penghalang) antara menantu laki-laki/perempuan dengan saudara/i mertua yang bukan mahram muabbad lain jenis dapat membatalkan wudhu’ menurut pandangan mayoritas ulama. Ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ( muabbad/ta’bid) dan tidak ada penghalang yang tebal dapat membatalkan wudhu’.

Kesimpulan:
Saudara/i dari mertua termasuk dalam kategori bukan mahram selamanya ( على التأبيد ) akan tetapi mahram ghairu ta’biid. Karena keharaman mengumpulkan dua perempuan. Oleh karenanya Status kemahraman ini bersifat sementara selama ikatan pernikahan dengan anak mereka ( mertua) masih berlangsung. Maka, dalam kondisi normal (tidak ada ikatan pernikahan dengan anak mereka), mereka adalah bukan mahram , dan bersentuhan kulit dengan mereka yang bukan mahram (lain jenis) dapat membatalkan wudhu’. Adapun larangan mengumpulkan (menggabungkan ) antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya.” Berdasarkan Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berikut:

Referensi:

فقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي ج٤ص-٢٩

ودليل ذلك: ما رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة – رضي الله عنه -، أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: ” لا يُجمعُ بين المرأة وعَمَّتها، ولا بين المرأة وخالتها “.
(البخاري: النكاح، باب: لا تنكح المرأة على عمّتها، رقم: ٤٨٢٠. مسلم: النكاح، باب: تحريم الجمع بين المرأة وعمّتها … ، رقم: ١٤٠٨.
الحكمة من هذا التحريم:
والحكمة من تحريم الجمع بين مَن ذكرنَ ما في هذا الجمع من إيقاع الضغائن بين الأرحام، بسبب ما يحدث بين الضرائر من الغيرة.
روى ابن حبان: (أن النبي – صلى الله عليه وسلم – نهى أن تُزوّج المرأة على العمّة والخالة، وقال: إنّكنّ إذا فعلتنّ ذلك قطعتنّ أرحامكم).
وأخرج أبو داود في المراسيل عن عيسى بن طلحة قال: (نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن تنكح المرأة على قرابتها مخافة القطيعة). [نيل الأوطار: ٦/ ١٥٧]. فإذا ماتت واحدة منهنّ أو طٌلِّقت، وانقضت عدّتها حلّت الأخرى.

Fiqih Manhaji Ala Mazhab Imam Syafi’i Jilid 4 Halaman 29
Dalil untuk itu:
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya.”
(HR. Bukhari: Kitab Nikah, Bab: Tidak boleh menikahi wanita bersama bibinya, nomor: 4820. Muslim: Kitab Nikah, Bab: Haramnya menggabungkan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ayahnya…, nomor: 1408.)
Hikmah dari pengharaman ini:
Hikmah dari pengharaman menggabungkan antara wanita-wanita yang disebutkan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan di antara kerabat, disebabkan oleh kecemburuan yang terjadi di antara para madu.
Ibnu Hibban meriwayatkan: (Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi seorang wanita bersama bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya jika kalian melakukan hal itu, kalian akan memutuskan tali silaturahim kalian.”)
Abu Daud meriwayatkan dalam Al-Marasil dari Isa bin Thalhah, ia berkata: (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi seorang wanita bersama kerabatnya karena khawatir terjadinya pemutusan hubungan kekerabatan.) [Nailul Authar: 6/157]. Maka, jika salah satu dari mereka meninggal atau diceraikan, dan masa iddahnya telah selesai, maka halal bagi yang lain (untuk dinikahi).

الحاوي الكبير، ج: ١٨، ص: ٧٢.
والجواب الثاني: أنه تعليل يوجب اعتبار العتق بالنكاح وهما مفترقان، لأن النكاح أعم تحريماً من العتق، لأنه يتجاوز تحريم النسب إلى تحريم السبب من رضاع ومصاهرة، والعتق يقصر عنه في النسب، فيقتصر عنه في السبب. ولئن كان إبراهيم النخعي قد اعتبر كل محرمة بنسب وسبب، فإن أبا حنيفة لا يعتبر المحرمة بالسبب من رضاع أو مصاهرة. وإنما يعتبرهما بالنسب من أبوة أو بنوة، فكان التعليل بها أولى من التعليل بالتحريم.

Al-Hawi al-Kabir, Juz 18, Halaman 72.
Jawaban kedua: Sesungguhnya itu adalah alasan yang mengharuskan pertimbangan pembebasan budak dengan pernikahan, padahal keduanya terpisah. Karena pernikahan lebih umum keharamannya daripada pembebasan budak, sebab pernikahan melampaui keharaman nasab (keturunan) hingga keharaman sebab (perkawinan) dari persusuan dan hubungan perkawinan. Sedangkan pembebasan budak terbatas pada nasab, sehingga terbatas pula pada sebab. Seandainya Ibrahim an-Nakha’i menganggap setiap wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, maka Abu Hanifah tidak menganggap wanita yang haram dinikahi karena sebab dari persusuan atau hubungan perkawinan. Beliau hanya menganggapnya haram karena nasab dari jalur ayah atau anak. Oleh karena itu, alasan dengan nasab lebih utama daripada alasan dengan keharaman secara umum.

فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب (ص: ١١٦):
فصل: (والمحرمات) أي المحرم نكاحهن (بالنسب أربع عشرة) وفي بعض النسخ أربعة عشر (سبع بالنسب وهن الأم وإن علت والبنت وإن سفلت) وأما المخلوقة كانت من ماء زنى شخص، فتحل له على الأصح وإن مع الكراهة وسواء كانت المزني بها مطاوعة أو لا، وأما المرأة فلا يحل لها ولدها من الزنى (والأخت) شقيقة كانت أو لأب أو لأم (والخالة) حقيقة أو بواسطة خالة الأب أو الأم (والعمة) حقيقة أو بواسطة عمة الأب (وبنت الأخ) وبنات أولاده من ذكر وأنثى (وبنت الأخت) وبنات أولادها من ذكر وأنثى، وعطف المصنف على قوله سابقاً سبع قوله هنا (واثنتان) أي المحرمات بالرضاع اثنتان (الأم من الرضاع) والأخت من الرضاع) وإنما اقتصر المصنف على الاثنتين للنص عليهما في الآية، وإلا فالمحرمة بالنسب تحرم بالرضاع أيضاً كما سيأتي التصريح به في كلام المتن (و) المحرمات بالرضاع (أربع بالمصاهرة) وهن (أم الزوجة) وإن علت أمهاتها سواء من نسب أو رضاع سواء وقع الدخول بالزوجة أم لا (والربيبة) أي بنت الزوجة (إذا دخل بالأم وزوجة الأب) وإن علا (وزوجة الابن) وإن سفل (والمحرمات السابقة حرمتها على التأبيد (وواحدة) حرمتها لا على التأبيد بل (من جهة الجمع) فقط (وهي أخت الزوجة) فلا يجمع بينها وبين أختها من أب أو أم بينهما بنسب أو رضاع ولو رضيت أختهما بالجمع

Fathul Qarib al-Mujib dalam Syarah Lafadz-lafadz at-Taqrib (Halaman 116):
Fasal: (Wanita-wanita yang haram dinikahi) yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi (karena nasab ada empat belas) dan dalam sebagian naskah empat belas (tujuh karena nasab, yaitu ibu dan terus ke atas, serta anak perempuan dan terus ke bawah). Adapun wanita yang tercipta dari air zina seseorang, maka halal baginya menurut pendapat yang lebih sahih meskipun dengan makruh, baik wanita yang berzina itu rela maupun tidak. Adapun wanita, maka tidak halal baginya anak hasil zina (saudara perempuan) baik sekandung, sebapak, atau seibu (bibi dari pihak ibu) baik bibi kandung atau bibi dari jalur kakek atau nenek dari pihak ibu (bibi dari pihak ayah) baik bibi kandung atau bibi dari jalur kakek dari pihak ayah (anak perempuan saudara laki-laki) dan anak perempuan dari keturunan mereka baik laki-laki maupun perempuan (anak perempuan saudara perempuan) dan anak perempuan dari keturunan mereka baik laki-laki maupun perempuan. Mushannif mengathafkan (menghubungkan) pada perkataannya yang sebelumnya yaitu tujuh, dengan perkataannya di sini (dan dua) yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi karena persusuan ada dua (ibu dari persusuan) dan (saudara perempuan dari persusuan). Mushannif hanya membatasi pada dua karena adanya nash (dalil) tentang keduanya dalam ayat. Jika tidak, maka wanita yang haram karena nasab juga haram karena persusuan sebagaimana akan datang penjelasannya dalam matan (dan) wanita-wanita yang haram dinikahi karena persusuan (ada empat karena hubungan perkawinan) yaitu (ibu mertua) meskipun ibu dari ibu (istri) dan terus ke atas, baik karena nasab maupun persusuan, baik telah terjadi hubungan suami istri dengan anak perempuannya atau belum (anak tiri perempuan) yaitu anak perempuan istri (jika telah berhubungan badan dengan ibunya, dan istri ayah) meskipun terus ke atas (dan istri anak laki-laki) meskipun terus ke bawah (dan wanita-wanita yang haram dinikahi sebelumnya, keharamannya adalah abadi (dan satu) yang keharamannya tidak abadi tetapi (karena alasan penggabungan) saja (yaitu saudara perempuan istri) maka tidak boleh menggabungkan antara dia dan saudara perempuannya baik sebapak atau seibu, baik ada hubungan nasab maupun persusuan di antara keduanya, meskipun saudara perempuan istrinya rela untuk digabungkan.

الباجوري ج ١ ص ٦٩-٧٠

(وقوله و الرابع) أي من نواقض الوضوء (قواه لمس الرجل المرأة) هكذا في بعض النسخ بالإضافة من إضافة المصادر للمفاعيل أو لأنه أفادوا لمس المفعول به أو لأنه على عكس السابق بعض المسائل الرابطة الرجل من كلام اللمس لكن لزيادة الشارح وهو يجري فيه ما ذكر من إضافة المصادر للمفاعيل أو مفعول به وزيادة الرجل على بعض النسخ وتقديره لمس المرأة الرجل التقى الأفقي وهو معيب عندهم هناك قول بجوازه نظره لكون الشرح وافق المتن الواحد لكن غالب النسخ فيها فقط الرجل من اللمس وينتقض وضوء كل منهما مع قصد أو وجود شهوة أو كونه الرجل هو المباشر أو كونهما أجنبيين ولو كان على غير صورة الآدمي حيث تحققت المخالفة الكبرى ولو تمكن حتى لو كان شراً والنقض الحسن وهو أن يكون بين مختلفين كورة و أن لا يخرج بذلك الرجل والمرأة من الخنثى والمشتبه والخشي والمرأة من الصبي وغير المشتهي فيخرج الشريح والنظر فلا ينقض حتى منها الخلاف النظر إذا كشفها له ينقض ثالثها أن يكون كل منهما بالغاً مشتهوة عرفاً عند أهل الطباع السليمة فغير بالغ لم أحدها لم الشهوة فلا ينقض رابعها عدم الحرمية ولو كان هناك محرمية ولو احتمالا فلا ينقض خامساً أن لا يكون بحائل دقيق كأن كان عاقلاً ولو رقيقاً فلا ينقض بل يعبر غالباً من كلام المتن والشرح ولو تصور صورة الرجل صورة امرأة أو عكس فلا ينقض في الأول لأنه لم يتحقق اللمس بأن لم يتبين له وإنما انغمضت صورة البعض والملومس الرجل لما استركته عن قصده فإنه حينئذ تبدل حكمه بأن فقدانه تبدل صفته تغير بلموس غير أصفائه وكذا يحتمل الحرم بلمس النفس ولم يوسع المصنف سبر الذرع الصف الآخر فترجحه بتغير الصف الثاني وفي الصف المنسوخ حجر ما يفسد يحتمل أن يجعل اللمس المجرد كالمظنة ولا ينقض المدنو لبيان ولو وجد جزءاً من أركان كان تحت ثيابي عليه اسم المرأة فلا ينقض واللائق (قواه الأجنبية) أي يقينا فسر الشارح بقوله غير المحرم فخرج المحرم فلا ينقض بسهولة لو لاشئ من الحرمة فلا ينقض لأن الطهر لا يرفع بالشك

Perkataannya, dan yang keempat, yaitu dari hal-hal yang membatalkan wudhu’, (kekuatannya adalah menyentuh laki-laki kepada perempuan). Demikianlah dalam sebagian naskah dengan penambahan dari penambahan mashdar (kata dasar yang berfungsi sebagai objek) kepada maf’ul (objek), atau karena mereka (para ulama) memahami menyentuh objek (perempuan), atau karena berbeda dengan masalah-masalah sebelumnya yang mengaitkan laki-laki dari sisi menyentuh. Akan tetapi, untuk tambahan dari syarih (penjelas kitab) dan apa yang ia jalankan di dalamnya berupa apa yang disebutkan dari penambahan mashdar kepada mafa’il atau maf’ul bih, dan penambahan kata “laki-laki” pada sebagian naskah, dan perkiraannya adalah “menyentuh perempuan kepada laki-laki yang bertemu kulitnya secara langsung”, dan ini dianggap cacat menurut mereka. Di sana ada pendapat yang membolehkannya, dengan alasan bahwa penjelasan sesuai dengan matan (teks utama) yang satu. Akan tetapi, mayoritas naskah hanya menyebutkan “laki-laki dari menyentuh”, dan wudhu’ keduanya batal dengan adanya maksud (kesengajaan) atau adanya syahwat (keinginan), atau karena laki-laki yang langsung menyentuh, atau karena keduanya adalah orang asing (bukan mahram), meskipun dalam bentuk yang bukan bentuk manusia jika terwujud perbedaan yang besar (antara laki-laki dan perempuan). Bahkan jika memungkinkan meskipun dengan paksaan, dan pembatalan yang baik adalah jika terjadi antara dua jenis yang berbeda (laki-laki dan perempuan dewasa), dan tidak keluar dari pengertian itu laki-laki dan perempuan yang khuntsa musykil (berkelamin ganda yang tidak jelas), khasi (laki-laki yang dikebiri), dan perempuan dari anak kecil dan yang tidak memiliki syahwat, maka dikecualikan syarih dan nadzar (melihat), maka tidak batal wudhu’ darinya hingga ada perbedaan pendapat tentang melihat jika ia membukanya untuknya, maka batal. Yang ketiga, hendaknya keduanya baligh (dewasa) dan memiliki syahwat menurut kebiasaan ahli tabiat yang sehat, maka yang tidak baligh atau salah satunya tidak memiliki syahwat maka tidak batal. Yang keempat, tidak adanya hubungan mahram. Jika ada hubungan mahram, meskipun hanya dugaan, maka tidak batal. Yang kelima, tidak adanya penghalang yang tipis, seolah-olah berakal dan tipis, maka tidak batal. Bahkan biasanya disebutkan dari perkataan matan dan syarih, meskipun terbayang bentuk laki-laki seperti perempuan atau sebaliknya, maka tidak batal pada yang pertama karena tidak terwujud sentuhan karena tidak jelas baginya, melainkan tersembunyi bentuk sebagian, dan yang disentuh adalah laki-laki karena ia menariknya dari maksudnya, maka saat itu berubah hukumnya karena ketiadaannya mengubah sifatnya, berubah dengan sentuhan yang bukan sifatnya. Demikian pula kemungkinan haram dengan menyentuh diri sendiri, dan mushannif (penulis kitab) tidak memperluas penelitian tentang pendapat lain, maka ia mengunggulkannya dengan perubahan pendapat kedua, dan pada pendapat yang dinasakh (dihapus hukumnya) ada hal yang merusak, kemungkinan menjadikan sentuhan semata seperti dugaan, dan tidak batal karena adanya penjelasan, meskipun ditemukan sebagian dari rukun (wudhu’) yang ada di bawah pakaiannya ada nama perempuan, maka tidak batal. Dan yang layak adalah (kekuatannya adalah orang asing), yaitu qiya’uhu (budak perempuannya). Syarih menafsirkannya dengan perkataannya “bukan mahram”, maka dikecualikan mahram, maka tidak batal dengan mudah jika tidak ada sesuatu pun dari keharaman, maka tidak batal karena kesucian tidak diangkat dengan keraguan.

وذَلِكَ كَما اختلط محرمه بِأَجْنَبِيَّاتٍ غَيْرٍ محصورة وَتزَوج وَاحد منهُنَّ فَلَا نقض أيضا على الْمُتَعَمد خلافا لإبن ِعَبْدِ الْحق كَالخطبِيبِ كَذَا لزَوْجُتهُ إِذَا اسْتَلْحَقَهَا ولم يصدقه فإن النسبَ يسبت لَا يَنْفَسِخُ نِكَاحُهُ وَلَا يَنتقض وُضُوهُ عَلَى الْمعتمدِ وَلامانع مِن تبعيضِ الْأَحْكَامِ قَالَ بَعْضُهُمْ وَلَيْسَ لنا من ينكح أخته فى الإسلام إلا هَذَا (قَوْلُهُ وَلَوْ ميتة ) وَكَذَاكَ عكسه فلو قال وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا ميتا لكَانَ أَعم وَوقع للنووى فى رؤوس المسائل أنه رجع عدم النقض بلمس الميت والميتة وعد من السهو ولا يَنْتَقِضُ وُضُوءُ الْمَيِّتِ (قَوْلُهُ وَالْمُرَادُ بِالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ذكر وَأُنْثَى إِلَخْ) أَيْ وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهِمَا الذَّكَرَ الْبَالِغَ وَالْأُنْثَى الْبَالِغَةَ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ حَقِيقَتَهُمَا وَالْخُرْجُ الصَّبِيُّ وَالصَّبِيَّةُ وَإِنْ بَلَغَا حَدّ الشَّهْوَةِ (قَوْلُهُ بلغا حد الشَّهْوَةِ) أَيْ يَقِينا فَلَوْ شَكَّ فَلَا نْقض وَضَابِطُ الشَّهْوَةِ انْتِشَارُ آلَةِ إنتشار الرَّجُلِ وَمَيْلُ الْقَلْبِ فى المرأة وقوله عرفا أى عند أرباب الطباع السليمة كالإمام الشافعي والسيدة نفسية ولاتنقض صغيرة ويصغير لم يبلغ كل منهما حد الشهوة بخلاف مالم بلغا ها وإن انتفت بعد ذلك لنحو هرم لأنه مامن ساقط الا ولها لاقطة

Dan demikian itu seperti bercampurnya mahramnya dengan perempuan-perempuan ajnabi (bukan mahram) yang tidak terhitung, lalu menikahi salah satu dari mereka, maka tidak batal pula (wudhunya) bagi orang yang sengaja, berbeda dengan pendapat Ibnu Abdil Haq seperti orang yang berkhotbah. Demikian pula istrinya jika ayahnya mengakui (sebagai anaknya) dan suaminya tidak membenarkannya, maka nasab itu tetap dan pernikahannya tidak fasakh, dan tidak mengkhususkan wudhunya atas kesengajaan dan amanah dari sebagian hukum. Sebagian ulama berkata, “Dan tidaklah bagi orang yang dinikahi untuk tinggal kecuali bersamanya.” Ini adalah (perkataannya), “Meskipun mayat.” Dan demikian pula kebalikannya, seandainya dikatakan, “Meskipun salah satunya mayat,” maka itu lebih umum. Dan telah terjadi pada Imam Nawawi dalam Rau’us al-Masa’il bahwa beliau kembali dari pendapat tidak batalnya wudhu’ dengan menyentuh mayat laki-laki dan perempuan, dan itu dianggap dari kelupaan. Dan tidak batal wudhunya mayat. (Perkataannya, “Dan yang dimaksud dengan laki-laki dan perempuan adalah dzakar dan unsta, dst.”) Yaitu, dan yang dimaksud dengan keduanya bukanlah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa, meskipun itu hakikat keduanya. Dan yang dikecualikan adalah anak laki-laki dan anak perempuan, meskipun keduanya telah mencapai batas syahwat. (Perkataannya, “Mencapai batas syahwat”) Yaitu, dengan yakin. Maka jika ragu, maka tidak batal. Dan tolok ukur syahwat adalah ereksi alat kelamin laki-laki dan condongnya hati pada perempuan. Dan perkataannya, “Menurut kebiasaan,” yaitu menurut pemilik tabiat yang sehat, seperti Imam Syafi’i dan wanita yang suci hatinya. Maka tidak batal (wudhunya) anak laki-laki kecil dan anak perempuan kecil yang keduanya belum mencapai batas syahwat, berbeda dengan keduanya yang telah mencapai batas syahwat meskipun setelah itu hilang (syahwatnya) karena usia tua, karena tidak ada sesuatu yang jatuh kecuali ada yang memungutnya.

(وقوله والمراد بالمحرم ) أى الذي هو مفهوم من نكاحها ونكاح أمهاتها الأجنبية السابقة أي الذي هو مفهوم الأجنبية (قوله من حرم نكاحها) خرج بذلك من لا يحرم نكاحها وهي الأجنبية السابقة وقوله لأجل نسب أو قرابة كما فى الأم والبنت والأخت وقوله أو رضاع كالأم من الرضاع وقوله أو مصاهرة أى ارتباط يشبه القرابة كما في أم الزوجة وبنتها وزوجة الأب وزوجة الابن وخرج بذلك أخت الزوجة وعمتها وخالتهم أم الموطوءة بشبهة بنتها وزوجاته صلى الله عليه وسلم فإن كلامنهن ليس محرما لأن تحريم ليس بنكاحهن لأجل نسب ولارضاع ولامصاهرة ولاجل التوضيح عدل عن قولهم في تعريف المحرم من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها فخرج بقولهم على التأبيد أخت الزوجة بنتها وعمتها وخالتها فإن تحريمهن ليس على التأبيد بل من جهة الجمع وبقولهم بسبب مباح بنت المطوأة بشبهة أمها لأن تحريمهما ليس بسبب مباح إذ وطئ الشبهة لايتصف بإباحة ولاغيرها وبقولهم لحرمتها زوجاته صلى الله عليه وسلم فإن تحريمهن لحرمته صلى الله عليه وسلم

(Ucapan penulis: “Yang dimaksud dengan mahram”) yaitu orang yang dipahami sebagai mahram dari pernikahan wanita tersebut dan pernikahan ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya, maksudnya adalah orang yang dipahami sebagai bukan mahram (ucapan penulis: “orang yang haram dinikahi”) mengecualikan orang yang tidak haram dinikahi, yaitu ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya (ucapan penulis: “karena nasab atau kekerabatan”) seperti ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan (ucapan penulis: “atau karena persusuan”) seperti ibu susuan (ucapan penulis: “atau karena mushaharah”) yaitu hubungan yang menyerupai kekerabatan, seperti ibu mertua, anak perempuan tiri, ibu tiri, dan menantu perempuan. Dikecualikan dari pengertian mahram ini adalah saudara perempuan istri, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat, anak perempuannya, dan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena mereka ini tidak termasuk mahram, sebab keharaman menikahi mereka bukan karena nasab, bukan karena persusuan, dan bukan karena mushaharah. Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, penulis tidak menggunakan definisi mahram yang biasa diungkapkan oleh para ulama, yaitu “orang yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (dibolehkan) karena kemuliaannya”. Ungkapan “selamanya” mengecualikan saudara perempuan istri, anak perempuannya, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu, karena keharaman menikahi mereka tidak bersifat selamanya, melainkan karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka dalam pernikahan. Ungkapan “karena sebab yang mubah” mengecualikan ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat dan anak perempuannya, karena keharaman menikahi mereka bukan karena sebab yang mubah, sebab persetubuhan karena syubhat tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mubah maupun tidak mubah. Ungkapan “karena kemuliaannya” mengecualikan istri-istri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, karena keharaman menikahi mereka adalah karena kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
(Perkataan pengarang) “Yang dimaksud dengan mahram” yaitu yang dipahami dari pernikahan wanita tersebut dan pernikahan ibu-ibu kandungnya yang bukan mahram sebelumnya, yaitu yang dipahami dari wanita yang bukan mahram.
(Perkataan pengarang) “yaitu wanita yang haram dinikahi”. Dengan demikian, tidak termasuk wanita yang tidak haram dinikahi, yaitu wanita yang bukan mahram sebelumnya.
(Perkataan pengarang) “karena nasab atau kekerabatan”, seperti ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan.
(Perkataan pengarang) “atau karena persusuan”, seperti ibu susuan.
(Perkataan pengarang) “atau karena pernikahan (mushaharah)”, yaitu hubungan yang menyerupai kekerabatan, seperti ibu mertua, anak perempuan tiri, istri ayah, dan istri anak laki-laki.
Dengan demikian, tidak termasuk saudara perempuan istri, bibi dari pihak ayah dan ibu, ibu dari wanita yang digauli karena syubhat, anak perempuannya, dan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena mereka semua tidak termasuk mahram, sebab keharaman menikahi mereka bukan karena nasab, persusuan, atau pernikahan.
Untuk memberikan penjelasan, pengarang beralih dari definisi mahram yang biasa diucapkan, yaitu “wanita yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (dibolehkan) karena kehormatannya”.
Dengan perkataan “selamanya”, maka tidak termasuk saudara perempuan istri, anak perempuannya, bibi dari pihak ayah dan ibu, karena keharaman menikahi mereka tidak bersifat selamanya, melainkan karena adanya larangan untuk mengumpulkan mereka (dalam satu pernikahan).
Dengan perkataan “karena sebab yang mubah”, maka tidak termasuk ibu dari wanita yang digauli karena syubhat dan anak perempuannya, karena keharaman menikahi mereka bukan karena sebab yang mubah, sebab persetubuhan karena syubhat tidak bersifat mubah atau tidak mubah.
Dengan perkataan “karena kehormatannya”, maka tidak termasuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena keharaman menikahi mereka adalah karena kehormatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

DILEMA PENGALIHAN FUNGSI WAKAF MUSHOLLAH MENJADI SEKOLAH

Dilema Pengalihan Fungsi Wakaf Mushollah Menjadi Sekolah: Perspektif Hukum di Indonesia

Deskripsi Masalah:
Seseorang telah mewakafkan sebidang tanah secara resmi dengan tujuan spesifik untuk dibangun mushollah yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan kegiatan mengaji. Mushollah tersebut telah berdiri dan digunakan sesuai dengan peruntukannya selama bertahun-tahun. Namun, seiring berjalannya waktu dan adanya perkembangan dari alumni santri, muncul inisiatif untuk mengubah fungsi mushollah menjadi sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA). Alasan perubahan ini adalah anggapan bahwa tujuan keduanya sama, yaitu untuk pendidikan. Akibatnya, mushollah dialihfungsikan menjadi sekolah, dan bangunan sekolah didirikan di atas lahan wakaf tersebut. Lebih lanjut, pengelolaan sekolah ini menghasilkan manfaat dan penghasilan yang digunakan untuk kepentingan pribadi pengelola.


Pertanyaan :
1.Menurut hukum wakaf yang berlaku di Indonesia, apakah diperbolehkan mengubah peruntukan tanah wakaf yang awalnya ditujukan secara spesifik untuk mushollah menjadi sekolah (TK/RA)?
2.Apabila perubahan peruntukan wakaf tersebut tidak diperbolehkan menurut hukum, bagaimana status hukum bangunan sekolah yang telah terlanjur didirikan di atas lahan wakaf tersebut?

Waalaikumsalam
Jawaban

Jawaban 1:
Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf dari Mushollah Menjadi Sekolah (TK/RA)
Tidak diperbolehkan mengubah peruntukan tanah wakaf yang telah ditetapkan secara spesifik untuk mushollah menjadi sekolah (TK/RA). Hal ini didasarkan pada prinsip utama dalam hukum wakaf yang menyatakan bahwa syarat pewakif (orang yang mewakafkan) harus diikuti dan dihormati.

Jawaban 2:
Status Hukum Bangunan Sekolah yang Terlanjur Didirikan di Atas Lahan Wakaf
Apabila perubahan peruntukan wakaf tersebut tidak diperbolehkan menurut hukum, maka status hukum bangunan sekolah yang telah terlanjur didirikan di atas lahan wakaf adalah tidak sah (ghasab/rampasan hak wakaf).

Kesimpulan:
Pengalihan fungsi tanah wakaf dari mushollah menjadi sekolah (TK/RA) dalam kasus ini tidak diperbolehkan menurut hukum wakaf di Indonesia, karena bertentangan dengan syarat spesifik yang ditetapkan oleh pewakif. Akibatnya, bangunan sekolah yang terlanjur didirikan di atas lahan wakaf tersebut berstatus tidak sah dan wajib dipertimbangkan untuk dikembalikan ke fungsi semula sesuai dengan wasiat wakif. Pengelolaan sekolah untuk kepentingan pribadi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pengelolaan wakaf.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini secara hukum, sebaiknya pihak-pihak terkait (nadzir wakaf, ahli waris pewakif jika masih ada, dan pihak pengelola sekolah) berkonsultasi dengan ahli hukum atau lembaga yang berwenang di bidang wakaf di Indonesia untuk mendapatkan solusi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Referensi


حاشية قليوبي (3 / 109)
تنبيه: لا يجوز تغيير شيء من عين الوقف، ولو لأرفع منهما فإن شرط الواقف العمل بالمصلحة اتبع شرطه، وقال السبكي: يجوز تغيير الوقف بشروط ثلاثة: أن لا يغير مسماه، وأن يكون مصلحة له كزيادة ريعه، وأن لا تزال عينه فلا يضر نقلها من جانب إلى آخر. نعم يجوز في وقف قرية على قوم إحداث مسجد ومقبرة وسقاية فيها
تحفة الحبيب على شرح الخطيب (3 / 627)
قوله: (وهو) أي الوقف من حيث صرفه غلته أو استحقاقه. قوله: (على ما شرط الخ) ما مصدرية أي مبني على اتباع شرط الواقف، أو موصولة أي اتباع ما شرطه الواقف ؛ فلو شرط الواقف أن لا يؤجر أو اختصاص نحو مسجد بطائفة اتبع شرطه رعاية لغرضه أي فشرطه كنص الشارع فلا يجوز العمل بخلافه. قوله: (الملك له) أي للواقف؛ لأنه إنما أنزل الملك عن فوائده، وهو مذهب مالك رضي الله عنه . وقوله (أم للموقوف عليه) وهو مذهب الإمام أحمد، والقولان ضعيفان في مذهبنا . قوله: (بمعنى أنه ينفك الخ) تفسير لمعنى الانتقال إليه تعالى، وإلا فكل الموجودات بأسرها ملك له تعالى في جميع الحالات بطريق الحقيقة، وغيره وإن سمي مالكاً فإنما هو بطريق التوسع والمجاز الشوري . قوله: (كما هو) أي قوله أم ينتقل إلى الله تعالى . قوله: (إذ مبنى الوقف) علة لقوله وهو على ما شرط الواقف ويلزم عليه تعليل الشيء بنفسه، فالأولى أن يعلل بقوله لأن شرط الواقف كنص الشارع شيخنا العشماوي وعلل في شرح المنهج بقوله رعاية لغرضه وعملاً بشرطه

Hasyiyah Qalyubi (3 / 109)
Peringatan: Tidak diperbolehkan mengubah sesuatu dari aset wakaf, meskipun dengan yang lebih tinggi nilainya. Jika pewakif mensyaratkan pelaksanaan sesuai kemaslahatan, maka syaratnya diikuti. Imam Subki berkata: Diperbolehkan mengubah wakaf dengan tiga syarat: tidak mengubah namanya, adanya kemaslahatan baginya seperti bertambahnya hasil, dan asetnya tetap ada meskipun dipindahkan dari satu sisi ke sisi lain tidak mengapa. Ya, diperbolehkan dalam wakaf suatu desa untuk suatu kaum, membangun masjid, kuburan, dan tempat minum di dalamnya.
Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khatib (3 / 627)
Perkataannya: (“وهو” – dananya) yaitu wakaf dari sisi penggunaan hasilnya atau haknya. Perkataannya: (“على ما شرط الخ” – sesuai dengan apa yang disyaratkan dll) “ma” di sini adalah mashdariyah (kata benda verbal) yaitu dibangun atas mengikuti syarat pewakif, atau mausulah (kata sambung) yaitu mengikuti apa yang disyaratkan pewakif; maka jika pewakif mensyaratkan untuk tidak disewakan atau dikhususkan untuk golongan tertentu seperti masjid, maka syaratnya diikuti karena menjaga tujuannya, yaitu syaratnya seperti nash syara’ maka tidak boleh menyelisihinya. Perkataannya: (“الملك له” – kepemilikan baginya) yaitu bagi pewakif; karena sesungguhnya ia hanya melepaskan kepemilikan dari manfaatnya, dan ini adalah mazhab Imam Malik radhiyallahu ‘anhu. Perkataannya: (“أم للموقوف عليه” – atau bagi pihak yang diwakafkan) dan ini adalah mazhab Imam Ahmad, dan kedua pendapat ini lemah dalam mazhab kami. Perkataannya: (“بمعنى أنه ينفك الخ” – dengan makna bahwa ia terlepas dll) adalah penjelasan makna perpindahan kepada Allah ta’ala, jika tidak demikian maka seluruh wujud adalah milik Allah ta’ala dalam segala keadaan secara hakiki, dan selain-Nya meskipun dinamakan pemilik, maka hanyalah secara perluasan dan majaz syurai. Perkataannya: (“كما هو” – sebagaimana adanya) yaitu perkataannya atau berpindah kepada Allah ta’ala. Perkataannya: (“إذ مبنى الوقف” – karena dasar wakaf) adalah illat (alasan) bagi perkataannya “وهو على ما شرط الواقف” (dananya sesuai dengan apa yang disyaratkan pewakif) dan mengharuskan adanya ta’lil (pemberian alasan) terhadap sesuatu dengan dirinya sendiri, maka yang lebih utama adalah memberikan alasan dengan perkataannya “karena syarat pewakif seperti nash syara'” (pendapat) Syaikhuna Al-‘Asymawi dan memberikan alasan dalam Syarhul Minhaj dengan perkataannya “karena menjaga tujuannya dan mengamalkan syaratnya”.

المجلد السابع من الفتاوى الفقهية الكبرى (7 / 200)
( وسئل ) رضي الله تعالى عنه عن أرض مشتركة على ثلاثة أرباعها وقف للغراس تهيأ لغيرها من سائر الضيعة وربعها طلق وقد صار لبعض أرباب الوقف بطريق الشراء وفي تلك الأرض مسجد صغير بناه الأوائل قبل أن يقف صاحب الثلاثة الأرباع حصته فاتفق أن أهل البلد يتركون تلك الضيعة بعض السنة من خوف الإفرنج ولم يكن في هذه الضيعة ماء سوى بركة واحدة بقرب المسجد المذكور واحتاجوا للمسجد فجاء بعض الناس وأحدث دكة شرقي المسجد بنية القرية ليصلي الناس عليها وجاء آخر وأحدث دكة أخرى قبلي المسجد أيضا واتصلت المنافذ من المسجد إلى الدكتين وأقاموا على هذا مدة . ولما رأى بعض أرباب الوقف حاجة الناس إلى المسجد واستمرت عادة البلد بالقلة إلى هذه الضيعة في كل سنة انتهض لعمارة تلك البقعة فأخرت الدكتين والمسجد وجعلهما مسجدا وقد بناه وخصصه بالجص طحة وسحنته فمنذ شرع في عمارته إلى الآن نحو اثني عشرة سنة والآن جمع شيئا من النورة وأراد ترميم المسجد وتفويضه فأشار إليه بعض طلبة العلم الشريف بأن بناء الأرض الموقوفة لا يجوز وأن ربعي أهل الوقف كان الفقهية حفظه الله تعالى لم ينظر المسألة فيما مضى من الزمان أو لم يحضره علم بالوقف وإلا فهذا الفقيه نفسه قد رام بناء هذه البقعة لما رأى حاجة الناس إلى المسجد فالآن المسجد قد بني والناس محتاجون له ولا في المدارك مسجد آخر غيره وقد بدا الخلل في سطحه وشرافاته إن لم يتدارك ويتعهد بالترميم وإلا خرب خرابا وأيضا عامر المسجد هو صاحب الربع . المطلق فلو أراد أن يعوض أهل الوقف بمثل مساحة المسجد أو بمثلها أو بتلك ريعة كله ويكون وقفا على مقتضى الوقف الأول فهل يثاب على ذلك ويخرج عن عهدة الإثم . فإن قلتم نعم فكيف صورة ذلك وإن قلتم لا فهل من حيلة أو رخصة ولو بتقليد بعض المذاهب في تبقية المسجد والاستمرار على عمارته وتعهده ولا تزال على المملوك بالشوال عن الرخصة فالأمر كما علمتم ولا يخفى كم مفسدة فإن قلتم لا رخصة ولا حيلة فهل تشيرون بخراب المسجد ومنع الصلاة فيه أم بالبقاء على حاله وتكلف وترميمه؟ وهما الحكم لو أن ذلك البني بني بأذن أرباب الوقف الكاملين ؟ فهل يسوغ لهم وله ذلك أم لا ؟ فإن قلتم لا يسوغ له ذلك وإن أذن له أرباب الوقف مراعاة لحق من سيأتي بعدهم من باقي البطون فهل تجب عليه المبادرة إلى هدم ورد الأرض إلى الحالة التي كانت عليها أو لا فإن قلتم نعم يجب عليه ذلك فلو أن الذي بناه امتنع من هدمه وحاول تثبيته ولم يرض بذلك فهل يجوز لكل أحد من الناس الصلاة والقعود فيه على الدوام ويصح الاعتكاف فيه لغيره أو لا فإن قلتم أيضا أو لا وهل يحرم على الجنب المكث فيه أو لا ولو أن ذلك البناء بناه مسجداً لما حكمه بعد ذلك هل ثوبهم هدم أم لا ولو أن في ذلك المسجد إماماً يصلي بالجماعة فيه دواماً فهل الأولى للشخص الصلاة معهم لأجل تحصيل ثواب فضيلة الجماعة أو الأولى تركه واعتزاله عنه وصلاته منفرداً بنيوا لنا ذلك ؟ ( فأجاب ) بقوله يجب هدم المسجد المذكور على كل من قدر على ذلك وإعادته على حالته الأولى لأن الواقف لما وقف بعض تلك الأرض للأغراض أبطل سائر وجوه الانتفاع بها بغير الغراس فلو جوزنا بناء مسجد فيها ولو بأذن الموقوف عليهم لزم إبطال غرض الواقف وتغيير معالم الوقف وذلك لا يجوز مطلقاً سواء احتاج الناس لمسجد أم لا وسواء أعوض باني تلك الزيادة على المسجد الأول أهل الوقف أضعافها أم لا نعم يجوز أن يرفع الأمر إلى حاكم يرى التعويض فإذا رفع إليه وحكم به جاز بناء تلك الزيادة والصلاة فيها وأما قبل الحكم بذلك فلا ينيت بتلك الزيادة أحكام المسجد ولا يجوز لأحد أن يقر بانيها على بنائها أو ترميمها ولا الصلاة فيها ولا الاعتكاف لأن الأرض حينئذ مغصوبة فيترتب على بانيها أحكام الغاصب إثماً وضماناً وزرعاً وغيره ولو كان باني تلك الزيادة يملك بعض أرضها فوقف ذلك البعض مسجداً ثبت لتلك حكم المسجد في حرمة الجلوس فيه على الجنب لا يرمى سواه ووقف ذلك البعض مسجداً لا يمنع البناء وجوب الهدم عليه بل يحرم عليه البناء ويجب هدمه ولا يجوز لأحد صلاة ولا اعتكاف فيه إن كان قد وقف ما ملكه مسجداً ، والله تعالى أعلم .

