HUKUM SILATURAHIM DAN MANFAATNYA
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah:
Silaturahmi adalah amalan mulia,karena didalamnya banyak hikmah atau manfaatnya, tetapi terkadang menimbulkan situasi yang tidak diinginkan seperti ghibah dan fitnah. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang hukum silaturahmi dalam kondisi tersebut yaitu:
1.Apakah wajib hukumnya silaturrahim ? Kalau wajib kepada siapa?
2.Apakah sunnah hukumnya silaturahim ? Kalau sunnah kepada siapa saja?
3.Apakah hukumnya silaturahim mubah ? Kalau mubah kepada siapa saja?
Mohon jawaban dengan referensi.
Waalaikumsalam
Jawaban:
Secara umum ulama sepakat bahwa silaturahim adalah :
Wajib, dan memutuskannya adalah dosa besar, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَْرْحَامَ}
“{Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan}”.
وَقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيَصِل رَحِمَهُ
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahimnya.”
Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai kepada siapa harus menyambung silaturrahim yang masuk dalam kategori wajib yaitu kepada orang tua, saudara kandung, dan kerabat mahram lainnya. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 36: “
وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًافَخُوْرًاۙ
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengingatkan ancaman bagi pemutus tali silaturahmi. Abu Jabir bin Muth’im meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لايدخل الجنة قاطع الرحم
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus (silaturahmi).” (HR. Bukhari & Muslim).
Silaturahim memiliki tingkatan, sebagian lebih tinggi dari yang lain, dan yang paling rendah adalah meninggalkan pengabaian, dan menyambungnya dengan perkataan, meskipun dengan salam. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan: ada yang wajib, dan ada yang sunnah.
Sunnah:
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa silaturahmi hukumnya sunnah, terutama kepada kerabat yang lebih jauh dan teman-teman.
walaupun hukumnya sunnah, sangat dianjurkan untuk tetap menjaga hubungan silaturahmi.
Manfaat dari silaturahmi sangat banyak,diantaranya adalah seperti:
* Mempererat tali persaudaraan.
* Mendatangkan keberkahan dan rezeki.
* Menghapus dosa-dosa. Sedangkangkam 10 manfaat lainnya akan kami jelaskan pada ibarat referensi paling akhir.
* Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang senang agar dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari & Muslim)
Mubah:
Dalam kondisi tertentu, silaturahmi bisa menjadi mubah (boleh), misalnya jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau kemudaratan.seperti Menjalin hubungan kepada kerabat nom muslim
Tetapi pada dasarnya, silaturahmi sangat dianjurkan dalam islam.
Hukum-hukum diatas sewaktu-waktu bisa berubah bergantung pada situasi dan kondisi ini berdasarkan sebuah kaidah;
الحكم يدور مع علته وجودا وعداما
Referensi:
- Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 36.
- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
- Mausuah fiqihiyah
- Kitabul Muslim Waququl akharin
- Tanbihul Ghafilin
كتاب الموسوعة الفقهية الكويتيه ج: ٢٧ ص: ٣٥٦-٣٥٩
صِلَةٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الصِّلَةُ فِي اللُّغَةِ: الضَّمُّ وَالْجَمْعُ، يُقَال: وَصَل الشَّيْءَ بِالشَّيْءِ وَصْلاً وَوَصْلَةً وَصِلَةً: ضَمَّهُ بِهِ وَجَمَعَهُ وَلأََمَهُ. وَعَنِ ابْنِ سِيدَهْ: الْوَصْل خِلاَفُ الْفَصْل.
كَمَا تُطْلَقُ عَلَى الْعَطِيَّةِ وَالْجَائِزَةِ، وَعَلَى الاِنْتِهَاءِ وَالْبُلُوغِ، وَعَلَى ضِدِّ الْهِجْرَانِ. (١)
وَفِي الاِصْطِلاَحِ: تُطْلَقُ عَلَى صِلَةِ الرَّحِمِ، وَصِلَةِ السُّلْطَانِ.
قَال الْعَيْنِيُّ فِي شَرْحِ الْبُخَارِيِّ: الصِّلَةُ هِيَ صِلَةُ الأَْرْحَامِ، وَهِيَ كِنَايَةٌ عَنِ الإِْحْسَانِ إِلَى الأَْقْرَبِينَ مِنْ ذَوِي النَّسَبِ وَالأَْصْهَارِ، وَالتَّعَطُّفِ عَلَيْهِمْ وَالرِّفْقِ بِهِمْ وَالرِّعَايَةِ لأَِحْوَالِهِمْ، وَكَذَلِكَ إِنْ بَعُدُوا وَأَسَاءُوا، وَقَطْعُ الرَّحِمِ قَطْعُ ذَلِكَ كُلِّهِ.
وَقَال النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ: قَال الْعُلَمَاءُ: وَحَقِيقَةُ الصِّلَةِ الْعَطْفُ وَالرَّحْمَةُ.
فَفِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ. قَال: نَعَمْ. أَمَّا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِل مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ، قَالَتْ: بَلَى. قَال: فَذَاكَ لَكِ.
(١) وَذَكَرَ النَّوَوِيُّ: أَنَّ صِلَةَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِعِبَادِهِ عِبَارَةٌ عَنْ لُطْفِهِ بِهِمْ وَرَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ وَعَطْفِهِ بِإِحْسَانِهِ وَنِعَمِهِ. وَيَعْتَبِرُ الْفُقَهَاءُ الصِّلَةَ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ الْهِبَاتِ وَالْعَطَايَا وَالصَّدَقَاتِ. كَمَا يُطْلِقُ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ عَلَى عَطَايَا السَّلاَطِينِ: صِلاَتِ السَّلاَطِينِ. (٢)
الأَْلْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ:
أ – قَطِيعَةٌ:
٢ – مِنْ مَعَانِي الْقَطِيعَةِ فِي اللُّغَةِ: الْهِجْرَانُ، يُقَال: قَطَعْتُ الصَّدِيقَ قَطِيعَةً: هَجَرْتُهُ.
وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ ضِدُّ صِلَةِ الرَّحِمِ. وَهِيَ: قَطْعُ مَا أَلِفَ الْقَرِيبُ مِنْهُ مِنْ سَابِقِ الْوَصْلَةِ وَالإِْحْسَانِ لِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ. (١)
ب – عَطِيَّةٌ:
٣ – الْعَطِيَّةُ وَالْعَطَاءُ: اسْمٌ لِمَا يُعْطَى، وَالْجَمْعُ عَطَايَا وَأَعْطِيَةٌ، وَجَمْعُ الْجَمْعِ: أُعْطِيَاتٌ. وَالْعَطِيَّةُ اصْطِلاَحًا: هِيَ مَا تُفْرَضُ لِلْمُقَاتِلَةِ. وَيَسْتَعْمِل الْفُقَهَاءُ الْعَطِيَّةَ – أَيْضًا – بِالْمَعْنَى اللُّغَوِيِّ نَفْسِهِ. (٢)
ج – هِبَةٌ:
٤ – الْهِبَةُ لُغَةً: الْعَطِيَّةُ الْخَالِيَةُ عَنِ الأَْعْوَاضِ وَالأَْغْرَاضِ.
وَفِي الْكُلِّيَّاتِ: الْهِبَةُ مَعْنَاهَا: إِيصَال الشَّيْءِ إِلَى الْغَيْرِ بِمَا يَنْفَعُهُ، سَوَاءٌ كَانَ مَالاً أَوْ غَيْرَ مَالٍ، وَيُقَال: وَهَبَ لَهُ مَالاً وَهْبًا وَهِبَةً، وَوَهَبَ اللَّهُ فُلاَنًا وَلَدًا صَالِحًا. وَالْهِبَةُ اصْطِلاَحًا: هِيَ تَمْلِيكُ الْعَيْنِ بِلاَ شَرْطِ الْعِوَضِ. (٣)
SILAH
DEFINISI:
Silah secara bahasa: Penggabungan dan pengumpulan. Dikatakan: “Washala asy-syai’a bi asy-syai’i washlan wa washlatan wa shilatan”: menggabungkannya dengannya, mengumpulkannya, dan menyatukannya. Dari Ibnu Sidah: “Washl” adalah lawan dari “fashl” (pemisahan).
Juga digunakan untuk pemberian dan hadiah, untuk akhir dan pencapaian, dan untuk lawan dari pengabaian.
Secara istilah: Digunakan untuk silaturahim dan silah sultan.
Al-‘Aini berkata dalam Syarah Bukhari: “Silah adalah silaturahim, dan itu adalah kinayah dari berbuat baik kepada kerabat dari kerabat nasab dan kerabat pernikahan, dan kasih sayang kepada mereka, kelembutan kepada mereka, dan perhatian terhadap keadaan mereka, bahkan jika mereka jauh dan berbuat buruk. Dan memutus silaturahim adalah memutus semua itu.”
An-Nawawi berkata dalam Syarah Muslim: “Para ulama berkata: Hakikat silah adalah kasih sayang dan rahmat.”
- Dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, hingga ketika Dia selesai dari mereka, rahim berdiri dan berkata: Ini adalah tempat orang yang berlindung dari pemutusan. Dia berkata: Ya, apakah kamu tidak senang bahwa Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu? Dia berkata: Tentu. Dia berkata: Maka itu untukmu.”
An-Nawawi menyebutkan: bahwa silah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah ungkapan dari kelembutan-Nya kepada mereka, rahmat-Nya kepada mereka, dan kasih sayang-Nya dengan kebaikan dan nikmat-Nya.
Para fuqaha menganggap silah sebagai salah satu sebab hibah, pemberian, dan sedekah.
Sebagian fuqaha juga menyebut pemberian para sultan sebagai: “shilat as-salathin” (silah para sultan).
KATA-KATA YANG BERKAITAN:
A. Qathi’ah (Pemutusan):
Salah satu makna qathi’ah dalam bahasa adalah pengabaian. Dikatakan: “Qatha’tu ash-shadiqa qathi’atan”: aku mengabaikan teman itu.
Qathi’ah rahim adalah lawan dari silah rahim. Yaitu: memutus apa yang telah dikenal oleh kerabat dari hubungan dan kebaikan sebelumnya tanpa alasan syar’i.
B. ‘Athiyyah (Pemberian):
Athiyyah dan ‘atha’ adalah nama untuk apa yang diberikan, dan jamaknya adalah ‘athaya dan a’thiyah, dan jamak dari jamak adalah: u’thiyyat.
‘Athiyyah secara istilah: adalah apa yang diwajibkan untuk para pejuang.
Para fuqaha juga menggunakan ‘athiyyah dengan makna bahasa yang sama.
C. Hibah (Pemberian):
Hibah secara bahasa: pemberian yang bebas dari imbalan dan tujuan.
Dalam Al-Kulliyat: makna hibah adalah: menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan apa yang bermanfaat baginya, baik itu harta atau bukan harta. Dikatakan: “Wahaba lahu malan wahban wa hibatan”, dan “Wahaba Allah fulanan waladan shalihan”.
Hibah secara istilah: adalah kepemilikan ‘ain tanpa syarat imbalan.
الْحُكْمُ الإِْجْمَالِيُّ:
أَوَّلاً: فِي صِلَةِ الرَّحِمِ:
٥ – لاَ خِلاَفَ فِي أَنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ وَاجِبَةٌ فِي الْجُمْلَةِ، وَقَطْعِيَّتَهَا مَعْصِيَةٌ كَبِيرَةٌ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَْرْحَامَ} . (١) وَقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيَصِل رَحِمَهُ. (٢) وَالصِّلَةُ دَرَجَاتٌ بَعْضُهَا أَرْفَعُ مِنْ بَعْضٍ، وَأَدْنَاهُ تَرْكُ الْمُهَاجَرَةِ، وَصِلَتُهَا بِالْكَلاَمِ وَلَوْبِالسَّلاَمِ. وَيَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاخْتِلاَفِ الْقُدْرَةِ وَالْحَاجَةِ: فَمِنْهَا وَاجِبٌ، وَمِنْهَا مُسْتَحَبٌّ.
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حَدِّ الرَّحِمِ الَّتِي تَجِبُ صِلَتُهَا فَقِيل: هِيَ كُل رَحِمٍ مَحْرَمٍ بِحَيْثُ لَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا ذَكَرًا وَالآْخَرُ أُنْثَى حُرِّمَتْ مُنَاكَحَتُهُمَا، وَعَلَى هَذَا لاَ يَدْخُل أَوْلاَدُ الأَْعْمَامِ وَلاَ أَوْلاَدُ الأَْخْوَال. وَقِيل: الرَّحِمُ عَامٌّ فِي كُلٍّ مِنْ ذَوِي الأَْرْحَامِ فِي الْمِيرَاثِ يَسْتَوِي الْمَحْرَمُ وَغَيْرُهُ. (٣)
قَال النَّوَوِيُّ: وَالْقَوْل الثَّانِي هُوَ الصَّوَابُ، وَمِمَّا يَدُل عَلَيْهِ حَدِيثُ: إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الرَّجُل أَهْل وُدِّ أَبِيهِ. (١)
وَتَفْصِيل مَسَائِل صِلَةِ الرَّحِمِ فِي مُصْطَلَحِ (أَرْحَام ٣ ٨١) .
الْهِبَةُ لِذِي الرَّحِمِ:
٦ – قَال الْحَنَفِيَّةُ: يَمْتَنِعُ الرُّجُوعُ فِي الْهِبَةِ إِذَا كَانَتْ لِذِي رَحِمٍ مَحْرَمٍ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاهِبُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا (٢) أَيْ مَا لَمْ يُعَوَّضْ. وَصِلَةُ الرَّحِمِ عِوَضٌ مَعْنًى؛ لأَِنَّ التَّوَاصُل سَبَبُ التَّنَاصُرِ وَالتَّعَاوُنِ فِي الدُّنْيَا، فَيَكُونُ وَسِيلَةً إِلَى اسْتِيفَاءِ النُّصْرَةِ، وَسَبَبَ الثَّوَابِ فِي الدَّارِ الآْخِرَةِ، فَكَانَ أَقْوَى مِنَ الْمَال. (٣)
وَتَفْصِيل ذَلِكَ فِي مُصْطَلَحِ (هِبَة) .
ثَانِيًا: صِلاَتُ السُّلْطَانِ:
٧ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ أَخْذُ عَطَايَا السُّلْطَانِ إِذَا عَلِمَ أَنَّهَا حَرَامٌ.
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى جَوَازِ قَبُول عَطَايَا السُّلْطَانِ إِذَا لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا حَرَامٌ، قَال الشَّيْخُ عُلَيْشٌ: الْخُلَفَاءُ وَمَنْ أُلْحِقَ بِهِمْ فَعَطَايَاهُمْ يَجُوزُ قَبُولُهَا عِنْدَ جَمِيعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ.
وَقَال ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْتَمِيُّ: وَمَعَ الْجَوَازِ يَكُونُ الأَْخْذُ تَحْتَ خَطَرِ احْتِمَال الْوُقُوعِ فِي الْحَرَامِ، فَيَتَأَثَّرُ قَلْبُهُ بِهِ، بَل وَيُطَالَبُ بِهِ فِي الآْخِرَةِ إِنْ كَانَ الْمُعْطِي غَيْرَ مُسْتَقِيمِ الْحَال.
وَفَرَّقَ الْحَنَفِيَّةُ بَيْنَ أُمَرَاءِ الْجَوْرِ وَغَيْرِهِمْ، فَلاَ يَجُوزُ قَبُول عَطَايَا أُمَرَاءِ الْجَوْرِ؛ لأَِنَّ الْغَالِبَ فِي مَالِهِمُ الْحُرْمَةُ، إِلاَّ إِذَا عَلِمَ أَنَّ أَكْثَرَ مَالِهِ حَلاَلٌ، وَأَمَّا أُمَرَاءُ غَيْرِ الْجَوْرِ فَيَجُوزُ الأَْخْذُ مِنْهُمْ.
وَذَهَبَ الإِْمَامُ أَحْمَدُ إِلَى كَرَاهَةِ الأَْخْذِ. أَمَّا إِذَا عَلِمَ أَنَّهَا حَرَامٌ فَلاَ يَجُوزُ أَخْذُهَا.
HUKUM GLOBAL:
Pertama: Dalam Silaturahim:
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa silaturahim secara umum adalah wajib, dan memutuskannya adalah dosa besar, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “{Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan}”. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahimnya.”
Silaturahim memiliki tingkatan, sebagian lebih tinggi dari yang lain, dan yang paling rendah adalah meninggalkan pengabaian, dan menyambungnya dengan perkataan, meskipun dengan salam. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan: ada yang wajib, dan ada yang sunnah.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam batasan rahim yang wajib disambung. Dikatakan: itu adalah setiap rahim mahram, sedemikian rupa sehingga jika salah satu dari mereka laki-laki dan yang lainnya perempuan, maka haram bagi mereka untuk menikah. Berdasarkan ini, anak-anak paman dan anak-anak bibi dari ibu tidak termasuk. Dan dikatakan: rahim itu umum untuk semua kerabat dalam warisan, baik mahram maupun bukan.
An-Nawawi berkata: pendapat kedua adalah yang benar, dan di antara yang menunjukkan hal itu adalah hadits: “Sesungguhnya sebaik-baik kebajikan adalah seseorang menyambung hubungan baik dengan orang-orang yang dicintai ayahnya.”
Rincian masalah silaturahim ada dalam istilah (arham 3/81).
Hibah kepada Kerabat:
Ulama Hanafiyah berkata: tidak boleh menarik kembali hibah jika diberikan kepada kerabat mahram, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang memberi hibah lebih berhak atas hibahnya selama tidak diberi imbalan darinya”, yaitu selama tidak diberi ganti. Dan silaturahim adalah ganti secara makna, karena saling berhubungan adalah sebab saling menolong dan bekerja sama di dunia, sehingga menjadi sarana untuk mendapatkan pertolongan, dan sebab pahala di akhirat, maka itu lebih kuat dari harta.