Fatwa-Fatwa Fikih Besar (7/200)
(Dan ditanyakan) – semoga Allah Ta’ala meridainya – tentang tanah musyarakah (milik bersama) yang tiga perempatnya diwakafkan untuk perkebunan yang disiapkan untuk selainnya dari seluruh perkebunan, dan seperempatnya adalah tanah merdeka yang telah menjadi milik sebagian pemilik wakaf melalui pembelian. Di tanah tersebut terdapat masjid kecil yang dibangun oleh orang-orang terdahulu sebelum pemilik tiga perempat tanah tersebut mewakafkan bagiannya. Kemudian terjadi bahwa penduduk negeri meninggalkan perkebunan tersebut sebagian tahun karena takut kepada orang-orang Frank (Eropa), dan di perkebunan tersebut tidak ada air kecuali satu kolam di dekat masjid yang disebutkan. Mereka membutuhkan masjid tersebut, lalu datanglah sebagian orang dan membuat serambi di timur masjid dengan niat untuk perkampungan agar orang-orang dapat salat di atasnya. Datang pula orang lain dan membuat serambi lain di selatan masjid juga, dan terhubunglah jalan masuk dari masjid ke kedua serambi tersebut, dan mereka tinggal dalam keadaan ini selama beberapa waktu. Ketika sebagian pemilik wakaf melihat kebutuhan orang-orang terhadap masjid dan kebiasaan penduduk untuk sedikit datang ke perkebunan ini setiap tahun terus berlanjut, ia berinisiatif untuk memakmurkan tempat tersebut, lalu ia mengakhirkan kedua serambi dan masjid, dan menjadikannya masjid, dan ia telah membangun dan mengkhususkannya dengan plester yang rata dan halus. Sejak ia mulai membangunnya hingga sekarang sekitar dua belas tahun, dan sekarang ia mengumpulkan sedikit kapur dan ingin merenovasi masjid dan menyerahkannya. Lalu sebagian penuntut ilmu yang mulia mengisyaratkan kepadanya bahwa membangun di atas tanah wakaf tidak diperbolehkan, dan bahwa seperempat bagian pemilik wakaf – semoga Allah Ta’ala menjaganya – tidak melihat masalah ini di masa lalu atau tidak hadir ilmunya tentang wakaf, jika tidak, maka ahli fikih ini sendiri telah berkeinginan untuk membangun tempat ini ketika melihat kebutuhan orang-orang terhadap masjid. Sekarang masjid telah dibangun dan orang-orang membutuhkannya, dan tidak ada masjid lain di perkampungan selainnya, dan telah tampak kerusakan pada atap dan serambi-serambinya, jika tidak segera diperbaiki dan dipelihara, maka akan rusak parah. Dan juga, orang yang memakmurkan masjid adalah pemilik seperempat tanah yang merdeka. Jika ia ingin mengganti kepada pemilik wakaf dengan luas masjid yang sama atau lebih, atau dengan seluruh hasil tanah tersebut dan menjadikannya wakaf sesuai dengan ketentuan wakaf pertama, maka apakah ia akan diberi pahala atas hal tersebut dan terlepas dari tanggung jawab dosa? Jika kalian menjawab ya, maka bagaimana bentuknya? Jika kalian menjawab tidak, maka apakah ada siasat atau keringanan, meskipun dengan mengikuti sebagian mazhab dalam mempertahankan masjid dan terus memakmurkan serta memeliharanya, dan tetap ada hak milik atas bagian yang merdeka? Karena kebolehan itu sebagaimana kalian ketahui, dan tidak tersembunyi betapa besar kerusakannya. Jika kalian menjawab tidak ada keringanan dan tidak ada siasat, maka apakah kalian menyarankan untuk menghancurkan masjid dan melarang salat di dalamnya, atau tetap membiarkannya dalam keadaan semula dan bersusah payah merenovasinya? Dan keduanya adalah hukum jika bangunan tersebut dibangun dengan izin dari pemilik wakaf yang sempurna? Apakah diperbolehkan bagi mereka dan baginya untuk melakukan hal tersebut atau tidak? Jika kalian menjawab tidak diperbolehkan baginya, meskipun pemilik wakaf mengizinkannya karena memperhatikan hak orang-orang yang akan datang setelah mereka dari keturunan yang tersisa, maka apakah wajib baginya untuk segera menghancurkan dan mengembalikan tanah ke keadaan semula atau tidak? Jika kalian menjawab ya, wajib baginya melakukan hal tersebut, maka jika orang yang membangunnya menolak untuk menghancurkannya dan berusaha untuk mempertahankannya dan tidak ridha dengan hal tersebut, maka apakah diperbolehkan bagi setiap orang untuk salat dan duduk di dalamnya secara terus-menerus dan sah untuk beriktikaf di dalamnya bagi selainnya atau tidak? Jika kalian menjawab ya atau tidak, maka apakah haram bagi orang junub untuk berdiam diri di dalamnya atau tidak? Dan jika bangunan tersebut dibangun sebagai masjid, bagaimana hukumnya setelah itu? Apakah pahala mereka terhapus atau tidak? Dan jika di dalam masjid tersebut ada seorang imam yang selalu salat berjamaah di dalamnya, maka apakah yang lebih utama bagi seseorang, salat bersama mereka untuk mendapatkan pahala keutamaan berjamaah, atau lebih utama meninggalkannya dan menyendiri darinya serta salat sendiri? Jelaskanlah kepada kami hal tersebut?
(Maka dijawab) dengan perkataannya: Wajib menghancurkan masjid yang disebutkan atas setiap orang yang mampu melakukannya dan mengembalikannya ke keadaan semula, karena orang yang mewakafkan sebagian tanah tersebut untuk tujuan perkebunan telah membatalkan seluruh bentuk pemanfaatan lainnya selain untuk perkebunan. Jika kita membolehkan membangun masjid di atasnya meskipun dengan izin dari orang-orang yang diwakafkan kepadanya, maka akan mengakibatkan pembatalan tujuan orang yang mewakafkan dan perubahan ciri-ciri wakaf, dan hal itu tidak diperbolehkan secara mutlak, baik orang-orang membutuhkan masjid atau tidak, dan baik orang yang membangun tambahan pada masjid pertama mengganti kepada pemilik wakaf berlipat ganda atau tidak. Ya, diperbolehkan untuk mengajukan masalah ini kepada hakim yang melihat adanya penggantian. Jika masalah tersebut diajukan kepadanya dan ia memutuskan demikian, maka diperbolehkan membangun tambahan tersebut dan salat di dalamnya. Adapun sebelum adanya keputusan tersebut, maka tidak berlaku hukum-hukum masjid pada tambahan tersebut, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk mengakui orang yang membangunnya atas bangunannya atau renovasinya, dan tidak pula salat di dalamnya atau beriktikaf, karena tanah tersebut pada saat itu adalah tanah yang dirampas, maka berlaku bagi orang yang membangunnya hukum-hukum perampas berupa dosa, tanggung jawab ganti rugi, penanaman, dan lain-lain. Dan jika orang yang membangun tambahan tersebut memiliki sebagian tanah tersebut lalu ia mewakafkan sebagian tersebut sebagai masjid, maka berlaku bagi bagian tersebut hukum masjid dalam hal haramnya duduk di dalamnya bagi orang junub, tidak boleh dilempari selainnya. Dan mewakafkan sebagian tanah tersebut sebagai masjid tidak mencegah kewajiban menghancurkan bangunan tersebut, bahkan haram baginya membangunnya dan wajib menghancurkannya, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun salat atau beriktikaf di dalamnya jika ia telah mewakafkan apa yang dimilikinya sebagai masjid, dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui.

الأشباه والنظائر للسيوطي (ص: 162)
( قوله ولو يخف من إخراجها تلف معصوم ) قيد في السفينة فقط ، وأما في البناء فتنقلع ولو تلف بسبب القلع أضعاف قيمتها من مال الغاصب لا من مال غيره ا هـ . س ل لكن قول الشارح الآتي ولو يخف تلف المعصوم في الأولى من زيادتي صريح في أنه قيد في الأولى أيضاً ، وعبارة شرح م ر ولو غصب خشبة مثلا وبنى عليها في ملكه أو غيره ولم يخف من إخراجها تلف نحو نفس أو مال معصوم أخرجت ولو تلف من مال الغاصب أضعاف قيمتها لتعديه انتهت . ( قوله ولم يخف من إخراجها ) الظاهر أن المراد بالتلف ما يشمل نقص الصفة كابتلال القمح ا هـ . ح ل . ( قوله تلف معصوم ) أي ولو لغاصب قال ابن النقيب وينبغي أن يلحق به ما يبيح التيمم إلا الشيئ أي في غير الآدمي ا هـ

Al-Asybah wa an-Nazhair li as-Suyuthi (hal. 162)
(Perkataan pengarang: “Walaupun dikhawatirkan dengan mengeluarkannya akan merusak barang yang terjaga”) Ini hanya berlaku pada kapal. Adapun pada bangunan, maka bangunan itu dicabut meskipun karena pencabutan itu nilai barang yang dirusak berlipat ganda dari harta orang yang merampas, bukan dari harta orang lain. S (Syekh Sulaiman al-Jamal) berkata: Akan tetapi perkataan pensyarah yang akan datang, “Walaupun dikhawatirkan rusaknya barang yang terjaga pada kasus pertama dari tambahanku,” jelas menunjukkan bahwa itu juga berlaku pada kasus pertama. Dan ibarat Syarah M.R. (Syarah al-Minhaj): “Walaupun seseorang merampas kayu misalnya dan membangunnya di tanah miliknya atau tanah orang lain, dan tidak dikhawatirkan dengan mengeluarkannya akan merusak seperti jiwa atau harta yang terjaga, lalu dikeluarkan, dan jika rusak dari harta orang yang merampas berlipat ganda nilainya karena tindakannya yang melampaui batas, maka selesai.” (Perkataan pengarang: “Dan tidak dikhawatirkan dengan mengeluarkannya akan rusak”) Yang tampak adalah bahwa yang dimaksud dengan rusak mencakup berkurangnya sifat, seperti basahnya gandum. H.L. (Hasyiyah al-Hamawi ‘ala Syarah al-Minhaj) berkata. (Perkataan pengarang: “Barang yang terjaga”) Yakni walaupun bagi perampas. Ibnu Naqib berkata: Seyogianya diikutkan dengannya apa yang membolehkan tayamum kecuali sesuatu (najis) yaitu selain manusia. H.

القاعدة الأربعون إذا اجتمع السبب والفروع والمباشرة قدمت المباشرة من فروعها لو أكل المالك طعامه المغصوب جاهلاً به فلا ضمان على الغاصب في الأظهر ……….. إلى أن قال ……… ومنها إذا أفتاه أهل الفتوى بإتلاف ثم تبين خطؤه فالضمان على المفتي

Kaidah keempat puluh: Jika berkumpul sebab, cabang, dan tindakan langsung, maka didahulukan tindakan langsung dari cabangnya. Jika pemilik memakan makanannya yang dirampas karena tidak tahu, maka tidak ada tanggungan atas perampas menurut pendapat yang lebih kuat. … Hingga perkataannya … Di antaranya adalah jika ahli fatwa memberikan fatwa untuk merusak, kemudian jelas kesalahannya, maka tanggungan ada pada pemberi fatwa.

Kategori
Uncategorized

KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PASIR

Konflik Kepentingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pasir Sungai

Deskripsi Masalah:

Pembangunan rumah individu mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, didorong oleh perkembangan lapangan kerja yang maju dan peningkatan pendapatan ekonomi. Di sisi lain, ketersediaan bahan bangunan semakin terbatas. Sebagai alternatif, sebagian masyarakat mengambil pasir dari sungai. Sungai sendiri merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia, tidak hanya untuk irigasi tetapi juga mengandung berbagai sumber daya alam yang bermanfaat, termasuk pasir yang menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian penambang. Ironisnya, beberapa penambang pasir mengklaim kepemilikan atas area sungai tertentu dan melarang orang lain untuk mengambil pasir di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa tanah di tepi sungai adalah milik mereka.

Pertanyaan:

  1. Benarkah pasir yang ada dalam sungai yang terletak di kanan-kiri tanah milik seseorang milik orang tersebut.?
  2. Bagaimana hukum penambang pasir yang melarang orang lain untuk mengambilnya dengan alasan di atas
  3. Bagaimana jika orang lain mengambil pasir tersebut?

Waalaikumsalam

Jawaban.No.1
Menurut Hukum Islam
Tidak benar secara mutlak bahwa pasir yang ada di dalam sungai yang terletak di kanan-kiri tanah milik seseorang otomatis menjadi milik orang tersebut. Dalam perspektif fikih, air sungai adalah milik bersama (mubah) dan semua orang berhak memanfaatkannya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik:

النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ


“Manusia berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput, dan api.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Kitab Ahkam, Bab Al-Hurum, nomor hadis 2471.
Imam Ibnu Majah sendiri menilai sanad hadis ini sebagai jayyid , yang berarti baik.
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa, sumber daya alam seperti air sungai pada dasarnya adalah untuk kepentingan umum dan tidak dapat dikuasai secara eksklusif oleh individu hanya karena kepemilikan tanah di tepiannya.
Meskipun demikian, ada beberapa detail yang perlu diperhatikan dalam fikih yaitu:
Hak Mendahului (Sabq): Jika seseorang atau suatu kaum pertama kali memanfaatkan air sungai untuk mengairi tanahnya dan air tersebut menjadi terbatas, maka mereka lebih berhak atas air tersebut hingga batas yang wajar (disebutkan dalam referensi hingga “dua telapak tangan”).

Pemanfaatan Skala Kecil: Pengambilan air atau mungkin juga pasir dalam skala kecil untuk kebutuhan pribadi dan tidak merugikan orang lain atau lingkungan mungkin memiliki pandangan yang lebih toleran dalam batasan urf (kebiasaan setempat) yang tidak bertentangan dengan prinsip umum.

Menurut Hukum Positif Indonesia:

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, kepemilikan tanah di tepi sungai tidak memberikan hak kepemilikan atas sumber daya alam di dalam sungai, termasuk pasir. Sungai dan isinya adalah milik negara.

Jawaban.No.2
Menurut Hukum Islam.
Tindakan penambang pasir yang melarang orang lain mengambil pasir dari sungai hanya dengan alasan kepemilikan tanah di tepi sungai tidak memiliki dasar yang kuat dalam fikih. Mengingat prinsip bahwa air sungai (dan sumber daya di dalamnya) adalah milik bersama, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk menghalang-halangi orang lain memanfaatkannya, kecuali dalam kondisi yang sangat spesifik seperti hak mendahului dalam pengairan.
Jika pelarangan tersebut disertai dengan tindakan yang merugikan atau melampaui batas, maka hal itu dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Menurut Hukum Positif Indonesia:

Tindakan penambang pasir yang melarang orang lain mengambil pasir dari sungai dengan alasan kepemilikan tanah di tepi sungai adalah tidak memiliki dasar hukum. Mereka tidak memiliki hak eksklusif atas sumber daya alam di dalam sungai.
Jika tindakan pelarangan tersebut disertai dengan paksaan atau ancaman, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum dan pihak yang dirugikan dapat melaporkannya kepada pihak berwenang.

Jawaban. No.3

Menurut Hukum Islam :
Jika orang lain mengambil pasir dari sungai, hukumnya akan bergantung pada beberapa faktor:
-Skala Pengambilan: Pengambilan dalam skala kecil untuk kebutuhan pribadi mungkin ditoleransi dalam batasan urf selama tidak merugikan lingkungan atau kepentingan umum.

-Dampak Lingkungan: Pengambilan pasir dalam skala besar yang merusak lingkungan sungai dan ekosistemnya akan dilarang dalam Islam berdasarkan prinsip dharar (bahaya) dan larangan merusak alam.
-Izin dari Penguasa (Pemerintah): Dalam konteks modern, di mana pengelolaan sumber daya alam diatur oleh negara, mengambil pasir tanpa izin dari pihak yang berwenang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap regulasi yang ditetapkan untuk ketertiban dan kemaslahatan umum.

Menurut Hukum Positif Indonesia:

Jika orang lain mengambil pasir dari sungai tanpa izin yang sah dari pihak berwenang (pemerintah), maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai penambangan ilegal. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam.
Sanksi bagi penambangan ilegal dapat berupa teguran, penghentian kegiatan, denda, hingga pidana, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam.

Kesimpulan dengan Mengintegrasikan Hukum Islam dan Hukum Positif:
Baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, sungai dan sumber daya alam di dalamnya, termasuk pasir, pada dasarnya adalah untuk kepentingan umum. Kepemilikan tanah di tepi sungai tidak secara otomatis memberikan hak kepemilikan eksklusif atas pasir di dalamnya. Melarang orang lain mengambil pasir hanya dengan alasan kepemilikan tanah tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Pengambilan pasir dari sungai, terutama dalam skala besar, harus dilakukan dengan izin yang sah dari pihak berwenang dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penambangan ilegal dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penting untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam sungai, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan umum sebagaimana ditekankan dalam ajaran Islam dan hukum positif.

Referensi

حاشية الجمل، ٣/٥٧٤و (القليوبي، ٢/٣١١) و (ضوء البدر، ١٤-٩) و (المحلي بهامش حاشيتان قليوبي وعميرة، ٢/١٦)

(والماء المباح) كالنهر والوادي والسيل (يستوي الناس فيه) بأن يأخذ كل منهم ما يشاء منه لغير الناس شركاء في ثلاثة في الماء والكلأ والنار رواه ابن ماجه بإسناد جيد (فإن أراد قوم سقي أرضهم منه) أي من الماء المباح (فضاق) الماء عنهم وبعضهم أحيا أولاً (سبق الأول) فالأول فيحيي كل منهم الماء (إلى) أن يبلغ (الكفين) لأنه قضى بذلك رواه أبو داود بإسناد حسن والحاكم وصححه على شرط الشيخين (ويُفرز كل من مرتفع ومنخفض بسقيه) بأن يسقي أحدهما حتى يبلغ الكفين، ثم يسد، ثم يسقي الآخر، وخرج بئر ضاق ماؤها إذا كان يفي بالجميع فيسقى من شاء منهم متى شاء وتغييري بالأول أولى من تغييره بالأعلى ومن عبر بالاقرب جرى على الغالب من أن من أحيا بقعة يخرص على قربها من الماء فمن لما فيه من سهولة السقي وخفة المؤونة وقرب الغراس من الماء ومن هنا يُقدَّم الأقرب إلى النهر إن أحيوا دفعة أو جهل السابق، ولا يبعد القول بإقراء ذكره الأذرعي (وما أخذ منه) أي من الماء المباح بيد أو ظرف كإناء أو حوض مسدود فهو أعم من قوله في إناء (ملك) كالاختلاط والاحتشاش ولو رده إلى محله لم يصر شريكاً به وخرج بأخذ الماء المباح الداخل في نهر فحفر فإنه باق على إباحته لكن مالك النهر أحق به كالسيل يدخل في ملكه قوله كالنهر والوادي إلخ. قال في الروض وعمارة هذه الأنهار من بيت المال ولكل بناء قنطرة وركى عليها إن كانت في فوات أو في ملكه، فإن كانت بين العمران فالقنطرة كالحفر للبئر في الشرع للمسلمين والرحى يجوز بناؤها إن لم تضر بالملاك. اهـ وانظر حيث جاز بناء الرحى هل يشكل بنائه تصرف في حريم النهر، وهو ممتنع، وإن كان في موات إلا أن يفرض البناء في غير حريمه أو يقال الممتنع بناء حريمه للمالك لا للانتفاع به، ولو بينا بناء الرحى حيث لا يضر ويضر هذا أقرب فليحرر اهـ. (قوله يستوي الناس فيه) أي فلا يملك بإقطاع ولا يثبت فيه تحجر وكذا حكم حائقي النهر فلا يجوز للإمام بيع شيء منه ولا إقطاعه، وقد عمت البلوى بالبناء على حافتي النهر كما عمت بالبناء في القرافة وهى المسنة.

Hasyiyah al-Jamal, 3/574 dan (al-Qalyubi, 2/311) dan (Dhaw’ al-Badr, 9-14) dan (al-Mahalli dengan catatan kaki Hasyiyatan Qalyubi wa ‘Umairah, 2/16)

(Air yang mubah) seperti sungai, lembah, dan air bah (manusia sama di dalamnya) yaitu setiap orang boleh mengambil sekehendaknya darinya untuk selain Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik (Jika suatu kaum ingin mengairi tanah mereka darinya) yaitu dari air yang mubah (lalu air itu sempit) bagi mereka dan sebagian mereka menghidupkan tanah lebih dahulu (maka yang pertama lebih berhak) maka yang pertama lebih berhak menghidupkan seluruh air (hingga) mencapai (dua telapak tangan) karena telah diputuskan demikian, diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dan Al-Hakim mensahihkannya sesuai syarat Bukhari dan Muslim (dan setiap orang dari tempat tinggi maupun rendah menyiram dengan giliran) yaitu salah seorang menyiram hingga mencapai dua telapak tangan, kemudian menutupnya, lalu yang lain menyiram, dan dikecualikan sumur yang airnya sedikit jika mencukupi untuk semua maka boleh disiram oleh siapa saja di antara mereka kapan saja ia mau dan mengubah urutan yang pertama lebih utama daripada mengubah urutan yang atas dan orang yang melewati tempat yang lebih dekat mengikuti kebiasaan bahwa orang yang menghidupkan suatu tempat memperkirakan kedekatannya dengan air maka barang siapa yang di dalamnya terdapat kemudahan menyiram, ringan biaya, dan dekatnya tanaman dengan air maka dari sini didahulukan yang lebih dekat ke sungai jika mereka menghidupkan sekaligus atau tidak diketahui siapa yang lebih dahulu, dan tidak jauh pendapat yang mengatakan dengan memberi izin sebagaimana yang disebutkan Al-Adzra’i (dan apa yang diambil darinya) yaitu dari air yang mubah dengan tangan atau wadah seperti bejana atau kolam tertutup maka ini lebih umum dari perkataannya dalam bejana (adalah milik) seperti bercampur dan berkumpul meskipun ia mengembalikannya ke tempatnya maka ia tidak menjadi sekutu di dalamnya dan dikecualikan mengambil air mubah yang masuk ke sungai lalu menggali maka ia tetap dalam kemubahannya akan tetapi pemilik sungai lebih berhak atasnya seperti air bah masuk ke dalam miliknya perkataannya seperti sungai dan lembah dll. Berkata dalam Ar-Raudh dan Umairah sungai-sungai ini dari Baitul Mal dan setiap bangunan jembatan dan bendungannya di atasnya jika berada di tanah yang tidak bertuan atau miliknya, maka jika berada di antara permukiman maka jembatan itu seperti menggali sumur dalam syariat untuk kaum muslimin dan kincir air boleh dibangun jika tidak membahayakan pemiliknya. Selesai. Dan perhatikan di mana boleh membangun kincir air apakah pembangunannya termasuk tasarruf (penggunaan) di sempadan sungai yang dilarang, dan jika di tanah yang tidak bertuan kecuali jika pembangunan itu di luar sempadannya atau dikatakan yang dilarang adalah membangun sempadannya untuk pemilik bukan untuk memanfaatkannya, dan jika kita menjelaskan pembangunan kincir air di tempat yang tidak membahayakan dan membahayakan ini lebih dekat maka hendaknya diteliti. Selesai. (Perkataannya manusia sama di dalamnya) yaitu maka tidak dimiliki dengan pemberian dan tidak tetap di dalamnya penguasaan dan demikian pula hukum dinding sungai maka tidak boleh bagi imam menjual sesuatu darinya atau memberikannya, dan sungguh telah merata musibah pembangunan di tepi sungai sebagaimana merata pembangunan di kuburan yaitu tempat penguburan yang lama.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

KEUTAMAAN HARI DAN PAÑCAWARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM: ANTARA DALIL SYAR’I DAN TRADISI JAWA

 Keutamaan Hari dan Pañcawara dalam Perspektif Islam: Antara Dalil Syar’i dan Tradisi Jawa
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah:
Sistem penanggalan Jawa dengan siklus lima harian (Pañcawara: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) masih digunakan masyarakat, seringkali dikombinasikan dengan hari dalam kalender Islam untuk menentukan waktu baik pelaksanaan acara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai landasan syar’i keutamaan hari dan pandangan Islam terhadap praktik penggabungan tersebut.
Pertanyaan
1.Apakah ada dalil dalam ajaran Islam yang menjelaskan tentang keutamaan hari-hari tertentu, baik dalam kalender Islam maupun kaitannya dengan Pañcawara?
 
2.Bagaimana pandangan Islam terhadap penggunaan kombinasi hari dalam kalender Islam dan Pañcawara untuk menentukan waktu pelaksanaan acara?
 
Waalaikumsalam
 
Jawaban No. 1:
Tidak ada dalil khusus dalam ajaran Islam (Al-Qur’an maupun Hadis) yang secara spesifik menjelaskan tentang keutamaan hari-hari dalam siklus Pañcawara (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) sebagaimana yang disebutkan dalam deskripsi masalah. Akan tetapi kalau hari  dalam seminggu ada Keutamaannya berdasarkan  dalil dan sejarah pernikahan Para Nabi  serta kalender Hijriah, yaitu  hari Jumat  yang memiliki keutamaan yang jelas dalam banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun demikian, keutamaan hari Jumat tersebut tidak dikaitkan dengan penamaan hari dalam sistem Pañcawara ( tanpa dikaitkan dengan jum’at legi/manis)
Keutamaan ini didasarkan pada peristiwa penting yang terjadi pada hari tersebut, amalan ibadah yang dianjurkan, atau keberkahan yang dilimpahkan oleh Allah SWT. Beberapa hari yang memiliki keutamaan dalam Islam antara lain:
 Hari Jumat (Yaumul Jum’ah): Hari Jumat merupakan hari yang paling utama dalam sepekan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (Surah Al-Jumu’ah: 9-10) tentang kewajiban melaksanakan shalat Jumat dan larangan berdagang saat adzan dikumandangkan. Rasulullah SAW juga bersabda mengenai keutamaan hari Jumat, di antaranya:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ».  [صحيح] – [رواه مسلم] – [صحيح مسلم: ٨٥٤]
 

Sebaik-baik hari yang matahari terbit di dalamnya adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu ia dimasukkan ke surga, dan pada hari itu pula ia dikeluarkan darinya. (HR. Muslim)


وَعَنْ سَلْمَانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَومَ الجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى )) رَوَاهُ البُخَارِي


Salman radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jumat, bersuci semampunya, berminyak dari minyaknya, mengenakan wewangian dari rumahnya, kemudian ia keluar lalu tidak memisahkan antara dua orang yang sedang duduk, kemudian ia melakukan shalat sebagaimana yang telah ditetapkan untuknya, lalu diam ketika imam berbicara, melainkan diampuni baginya dosa-dosa yang ada di antara Jumat tersebut dan Jumat yang lain.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 883]
 
 Hari Senin dan Kamis: Rasulullah SAW sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab:


ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ, وَبُعِثْتُ فِيهِ, أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ


 “Hari Senin adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus (sebagai nabi).” (HR. Muslim)

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
 

“Amal-amal diperhadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka amalku diperhadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi)
 Hari-hari dalam Bulan Ramadhan: Seluruh hari dalam bulan Ramadhan memiliki keutamaan yang agung karena merupakan bulan diturunkannya Al-Qur’an, diwajibkannya puasa, dan dilipatgandakannya pahala ibadah. Terdapat pula malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.
 Hari-hari dalam Bulan Dzulhijjah (terutama 10 hari pertama): Rasulullah SAW bersabda:


مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّام. يَعْنِي أَيَّامُ الْعُشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ. (رواه البخاري)


  “Tidak ada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh (awal Dzulhijjah).” (HR. Bukhari)
 Hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah): Hari ini memiliki keutamaan yang sangat besar, terutama bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Puasa pada hari Arafah bagi yang tidak berhaji dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. (HR. Muslim)
 Hari ‘Asyura (10 Muharram): Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas keselamatan Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Fir’aun.
Penting untuk dicatat: Dalil-dalil dalam Islam hanya menyebutkan keutamaan hari-hari tertentu dalam kalender Islam (hijriyah). Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang secara spesifik menyebutkan keutamaan hari-hari dalam sistem Pañcawara Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) atau mengaitkannya dengan keberkahan dalam Islam. Sistem Pañcawara merupakan warisan budaya yang berkembang di luar konteks ajaran Islam.


Jawaban .No.2
Pandangan Islam Terhadap Penggunaan Kombinasi Hari Islam dan Pañcawara untuk Menentukan Waktu Pelaksanaan Acara:
Dalam Islam, penentuan waktu pelaksanaan suatu acara, termasuk pernikahan atau hajatan, sebaiknya didasarkan pada kemudahan, ketersediaan, dan tidak bertentangan dengan syariat. Tidak ada larangan eksplisit dalam Islam untuk melaksanakan acara pada hari tertentu dalam kalender Jawa (misalnya Jumat Legi atau Kamis Kliwon) selama tidak ada keyakinan bahwa hari-hari tersebut memiliki kekuatan magis atau menentukan keberuntungan secara Islami.
Namun, beberapa hal perlu diperhatikan terkait praktik ini:
 1.Niat dan Keyakinan: Jika pemilihan hari berdasarkan kombinasi kalender Islam dan Pañcawara didasari oleh keyakinan bahwa hari-hari tertentu dalam Pañcawara memiliki kekuatan supranatural atau dapat membawa keberuntungan dan kesialan secara Islami, maka hal ini dapat mengarah pada tahayul dan khurafat yang dilarang dalam Islam. Seorang Muslim hendaknya meyakini bahwa segala ketentuan, keberuntungan, dan musibah datang dari Allah SWT, bukan dari perhitungan hari atau benda-benda lainnya.

2. Mengutamakan Hari yang Utama dalam Islam: Lebih baik jika umat Islam mengutamakan hari-hari yang memang memiliki keutamaan dalam Islam (seperti hari Jumat) untuk melaksanakan ibadah atau acara-acara penting, dengan tetap tidak meyakini adanya pengaruh buruk dari hari-hari lainnya.

3. Tidak Mengganggu Ibadah: Pemilihan waktu pelaksanaan acara hendaknya tidak sampai mengganggu pelaksanaan ibadah wajib, seperti shalat lima waktu atau shalat Jumat bagi laki-laki.


4.Menghindari Tasyabbuh (Menyerupai Tradisi yang Bertentangan dengan Islam): Jika pemilihan hari berdasarkan Pañcawara dilakukan dengan motivasi untuk mengikuti tradisi yang diyakini memiliki unsur-unsur kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid Islam, maka hal ini perlu dihindari.


Kesimpulan:
Islam mengakui adanya keutamaan pada hari-hari tertentu dalam kalender Islam berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Sementara itu, sistem Pañcawara adalah tradisi budaya Jawa yang tidak memiliki landasan dalam ajaran Islam. Menggabungkan hari dalam kalender Islam dengan Pañcawara untuk menentukan waktu pelaksanaan acara diperbolehkan selama tidak disertai dengan keyakinan yang menyimpang dari aqidah Islam, seperti mempercayai kekuatan magis atau pengaruh keberuntungan dan kesialan dari hari-hari dalam Pañcawara. Umat Islam hendaknya lebih mengutamakan hari-hari yang memiliki keutamaan dalam Islam dan senantiasa bertawakkal kepada Allah SWT dalam segala urusan.

Referensi:


 
المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٩ ص٢٢٣
 
وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طُرُقٍ عَنْ عَدَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ذَكَرَ سَاعَةَ الإِْجَابَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْهَا مَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَال: فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَل اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ. وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا (٢)
وَعَنْ أَبِي لُبَابَةَ الْبَدْرِيِّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الأَْيَّامِ وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ. . . فِيهِ خَمْسُ خِلاَلٍ فَذَكَرَ مِنْهُنَّ: وَفِيهِ سَاعَةٌ لاَ يَسْأَل اللَّهَ فِيهَا الْعَبْدُ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ مَا لَمْ يَسْأَل – حَرَامًا (٣) .
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ وَالْمُحَدِّثُونَ فِي تَعْيِينِ السَّاعَةِ الْمَذْكُورَةِ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ قَوْلاً عَدَّدَهَا الشَّوْكَانِيُّ (٤) وَنُقِل عَنِ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ قَال: أَصَحُّ الأَْحَادِيثِ فِي تَعْيِينِهَا


 
Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Jilid 39, Halaman 223
Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui beberapa jalur dari sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang penyebutan waktu mustajab pada hari Jumat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat, lalu bersabda: “Di dalamnya terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim bertepatan dengannya dalam keadaan berdiri shalat lalu memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, melainkan Allah akan memberinya apa yang dimohonkannya.” Beliau berisyarat dengan tangannya untuk menunjukkan sedikitnya waktu tersebut. (2)
Dan dari Abu Lubabah Al-Badri, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hari Jumat adalah penghulu hari dan hari yang paling agung di sisi Allah… Di dalamnya terdapat lima keistimewaan,” lalu beliau menyebutkan salah satunya: “Di dalamnya terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba memohon sesuatu kepada Allah di dalamnya melainkan Allah akan memberinya apa yang dimohonkannya, selama ia tidak memohon sesuatu yang haram.” (3)
Para fuqaha dan ahli hadis berbeda pendapat dalam menentukan waktu yang disebutkan tersebut lebih dari empat puluh pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaukani. (4) Dan diriwayatkan dari Al-Muhib Ath-Thabari bahwa ia berkata: “Hadis-hadis yang paling sahih dalam menentukannya …”
 
Referensi


المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٤٥ص٣٣٩
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ فِي قَوْلٍ آخَرَ – وَهُوَ رَأْيُ بَعْضِ الْحَنَابِلَةِ – إِلَى أَنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَفْضَل الأَْيَّامِ، لأَِنَّ لَيْلَتَهَا أَفْضَل اللَّيَالِي لأَِنَّهَا تَابِعَةٌ لِمَا هُوَ أَفْضَل الأَْيَّامِ. (٢)
فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ (٣) .، وَعَنْهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: إِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: سَيِّدُ الأَْيَّامِ يُومُ الْجُمُعَةِ (٤) .
وَجَمَعَ الزَّرْقَانِيُّ بَيْنَ الآْثَارِ الَّتِي وَرَدَتْ فِي أَفْضَلِيَّةِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ وَقَال: يَوْمُ عَرَفَةَ أَفْضَل أَيَّامِ السَّنَةِ، وَيَوْمُ الْجُمُعَةَ أَفْضَل أَيَّامِ الأُْسْبُوعِ (٥) ، وَذَكَرَ الْبُجَيْرِمِيُّ نَحْوَهُ. (٦)


 
Menurut pendapat lain dari Mazhab Maliki—dan ini juga merupakan pendapat sebagian ulama Hanbali—hari Jumat adalah hari yang paling utama. Hal ini dikarenakan malam Jumat adalah malam yang paling utama karena mengikuti hari yang paling utama.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’: “Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat.”
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Penghulu hari adalah hari Jumat.'”
Az-Zarqani mengumpulkan antara riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan hari Arafah dan hari Jumat, lalu beliau berkata: “Hari Arafah adalah hari yang paling utama dalam setahun, sedangkan hari Jumat adalah hari yang paling utama dalam seminggu.” Al-Bujairimi juga menyebutkan hal yang serupa.
 
Referensi:

كتاب السبعيات ص١٠٩-١١٦


 
 المجلس السابع في يوم الجمعة
قال الله تعالى :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. وَرَوَى ابْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ مَالِكًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ ابْنَ الْأُسْتَاذِ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ فِي الْمَجْلِسِ الْأَوَّلِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ صِلَةٌ وَنِكَاحٌ وَقَالُوا كَيْفَ ذَٰلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كَانُوا يَنْكِحُونَ فِيهِ )بِسَاطُ الْمَجْلِسِ( قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ سَبْعُ أَنْكِحَةٍ حَصَلَتْ بَيْنَ سَبْعَةٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُمْ آدَمُ وَحَوَّاءُ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَالثَّانِي يُوسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَزُلَيْخَا عَلَيْهَا السَّلَامُ وَالثَّالِثُ مُوسَىٰ وَصَفُّورَاءُ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ * وَالرَّابِعُ سُلَيْمَانُ وَبَلْقِيسُ عَلَيْهِمَا الرَّحْمَةُ وَالسَّلَامُ * وَالْخَامِسُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا * وَالسَّادِسُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا * وَالسَّابِعُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَفَاطِمَةُ الزَّهْرَاءُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَمَّا الْأَوَّلُ نِكَاحُ آدَمَ وَحَوَّاءَ حَصَلَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ بِدَلِيلِ مَا رَوَىٰ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ قَالَ خَالَقَ اللَّهُ تَعَالَىٰ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَسْكَنَهُ الْجَنَّةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَخْرَجَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَابَ عَلَيْهِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَفِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ تَعَالَىٰ فِيهَا إِلَّا اسْتَجَابَ لَهُ وَقِصَّتُهُ أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمَّا خَلَقَهُ اللَّهُ تَعَالَىٰ نَظَرَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ جِنْسِهِ لِيَسْتَأْنِسَ بِهِ كَمَا قِيلَ.


 
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila panggilan untuk salat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan Ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Malik radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Ibnu al-Ustadz yang telah kami sebutkan pada majelis pertama, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang hari Jumat, maka beliau bersabda: “Hari Jumat adalah (hari) silaturahmi dan pernikahan.” Mereka bertanya: “Bagaimana bisa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Karena para nabi ‘alaihimush shalatu was salam dahulu menikah pada hari itu.” (Dalam majelis) Berkata sebagian ulama: Tujuh pernikahan terjadi antara tujuh nabi dan wali pada hari Jumat. Yang pertama adalah Adam dan Hawa ‘alaihimas salam, yang kedua adalah Yusuf ‘alaihis salam dan Zulaikha ‘alaihas salam, yang ketiga adalah Musa dan Shafura’ ‘alaihimas salam, yang keempat adalah Sulaiman dan Balqis ‘alaihimar rahmah was salam, yang kelima adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khadijah radhiyallahu ‘anha, yang keenam adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang ketujuh adalah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra’ radhiyallahu ‘anhuma. Adapun yang pertama, pernikahan Adam dan Hawa terjadi pada hari Jumat berdasarkan riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam pada hari Jumat, memasukkannya ke surga pada hari Jumat, mengeluarkannya dari surga pada hari Jumat, dan menerima tobatnya pada hari Jumat. Di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba muslim bertepatan dengannya lalu berdoa kepada Allah Ta’ala melainkan Dia akan mengabulkannya.” Dan kisahnya adalah bahwa Adam ‘alaihis salam ketika Allah Ta’ala menciptakannya, ia melihat ke langit dan bumi, ia tidak melihat seorang pun dari jenisnya untuk ia jadikan penenang, sebagaimana dikatakan.


طَيْرٌ يَطِيرُ مَعَ شَكْلِهِ فَاسْتَوْحَشَ وَاشْتَاقَ إِلَىٰ جِنْسِهِ وَكَانَ جَالِسًا فَغَشِيَهُ النُّعَاسُ وَكَانَ بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إِذَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَىٰ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِأَنْ يُخْرِجَ ضِلْعًا مِنْ جَانِبِهِ الْأَيْسَرِ وَلَمْ يَتَأَلَّمْ مِنْهُ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَخَلَقَ اللَّهُ تَعَالَىٰ مِنْهَا حَوَّاءَ وَكُلُّ مَلَاحَةٍ وَجَمَالٍ وَحُسْنٍ وَظَرَافَةٍ يَكُونُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وُضِعَ فِيهَا وَكُلُّ طَرَافَةٍ وَنَزَاهَةٍ وَرَزَانَةٍ وُضِعَتْ فِيهَا وَكُلُّ شَوْقٍ وَعِشْقٍ وَمَحَبَّةٍ وَمَوَدَّةٍ وُضِعَتْ فِي قَلْبِ آدَمَ حَتَّىٰ صَارَتْ حَوَّاءُ أَحْسَنَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَصَارَ آدَمُ أَعْشَقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ أَلْبَسَهَا اللَّهُ تَعَالَىٰ سَبْعِينَ حُلَّةً مِنْ حُلَلِ الْجَنَّةِ وَتَوَّجَهَا وَأَجْلَسَهَا عَلَىٰ كُرْسِيٍّ مِنْ ذَهَبٍ ثُمَّ أَيْقَظَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعَرَضَهَا عَلَيْهِ فَنَادَاهَا آدَمُ مَنْ أَنْتِ وَلِمَنْ أَنْتِ فَقَالَتْ حَوَّاءُ خَلَقَنِي اللَّهُ تَعَالَىٰ لِأَجْلِكَ فَقَالَ ائْتِينِي قَالَتْ بَلْ أَنْتَ فَقَالَ آدَمُ وَذَهَبَ إِلَيْهَا فَمِنْ ذَٰلِكَ الْوَقْتِ جَرَتِ الْعَادَةُ يَذْهَبُ الرَّجُلُ إِلَى الْمَرْأَةِ فَلَمَّا قَرُبَ مِنْهَا أَرَادَ أَنْ يَمُدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا سَمِعَ النِّدَاءَ يَا آدَمُ أَمْسِكْ فَإِنَّ صُحْبَتَكَ مَعَ حَوَّاءَ لَا يَحِلُّ إِلَّا بِالصَّدَاقِ وَالنِّكَاحِ ثُمَّ أَمَرَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ سُكَّانَ الْجَنَّةِ بِأَنْ يُزَيِّنُوهَا وَيُزَخْرِفُوهَا وَيُحْضِرُوا مَوَائِدَ النِّثَارِ وَأَطْبَاقَهَا ثُمَّ أَمَرَ مَلَائِكَةَ السَّمَاوَاتِ بِأَنْ يَجْتَمِعُوا تَحْتَ شَجَرَةِ طُوبَىٰ فَاجْتَمَعُوا ثُمَّ أَثْنَىٰ اللَّهُ تَعَالَىٰ بِنَفْسِهِ عَلَىٰ نَفْسِهِ وَزَوَّجَهَا آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَىٰ الْحَمْدُ ثَنَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْخَلْقُ كُلُّهُمْ عَبِيدِي إِمَائِي.


Seekor burung terbang bersama jenisnya, maka ia merasa sunyi dan rindu kepada jenisnya. Dan ia sedang duduk lalu kantuk mendatanginya, dan ia berada di antara tidur dan bangun, tiba-tiba Allah Ta’ala memerintahkan Jibril ‘alaihissalam untuk mengeluarkan tulang rusuk dari sisi kirinya, dan Adam ‘alaihissalam tidak merasakan sakit karenanya. Dan Allah Ta’ala menciptakan Hawa darinya, dan segala keelokan, keindahan, kebaikan, dan kejenakaan yang ada hingga hari kiamat diletakkan padanya, dan segala keunikan, kesucian, dan ketenangan diletakkan padanya, dan segala kerinduan, cinta, kasih sayang, dan kelembutan diletakkan di hati Adam hingga Hawa menjadi makhluk paling cantik di langit dan bumi, dan Adam menjadi makhluk yang paling jatuh cinta di langit dan bumi. Kemudian Allah Ta’ala memakaikannya tujuh puluh pakaian dari pakaian surga, memahkotainya, dan mendudukkannya di kursi dari emas. Kemudian Allah membangunkan Adam ‘alaihissalam dan memperlihatkannya kepadanya. Maka Adam memanggilnya: “Siapa engkau dan milik siapa engkau?” Hawa menjawab: “Allah Ta’ala menciptakan aku untukmu.” Adam berkata: “Datanglah kepadaku.” Hawa berkata: “Bahkan engkau (yang datang).” Adam pun pergi kepadanya. Maka sejak saat itu berlakulah kebiasaan seorang laki-laki pergi kepada seorang wanita. Ketika Adam mendekatinya dan hendak mengulurkan tangannya kepadanya, ia mendengar seruan: “Wahai Adam, tahanlah! Sesungguhnya kebersamaanmu dengan Hawa tidak halal kecuali dengan mahar dan pernikahan.” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan penduduk surga untuk menghiasinya, memperindahnya, dan menghadirkan hidangan taburan dan piring-piringnya. Kemudian Dia memerintahkan para malaikat langit untuk berkumpul di bawah pohon Thuba, maka mereka berkumpul. Kemudian Allah Ta’ala memuji diri-Nya sendiri dan menikahkan Hawa dengan Adam ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman: “Segala puji adalah sanjungan-Ku, keagungan adalah sarung-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, dan seluruh makhluk adalah hamba-hamba laki-laki dan perempuan-Ku.”


 
أُشْهِدُ مَلَائِكَتِي وَسُكَّانَ سَمَوَاتِي زَوَّجْتُ حَوَّاءَ بِآدَمَ بَدِيْعِ فِطْرَتِي عَلَى صَدَاقٍ وَيُسَبِّحُنِي وَيُهَلِّلُنِي ثُمَّ نَثَرَ الْغِلْمَانُ وَالْمَلَائِكَةُ نِثَارَ اللُّؤْلُؤِ وَالْيَاقُوْتِ وَسَلَّمُوا حَوَّاءَ لِآدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَطَلَبَتْ حَوَّاءُ الصَّدَاقَ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلهِي أَيُّ شَيْءٍ أُعْطِيْهَا أَذَهَبًا أَمْ فِضَّةً أَمْ جَوْهَرًا فَقَالَ اللهُ تَعَالَى لَا فَقَالَ إِلَهِي أَصُوْمُ أَصْلِي أُسَبِّحُ لَكَ فَقَالَ لَا فَقَالَ إِلَهِي أَيُّ شَيْءٍ هُوَ فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَاقُ حَوَّاءَ أَنْ تُصَلِّيَ عَشَرَ مَرَّاتٍ عَلَى نَبِيِّي وَصَفِيِّي مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ.
نُكْتَةٌ: قَالَ اللهُ تَعَالَى لِآدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى أُحِلَّ لَكَ حَوَّاءَ وَقَالَ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا صَلُّوا عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى أُحَرِّمَ عَلَيْكُمُ النِّيْرَانَ وَسَلِّمُوا عَلَيْهِ حَتَّى أُحِلَّ لَكُمُ الْجِنَانَ.
وَالثَّانِي نِكَاحُ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ زُلَيْخَا بِنْتُ مَلِكِ مِصْرَ وَيُسَمَّى عَزِيْزًا وَزُلَيْخَا صَارَتْ فَقِيْرَةً عَجُوْزًا عَمْيَاءَ وَمَعَ ذَلِكَ مَحَبَّةُ يُوْسُفَ وَعِشْقُهُ يَزْدَادُ فِي قَلْبِهَا كُلَّ يَوْمٍ فَلَمَّا عَيِيَ صَبْرُهَا وَاشْتَدَّ أَمْرُهَا وَهِيَ تَعْبُدُ الْوَثَنَ إِلَى ذَلِكَ الْيَوْمِ رُفِعَتْ وَثَنُهَا وَضُرِبَتْ بِهِ عَلَى الْأَرْضِ وَتَبَرَّأَتْ مِنْهُ وَآمَنَتْ بِاللَّهِ الْحَيِّ الْقَيُّوْمِ وَنَاجَتْ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ بِمُنَاجَاةٍ كَثِيْرَةٍ وَقَالَتْ إِلهِي لَمْ يَبْقَ لِي مَالٌ وَلَا جَمَالٌ وَصِرْتُ عَجُوْزًا حَقِيْرَةً ذَلِيْلَةً فَقِيْرَةً وَابْتَلَيْتَنِي بِحُبِّ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعِشْقِهِ فَإِنْ أَوْصَلْتَنِي إِلَيْهِ فَارْجِعْ حُبَّهُ إِلَهَنَا وَسَيِّدَنَا إِنَّ زُلَيْخَا جَاءَتْ إِلَى سَيِّدِنَا.


Aku persaksikan para malaikat-Ku dan penduduk langit-Ku, Aku nikahkan Hawa dengan Adam, makhluk ciptaan-Ku yang pertama, dengan mahar berupa ia bertasbih dan bertahlil kepada-Ku. Kemudian para pemuda dan para malaikat menaburkan taburan mutiara dan yaqut, dan mereka menyerahkan Hawa kepada Adam ‘alaihissalam. Maka Hawa meminta mahar, lalu Adam ‘alaihissalam berkata: “Wahai Tuhanku, apa yang akan aku berikan kepadanya? Apakah emas, perak, atau permata?” Allah Ta’ala berfirman: “Tidak.” Adam berkata: “Wahai Tuhanku, apakah aku berpuasa, salat, bertasbih kepada-Mu?” Allah berfirman: “Tidak.” Adam berkata: “Wahai Tuhanku, lalu apa itu?” Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Mahar Hawa adalah engkau bersalat sepuluh kali atas nabi-Ku dan kekasih-Ku, Muhammad, penghulu para rasul dan penutup para nabi.”
(Sebuah catatan) Allah Ta’ala berfirman kepada Adam ‘alaihissalam: “Bersalatlah atas Muhammad hingga Aku halalkan Hawa bagimu.” Dan Dia berfirman kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersalat dan bersalamlah atasnya. Bersalatlah atas Muhammad hingga Aku haramkan neraka atas kalian, dan bersalamlah atasnya hingga Aku halalkan surga bagi kalian.”
Dan yang kedua adalah pernikahan Yusuf ‘alaihissalam dengan Zulaikha, putri raja Mesir yang juga disebut Aziz. Dan Zulaikha menjadi wanita miskin, tua, dan buta. Meskipun demikian, cinta dan kerinduan Yusuf bertambah di hatinya setiap hari. Ketika kesabarannya habis dan urusannya semakin sulit, dan ia masih menyembah berhala hingga hari itu, ia mengangkat berhalanya dan memukulkannya ke tanah, lalu ia berlepas diri darinya dan beriman kepada Allah Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. Ia bermunajat pada malam Jumat dengan munajat yang banyak dan berkata: “Wahai Tuhanku, tidak tersisa bagiku harta maupun kecantikan, dan aku telah menjadi wanita tua yang hina, rendah, dan miskin, dan Engkau mengujiku dengan cinta dan kerinduan kepada Yusuf ‘alaihissalam. Maka jika Engkau mempertemukanku dengannya, kembalikanlah cintanya, wahai Tuhan dan junjunganku. Sesungguhnya Zulaikha datang kepada junjungan kita.”


أَنَّ زُلَيْخَا جَاءَتْ إِلَىٰ حَضْرَتِكَ تَدْعُوْكَ بِأَسْمَائِهَا وَإِخْلَاصِهَا فَأَجَابَهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ يَا مَلَائِكَتِي قَدْ حَانَ وَقْتُ نَجَاتِهَا وَخَلَاصِهَا فَكَانَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَمُرُّ عَلَيْهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مِنَ الْأَيَّامِ مَعَ خَدَمِهِ إِذْ خَرَجَتْ زُلَيْخَا فَلَمَّا قَرُبَ مِنْهَا نَادَتْ بِأَعْلَى صَوْتِهَا سُبْحَانَ مَنْ جَعَلَ الْعَبِيْدَ بِرَحْمَتِهِ مُلُوْكًا فَوْقَ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ مَنْ أَنْتَ قَالَتْ أَنَا الَّتِي اشْتَرَيْتُكَ بِالْجَوَاهِرِ وَاللُّؤْلُؤِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمِسْكِ وَالْكَافُوْرِ أَنَا الَّتِي لَمْ أَشْبَعْ بَطْنِي مِنَ الطَّعَامِ مُنْذُ عِشْقِكَ وَلَا نِمْتُ لَيْلَةً كُلَّهَا مُنْذُ رَأَيْتُكَ فَقَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِمَلَكِ زُلَيْخَا فَقَالَتْ بَلَىٰ يَا يُوْسُفُ فَقَالَ أَيْنَ مَالُكِ وَجَمَالُكِ وَخَزَائِنُكِ فَقَالَتْ أَغَارَ عِشْقُكَ عَلَيْهَا كُلَّهَا فَقَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَيْفَ عِشْقُكِ قَالَتْ كَمَا كَانَ بَلْ يَزْدَادُ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ
نُكْتَةٌ : كَذَلِكَ حَالُ الْمُؤْمِنِ إِذَا وُضِعَ فِيْ قَبْرِهِ يَأْتِيْهِ مَلَكَانِ فَيَقُوْلَانِ لَهُ أَيْنَ مَالُكَ فَيَقُوْلُ ذَهَبَ بِهِ الْحُصَّاءُ فَيَقُوْلَانِ أَيْنَ ضِيَاعُكَ وَبَسَاتِيْنُكَ فَيَقُوْلُ ذَهَبَ بِهَا الْحُصَّاءُ فَيَقُوْلَانِ أَيْنَ دُوْرُكَ وَبُيُوْتُكَ فَيَقُوْلُ ذَهَبَ بِهَا الْبَنَاتُ وَالْأَبْنَاءُ فَيَقُوْلَانِ كَيْفَ مَعْرِفَتُكَ بِاللَّهِ تَعَالَىٰ فَيَقُوْلُ اللهُ رَبِّي وَالْإِسْلَامُ دِيْنِيْ وَمُحَمَّدٌ نَبِيِّيْ. (رَجَعْنَا إِلَى الْقِصَّةِ) فَقَالَ لَهَا يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا تُرِيْدِيْنَ يَا زُلَيْخَا فَقَالَتْ ثَلَاثَةَ أَشْيَاءَ أُرِيْدُ الْحَالَ وَالْمَالَ وَالْوِصَالَ فَقَصَدَ أَنْ يَمُرَّ فَأَوْحَىٰ اللهُ تَعَالَىٰ إِلَيْهِ يَا يُوْسُفُ قُلْتَ لِزُلَيْخَا مَا تُرِيْدِيْنَ فَلَمْ تُجِبْهَا إِلَىٰ مَا أَرَادَتْ فَاعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَىٰ زَوَّجَ زُلَيْخَا بِكَ خَطَبَ بِنَفْسِهِ وَأَشْهَدَ مَلَائِكَتَهُ وَنَثَرَ الْحُوْرُ الْعِيْنُ النِّثَارَ فَقَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَا جِبْرِيْلُ لَيْسَ لِزُلَيْخَا مَالٌ وَلَا جَمَالٌ وَلَا شَبَابٌ فَقَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُوْلُ لَكَ اللهُ تَعَالَىٰ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا مَالٌ وَلَا جَمَالٌ فَلِيْ قُوَّةٌ وَجَلَالٌ وَنَوَالٌ وَقُدْرَةٌ وَفِعَالٌ فَوَهَبَهَا اللهُ تَعَالَىٰ شَبَابَهَا وَجَمَالَهَا حَتَّىٰ صَارَتْ أَحْسَنَ مَا كَانَتْ كَأَنَّهَا بِنْتُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أَلْقَىٰ اللهُ تَعَالَىٰ الْمَحَبَّةَ وَالْمَوَدَّةَ وَالْعِشْقَ فِيْ قَلْبِ يُوْسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَصَيَّرَ الْمَعْشُوْقَ عَاشِقًا وَالْعَاشِقَ مَعْشُوْقًا فَرَجَعَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَىٰ مَنْزِلِهِ وَأَرَادَ الْخَلْوَةَ مَعَ زُلَيْخَا وَقَدْ شَرَعَتْ فِي الصَّلَاةِ وَكَانَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَنْتَظِرُ كَثِيْرًا وَهِيَ لَا تُسَلِّمُ حَتَّىٰ فَرَغَ صَبْرُهُ وَنَادَىٰ يَا زُلَيْخَا أَلَسْتِ الَّتِيْ قَدَّدْتِ قَمِيْصِيْ حِيْنَ فَرَرْتُ مِنْكِ فَسَلَّمَتْ وَأَجَابَتْ أَنَا هِيَ لَكِنْ لَيْسَ قَلْبِيْ كَمَا كَانَ.


Sesungguhnya Zulaikha datang ke hadirat-Mu menyeru-Mu dengan nama-nama-Mu dan keikhlasannya, maka Allah Ta’ala menjawab mereka: “Wahai para malaikat-Ku, telah tiba waktu keselamatannya dan kebebasannya.” Dahulu Yusuf ‘alaihissalam lewat di hadapannya setiap hari bersama para pelayannya, ketika Zulaikha keluar. Ketika Yusuf mendekatinya, ia berseru dengan suara keras: “Maha Suci Allah yang menjadikan para hamba dengan rahmat-Nya sebagai raja di atas Yusuf ‘alaihissalam.” Yusuf bertanya: “Siapa engkau?” Ia menjawab: “Aku adalah orang yang membelimu dengan permata, mutiara, emas, perak, misk, dan kafur. Aku adalah orang yang tidak mengenyangkan perutku dengan makanan sejak aku mencintaimu, dan aku tidak tidur semalam penuh sejak aku melihatmu.” Maka Yusuf ‘alaihissalam berkata kepada (bekas) majikan Zulaikha, lalu Zulaikha menjawab: “Benar, wahai Yusuf.” Yusuf bertanya: “Di mana hartamu, kecantikanmu, dan perbendaharaanmu?” Ia menjawab: “Cintamu telah menghabiskan semuanya.” Yusuf ‘alaihissalam bertanya: “Bagaimana cintamu?” Ia menjawab: “Seperti dulu, bahkan bertambah setiap waktu dan saat.”
(Sebuah catatan) Demikianlah keadaan seorang mukmin ketika diletakkan di kuburnya, dua malaikat mendatanginya lalu berkata kepadanya: “Di mana hartamu?” Ia menjawab: “Telah dibawa oleh kerikil.” Mereka bertanya: “Di mana ladang-ladangmu dan kebun-kebunmu?” Ia menjawab: “Telah dibawa oleh kerikil.” Mereka bertanya: “Di mana rumah-rumahmu dan tempat tinggalmu?” Ia menjawab: “Telah dibawa oleh anak-anak perempuan dan laki-laki.” Mereka bertanya: “Bagaimana pengetahuanmu tentang Allah Ta’ala?” Ia menjawab: “Allah adalah Tuhanku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad adalah nabiku.” (Kita kembali ke kisah) Yusuf ‘alaihissalam berkata kepadanya: “Apa yang engkau inginkan, wahai Zulaikha?” Ia menjawab: “Tiga hal yang aku inginkan: keadaan (baik), harta, dan pertemuan.” Yusuf bermaksud untuk berlalu, maka Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya: “Wahai Yusuf, engkau bertanya kepada Zulaikha apa yang ia inginkan, namun engkau tidak mengabulkan apa yang ia inginkan. Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala telah menikahkan Zulaikha denganmu, Dia sendiri yang melamarnya, mempersaksikan para malaikat-Nya, dan para bidadari menaburkan taburan (bunga).” Yusuf ‘alaihissalam berkata: “Wahai Jibril, Zulaikha tidak memiliki harta, tidak memiliki kecantikan, dan tidak memiliki kemudaan.” Maka Jibril ‘alaihissalam berkata: “Allah Ta’ala berfirman kepadamu: ‘Jika ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki kecantikan, maka bagiku ada kekuatan, keagungan, pemberian, kekuasaan, dan perbuatan.'” Maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepadanya kemudaan dan kecantikannya hingga ia menjadi lebih cantik dari sebelumnya, seolah-olah ia adalah gadis berusia empat belas tahun. Kemudian Allah Ta’ala menanamkan cinta, kasih sayang, dan kerinduan di hati Yusuf ‘alaihissalam, maka yang dicintai menjadi mencintai dan yang mencintai menjadi dicintai. Yusuf ‘alaihissalam kembali ke rumahnya dan ingin berduaan dengan Zulaikha, dan Zulaikha telah memulai salat. Yusuf ‘alaihissalam menunggu lama, namun Zulaikha tidak mengucapkan salam (mengakhiri salat) hingga kesabarannya habis dan ia berseru: “Wahai Zulaikha, bukankah engkau yang telah mengoyak bajuku ketika aku melarikan diri darimu?” Zulaikha mengucapkan salam dan menjawab: “Benar, aku orangnya, akan tetapi hatiku tidak seperti dulu lagi.”


حُكِيَ:   عَنِ الشِّبْلِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ أَنَّهُ حُمَّى فِي آخِرِ عُمُرِهِ فَدَخَلَ عَلَيْهِ الْجُنَيْدُ فِي لَيْلَةٍ فَرَآهُ يَدُوْرُ فِي بَيْتٍ مُظْلِمٍ وَهُوَ يَقُوْلُ شِعْرًا كُلُّ قَلْبٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُمُحْتَاجٍ إِلَى السُّرُجِ وَوَجْهُكَ الْمَأْمُوْلُ حُجَّتُنَا يَوْمَ تَأْتِي النَّاسُ بِالْحُجَجِ لَا تَفْتَحِ اللَّهُ لِيْ فَرَجًا يَوْمَ أَدْعُوْكَ بِالْفَرَجِ. ثُمَّ قَامَتْ زُلَيْخَا وَشَرَعَتْ فِي الصَّلَاةِ فَأَخَذَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَمِيْصَهَا وَجَرَّهُ إِلَيْهِ فَتَخَرَّقَ قَمِيْصُهَا فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ يَا يُوْسُفُ قَمِيْصٌ يَقَمِيْصٌ فَارْفَعِ الْعِتَابَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ زُلَيْخَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا.


(Dikisahkan) dari Asy-Syibli rahimahullah ‘alaihi bahwa beliau demam di akhir umurnya. Lalu Al-Junaid masuk menemuinya pada suatu malam dan melihatnya berputar-putar di dalam rumah yang gelap sambil mengucapkan syair: Setiap hati yang Engkau tempati tidak membutuhkan lentera, dan wajah-Mu yang diharapkan adalah hujjah kami pada hari ketika manusia datang dengan hujjah-hujjah. Ya Allah, jangan bukakan bagiku kelapangan pada hari aku memohon kelapangan kepada-Mu.
Kemudian Zulaikha berdiri dan mulai salat. Lalu Yusuf ‘alaihissalam mengambil bajunya dan menariknya ke arahnya, maka robeklah baju Zulaikha. Kemudian turunlah Jibril ‘alaihissalam dan berkata: “Wahai Yusuf, baju demi baju, angkatlah celaan antara engkau dan Zulaikha radhiyallahu ‘anha.”


(وَالثَّالِثُ) نِكَاحُ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَصَفُّوْرَاءَ بِنْتُ شُعَيْبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ اللهُ تَعَالَىٰ قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيَّ الْأَمِيْنَ وَهُوَ أَنَّ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِمَا قَدَّمَ مِنْ مَدْيَنَ وَسَقَىٰ غَنَمَ شُعَيْبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ ثُمَّ تَوَلَّىٰ إِلَى الظِّلِّ فَرَأَىٰ نَفْسَهُ فَقِيْرًا غَرِيْبًا جَائِعًا تَعْبَانًا فَقَالَ أَنَا الْمَرِيْضُ أَنَا الْغَرِيْبُ أَنَا الضَّعِيْفُ أَنَا الْفَقِيْرُ فَنُوْدِيَ فِيْ سِرِّهِ يَا مُوْسَىٰ الْمَرِيْضُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ طَبِيْبٌ وَالضَّعِيْفُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ رَقِيْبٌ وَالْفَقِيْرُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ نَصِيْبٌ وَالْغَرِيْبُ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مِثْلِيْ حَبِيْبٌ فَرَجَعَتْ بِنْتَا شُعَيْبٍ وَقَصَّتَا عَلَىٰ أَبِيْهِمَا الْقِصَّةَ فَأَرْسَلَ إِلَىٰ مُوْسَىٰ أَحَدَهُمَا فَجَاءَتْهُ تَمْشِيْ عَلَى اسْتِحْيَاءٍ وَهِيَ صَفُّوْرَاءُ


(Dan yang ketiga) adalah pernikahan Musa ‘alaihissalam dengan Shafura’, putri Syuaib ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman, salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Dan itu adalah Musa ‘alaihissalam, karena apa yang telah ia lakukan di Madyan dan ia memberi minum kambing Syuaib ‘alaihissalam. Kemudian ia berpaling ke tempat yang teduh lalu melihat dirinya dalam keadaan miskin, asing, lapar, dan lelah. Maka ia berkata: “Aku adalah orang yang sakit, aku adalah orang yang asing, aku adalah orang yang lemah, aku adalah orang yang miskin.” Lalu diserukan dalam hatinya: “Wahai Musa, orang yang sakit yang tidak ada baginya dokter seperti Aku, dan orang yang lemah yang tidak ada baginya pengawas seperti Aku, dan orang yang miskin yang tidak ada baginya bagian seperti Aku, dan orang yang asing yang tidak ada baginya kekasih seperti Aku.” Lalu kedua putri Syuaib kembali dan menceritakan kisah itu kepada ayah mereka. Maka Syuaib mengutus salah seorang dari mereka kepada Musa, lalu datanglah kepadanya seorang wanita berjalan dengan malu-malu, dan dia adalah Shafura’.


(نُكْتَةٌ) أَنَّ مَشِيْئَةَ النِّسَاءِ عَلَى الاسْتِحْيَاء لَوْ لَمْ تَكُنْ مُرْضِيَةً عِنْدَ اللهِ لَمَا أُخْبِرَتْ بِمَشْيِهَا عَلَى الِاسْتِحْيَاءِ وَقَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَشُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَرْسَلَ بِنْتَهُ لِمُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ تَدْعُوْهُ لِيَجْزِيَهُ أَجْرَ مَا سَقَىٰ لَهُ فَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَرْسَلَ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَىٰ عِبَادِهِ يَدْعُوْهُمْ لِيَجْزِيَهُمْ أَجْرًا عَظِيْمًا.
فَقَالَتْ َفُّوْرَاءُ لِأَبِيْهَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيَّ الْأَمِيْنَ فَقَالَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا رَأَيْتُ مِنْ قُوَّتِهِ وَأَمَانَتِهِ فَقَالَتْ إِنَّهُ رَفَعَ الْحَجَرَ الَّذِيْ عَلَىٰ رَأْسِ الْبِئْرِ وَحْدَهُ وَلَا يَرْفَعُهُ إِلَّا أَرْبَعُوْنَ رَجُلًا وَكُنْتُ أَمْشِيْ قُدَّامَهُ فِي الطَّرِيْقِ فَقَالَ تَأَخَّرِيْ حَتَّىٰ لَا يَقَعَ بَصَرِيْ عَلَىٰ أَعْضَائِكِ فَلَمَّا سَمِعَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَغِبَ فِيْهِ وَقَالَ لِمُوْسَىٰ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَىٰ ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ فَقَالَ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنِّيْ فَقِيْرٌ غَرِيْبٌ لَيْسَ لِيْ قُدْرَةٌ عَلَى الصِّدْقِ فَقَالَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ثُمَّ جَمَعَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَهْلَ بَلَدِهِ وَعَقَدَ النِّكَاحَ وَسَلَّمَهَا إِلَيْهِ وَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ


(Sebuah catatan) Bahwa jalannya kaum wanita dengan rasa malu, seandainya tidak diridhai di sisi Allah, niscaya tidak dikabarkan tentang jalannya dengan rasa malu. Dan (salah seorang wanita itu) berkata: “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberimu balasan atas (kebaikanmu) memberi minum (ternak) kami.” Maka Syuaib ‘alaihissalam mengutus putrinya kepada Musa ‘alaihissalam untuk memanggilnya agar memberinya balasan atas (kebaikan) Musa memberi minum (ternak) mereka. Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada hamba-hamba-Nya menyeru mereka agar Dia memberi mereka balasan yang agung.
Maka Shafura’ berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja, sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Maka Syuaib ‘alaihissalam berkata: “Aku tidak melihat (tanda-tanda) kekuatan dan amanahnya.” Maka Shafura’ berkata: “Sesungguhnya ia telah mengangkat batu besar yang ada di atas sumur seorang diri, padahal tidaklah dapat mengangkatnya kecuali empat puluh orang laki-laki.
Dan aku berjalan di depannya di jalan, lalu ia berkata: “Mundurlah agar pandanganku tidak jatuh pada anggota tubuhmu.” Maka ketika Syuaib ‘alaihissalam mendengar (hal itu), ia menyukainya dan berkata kepada Musa: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini.” Maka Musa ‘alaihissalam berkata: “Sesungguhnya aku adalah orang miskin dan asing, aku tidak memiliki kemampuan untuk (memberikan) mahar.” Maka Syuaib ‘alaihissalam berkata: “Dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya menjadi sepuluh tahun, maka itu adalah kebaikan darimu.” Kemudian Syuaib ‘alaihissalam mengumpulkan penduduk negerinya dan melangsungkan akad nikah serta menyerahkannya (putrinya) kepada Musa, dan itu terjadi pada hari Jumat .


(نُكْتَةٌ) أَنَّ شُعَيْبًا لَمَّا رَأَىٰ أَمَانَةَ مُوْسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَدِيَانَتَهُ أَسْرَعُ إِلَىٰ صِلَتِهِ وَقَالَ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ الْآيَةَ فَاللَّهُ تَعَالَىٰ لَمَّا عَلِمَ مِنْ صَلَاحِ عِبَادِهِ وَإِيْمَانِهِمْ وَتَقْوَاهُمْ وَدُعَائِهِمْ أَضَافَهُمْ إِلَىٰ نَفْسِهِ فَقَالَ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ وَقَالَ تَعَالَىٰ إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ. قَالَ السُّدِّيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ أَنَّ مَلَكًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ أَتَىٰ شُعَيْبًا عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَىٰ صُوْرَةِ آدَمِيٍّ وَوَضَعَ عِنْدَهُ الْعَصَا وَدِيْعَةً.


(Sebuah catatan) Bahwa Syuaib ketika melihat amanah Musa ‘alaihissalam dan kesalehannya, ia segera berhubungan dengannya dan berkata: “Sesungguhnya aku ingin menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini.” Ayat ini (menjelaskan bahwa) Allah Ta’ala ketika mengetahui kesalehan hamba-hamba-Nya, keimanan, ketakwaan, dan doa mereka, Dia menyandarkan mereka kepada diri-Nya, maka Dia berfirman: “Bukankah Aku Tuhanmu?” Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” Berkata As-Suddi rahimahullah ‘alaihi bahwa seorang malaikat dari para malaikat datang kepada Syuaib ‘alaihissalam dalam rupa seorang manusia dan meletakkan tongkat di sisinya sebagai titipan.


 
وَكَانَتِ الْعَصَا مِنْ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ نَزَلَ بِهَا آدَمُ مِنَ الْجَنَّةِ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَخَذَهَا جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَىٰ وَقْتِ شُعَيْبٍ، ثُمَّ نَزَلَ بِهَا إِلَىٰ شُعَيْبٍ لِأَجْلِ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا عُقِدَ النِّكَاحُ قَالَ لِمُوسَىٰ: ادْخُلْ فِي الْبَيْتِ وَخُذْ لَكَ الْعَصَا مِنْ بَيْنِ الْعِصِيِّ وَاذْهَبْ نَحْوَ الْغَنَمِ. فَدَخَلَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَخَرَجَ بِالْعَصَا، فَرَآهَا شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ: هَٰذِهِ أَمَانَةٌ رُدَّهَا إِلَىٰ مَوْضِعِهَا وَخُذْ غَيْرَهَا. فَرَجَعَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَىٰ الْبَيْتِ وَوَضَعَهَا وَأَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ غَيْرَهَا فَدَخَلَتْ هَٰذِهِ الْعَصَا فِي يَدِهِ، وَكُلَّمَا جَهَدَ أَنْ يَأْخُذَ غَيْرَهَا لَمْ يَقْدِرْ. فَأَخَذَ تِلْكَ الْعَصَا وَذَهَبَ نَحْوَ الْغَنَمِ، فَتَبِعَهُ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ: إِنَّهُ ذَهَبَ بِأَمَانَةِ الْغَيْرِ. فَلَحِقَهُ وَاسْتَرَدَّهَا مِنْهُ. فَأَدْرَكَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ: أَعْطِنِي الْعَصَا. فَأَبَىٰ مُوسَىٰ فَتَنَازَعَا وَاتَّفَقَا عَلَىٰ أَنْ يُحَكِّمَ بَيْنَهُمَا مَنْ لَقِيَاهُ أَوَّلًا. فَلَقِيَا مَلَكًا عَلَىٰ صُورَةِ آدَمِيٍّ فَقَالَا لَهُ: احْكُمْ بَيْنَنَا. فَحَكَمَ فَقَالَ لِمُوسَىٰ: ضَعِ الْعَصَا عَلَى الْأَرْضِ، فَإِنْ قَدِرْتَ أَنْ تَرْفَعَهَا فَهِيَ لَكَ وَإِنْ قَدِرَ هُوَ أَنْ يَرْفَعَهَا فَهِيَ لَهُ. فَوَضَعَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى الْأَرْضِ، فَجَهَدَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ يَرْفَعَهَا مِنَ الْأَرْضِ فَمَا قَدِرَ أَنْ يُحَرِّكَهَا لَبِنَةً، فَتَنَاوَلَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْعَصَا فَرَفَعَهَا مِنَ الْأَرْضِ، ثُمَّ ظَهَرَتْ مِنْهَا مُعْجِزَاتٌ كَثِيرَةٌ حَتَّىٰ أَنَّ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ


Dan  ada  tongkat itu dari Sidratul Muntaha, dengannya Adam turun dari surga. Ketika Adam ‘alaihis salam wafat, Jibril ‘alaihis salam mengambilnya hingga masa Syuaib. Kemudian Jibril turun membawanya kepada Syuaib demi Musa ‘alaihis salam. Ketika akad nikah telah dilaksanakan, Syuaib berkata kepada Musa, “Masuklah ke dalam rumah dan ambillah tongkat untukmu dari antara tongkat-tongkat itu, lalu pergilah menuju kambing-kambing.” Maka Musa ‘alaihis salam masuk dan keluar membawa tongkat itu. Syuaib ‘alaihis salam melihatnya lalu berkata, “Ini adalah amanah, kembalikanlah ke tempatnya dan ambillah yang lain.” Musa ‘alaihis salam kembali ke rumah dan meletakkannya. Ketika ia hendak mengambil yang lain, tongkat ini masuk ke tangannya, dan setiap kali ia berusaha mengambil yang lain, ia tidak mampu. Lalu ia mengambil tongkat itu dan pergi menuju kambing-kambing. Syuaib ‘alaihis salam mengikutinya dan berkata, “Sesungguhnya ia telah membawa amanah orang lain.” Lalu Syuaib menyusulnya dan mengambil kembali tongkat itu darinya. Musa ‘alaihis salam menyusul dan berkata, “Berikan kepadaku tongkat itu.” Musa menolak, lalu keduanya berselisih dan sepakat untuk meminta keputusan kepada orang pertama yang mereka temui. Mereka bertemu dengan seorang malaikat dalam wujud manusia, lalu mereka berkata kepadanya, “Berilah keputusan di antara kami.” Malaikat itu memutuskan dan berkata kepada Musa, “Letakkan tongkat itu di tanah. Jika engkau mampu mengangkatnya, maka itu milikmu, dan jika ia (Syuaib) mampu mengangkatnya, maka itu miliknya.” Musa ‘alaihis salam meletakkannya di tanah, lalu Syuaib ‘alaihis salam berusaha keras mengangkatnya dari tanah, namun ia tidak mampu menggerakkannya sedikit pun. Kemudian Musa ‘alaihis salam meraih tongkat itu dan mengangkatnya dari tanah. Kemudian dari tongkat itu tampak mukjizat-mukjizat yang banyak, hingga Musa ‘alaihis salam.