Rinciannya ada dalam istilah (hibah).
Kedua: Silah Sultan:
Para fuqaha sepakat bahwa tidak boleh mengambil pemberian sultan jika diketahui haram.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat boleh menerima pemberian sultan jika tidak diketahui haram. Syaikh ‘Ulaisy berkata: para khalifah dan orang-orang yang disamakan dengan mereka, pemberian mereka boleh diterima menurut semua ulama salaf dan khalaf.
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata: meskipun boleh, mengambilnya berada di bawah risiko kemungkinan jatuh ke dalam haram, sehingga hatinya terpengaruh olehnya, bahkan akan dituntut di akhirat jika pemberinya tidak lurus keadaannya.
Ulama Hanafiyah membedakan antara penguasa yang zalim dan yang lainnya. Tidak boleh menerima pemberian penguasa yang zalim, karena umumnya harta mereka haram, kecuali jika diketahui bahwa sebagian besar hartanya halal. Adapun penguasa yang tidak zalim, boleh mengambil dari mereka.
Imam Ahmad berpendapat makruh mengambilnya. Adapun jika diketahui haram, maka tidak boleh mengambilnya.
كتاب المسلم وحقوق الآخرين ص٣٥-٣٨
حكم صلة القريب الكافر:
حكم صلة القريب الكافر قيل أنها محرمة ويجب هجرهم وقيل جائزة وهي رخصة والصحيح أنها مستحبة والذي يدل على هذا ما يلي:
عموم قوله تعالى (وأحسنوا إن الله يحب المحسنين) , والصلة من جملة الإحسان. وقوله تعالى (لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٨) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ). يقول ابن سعدي رحمه الله في تفسير هذه الآيات (ولما نزلت هذه الآيات الكريمات-يقصد أول سورة الممتحنة-، المهيجة على عداوة الكافرين، وقعت من المؤمنين كل موقع، وقاموا بها أتم القيام، وتأثموا من صلة بعض أقاربهم المشركين، وظنوا أن ذلك داخل فيما نهى الله عنه. فأخبرهم الله أن ذلك لا يدخل في المحرم فقال: {لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} أي: لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأةبالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة كما قال تعالى عن الأبوين المشركين إذا كان ولدهما مسلماً: {وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا} , [وقوله:] {إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ} أي: لأجل دينكم، عداوة لدين الله ولمن قام به، {وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا} أي: عاونوا غيرهم {عَلَى إِخْرَاجِكُمْ} نهاكم الله {أَنْ تَوَلَّوْهُمْ}
بالمودة والنصرة، بالقول والفعل، وأما بركم وإحسانكم، الذي ليس بتول للمشركين، فلم ينهكم الله عنه، بل ذلك داخل في عموم الأمر بالإحسان إلى الأقارب وغيرهم من الآدميين، وغيرهم انتهى).
وعن أسْماء بنت أبي بكر – رضِي الله عنْهُما – قالتْ: قدمتْ علي أمِّي وهي مشركة في عهد رسول الله – صلَّى الله عليْه وسلَّم – فاستفتيتُ رسولَ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – قلت: وهي راغبة، أفأصِل أمي؟ قال: ((نعم، صِلِي أمَّك))؛ رواه البخاري ومسلم. وعن عبدالله بن عمر – رضِي الله عنْهُما – قال: رأى عمر بن الخطَّاب حلَّة سيراء – أي حرير – عند باب المسجِد، فقال: يا رسول الله، لو اشتريْتها فلبسْتَها يوم الجمعة وللوفد، قال: ((إنَّما يلبسها مَن لا خَلاق له في الآخِرة))، ثمَّ جاءت حلل فأعْطى رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – عُمَر – منها حُلَّة، وقال: أكسوْتَنيها وقلت في حلَّة عُطَارِد ما قُلْت؟! فقال: ((إنِّي لم أكسُكها لتلبسها))، فكساها عمر أخًا له بمكَّة مشركًا؛ رواه البخاري ومسلم. وعن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنكم ستفتحون أرضاً يذكر فيها القيراط وفي رواية ستفتحون مصر وهي أرض يسمى فيها القيراط فاستوصوا بأهلها خيراً فإن لهم ذمة ورحماً وفي رواية فإذا افتتحتموها فأحسنوا إلى أهلها فإن لهم ذمة ورحماً أو قال ذمة وصهراً رواه مسلم قال العلماء الرحم التي لهم كون هاجر أم إسماعيل صلى الله عليه وسلم منهم والصهر كون مارية أم إبراهيم ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم منهم. وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال لما نزلت هذه الآية «وأنذر عشيرتك الأقربين» دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم قريشاً فاجتمعوا فعم وخص وقال “يا بني عبد شمس يا بني كعب بن لؤي أنقذوا أنفسكم من النار يا بني مرة بن كعب أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبد مناف أنقذوا أنفسكم من النار يا بني هاشم أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبد المطلب أنقذوا أنفسكم من النار يا فاطمة أنقذي نفسك من النار فإني لا أملك لكم من الله شيئا غير أن لكم رحماً سأبلها ببلالها” رواه مسلم , والبلال الماء ومعنى الحديث سأصلها شبه قطيعتها بالحرارة تطفأ بالماء وهذه تبرد بالصلة, والشاهد قوله عليه الصلاة والسلام لعشيرته الكفار (غير أن لكم رحماً سأبلها ببلالها) , والنبي عليه الصلاة والسلام وصل أقاربه الكفار، وصل عمه أبا طالب، وكان يأتيه ويدعوه إلى الإسلام، وغير ذلك، وإذا تقرر جواز صلة الرحم الكافرة فجواز صلة الرحم الفاجرة الفاسقة التي لا تزال مسلمة من باب أولى , ولتعلم أن الصلة بالمعنى العام يدخل فيها الأرحام الكفار والفساق وإن كانت صلتهم عموماً تكون دون صلة الأرحام المسلمين الصالحين , والذي ينبغي من جهة الكمال والاستحباب أن تكون صلة الرحم الكافرة -غير الوالدين -من أجل التأليف على الإسلام أو مراعاة وجود من تحت ولايته من الأبناء المسلمين كما قال ابن حجر: “إن صلةَ الرحم الكافر ينبغي تقييدها بما إذا آنس منه رجوعاً عن الكفر، أو رجا أن يخرج من صلبه مسلم كما في الصورة التي استدلّ بها وهي دعاء النبي صلى الله عليه وسلم لقريش بالخصب وعلّل بنحو ذلك، فيحتاج من يترخّص في صلة رحمه الكافر أن يقصد إلى شيء من ذلك” انتهى.
Hukum Menjalin Hubungan dengan Kerabat Kafir:
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum menjalin hubungan dengan kerabat kafir. Ada yang mengatakan haram dan harus dijauhi, dan ada pula yang mengatakan diperbolehkan sebagai keringanan. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal tersebut dianjurkan (mustahab), dan dalil-dalil berikut mendukung hal ini:
- Keumuman Firman Allah Ta’ala:
- “(…) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)
- Menjalin hubungan silaturahmi termasuk dalam kategori berbuat baik.
Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
- Ibnu Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik dan adil kepada kerabat musyrik diperbolehkan, selama mereka tidak memerangi atau mengusir kaum Muslimin.
Hadits dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma:
“Ibuku yang musyrik datang menemuiku pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ibuku datang kepadaku dengan penuh harap, apakah aku boleh menyambung silaturahmi dengannya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sambunglah silaturahmi dengan ibumu.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Umar bin Khattab melihat jubah sutra di dekat pintu masjid, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau membelinya dan memakainya pada hari Jumat dan ketika menerima utusan.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang memakai ini adalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat.’ Kemudian datang beberapa jubah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan satu jubah kepada Umar, dan bersabda, ‘Aku memberimu jubah ini, padahal engkau berkata tentang jubah Utharid seperti itu?’ Umar menjawab, ‘Aku tidak memberikannya kepadamu untuk engkau pakai.’ Lalu Umar memberikan jubah itu kepada saudaranya yang musyrik di Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian akan menaklukkan suatu negeri yang di sana banyak disebutkan qirath (Mesir). Maka berwasiatlah kalian untuk berbuat kebaikan kepada penduduknya, karena mereka memiliki dzimmah (perjanjian) dan rahim (hubungan kekerabatan).” (HR. Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa hubungan rahim tersebut dikarenakan Hajar, ibu Ismail ‘alaihi salam, berasal dari mereka, dan hubungan pernikahan dikarenakan Maria, ibu Ibrahim putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berasal dari mereka.
- Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Ketika turun ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (QS. Asy-Syu’ara: 214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kaum Quraisy, lalu beliau bersabda: “Wahai Bani Abd Syams, wahai Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Abdu Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Abdul Muthalib, selamatkan diri kalian dari api neraka. Wahai Fatimah, selamatkan dirimu dari api neraka, karena aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun di hadapan Allah, namun kalian memiliki hubungan rahim yang akan aku sambung dengan baik.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyambung hubungan silaturahmi dengan kerabatnya yang kafir.
[خلاصة حكم صلة القريب الفاسق والكافر]
الراجح كما بيَنا أن الكفار والعصاة أهل الكبائر المجاهرين صلة رحمهم غير واجبة وإنما هي مستحبة إلا أنه يفرق بين الوالد وغيره , فالوالد تُطلب صلته وصحبته بالمعروف وجوباً, وقد ذهب إلى هذا فقهاء المذاهب الأربعة وخالف بعض أهل العلم فسوى بين المسلم والكافر في الصلة، ولكن الراجح مذهب الجمهور, وذلك أن القرابات مختلفة فمنها من لا يقطع صلتها الكفر كالوالدين ومنها من يقطعها الكفر كالعشيرة وأبناء العم والإخوة فهي درجات متفاوتة وإن كانت صلة هؤلاء مستحبة , وعلى هذا فصلة الرحم الفاسقة والكافرة مستحبة باستثناء الوالدين فهي واجبة.
حكم صلة القريب الكافر إذا كانت صلته تؤدي إلى محبته طبيعياً:
أهل العلم اختلفوا في هذه المسألة فمنهم من يُغلَب جانب بغض الأرحام الكفار في الله أو على الأقل عدم مودتهم فيرى وجوب هجر الأرحام الكفار هجراً جميلاًً إذا آنس المسلم من نفسه ميلاً لهم ومحبة ويرى وجوب قطع أسباب هذه المودة ولو أدى إلى عدم قبول هداياهم وعدم زيارتهم ومقاطعتهم ونحو ذلك , وهذا باستثناء الوالدين والزوجة الكتابية. وهناك من أهل العلم من يُغلب جانب صلة الأرحام ولو أدى إلى محبتهم بمقتضى الطبع , إلا أن أهل العلم اتفقوا جميعاً على أن كل بر وصلة بالمعروف ظاهرها الرحمة ولا تستلزم مودتهم فهي مشروعة , وليفعل المسلم ما هو أصلح لقلبه.
Ringkasan Hukum Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat yang Fasik dan Kafir
Pendapat yang lebih kuat, sebagaimana telah kami jelaskan, adalah bahwa silaturahmi dengan orang-orang kafir dan pelaku dosa besar yang terang-terangan tidaklah wajib, melainkan hanya dianjurkan. Namun, ada perbedaan antara orang tua dan selainnya. Orang tua wajib dihubungi dan diperlakukan dengan baik. Pendapat ini dianut oleh para ahli fikih dari empat mazhab, meskipun ada sebagian ulama yang menyamakan antara Muslim dan kafir dalam hal silaturahmi. Namun, pendapat jumhur (mayoritas ulama) lebih kuat. Hal ini dikarenakan hubungan kekerabatan itu berbeda-beda. Ada yang kekufuran tidak memutuskan hubungannya, seperti orang tua, dan ada yang kekufuran memutuskannya, seperti kerabat jauh, sepupu, dan saudara. Hubungan kekerabatan ini memiliki tingkatan yang berbeda-beda, meskipun menjalin silaturahmi dengan mereka dianjurkan. Oleh karena itu, menjalin silaturahmi dengan kerabat yang fasik dan kafir adalah dianjurkan, kecuali dengan orang tua, yang hukumnya wajib.
Hukum Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat Kafir Jika Hal Itu Menyebabkan Kecintaan Secara Alami
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian dari mereka lebih mengutamakan kebencian terhadap kerabat kafir karena Allah, atau setidaknya tidak mencintai mereka. Mereka berpendapat bahwa wajib menjauhi kerabat kafir dengan cara yang baik jika seorang Muslim merasa cenderung dan mencintai mereka. Mereka juga berpendapat bahwa wajib memutus sebab-sebab kecintaan ini, meskipun hal itu berarti tidak menerima hadiah dari mereka, tidak mengunjungi mereka, memutus hubungan dengan mereka, dan sebagainya. Pengecualian adalah orang tua dan istri ahli kitab. Sebagian ulama lain lebih mengutamakan menjalin silaturahmi, meskipun hal itu menyebabkan kecintaan secara alami. Namun, semua ulama sepakat bahwa setiap kebaikan dan silaturahmi yang tampak sebagai kasih sayang dan tidak mengharuskan cinta adalah disyariatkan. Seorang Muslim hendaknya melakukan apa yang paling baik untuk hatinya.
[حكم صلة الرحم الصالحة المؤذية]
حكم صلة الرحم المؤمنة الصالحة المضرة دنيوياً غير واجبة بالاتفاق , قال الحافظ أبو عمر بن عبد البر: أجمعوا على أنه يجوز الهجر فوق ثلاث، لمن كانت مكالمته تجلب نقصاً على المخاطب في دينه، أو مضرة تحصل عليه في نفسه، أو دنياه. فرب هجر جميل خير من مخالطة مؤذية. انتهى. وقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – “لا ضرر ولا ضرار”.
وأما حكم صلة الرحم المؤمنة الصالحة المؤذية دنيوياً فغير واجبة على مذهب بعض أهل العلم طبعاً باستثناء الوالدين , وقالوا عن حديث أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَجُلا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَإِنْ كَانَ هَذَا كَمَا تَقُولُ لَكَأَنَّمَا تُسِفِّهُمُ الْمَلُّ، وَلا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ “. أن الحديث محمول على استحباب صلة الرحم المؤذية لا وجوب ذلك، لأن درء المفاسد مقدم على جلب المصالح، والورع يا عبدالله يقتضي صلة الرحم المؤمنة الصالحة المؤذية مالم تصل إلى حد الضرر , والفرق بين الضرر والأذى ـ والله أعلم ـ أن الأذى هو الضرر اليسير، قال ابن عطية: قوله تعالى: لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا أَذىً ـ معناه: لن يصيبكم منهم ضرر في الأبدان ولا في الأموال، وإنما هو أذى بالألسنة. وقال القرطبي: وَالْمَعْنَى لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا ضَرًّا يَسِيرًا. اهـ.
ولكن لا يلزم أن يكون هذا التفريق الثابت هنا ثابتا أيضا في لفظي المضرة والأذى المذكور في كلام ابن عبد البر.
علما بأن الصلة تبدأ من السلام عند اللقاء، أو بمكالمة هاتفية أثناء الغيبة، وبهذا يخرج المرء من إثم الهجرة، ثم تمتد لتشمل كل أنواع البر الأخرى، فمن عجز عن درجة معينة من درجاتها فلا ينبغي أن يعجز عما
تتحقق به الصلة في حدودها الدنيا.
Hukum Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat Saleh yang Menyakitkan
Hukum menjalin silaturahmi dengan kerabat mukmin yang saleh tetapi membahayakan secara duniawi tidaklah wajib menurut kesepakatan ulama. Al-Hafiz Abu Umar bin Abdil Barr berkata, “Mereka sepakat bahwa boleh menjauhi seseorang lebih dari tiga hari jika berbicara dengannya menyebabkan kekurangan dalam agamanya atau bahaya bagi dirinya atau dunianya. Terkadang menjauhi dengan cara yang baik lebih baik daripada bergaul yang menyakitkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Adapun hukum menjalin silaturahmi dengan kerabat mukmin yang saleh tetapi membahayakan secara duniawi tidaklah wajib menurut sebagian ulama, tentu saja kecuali orang tua. Mereka berkata tentang hadis Abu Hurairah, bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya kerabat yang aku sambung silaturahminya tetapi mereka memutuskannya, aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat buruk kepadaku, aku bersabar terhadap mereka tetapi mereka berbuat bodoh kepadaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika memang demikian yang kamu katakan, maka seolah-olah kamu memberi mereka makan abu panas, dan kamu akan selalu dibantu oleh Allah.” Mereka mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan anjuran menjalin silaturahmi dengan kerabat yang menyakitkan, bukan kewajiban, karena menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan manfaat. Sikap wara’ (hati-hati) mengharuskan seorang Muslim untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat mukmin yang saleh tetapi menyakitkan, selama tidak mencapai batas bahaya. Perbedaan antara bahaya dan menyakitkan, wallahu a’lam, adalah bahwa menyakitkan adalah bahaya yang ringan. Ibnu Athiyyah berkata, “Firman Allah ta’ala, ‘Mereka tidak akan membahayakan kamu kecuali dengan gangguan,’ artinya mereka tidak akan menimpakan bahaya pada badan atau harta kalian, melainkan hanya gangguan dengan lisan.” Al-Qurthubi berkata, “Artinya mereka tidak akan membahayakan kalian kecuali dengan bahaya yang ringan.”
Namun, perbedaan yang ditetapkan di sini tidak harus sama dengan perbedaan antara kata-kata “bahaya” dan “menyakitkan” yang disebutkan dalam perkataan Ibnu Abdil Barr.