كَانَ إِذَا تَعِبَ رَكِبَ عَلَيْهَا فَكَانَتْ تَمْشِي بِهِ كَالْفَرَسِ الْجَوَادِ، وَكَانَ إِذَا اشْتَهَى طَعَامًا ضَرَبَهَا عَلَى الْأَرْضِ فَيَظْهَرُ أَنْوَاعٌ مِنَ الْأَطْعِمَةِ، وَإِذَا اشْتَهَى مَاءً خَرَجَتْ مِنْهَا عَيْنُ مَاءٍ، وَإِذَا أَظْلَمَ اللَّيْلُ سَطَعَ مِنْهَا النُّوْرُ كَأَنَّهَا الشَّمْسُ، وَإِذَا ضَاقَ صَدْرُهُ وَاسْتَوْحَشَ صَارَتْ لَهُ مُؤْنِسَةً وَمُحَدِّثَةً. إِذَا أَلْقَاهَا نَحْوَ عَدُوٍّ صَارَتْ ثُعْبَانًا يَظْهَرُ مِنْ عَيْنَيْهِ وَمِنْخَرَيْهِ النَّارُ وَتَصِيْحُ كَالرَّعْدِ الْقَاصِفِ. وَمِمَّا قِيْلَ فِيْهَا مِنَ اللُّغْزِ شِعْرٌ:
وَمَاشِيَةٌ لَهَا وَرَقٌ وَظِلٌّ، لَحْمٌ نَاعِمٌ وَلَهَا عِظَامٌ. لَهَا عَيْنَانِ تَقَشَّعُ مِنْ بَرَاهَا، وَتَبْسِمُ مَا يُقَالُ مِنَ الْكَلَامِ. ثُمَّ أَتَمَّ ثَمَانَ حِجَجٍ قَالَ شُعَيْبٌ: يَا مُوسَى، كُلَّمَا وَلَدَتْ حَامِلٌ أُنْثَى فَهِيَ لَكَ فِي هَذِهِ السَّنَةِ. وَكَانَ مُوسَى يَرْعَى الْأَغْنَامَ، فَإِذَا سَقَاهَا أَلْقَى عَصَاهُ فِي الْمَاءِ يَسْقِيْهَا، فَوَلَدَتْ نِعَاجُهُ كُلُّهَا إِنَاثًا فِي تِلْكَ السَّنَةِ. وَقَالَ شُعَيْبٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ: فِي السَّنَةِ الْعَاشِرَةِ كُلَّمَا وَلَدَتْ حَامِلٌ ذَكَرًا فَهُوَ لَكَ. فَوَلَدَتْ فِي تِلْكَ السَّنَةِ نِعَاجُهُ كُلُّهَا ذُكُوْرًا فَاجْتَمَعَ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ أَغْنَامٌ كَثِيْرَةٌ. فَرَجَعَ مَعَ أَهْلِهِ فَآنَسَ فِي الطَّرِيْقِ نَارًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: إِنِّي آنَسْتُ نَارًا الْآيَةُ.
(الرَّابِعُ)

نِكَاحُ سُلَيْمَانَ ابْنِ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ بِبِلْقِيْسَ، وَهُوَ حِيْنَ أَتَتْ إِلَى سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ عَرْشِهَا بِدُعَاءِ آصَفَ بْنِ بَرْخِيَا. (يُرْوَى) أَنَّهُ كَانَ لَهُ سَبْعُوْنَ قَائِدًا عِنْدَ كُلِّ قَائِدٍ أَلْفُ رَجُلٍ فَارِسٍ. وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: عِنْدَ كُلِّ قَائِدٍ خَمْسُمِائَةِ فَارِسٍ. وَبِلْقِيْسُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ ذَاتَ جَمَالٍ وَكَمَالٍ فَحَسَدَتْهَا الْجِنُّ وَقَالَتْ أَنَّ لَهَا عَيْبَيْنِ أَحَدُهُمَا نَاقِصَةُ الطَّوْلِ، وَالثَّانِي أَنَّ سَاقَهَا مِثْلُ سَاقِ الْجِمَالِ. فَأَمَرَ سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَتَتْ بِأَنْ يُنْكَرَ وَأَعْرَشَهَا فَنَكَّرُوْهُ ثُمَّ أَمَرَ بِأَنْ يَعْمَلُوا صَرْحًا مِنْ زُجَاجٍ.


Dahulu, jika Musa merasa lelah, ia menungganginya, maka tongkat itu berjalan bersamanya seperti kuda yang sangat cepat. Jika ia menginginkan makanan, ia memukulkannya ke tanah, lalu muncullah berbagai macam makanan. Jika ia menginginkan air, keluarlah mata air darinya. Jika malam menjadi gelap, memancarlah darinya cahaya seolah-olah matahari. Jika dadanya sesak dan merasa kesepian, tongkat itu menjadi penghibur dan teman bicaranya. Jika ia melemparkannya ke arah musuh, tongkat itu berubah menjadi ular yang dari kedua mata dan hidungnya keluar api, dan berteriak seperti guruh yang dahsyat. Di antara teka-teki tentangnya terdapat syair:
Dan sesuatu yang berjalan, memiliki daun dan naungan, daging yang lembut, dan memiliki tulang. Ia memiliki dua mata yang sinarnya memancar dari keindahannya, dan ia mendengar apa yang dikatakan dari perkataan. Kemudian Musa menyempurnakan delapan tahun, Syuaib berkata, “Wahai Musa, setiap kali ada hewan betina hamil melahirkan betina, maka itu menjadi milikmu pada tahun ini.” Dan Musa menggembalakan kambing, maka ketika ia memberinya minum, ia melemparkan tongkatnya ke dalam air untuk diminumkannya, lalu seluruh kambing betinanya melahirkan betina pada tahun itu. Dan Syuaib ‘alaihis salam berkata, “Pada tahun kesepuluh, setiap kali ada hewan betina hamil melahirkan jantan, maka itu menjadi milikmu.” Maka pada tahun itu seluruh kambing betinanya melahirkan jantan, lalu terkumpullah bagi Musa ‘alaihis salam kambing yang banyak. Lalu ia kembali bersama keluarganya, dan ia melihat api di jalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya aku melihat api,” ayat.
(Yang keempat) Pernikahan Sulaiman bin Daud ‘alaihimas salam dengan Balqis, yaitu ketika ia datang kepada Sulaiman ‘alaihis salam bersama singgasananya dengan doa Ashif bin Barkhiya. (Diriwayatkan) bahwa Sulaiman memiliki tujuh puluh panglima, dan di bawah setiap panglima terdapat seribu prajurit berkuda. Dan Muhammad bin Ishaq berkata, “Di bawah setiap panglima terdapat lima ratus prajurit berkuda.” Dan Balqis radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan dan kesempurnaan, lalu jin menghasudnya dan berkata bahwa ia memiliki dua cacat, salah satunya adalah kurang tinggi, dan yang kedua adalah betisnya seperti betis unta. Maka Sulaiman ‘alaihis salam memerintahkan agar singgasananya disamarkan dan ditinggikan, lalu mereka menyamarkannya, kemudian ia memerintahkan agar dibuatkan istana dari kaca.


وَيَجْرِي مِنْ تَحْتِهِ وَحَوَالَيْهِ نَهْرًا وَيَجْعَلُوا فِيْهِ السَّمَكَ وَالضَّفَادِعَ وَأُمِرَ بِأَنْ يَتَّخِذُوا عَلَى رَأْسِ الْمَاءِ قَنْطَرَةً مِنْ زُجَاجٍ فَفَعَلُوا مَا أُمِرَ ثُمَّ سَأَلَهَا سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ وَلَمْ تَقُلْ نَعَمْ لِأَنَّهُ مُغَيَّرٌ وَلَمْ تَقُلْ لَا لِأَنَّهَا كَانَتْ تَرَى بَعْضَ عَلَامَاتِ عَرْشِهَا فَعَلِمَ سُلَيْمَانُ بِهَذَا الْقَوْلِ أَنَّهَا عَاقِلَةٌ ثُمَّ أَمَرَهَا بِأَنْ تَدْخُلَ الصَّرْحَ وَعَزَمَتْ عَلَى الدُّخُوْلِ فَرَأَتِ الزُّجَاجَ عَلَى الْمَاءِ فَحَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا فَرَأَى سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ لَيْسَ فِيْهَا شَيْءٌ مِنَ الْعُيُوْبِ وَالْمَنْقَصَةِ قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيْرَ أَيْ زُجَاجٍ فَلَمَّا رَأَتْ بِلْقِيْسُ هَذِهِ الْعَلَامَةَ تَفَكَّرَتْ فِي نَفْسِهَا أَنَّهُ مَعَ عِظَمِ عَرْشِي وَكَثْرَةِ جُنُوْدِي وَحَشَمِي وَسِعَةِ بَلَدِي وَقَلَاعِي وَبُعْدِ الْمَسَافَةِ بَيْنِي وَبَيْنَ سُلَيْمَانَ وَأُحْضِرُ فِي سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ أَحَدٌ إِلَّا اللَّهُ الْمَلِكُ الْمُتَعَالِي وَقَالَتْ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ فَمَنْ يَقْدِرُ أَنْ يَصِفَ عَرْشَ رَسُوْلِ اللَّهِ سُلَيْمَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي كَانَتِ الرِّيْحُ مَرْكَبَهُ وَالْإِنْسُ وَالْجِنُّ جُنُوْدَهُ وَالطَّيْرُ مُعِيْنَهُ مُحَدِّثَهُ وَالْوَحْشُ مُسَخَّرَةٌ وَالْمَلَائِكَةُ رُسُلُهُ وَكَانَ لَهُ مَيْدَانٌ لَبِنَةٌ مِنْ فِضَّةٍ وَكَانَ مُدُّ عَسْكَرِهِ مِائَةَ فَرْسَخٍ وَكَانَ مَنْزِلُهُ شَهْرًا وَكَانَتِ الْجِنُّ نَسَجَتْ لَهُ بِسَاطًا مِنْ ذَهَبٍ وَمِنْ فِضَّةٍ فِيْهِ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ مِحْرَابٍ فِي كُلِّ مِحْرَابٍ كُرْسِيٌّ مِنْ ذَهَبٍ وَفِضَّةٍ عَلَى كُلِّ كُرْسِيٍّ عَالِمٌ مِنْ عُلَمَاءِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَكَانَ يُطْبَخُ فِي كُلِّ يَوْمٍ أَلْفُ جَزُوْرٍ وَأَرْبَعَةُ آلَافِ بَقَرَةٍ وَأَرْبَعُوْنَ أَلْفًا مِنَ الْغَنَم


Dan mengalir dari bawahnya dan sekelilingnya sungai, dan mereka membuat di dalamnya ikan-ikan dan katak-katak. Dan diperintahkan untuk membuat di atas permukaan air jembatan dari kaca, maka mereka melakukannya sesuai perintah. Kemudian Sulaiman alaihissalam bertanya kepadanya, “Apakah seperti ini singgasanamu?” Dia menjawab, “Seakan-akan itu dia.” Dia tidak mengatakan “ya” karena ia telah diubah, dan tidak pula mengatakan “tidak” karena ia melihat sebagian tanda-tanda singgasananya. Maka Sulaiman mengetahui dari perkataan ini bahwa dia berakal. Kemudian dia memerintahkannya untuk memasuki istana. Dan dia bertekad untuk masuk, maka dia melihat kaca di atas air, lalu dia menyangkanya genangan air dan menyingkapkan
kedua betisnya. Maka Sulaiman  alaihissalam melihat bahwa tidak ada sesuatu pun yang cacat dan kurang padanya. Dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah istana yang licin terbuat dari kaca,” yaitu kaca. Maka ketika Bilqis melihat tanda ini, dia berpikir dalam dirinya, bahwa meskipun singgasanaku agung, tentaraku dan pengawalku banyak, negeriku luas, benteng-bentengku kokoh, dan jarak antara aku dan Sulaiman jauh, namun singgasanaku dihadirkan dalam satu jam.
Apa yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun kecuali Allah, Raja Yang Maha Tinggi. Dan dia (Bilqis) berkata sebagaimana yang dia katakan, “Ya Tuhanku,sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” Kemudian Sulaiman bin Daud  alaihimasdalam menikahinya. Maka siapakah yang mampu menggambarkan singgasana Rasulullah Sulaiman shallallahu alaihi wasallam yang angin menjadi kendaraannya, manusia dan jin menjadi tentaranya, burung-burung menjadi pembantu dan pemberi kabar baginya, binatang buas tunduk kepadanya, dan malaikat menjadi utusannya? Dan dia memiliki lapangan (atau bangunan) yang satu batanya terbuat dari perak. Dan luas perkemahannya seratus farsakh, dan jarak perjalanannya sebulan. Dan jin telah menenun untuknya permadani dari emas dan perak yang di dalamnya terdapat dua belas ribu mihrab, di setiap mihrab terdapat kursi dari emas dan perak, dan di setiap kursi terdapat seorang alim dari ulama Bani Israil. Dan dimasak setiap hari seribu ekor unta, empat ribu ekor sapi, dan empat puluh ribu ekor kambing.


(نُكْتَةُ) الرَّاهِبُ نَظَرَ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ مَرَّةً وَاحِدَةً فَأَكْرَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِالْإِيمَانِ وَأَنْقَذَهُ مِنْ عَذَابِهِ، فَالْمُؤْمِنُ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى قَلْبِهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ الرَّؤُوفِ الْمَنَّانِ ثَلَاثَمِائَةٍ وَسِتِّينَ نَظْرَةً فَيَرَى فِيهِ التَّوْحِيدَ وَالصَّفَاءَ وَالْإِحْسَانَ وَالنَّدَامَةَ عَلَى عِصْيَانِهِ، أَفَلَا يُنْقِذُهُ مِنَ النِّيْرَانِ (وَ) يُوجِبُ الْجِنَانَ وَيُزَوِّجُهُ بِالْحُوْرِ الْحِسَانِ الَّذِي لَمْ يَطْمَثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ؟ وَكَيْفَ لَا يَطْمَعُهُ مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ؟ بَلْ يُشَرِّفُهُ وَيُفَضِّلُ عَلَيْهِ بِرُؤْيَتِهِ وَهُوَ الرَّحِيمُ الرَّحْمَانُ.
فَلَمَّا وَصَلَ الْعِيْرُ إِلَى الشَّامِ وَاتَّجَرُوا فِيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمَيْسَرَةُ خَرَجُوا إِلَى عِيْدٍ لِلْيَهُوْدِ لِلنَّظَارَةِ، فَلَمَّا وَصَلُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ دَخَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ إِلَى بَيْعَتِهِمْ فَنَظَرَ إِلَى الْقَنَادِيْلِ الَّتِي كَانَتْ مُعَلَّقَةً بِالسَّلَاسِلِ فَتَقَطَّعَتْ سَلَاسِلُهَا جَمِيْعًا، فَخَافَتِ الْيَهُوْدُ وَقَالَتْ لِعُلَمَائِهِمْ: مَا هَذِهِ الْعَلَامَةُ الَّتِيْ ظَهَرَتْ؟ قَالُوا: نَجِدُ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ مُحَمَّدًا نَبِيٌّ آخِرِ الزَّمَانِ إِذَا حَضَرَ فِيْ عِيْدِ الْيَهُوْدِ تَظْهَرُ هَذِهِ الْعَلَامَةُ فَلَعَلَّهُ قَدْ حَضَرَ الْيَوْمَ، فَطَلَبُوْهُ وَقَالُوا: لَوْ وَجَدْنَاهُ لَقَتَلْنَاهُ وَدَفَعْنَا شَرَّهُ. فَلَمَّا سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمَيْسَرَةُ هَذَا الْقَوْلَ تَبَادَرُوا لِلرُّجُوْعِ إِلَى مَكَّةَ فَرَجَعُوا. وَكَانَ مَيْسَرَةُ إِذَا دَنَا مِنْ مَكَّةَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يُرْسِلُ أَحَدًا إِلَى خَدِيْجَةَ يُبَشِّرُهَا بِقُدُوْمِهِ، فَقَالَ لِمُحَمَّدٍ ﷺ: لَوْ أَرْسَلْتُكَ بَشِيْرًا هَلْ تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ أَقْدِرُ. فَأَرْسَلَ مَيْسَرَةُ نَاقَةً وَزَيَّنَهَا بِأَنْوَاعِ الْحَرِيْرِ وَأَرْكَبَ عَلَيْهَا رَسُوْلَ اللَّهِ وَوَجَّهَهُ نَحْوَ مَكَّةَ، وَكَتَبَ كِتَابًا وَقَالَ فِيْهِ: يَا سَيِّدَةَ قُرَيْشٍ إِنَّ التِّجَارَةَ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ أَرْبَحُ تِجَارَاتِيْ فِيْ سَائِرِ السَّنِيْنَ. فَسَاقَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ النَّاقَةَ وَغَابَ عَنْ أَعْيُنِهِمْ، فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ أَطْوِ الْأَرْضَ تَحْتَ أَقْدَامِ نَاقَةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم.


(Sebuah catatan) Seorang rahib melihat cincin kenabian hanya sekali, maka Allah Ta’ala memuliakannya dengan keimanan dan menyelamatkannya dari azab-Nya. Maka seorang mukmin yang melihat ke dalam hatinya, kepada Raja Yang Maha Menghakimi, Maha Penyayang, Maha Pemberi karunia, sebanyak tiga ratus enam puluh kali, lalu dia melihat di dalamnya tauhid, kejernihan, kebaikan, dan penyesalan atas kemaksiatannya, bukankah Dia akan menyelamatkannya dari neraka? Dan mewajibkan baginya surga, dan menikahkannya dengan para bidadari yang cantik jelita yang belum pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelum mereka? Dan bagaimana mungkin Dia tidak memberikannya harapan dari setiap buah sepasang-sepasang? Bahkan Dia memuliakannya dan melebihkannya dengan melihat-Nya, dan Dia adalah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.
Maka tatkala kafilah itu sampai ke Syam dan mereka berdagang di sana, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Maisarah keluar menuju hari raya orang-orang Yahudi untuk melihat-lihat. Tatkala mereka sampai ke tempat salat mereka, Rasulullah ﷺ masuk ke gereja mereka, lalu beliau melihat lentera-lentera yang tergantung dengan rantai, maka terputuslah semua rantainya. Orang-orang Yahudi pun ketakutan dan berkata kepada para ulama mereka, “Apa tanda yang telah tampak ini?” Mereka menjawab, “Kami dapati dalam Taurat bahwa Muhammad adalah nabi akhir zaman, jika dia hadir pada hari raya orang-orang Yahudi, maka tanda ini akan tampak. Barangkali dia telah hadir hari ini.” Maka mereka mencarinya dan berkata, “Seandainya kami menemukannya, pasti kami akan membunuhnya dan menyingkirkan kejahatannya.” Tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Maisarah mendengar perkataan ini, mereka bersegera untuk kembali ke Mekah, maka mereka pun kembali. Dan adalah Maisarah, jika dia mendekati Mekah tujuh hari lamanya, dia akan mengirim seseorang kepada Khadijah untuk memberikan kabar gembira tentang kedatangannya. Maka dia berkata kepada Muhammad ﷺ, “Seandainya aku mengutusmu sebagai pembawa kabar gembira, apakah engkau sanggup melakukan itu?” Beliau menjawab, “Ya, aku sanggup.” Maka Maisarah mengirim seekor unta dan menghiasinya dengan berbagai macam sutra, dan menaikkan Rasulullah di atasnya serta menghadapkannya ke arah Mekah. Dan dia menulis surat yang berbunyi, “Wahai pemimpin wanita Quraisy, sesungguhnya perniagaan pada tahun ini adalah perniagaanku yang paling menguntungkan di seluruh tahun-tahun yang lain.” Maka Rasulullah ﷺ menuntun unta itu dan menghilang dari pandangan mereka. Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada Jibril ‘alaihissalam untuk melipat bumi di bawah kaki unta Muhammad SAW


وَيَا إِسْرَافِيلُ أَحْفَظُهُ عَنْ يَمِينِهِ وَيَا مِيكَائِيلُ أَحْفَظُهُ عَنْ يَسَارِهِ وَيَا سَحَابُ أَظِلَّهُ فَأَلْقَى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ النَّوْمَ فَنَامَ فَأَوْصَلَهُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ إِلَى مَكَّةَ وَكَانَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا جَالِسَةً عَلَى الرُّوَاقِ وَنَظَرَتْ نَحْوَ الشَّامِ فَرَأَتْهُ رَاكِبًا يُقْبِلُ وَالسَّحَابُ عَلَى رَأْسِهِ يُظَلِّلُهَا كَانَ حَوْلَهَا حَوَارٌ كَثِيرَةٌ فَقَالَتْ هَلْ تَعْرِفْنَ ذَلِكَ الرَّاكِبَ الَّذِي يَجِيءُ؟ فَقَالَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ يُشْبِهُ مُحَمَّدًا الْأَمِينَ فَقَالَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِنْ كَانَ هُوَ مُحَمَّدًا الْأَمِينَ فَقَدْ أَعْتَقْتُكُنَّ جَمِيعَكُنَّ لِقُدُومِهِ فَوَصَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَابَ دَارِهَا فَاسْتَقْبَلَتْهُ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَأَكْرَمَتْهُ وَبَجَّلَتْهُ وَقَالَتْ وَهَبْتُ لَكَ النَّاقَةَ الَّتِي رَكِبْتَ بِمَا عَلَيْهَا ثُمَّ ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى بَيْتِ عَمِّهِ وَمَرَّتْ أَيَّامٌ فَجَاءَ يَوْمًا إِلَى دَارِ خَدِيجَةَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا يَا مُحَمَّدُ تَكَلَّمْ وَأَخْبِرْنِي بِمَا تُرِيدُ فَقَالَ إِنَّ عَمِّي وَعَمَّتِي أَرْسَلَانِي بِأَنْ أَسْأَلَ الْأُجْرَةَ الْأُسْرَةِ يُرِيدَانِ أَنْ يُزَوِّجَانِي وَقَالَ هَذَا الْقَوْلَ وَاسْتَحَى وَنَكَّسَ رَأْسَهُ فَقَالَتْ خَدِيجَةُ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ الْأَجْرَ قَلِيلٌ فَلَا يَحْصُلُ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَكِنْ أُزَوِّجُكَ زَوْجَةً مِنْ أَشْرَافِ الْعَرَبِ وَأَحْسَنِهَا حَالًا وَأَكْثَرِهَا مَالًا وَهِيَ تَرْغَبُ فِيهَا مُلُوكُ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ فَلَمْ تَقْبَلْ وَأَنَا أَسْعَى فِي تَزْوِيجِهَا لَكَ وَلَكِنْ فِيهَا عَيْبٌ وَهُوَ أَنَّهُ كَانَ لَهَا زَوْجٌ قَبْلَكَ فَإِنْ قَبِلْتَ فَهِيَ خَادِمَتُكَ وَجَارِيَتُكَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِهَا وَلَمْ يُكَلِّمْ بِشَيْءٍ وَأَتَى بَيْتَ عَمِّي وَعَمَّتِهِ وَقَالَ إِنَّ خَدِيجَةَ قَدْ سَحَرَتْ بِي وَقَالَتْ لِي كَيْتَ وَكَيْتَ فَقَالَتْ عَاتِكَةُ إِنْ كَانَ مَا قَالَتْ حَقًّا فَأُنَازِعُ مَعَهَا فَأَتَتِ الْبُهَا وَقَالَتْ يَا خَدِيجَةُ إِنْ كَانَ لَكِ مَالٌ وَنَسَبٌ فَلَنَا حَسَبٌ وَنَسَبٌ فَلِمَاذَا تَسْحَرِينَ بِابْنِ أَخِي مُحَمَّدٍ فَقَامَتْ وَاعْتَذَرَتْ وَقَالَتْ مَنْ يُطِيقُ أَنْ يَسْحَرَ مِنْ أَنْسَابِكُمْ وَلَكِنِّي عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنْ قَبِلَنِي تَزَوَّجْتُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَحَدًا إِلَى أَنْ أَمُوتَ فَقَالَتْ عَاتِكَةُ هَلْ عَلِمَ بِهَذَا الْقَوْلِ عَمُّكِ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ فَقَالَتْ لَا وَلَكِنْ قَوْلِي لِأَخِيكِ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يَتَّخِذَ ضِيَافَةً وَيَدْعُوَ عَمِّي وَرَقَةَ ابْنَ نَوْفَلٍ وَيَسْقِيَهُ مِنَ الْأَشْرِبَةِ وَيَخْطُبَنِي مِنْهُ فَرَجَعَتْ عَاتِكَةُ وَأَخْبَرَتْ أَخَاهَا بِقَوْلِ خَدِيجَةَ فَاتَّخَذَ ضِيَافَةً وَدَعَا وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلٍ وَأَشْرَافَ الْعَرَبِ وَخَطَبَ خَدِيجَةَ فَقَالَ قَبِلْتُ إِلَّا أَنِّي أُشَاوِرُهَا وَذَهَبَ إِلَى بَيْتِ خُدَيْجَةَ فَشَاوَرَهَا فَقَالَتْ يَا عَمِّي كَيْفَ أَرُدُّ خِطْبَةَ مُحَمَّدٍ وَلَهُ أَمَانَةٌ وَصِيَانَةٌ وَحَسَبٌ وَأَصَالَةٌ فَقَالَ وَرَقَةُ نَعَمْ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ مَالٌ فَقَالَتْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ فَلِي مَالٌ بِلَا حَدٍّ وَلَا حَاجَةَ لِي فِي الْمَالِ مُرَادِي الرِّجَالُ فَقَدْ وَكَّلْتُكَ يَا عَمِّي بِتَزْوِيجِي إِيَّاهُ فَرَجَعَ وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ إِلَى دَارِ أَبِي طَالِبٍ وَعَقَدَ النِّكَاحَ وَخَطَبَ بِنَفْسِهِ خُطْبَةً بَلِيغَةً فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُرِيدُ أَنْ تَذْهَبَ مَعِي إِلَى دَارِ خَدِيجَةَ فَقَالَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حُبًّا وَكَرَامَةً ثُمَّ أَتَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِدَارِعَةٍ مِصْرِيَّةٍ وَعِمَامَةٍ وَأَلْبَسَهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَا إِلَى دَارِ خَدِيجَةَ وَكَانَتْ خَدِيجَةُ أَقَامَتْ مِائَةَ غُلَامٍ عَلَى يَمِينِ بَابِهَا بِيَدِ كُلِّ وَاحِدٍ طَبَقٌ مَمْلُوءٌ مِنْ دُرٍّ وَيَاقُوتٍ وَزَبَرْجَدٍ فَلَمَّا حَضَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَثَرَ الْغِلْمَانُ الْجَوَاهِرَ كُلَّهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَارَهَا وَقَدَّمَتْ مَوَائِدَ عَلَيْهَا أَلْوَانُ الْأَطْعِمَةِ فَأَكَلَ ثُمَّ رَجَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَكَلَّمَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَالَتْ يَا مُحَمَّدُ وَالْعَبِيدُ وَالطَّارِفُ وَالتَّالِدُ كُلُّهَا لَكَ فَلِذَلِكَ نَزَلَ قَوْلُهُ تَعَالَى وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى يَعْنِي عَالَ خَدِيجَةَ وَيُقَالُ إِنَّ خَدِيجَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَاشَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ سَنَةً وَخَمْسَةَ أَشْهُرٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنْهَا خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً قَبْلَ الْوَحْيِ وَالْبَاقِي بَعْدَ الْوَحْيِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ تَزَوَّجَهَا ابْنَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً فَوَلَدَتْ مِنْهُ سَبْعَةَ أَوْلَادٍ ثَلَاثَةً ذُكُورًا الْقَاسِمَ وَالطَّاهِرَ وَالْمُطَهَّرَ كُلُّهُمْ مَاتُوا فِي الصِّغَرِ وَأَرْبَعًا إِنَاثًا فَاطِمَةَ وَزَيْنَبَ وَرُقَيَّةَ وَأُمَّ كُلْثُومٍ فَزَوَّجَ فَاطِمَةَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَزَيْنَبَ بِأَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ وَأُمَّ كُلْثُومٍ بِعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَمَاتَتْ عِنْدَهُ ثُمَّ زَوَّجَهُ بِرُقَيَّةَ وَكَانَتِ الْأَنْكِحَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.


“Wahai Israfil, jagalah dia dari kanannya. Wahai Mikail, jagalah dia dari kirinya. Wahai awan, naungilah dia.” Maka Allah Ta’ala menimpakan tidur kepadanya, lalu ia tidur. Kemudian Allah membawanya pada saat itu juga ke Makkah. Dan Khadijah radhiyallahu ‘anha sedang duduk di beranda, lalu ia melihat ke arah Syam dan melihatnya datang berkendara, awan di atas kepalanya menaunginya. Di sekelilingnya banyak wanita, lalu ia bertanya, “Apakah kalian mengenali pengendara yang datang itu?” Salah seorang dari mereka berkata, “Ia mirip Muhammad Al-Amin.” Khadijah radhiyallahu ‘anha berkata, “Jika benar ia adalah Muhammad Al-Amin, maka aku bebaskan kalian semua karena kedatangannya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di depan pintu rumahnya, lalu Khadijah radhiyallahu ‘anha menyambutnya, memuliakannya, dan mengagungkannya. Ia berkata, “Aku hibahkan kepadamu unta yang engkau tunggangi beserta apa yang ada di atasnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke rumah pamannya. Beberapa hari berlalu, lalu suatu hari beliau datang ke rumah Khadijah. Khadijah radhiyallahu ‘anha berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bicaralah dan beritahukan kepadaku apa yang engkau inginkan.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya pamanku dan bibiku mengutusku untuk meminta upah keluarga, mereka ingin menikahkan aku.” Beliau mengatakan perkataan ini dengan malu dan menundukkan kepalanya.
Khadijah berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya upah itu sedikit dan tidak menghasilkan apa-apa. Akan tetapi, aku akan menikahkanmu dengan seorang wanita dari bangsawan Arab, yang paling baik keadaannya, paling banyak hartanya, dan raja-raja Arab dan ‘Ajam (non-Arab) menginginkannya. Ia tidak menerimanya, dan aku berusaha untuk menikahkannya denganmu. Akan tetapi, ada satu aib padanya, yaitu ia pernah memiliki suami sebelummu. Jika engkau menerimanya, maka ia adalah pelayan dan sahayamu.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dari sisinya dan tidak berkata apa pun. Beliau pergi ke rumah paman dan bibinya dan berkata, “Sesungguhnya Khadijah telah menyihirku dan mengatakan kepadaku begini dan begitu.” ‘Atikah berkata, “Jika apa yang ia katakan benar, maka aku akan berselisih dengannya.” Lalu ia datang kepada Khadijah dan berkata, “Wahai Khadijah, jika engkau memiliki harta dan nasab, maka kami juga memiliki kemuliaan dan nasab. Mengapa engkau menyihir keponakanku, Muhammad?” Khadijah berdiri dan meminta maaf, seraya berkata, “Siapa yang sanggup menyihir dari keturunan kalian? Akan tetapi, aku menawarkan diriku kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia menerimaku, aku akan menikah dengannya. Jika ia tidak menerimaku, aku tidak akan menikah dengan siapa pun sampai aku mati.”
‘Atikah berkata, “Apakah pamanmu, Waraqah bin Naufal, mengetahui perkataan ini?” Khadijah menjawab, “Tidak. Akan tetapi, katakan kepada saudaramu, Abu Thalib, untuk mengadakan jamuan makan, mengundang pamanku, Waraqah bin Naufal, memberinya minuman, dan meminangku darinya.” Maka ‘Atikah kembali dan memberitahukan saudaranya tentang perkataan Khadijah. Abu Thalib mengadakan jamuan makan, mengundang Waraqah bin Naufal dan para bangsawan Arab, dan meminang Khadijah. Waraqah berkata, “Aku terima, hanya saja aku akan bermusyawarah dengannya.” Lalu ia pergi ke rumah Khadijah dan bermusyawarah dengannya. Khadijah berkata, “Wahai pamanku, bagaimana aku menolak pinangan Muhammad, sedangkan ia memiliki amanah, penjagaan diri, kemuliaan, dan keaslian nasab?” Waraqah berkata, “Benar, hanya saja ia tidak memiliki harta.” Khadijah berkata, “Jika ia tidak memiliki harta, maka aku memiliki harta yang tak terbatas dan aku tidak membutuhkan harta. Tujuanku adalah laki-laki itu. Aku telah mewakilkan kepadamu, wahai pamanku, untuk menikahkanku dengannya.”
Maka Waraqah bin Naufal kembali ke rumah Abu Thalib dan melaksanakan akad nikah serta berkhutbah dengan khutbah yang fasih. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, “Aku ingin engkau pergi bersamaku ke rumah Khadijah.” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Dengan senang hati dan penghormatan.” Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu datang dengan membawa baju gamis Mesir dan surban, lalu memakaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berdua pergi ke rumah Khadijah. Khadijah telah menyiapkan seratus budak laki-laki di sebelah kanan pintu rumahnya, di tangan masing-masing terdapat nampan yang penuh dengan mutiara, yaqut, dan zamrud. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir, para budak laki-laki itu menaburkan seluruh permata itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya, dan Khadijah telah menyiapkan hidangan dengan berbagai macam makanan, lalu beliau makan. Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kembali ke rumahnya.
Lalu Khadijah radhiyallahu ‘anha berbicara dan berkata, “Wahai Muhammad, semua budak, harta baru, dan harta warisan adalah milikmu.”
“Maka karena itulah turun firman Allah Ta’ala: ‘Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.’ (Ad-Dhuha: 8) Yakni, kekurangan karena Khadijah. Dikatakan bahwa Khadijah radhiyallahu ‘anha hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh empat tahun, lima bulan, dan delapan hari. Lima belas tahun di antaranya sebelum wahyu, dan sisanya setelah wahyu. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikahinya berusia dua puluh lima tahun. Khadijah melahirkan tujuh orang anak dari beliau, tiga laki-laki yaitu Al-Qasim, At-Thahir, dan Al-Muthahhar, mereka semua meninggal di usia kecil. Dan empat perempuan yaitu Fatimah, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum. Rasulullah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Zainab dengan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’, dan Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma, lalu Ummu Kultsum meninggal di sisi Utsman. Kemudian beliau menikahkan Utsman dengan Ruqayyah. Dan pernikahan-pernikahan itu terjadi pada hari Jumat.”

Referensi

 
هَدِيَّةُ الْأَحْيَاءِ إِلَى الْأَمْوَاتِ وَمَا يَصِلُ إِلَيْهِمْ لِلْبُخَارِيِّ ١/١٧٤ :
ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ يَأْتُونَ كُلَّ جُمُعَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقِفُونَ بِحِذَاءِ دُورِهِمْ وَبُيُوتِهِمْ فَيُنَادِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِصَوْتٍ حَزِينٍ: يَا أَهْلِي وَوُلْدِي وَأَهْلَ بَيْتِي وَقَرَابَاتِي، اعْطِفُوا عَلَيْنَا بِشَيْءٍ، رَحِمَكُمُ اللَّهُ، وَاذْكُرُونَا وَلَا تَنْسَوْنَا، وَارْحَمُوا غُرْبَتَنَا، وَقِلَّةَ حِيلَتِنَا، وَمَا نَحْنُ فِيهِ، فَإِنَّا قَدْ بَقِينَا فِي سِجْنٍ وَضَيِّقٍ، وَغَمٍّ طَوِيلٍ، وَوَهْنٍ شَدِيدٍ، فَارْحَمُونَا رَحِمَكُمُ اللَّهُ، وَلَا تَبْخَلُوا عَلَيْنَا بِدُعَاءٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ تَسْبِيحٍ، لَعَلَّ اللَّهَ يَرْحَمُنَا قَبْلَ أَنْ تَكُونُوا أَمْثَالَنَا، فَيَا حَسْرَتَاهُ وَانْدَامَاهُ يَا عِبَادَ اللَّهِ، اسْمَعُوا كَلَامَنَا، وَلَا تَنْسَوْنَا، فَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّ هَذِهِ الْفُضُولَ الَّتِي فِي أَيْدِيكُمْ كَانَتْ فِي أَيْدِينَا، وَكُنَّا لَمْ نُنْفِقْ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَمَنَعْنَاهَا عَنِ الْحَقِّ فَصَارَ وَبَالًا عَلَيْنَا وَمَنْفَعَتُهُ لِغَيْرِنَا وَالْحِسَابُ عَلَيْنَا .


Hadiah orang-orang yang hidup kepada orang-orang yang mati dan apa yang sampai kepada mereka (diriwayatkan) oleh Bukhari 1/174:
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang setiap malam Jumat ke langit dunia, lalu mereka berdiri di dekat rumah-rumah dan tempat tinggal mereka. Kemudian setiap satu dari mereka memanggil dengan suara sedih: ‘Wahai keluargaku, anak-anakku, ahli baitku, dan kerabatku, berilah kami sesuatu, semoga Allah merahmati kalian. Ingatlah kami dan jangan lupakan kami, kasihanilah keterasingan kami dan sedikitnya daya upaya kami serta keadaan kami. Sesungguhnya kami telah tinggal di penjara dan kesempitan, serta kesedihan yang panjang dan kelemahan yang parah. Maka kasihanilah kami, semoga Allah merahmati kalian. Janganlah kalian kikir kepada kami dengan doa, sedekah, atau tasbih, semoga Allah merahmati kami sebelum kalian menjadi seperti kami. Maka alangkah menyesalnya dan alangkah ruginya kami! Wahai hamba-hamba Allah, dengarkanlah perkataan kami dan janganlah kalian melupakan kami. Sesungguhnya kalian mengetahui bahwa kelebihan harta yang ada di tangan kalian dahulu ada di tangan kami, dan kami tidak menginfakkannya dalam ketaatan kepada Allah, dan kami menahannya dari kebenaran, maka ia menjadi bencana atas kami dan manfaatnya untuk orang lain, sedangkan hisabnya (perhitungannya) atas kami.'”


البجيرمي على الخطيب ٢/٣٠١
قوله: (ويندب الزيارة القبور) فرع: روح المؤمن لها ارتباط بقبره لا تفارقه أبداً، لكنها أشد ارتباطاً به من عصر الخميس إلى شمس السبت؛ ولذلك اعتاد الناس الزيارة يوم الجمعة وفي عصر يوم الخميس وأما زيارته – صلى الله عليه وسلم – لشهداء أحد يوم السبت فلقضاء يوم الجمعة عما يطلب فيه من الأعمال مع بعدهم عن المدينة. اهـ. ق ل على المحلي وقال – صلى الله عليه وسلم -: “إن أرواح المؤمنين يأتون في كل ليلة إلى سماء الدنيا ويقفون بحذاء بيوتهم وينادي كل واحد بصوت حزين ألف مرة يا أهلي وأقاربي وولدي يا من سكنوا بيوتنا ولبسوا ثيابنا واقتسموا أموالنا هل منكم من أحد يذكرنا ويفكرنا في غربتنا ونحن في سجن طويل وحضن شديد؟ فارحمونا يرحمكم الله ولا تبخلوا علينا قبل أن تصيروا مثلنا يا عباد الله إن الفضل الذي في أيديكم كان في أيدينا وكنا لا ننفق منه في سبيل الله وحسابه ووباله علينا والمنفعة لغيرنا؛ فإن لم تنصرف أي الأرواح بشيء فينصرفون بالحسرة والحرمان”. اهـ من الجامع الكبير


Al-Bujairami ‘ala al-Khatib 2/301
Perkataannya: (Disunnahkan menziarahi kubur) Cabang: Ruh seorang mukmin memiliki keterikatan dengan kuburnya yang tidak pernah berpisah selamanya, akan tetapi keterikatannya lebih kuat dari waktu Ashar hari Kamis hingga terbit matahari hari Sabtu; oleh karena itu orang-orang terbiasa berziarah pada hari Jumat dan pada waktu Ashar hari Kamis. Adapun ziarah beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kepada syuhada Uhud pada hari Sabtu adalah untuk mengqadha’ (mengganti) amalan hari Jumat yang diminta untuk dikerjakan meskipun mereka jauh dari Madinah. Selesai. Q.L. mengutip dari Al-Mahalli dan bersabda – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: “Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang pada setiap malam ke langit dunia dan mereka berdiri di dekat rumah-rumah mereka. Kemudian setiap satu dari mereka memanggil dengan suara sedih seribu kali: ‘Wahai keluargaku, kerabatku, dan anak-anakku, wahai orang-orang yang mendiami rumah-rumah kami, mengenakan pakaian kami, dan membagi-bagi harta kami, adakah di antara kalian yang mengingat kami dan memikirkan keterasingan kami, padahal kami berada di penjara yang panjang dan pelukan yang sempit? Kasihanilah kami, semoga Allah mengasihi kalian. Janganlah kalian kikir kepada kami sebelum kalian menjadi seperti kami, wahai hamba-hamba Allah. Sesungguhnya kelebihan harta yang ada di tangan kalian dahulu ada di tangan kami, dan kami tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka perhitungannya dan akibat buruknya menimpa kami, sedangkan manfaatnya untuk orang lain; maka jika ruh-ruh itu tidak kembali dengan sesuatu (pahala), maka mereka kembali dengan penyesalan dan kerugian.'” Selesai dari Al-Jami’ Al-Kabir.