Perlu diketahui bahwa silaturahmi dimulai dengan salam saat bertemu, atau dengan panggilan telepon saat tidak bertemu. Dengan ini, seseorang keluar dari dosa memutus hubungan. Kemudian, silaturahmi meluas hingga mencakup semua jenis kebaikan lainnya. Jika seseorang tidak mampu mencapai tingkat tertentu dari tingkatan silaturahmi, maka janganlah ia tidak mampu melakukan apa yang mewujudkan silaturahmi dalam batas minimalnya.
كيفية التوفيق بين قول النبي صلى الله عليه وسلم: إنما مثل الجليس الصالح والجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير الحديث، وفيه التنفير من مجالسة رفيق السوء وكذلك قوله: لما وقعت بنو إسرائيل في المعاصي نهتهم علماؤهم فلم ينتهوا فجالسوهم وآكلوهم وشاربوهم فلما رأى الله ذلك منهم ضرب قلوب بعضهم ببعض ثم لعنهم
الحديث.، وفيه التنفير من الفساق وكذلك قول الرسول صلى الله عليه وسلم: لا تصاحب إلا مؤمنا ـ وبين قول النبي عليه الصلاة والسلام: صل من قطعك ـ وقوله: ليس الواصل بالمكافئ، ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها ـ ومن المعلوم بأن القاطع للرحم فاسق؟
الصلة لا تستلزم مصاحبة، فالصلة تحصل بكل ما اعتبره العرف صلة كالزيارة والإهداء والاتصال ونحو ذلك. ثم إن قول النبي صلى الله عليه وسلم (لما وقعت بنو إسرائيل في المعاصي نهتهم علماؤهم فلم ينتهوا فجالسوهم وآكلوهم وشاربوهم فلما رأى الله ذلك منهم ضرب قلوب بعضهم ببعض ثم لعنهم الحديث) حديث ضعيف الإسناد وضعفه الألباني , وبالتالي لا يُحتج به في الأحكام.
كيفية صلة الأقارب الفسَاق والكفار والمُؤذين منهم ومجالستهم والتعامل معهم: لا شك أن صلة الأرحام الكفار والفساق تختلف عن صلة الأرحام المسلمين الصالحين المتقين , وقد كان رسول الله عليه الصلاة والسلام يصل ذوي رحمه وأقاربه من غير أن يُؤثرهم على من هو أفضل منهم , ولتعلم أن أهل العلم قد اتفقوا على أن الصلة والبر والإحسان الذي لا يستلزم التحابب والتوادد للأرحام الكفار مشروع باتفاق أهل العلم كالصلة بالمال وتفقد أحوالهم والنفقة والإعانة على نوائب الحق والصدقة على المسكين منهم وتعزيتهم وعيادة مرضاهم وكل صلة تدل على الرحمة لا المودة ويُراد بها وجه الله , واتفق أهل العلم أيضاً على أنه يُشرع قطع القريب الفاسق إذا كان في قطيعته زجر له عن الفسق وإصلاح لحاله ولا بأس بقطيعته عندئذ , واتفق أهل العلم كذلك على أنه إذا كان القريب فاسق ومن باب أولى الكافر تخشى الافتتان به وتخشى أن يضرك في دينك فيجب عليك في هذه الحال هجره وعدم صلته إلا ما كان على سبيل المداراة وخاصة إذا كان يعسر التحرَز من مقاطعته كلياً لأي سبب كان , فمن في مخالطته ضرر ديني أو دنيوي فعاشره بالمعروف حتى يجعل الله لك فرجاً ومخرجاً.
وبهذا يتبين لك أخي أنه يُشرع الإحسان إلى الأقارب غير المسلمين وصلتهم وبرهم ووصلهم بالزيارة وإدخالهم المنزل وقبول الهدية منهم وإكرامهم والإحسان إليهم والاهداء إليهم والاتصال وغير ذلك مع عدم موالاتهم ومودتهم مودة دينية , وذلك أن القريب الكافر له حق الصلة ولكن ليس له الولاية فلا تواليه وتناصره على باطله , والله تعالى إنما أثبت الولاية بين أولي الأرحام بشرط الإيمان , وذلك أن الولاية تكون بالدين، والأقارب إذا لم يكونوا على دين واحد لم يكن بينهم توارث ولا ولاية. وليُعلم أن التبسم للكافر المسالم وكذلك مُؤاكلته ومُشاربته لسبب معتبر كتأليفه للدخول في الإسلام أو لكونه ذا قرابة ورحم أمر جائز ولا حرج فيه ولكن يحذر من متابعته أو إقراره على شيء من باطله , علماً بأن مجالسة أهل المعاصي والكفر من ذوي الأرحام لا يكون إلا في وقت لا يُباشرون فيه المعصية، ويُشرع تخفيف وقت الزيارة لهم وخاصةً الذين يُخشى منهم إظهار بعض المنكرات.
ولتعلم بأن القاطع لرحمه والمُسيء لهم والجاهل عليهم تُشرع أحياناً صلته والإحسان إليه والحلم عليه ومن يفعل ذلك فهو مُحسن محمود عند الله , فالإحسان إلى الأقارب مع الإساءة منهم والصلة مع قطيعتهم مشروعة كما بينا وأنت مأجور على ذلك.
وأما الرحم المؤذي العاصي الذي يؤذي أهله فالأفضل أن يصبروا ويحلموا ويدافعوا إساءته بالإحسان عملاً بقوله تعالى) ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ* وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ) فإن خيف حصول الأذى منه فلا بأس بتجنب لقائه في بعض الأحيان طلباً لحصول السلامة من شره دون القطيعة التامة والاكتفاء بأدنى الوصل من السلام والكلام بالهاتف وذلك أنه لا يلزم لتحقيق الصلة أن يزور الشخص أرحامه أو يجالسهم ويحادثهم بل عليه أن يفعل ما تتحقق به الصلة وفي نفس الوقت يندفع به أذاهم عنه. وعموماً عليك أن تحافظ مع أرحامك الذين تُستحب صلتهم على الحد الذي لا تحصل به القطيعة ولا ينالك بسببهم ضرر مع محاولة إصلاحهم فإن يئست من ذلك فلا حرج حينئذ في مقاطعتهم, ولكن عليك أن تجعل هجرك لهم في الله ولله, فإن هجر أهل المعاصي والكبائر في الله – حتى ولو كانوا من الأرحام غير الوالدين – من شُعب الإيمان, وهجرهم لغير الله وهم على الفسق جائز، والأدلة عليه أكثر من أن تُحصر وأشهر من أن تُذكر والهجر إذا تم على وجهه الشرعي لم يكن قطعية للرحم
Mengkompromikan antara Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi…” (hadis), yang berisi peringatan untuk tidak bergaul dengan teman yang buruk, dan sabdanya, “Ketika Bani Israil terjerumus dalam kemaksiatan, para ulama mereka melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti, lalu mereka bergaul, makan, dan minum bersama mereka, maka Allah membuat hati sebagian mereka bercampur dengan hati sebagian lainnya, lalu mereka dilaknat…” (hadis), yang berisi peringatan untuk tidak bergaul dengan orang-orang fasik, dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu berteman kecuali dengan orang mukmin…” dengan sabdanya, “Sambunglah orang yang memutusmu,” dan sabdanya, “Orang yang menyambung silaturahmi bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang jika diputus silaturahminya, ia menyambungnya.” Padahal orang yang memutus silaturahmi adalah orang fasik?
Menjalin silaturahmi tidak mengharuskan bergaul. Silaturahmi terwujud dengan segala sesuatu yang dianggap sebagai silaturahmi oleh adat, seperti mengunjungi, memberi hadiah, menghubungi, dan sebagainya. Kemudian, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Bani Israil terjerumus dalam kemaksiatan, para ulama mereka melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti, lalu mereka bergaul, makan, dan minum bersama mereka, maka Allah membuat hati sebagian mereka bercampur dengan hati sebagian lainnya, lalu mereka dilaknat…” (hadis) adalah hadis yang lemah sanadnya dan dilemahkan oleh Al-Albani. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum.
Cara Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat yang Fasik, Kafir, dan Menyakitkan, serta Bergaul dan Berinteraksi dengan Mereka:
Tidak diragukan lagi bahwa menjalin silaturahmi dengan kerabat kafir dan fasik berbeda dengan menjalin silaturahmi dengan kerabat Muslim yang saleh dan bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjalin silaturahmi dengan kerabatnya tanpa mengutamakan mereka atas orang yang lebih baik dari mereka. Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa silaturahmi, kebaikan, dan perbuatan baik yang tidak mengharuskan cinta dan kasih sayang kepada kerabat kafir disyariatkan menurut kesepakatan ulama, seperti memberi bantuan harta, memperhatikan keadaan mereka, memberi nafkah, membantu dalam musibah yang benar, bersedekah kepada orang miskin di antara mereka, bertakziah kepada mereka, menjenguk orang sakit di antara mereka, dan setiap silaturahmi yang menunjukkan kasih sayang, bukan cinta, dan dimaksudkan untuk mencari ridha Allah. Para ulama juga sepakat bahwa memutus hubungan dengan kerabat yang fasik disyariatkan jika dengan memutus hubungan dengannya dapat mencegahnya dari kefasikan dan memperbaiki keadaannya. Pada saat itu, tidak masalah untuk memutus hubungan dengannya. Para ulama juga sepakat bahwa jika seorang kerabat fasik, apalagi kafir, ditakutkan akan menyebabkan fitnah dan membahayakan agamanya, maka wajib baginya untuk menjauhinya dan tidak menjalin silaturahmi dengannya, kecuali sekadar bermuka manis, terutama jika sulit untuk menghindarinya sama sekali karena alasan tertentu. Seseorang yang pergaulannya membahayakan agama atau dunianya, maka bergaullah dengannya dengan baik sampai Allah memberikan jalan keluar bagimu.