غاية تلخيص المراد بهامش بغية المسترشدين ص : ٢٠٦ دار الفكر
(مسألة) إذا سأل رجل آخر هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة فلا يحتاج إلى جواب لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر المنجم زجرا بليغا فلا عبرة بمن يفعله. وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا كذا، والمؤثر هو الله عز وجل. فهذا عندي لا بأس فيه وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات. وأفتى الزملكاني بالتحريم مطلقا وأفتى ابن الصلاح بتحريم الضرب بالرمل والحصى ونحوها قال حسين الأهدل وما يوجد من التعاليق في الكتب من ذلك فمن خرافات بعض المنجمين والمتخذلقين وترهاتهم لا يحل اعتقاد ذلك وهو من الاستقسام بالأزلام ومن جملة الطيرة المنهى عنها وقد نهى عنه علي وابن عباس رضي الله عنهما.


Tujuan: Ringkasan dari maksud catatan kaki kitab Bughyatul Mustarsyidin hal. 206 Darul Fikr
(Masalah) Jika seseorang bertanya kepada orang lain, “Apakah malam ini atau hari ini baik untuk akad nikah atau pindah rumah?”, maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal itu, dan ahli nujum dicela dengan celaan yang keras, maka tidak ada nilai bagi orang yang melakukannya. Ibnu Al-Farqah meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa jika ahli nujum mengatakan dan meyakini bahwa tidak ada yang memberi pengaruh kecuali Allah, tetapi Allah telah menetapkan kebiasaan bahwa akan terjadi demikian demikian, dan Yang Maha Memberi Pengaruh adalah Allah Azza wa Jalla. Maka menurutku ini tidak mengapa. Dan di mana ada celaan, maka itu ditujukan kepada orang yang meyakini pengaruh bintang-bintang dan makhluk lainnya. Az-Zarkasyi memberi fatwa haram secara mutlak, dan Ibnu Ash-Shalah memberi fatwa haram terhadap praktik meramal dengan pasir, kerikil, dan sejenisnya. Husain Al-Ahdal berkata, “Dan apa yang terdapat dalam catatan-catatan di kitab-kitab dari hal itu, maka itu termasuk khurafat sebagian ahli nujum dan orang-orang yang sok tahu serta omong kosong mereka. Tidak halal meyakini hal itu, dan itu termasuk istiqsam bil azlam (mengundi nasib dengan anak panah). Dan termasuk bagian dari thiyarah (merasa bernasib sial karena sesuatu) yang dilarang, dan Ali serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma telah melarangnya.” Wallahu a’lam bishawab
 


Kategori
Uncategorized

HUKUM MENYENTUH METODE PRAKTIS PEMBELAJARAN AL-QUR’AN “ATTANZIL” BAGI PEREMPUAN HAID ATAU HADATS

Hukum Menyentuh Metode Praktis Pembelajaran Al-Qur’an ( AT-TANZIL) bagi Perempuan Haid atau Berhadats Kecil

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Perkembangan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an untuk anak usia dini (TK/RA/TPA) terus berkembang. Berbagai metode praktis seperti At-Tanzil,yang ditulis oleh Ust.H Suroto Suruji Rahimahullah, ada juga metode Iqro’, Qiroati, dan Al-Barqi banyak digunakan. Metode-metode ini seringkali memuat potongan ayat Al-Qur’an sebagai materi pembelajaran.

Dalam praktik pengajarannya, mayoritas guru adalah perempuan, walaupun ada sebagian pengampunya laki-laki. Hal ini menimbulkan permasalahan terkait kondisi guru yang sedang haid atau berhadats kecil, terutama dalam hal menyentuh buku-buku metode tersebut.

Pertanyaan:

1.Bagaimana hukumnya perempuan yang sedang haid atau berhadats kecil menyentuh buku-buku metode pembelajaran Al-Qur’an (seperti At-Tanzil, juz 1,2,3 ,5 ,6 atau Iqro’, Qiroati, dan Al-Barqi)?

2 Apakah buku-buku metode praktis tersebut, khususnya metode At-Tanzil, dikategorikan sebagai mushaf, mengingat adanya potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya?

Poin-poin Penting:

✔️ Fokus pada hukum menyentuh buku metode pembelajaran Al-Qur’an, bukan membaca Al-Qur’an.
✔️Mempertimbangkan kondisi guru perempuan yang seringkali berhadapan dengan situasi haid atau hadats kecil.
✔️ Mempertanyakan status buku-buku metode tersebut apakah sama dengan mushaf.

Waalaikumsalam salam

Jawaban: no.1

Ditafsil:

A. Juz Terpisah:

✅Juz 1 dan 2 (fokus pada pengenalan huruf hijaiyah dan kata sambung): Diperbolehkan menyentuh tanpa wudhu.

B. Juz 3-6 Metode At-Tanzil(mengandung potongan ayat Al-Qur’an dan surat pendek): Haram menyentuh tanpa wudhu.

C. Kitab metode At-Tanzil Utuh (Semua Juz Disatukan):

✅Jika lebih banyak tulisan non-ayat: Misalkan pengenalan huruf hijaiyyah dan kata sambung selain ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera didalamnya seperti: -أَبَجَدٌ-هَوَزٌ- خَطَيَ- كَمُلَ- مَتَنَ صَصِصُ atau صَاصَ dll. Tak terkecuali misalkan didalamnya ada bahasan ilmu tajwid dan nadhomannya dalam hal ini Diperbolehkan menyentuh tanpa wudhu.

✅Jika lebih banyak huruf ayat -ayat Al-Qur’an atau surat pendek: Haram menyentuh tanpa wudhu.

Dalam artian, jika jumlah huruf Al-Qur’an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an sebanyak 162.671) atau jumlah ayat al-Quran yang ada di metode At-Tanzil masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada Metode Attanzil, maka dalam hal ini diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab kitab atau buku praktis Metode At-Tanzil. Hal ini disamakan dengan tafsir. Sebagaimana sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhrurrazi, Al-Qurtuby, Ibnu katsir, dll.

Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf Al-Qur’an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu. 

Pertanyaan: Apakah Metode At-Tanzil termasuk mushaf?

Jawaban: 02

Tergantung pada kandungan juznya.
Jika mengandung tulisan ayat-ayat Al-Qur’an atau surat-surat dalam Al-Qur’an, maka termasuk bagian dari mushaf.Tapi jika dalam sebagian juz tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an maka tidaklah termasuk mushaf

Kesimpulan:

Hukum menyentuh Metode AT-TANZIL tanpa wudhu bergantung pada kandungan ayat Al-Qur’an di dalamnya.

✅Bagian yang mengandung ayat Al-Qur’an dikategorikan sebagai bagian dari mushaf dan harus diperlakukan dengan hormat ( punya wudhu’).

✅Untuk menjaga kehati hatian, lebih baik dalam keadaan suci ketika menyentuh kitab atau buku Metode tersebut yang didalamnya terdapat ayat Al-quran, lagi pula bagi guru dalam keadaan suci lebih utama.

referensi

المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٨ص٥-٦

مُصْحَفٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الْمُصْحَفُ بِضَمِّ الْمِيمِ، وَيَجُوزُ الْمِصْحَفُ بِكَسْرِهَا، وَهِيَ لُغَةُ تَمِيمٍ، وَهُوَ لُغَةً: اسْمٌ لِكُل مَجْمُوعَةٍ مِنَ الصُّحُفِ الْمَكْتُوبَةِ ضُمَّتْ بَيْنَ دَفَّتَيْنِ، قَال الأَْزْهَرِيُّ: وَإِِِنَّمَا سُمِّيَ الْمُصْحَفُ مُصْحَفًا لأَِنَّهُ أُصْحِفَ، أَيْ جُعِل جَامِعًا لِلصُّحُفِ الْمَكْتُوبَةِ بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ (١) .
وَالْمُصْحَفُ فِي الاِصْطِلاَحِ: اسْمٌ لِلْمَكْتُوبِ فِيهِ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ.
وَيَصْدُقُ الْمُصْحَفُ عَلَى مَا كَانَ حَاوِيًا لِلْقُرْآنِ كُلِّهِ، أَوْ كَانَ مِمَّا يُسْمَّى مُصْحَفًا عُرْفًا وَلَوْ قَلِيلاً كَحِزْبٍ، عَلَى مَا صَرَّحَ بِهِ الْقَلْيُوبِيُّ، وَقَال ابْنُ حَبِيبٍ: يَشْمَل مَا كَانَ مُصْحَفًا جَامِعًا أَوْ جُزْءًا أَوْ وَرَقَةً فِيهَا بَعْضُ سُورَةٍ أَوْ لَوْحًا أَوْ كَتِفًا مَكْتُوبَةً (٢) .

الأَْلْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ:
الْقُرْآنُ:
١ – الْقُرْآنُ لُغَةً: الْقِرَاءَةُ، قَال اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِِِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ} (١) .
وَهُوَ فِي الاِصْطِلاَحِ: اسْمٌ لِكَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُنَزَّل عَلَى رَسُولِهِ مُحَمِّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ، الْمَكْتُوبِ فِي الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُول إِِِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتَرًا (٢) .
فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُصْحَفِ: أَنَّ الْمُصْحَفَ اسْمٌ لِلْمَكْتُوبِ مِنَ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ الْمَجْمُوعِ بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ وَالْجِلْدِ، وَالْقُرْآنُ اسْمٌ لِكَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَكْتُوبِ فِيهِ (٣) .
الأَْحْكَامُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِالْمُصْحَفِ:
تَتَعَلَّقُ بِالْمُصْحَفِ أَحْكَامٌ مِنْهَا:
لَمْسُ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ لِلْمُصْحَفِ
٢ – ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِِِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ، رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمِّدٍ
وَالْحَسَنِ وَقَتَادَةَ وَعَطَاءٍ وَالشَّعْبِيِّ، قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَلاَ نَعْلَمُ مُخَالِفًا فِي ذَلِكَ إِِلاَّ دَاوُدَ (١) .
وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْجَنَابَةُ وَالْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ، فَلاَ يَجُوزُ لأََحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الأَْحْدَاثِ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ حَتَّى يَتَطَهَّرَ، إِِلاَّ مَا يَأْتِي اسْتِثْنَاؤُهُ.
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ يَمَسُّهُ إِِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ} (٢) .
وَبِمَا فِي كِتَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِِلَى أَهْل الْيُمْنِ (٣) ، وَهُوَ قَوْلُهُ لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِِلاَّ طَاهِرٌ (٤) ، وَقَال ابْنُ عُمَرَ: قَال النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِِلاَّ طَاهِرٌ (٥) .
لَمْسُ الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ لِلْمُصْحَفِ
٤ – ذَهَبَ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ إِِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ، وَجَعَلَهُ ابْنُ قُدَامَةَ مِمَّا لاَ يَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا عَنْ غَيْرِ دَاوُدَ.
وَقَال الْقُرْطُبِيُّ: وَقِيل: يَجُوزُ مَسُّهُ بِغَيْرِ وُضُوءٍ، وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ: وَحَكَى ابْنُ الصَّلاَحِ قَوْلاً غَرِيبًا بِعَدِمِ حُرْمَةِ مَسِّهِ مُطْلَقًا (١) .
وَلاَ يُبَاحُ لِلْمُحْدِثِ مَسُّ الْمُصْحَفِ إِِلاَّ إِِذَا أَتَمَّ طَهَارَتَهُ، فَلَوْ غَسَل بَعْضَ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ لَمْ يَجُزْ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِهِ قَبْل أَنْ يُتِمَّ وُضُوءَهُ، وَفِي قَوْلٍ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ: يَجُوزُ مَسُّهُ بِالْعُضْوِ الَّذِي تَمَّ
غَسْلُهُ

Definisi Mushaf :

“Mushaf” dengan dhammah pada huruf mim, dan boleh juga “mishhaf” dengan kasrah, ini adalah dialek suku Tamim.

Secara bahasa : Mushaf itu adalah nama untuk setiap kumpulan lembaran-lembaran tertulis yang disatukan di antara dua sampul. Azhari berkata: “Mushaf dinamakan mushaf karena ‘ushifa’, yaitu dijadikan sebagai kumpulan lembaran-lembaran tertulis di antara dua sampul.”

Secara istilah syariat: mushaf adalah nama untuk tulisan yang di dalamnya terdapat firman Allah Ta’ala di antara dua sampul. Mushaf berlaku untuk apa pun yang berisi seluruh Al-Qur’an, atau apa pun yang secara umum disebut mushaf meskipun sedikit, seperti satu hizb (bagian dari Al-Qur’an), sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qalyubi. Ibnu Habib berkata: “Mencakup apa pun yang merupakan mushaf lengkap atau sebagian, atau lembaran yang berisi sebagian surah, atau papan, atau tulang belikat yang tertulis.”
Kata-kata yang Berkaitan:
Al-Qur’an:

Pengertian Al-Qur’an.

Secara bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Allah Ta’ala berfirman: “Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu.”

Secara istilah syariat, Al-Qur’an adalah nama untuk firman Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ibadah dilakukan dengan membacanya, tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan kepada kita secara mutawatir.

Perbedaan antara Al-Qur’an dan Mushaf

Mushaf adalah nama untuk tulisan dari Al-Qur’an yang mulia yang dikumpulkan di antara dua sampul dan jilid,

sedangkan Al-Qur’an adalah nama untuk firman Allah Ta’ala yang tertulis di dalamnya.

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Mushaf:

Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan mushaf, di antaranya:

1️⃣.Menyentuh Mushaf oleh Orang Junub dan Haid:

Para ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats besar untuk menyentuh mushaf. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan, Qatadah, Atha’, dan Asy-Sya’bi. Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui ada yang berbeda pendapat dalam hal ini kecuali Dawud.”
Baik itu janabah (keadaan junub), haid, maupun nifas, tidak boleh bagi siapa pun yang mengalami hadats-hadats ini untuk menyentuh mushaf hingga ia bersuci, kecuali apa yang akan disebutkan pengecualiannya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Dan dengan apa yang ada dalam surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amr bin Hazm radhiyallahu ‘anhu untuk penduduk Yaman, yaitu sabda beliau: “Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Ibnu Umar berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”

2️⃣Menyentuh Mushaf oleh Orang yang Berhadats Kecil:

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf. Ibnu Qudamah menjadikannya sebagai hal yang tidak diketahui ada perbedaan pendapat di dalamnya selain dari Dawud. Al-Qurthubi berkata: “Dikatakan: Boleh menyentuhnya tanpa wudhu.” Al-Qalyubi dari kalangan Syafi’iyah berkata: “Ibnu Shalah meriwayatkan pendapat yang aneh dengan tidak mengharamkan menyentuhnya secara mutlak.”
Tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf kecuali jika ia telah menyempurnakan kesuciannya. Jika ia membasuh sebagian anggota wudhu, maka tidak boleh menyentuh mushaf dengannya sebelum ia menyempurnakan wudhunya. Dalam sebuah pendapat di kalangan Hanafiyah: Boleh menyentuhnya dengan anggota tubuh yang telah selesai dibasuh.

Referensi:


حاشية الباجورى ج١ص١١٧

( والرابع مس المصحف ) وهو اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين ( وحمله ) إلا إذا خافت عليه ( قوله وهو ) أى المصحف وقوله اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين أى بين دفتى المصحف وهذا التفسير ليس مرادا هنا وإنما المراد به هنا كل ما كتب عليه قرآن لدراسته ولو عمودا أو لوحا أو نحوهما الى أن قال …. والعبرة بقصد الكاتب إن كان يكتب لنفسه وإلا فقصد الآمر أو المستأجر

[ Haasyiyah al-Baajuri I/117 ].

Yang No. 4 dari hal yang diharamkan bagi wanita haid adalah memegang Mushaf. Mushaf ialah nama dari tulisan firman Allah diantara dua lampiran. Juga haram membawanya kecuali saat ia menghawatirkannya. (keterangan Mushaf ialah nama dari tulisan firman Allah diantara dua lampiran) yang dikehendaki adalah setiap perkara yang ditulis Al-Qur’an untuk dibaca meskipun berupa tiang, papan atau lainnya…. Pertimbangannya diserahkan pada penulis bila tujuan penulisannya untuk pribadi , bila penulisannya bukan untuk pribadi maka pertimbangannya diserahkan kepada orang yang menyuruh menulis Al Qur’an atau diserahkan kepada penyewa jasa penulisan Al Qur’an.

Referensi :

تحفة المحتاج .ج١ص١٤٩

( و ) حمل ومس ( ما كتب لدرس قرآن ) ولو بعض آية ( كلوح فى الأصح ) لأنه كالمصحف وظاهر قولهم بعض آية أن نحو الحرف كاف وفيه بعد بل ينبغى فى ذلك البعض كونه جملة مفيدة

[ Tuhfah al-Muhtaaj I/149 ].

Dan haram membawa serta memegang tulisan quran untuk dibaca meskipun hanya sebagian ayat seperti halnya yang berupa papan menurut pendapat yang paling shahih karena ia seperti mushaf. (keterangan meskipun hanya sebagian ayat) tidak semacam huruf KAAF, pengertian ini terlalu jauh semestinya batasan dikatakan sebagian ayat adalah susunan kalimat yang berfaedah.

Referensi:


مناهل العرفان للشيخ محمد عبد العظيم الزقني ج٢ص٨٠

وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض 

(Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80) 

Artinya: Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain

Terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:

Referensi :

نهاية الزين للشيخ محمد النووي البنتني. ج١ ص ٣٣

أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان

( Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33).

Artinya: Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis di bawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan . Wallahub a’lam bishawab

بغية المسترشدين ج ٢٦

( مسألة ى ) يكره حمل التفسير ومسه إن زاد على القرآن وإلا حرم. وتحرم قراءة القرآن على نحو جنب بقصد القراءة ولو مع غيرها لا مع الإطلاق على الراجح ولا بقصد غير القراءة كرد غلط وتعليم وتبرك ودعاء .


[ Bughyah al-Mustarsyidiin hal0 26 ].

Makruh membawa dan memegang Tafsir yang jumlahnya melebihi tulisan qurannya bila tidak maka haram. Dan haram membacanya bagi semisal orang junub bila bertujuan untuk membacanya meskipun alQurannya bersama tulisan lain tapi tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya menurut pendapat yang kuat dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya seperti saat membenarkan bacaan yang salah, mengajar, mencari keberkahan dan berdoa.

وحكى وجه أن للجنب أن يقرأ ما لم يدخل فى حد الإعجاز وهو ثلاث آيات ونقل الترمذى فى الجامع عن الشافعى أنه قال لا يقرأ الحائض والجنب شيئا إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك أفاده فى البكرى.

[ At-Turmusy hal. 427-428 ].

Dihikayahkan sebuah pendapat bahwa bagi orang junub diperbolehkan membaca alQuran asal tidak dalam batasan ‘hal yang dapat melemahkan’ dari alQuran yakni berupa tiga ayat, Imam at-Turmudzi mengutip dari Imam Syafi’i yang berkata “Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca sesuatu dari alQuran kecuali ujung ayat , huruf dan sejenisnya.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Bahtsul Masail Munakahat

HUKUM BERBAGI KT,LG MOMEN KULINER DAN PERJALANAN DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Hukum Berbagi Momen Kuliner dan Perjalanan di Media Sosial dalam Perspektif Islam

Deskripsi Masalah

Dewasa ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang. Berbagai aktivitas sehari-hari seringkali diabadikan dan dibagikan melalui platform-platform tersebut, termasuk kegiatan kuliner dan perjalanan. Fenomena mengunggah foto atau video makanan yang sedang disantap (sering disebut “food photography”, “food vlogger” atau “kulineran”) serta momen-momen perjalanan (“travel story”) menjadi sangat umum.
Namun, muncul pandangan yang melarang atau tidak memperbolehkan aktivitas ini berdasarkan interpretasi ajaran agama. Beberapa penceramah menyampaikan bahwa tindakan memamerkan makanan atau kesenangan di media sosial dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti riya (pamer), ‘ujub (kagum pada diri sendiri), menimbulkan rasa iri pada orang lain yang mungkin sedang kesulitan, atau dianggap sebagai bentuk menyia-nyiakan nikmat Allah dengan menjadikannya sekadar konten.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam. Di satu sisi, berbagi pengalaman dan informasi, termasuk tentang kuliner dan tempat wisata, bisa menjadi hal yang positif dan bermanfaat. Di sisi lain, kekhawatiran akan implikasi negatif seperti yang disebutkan dalam ceramah tersebut menjadi pertimbangan yang serius.

Pertanyaan

Bagaimana hukum berbagi atau memposting kt LG kuliner makanan (momen kuliner ) dan LG perjalanan di media sosial menurut perspektif Islam?

Waalaikumsalam
Jawaban

Dalam perspektif Islam, hukum berbagi momen kuliner dan perjalanan di media sosial dapat bervariasi tergantung pada niat dan dampaknya. Berikut adalah beberapa poin penting:

1️⃣ Niat yang Baik:
Jika niatnya adalah untuk berbagi kebahagiaan, menginspirasi orang lain, atau memberikan informasi bermanfaat tentang tempat makan atau wisata, sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah maka hal itu diperbolehkan, bahkan hukumnya sunnah.

Misalnya, berbagi pengalaman kuliner untuk merekomendasikan tempat makan yang baik, atau berbagi foto perjalanan untuk menginspirasi orang lain menjelajahi keindahan alam.

2️⃣Menghindari Riya dan ‘Ujub:
Jika niatnya adalah untuk pamer atau membanggakan diri, bahkan menimbulkan bahaya pada dirinya dan orang lain maka hal itu dilarang dalam Islam ( hukumnya haram).

Islam mengajarkan untuk menghindari sikap riya (pamer) dan ‘ujub (kagum pada diri sendiri), karena hal itu dapat merusak amal ibadah.
Memperhatikan Dampak pada Orang Lain:
Perlu diperhatikan perasaan orang lain yang mungkin sedang mengalami kesulitan atau kekurangan.
Berbagi momen kemewahan secara berlebihan dapat menimbulkan rasa iri atau kesenjangan sosial.

Kesimpulan dan Saran:
Hukum membuat konten kuliner dan jalan-jalan di media sosial pada dasarnya adalah boleh, bahkan sunnah jika bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah namun bisa menjadi makruh atau bahkan haram jika disertai dengan niat yang buruk, cara penyampaian yang salah, atau menimbulkan dampak negatif.

Saran yang bisa dipertimbangkan:

  1. Luruskan Niat: Pastikan niat dalam membuat konten adalah baik, seperti bersyukur, berbagi informasi bermanfaat, atau menjalin silaturahmi secara positif.
  2. Jaga Adab: Hindari pamer, berlebihan, merendahkan orang lain, atau konten yang tidak bermanfaat.
  3. Perhatikan Dampak: Pertimbangkan bagaimana konten Anda akan diterima oleh orang lain. Hindari hal-hal yang bisa menimbulkan kedengkian atau menyakiti perasaan orang lain.
  4. Prioritaskan Kewajiban: Jangan sampai aktivitas membuat konten melalaikan kewajiban utama .
  5. Bijak dalam Berbagi: Tidak semua hal perlu dibagikan di media sosial. Pertimbangkan privasi diri dan keluarga.
    Sebaiknya, kita selalu introspeksi diri dan bertanya pada hati nurani tentang motivasi kita dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam bermedia sosial. Jika kita merasa ada kecenderungan untuk riya’ atau tujuan buruk lainnya, maka sebaiknya kita menghindarinya.
    Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab. Referensi:

المجالس السنية .ص ٢

 عَنْ أَمِيرِ المُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رضي اللهُ عنهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَفِي رِوَايَةٍ: بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، وَفِي رِوَايَةٍ: يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. رَوَاهُ إِمَامُ المُحَدِّثِينَ أَبُو عَبدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ المُغِيرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهِ البُخَارِيُّ الجُعْفِيُّ، وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ القُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُورِيُّ فِي صَحِيحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الكُتُبِ المُصَنَّفَةِ.

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan dalam riwayat lain: pada niat-niat, sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh, atau wanita yang ingin ia nikahi, dan dalam riwayat lain: yang akan ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan. Diriwayatkan oleh imam ahli hadits Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, dan Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qushairi an-Naisaburi dalam kitab shahih mereka berdua, yang merupakan kitab-kitab yang paling shahih yang pernah ditulis.

Kaidah fiqhiyyah menyebutkan:

الأمور بمقاصدها

” (Segala sesuatu tergantung pada niatnya).

لاضرر ولاضرار


Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain

Mengenai ceramah yang melarang membuat konten di media sosial, kemungkinan besar penceramah tersebut melihat potensi dampak negatif yang lebih besar jika tidak dilakukan dengan hati-hati dan niat yang benar. Beliau mungkin menekankan pentingnya menjaga keikhlasan dan menghindari perbuatan yang bisa menjerumuskan pada riya’, ujub (kagum pada diri sendiri), atau menimbulkan dampak negatif bagi orang lain.

تفسير المنير للزحيلي ج٣ص٢٨٦-٢٩٠

– {وَأَمّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ} أي تحدث بنعمة ربك عليك، واشكر هذه النعمة وهي النبوة والقرآن، وما ذكر في الآيات، والتحدث بنعمة الله
شكر، فكما كنت عائلا فقيرا، فأغناك الله، فتحدث بنعمة الله عليك، كما
جاء في الدعاء النبوي المأثور: «واجعلنا شاكرين لنعمتك، مثنين عليها، قابليها، وأتمها علينا».
وأخرج أبو داود والترمذي وصححه عن أبي هريرة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال:
«لا يشكر الله من لا يشكر الناس».

فقه الحياة أو الأحكام:
دلت الآيات على ما يأتي:

وقال النبي صلّى الله عليه وسلّم أيضا: «ردّوا السائل ببذل يسير، أو ردّ جميل، فإنه يأتيكم من ليس من الإنس ولا من الجن، ينظر كيف صنيعكم فيما خوّلكم الله – إلى أن قال- وأمر الله تعالى رسوله صلّى الله عليه وسلّم بشكر نعمة الله عليه وهي النبوة والرسالة، وإنزال القرآن الكريم عليه. ويكون الشكر بنشر ما أنعم الله عليه، والتحدث بنعم الله، والاعتراف بها شكر لها.

قال العلماء المحققون: التحديث بنعم الله تعالى جائز مطلقا، بل مندوب إليه إذا كان الغرض أن يقتدي به غيره، أو أن يشيع شكر ربه بلسانه، وإذا لم يأمن على نفسه الفتنة والإعجاب، فالستر أفضل.
وإنما أخر التحديث تقديما لمصلحة المخلوقات على حق الله؛ لأن الله غني وهم المحتاجون، ولهذا رضي لنفسه بالقول فقط‍.

Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili, juz 30, halaman 286-290:

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)” (QS. Ad-Duha: 11). Maksudnya, nyatakanlah nikmat Tuhanmu yang diberikan kepadamu, dan bersyukurlah atas nikmat tersebut, yaitu kenabian, Al-Qur’an, dan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Menyatakan nikmat Allah adalah bentuk syukur. Sebagaimana engkau dahulu miskin dan kekurangan, lalu Allah memberikanmu kekayaan, maka nyatakanlah nikmat Allah kepadamu, seperti yang terdapat dalam doa Nabi yang diriwayatkan: “Jadikanlah kami orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, yang memuji-Mu, yang menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat itu kepada kami.”
Abu Daud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dan mensahihkannya dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.”

Fiqih kehidupan atau hukum :

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Tolaklah orang yang meminta dengan pemberian yang sedikit, atau dengan penolakan yang baik. Karena sesungguhnya ia datang kepadamu bukan dari golongan manusia atau jin, ia melihat bagaimana perbuatanmu terhadap apa yang Allah berikan kepadamu.”
Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mensyukuri nikmat Allah kepadanya, yaitu kenabian, kerasulan, dan diturunkannya Al-Qur’an yang mulia kepadanya. Syukur itu dilakukan dengan menyebarkan apa yang Allah berikan kepadanya, menyatakan nikmat Allah, dan mengakui nikmat tersebut sebagai bentuk syukur kepadanya.
Para ulama peneliti berkata: Menyatakan nikmat Allah Ta’ala diperbolehkan secara mutlak, bahkan dianjurkan ( sunnah hukmnya) jika tujuannya agar orang lain meneladaninya, atau agar ia menyebarkan syukur kepada Tuhannya dengan lisannya. Namun, jika ia tidak aman dari fitnah dan ujub (merasa kagum pada diri sendiri), maka menyembunyikannya lebih utama.
Penundaan penyebaran nikmat ini dikarenakan mendahulukan maslahat makhluk atas hak Allah. Karena Allah Maha Kaya, sedangkan mereka yang membutuhkan. Oleh karena itu, Allah ridha dengan hanya ucapan saja.”

Referensi:

إحياء علوم الدين .ص ٤٣٤

الْقِسْمُ الثَّانِي مَا يَخُصُّ ضَرَرُهُ الْمُعَامِلَ . فَكُلُّ مَا يَسْتَضِرُّ بِهِ الْمُعَامِلُ فَهُوَ ظُلْمٌ وَإِنَّمَا العدل لَا يَضُرَّ بِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ وَالضَّابِطُ الْكُلِّيُّ فِيهِ أن لا يحبلِأَخِيهِ إِلَّا مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ فَكُلُّ مَا لو عومل به شق عَلَيْهِ وَثَقُلَ عَلَى قَلْبِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يُعَامِلَ غَيْرَهُ بِهِ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَوِيَ عنده درهمه ودرهم غيره
قال بعضهم من باع أخاه شيئا بدرهم وليس يصلح له لو اشتراه لنفسه إلا بخمسة دوانق فإنه قد ترك النصح المأمور به في المعاملة ولم يحب لأخيه ما يحب لنفسه هذه جملته
فأما تفصيله ففي أربعة أمور
أَنْ لَا يُثْنِيَ عَلَى السِّلْعَةِ بِمَا لَيْسَ فيها وأن لا يكتم من عيوبها وخفايا صفاتها شيئاً أصلاً وأن لا يكتم في وزنها ومقدارها شيئاً وأن لا يكتم من سعرها ما لو عرفه المعامل لامتنع عنه
أما الأول فهو ترك الثناء فإن وصفه للسلعة إن كان بما ليس فيها فهو كَذِبٌ فَإِنْ قَبِلَ الْمُشْتَرِي ذَلِكَ فَهُوَ تَلْبِيسٌ وظلم مع كونه كذباً وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَهُوَ كَذِبٌ وَإِسْقَاطُ مُرُوءَةٍ إذ الكذب الذي لا يروج قد لا يقدح في ظاهر المروءة وإن أثنى على السلعة بما فيها فهو هذيان وتكلم بكلام لا يعنيه وهو محاسب على كل كلمة تصدر منه أنه لم تكلم بها
قال الله تعالى {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عتيد} إلا أن يثني على السلعة بما فيها مما لا يعرفه المشتري ما لم يذكره كما يصفه من خفى أخلاق العبيد والجواري والدواب فلا بأس بذكر القدر الموجود منه من غير مبالغة وإطناب وليكن قصده منه أن يعرفه أخوه المسلم فيرغب فيه وتنقضي بسببه حاجته ولا ينبغي أن يحلف عليه الْبَتَّةَ فَإِنَّهُ إِنْ كَانَ كَاذِبًا فَقَدْ جَاءَ باليمين الغموس وهي من الكبائر التي تذر الديار بلاقع وَإِنْ كَانَ صَادِقًا فَقَدْ جَعَلَ اللَّهَ تَعَالَى عُرْضَةً لِأَيْمَانِهِ وَقَدْ أَسَاءَ فِيهِ إِذِ الدُّنْيَا أَخَسُّ مِنْ أَنْ يَقْصِدَ تَرْوِيجَهَا بِذِكْرِ اسْمِ اللَّهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَفِي الْخَبَرِ وَيْلٌ لِلتَّاجِرِ مِنْ بَلَى وَاللَّهِ وَلَا وَاللَّهِ وَوَيْلٌ للصانع من غد وبعد (١)

Bagian Kedua: Mengenai Bahaya yang Menimpa Orang yang Berinteraksi.
Maka segala sesuatu yang dengannya orang yang berinteraksi dirugikan, maka itu adalah kezaliman. Sesungguhnya keadilan itu tidak merugikan saudaranya sesama Muslim. Dan patokan umumnya dalam hal ini adalah engkau tidak memperlakukan saudaramu kecuali dengan apa yang engkau sukai untuk dirimu sendiri. Maka segala sesuatu yang jika engkau diperlakukan dengannya akan memberatkanmu dan terasa berat di hatimu, maka hendaknya engkau tidak memperlakukan orang lain dengannya. Bahkan hendaknya sama di sisimu antara dirhammu dan dirham orang lain.
Berkata sebagian ulama: Barang siapa menjual sesuatu kepada saudaranya dengan harga satu dirham, padahal barang itu tidak layak baginya jika ia membelinya untuk dirinya sendiri kecuali dengan harga lima daniq (seperenam dirham), maka sungguh ia telah meninggalkan nasihat yang diperintahkan dalam bermuamalah dan tidak menyukai untuk saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri. Ini adalah ringkasannya.
Adapun rinciannya, maka dalam empat perkara:
Tidak memuji barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya. Dan tidak menyembunyikan sedikit pun dari aib-aibnya dan sifat-sifatnya yang tersembunyi.
Tidak menyembunyikan sesuatu pun dalam timbangan dan ukurannya.
Tidak menyembunyikan dari harganya sesuatu yang jika diketahui oleh pembeli, niscaya ia akan menolaknya.
Adapun yang pertama, yaitu meninggalkan pujian yang berlebihan. Sesungguhnya jika ia mensifati barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya, maka itu adalah dusta. Jika pembeli menerima hal itu, maka itu adalah penipuan dan kezaliman di samping kedustaannya. Dan jika pembeli tidak menerimanya, maka itu tetap dusta dan menggugurkan kehormatan, karena kedustaan yang tidak laku mungkin tidak menciderai zahir kehormatan.
Adapun jika ia memuji barang dagangan dengan sesuatu yang memang ada padanya, maka itu adalah omong kosong dan perkataan yang tidak penting baginya, dan ia akan dihisab atas setiap kata yang keluar darinya, mengapa ia tidak mengucapkan kata yang lain. Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18).
Kecuali jika ia memuji barang dagangan dengan sesuatu yang ada padanya yang tidak diketahui oleh pembeli jika ia tidak menyebutkannya, seperti ia menyebutkan sifat-sifat tersembunyi budak laki-laki, budak perempuan, dan hewan ternak. Maka tidak mengapa menyebutkan kadar sifat yang ada padanya tanpa berlebihan dan memperpanjang-panjang. Hendaknya tujuannya adalah agar saudaranya sesama Muslim mengetahuinya sehingga ia tertarik dan kebutuhannya terpenuhi karenanya.
Dan tidak sepantasnya bersumpah atasnya sama sekali. Karena jika ia berdusta, maka sungguh ia telah melakukan sumpah palsu (yamin ghamus), dan itu termasuk dosa besar yang meninggalkan rumah-rumah menjadi kosong (tidak berpenghuni karena kebinasaan). Dan jika ia benar, maka sungguh ia telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai sasaran sumpahnya, dan ia telah berbuat buruk dalam hal itu, karena dunia ini lebih hina dari sekadar ia bermaksud melariskan dagangannya dengan menyebut nama Allah tanpa ada kebutuhan mendesak. Dan dalam sebuah khabar (hadis): “Celakalah pedagang dari ucapan ‘demi Allah’ dan ‘tidak demi Allah’, dan celakalah pengrajin dari ucapan ‘besok’ dan ‘lusa’.”

وفقًا للإمام الغزالي، يمكن رؤية علامات الشخص المرائي من خلال سلوكه وتصرفاته التي تظهر عدم الإخلاص في العبادة أو العمل الصالح. في مؤلفاته مثل “إحياء علوم الدين”، يوضح أن الرياء هو الرغبة في أن يراه الناس أو يمدحوه على فعل الخير، مما يقلل أو حتى يُبطل قيمة العبادة عند الله. وفيما يلي بعض علامات الشخص المرائي حسب الإمام الغزالي:
الكسل في العمل الصالح عندما يكون بمفرده الشخص المرائي يميل إلى الكسل في أداء الأعمال الصالحة عندما لا يكون هناك من يراه. فهو لا يتحمس إلا إذا كان هناك شاهد يمكنه أن يمدحه أو يعترف بفعله.
الحماس في العمل الصالح أمام الآخرين عندما يكون بين الناس، يظهر حماسًا مفرطًا في العبادة أو فعل الخير، بهدف أن يُلاحظ عمله ويحصل على المديح.
زيادة العمل عندما يُمدح
إذا حصل على المديح، يصبح أكثر نشاطًا في العمل الصالح. فالمديح من الناس يصبح الدافع الرئيسي له، وليس رضا الله.
نقصان العمل عندما يُنتقد أو لا يُلاحظ
على العكس، إذا لم يحصل على مديح أو تعرض للنقد، يقل حماسه، وتقل أعمال الخير التي يقوم بها لأنه لا يجد تقديرًا من البشر.
كما أكد الإمام الغزالي أن الرياء مرض قلبي خطير لأنه قد يفسد الإخلاص. فالشخص المرائي يفضل نظرة الناس على نظرة الله، مما يجعل عمله باطلاً. وقد نصح بأن يتحقق الإنسان دائمًا من نيته ويسعى للحفاظ على الإخلاص في كل عمل يقوم به.

Menurut Imam Al-Ghazali, tanda-tanda orang yang riya’ dapat dilihat dari sikap dan perilaku mereka yang menunjukkan ketidakikhlasan dalam beribadah atau beramal. Dalam karyanya, seperti Ihya Ulumuddin, beliau menjelaskan bahwa riya’ adalah keinginan untuk dilihat atau dipuji orang lain dalam melakukan kebaikan, sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai ibadah di sisi Allah. Berikut adalah beberapa tanda orang riya’ menurut Imam Al-Ghazali:
-Malas Beramal Saat Sendirian.
Orang yang riya’ cenderung malas melakukan amal kebaikan ketika tidak ada orang lain yang melihatnya. Mereka hanya bersemangat jika ada saksi yang bisa memuji atau mengakui perbuatan mereka.
-Semangat Beramal di Hadapan Orang Lain.
Ketika berada di tengah orang banyak, mereka menunjukkan semangat yang berlebihan dalam beribadah atau berbuat baik, dengan tujuan agar perbuatan mereka diperhatikan dan mendapat pujian.
-Amal Bertambah Saat Dipuji.
Jika mendapat pujian, mereka menjadi semakin giat dalam beramal. Pujian dari orang lain menjadi motivasi utama, bukan keridhaan Allah.
-Amal Berkurang Saat Dicela. atau Tidak Diperhatikan
Sebaliknya, jika tidak ada yang memuji atau bahkan mendapat celaan, semangat mereka menurun, dan frekuensi amal mereka berkurang karena tidak ada apresiasi dari manusia.

Imam Al-Ghazali juga menegaskan bahwa riya’ adalah penyakit hati yang berbahaya karena bisa merusak keikhlasan. Orang yang riya’ lebih mengutamakan pandangan manusia daripada pandangan Allah, sehingga amalnya menjadi sia-sia. Beliau menyarankan agar seseorang selalu memeriksa niatnya dan berusaha menjaga keikhlasan dalam setiap perbuatan.

سورة الإسراء ٢٧ تفسير الطبري

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
وأما قوله ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ) فإنه يعني: إنّ المفرّقين أموالهم في معاصي الله المنفقيها في غير طاعته أولياء الشياطين، وكذلك تقول العرب لكلّ ملازم سنة قوم وتابع أثرهم: هو أخوهم ( وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ) يقول: وكان الشيطان لنعمة ربه التي أنعمها عليه جحودا لا يشكره عليه، ولكنه يكفرها بترك طاعة الله، وركوبه معصيته، فكذلك إخوانه من بني آدم المبذّرون أموالهم في معاصي الله، لا يشكرون الله على نعمه عليهم، ولكنهم يخالفون أمره ويعصُونه، ويستنون فيما أنعم الله عليهم به من الأموال التي خوّلهموها عزّ وجل سنته من ترك الشكر عليها، وتلقِّيها بالكُفران. كالذي حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله (إِنَّ المُبَذّرِينَ): إن المنفقين في معاصي الله ( كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ).

Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.

Tafsir:
Adapun firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan,” maknanya adalah bahwa orang-orang yang menghambur-hamburkan harta mereka dalam kemaksiatan kepada Allah, membelanjakannya bukan dalam ketaatan kepada-Nya, mereka adalah para wali (teman dekat) setan. Demikian pula, orang Arab mengatakan untuk setiap orang yang terus-menerus mengikuti kebiasaan suatu kaum dan meneladani jejak mereka, “Dia adalah saudara mereka.”
Firman Allah, “dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya,” maksudnya adalah bahwa setan itu sangat mengingkari nikmat Tuhannya yang telah dilimpahkan kepadanya, ia tidak bersyukur atasnya. Akan tetapi, ia mengingkari nikmat itu dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan menunggangi kemaksiatan kepada-Nya. Demikian pula saudara-saudaranya dari kalangan Bani Adam, yaitu orang-orang yang menghambur-hamburkan harta mereka dalam kemaksiatan kepada Allah, mereka tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Sebaliknya, mereka melanggar perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya, serta mengikuti jejak setan dalam hal mengingkari nikmat Allah berupa harta yang telah Dia berikan kepada mereka, yaitu dengan tidak bersyukur atasnya dan menerimanya dengan kekufuran.
Sebagaimana yang diceritakan kepadaku oleh Yunus, ia berkata, Ibnu Wahb memberitahuku, ia berkata, Ibnu Zaid berkata mengenai firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu,” bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang membelanjakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah, “adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Kategori
Uncategorized

PRIORITAS ANTARA SHALAT FARDHU DAN SHALAT JENAZAH

PRIORITAS ANTARA SHALAT FARDHU DAN SHALAT JENAZAH

Deskripsi Masalah:

Kematian adalah ketentuan Allah SWT yang pasti akan dialami setiap makhluk hidup. Sebagai umat Muslim, terdapat kewajiban tajhizul jenazah terhadap saudara Muslim yang meninggal, meliputi memandikan (kecuali syahid), mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan. Dalam praktik sehari-hari, seringkali muncul situasi di mana waktu pelaksanaan shalat jenazah bertepatan dengan waktu shalat fardhu, baik shalat lima waktu maupun shalat Jum’at. Hal ini menimbulkan pertanyaan yaitu

Mana yang harus didahulukan antara shalat fardu dan shalat jenazah sebagaimana Deskripsi

Jawaban .

Prioritas antara shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) dan shalat jenazah ketika waktunya bersamaan dikondisikan oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan shalat fardhu berikut penjelasannya :

1️⃣Jika Waktu Shalat Fardhu Luas: Apabila waktu untuk melaksanakan shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) masih cukup luas setelah menunaikan shalat jenazah, maka shalat jenazah lebih diutamakan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan untuk memuliakan jenazah dan kekhawatiran akan perubahan kondisi jenazah jika penundaan terlalu lama.

2️⃣Jika Waktu Shalat Fardhu Sempit: Jika waktu untuk melaksanakan shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) menjadi sempit apabila shalat jenazah didahulukan, sehingga dikhawatirkan akan keluar dari waktunya, maka shalat fardhu (lima waktu atau Jum’at) lebih diutamakan. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu pada waktunya adalah prioritas utama dalam Islam. Ini berdasar pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa shalat fardhu didahulukan jika dikhawatirkan waktunya habis. Jika tidak dikhawatirkan habis waktu shalat fardhu, maka shalat jenazah didahulukan atas shalat Id dan gerhana sebagai penghormatan kepada jenazah, sebagaimana juga didahulukan atas shalat Jumat jika tidak dikhawatirkan habis waktunya .

Kesimpulan:
Keputusan mengenai prioritas antara shalat fardhu dan shalat jenazah yang waktunya bersamaan bergantung dengan situasi dan kondisi jika shalat fardhu masih mencukupi setelah menunaikan shalat jenazah. Maka shalat jenazah didahulukan sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah. Namun, jika waktu shalat fardhu menjadi sempit, maka shalat fardhu wajib didahulukan agar tidak keluar dari waktunya.Wallahu a’lam.

Referensi:

المكتبة الشاملة فقه الإسلامي وادلته ج٢ص١٤٣٧

خامساً ـ هل تقدم صلاة الكسوف على غيرها عند اجتماعها معها؟ إذا اجتمع صلاتان كالكسوف مع غيره من الجمعة أو فرض آخر أو العيد، أو الجنازة أو الوتر فأيهما يقدم؟
قال الشافعية والحنابلة (١):يقدم الفرض إن خيف فوته، لضيق وقته، وإلا بأن لم يخف فوت الفرض، يقدم الكسوف، ثم يخطب للجمعة متعرضاً للكسوف، ثم تصلى الجمعة، وتكفي عند الشافعية خطبة الجمعة عن خطبة الكسوف.ولو اجتمع عيد أوكسوف مع صلاة جنازة، قدمت الجنازة على الكسوف والعيد إكراماً للميت، ولأنه ربما يتغير بالانتظار، كما تقدم الجنازة على صلاة الجمعة إن لم يخف فوتها.وتقدم صلاة الكسوف على صلاة العيد والمكتوبة إن أمن الفوت.ويقدم الخسوف على الوتر باتفاق الشافعية والحنابلة، كما يقدم عند الشافعية على التراويح، وإن خيف فوت الوتر أو التراويح؛ لأنه آكد، ولأن الوتر يمكن تداركه بالقضاء. وتقدم التراويح على الخسوف عند الحنابلة إذا تعذر فعلهما؛ لأنها تختص برمضان وتفوت بفواته.

Al-Maktabah Asy-Syamilah, Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 2, halaman 1437:
Kelima: Apakah shalat gerhana matahari (kusuf) didahulukan atas shalat lainnya jika waktunya bersamaan?
Jika dua shalat bertemu waktunya, seperti shalat gerhana dengan shalat Jumat, shalat fardhu lainnya, shalat Id, shalat jenazah, atau shalat witir, maka manakah yang didahulukan?
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat:
Shalat fardhu didahulukan jika dikhawatirkan waktunya akan habis karena waktunya sempit.
Jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat fardhu, maka shalat gerhana didahulukan. Kemudian, khatib berkhutbah untuk shalat Jumat dengan menyinggung tentang gerhana, lalu dilaksanakan shalat Jumat. Menurut ulama Syafi’iyah, khutbah Jumat sudah cukup menggantikan khutbah gerhana.
Jika bertemu waktu shalat Id atau gerhana dengan shalat jenazah, maka shalat jenazah didahulukan atas shalat gerhana dan shalat Id sebagai penghormatan kepada jenazah dan karena dikhawatirkan kondisi jenazah akan berubah jika menunggu. Sebagaimana shalat jenazah juga didahulukan atas shalat Jumat jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat Jumat.
Shalat gerhana didahulukan atas shalat Id dan shalat wajib (maktubah) jika aman dari habisnya waktu shalat wajib tersebut.
Shalat gerhana bulan (khusuf) didahulukan atas shalat witir menurut kesepakatan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Begitu juga menurut ulama Syafi’iyah, didahulukan atas shalat tarawih, jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu witir atau tarawih karena witir lebih ditekankan (aakad) dan dapat diqadha. Shalat tarawih didahulukan atas shalat gerhana bulan menurut ulama Hanabilah jika keduanya tidak mungkin dikerjakan bersamaan, karena tarawih khusus dilakukan di bulan Ramadan dan akan terlewat jika bulan Ramadan berakhir.

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٢ج ص٩٧

ج – أَنَّ فَرْضَ الْعَيْنِ يَلْزَمُ بِالشُّرُوعِ إِلاَّ لِعُذْرٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، وَكَذَلِكَ فَرْضُ الْكِفَايَةِ خِلاَفًا لِلشَّافِعِيَّةِ، فَلاَ يَلْزَمُ فَرْضُ الْكِفَايَةِ بِالشُّرُوعِ إِلاَّ فِي الْجِهَادِ وَالْجِنَازَةِ وَالْحَجِّ تَطَوُّعًا عِنْدَهُمْ فَإِنَّهُ لاَ يَقَعُ إِلاَّ فَرْضَ كِفَايَةٍ.
د – أَنَّ مَنْ تَرَكَ فَرْضَ عَيْنٍ أُجْبِرَ عَلَيْهِ، وَفِي فَرْضِ الْكِفَايَةِ خِلاَفٌ كَمَا فِي تَوَلِّي الْقَضَاءِ وَكَفَالَةِ اللَّقِيطِ وَغَيْرِهَا (١) .
الْمُفَاضَلَةُ بَيْنَ فَرْضِ الْعَيْنِ وَفَرْضِ الْكِفَايَةِ:
٥ – ذَهَبَ أَبُو إِسْحَاقَ الإْسْفَرايِينِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ إِلَى أَنَّ لِلْقِيَامِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ أَفْضَلِيَّةً عَلَى الْقِيَامِ بِفَرْضِ الْعَيْنِ مِنْ حَيْثُ إِنَّ فِي أَدَائِهِ إِسْقَاطًا لِلْحَرَجِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنِ الْمُسْلِمِينَ.
وَذَهَبَ ابْنُ عَابِدِينَ وَالْجَلاَل الْمَحَلِّيُّ فِي شَرْحِهِ عَلَى جَمْعِ الْجَوَامِعِ إِلَى أَنَّ الْقِيَامَ بِفَرْضِ الْعَيْنِ أَفْضَل، لِشِدَّةِ اعْتِنَاءِ الشَّارِعِ بِهِ بِقَصْدِ حُصُولِهِ مِنْ كُل مُكَلَّفٍ، وَلأَِنَّهُ مَفْرُوضٌ حَقًّا لِلنَّفْسِ فَهُوَ أَهَمُّ عِنْدَهَا وَأَكْثَرُ مَشَقَّةً، وَنَقَل الْعَطَّارُ فِي حَاشِيَتِهِ مِنْ كَلاَمِ الإِْمَامِ الشَّافِعِيِّ وَالأَْصْحَابِ مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ، فَقَدْ قَالُوا: إِنَّ قَطْعَ الطَّوَافِ الْمَفْرُوضِ لِصَلاَةِ الْجِنَازَةِ مَكْرُوهٌ، وَعَلَّلُوهُ بِأَنَّهُ لاَ يَحْسُنُ تَرْكُ فَرْضِ الْعَيْنِ لِفَرْضِ الْكِفَايَةِ، فَإِذَا ازْدَحَمَ فَرْضُ الْكِفَايَةِ وَفَرْضُ الْعَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ لاَ يَسَعُ إِلاَّ أَحَدَهُمَا وَجَبَ تَقْدِيمُ فَرْضِ الْعَيْنِ إِلاَّ إِذَا كَانَ لَهُ بَدَلٌ، كَمَا فِي سُقُوطِ الْجُمُعَةِ مِمَّنْ لَهُ قَرِيبٌ يُمَرِّضُهُ، بَل قَالُوا: لَوِ اجْتَمَعَ جِنَازَةٌ وَجُمُعَةٌ وَضَاقَ الْوَقْتُ قُدِّمَتِ الْجُمُعَةُ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَقَدَّمَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجِنَازَةَ لأَِنَّ لِلْجُمُعَةِ بَدَلاً.
وَإِنْ كَانَ فِي الْوَقْتِ مُتَّسَعٌ فَيُقَدَّمُ فَرْضُ الْكِفَايَةِ، كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ كُسُوفٌ وَفَرْضٌ، وَلَمْ يُخَفْ فَوْتُ الْفَرْضِ، قُدِّمَ الْكُسُوفُ كَيْ لاَ يَفُوتَ، وَكَذَلِكَ يُقَدَّمُ إِنْقَاذُ الْغَرِيقِ عَلَى إِتْمَامِ الصَّوْمِ فِي حَقِّ صَائِمٍ لاَ يَتَمَكَّنُ مِنْ إِنْقَاذِهِ إِلاَّ بِالإِْفْطَارِ لِخَوْفِ الْفَوَاتِ (١) .

(Ensiklopedia Fikih Kuwait) juz 32 halaman 97 :
Bagian C:
Bahwa fardhu ‘ain (kewajiban individual) menjadi mengikat dengan dimulainya pelaksanaannya, kecuali karena adanya udzur (halangan) menurut kesepakatan para fuqaha (ahli fikih). Demikian pula halnya dengan fardhu kifayah (kewajiban kolektif), berbeda dengan madzhab Syafi’iyah. Menurut madzhab Syafi’iyah, fardhu kifayah tidak menjadi mengikat dengan dimulainya pelaksanaannya kecuali dalam jihad, jenazah, dan haji sunnah. Menurut mereka, ibadah haji sunnah tidak terlaksana kecuali sebagai fardhu kifayah.
Bagian D:
Bahwa barang siapa meninggalkan fardhu ‘ain, maka ia dipaksa untuk melaksanakannya. Adapun dalam fardhu kifayah, terdapat perbedaan pendapat sebagaimana dalam pengangkatan hakim, menanggung anak temuan, dan lain-lain (1).
Perbandingan Antara Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah:
5 – Abu Ishaq al-Isfarayini dan Imam al-Haramain berpendapat bahwa melaksanakan fardhu kifayah lebih utama daripada melaksanakan fardhu ‘ain dari sisi bahwa dalam pelaksanaannya terdapat penghilangan kesulitan dari dirinya sendiri dan dari kaum Muslimin.
Ibnu ‘Abidin dan Jalal al-Mahalli dalam syarahnya atas Jam’ al-Jawami’ berpendapat bahwa melaksanakan fardhu ‘ain lebih utama, karena perhatian syariat yang besar terhadapnya dengan tujuan agar terlaksana dari setiap mukallaf (orang yang terkena kewajiban), dan karena ia diwajibkan sebagai hak bagi diri sendiri sehingga ia lebih penting baginya dan lebih berat pelaksanaannya. Al-‘Aththar dalam hasyiyahnya menukil dari perkataan Imam Syafi’i dan para pengikutnya apa yang mendukung pendapat ini. Mereka berkata: Sesungguhnya memutus thawaf wajib untuk melaksanakan shalat jenazah adalah makruh. Mereka memberikan alasan bahwa tidak baik meninggalkan fardhu ‘ain demi fardhu kifayah.
Maka, jika fardhu kifayah dan fardhu ‘ain berbenturan dalam satu waktu yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan keduanya, maka wajib mendahulukan fardhu ‘ain kecuali jika ada penggantinya, seperti gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi orang yang memiliki kerabat yang sakit dan ia merawatnya. Bahkan mereka berkata: Jika berkumpul jenazah dan shalat Jumat, dan waktu sempit, maka shalat Jumat didahulukan menurut madzhab. Sementara Syaikh Abu Muhammad mendahulukan jenazah karena shalat Jumat ada penggantinya.
Jika waktu masih luas, maka fardhu kifayah didahulukan, seperti jika berkumpul gerhana dan shalat wajib, dan tidak dikhawatirkan terlewatnya shalat wajib, maka gerhana didahulukan agar tidak terlewat. Demikian pula, menyelamatkan orang yang tenggelam didahulukan atas menyempurnakan puasa bagi orang yang berpuasa yang tidak dapat menyelamatkannya kecuali dengan berbuka karena khawatir terlewat .

كتاب كنز الراغبين شرح منهاج الطالبين
وَإِنْ اجْتَمَعَ جُمُعَةٌ وَجِنَازَةٌ وَلَمْ يَضِقْ الْوَقْتُ قُدِّمَتْ الْجِنَازَةُ، وَإِنْ ضَاقَ قُدِّمَتْ الْجُمُعَةُ

“Dan jika berkumpul (waktu) shalat Jumat dan shalat jenazah, dan waktu (untuk keduanya) tidak sempit, maka shalat jenazah didahulukan. Namun, jika waktu (untuk shalat Jumat) sempit, maka shalat Jumat didahulukan.”Wallahu a’lam

Kategori
Uncategorized

HUKUM SILATURAHIM DAN MANFAATNYA

HUKUM SILATURAHIM DAN MANFAATNYA

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Silaturahmi adalah amalan mulia,karena didalamnya banyak hikmah atau manfaatnya, tetapi terkadang menimbulkan situasi yang tidak diinginkan seperti ghibah dan fitnah. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang hukum silaturahmi dalam kondisi tersebut yaitu:

1.Apakah wajib hukumnya silaturrahim ? Kalau wajib kepada siapa?
2.Apakah sunnah hukumnya silaturahim ? Kalau sunnah kepada siapa saja?
3.Apakah hukumnya silaturahim mubah ? Kalau mubah kepada siapa saja?

Mohon jawaban dengan referensi.

Waalaikumsalam

Jawaban:
Secara umum ulama sepakat bahwa silaturahim adalah :

Wajib, dan memutuskannya adalah dosa besar, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

{وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَْرْحَامَ}

“{Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan}”.

 وَقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيَصِل رَحِمَهُ

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahimnya.”

Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai kepada siapa harus menyambung silaturrahim yang masuk dalam kategori wajib yaitu kepada orang tua, saudara kandung, dan kerabat mahram lainnya. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 36: “

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًافَخُوْرًاۙ 

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengingatkan ancaman bagi pemutus tali silaturahmi. Abu Jabir bin Muth’im meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لايدخل الجنة قاطع الرحم

“Tidak akan masuk surga orang yang memutus (silaturahmi).” (HR. Bukhari & Muslim).

Silaturahim memiliki tingkatan, sebagian lebih tinggi dari yang lain, dan yang paling rendah adalah meninggalkan pengabaian, dan menyambungnya dengan perkataan, meskipun dengan salam. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan: ada yang wajib, dan ada yang sunnah.

Sunnah:
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa silaturahmi hukumnya sunnah, terutama kepada kerabat yang lebih jauh dan teman-teman.
walaupun hukumnya sunnah, sangat dianjurkan untuk tetap menjaga hubungan silaturahmi.

Manfaat dari silaturahmi sangat banyak,diantaranya adalah seperti:
* Mempererat tali persaudaraan.
* Mendatangkan keberkahan dan rezeki.
* Menghapus dosa-dosa. Sedangkangkam 10 manfaat lainnya akan kami jelaskan pada ibarat referensi paling akhir.
* Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang senang agar dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari & Muslim)

Mubah:
Dalam kondisi tertentu, silaturahmi bisa menjadi mubah (boleh), misalnya jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau kemudaratan.seperti Menjalin hubungan kepada kerabat nom muslim
Tetapi pada dasarnya, silaturahmi sangat dianjurkan dalam islam.
Hukum-hukum diatas sewaktu-waktu bisa berubah bergantung pada situasi dan kondisi ini berdasarkan sebuah kaidah;

الحكم يدور مع علته وجودا وعداما


Referensi:

  • Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 36.
  • Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
  • Mausuah fiqihiyah
  • Kitabul Muslim Waququl akharin
  • Tanbihul Ghafilin

كتاب الموسوعة الفقهية الكويتيه ج: ٢٧ ص: ٣٥٦-٣٥٩

صِلَةٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الصِّلَةُ فِي اللُّغَةِ: الضَّمُّ وَالْجَمْعُ، يُقَال: وَصَل الشَّيْءَ بِالشَّيْءِ وَصْلاً وَوَصْلَةً وَصِلَةً: ضَمَّهُ بِهِ وَجَمَعَهُ وَلأََمَهُ. وَعَنِ ابْنِ سِيدَهْ: الْوَصْل خِلاَفُ الْفَصْل.
كَمَا تُطْلَقُ عَلَى الْعَطِيَّةِ وَالْجَائِزَةِ، وَعَلَى الاِنْتِهَاءِ وَالْبُلُوغِ، وَعَلَى ضِدِّ الْهِجْرَانِ. (١)
وَفِي الاِصْطِلاَحِ: تُطْلَقُ عَلَى صِلَةِ الرَّحِمِ، وَصِلَةِ السُّلْطَانِ.
قَال الْعَيْنِيُّ فِي شَرْحِ الْبُخَارِيِّ: الصِّلَةُ هِيَ صِلَةُ الأَْرْحَامِ، وَهِيَ كِنَايَةٌ عَنِ الإِْحْسَانِ إِلَى الأَْقْرَبِينَ مِنْ ذَوِي النَّسَبِ وَالأَْصْهَارِ، وَالتَّعَطُّفِ عَلَيْهِمْ وَالرِّفْقِ بِهِمْ وَالرِّعَايَةِ لأَِحْوَالِهِمْ، وَكَذَلِكَ إِنْ بَعُدُوا وَأَسَاءُوا، وَقَطْعُ الرَّحِمِ قَطْعُ ذَلِكَ كُلِّهِ.
وَقَال النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ: قَال الْعُلَمَاءُ: وَحَقِيقَةُ الصِّلَةِ الْعَطْفُ وَالرَّحْمَةُ.
فَفِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ. قَال: نَعَمْ. أَمَّا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِل مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ، قَالَتْ: بَلَى. قَال: فَذَاكَ لَكِ.
(١) وَذَكَرَ النَّوَوِيُّ: أَنَّ صِلَةَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِعِبَادِهِ عِبَارَةٌ عَنْ لُطْفِهِ بِهِمْ وَرَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ وَعَطْفِهِ بِإِحْسَانِهِ وَنِعَمِهِ. وَيَعْتَبِرُ الْفُقَهَاءُ الصِّلَةَ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ الْهِبَاتِ وَالْعَطَايَا وَالصَّدَقَاتِ. كَمَا يُطْلِقُ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ عَلَى عَطَايَا السَّلاَطِينِ: صِلاَتِ السَّلاَطِينِ. (٢)
الأَْلْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ:
أ – قَطِيعَةٌ:
٢ – مِنْ مَعَانِي الْقَطِيعَةِ فِي اللُّغَةِ: الْهِجْرَانُ، يُقَال: قَطَعْتُ الصَّدِيقَ قَطِيعَةً: هَجَرْتُهُ.
وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ ضِدُّ صِلَةِ الرَّحِمِ. وَهِيَ: قَطْعُ مَا أَلِفَ الْقَرِيبُ مِنْهُ مِنْ سَابِقِ الْوَصْلَةِ وَالإِْحْسَانِ لِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ. (١)
ب – عَطِيَّةٌ:
٣ – الْعَطِيَّةُ وَالْعَطَاءُ: اسْمٌ لِمَا يُعْطَى، وَالْجَمْعُ عَطَايَا وَأَعْطِيَةٌ، وَجَمْعُ الْجَمْعِ: أُعْطِيَاتٌ. وَالْعَطِيَّةُ اصْطِلاَحًا: هِيَ مَا تُفْرَضُ لِلْمُقَاتِلَةِ. وَيَسْتَعْمِل الْفُقَهَاءُ الْعَطِيَّةَ – أَيْضًا – بِالْمَعْنَى اللُّغَوِيِّ نَفْسِهِ. (٢)
ج – هِبَةٌ:
٤ – الْهِبَةُ لُغَةً: الْعَطِيَّةُ الْخَالِيَةُ عَنِ الأَْعْوَاضِ وَالأَْغْرَاضِ.
وَفِي الْكُلِّيَّاتِ: الْهِبَةُ مَعْنَاهَا: إِيصَال الشَّيْءِ إِلَى الْغَيْرِ بِمَا يَنْفَعُهُ، سَوَاءٌ كَانَ مَالاً أَوْ غَيْرَ مَالٍ، وَيُقَال: وَهَبَ لَهُ مَالاً وَهْبًا وَهِبَةً، وَوَهَبَ اللَّهُ فُلاَنًا وَلَدًا صَالِحًا. وَالْهِبَةُ اصْطِلاَحًا: هِيَ تَمْلِيكُ الْعَيْنِ بِلاَ شَرْطِ الْعِوَضِ. (٣)

SILAH

DEFINISI:

Silah secara bahasa: Penggabungan dan pengumpulan. Dikatakan: “Washala asy-syai’a bi asy-syai’i washlan wa washlatan wa shilatan”: menggabungkannya dengannya, mengumpulkannya, dan menyatukannya. Dari Ibnu Sidah: “Washl” adalah lawan dari “fashl” (pemisahan).
Juga digunakan untuk pemberian dan hadiah, untuk akhir dan pencapaian, dan untuk lawan dari pengabaian.
Secara istilah: Digunakan untuk silaturahim dan silah sultan.

Al-‘Aini berkata dalam Syarah Bukhari: “Silah adalah silaturahim, dan itu adalah kinayah dari berbuat baik kepada kerabat dari kerabat nasab dan kerabat pernikahan, dan kasih sayang kepada mereka, kelembutan kepada mereka, dan perhatian terhadap keadaan mereka, bahkan jika mereka jauh dan berbuat buruk. Dan memutus silaturahim adalah memutus semua itu.”

An-Nawawi berkata dalam Syarah Muslim: “Para ulama berkata: Hakikat silah adalah kasih sayang dan rahmat.”

  • Dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, hingga ketika Dia selesai dari mereka, rahim berdiri dan berkata: Ini adalah tempat orang yang berlindung dari pemutusan. Dia berkata: Ya, apakah kamu tidak senang bahwa Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu? Dia berkata: Tentu. Dia berkata: Maka itu untukmu.”
    An-Nawawi menyebutkan: bahwa silah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah ungkapan dari kelembutan-Nya kepada mereka, rahmat-Nya kepada mereka, dan kasih sayang-Nya dengan kebaikan dan nikmat-Nya.

Para fuqaha menganggap silah sebagai salah satu sebab hibah, pemberian, dan sedekah.

Sebagian fuqaha juga menyebut pemberian para sultan sebagai: “shilat as-salathin” (silah para sultan).

KATA-KATA YANG BERKAITAN:

A. Qathi’ah (Pemutusan):
Salah satu makna qathi’ah dalam bahasa adalah pengabaian. Dikatakan: “Qatha’tu ash-shadiqa qathi’atan”: aku mengabaikan teman itu.

Qathi’ah rahim adalah lawan dari silah rahim. Yaitu: memutus apa yang telah dikenal oleh kerabat dari hubungan dan kebaikan sebelumnya tanpa alasan syar’i.

B. ‘Athiyyah (Pemberian):

Athiyyah dan ‘atha’ adalah nama untuk apa yang diberikan, dan jamaknya adalah ‘athaya dan a’thiyah, dan jamak dari jamak adalah: u’thiyyat.

‘Athiyyah secara istilah: adalah apa yang diwajibkan untuk para pejuang.

Para fuqaha juga menggunakan ‘athiyyah dengan makna bahasa yang sama.

C. Hibah (Pemberian):

Hibah secara bahasa: pemberian yang bebas dari imbalan dan tujuan.

Dalam Al-Kulliyat: makna hibah adalah: menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan apa yang bermanfaat baginya, baik itu harta atau bukan harta. Dikatakan: “Wahaba lahu malan wahban wa hibatan”, dan “Wahaba Allah fulanan waladan shalihan”.
Hibah secara istilah: adalah kepemilikan ‘ain tanpa syarat imbalan.

الْحُكْمُ الإِْجْمَالِيُّ:
أَوَّلاً: فِي صِلَةِ الرَّحِمِ:
٥ – لاَ خِلاَفَ فِي أَنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ وَاجِبَةٌ فِي الْجُمْلَةِ، وَقَطْعِيَّتَهَا مَعْصِيَةٌ كَبِيرَةٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَْرْحَامَ} . (١) وَقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيَصِل رَحِمَهُ. (٢) وَالصِّلَةُ دَرَجَاتٌ بَعْضُهَا أَرْفَعُ مِنْ بَعْضٍ، وَأَدْنَاهُ تَرْكُ الْمُهَاجَرَةِ، وَصِلَتُهَا بِالْكَلاَمِ وَلَوْبِالسَّلاَمِ. وَيَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاخْتِلاَفِ الْقُدْرَةِ وَالْحَاجَةِ: فَمِنْهَا وَاجِبٌ، وَمِنْهَا مُسْتَحَبٌّ.
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حَدِّ الرَّحِمِ الَّتِي تَجِبُ صِلَتُهَا فَقِيل: هِيَ كُل رَحِمٍ مَحْرَمٍ بِحَيْثُ لَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا ذَكَرًا وَالآْخَرُ أُنْثَى حُرِّمَتْ مُنَاكَحَتُهُمَا، وَعَلَى هَذَا لاَ يَدْخُل أَوْلاَدُ الأَْعْمَامِ وَلاَ أَوْلاَدُ الأَْخْوَال. وَقِيل: الرَّحِمُ عَامٌّ فِي كُلٍّ مِنْ ذَوِي الأَْرْحَامِ فِي الْمِيرَاثِ يَسْتَوِي الْمَحْرَمُ وَغَيْرُهُ. (٣)
قَال النَّوَوِيُّ: وَالْقَوْل الثَّانِي هُوَ الصَّوَابُ، وَمِمَّا يَدُل عَلَيْهِ حَدِيثُ: إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الرَّجُل أَهْل وُدِّ أَبِيهِ. (١)
وَتَفْصِيل مَسَائِل صِلَةِ الرَّحِمِ فِي مُصْطَلَحِ (أَرْحَام ٣ ٨١) .
الْهِبَةُ لِذِي الرَّحِمِ:
٦ – قَال الْحَنَفِيَّةُ: يَمْتَنِعُ الرُّجُوعُ فِي الْهِبَةِ إِذَا كَانَتْ لِذِي رَحِمٍ مَحْرَمٍ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاهِبُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا (٢) أَيْ مَا لَمْ يُعَوَّضْ. وَصِلَةُ الرَّحِمِ عِوَضٌ مَعْنًى؛ لأَِنَّ التَّوَاصُل سَبَبُ التَّنَاصُرِ وَالتَّعَاوُنِ فِي الدُّنْيَا، فَيَكُونُ وَسِيلَةً إِلَى اسْتِيفَاءِ النُّصْرَةِ، وَسَبَبَ الثَّوَابِ فِي الدَّارِ الآْخِرَةِ، فَكَانَ أَقْوَى مِنَ الْمَال. (٣)
وَتَفْصِيل ذَلِكَ فِي مُصْطَلَحِ (هِبَة) .
ثَانِيًا: صِلاَتُ السُّلْطَانِ:
٧ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ أَخْذُ عَطَايَا السُّلْطَانِ إِذَا عَلِمَ أَنَّهَا حَرَامٌ.
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى جَوَازِ قَبُول عَطَايَا السُّلْطَانِ إِذَا لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا حَرَامٌ، قَال الشَّيْخُ عُلَيْشٌ: الْخُلَفَاءُ وَمَنْ أُلْحِقَ بِهِمْ فَعَطَايَاهُمْ يَجُوزُ قَبُولُهَا عِنْدَ جَمِيعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ.
وَقَال ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْتَمِيُّ: وَمَعَ الْجَوَازِ يَكُونُ الأَْخْذُ تَحْتَ خَطَرِ احْتِمَال الْوُقُوعِ فِي الْحَرَامِ، فَيَتَأَثَّرُ قَلْبُهُ بِهِ، بَل وَيُطَالَبُ بِهِ فِي الآْخِرَةِ إِنْ كَانَ الْمُعْطِي غَيْرَ مُسْتَقِيمِ الْحَال.
وَفَرَّقَ الْحَنَفِيَّةُ بَيْنَ أُمَرَاءِ الْجَوْرِ وَغَيْرِهِمْ، فَلاَ يَجُوزُ قَبُول عَطَايَا أُمَرَاءِ الْجَوْرِ؛ لأَِنَّ الْغَالِبَ فِي مَالِهِمُ الْحُرْمَةُ، إِلاَّ إِذَا عَلِمَ أَنَّ أَكْثَرَ مَالِهِ حَلاَلٌ، وَأَمَّا أُمَرَاءُ غَيْرِ الْجَوْرِ فَيَجُوزُ الأَْخْذُ مِنْهُمْ.
وَذَهَبَ الإِْمَامُ أَحْمَدُ إِلَى كَرَاهَةِ الأَْخْذِ. أَمَّا إِذَا عَلِمَ أَنَّهَا حَرَامٌ فَلاَ يَجُوزُ أَخْذُهَا. 

HUKUM GLOBAL:

Pertama: Dalam Silaturahim:

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa silaturahim secara umum adalah wajib, dan memutuskannya adalah dosa besar, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “{Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan}”. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahimnya.”

Silaturahim memiliki tingkatan, sebagian lebih tinggi dari yang lain, dan yang paling rendah adalah meninggalkan pengabaian, dan menyambungnya dengan perkataan, meskipun dengan salam. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan: ada yang wajib, dan ada yang sunnah.

Para fuqaha berbeda pendapat dalam batasan rahim yang wajib disambung. Dikatakan: itu adalah setiap rahim mahram, sedemikian rupa sehingga jika salah satu dari mereka laki-laki dan yang lainnya perempuan, maka haram bagi mereka untuk menikah. Berdasarkan ini, anak-anak paman dan anak-anak bibi dari ibu tidak termasuk. Dan dikatakan: rahim itu umum untuk semua kerabat dalam warisan, baik mahram maupun bukan.

An-Nawawi berkata: pendapat kedua adalah yang benar, dan di antara yang menunjukkan hal itu adalah hadits: “Sesungguhnya sebaik-baik kebajikan adalah seseorang menyambung hubungan baik dengan orang-orang yang dicintai ayahnya.”

Rincian masalah silaturahim ada dalam istilah (arham 3/81).
Hibah kepada Kerabat:

Ulama Hanafiyah berkata: tidak boleh menarik kembali hibah jika diberikan kepada kerabat mahram, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang memberi hibah lebih berhak atas hibahnya selama tidak diberi imbalan darinya”, yaitu selama tidak diberi ganti. Dan silaturahim adalah ganti secara makna, karena saling berhubungan adalah sebab saling menolong dan bekerja sama di dunia, sehingga menjadi sarana untuk mendapatkan pertolongan, dan sebab pahala di akhirat, maka itu lebih kuat dari harta.

Rinciannya ada dalam istilah (hibah).

Kedua: Silah Sultan:

Para fuqaha sepakat bahwa tidak boleh mengambil pemberian sultan jika diketahui haram.

Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat boleh menerima pemberian sultan jika tidak diketahui haram. Syaikh ‘Ulaisy berkata: para khalifah dan orang-orang yang disamakan dengan mereka, pemberian mereka boleh diterima menurut semua ulama salaf dan khalaf.

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata: meskipun boleh, mengambilnya berada di bawah risiko kemungkinan jatuh ke dalam haram, sehingga hatinya terpengaruh olehnya, bahkan akan dituntut di akhirat jika pemberinya tidak lurus keadaannya.

Ulama Hanafiyah membedakan antara penguasa yang zalim dan yang lainnya. Tidak boleh menerima pemberian penguasa yang zalim, karena umumnya harta mereka haram, kecuali jika diketahui bahwa sebagian besar hartanya halal. Adapun penguasa yang tidak zalim, boleh mengambil dari mereka.

Imam Ahmad berpendapat makruh mengambilnya. Adapun jika diketahui haram, maka tidak boleh mengambilnya.

كتاب المسلم وحقوق الآخرين ص٣٥-٣٨

حكم صلة القريب الكافر:
حكم صلة القريب الكافر قيل أنها محرمة ويجب هجرهم وقيل جائزة وهي رخصة والصحيح أنها مستحبة والذي يدل على هذا ما يلي:
عموم قوله تعالى (وأحسنوا إن الله يحب المحسنين) , والصلة من جملة الإحسان. وقوله تعالى (لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٨) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ). يقول ابن سعدي رحمه الله في تفسير هذه الآيات (ولما نزلت هذه الآيات الكريمات-يقصد أول سورة الممتحنة-، المهيجة على عداوة الكافرين، وقعت من المؤمنين كل موقع، وقاموا بها أتم القيام، وتأثموا من صلة بعض أقاربهم المشركين، وظنوا أن ذلك داخل فيما نهى الله عنه. فأخبرهم الله أن ذلك لا يدخل في المحرم فقال: {لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} أي: لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأةبالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة كما قال تعالى عن الأبوين المشركين إذا كان ولدهما مسلماً: {وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا} , [وقوله:] {إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ} أي: لأجل دينكم، عداوة لدين الله ولمن قام به، {وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا} أي: عاونوا غيرهم {عَلَى إِخْرَاجِكُمْ} نهاكم الله {أَنْ تَوَلَّوْهُمْ}
 بالمودة والنصرة، بالقول والفعل، وأما بركم وإحسانكم، الذي ليس بتول للمشركين، فلم ينهكم الله عنه، بل ذلك داخل في عموم الأمر بالإحسان إلى الأقارب وغيرهم من الآدميين، وغيرهم انتهى).
وعن أسْماء بنت أبي بكر – رضِي الله عنْهُما – قالتْ: قدمتْ علي أمِّي وهي مشركة في عهد رسول الله – صلَّى الله عليْه وسلَّم – فاستفتيتُ رسولَ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – قلت: وهي راغبة، أفأصِل أمي؟ قال: ((نعم، صِلِي أمَّك))؛ رواه البخاري ومسلم. وعن عبدالله بن عمر – رضِي الله عنْهُما – قال: رأى عمر بن الخطَّاب حلَّة سيراء – أي حرير – عند باب المسجِد، فقال: يا رسول الله، لو اشتريْتها فلبسْتَها يوم الجمعة وللوفد، قال: ((إنَّما يلبسها مَن لا خَلاق له في الآخِرة))، ثمَّ جاءت حلل فأعْطى رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – عُمَر – منها حُلَّة، وقال: أكسوْتَنيها وقلت في حلَّة عُطَارِد ما قُلْت؟! فقال: ((إنِّي لم أكسُكها لتلبسها))، فكساها عمر أخًا له بمكَّة مشركًا؛ رواه البخاري ومسلم. وعن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنكم ستفتحون أرضاً يذكر فيها القيراط وفي رواية ستفتحون مصر وهي أرض يسمى فيها القيراط فاستوصوا بأهلها خيراً فإن لهم ذمة ورحماً وفي رواية فإذا افتتحتموها فأحسنوا إلى أهلها فإن لهم ذمة ورحماً أو قال ذمة وصهراً رواه مسلم قال العلماء الرحم التي لهم كون هاجر أم إسماعيل صلى الله عليه وسلم منهم والصهر كون مارية أم إبراهيم ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم منهم. وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال لما نزلت هذه الآية «وأنذر عشيرتك الأقربين» دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم قريشاً فاجتمعوا فعم وخص وقال “يا بني عبد شمس يا بني كعب بن لؤي أنقذوا أنفسكم من النار يا بني مرة بن كعب أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبد مناف أنقذوا أنفسكم من النار يا بني هاشم أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبد المطلب أنقذوا أنفسكم من النار يا فاطمة أنقذي نفسك من النار فإني لا أملك لكم من الله شيئا غير أن لكم رحماً سأبلها ببلالها” رواه مسلم , والبلال الماء ومعنى الحديث سأصلها شبه قطيعتها بالحرارة تطفأ بالماء وهذه تبرد بالصلة, والشاهد قوله عليه الصلاة والسلام لعشيرته الكفار (غير أن لكم رحماً سأبلها ببلالها) , والنبي عليه الصلاة والسلام وصل أقاربه الكفار، وصل عمه أبا طالب، وكان يأتيه ويدعوه إلى الإسلام، وغير ذلك، وإذا تقرر جواز صلة الرحم الكافرة فجواز صلة الرحم الفاجرة الفاسقة التي لا تزال مسلمة من باب أولى , ولتعلم أن الصلة بالمعنى العام يدخل فيها الأرحام الكفار والفساق وإن كانت صلتهم عموماً تكون دون صلة الأرحام المسلمين الصالحين , والذي ينبغي من جهة الكمال والاستحباب أن تكون صلة الرحم الكافرة -غير الوالدين -من أجل التأليف على الإسلام أو مراعاة وجود من تحت ولايته من الأبناء المسلمين كما قال ابن حجر: “إن صلةَ الرحم الكافر ينبغي تقييدها بما إذا آنس منه رجوعاً عن الكفر، أو رجا أن يخرج من صلبه مسلم كما في الصورة التي استدلّ بها وهي دعاء النبي صلى الله عليه وسلم لقريش بالخصب وعلّل بنحو ذلك، فيحتاج من يترخّص في صلة رحمه الكافر أن يقصد إلى شيء من ذلك” انتهى.

Hukum Menjalin Hubungan dengan Kerabat Kafir:
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum menjalin hubungan dengan kerabat kafir. Ada yang mengatakan haram dan harus dijauhi, dan ada pula yang mengatakan diperbolehkan sebagai keringanan. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal tersebut dianjurkan (mustahab), dan dalil-dalil berikut mendukung hal ini:

  • Keumuman Firman Allah Ta’ala:
  • “(…) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)
  • Menjalin hubungan silaturahmi termasuk dalam kategori berbuat baik.
    Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9:
    “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
  • Ibnu Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik dan adil kepada kerabat musyrik diperbolehkan, selama mereka tidak memerangi atau mengusir kaum Muslimin.
    Hadits dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma:
    “Ibuku yang musyrik datang menemuiku pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ibuku datang kepadaku dengan penuh harap, apakah aku boleh menyambung silaturahmi dengannya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sambunglah silaturahmi dengan ibumu.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:
    “Umar bin Khattab melihat jubah sutra di dekat pintu masjid, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau membelinya dan memakainya pada hari Jumat dan ketika menerima utusan.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang memakai ini adalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat.’ Kemudian datang beberapa jubah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan satu jubah kepada Umar, dan bersabda, ‘Aku memberimu jubah ini, padahal engkau berkata tentang jubah Utharid seperti itu?’ Umar menjawab, ‘Aku tidak memberikannya kepadamu untuk engkau pakai.’ Lalu Umar memberikan jubah itu kepada saudaranya yang musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian akan menaklukkan suatu negeri yang di sana banyak disebutkan qirath (Mesir). Maka berwasiatlah kalian untuk berbuat kebaikan kepada penduduknya, karena mereka memiliki dzimmah (perjanjian) dan rahim (hubungan kekerabatan).” (HR. Muslim)
    Para ulama menjelaskan bahwa hubungan rahim tersebut dikarenakan Hajar, ibu Ismail ‘alaihi salam, berasal dari mereka, dan hubungan pernikahan dikarenakan Maria, ibu Ibrahim putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berasal dari mereka.
  • Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
    Ketika turun ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (QS. Asy-Syu’ara: 214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kaum Quraisy, lalu beliau bersabda: “Wahai Bani Abd Syams, wahai Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Abdu Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Abdul Muthalib, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Fatimah, selamatkan dirimu dari api neraka, karena aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun di hadapan Allah, namun kalian memiliki hubungan rahim yang akan aku sambung dengan baik.” (HR. Muslim)
    Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyambung hubungan silaturahmi dengan kerabatnya yang kafir.

[خلاصة حكم صلة القريب الفاسق والكافر]
الراجح كما بيَنا أن الكفار والعصاة أهل الكبائر المجاهرين صلة رحمهم غير واجبة وإنما هي مستحبة إلا أنه يفرق بين الوالد وغيره , فالوالد تُطلب صلته وصحبته بالمعروف وجوباً, وقد ذهب إلى هذا فقهاء المذاهب الأربعة وخالف بعض أهل العلم فسوى بين المسلم والكافر في الصلة، ولكن الراجح مذهب الجمهور, وذلك أن القرابات مختلفة فمنها من لا يقطع صلتها الكفر كالوالدين ومنها من يقطعها الكفر كالعشيرة وأبناء العم والإخوة فهي درجات متفاوتة وإن كانت صلة هؤلاء مستحبة , وعلى هذا فصلة الرحم الفاسقة والكافرة مستحبة باستثناء الوالدين فهي واجبة.
حكم صلة القريب الكافر إذا كانت صلته تؤدي إلى محبته طبيعياً:
أهل العلم اختلفوا في هذه المسألة فمنهم من يُغلَب جانب بغض الأرحام الكفار في الله أو على الأقل عدم مودتهم فيرى وجوب هجر الأرحام الكفار هجراً جميلاًً إذا آنس المسلم من نفسه ميلاً لهم ومحبة ويرى وجوب قطع أسباب هذه المودة ولو أدى إلى عدم قبول هداياهم وعدم زيارتهم ومقاطعتهم ونحو ذلك , وهذا باستثناء الوالدين والزوجة الكتابية. وهناك من أهل العلم من يُغلب جانب صلة الأرحام ولو أدى إلى محبتهم بمقتضى الطبع , إلا أن أهل العلم اتفقوا جميعاً على أن كل بر وصلة بالمعروف ظاهرها الرحمة ولا تستلزم مودتهم فهي مشروعة , وليفعل المسلم ما هو أصلح لقلبه.

Ringkasan Hukum Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat yang Fasik dan Kafir
Pendapat yang lebih kuat, sebagaimana telah kami jelaskan, adalah bahwa silaturahmi dengan orang-orang kafir dan pelaku dosa besar yang terang-terangan tidaklah wajib, melainkan hanya dianjurkan. Namun, ada perbedaan antara orang tua dan selainnya. Orang tua wajib dihubungi dan diperlakukan dengan baik. Pendapat ini dianut oleh para ahli fikih dari empat mazhab, meskipun ada sebagian ulama yang menyamakan antara Muslim dan kafir dalam hal silaturahmi. Namun, pendapat jumhur (mayoritas ulama) lebih kuat. Hal ini dikarenakan hubungan kekerabatan itu berbeda-beda. Ada yang kekufuran tidak memutuskan hubungannya, seperti orang tua, dan ada yang kekufuran memutuskannya, seperti kerabat jauh, sepupu, dan saudara. Hubungan kekerabatan ini memiliki tingkatan yang berbeda-beda, meskipun menjalin silaturahmi dengan mereka dianjurkan. Oleh karena itu, menjalin silaturahmi dengan kerabat yang fasik dan kafir adalah dianjurkan, kecuali dengan orang tua, yang hukumnya wajib.
Hukum Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat Kafir Jika Hal Itu Menyebabkan Kecintaan Secara Alami
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian dari mereka lebih mengutamakan kebencian terhadap kerabat kafir karena Allah, atau setidaknya tidak mencintai mereka. Mereka berpendapat bahwa wajib menjauhi kerabat kafir dengan cara yang baik jika seorang Muslim merasa cenderung dan mencintai mereka. Mereka juga berpendapat bahwa wajib memutus sebab-sebab kecintaan ini, meskipun hal itu berarti tidak menerima hadiah dari mereka, tidak mengunjungi mereka, memutus hubungan dengan mereka, dan sebagainya. Pengecualian adalah orang tua dan istri ahli kitab. Sebagian ulama lain lebih mengutamakan menjalin silaturahmi, meskipun hal itu menyebabkan kecintaan secara alami. Namun, semua ulama sepakat bahwa setiap kebaikan dan silaturahmi yang tampak sebagai kasih sayang dan tidak mengharuskan cinta adalah disyariatkan. Seorang Muslim hendaknya melakukan apa yang paling baik untuk hatinya.

[حكم صلة الرحم الصالحة المؤذية]
حكم صلة الرحم المؤمنة الصالحة المضرة دنيوياً غير واجبة بالاتفاق , قال الحافظ أبو عمر بن عبد البر: أجمعوا على أنه يجوز الهجر فوق ثلاث، لمن كانت مكالمته تجلب نقصاً على المخاطب في دينه، أو مضرة تحصل عليه في نفسه، أو دنياه. فرب هجر جميل خير من مخالطة مؤذية. انتهى. وقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – “لا ضرر ولا ضرار”.
وأما حكم صلة الرحم المؤمنة الصالحة المؤذية دنيوياً فغير واجبة على مذهب بعض أهل العلم طبعاً باستثناء الوالدين , وقالوا عن حديث أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَجُلا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَإِنْ كَانَ هَذَا كَمَا تَقُولُ لَكَأَنَّمَا تُسِفِّهُمُ الْمَلُّ، وَلا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ “. أن الحديث محمول على استحباب صلة الرحم المؤذية لا وجوب ذلك، لأن درء المفاسد مقدم على جلب المصالح، والورع يا عبدالله يقتضي صلة الرحم المؤمنة الصالحة المؤذية مالم تصل إلى حد الضرر , والفرق بين الضرر والأذى ـ والله أعلم ـ أن الأذى هو الضرر اليسير، قال ابن عطية: قوله تعالى: لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا أَذىً ـ معناه: لن يصيبكم منهم ضرر في الأبدان ولا في الأموال، وإنما هو أذى بالألسنة. وقال القرطبي: وَالْمَعْنَى لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا ضَرًّا يَسِيرًا. اهـ.
ولكن لا يلزم أن يكون هذا التفريق الثابت هنا ثابتا أيضا في لفظي المضرة والأذى المذكور في كلام ابن عبد البر.
علما بأن الصلة تبدأ من السلام عند اللقاء، أو بمكالمة هاتفية أثناء الغيبة، وبهذا يخرج المرء من إثم الهجرة، ثم تمتد لتشمل كل أنواع البر الأخرى، فمن عجز عن درجة معينة من درجاتها فلا ينبغي أن يعجز عما
تتحقق به الصلة في حدودها الدنيا.

Hukum Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat Saleh yang Menyakitkan
Hukum menjalin silaturahmi dengan kerabat mukmin yang saleh tetapi membahayakan secara duniawi tidaklah wajib menurut kesepakatan ulama. Al-Hafiz Abu Umar bin Abdil Barr berkata, “Mereka sepakat bahwa boleh menjauhi seseorang lebih dari tiga hari jika berbicara dengannya menyebabkan kekurangan dalam agamanya atau bahaya bagi dirinya atau dunianya. Terkadang menjauhi dengan cara yang baik lebih baik daripada bergaul yang menyakitkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Adapun hukum menjalin silaturahmi dengan kerabat mukmin yang saleh tetapi membahayakan secara duniawi tidaklah wajib menurut sebagian ulama, tentu saja kecuali orang tua. Mereka berkata tentang hadis Abu Hurairah, bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya kerabat yang aku sambung silaturahminya tetapi mereka memutuskannya, aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat buruk kepadaku, aku bersabar terhadap mereka tetapi mereka berbuat bodoh kepadaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika memang demikian yang kamu katakan, maka seolah-olah kamu memberi mereka makan abu panas, dan kamu akan selalu dibantu oleh Allah.” Mereka mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan anjuran menjalin silaturahmi dengan kerabat yang menyakitkan, bukan kewajiban, karena menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan manfaat. Sikap wara’ (hati-hati) mengharuskan seorang Muslim untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat mukmin yang saleh tetapi menyakitkan, selama tidak mencapai batas bahaya. Perbedaan antara bahaya dan menyakitkan, wallahu a’lam, adalah bahwa menyakitkan adalah bahaya yang ringan. Ibnu Athiyyah berkata, “Firman Allah ta’ala, ‘Mereka tidak akan membahayakan kamu kecuali dengan gangguan,’ artinya mereka tidak akan menimpakan bahaya pada badan atau harta kalian, melainkan hanya gangguan dengan lisan.” Al-Qurthubi berkata, “Artinya mereka tidak akan membahayakan kalian kecuali dengan bahaya yang ringan.”
Namun, perbedaan yang ditetapkan di sini tidak harus sama dengan perbedaan antara kata-kata “bahaya” dan “menyakitkan” yang disebutkan dalam perkataan Ibnu Abdil Barr.
Perlu diketahui bahwa silaturahmi dimulai dengan salam saat bertemu, atau dengan panggilan telepon saat tidak bertemu. Dengan ini, seseorang keluar dari dosa memutus hubungan. Kemudian, silaturahmi meluas hingga mencakup semua jenis kebaikan lainnya. Jika seseorang tidak mampu mencapai tingkat tertentu dari tingkatan silaturahmi, maka janganlah ia tidak mampu melakukan apa yang mewujudkan silaturahmi dalam batas minimalnya.

كيفية التوفيق بين قول النبي صلى الله عليه وسلم: إنما مثل الجليس الصالح والجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير الحديث، وفيه التنفير من مجالسة رفيق السوء وكذلك قوله: لما وقعت بنو إسرائيل في المعاصي نهتهم علماؤهم فلم ينتهوا فجالسوهم وآكلوهم وشاربوهم فلما رأى الله ذلك منهم ضرب قلوب بعضهم ببعض ثم لعنهم
الحديث.، وفيه التنفير من الفساق وكذلك قول الرسول صلى الله عليه وسلم: لا تصاحب إلا مؤمنا ـ وبين قول النبي عليه الصلاة والسلام: صل من قطعك ـ وقوله: ليس الواصل بالمكافئ، ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها ـ ومن المعلوم بأن القاطع للرحم فاسق؟
الصلة لا تستلزم مصاحبة، فالصلة تحصل بكل ما اعتبره العرف صلة كالزيارة والإهداء والاتصال ونحو ذلك. ثم إن قول النبي صلى الله عليه وسلم (لما وقعت بنو إسرائيل في المعاصي نهتهم علماؤهم فلم ينتهوا فجالسوهم وآكلوهم وشاربوهم فلما رأى الله ذلك منهم ضرب قلوب بعضهم ببعض ثم لعنهم الحديث) حديث ضعيف الإسناد وضعفه الألباني , وبالتالي لا يُحتج به في الأحكام.
كيفية صلة الأقارب الفسَاق والكفار والمُؤذين منهم ومجالستهم والتعامل معهم: لا شك أن صلة الأرحام الكفار والفساق تختلف عن صلة الأرحام المسلمين الصالحين المتقين , وقد كان رسول الله عليه الصلاة والسلام يصل ذوي رحمه وأقاربه من غير أن يُؤثرهم على من هو أفضل منهم , ولتعلم أن أهل العلم قد اتفقوا على أن الصلة والبر والإحسان الذي لا يستلزم التحابب والتوادد للأرحام الكفار مشروع باتفاق أهل العلم كالصلة بالمال وتفقد أحوالهم والنفقة والإعانة على نوائب الحق والصدقة على المسكين منهم وتعزيتهم وعيادة مرضاهم وكل صلة تدل على الرحمة لا المودة ويُراد بها وجه الله , واتفق أهل العلم أيضاً على أنه يُشرع قطع القريب الفاسق إذا كان في قطيعته زجر له عن الفسق وإصلاح لحاله ولا بأس بقطيعته عندئذ , واتفق أهل العلم كذلك على أنه إذا كان القريب فاسق ومن باب أولى الكافر تخشى الافتتان به وتخشى أن يضرك في دينك فيجب عليك في هذه الحال هجره وعدم صلته إلا ما كان على سبيل المداراة وخاصة إذا كان يعسر التحرَز من مقاطعته كلياً لأي سبب كان , فمن في مخالطته ضرر ديني أو دنيوي فعاشره بالمعروف حتى يجعل الله لك فرجاً ومخرجاً.
وبهذا يتبين لك أخي أنه يُشرع الإحسان إلى الأقارب غير المسلمين وصلتهم وبرهم ووصلهم بالزيارة وإدخالهم المنزل وقبول الهدية منهم وإكرامهم والإحسان إليهم والاهداء إليهم والاتصال وغير ذلك مع عدم موالاتهم ومودتهم مودة دينية , وذلك أن القريب الكافر له حق الصلة ولكن ليس له الولاية فلا تواليه وتناصره على باطله , والله تعالى إنما أثبت الولاية بين أولي الأرحام بشرط الإيمان , وذلك أن الولاية تكون بالدين، والأقارب إذا لم يكونوا على دين واحد لم يكن بينهم توارث ولا ولاية. وليُعلم أن التبسم للكافر المسالم وكذلك مُؤاكلته ومُشاربته لسبب معتبر كتأليفه للدخول في الإسلام أو لكونه ذا قرابة ورحم أمر جائز ولا حرج فيه ولكن يحذر من متابعته أو إقراره على شيء من باطله , علماً بأن مجالسة أهل المعاصي والكفر من ذوي الأرحام لا يكون إلا في وقت لا يُباشرون فيه المعصية، ويُشرع تخفيف وقت الزيارة لهم وخاصةً الذين يُخشى منهم إظهار بعض المنكرات.
ولتعلم بأن القاطع لرحمه والمُسيء لهم والجاهل عليهم تُشرع أحياناً صلته والإحسان إليه والحلم عليه ومن يفعل ذلك فهو مُحسن محمود عند الله , فالإحسان إلى الأقارب مع الإساءة منهم والصلة مع قطيعتهم مشروعة كما بينا وأنت مأجور على ذلك.
وأما الرحم المؤذي العاصي الذي يؤذي أهله فالأفضل أن يصبروا ويحلموا ويدافعوا إساءته بالإحسان عملاً بقوله تعالى) ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ* وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ) فإن خيف حصول الأذى منه فلا بأس بتجنب لقائه في بعض الأحيان طلباً لحصول السلامة من شره دون القطيعة التامة والاكتفاء بأدنى الوصل من السلام والكلام بالهاتف وذلك أنه لا يلزم لتحقيق الصلة أن يزور الشخص أرحامه أو يجالسهم ويحادثهم بل عليه أن يفعل ما تتحقق به الصلة وفي نفس الوقت يندفع به أذاهم عنه. وعموماً عليك أن تحافظ مع أرحامك الذين تُستحب صلتهم على الحد الذي لا تحصل به القطيعة ولا ينالك بسببهم ضرر مع محاولة إصلاحهم فإن يئست من ذلك فلا حرج حينئذ في مقاطعتهم, ولكن عليك أن تجعل هجرك لهم في الله ولله, فإن هجر أهل المعاصي والكبائر في الله – حتى ولو كانوا من الأرحام غير الوالدين – من شُعب الإيمان, وهجرهم لغير الله وهم على الفسق جائز، والأدلة عليه أكثر من أن تُحصر وأشهر من أن تُذكر والهجر إذا تم على وجهه الشرعي لم يكن قطعية للرحم

Mengkompromikan antara Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi…” (hadis), yang berisi peringatan untuk tidak bergaul dengan teman yang buruk, dan sabdanya, “Ketika Bani Israil terjerumus dalam kemaksiatan, para ulama mereka melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti, lalu mereka bergaul, makan, dan minum bersama mereka, maka Allah membuat hati sebagian mereka bercampur dengan hati sebagian lainnya, lalu mereka dilaknat…” (hadis), yang berisi peringatan untuk tidak bergaul dengan orang-orang fasik, dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu berteman kecuali dengan orang mukmin…” dengan sabdanya, “Sambunglah orang yang memutusmu,” dan sabdanya, “Orang yang menyambung silaturahmi bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang jika diputus silaturahminya, ia menyambungnya.” Padahal orang yang memutus silaturahmi adalah orang fasik?
Menjalin silaturahmi tidak mengharuskan bergaul. Silaturahmi terwujud dengan segala sesuatu yang dianggap sebagai silaturahmi oleh adat, seperti mengunjungi, memberi hadiah, menghubungi, dan sebagainya. Kemudian, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Bani Israil terjerumus dalam kemaksiatan, para ulama mereka melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti, lalu mereka bergaul, makan, dan minum bersama mereka, maka Allah membuat hati sebagian mereka bercampur dengan hati sebagian lainnya, lalu mereka dilaknat…” (hadis) adalah hadis yang lemah sanadnya dan dilemahkan oleh Al-Albani. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum.
Cara Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat yang Fasik, Kafir, dan Menyakitkan, serta Bergaul dan Berinteraksi dengan Mereka:
Tidak diragukan lagi bahwa menjalin silaturahmi dengan kerabat kafir dan fasik berbeda dengan menjalin silaturahmi dengan kerabat Muslim yang saleh dan bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjalin silaturahmi dengan kerabatnya tanpa mengutamakan mereka atas orang yang lebih baik dari mereka. Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa silaturahmi, kebaikan, dan perbuatan baik yang tidak mengharuskan cinta dan kasih sayang kepada kerabat kafir disyariatkan menurut kesepakatan ulama, seperti memberi bantuan harta, memperhatikan keadaan mereka, memberi nafkah, membantu dalam musibah yang benar, bersedekah kepada orang miskin di antara mereka, bertakziah kepada mereka, menjenguk orang sakit di antara mereka, dan setiap silaturahmi yang menunjukkan kasih sayang, bukan cinta, dan dimaksudkan untuk mencari ridha Allah. Para ulama juga sepakat bahwa memutus hubungan dengan kerabat yang fasik disyariatkan jika dengan memutus hubungan dengannya dapat mencegahnya dari kefasikan dan memperbaiki keadaannya. Pada saat itu, tidak masalah untuk memutus hubungan dengannya. Para ulama juga sepakat bahwa jika seorang kerabat fasik, apalagi kafir, ditakutkan akan menyebabkan fitnah dan membahayakan agamanya, maka wajib baginya untuk menjauhinya dan tidak menjalin silaturahmi dengannya, kecuali sekadar bermuka manis, terutama jika sulit untuk menghindarinya sama sekali karena alasan tertentu. Seseorang yang pergaulannya membahayakan agama atau dunianya, maka bergaullah dengannya dengan baik sampai Allah memberikan jalan keluar bagimu.
Dengan ini, wahai saudaraku, jelas bagimu bahwa berbuat baik kepada kerabat non-Muslim, menjalin silaturahmi dengan mereka, mengunjungi mereka, mengajak mereka masuk ke rumah, menerima hadiah dari mereka, memuliakan mereka, berbuat baik kepada mereka, memberi hadiah kepada mereka, menghubungi mereka, dan sebagainya disyariatkan, dengan syarat tidak loyal dan mencintai mereka dengan cinta agama. Hal ini dikarenakan kerabat kafir memiliki hak silaturahmi, tetapi tidak memiliki hak perwalian. Oleh karena itu, jangan loyal dan membantunya dalam kebatilannya. Allah ta’ala hanya menetapkan perwalian antara kerabat dengan syarat iman. Perwalian itu berdasarkan agama, dan jika kerabat tidak memiliki agama yang sama, maka tidak ada warisan dan perwalian di antara mereka. Perlu diketahui bahwa tersenyum kepada orang kafir yang tidak memerangi, makan dan minum bersamanya karena alasan yang dibenarkan, seperti menarik hatinya untuk masuk Islam atau karena ia adalah kerabat, adalah boleh dan tidak masalah. Namun, hindarilah mengikutinya atau menyetujui kebatilannya. Perlu diketahui bahwa bergaul dengan pelaku maksiat dan kekafiran dari kalangan kerabat hanya boleh dilakukan pada saat mereka tidak melakukan maksiat. Dianjurkan untuk mempersingkat waktu kunjungan kepada mereka, terutama mereka yang dikhawatirkan akan menunjukkan kemungkaran.
Perlu diketahui bahwa orang yang memutus silaturahmi, berbuat buruk kepada mereka, dan bersikap bodoh kepada mereka terkadang disyariatkan untuk disambung silaturahminya, diperlakukan dengan baik, dan disabari. Orang yang melakukan hal ini adalah orang yang berbuat baik dan terpuji di sisi Allah. Berbuat baik kepada kerabat yang berbuat buruk dan menyambung silaturahmi dengan orang yang memutusnya adalah disyariatkan sebagaimana telah kami jelaskan, dan kamu akan mendapat pahala atas hal itu.
Adapun kerabat yang menyakitkan dan berbuat maksiat yang menyakiti keluarganya, maka yang terbaik adalah bersabar, bersikap lembut, dan membalas keburukannya dengan kebaikan, mengamalkan firman Allah ta’ala, “Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” Jika dikhawatirkan akan mendapat bahaya darinya, maka tidak masalah untuk menghindari pertemuannya di beberapa waktu untuk mencari keselamatan dari keburukannya, tanpa memutus hubungan sepenuhnya, dan cukup dengan silaturahmi minimal seperti memberi salam dan berbicara melalui telepon. Hal ini dikarenakan tidak wajib untuk mewujudkan silaturahmi dengan mengunjungi kerabat, duduk bersama mereka, dan berbicara dengan mereka, tetapi ia harus melakukan apa yang mewujudkan silaturahmi dan sekaligus menolak bahaya dari mereka. Secara umum, kamu harus menjaga hubungan dengan kerabatmu yang dianjurkan untuk disambung silaturahminya pada batas yang tidak menyebabkan putusnya hubungan dan tidak membahayakanmu, sambil berusaha memperbaiki mereka. Jika kamu putus asa, maka tidak masalah untuk memutus hubungan dengan mereka. Namun, jadikanlah pemutusan hubunganmu dengan mereka karena Allah dan untuk Allah. Menjauhi pelaku maksiat dan dosa besar karena Allah, meskipun mereka adalah kerabat selain orang tua, adalah bagian dari cabang iman. Memutuskan hubungan dengan mereka bukan karena Allah, sementara mereka tetap dalam kefasikan, adalah boleh, dan dalil-dalilnya lebih banyak dari yang bisa dihitung dan lebih terkenal dari yang bisa disebutkan. Pemutusan hubungan jika dilakukan sesuai dengan cara yang disyariatkan bukanlah pemutusan silaturahmi.

Referensi

تنبيه الغافلين ص ٤٦-٤٨

(باب صلة الرحم)
(قال الفقيه) أبو الليث السمرقندي رضى الله تعالى عنه حدثنا أبو القاسم عبد الرحمن بن محمد قال حدثنا فارس بن مردويه قال حدثنا محمد بن الفضل قال حدثنا محمد بن عبيد الطنافسي عن عمرو بن عثمان عن موسى ابن طلحة عن أبي أيوب رضى الله تعالى عنه قال عرض أعرابي للنبي فأخذ بزمام ناقته أو خطامها ثم قال يا رسول الله أخبرني بما يقربني من الجنة ويباعدني من النار قال أن تعبد الله ولا تشرك به شيئا وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصل الرحم قال حدثنا الحاكم أبو الحسن علي السردري قال حدثنا أبو محمد عبد الله بن الأحوص قال حدثنا الحسين بن علي بن عفان قال حدثنا هاني بن سعيد النخعي عن سلمان ابن يزيد عن عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه قال كنا جلوسا عشية عرفة عند رسول الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا يجالسني من أمسى قاطع الرحم ليقم عنا فلم يقم أحد الا رجل كان من أقصى الحلقة فمكث غير بعيد ثم جاء فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم مالك لم يقم أحد من الحلقة غيرك قال يا نبي الله سمعت الذي قلت فأتيت خالة لي كانت تصارمني أي تقاطعني فقالت ما جاء بك ما هذا دأبك فأخبرتها بالذي قلت فاستغفرت لي واستغفرت لها فقال النبي صلى الله عليه وسلم أحسنت اجلس الا ان الرحمة لا تنزل على قوم فيهم قاطع رحم (قال الفقيه) رحمه الله تعالى في الخبر دليل على ان قطع الرحم ذنب عظيم لأنه يمنع الرحمة عنه وعمن كان جليسه فالواجب على المسلم أن يتوب من قطع الرحم ويستغفر الله تعالى و يصل رحمه لان النبي بين في هذا الخبر الاول أن صلة الرحم تقرب العبد من رحمته وتباعده من النار * وروى عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ما من حسنة أعجل ثوابا من صلة الرحم وما من ذنب أجدر أن يعجل الله لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما يدخر في الآخرة من البغي وقطع الرحم قال حدثنا أبو القاسم عبد الرحمن ابن محمد قال حدثنا فارس بن مردويه قال حدثنا محمد بن الفضل قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا الحجاج ابن أرطاة عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال إن لي أرحاما أصل ويقطعوني وأعفو ويظلموني وأحسن ويسيئوني أفأكافئهم قال لا اذا تشتركون جميعا ولكن خذ الفضل وصلهم فانه لن يزال معك ظهير من الله ما كنت على ذلك ويقال ثلاثة من أخلاق أهل الجنة لا توجد الا في الكريم الاحسان إلى المذنب والعفو عمن ظلمه والبذل لمن حرمه قال حدثنا أبو القاسم قال حدثنا فارس قال حدثنا محمد قال حدثنا أصرم بن حوشب عن أبي سنان عن الضحاك بن مزاحم في تفسير هذه الآية يمحو الله ما يشاء ويثبت قال أن الرجل ليصل رحمه وقد بقى من عمره ثلاثة أيام فيزيد الله في عمره ثلاثين سنة وان الرجل ليقطع رحمه وقد بقى من عمره ثلاثون سنة فيحطه الله إلى ثلاثة أيام

Tanbihul Ghafilin Hal: 46-48

(Bab Silaturahim)
(Berkata Al-Faqih) Abu al-Laits as-Samarqandi radhiyallahu ta’ala ‘anhu meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad, ia berkata meriwayatkan kepada kami Faris bin Mardawaih, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Fadhl, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Ubaid ath-Thanafisi dari Amru bin Utsman dari Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub radhiyallahu ta’ala ‘anhu, ia berkata seorang Arab Badui menghampiri Nabi, lalu memegang tali kekang untanya atau tali hidungnya, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Beliau bersabda, “Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan sambunglah silaturahim.” Ia berkata, meriwayatkan kepada kami al-Hakim Abu al-Hasan Ali as-Sardari, ia berkata meriwayatkan kepada kami Abu Muhammad Abdullah bin al-Ahwash, ia berkata meriwayatkan kepada kami al-Husain bin Ali bin Affan, ia berkata meriwayatkan kepada kami Hani’ bin Sa’id an-Nakha’i dari Salman bin Yazid dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata kami sedang duduk pada sore hari Arafah di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah ada orang yang di sore hari ini memutus silaturahim duduk bersamaku, hendaklah ia pergi dari kami.” Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seorang laki-laki yang berada di ujung lingkaran, lalu ia pergi tidak lama kemudian ia datang kembali, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Mengapa tidak ada seorang pun yang berdiri dari lingkaran selainmu?” Ia menjawab, “Wahai Nabi Allah, aku mendengar apa yang engkau katakan, lalu aku mendatangi bibi dari pihak ibuku yang sedang bermusuhan denganku, yaitu memutuskan hubungan denganku, lalu ia berkata, ‘Apa yang membuatmu datang, ini bukan kebiasaanmu.’ Lalu aku memberitahukan kepadanya apa yang engkau katakan, lalu ia memohonkan ampun untukku dan aku memohonkan ampun untuknya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagus sekali, duduklah. Sesungguhnya rahmat tidak turun kepada kaum yang di antara mereka terdapat orang yang memutus silaturahim.” (Berkata Al-Faqih) rahimahullah ta’ala, dalam kabar ini terdapat dalil bahwa memutus silaturahim adalah dosa besar, karena hal itu mencegah rahmat darinya dan dari orang yang duduk bersamanya. Maka wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat dari memutus silaturahim dan memohon ampun kepada Allah ta’ala serta menyambung silaturahimnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam kabar pertama ini bahwa silaturahim mendekatkan seorang hamba kepada rahmat-Nya dan menjauhkannya dari neraka. * Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada kebaikan yang lebih cepat pahalanya daripada silaturahim, dan tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan hukumannya oleh Allah di dunia selain kezaliman dan memutus silaturahim, di samping apa yang disimpan untuknya di akhirat.” Ia berkata, meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad, ia berkata meriwayatkan kepada kami Faris bin Mardawaih, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Fadhl, ia berkata meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun, ia berkata meriwayatkan kepada kami al-Hajjaj bin Arthah dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki kerabat yang aku sambung silaturahimnya namun mereka memutuskannya, aku memaafkan namun mereka menzalimiku, aku berbuat baik namun mereka berbuat buruk kepadaku, apakah aku harus membalas mereka?” Beliau bersabda, “Jangan, jika kalian semua sama saja, maka ambillah keutamaan dan sambunglah silaturahim dengan mereka, karena engkau akan selalu memiliki penolong dari Allah selama engkau melakukan hal itu.” Dikatakan bahwa tiga akhlak penghuni surga tidak ditemukan kecuali pada orang yang mulia, yaitu berbuat baik kepada orang yang berdosa, memaafkan orang yang menzaliminya, dan memberi kepada orang yang menghalanginya. Ia berkata, meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim, ia berkata meriwayatkan kepada kami Faris, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad, ia berkata meriwayatkan kepada kami Ashram bin Hausyab dari Abi Sinan dari adh-Dhahhak bin Muzahim dalam menafsirkan ayat ini, “Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),” ia berkata bahwa seseorang menyambung silaturahimnya padahal sisa umurnya tinggal tiga hari, maka Allah menambah umurnya tiga puluh tahun, dan seseorang memutus silaturahimnya padahal sisa umurnya tiga puluh tahun, maka Allah menguranginya menjadi tiga hari.

وروى ثوبان عن رسول عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال لا يرد القدر الا الدعاء ولا يزيد في العمر الا البر وان الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه الدين في (٤٨) فلا بهم ريح. وعن ابن عمر رضى الله تعالى عنه ما قال من اتقى ربه ووصل رحمه أنسى له في عمره يعني يزاد في عمره وترى له ماله يعنى كثر وأحبه أهله (قال الفقيه) رحمه الله تعالى قد اختلفوا في زيادة العمر فقال بعضهم الخبر على ظاهره أن من وصل رحمه يزاد في عمره وقال بعضهم لا يزاد في الاجل الذي أجل له لان الله تعالى قال فاذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون ولكن معنى زيادة العمر أن يكتب ثوابه بعد موته واذا كتب له ثوابه بعد موته فكأنه يزيد في عمره وروى سعيد عن قتادة أنه قال ذكر لنا ان النبي قال اتقوا الله وصلوا الرحم فانه أنقى لكم في الدنيا وخير لكم في الآخرة وكان يقال اذا كان لك قريب فلم تمش اليه برجلك ولم تعطه من مالك فقد قطعته وفي بعض الصحف مما أنزل الله تعالى يا ابن آدم صل رحمك بمالك فان بخلت بمالك أو قل مالك فامش اليه برجلك وقال النبي صلوا أرحامكم ولو بالسلام قال ميمون بن مهران ثلاثة أشياء الكافر والمسلم فيهن سواء من عاهدته فضله بعهدك مسلما كان أو كافرا انما العهد لله ومن كانت بينك وبينه قرابة فصله مسلما كان أو كافرا ومن ائتمنك على أمانة فادها مسلما كان أو كافرا وقال كعب الاخبار والذي فلق البحر لموسى عليه السلام و بنى اسرائيل انه مكتوب في التوراة اتق ربك و بر والديك وصل رحمك أمدلك في عمرك وأيسرك في يسرك واصرف عنك عسرك وقد أمر الله تعالى بصلة الرحم في مواضع من كتابه فقال واتقوا الله الذي تساءلون به والارحام يعني اخشوا الله الذي تساءلون به الحاجات والارحام يعنى اتقوا الارحام فصلوها ولا تقطعوها وقال في آية أخرى وآت ذا القربى حقه يعنى أعطه حقه من الصلة والبر وقال في آية أخرى ان الله يأمر بالعدل والاحسان يعنى بالتوحيد وهو شهادة
ان لا اله الا الله ويأمر بالاحسان يعنى الى الناس والعفو عنهم وايتاء ذي القربى يعنى يأمر بصلة الرحم فأمر بثلاثة أشياء ونهى عن ثلاثة أشياء فقال عز وجل وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى ) الفحشاء المعاصى وَالْمُنْكَرُ مَا لَا يُعْرَفُ فِي شَرِيعَةٍ وَلَا سُنَّةٍ وَالْبَغْيُ الِاسْتِطَالَةُ عَلَى النَّاسِ


Diriwayatkan dari Tsauban dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebaikan. Sesungguhnya seseorang diharamkan rezekinya karena dosa yang dilakukannya.” Agama di (48). Maka janganlah kalian berduka. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu, ia berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturahimnya, maka umurnya akan dilupakan (dilupakan dari keburukan), yaitu umurnya akan bertambah, dan hartanya akan terlihat (yaitu bertambah banyak), dan keluarganya akan mencintainya.” (Berkata Al-Faqih) rahimahullah ta’ala, mereka telah berselisih pendapat tentang bertambahnya umur. Sebagian dari mereka berkata, “Kabar ini secara lahiriah menunjukkan bahwa barangsiapa yang menyambung silaturahimnya, maka umurnya akan bertambah.” Sebagian dari mereka berkata, “Tidak ada tambahan dalam ajal yang telah ditetapkan baginya, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.’ Akan tetapi, makna bertambahnya umur adalah bahwa pahalanya akan ditulis setelah kematiannya. Dan apabila pahalanya ditulis setelah kematiannya, maka seolah-olah umurnya bertambah.” Diriwayatkan dari Sa’id dari Qatadah, ia berkata, “Telah disebutkan kepada kami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan sambunglah silaturahim, karena sesungguhnya hal itu lebih menyucikan bagi kalian di dunia dan lebih baik bagi kalian di akhirat.’ Dulu dikatakan, ‘Apabila engkau memiliki kerabat, lalu engkau tidak berjalan kepadanya dengan kakimu dan tidak memberinya dari hartamu, maka engkau telah memutuskannya.’ Dalam sebagian lembaran yang diturunkan oleh Allah ta’ala (tertulis), ‘Wahai anak Adam, sambunglah silaturahimmu dengan hartamu. Jika engkau bakhil dengan hartamu, atau hartamu sedikit, maka berjalanlah kepadanya dengan kakimu.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sambunglah silaturahim kalian meskipun hanya dengan salam.’ Maimun bin Mihran berkata, ‘Tiga perkara yang orang kafir dan muslim sama-sama melakukannya: barangsiapa yang engkau beri perjanjian, maka penuhilah perjanjianmu, baik ia seorang muslim atau kafir, karena sesungguhnya perjanjian itu adalah milik Allah; barangsiapa yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu, maka sambunglah ia, baik ia seorang muslim atau kafir; dan barangsiapa yang mempercayakan amanah kepadamu, maka tunaikanlah amanah itu, baik ia seorang muslim atau kafir.’ Ka’ab Al-Akhbar berkata, ‘Demi Dzat yang membelah lautan untuk Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil, sesungguhnya tertulis dalam Taurat, ‘Bertakwalah kepada Tuhanmu, berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, dan sambunglah silaturahimmu, maka Aku akan memperpanjang umurmu, memudahkanmu dalam kemudahanmu, dan menjauhkanmu dari kesulitanmu.’ Allah ta’ala telah memerintahkan untuk menyambung silaturahim di beberapa tempat dalam kitab-Nya. Dia berfirman, ‘Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.’ Yakni, takutlah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta kebutuhan dan (peliharalah) hubungan kekerabatan, yaitu takutlah kepada hubungan kekerabatan, maka sambunglah dan janganlah kalian memutuskannya. Dalam ayat lain, Dia berfirman, ‘Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat,’ yaitu berikanlah haknya dari silaturahim dan kebaikan. Dalam ayat lain, Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,’ yaitu dengan tauhid, yaitu persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Dia juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada manusia dan memaafkan mereka, serta memberikan hak kepada kerabat dekat, yaitu memerintahkan untuk menyambung silaturahim. Dia memerintahkan tiga perkara dan melarang tiga perkara. Dia berfirman ‘Dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.’ Perbuatan keji adalah maksiat
“Dan munkar adalah apa yang tidak dikenal dalam syariat atau sunnah, dan baghyu adalah berbuat zalim kepada manusia

(يَعِظُكُمْ) يَعْنِي يَأْمُرُكُمْ بِهَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ وَيَنْهَاكُمْ عَنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ) يَعْنِي لِكَيْ تَتَعِظُوا. وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَدِيقًا لِي وَمَا أَسْلَمْتُ إِلَّا حَيَاءً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ لِأَنَّهُ كَانَ يَدْعُونِي إِلَى اللَّهِ فَأَسْلَمْتُ وَلَمْ يَسْتَقِرَّ الْإِسْلَامُ فِي قَلْبِي جَلَسْتُ عِنْدَهُ يَوْمًا يُحَدِّثُنِي إِذْ أَعْرَضَ عَنِّي فَكَأَنَّهُ يُحَدِّثُ أَحَدًا بِجَانِبِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيَّ فَقَالَ نَزَلَ عَلَيَّ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى الْآيَةَ فَسُرِرْتُ بِذَلِكَ وَاسْتَقَرَّ الْإِسْلَامُ فِي قَلْبِي فَقُمْتُ مِنْ عِنْدِهِ وَأَتَيْتُ عَمَّهُ أَبَا طَالِبٍ فَقُلْتُ لَهُ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ أَخِيكَ فَأُنْزِلَتْ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةُ فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ تَابِعُوا مُحَمَّدًا تُفْلِحُوا وَتُرْشِدُوا وَاللَّهِ إِنَّ ابْنَ أَخِي يَأْمُرُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ لَئِنْ كَانَ صَادِقًا أَوْ كَذِبًا لَا يَدْعُوكُمْ إِلَّا إِلَى الْخَيْرِ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ فَطَمِعَ فِي إِسْلَامِهِ فَأَتَى إِلَيْهِ وَدَعَاهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ الْآيَةِ صِلَةَ الرَّحِمِ وَقَالَ فِي آيَةٍ أُخْرَى فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ يَعْنِي الَّذِينَ يُقَطِّعُونَ الرَّحِمَ وَيُقَالُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا خَلَقَ الرَّحِمَ قَالَ أَنَا الرَّحْمَنُ وَأَنْتِ الرَّحِمُ أَقْطَعُ مَنْ قَطَعَكِ وَأَصِلُ مَنْ وَصَلَكِ وَذُكِرَ أَنَّ الرَّحِمَ مُعَلَّقٌ بِالْعَرْشِ يُنَادِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَا رَبِّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي فِيكَ وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي فِيكَ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِذَا أَظْهَرَ النَّاسُ الْعِلْمَ وَضَيَّعُوا الْعَمَلَ وَتَحَابُّوا بِالْأَلْسُنِ وَتَبَاغَضُوا بِالْقُلُوبِ وَتَقَاطَعُوا بِالْأَرْحَامِ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ

(Dia menasihati kalian) yaitu memerintahkan kalian dengan tiga perkara ini, dan melarang kalian dari tiga perkara ini agar kalian ingat) yaitu agar kalian mengambil pelajaran. Diriwayatkan dari Utsman bin Mazh’un, semoga Allah Ta’ala meridhainya, bahwa ia berkata, ‘Rasulullah ﷺ adalah temanku, dan aku masuk Islam hanya karena malu kepada Rasulullah ﷺ karena beliau mengajakku kepada Allah, lalu aku masuk Islam dan Islam belum menetap di hatiku. Suatu hari aku duduk di dekatnya, beliau sedang berbicara, tiba-tiba beliau berpaling dariku seolah-olah berbicara dengan seseorang di sampingnya, kemudian beliau menghadapku dan berkata, ‘Jibril ‘alaihissalam turun kepadaku dan membacakan ayat ini: ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,’ dan seterusnya. Aku merasa senang dengan itu dan Islam menetap di hatiku. Aku bangkit dari sisinya dan mendatangi pamannya, Abu Thalib, lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku berada di dekat keponakanmu, lalu diturunkan kepadanya ayat ini.’ Abu Thalib berkata, ‘Ikutilah Muhammad, kalian akan beruntung dan mendapat petunjuk. Demi Allah, keponakanku memerintahkan akhlak yang mulia, jika ia benar atau berbohong, ia tidak mengajak kalian kecuali kepada kebaikan.’ Hal itu sampai kepada Nabi ﷺ, lalu beliau berharap akan keislamannya, maka beliau mendatanginya dan mengajaknya kepada Islam, namun ia enggan masuk Islam, lalu turunlah ayat ini: ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.’ Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam ayat ini tentang silaturahim, dan berfirman dalam ayat lain, ‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, lalu ditulikan pendengaran mereka dan dibutakan penglihatan mereka,’ yaitu orang-orang yang memutuskan silaturahim. Dikatakan bahwa ketika Allah Ta’ala menciptakan rahim, Dia berfirman, ‘Aku adalah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan engkau adalah rahim. Aku akan memutuskan orang yang memutuskanmu, dan aku akan menyambung orang yang menyambungmu.’ Diriwayatkan bahwa rahim itu tergantung di ‘Arsy, menyeru siang dan malam, ‘Ya Tuhanku, sambunglah orang yang menyambungku karena-Mu, dan putuskanlah orang yang memutuskanku karena-Mu.’ Hasan Al-Bashri rahimahullah Ta’ala berkata, ‘Jika manusia menampakkan ilmu dan menyia-nyiakan amal, saling mencintai dengan lisan dan saling membenci dalam hati, serta memutuskan silaturahim, Allah melaknat mereka, lalu ditulikan pendengaran mereka dan dibutakan penglihatan mereka.’

(قَالَ الْفَقِيهُ) رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ
حدثني أبي قال حدثنا محمد بن حمزة أبو الحسين الغراء الفقيه قال حدثنا أبو بكر الطوسي قال حدثنا محمد بن يحيى البلخي قال حدثنا يحيى بن سليم قال كان عند بابكة رجل من أهل خراسان وكان رجلا صالحا وكان تعالى في الناس يودعونه ود الجهم جا مرجل فاردعه عشرة آلاف دينار وخرج الرجل في حاجته فقدم الرجل مكة عليهم وقد مات الخراساني وسأل الله ورسوله عن عله فريكن لهم به علم فقال الرجل العنها سكة وكانو ابو منذ مجتمعين فولا متوافر بن أود عن فلانا عشرة آلاف دينار وقد مات وسألت ولد مراحل فزيكن لهم بها عليها تأمروني يخشى فقالو المحن نرجو أن يكون الخرساني من أهل الجنة فاذا مضى من الليل تلته أو نصفه فأن زمزم فاطلع فيها ولاد إفلان بن فلان أنا صاحب الود يمت فضل ذلك ثلاث ليال فريج أحد فأتاهم وأخبرهم فقالوا انا لله ليس والا البمراجعون نحن نخشى ان يكون صاحبك من اهل النار فأت اليمن فأن فيها واد يا يقال له بر هوش و به امرد بر فاطلع فيها الذا مضى ثلث الليل أوصفه فتاد يافلان بن فلان أنا صاحب الوديعة ففعل ذلك فاجابه في أول موت فقال و بحك ما أنزلك ههنا و قد كنت صاحب خير قال كان لي أهل بيت بخراسان فقطعتهم حتى مت فا على الله بذلك فأنزلني هذا المنزل فاما مالك فهو على حاله وانى لم أتمن ولدى على مالك قد فتنته في بيت كذا طلعت فقل اولدی یدخل فی داری تم سر الى البيت فاحفر فانك ستجد مالك فرجع فوجد ماله على حاله ( قال الفقيه ) رضى الله تعالى عنه اذا كان الرجل عند قرابت ولم يكن غائبا عنهم فالواجب عليه أن يصلهم بالهدية و بالزيارة فان لم يقدر على الصالة بالمال فليصلهم بالزيارة و الاعانة في أعمالهم ان احتاجوا وان كان غائبا يصلهم بالكتاب اليهم فإن قدر على المسير اليهم كان المسير أفضل واعلم بأن في صلة الرحم عشر خصال محمودة أو لها أن رج الرحم والتانى ادخال السرور عليهم وقدروى في الخيران أفضل الاعمال ادخال السرور على المؤمن الثالثأن فيها فرح الملائكة لانهم يفرحون صلة الرحم والرابع أن فيها حسن الثناء من المسلمين عليه والخامس أن فيها العمال الفم على ابليس عليه اللعفو السادس زيادة في العمر والسابع بركة في الرزق والثامن سرور الاموات لان الآباء والاجداد يسرون بصلة الرحم والقرابة والتاسع زيادة في المودة لا تماذا وقع المسبب من السرور والحزن يجتمعون اليمر يعينون على ذلك فيكون له زيادة في المودة والعاشور بادة الأجر بعدم ونه لانهم يدعون له بعد موته كل ماذكروا احسانه قال أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه ثلاثة نفر في ظل عرش الرحمن يوم القيامة واصل الرحم بعدله في عمر مو يوسع له في قبره ورزقه وامرات أقسات زوجها وترك يتامى فتقوم هي على الايتام حتى يغنيهم الله أو يموتو او ارجل اتخذ طعاما فدعا اليه اليتامى والمساكين وروى الحسن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ما خطا عبد خطوتين احب إلى الله تعالى من الخطوة إلى صلاة الفريضة و خطوة الى ذى الرحم المحرم و بقال خمسة أشياء من داوم عليها زيدنى حسناته مثل الجبال الراسيات و يوسع الله عليه رزقه أو لها من داوم على الصدقة قلت أو كثرت ومن وصل رحمه قل أو كثر من دلوم على الجهاد في سبيل المقهر من داوم على الوضوء ولم يسرف في صب الماء ومن أطاع والد يعود اوم على
طاعتهما و الله سبحانه و تعالى أعلم

(Berkata Al-Faqih) radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.”
“Ayahku menceritakan kepadaku, dia berkata Muhammad bin Hamzah Abu Al-Husain Al-Gharra’ Al-Faqih menceritakan kepada kami, dia berkata Abu Bakar Ath-Thusi menceritakan kepada kami, dia berkata Muhammad bin Yahya Al-Balkhi menceritakan kepada kami, dia berkata Yahya bin Salim menceritakan kepada kami, dia berkata di dekat Babakah ada seorang laki-laki dari penduduk Khurasan, dia adalah seorang laki-laki yang saleh, dan dia semoga Allah Ta’ala merahmatinya, di antara orang-orang yang menitipkan sesuatu kepadanya. Datanglah seorang laki-laki, lalu dia menyerahkan kepadanya sepuluh ribu dinar, dan laki-laki itu pergi untuk keperluannya. Laki-laki itu datang ke Makkah, dan orang Khurasan itu telah meninggal. Dia bertanya kepada Allah dan Rasul-Nya tentang keberadaannya, maka mereka tidak mengetahui tentangnya. Laki-laki itu berkata, ‘Aku berutang kepada si fulan sepuluh ribu dinar, dan dia telah meninggal, dan aku bertanya kepada anak-anaknya, maka mereka tidak mengetahui tentangnya, apa yang kalian perintahkan kepadaku?’ Mereka khawatir, lalu berkata, ‘Kami berharap orang Khurasan itu termasuk penduduk surga, maka jika telah berlalu sepertiga malam atau setengahnya, maka datanglah ke sumur Zamzam dan lihatlah ke dalamnya, dan panggillah si fulan bin fulan, aku adalah pemilik titipan itu.’ Dia melakukan itu selama tiga malam, lalu ada seseorang datang kepada mereka dan memberi tahu mereka, maka mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, kami khawatir temanmu itu termasuk penduduk neraka, maka datanglah ke Yaman, karena di sana ada sebuah lembah yang disebut Barahut, dan di dalamnya ada sumur, maka lihatlah ke dalamnya, jika telah berlalu sepertiga malam atau setengahnya, maka panggillah si fulan bin fulan, aku adalah pemilik titipan itu.’ Dia melakukan itu, lalu dia menjawab pada awal kematian, dia berkata, ‘Celakalah kamu, apa yang membawamu ke sini, padahal aku adalah pemilik kebaikan?’ Dia berkata, ‘Aku memiliki keluarga di Khurasan, lalu aku memutuskan hubungan dengan mereka hingga aku meninggal, maka Allah membalasnya denganku dengan tempat ini, adapun hartamu, maka keadaannya seperti semula, dan aku tidak mempercayai anakku atas hartamu, dia telah tergoda di rumah ini, maka lihatlah anakku masuk ke rumahku, lalu pergilah ke rumah itu dan galilah, maka kamu akan menemukan hartamu.’ Lalu dia kembali dan menemukan hartanya dalam keadaan semula. (Berkata Al-Faqih) semoga Allah Ta’ala meridhainya, ‘Jika seseorang berada di dekat kerabatnya dan tidak sedang bepergian dari mereka, maka wajib baginya untuk menyambung mereka dengan hadiah dan kunjungan, jika dia tidak mampu menyambung mereka dengan harta, maka hendaknya dia menyambung mereka dengan kunjungan dan membantu mereka dalam pekerjaan mereka jika mereka membutuhkan, dan jika dia sedang bepergian, maka hendaknya dia menyambung mereka dengan surat kepada mereka, dan jika dia mampu bepergian kepada mereka, maka bepergian kepada mereka lebih utama. Ketahuilah bahwa dalam silaturahim ada sepuluh sifat terpuji, yang pertama adalah melapangkan rahim, dan yang kedua adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati mereka, dan diriwayatkan dalam kebaikan bahwa amal yang paling utama adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, yang ketiga adalah bahwa di dalamnya ada kegembiraan para malaikat karena mereka bergembira dengan silaturahim, dan yang keempat adalah bahwa di dalamnya ada pujian yang baik dari kaum muslimin kepadanya, dan yang kelima adalah bahwa di dalamnya ada amarah iblis kepadanya, yang keenam adalah bertambahnya umur, dan yang ketujuh adalah berkah dalam rezeki, dan yang kedelapan adalah kegembiraan orang-orang yang telah meninggal karena ayah dan kakek bergembira dengan silaturahim dan kekerabatan, dan yang kesembilan adalah bertambahnya kasih sayang, tidak peduli apa yang terjadi pada orang yang bersedih dan gembira, mereka berkumpul untuk saling membantu dalam hal itu, maka dia akan bertambah kasih sayang, dan yang kesepuluh adalah bertambahnya pahala setelah kematiannya karena mereka mendoakannya setelah kematiannya setiap kali mereka menyebut kebaikannya.’ Anas bin Malik radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata, ‘Tiga orang berada di bawah naungan ‘Arsy Ar-Rahman pada hari kiamat: orang yang menyambung rahim, orang yang adil dalam umurnya, dilapangkan kuburnya, dan rezekinya, dan seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dan meninggalkan anak-anak yatim, lalu dia mengurus anak-anak yatim hingga Allah mencukupkan mereka atau mereka meninggal, dan seorang laki-laki yang membuat makanan lalu mengundang anak-anak yatim dan orang-orang miskin kepadanya.’ Diriwayatkan dari Hasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba melangkah dua langkah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala daripada langkah menuju shalat wajib dan langkah menuju kerabat dekatnya.’ Dikatakan bahwa lima perkara yang jika seseorang terus melakukannya, maka kebaikannya akan bertambah seperti gunung-gunung yang kokoh, dan Allah akan meluaskan rezekinya, yang pertama adalah orang yang terus bersedekah, baik sedikit maupun banyak, dan orang yang menyambung rahimnya, baik sedikit maupun banyak, orang yang terus berjihad di jalan Allah, orang yang terus berwudhu dan tidak berlebihan dalam menuangkan air, dan orang yang taat kepada kedua orang tuanya dan terus berbuat baik kepada mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.”

Kategori
Uncategorized

MIMPI KELUAR MANI TAPI SARUNG DAN CELANA DALAMNYA TIDAK BASAH

MIMPI KELUAR MANI TAPI SARUNG DAN CELANA DALAMNYA TIDAK  BASAH

Assalamualaikum.
Deskripsi Masalah.
Terlah terjadi bagi seseorang ketika tidur dia mempi keluar mani, Namun setelah bangun dia lihat sarung dan celana dalamnya (  sempaknya ) tidak basah. Lalu dia tidur kembali setelah bangun dia merasa was was akhirnya dia melihat celana dalamnya ternyata ada warna putih setelah diraba telah kering lalu dia cium, namun tidak berbau sebagai mana mani ( tidak seperti putihnya telur atau adonan kue).

Pertanyaannya.

1. Apakah saya wajib adus sebagaimana kasus pertama dalam mimpi keluar mani  namun tiada bukti setelah bangun tidur? Lalu bagaimana terkait kasus yang kedua apakah wajib adus?

Waalaikum salam.
Jawaban.
Dalam kasus yang pertama tidak wajib adus karena tidak ada bukti begitu juga halnya kasus yang kedua. Dengan demikian maka orang yang bersangkutan tidak masuk dalam kategori  hadas besar sehingga dia tidak wajib adus .

Referensi :


كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار الجزء ١ صح ٣٧
[فرع] :

لو تنبه من نومه فلم يجد إلا الثخانة والبياض فلا غسل لأن الودي شارك المني في الثخانة والبياض بل يتخير بين جعله ودياً أو منياً على المذهب ، ولو اغتسل ثم خرجت منه بقية وجب الغسل ثانياً بلا خلاف سواء خرجت قبل البول أو بعده ، ولو رأى المني في ثوبه أو في فراش لا ينام فيه غيره ولم يذكر احتلاماً لزمه الغسل على الصحيح المنصوص الذي قطع به الجمهور . وقال المارودي : لهذا إذا كان المني في باطن الثوب فإن كان في ظاهره فلا غسل عليه لاحتمال إصابته من غيره ولو أحس بانتقال المني ونزوله فأمسك ذكره فلم يخرج منه شيء في الحال ولا علم خروجه بعده فلا غسل عليه والله أعلم . ومنها الموت ، وهو يوجب الغسل ، لما روي عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في المحرم الذي وقصته ناقته : اغسلوه بماء وسدر رواه الشيخان وظاهره الوجوب ، والرقص كسر العنق . الي ان فال وثلاثة تختص بها النساء وهي الحيض والنفاس والولادة من الأسباب الموجبة للغسل الحيض ، قال الله تعالى : ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله نهى عن قربانهن إلى الغاية ، وعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة فإذا ذهب قدرها فاغسلي عنك الدم وصلي رواه الشيخان ،وفي رواية البخاري : ثم اغتسلي وصلي والنفاس كالحيض في ذلك ،وفي معظم الأحكام .

Referensi:
Kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Jilid 1, halaman 37
[Cabang]: Jika seseorang terbangun dari tidurnya dan tidak menemukan apa pun kecuali cairan kental dan putih, maka tidak wajib mandi. Karena wadi (cairan yang keluar setelah buang air kecil) memiliki kesamaan dengan mani dalam kekentalan dan warna putihnya. Bahkan, ia boleh memilih apakah akan menganggapnya sebagai wadi atau mani, menurut pendapat yang dipegang. Jika ia telah mandi kemudian keluar sisa mani, maka wajib mandi lagi tanpa perbedaan pendapat, baik keluarnya sebelum atau setelah buang air kecil. Jika ia melihat mani di pakaiannya atau di tempat tidur yang tidak ditempati orang lain dan ia tidak ingat pernah bermimpi basah, maka ia wajib mandi menurut pendapat yang benar dan tegas yang dipegang oleh mayoritas ulama. Imam Al-Mawardi berkata: Oleh karena itu, jika mani berada di bagian dalam pakaian, maka jika berada di bagian luarnya, ia tidak wajib mandi karena kemungkinan terkena dari orang lain. Jika ia merasa perpindahan dan keluarnya mani lalu ia menahan kemaluannya sehingga tidak keluar apa pun saat itu dan ia tidak mengetahui keluarnya setelah itu, maka ia tidak wajib mandi. Allah Maha Mengetahui. Termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi adalah kematian, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang sedang ihram yang jatuh dari untanya dan meninggal: Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Diriwayatkan oleh dua imam hadits (Bukhari dan Muslim), dan zhahirnya adalah wajib. Dan tarian mematahkan leher. Hingga ia berkata, dan tiga hal yang khusus bagi wanita adalah haid, nifas, dan melahirkan. Termasuk penyebab wajibnya mandi adalah haid. Allah Ta’ala berfirman: Janganlah kamu mendekati mereka (wanita haid) hingga mereka suci. Jika mereka telah suci, maka campurilah mereka sesuai dengan perintah Allah kepadamu. Ayat ini melarang mendekati mereka hingga batas kesucian. Dan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika haid datang, maka tinggalkanlah shalat. Jika telah selesai, maka cucilah darah darimu dan shalatlah. Diriwayatkan oleh dua imam hadits (Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Bukhari: Kemudian mandilah dan shalatlah. Dan nifas sama dengan haid dalam hal itu, dan dalam sebagian besar hukum.”


وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَرْأَةِ تَرَى فِى مَنَامِهَا مَايَرَى الرَّجُلُ – قَالَ : ( تَغْتَسِلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

زَادَ مُسْلِمٌ: فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْم ٍ ( وَهَلْ يَكُونُ هَذَاقَالَ: نَعَمْ فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ اَلشَّبَهُ)

Anas Radliyallahu ‘Anhu berkata: Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang perempuan yang bermimpi sebagaimana yang dimimpikan oleh laki-laki, maka sabdanya, “Ia wajib mandi.” Hadits riwayat Muttafaqun ‘Alaih

Imam Muslim menambahkan: Ummu Salamah bertanya: Adakah hal ini terjadi؟ Nabi menjawab: “Ya lalu darimana datangnya persamaan؟”

MAKNA HADITS :

Allah (s.w.t) membentuk rupa janin dalam rahim mengikut gambaran yang Dia kehendaki. Adakalanya anak itu mirip dengan ayahnya atau kakeknya dari sebelah ayahnya dan adakalanya pula mirip dengan ibunya atau neneknya dari sebelah ibunya. Air mani siapa diantara keduanya yang mampu mengalahkan yang lain, maka anak yang bakal dilahirkan akan mirip dengan mani yang menang

itu. Ini merupakan salah satu di antara mukjizat Nabi (s.a.w) kerana baginda mengetahui tentang fasa yang dialami oleh janin. Nabi (s.a.w) mewajibkan mandi kepada wanita yang mengeluarkan air mani dalam mimpi, sebagaimana ia juga diwajibkan kepada lelaki, kerana wanita pada hakekatnya merupakan belahan lelaki.

FIQH HADITS :

1. Wanitapun boleh bermimpi mengeluarkan air mani sama dengan kaum lelaki.

2. Wanita tidak diwajibkan mandi kecuali apabila dia melihat adanya air mani.

3. Pengakuan yang menyatakan bahwa anak itu adakalanya mirip dengan ayahnya atau mirip dengan ibunya. Jika air mani salah seorang di antara keduanya mendahului air mani yang lainnya, maka anaknya akan mirip dengan siapa yang mengeluarkan air mani terlebih dahulu itu.

4. Seorang wanita dibolehkan meminta fatwa mengenai perkara-perkara yang

dianggap musykil baginya dalam urusan agama.

5. Perhatian yang sangat luar biasa dimiliki oleh sahabat wanita untuk sentiasa memperdalam ilmu agama.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kategori
Uncategorized

HUKUM TALAK DALAM KONDISI HAID

HUKUM TALAK DALAM KONDISI HAID

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Ada pasangan suami istri yang pada awalnya harmonis entah sebab apa dikemudian hari suaminya dengan terpaksa mentalak istrinya dalam kondisi haid

Pertanyaan
Sahkah talak dalam kondisi haid, kalau sah sampai dimana perhitungan iddah bagi perempuan yang ditalak dalam kondisi sebagaimana Deskripsi

Waalaikumsalam.

Jawaban.

  1. Talak dalam kondisi haid hukumnya haram, namun Talaknya tetap sah

Penjelasan.

Dalam Islam, talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid disebut talak bid’i. Hukumnya adalah haram, tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahannya. Berikut adalah penjelasan mengenai masalah ini:
Keabsahan Talak saat Haid:
Mayoritas Ulama:
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (termasuk mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid tetap sah, meskipun haram hukumnya.
Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Umar, di mana Rasulullah SAW memerintahkan Ibnu Umar untuk merujuk istrinya yang ditalak saat haid. Perintah rujuk ini menunjukkan bahwa talak tersebut dianggap sah.
Namun, suami yang menjatuhkan talak dalam kondisi ini berdosa karena melanggar aturan syariat.
Pendapat Sebagian Ulama (terutama Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim):
Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat haid tidak sah. Mereka berargumen bahwa talak bid’i tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Pendapat ini menekankan pada tujuan syariat dalam mengatur talak, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi suami istri untuk rujuk dan memperbaiki hubungan.

  1. Masa Iddah bagi Wanita yang Ditalak saat Haid:

Masa iddah bagi wanita yang ditalak saat haid dihitung setelah ia suci dari haid tersebut.
Secara umum, masa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali masa suci.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an (QS. At-Thalaq: 1): “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.”
Jadi, jika seorang wanita ditalak saat haid, maka haid yang terjadi waktu talak itu tidak di hitung, lalu dihitung setelah suci dari haid tersebut.

Saran:
Sebaiknya, pasangan suami istri yang mengalami masalah rumah tangga berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik, dengan melibatkan keluarga atau mediator jika perlu.
Jika talak tidak dapat dihindari, sebaiknya dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu saat istri dalam keadaan suci dan belum digauli.
Jika terjadi talak saat haid, suami sebaiknya segera bertaubat kepada Allah SWT.

Referensi:

الحاوي الكبير ج.١٠،ص.١١٥
طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فِي حَيْضٍ أَوْ فِي طُهْرٍ مُجَامَعٍ فِيهِ. فَهُوَ مَحْظُورٌ مُحَرَّمٌ بِوِفَاقٍ. وَاخْتُلِفَ فِي وُقُوعِهِ مَعَ تَحْرِيمِهِ. فَمَذْهَبُنَا إِنَّهُ وَاقِعٌ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمًا. وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam Al-Mawardi

“Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau pada saat suci yang telah dicampuri (jima’). Maka, talak seperti ini dilarang dan haram secara sepakat (ulama). Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan talak tersebut meskipun haram. Mazhab kami (Syafi’i) berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah meskipun haram. Ini adalah pendapat para sahabat, tabi’in, dan mayoritas ahli fiqih.”
Penjelasan:
Talak Bid’ah:
Talak bid’ah adalah talak yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau dalam keadaan suci setelah dicampuri.
Para ulama sepakat bahwa talak seperti ini hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Perbedaan Pendapat tentang Keabsahan Talak: Meskipun haram, para ulama berbeda pendapat mengenai apakah talak tersebut tetap sah atau tidak.
Mazhab Syafi’i, yang diikuti oleh penulis kitab Al-Hawi Al-Kabir, berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah. Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas ulama.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa talak tersebut tidak sah, karena talak tersebut dilakukan dengan cara yang dilarang.
Hikmah Pelarangan Talak Bid’ah:

Pelarangan talak bid’ah bertujuan untuk menghindari tindakan cerai yang tergesa-gesa dan merugikan istri.
Talak pada saat haid dapat memperpanjang masa iddah istri, sedangkan talak pada saat suci setelah dicampuri dapat menimbulkan penyesalan jika ternyata istri sedang hamil.
Secara umum, teks tersebut menjelaskan bahwa talak bid’ah adalah perbuatan yang diharamkan, namun para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan talak tersebut.

Referensi:

فقه الإسلامي وادلته للشيخ وهبة الزحيلي ج٩ص ٦٩٢٣-٦٩٢٤

 وفي رواية عنه: «أنه طلق امرأة له وهي حائض، فذكر ذلك عمر للنبي صلّى الله عليه وسلم، فتغيَّظ فيه رسول الله صلّى الله عليه وسلم ثم قال: ليراجعْها، ثم يمسكْها حتى تطهُر، ثم تحيض فتطهر، فإن بدا له أن يطلّقها، فليطلقها قبل أن يمسها، فتلك العدة كما أمر الله تعالى». وفي لفظ: «فتلك العدة التي أمر الله أن يُطلَّق لها النساء» فهو يدل على أن الطلاق جائز حال الطهر الذي لم يجامع فيه.
وهذا متفق مع الآية القرآنية: {يا أيها النبي إذا طلقتم النساء، فطلقوهن لعدتهن} [الطلاق:١/ ٦٥] أي مستقبلات عدتهن.
والسبب هو عدم إطالة العدة على المرأة، ففي الطلاق في أثناء الحيض أو في طهر جامعها فيه ضرر بالمرأة بتطويل العدة عليها؛ لأن الحيضة التي وقع فيها الطلاق لا تحتسب من العدة، وزمان الحيض زمان النفرة، وبالجماع مرة في الطهر تفتر الرغبة.
وبه يتبين أن الطلاق البدعي يكون للمرأة التي دخل بها زوجها، وكانت ممن تحيض، أما التي لم يدخل بها الزوج أو كانت حاملاً أو لا تحيض، فلا يكون طلاقها بدعياً قبيحاً شرعاً، قال ابن عباس: الطلاق على أربعة أوجه: وجهان حلال، ووجهان حرام، فأما اللذان هما حلال: فأن يطلق الرجل امرأته طاهراً من غير جماع، أو يطلقها حاملاً مستبيناً حملها، وأما اللذان هما حرام: فأن يطلقها حائضاً أو يطلقها عند الجماع، لا يدري، اشتمل الرحم على ولد أم لا (٢).
أثر مخالفة هذا القيد: يقع الطلاق باتفاق المذاهب الأربعة في حال الحيض أو في حال الطهر الذي جامع الرجل امرأته فيه؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم أمر ابن عمر بمراجعة

امرأته التي طلقها، وهي حائض، والمراجعة لا تكون إلا بعد وقوع الطلاق، ويؤيده رواية: «وكان عبد الله طلَّق تطليقة، فحسبت من طلاقها».
وقال الشيعة الإمامية والظاهرية وابن تيمية وابن القيم (١): يحرم الطلاق في أثناء الحيض أو النفاس أو في طهر وطئ الرجل زوجته فيه، ولا ينفذ هذا الطلاق البدعي، بدليل ما يأتي:
١ً – ما أخرجه أحمد وأبو داود والنسائي عن ابن عمر بلفظ: «طلق عبد الله ابن عمر امرأته وهي حائض، قال عبد الله: فردها علي رسول الله صلّى الله عليه وسلم ولم يرها شيئاً». وهذا الحديث صحيح كما صرح به ابن القيم وغيره.
ونوقش بأنه قد أعل هذا الحديث بمخالفة أبي الزبير لسائر الحفاظ، وقال ابن عبد البر: قوله «ولم يرها شيئاً»: منكر لم يقله غير أبي الزبير، وليس بحجة فيما خالفه فيه مثله، فكيف إذا خالفه من هو أوثق منه، ولو صح فمعناه عندي ـ والله أعلم ـ ولم يرها شيئاً مستقيماً، لكونها لم تكن على السنة.
وقال الخطابي: وقد يحتمل أن يكون معناه: ولم يرها شيئاً تحرم معه المراجعة، أو لم يرها شيئاً جائزاً في السنة.
٢ً – حديث: «من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد» (٢) والطلاق في حال الحيض مخالف لأمر الشارع، فيكون مردوداً لا أثر له. ونوقش بأن المردود هو بسبب مخالفة ركن أو شرط من أركان أو شروط العمل. وأما المخالفة بسبب تطويل العدة أو عدم وجود الحاجة إلى الطلاق، فليس أحدهما ركناً أو شرطاً للطلاق، فلا تستوجب الرد وعدم وقوع الطلاق.

Riwayat tentang perceraian saat haid:
“Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya saat haid. Umar melaporkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah. Kemudian beliau bersabda, ‘Suruh dia rujuk, lalu tahan dia hingga suci, kemudian haid lagi lalu suci. Jika dia ingin menceraikannya, ceraikanlah sebelum menyentuhnya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah Ta’ala.’ Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan wanita.’ Ini menunjukkan bahwa perceraian diperbolehkan saat suci yang belum digauli.”
Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (QS. At-Thalaq: 1).
Alasannya adalah agar masa iddah tidak terlalu lama bagi wanita. Perceraian saat haid atau saat suci yang telah digauli akan merugikan wanita karena memperpanjang masa iddah. Sebab, haid yang terjadi saat perceraian tidak dihitung dalam masa iddah, dan masa haid adalah masa ketidaksukaan. Selain itu, jika telah digauli sekali saat suci, keinginan (untuk rujuk) akan berkurang.
Dari sini jelas bahwa perceraian bid’ah terjadi pada wanita yang telah digauli suaminya dan mengalami haid. Sedangkan wanita yang belum digauli suaminya, wanita hamil, atau wanita yang tidak mengalami haid, perceraian mereka tidak dianggap bid’ah yang buruk secara syar’i. Ibnu Abbas berkata, “Perceraian ada empat macam: dua halal dan dua haram. Yang halal adalah jika seorang pria menceraikan istrinya saat suci tanpa digauli, atau menceraikannya saat hamil yang jelas kehamilannya. Yang haram adalah jika menceraikannya saat haid atau saat digauli, tanpa diketahui apakah rahimnya mengandung janin atau tidak.”
Dampak dari pelanggaran ketentuan ini:
Perceraian tetap sah menurut kesepakatan empat mazhab, meskipun terjadi saat haid atau saat suci yang telah digauli. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk dengan istrinya yang diceraikannya saat haid, dan rujuk tidak mungkin terjadi kecuali setelah perceraian terjadi. Hal ini diperkuat oleh riwayat: “Abdullah menceraikan satu talak, dan itu dihitung sebagai talaknya.”
Namun, mazhab Syi’ah Imamiyah, Zhahiriyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa perceraian saat haid, nifas, atau saat suci yang telah digauli adalah haram dan tidak sah. Dalil mereka adalah:

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i dari Ibnu Umar: “Abdullah bin Umar menceraikan istrinya saat haid. Abdullah berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan dia kepadaku dan tidak menganggapnya sebagai apa pun.'” Hadits ini sahih menurut Ibnul Qayyim dan lainnya.
Namun, hadits ini dipermasalahkan karena Abu Zubair dianggap bertentangan dengan para hafiz hadits lainnya. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ucapan ‘tidak menganggapnya sebagai apa pun’ adalah munkar, tidak ada yang mengatakan selain Abu Zubair, dan itu bukan hujjah jika bertentangan dengan orang yang setara dengannya, apalagi jika bertentangan dengan orang yang lebih tepercaya darinya. Jika sahih pun, maknanya menurutku—wallahu a’lam—adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang lurus, karena tidak sesuai dengan sunnah.”
Al-Khaththabi berkata, “Mungkin juga maknanya adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengharamkan rujuk, atau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan dalam sunnah.”
Hadits: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” Perceraian saat haid bertentangan dengan perintah syariat, maka tertolak dan tidak berpengaruh.
Namun, hal ini dipermasalahkan karena yang tertolak adalah amalan yang melanggar rukun atau syaratnya. Sedangkan pelanggaran karena memperpanjang masa iddah atau tidak adanya kebutuhan untuk bercerai, bukanlah rukun atau syarat perceraian, sehingga tidak menyebabkan perceraian tertolak dan tidak sah. Wallahu a’lam