Dengan ini, wahai saudaraku, jelas bagimu bahwa berbuat baik kepada kerabat non-Muslim, menjalin silaturahmi dengan mereka, mengunjungi mereka, mengajak mereka masuk ke rumah, menerima hadiah dari mereka, memuliakan mereka, berbuat baik kepada mereka, memberi hadiah kepada mereka, menghubungi mereka, dan sebagainya disyariatkan, dengan syarat tidak loyal dan mencintai mereka dengan cinta agama. Hal ini dikarenakan kerabat kafir memiliki hak silaturahmi, tetapi tidak memiliki hak perwalian. Oleh karena itu, jangan loyal dan membantunya dalam kebatilannya. Allah ta’ala hanya menetapkan perwalian antara kerabat dengan syarat iman. Perwalian itu berdasarkan agama, dan jika kerabat tidak memiliki agama yang sama, maka tidak ada warisan dan perwalian di antara mereka. Perlu diketahui bahwa tersenyum kepada orang kafir yang tidak memerangi, makan dan minum bersamanya karena alasan yang dibenarkan, seperti menarik hatinya untuk masuk Islam atau karena ia adalah kerabat, adalah boleh dan tidak masalah. Namun, hindarilah mengikutinya atau menyetujui kebatilannya. Perlu diketahui bahwa bergaul dengan pelaku maksiat dan kekafiran dari kalangan kerabat hanya boleh dilakukan pada saat mereka tidak melakukan maksiat. Dianjurkan untuk mempersingkat waktu kunjungan kepada mereka, terutama mereka yang dikhawatirkan akan menunjukkan kemungkaran.
Perlu diketahui bahwa orang yang memutus silaturahmi, berbuat buruk kepada mereka, dan bersikap bodoh kepada mereka terkadang disyariatkan untuk disambung silaturahminya, diperlakukan dengan baik, dan disabari. Orang yang melakukan hal ini adalah orang yang berbuat baik dan terpuji di sisi Allah. Berbuat baik kepada kerabat yang berbuat buruk dan menyambung silaturahmi dengan orang yang memutusnya adalah disyariatkan sebagaimana telah kami jelaskan, dan kamu akan mendapat pahala atas hal itu.
Adapun kerabat yang menyakitkan dan berbuat maksiat yang menyakiti keluarganya, maka yang terbaik adalah bersabar, bersikap lembut, dan membalas keburukannya dengan kebaikan, mengamalkan firman Allah ta’ala, “Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” Jika dikhawatirkan akan mendapat bahaya darinya, maka tidak masalah untuk menghindari pertemuannya di beberapa waktu untuk mencari keselamatan dari keburukannya, tanpa memutus hubungan sepenuhnya, dan cukup dengan silaturahmi minimal seperti memberi salam dan berbicara melalui telepon. Hal ini dikarenakan tidak wajib untuk mewujudkan silaturahmi dengan mengunjungi kerabat, duduk bersama mereka, dan berbicara dengan mereka, tetapi ia harus melakukan apa yang mewujudkan silaturahmi dan sekaligus menolak bahaya dari mereka. Secara umum, kamu harus menjaga hubungan dengan kerabatmu yang dianjurkan untuk disambung silaturahminya pada batas yang tidak menyebabkan putusnya hubungan dan tidak membahayakanmu, sambil berusaha memperbaiki mereka. Jika kamu putus asa, maka tidak masalah untuk memutus hubungan dengan mereka. Namun, jadikanlah pemutusan hubunganmu dengan mereka karena Allah dan untuk Allah. Menjauhi pelaku maksiat dan dosa besar karena Allah, meskipun mereka adalah kerabat selain orang tua, adalah bagian dari cabang iman. Memutuskan hubungan dengan mereka bukan karena Allah, sementara mereka tetap dalam kefasikan, adalah boleh, dan dalil-dalilnya lebih banyak dari yang bisa dihitung dan lebih terkenal dari yang bisa disebutkan. Pemutusan hubungan jika dilakukan sesuai dengan cara yang disyariatkan bukanlah pemutusan silaturahmi.
Referensi
تنبيه الغافلين ص ٤٦-٤٨
(باب صلة الرحم)
(قال الفقيه) أبو الليث السمرقندي رضى الله تعالى عنه حدثنا أبو القاسم عبد الرحمن بن محمد قال حدثنا فارس بن مردويه قال حدثنا محمد بن الفضل قال حدثنا محمد بن عبيد الطنافسي عن عمرو بن عثمان عن موسى ابن طلحة عن أبي أيوب رضى الله تعالى عنه قال عرض أعرابي للنبي فأخذ بزمام ناقته أو خطامها ثم قال يا رسول الله أخبرني بما يقربني من الجنة ويباعدني من النار قال أن تعبد الله ولا تشرك به شيئا وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصل الرحم قال حدثنا الحاكم أبو الحسن علي السردري قال حدثنا أبو محمد عبد الله بن الأحوص قال حدثنا الحسين بن علي بن عفان قال حدثنا هاني بن سعيد النخعي عن سلمان ابن يزيد عن عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه قال كنا جلوسا عشية عرفة عند رسول الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا يجالسني من أمسى قاطع الرحم ليقم عنا فلم يقم أحد الا رجل كان من أقصى الحلقة فمكث غير بعيد ثم جاء فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم مالك لم يقم أحد من الحلقة غيرك قال يا نبي الله سمعت الذي قلت فأتيت خالة لي كانت تصارمني أي تقاطعني فقالت ما جاء بك ما هذا دأبك فأخبرتها بالذي قلت فاستغفرت لي واستغفرت لها فقال النبي صلى الله عليه وسلم أحسنت اجلس الا ان الرحمة لا تنزل على قوم فيهم قاطع رحم (قال الفقيه) رحمه الله تعالى في الخبر دليل على ان قطع الرحم ذنب عظيم لأنه يمنع الرحمة عنه وعمن كان جليسه فالواجب على المسلم أن يتوب من قطع الرحم ويستغفر الله تعالى و يصل رحمه لان النبي بين في هذا الخبر الاول أن صلة الرحم تقرب العبد من رحمته وتباعده من النار * وروى عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ما من حسنة أعجل ثوابا من صلة الرحم وما من ذنب أجدر أن يعجل الله لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما يدخر في الآخرة من البغي وقطع الرحم قال حدثنا أبو القاسم عبد الرحمن ابن محمد قال حدثنا فارس بن مردويه قال حدثنا محمد بن الفضل قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا الحجاج ابن أرطاة عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال إن لي أرحاما أصل ويقطعوني وأعفو ويظلموني وأحسن ويسيئوني أفأكافئهم قال لا اذا تشتركون جميعا ولكن خذ الفضل وصلهم فانه لن يزال معك ظهير من الله ما كنت على ذلك ويقال ثلاثة من أخلاق أهل الجنة لا توجد الا في الكريم الاحسان إلى المذنب والعفو عمن ظلمه والبذل لمن حرمه قال حدثنا أبو القاسم قال حدثنا فارس قال حدثنا محمد قال حدثنا أصرم بن حوشب عن أبي سنان عن الضحاك بن مزاحم في تفسير هذه الآية يمحو الله ما يشاء ويثبت قال أن الرجل ليصل رحمه وقد بقى من عمره ثلاثة أيام فيزيد الله في عمره ثلاثين سنة وان الرجل ليقطع رحمه وقد بقى من عمره ثلاثون سنة فيحطه الله إلى ثلاثة أيام
Tanbihul Ghafilin Hal: 46-48
(Bab Silaturahim)
(Berkata Al-Faqih) Abu al-Laits as-Samarqandi radhiyallahu ta’ala ‘anhu meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad, ia berkata meriwayatkan kepada kami Faris bin Mardawaih, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Fadhl, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Ubaid ath-Thanafisi dari Amru bin Utsman dari Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub radhiyallahu ta’ala ‘anhu, ia berkata seorang Arab Badui menghampiri Nabi, lalu memegang tali kekang untanya atau tali hidungnya, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Beliau bersabda, “Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan sambunglah silaturahim.” Ia berkata, meriwayatkan kepada kami al-Hakim Abu al-Hasan Ali as-Sardari, ia berkata meriwayatkan kepada kami Abu Muhammad Abdullah bin al-Ahwash, ia berkata meriwayatkan kepada kami al-Husain bin Ali bin Affan, ia berkata meriwayatkan kepada kami Hani’ bin Sa’id an-Nakha’i dari Salman bin Yazid dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata kami sedang duduk pada sore hari Arafah di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah ada orang yang di sore hari ini memutus silaturahim duduk bersamaku, hendaklah ia pergi dari kami.” Maka tidak ada seorang pun yang berdiri kecuali seorang laki-laki yang berada di ujung lingkaran, lalu ia pergi tidak lama kemudian ia datang kembali, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Mengapa tidak ada seorang pun yang berdiri dari lingkaran selainmu?” Ia menjawab, “Wahai Nabi Allah, aku mendengar apa yang engkau katakan, lalu aku mendatangi bibi dari pihak ibuku yang sedang bermusuhan denganku, yaitu memutuskan hubungan denganku, lalu ia berkata, ‘Apa yang membuatmu datang, ini bukan kebiasaanmu.’ Lalu aku memberitahukan kepadanya apa yang engkau katakan, lalu ia memohonkan ampun untukku dan aku memohonkan ampun untuknya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagus sekali, duduklah. Sesungguhnya rahmat tidak turun kepada kaum yang di antara mereka terdapat orang yang memutus silaturahim.” (Berkata Al-Faqih) rahimahullah ta’ala, dalam kabar ini terdapat dalil bahwa memutus silaturahim adalah dosa besar, karena hal itu mencegah rahmat darinya dan dari orang yang duduk bersamanya. Maka wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat dari memutus silaturahim dan memohon ampun kepada Allah ta’ala serta menyambung silaturahimnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam kabar pertama ini bahwa silaturahim mendekatkan seorang hamba kepada rahmat-Nya dan menjauhkannya dari neraka. * Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada kebaikan yang lebih cepat pahalanya daripada silaturahim, dan tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan hukumannya oleh Allah di dunia selain kezaliman dan memutus silaturahim, di samping apa yang disimpan untuknya di akhirat.” Ia berkata, meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad, ia berkata meriwayatkan kepada kami Faris bin Mardawaih, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Fadhl, ia berkata meriwayatkan kepada kami Yazid bin Harun, ia berkata meriwayatkan kepada kami al-Hajjaj bin Arthah dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki kerabat yang aku sambung silaturahimnya namun mereka memutuskannya, aku memaafkan namun mereka menzalimiku, aku berbuat baik namun mereka berbuat buruk kepadaku, apakah aku harus membalas mereka?” Beliau bersabda, “Jangan, jika kalian semua sama saja, maka ambillah keutamaan dan sambunglah silaturahim dengan mereka, karena engkau akan selalu memiliki penolong dari Allah selama engkau melakukan hal itu.” Dikatakan bahwa tiga akhlak penghuni surga tidak ditemukan kecuali pada orang yang mulia, yaitu berbuat baik kepada orang yang berdosa, memaafkan orang yang menzaliminya, dan memberi kepada orang yang menghalanginya. Ia berkata, meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim, ia berkata meriwayatkan kepada kami Faris, ia berkata meriwayatkan kepada kami Muhammad, ia berkata meriwayatkan kepada kami Ashram bin Hausyab dari Abi Sinan dari adh-Dhahhak bin Muzahim dalam menafsirkan ayat ini, “Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),” ia berkata bahwa seseorang menyambung silaturahimnya padahal sisa umurnya tinggal tiga hari, maka Allah menambah umurnya tiga puluh tahun, dan seseorang memutus silaturahimnya padahal sisa umurnya tiga puluh tahun, maka Allah menguranginya menjadi tiga hari.
وروى ثوبان عن رسول عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال لا يرد القدر الا الدعاء ولا يزيد في العمر الا البر وان الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه الدين في (٤٨) فلا بهم ريح. وعن ابن عمر رضى الله تعالى عنه ما قال من اتقى ربه ووصل رحمه أنسى له في عمره يعني يزاد في عمره وترى له ماله يعنى كثر وأحبه أهله (قال الفقيه) رحمه الله تعالى قد اختلفوا في زيادة العمر فقال بعضهم الخبر على ظاهره أن من وصل رحمه يزاد في عمره وقال بعضهم لا يزاد في الاجل الذي أجل له لان الله تعالى قال فاذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون ولكن معنى زيادة العمر أن يكتب ثوابه بعد موته واذا كتب له ثوابه بعد موته فكأنه يزيد في عمره وروى سعيد عن قتادة أنه قال ذكر لنا ان النبي قال اتقوا الله وصلوا الرحم فانه أنقى لكم في الدنيا وخير لكم في الآخرة وكان يقال اذا كان لك قريب فلم تمش اليه برجلك ولم تعطه من مالك فقد قطعته وفي بعض الصحف مما أنزل الله تعالى يا ابن آدم صل رحمك بمالك فان بخلت بمالك أو قل مالك فامش اليه برجلك وقال النبي صلوا أرحامكم ولو بالسلام قال ميمون بن مهران ثلاثة أشياء الكافر والمسلم فيهن سواء من عاهدته فضله بعهدك مسلما كان أو كافرا انما العهد لله ومن كانت بينك وبينه قرابة فصله مسلما كان أو كافرا ومن ائتمنك على أمانة فادها مسلما كان أو كافرا وقال كعب الاخبار والذي فلق البحر لموسى عليه السلام و بنى اسرائيل انه مكتوب في التوراة اتق ربك و بر والديك وصل رحمك أمدلك في عمرك وأيسرك في يسرك واصرف عنك عسرك وقد أمر الله تعالى بصلة الرحم في مواضع من كتابه فقال واتقوا الله الذي تساءلون به والارحام يعني اخشوا الله الذي تساءلون به الحاجات والارحام يعنى اتقوا الارحام فصلوها ولا تقطعوها وقال في آية أخرى وآت ذا القربى حقه يعنى أعطه حقه من الصلة والبر وقال في آية أخرى ان الله يأمر بالعدل والاحسان يعنى بالتوحيد وهو شهادة
ان لا اله الا الله ويأمر بالاحسان يعنى الى الناس والعفو عنهم وايتاء ذي القربى يعنى يأمر بصلة الرحم فأمر بثلاثة أشياء ونهى عن ثلاثة أشياء فقال عز وجل وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى ) الفحشاء المعاصى وَالْمُنْكَرُ مَا لَا يُعْرَفُ فِي شَرِيعَةٍ وَلَا سُنَّةٍ وَالْبَغْيُ الِاسْتِطَالَةُ عَلَى النَّاسِ
Diriwayatkan dari Tsauban dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebaikan. Sesungguhnya seseorang diharamkan rezekinya karena dosa yang dilakukannya.” Agama di (48). Maka janganlah kalian berduka. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu, ia berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturahimnya, maka umurnya akan dilupakan (dilupakan dari keburukan), yaitu umurnya akan bertambah, dan hartanya akan terlihat (yaitu bertambah banyak), dan keluarganya akan mencintainya.” (Berkata Al-Faqih) rahimahullah ta’ala, mereka telah berselisih pendapat tentang bertambahnya umur. Sebagian dari mereka berkata, “Kabar ini secara lahiriah menunjukkan bahwa barangsiapa yang menyambung silaturahimnya, maka umurnya akan bertambah.” Sebagian dari mereka berkata, “Tidak ada tambahan dalam ajal yang telah ditetapkan baginya, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.’ Akan tetapi, makna bertambahnya umur adalah bahwa pahalanya akan ditulis setelah kematiannya. Dan apabila pahalanya ditulis setelah kematiannya, maka seolah-olah umurnya bertambah.” Diriwayatkan dari Sa’id dari Qatadah, ia berkata, “Telah disebutkan kepada kami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan sambunglah silaturahim, karena sesungguhnya hal itu lebih menyucikan bagi kalian di dunia dan lebih baik bagi kalian di akhirat.’ Dulu dikatakan, ‘Apabila engkau memiliki kerabat, lalu engkau tidak berjalan kepadanya dengan kakimu dan tidak memberinya dari hartamu, maka engkau telah memutuskannya.’ Dalam sebagian lembaran yang diturunkan oleh Allah ta’ala (tertulis), ‘Wahai anak Adam, sambunglah silaturahimmu dengan hartamu. Jika engkau bakhil dengan hartamu, atau hartamu sedikit, maka berjalanlah kepadanya dengan kakimu.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sambunglah silaturahim kalian meskipun hanya dengan salam.’ Maimun bin Mihran berkata, ‘Tiga perkara yang orang kafir dan muslim sama-sama melakukannya: barangsiapa yang engkau beri perjanjian, maka penuhilah perjanjianmu, baik ia seorang muslim atau kafir, karena sesungguhnya perjanjian itu adalah milik Allah; barangsiapa yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu, maka sambunglah ia, baik ia seorang muslim atau kafir; dan barangsiapa yang mempercayakan amanah kepadamu, maka tunaikanlah amanah itu, baik ia seorang muslim atau kafir.’ Ka’ab Al-Akhbar berkata, ‘Demi Dzat yang membelah lautan untuk Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil, sesungguhnya tertulis dalam Taurat, ‘Bertakwalah kepada Tuhanmu, berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, dan sambunglah silaturahimmu, maka Aku akan memperpanjang umurmu, memudahkanmu dalam kemudahanmu, dan menjauhkanmu dari kesulitanmu.’ Allah ta’ala telah memerintahkan untuk menyambung silaturahim di beberapa tempat dalam kitab-Nya. Dia berfirman, ‘Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.’ Yakni, takutlah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta kebutuhan dan (peliharalah) hubungan kekerabatan, yaitu takutlah kepada hubungan kekerabatan, maka sambunglah dan janganlah kalian memutuskannya. Dalam ayat lain, Dia berfirman, ‘Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat,’ yaitu berikanlah haknya dari silaturahim dan kebaikan. Dalam ayat lain, Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,’ yaitu dengan tauhid, yaitu persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Dia juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada manusia dan memaafkan mereka, serta memberikan hak kepada kerabat dekat, yaitu memerintahkan untuk menyambung silaturahim. Dia memerintahkan tiga perkara dan melarang tiga perkara. Dia berfirman ‘Dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.’ Perbuatan keji adalah maksiat
“Dan munkar adalah apa yang tidak dikenal dalam syariat atau sunnah, dan baghyu adalah berbuat zalim kepada manusia
(يَعِظُكُمْ) يَعْنِي يَأْمُرُكُمْ بِهَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ وَيَنْهَاكُمْ عَنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ) يَعْنِي لِكَيْ تَتَعِظُوا. وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَدِيقًا لِي وَمَا أَسْلَمْتُ إِلَّا حَيَاءً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ لِأَنَّهُ كَانَ يَدْعُونِي إِلَى اللَّهِ فَأَسْلَمْتُ وَلَمْ يَسْتَقِرَّ الْإِسْلَامُ فِي قَلْبِي جَلَسْتُ عِنْدَهُ يَوْمًا يُحَدِّثُنِي إِذْ أَعْرَضَ عَنِّي فَكَأَنَّهُ يُحَدِّثُ أَحَدًا بِجَانِبِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيَّ فَقَالَ نَزَلَ عَلَيَّ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى الْآيَةَ فَسُرِرْتُ بِذَلِكَ وَاسْتَقَرَّ الْإِسْلَامُ فِي قَلْبِي فَقُمْتُ مِنْ عِنْدِهِ وَأَتَيْتُ عَمَّهُ أَبَا طَالِبٍ فَقُلْتُ لَهُ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ أَخِيكَ فَأُنْزِلَتْ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةُ فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ تَابِعُوا مُحَمَّدًا تُفْلِحُوا وَتُرْشِدُوا وَاللَّهِ إِنَّ ابْنَ أَخِي يَأْمُرُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ لَئِنْ كَانَ صَادِقًا أَوْ كَذِبًا لَا يَدْعُوكُمْ إِلَّا إِلَى الْخَيْرِ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ فَطَمِعَ فِي إِسْلَامِهِ فَأَتَى إِلَيْهِ وَدَعَاهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ الْآيَةِ صِلَةَ الرَّحِمِ وَقَالَ فِي آيَةٍ أُخْرَى فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ يَعْنِي الَّذِينَ يُقَطِّعُونَ الرَّحِمَ وَيُقَالُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا خَلَقَ الرَّحِمَ قَالَ أَنَا الرَّحْمَنُ وَأَنْتِ الرَّحِمُ أَقْطَعُ مَنْ قَطَعَكِ وَأَصِلُ مَنْ وَصَلَكِ وَذُكِرَ أَنَّ الرَّحِمَ مُعَلَّقٌ بِالْعَرْشِ يُنَادِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَا رَبِّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي فِيكَ وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي فِيكَ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِذَا أَظْهَرَ النَّاسُ الْعِلْمَ وَضَيَّعُوا الْعَمَلَ وَتَحَابُّوا بِالْأَلْسُنِ وَتَبَاغَضُوا بِالْقُلُوبِ وَتَقَاطَعُوا بِالْأَرْحَامِ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
(Dia menasihati kalian) yaitu memerintahkan kalian dengan tiga perkara ini, dan melarang kalian dari tiga perkara ini agar kalian ingat) yaitu agar kalian mengambil pelajaran. Diriwayatkan dari Utsman bin Mazh’un, semoga Allah Ta’ala meridhainya, bahwa ia berkata, ‘Rasulullah ﷺ adalah temanku, dan aku masuk Islam hanya karena malu kepada Rasulullah ﷺ karena beliau mengajakku kepada Allah, lalu aku masuk Islam dan Islam belum menetap di hatiku. Suatu hari aku duduk di dekatnya, beliau sedang berbicara, tiba-tiba beliau berpaling dariku seolah-olah berbicara dengan seseorang di sampingnya, kemudian beliau menghadapku dan berkata, ‘Jibril ‘alaihissalam turun kepadaku dan membacakan ayat ini: ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,’ dan seterusnya. Aku merasa senang dengan itu dan Islam menetap di hatiku. Aku bangkit dari sisinya dan mendatangi pamannya, Abu Thalib, lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku berada di dekat keponakanmu, lalu diturunkan kepadanya ayat ini.’ Abu Thalib berkata, ‘Ikutilah Muhammad, kalian akan beruntung dan mendapat petunjuk. Demi Allah, keponakanku memerintahkan akhlak yang mulia, jika ia benar atau berbohong, ia tidak mengajak kalian kecuali kepada kebaikan.’ Hal itu sampai kepada Nabi ﷺ, lalu beliau berharap akan keislamannya, maka beliau mendatanginya dan mengajaknya kepada Islam, namun ia enggan masuk Islam, lalu turunlah ayat ini: ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.’ Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam ayat ini tentang silaturahim, dan berfirman dalam ayat lain, ‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, lalu ditulikan pendengaran mereka dan dibutakan penglihatan mereka,’ yaitu orang-orang yang memutuskan silaturahim. Dikatakan bahwa ketika Allah Ta’ala menciptakan rahim, Dia berfirman, ‘Aku adalah Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan engkau adalah rahim. Aku akan memutuskan orang yang memutuskanmu, dan aku akan menyambung orang yang menyambungmu.’ Diriwayatkan bahwa rahim itu tergantung di ‘Arsy, menyeru siang dan malam, ‘Ya Tuhanku, sambunglah orang yang menyambungku karena-Mu, dan putuskanlah orang yang memutuskanku karena-Mu.’ Hasan Al-Bashri rahimahullah Ta’ala berkata, ‘Jika manusia menampakkan ilmu dan menyia-nyiakan amal, saling mencintai dengan lisan dan saling membenci dalam hati, serta memutuskan silaturahim, Allah melaknat mereka, lalu ditulikan pendengaran mereka dan dibutakan penglihatan mereka.’
(قَالَ الْفَقِيهُ) رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ
حدثني أبي قال حدثنا محمد بن حمزة أبو الحسين الغراء الفقيه قال حدثنا أبو بكر الطوسي قال حدثنا محمد بن يحيى البلخي قال حدثنا يحيى بن سليم قال كان عند بابكة رجل من أهل خراسان وكان رجلا صالحا وكان تعالى في الناس يودعونه ود الجهم جا مرجل فاردعه عشرة آلاف دينار وخرج الرجل في حاجته فقدم الرجل مكة عليهم وقد مات الخراساني وسأل الله ورسوله عن عله فريكن لهم به علم فقال الرجل العنها سكة وكانو ابو منذ مجتمعين فولا متوافر بن أود عن فلانا عشرة آلاف دينار وقد مات وسألت ولد مراحل فزيكن لهم بها عليها تأمروني يخشى فقالو المحن نرجو أن يكون الخرساني من أهل الجنة فاذا مضى من الليل تلته أو نصفه فأن زمزم فاطلع فيها ولاد إفلان بن فلان أنا صاحب الود يمت فضل ذلك ثلاث ليال فريج أحد فأتاهم وأخبرهم فقالوا انا لله ليس والا البمراجعون نحن نخشى ان يكون صاحبك من اهل النار فأت اليمن فأن فيها واد يا يقال له بر هوش و به امرد بر فاطلع فيها الذا مضى ثلث الليل أوصفه فتاد يافلان بن فلان أنا صاحب الوديعة ففعل ذلك فاجابه في أول موت فقال و بحك ما أنزلك ههنا و قد كنت صاحب خير قال كان لي أهل بيت بخراسان فقطعتهم حتى مت فا على الله بذلك فأنزلني هذا المنزل فاما مالك فهو على حاله وانى لم أتمن ولدى على مالك قد فتنته في بيت كذا طلعت فقل اولدی یدخل فی داری تم سر الى البيت فاحفر فانك ستجد مالك فرجع فوجد ماله على حاله ( قال الفقيه ) رضى الله تعالى عنه اذا كان الرجل عند قرابت ولم يكن غائبا عنهم فالواجب عليه أن يصلهم بالهدية و بالزيارة فان لم يقدر على الصالة بالمال فليصلهم بالزيارة و الاعانة في أعمالهم ان احتاجوا وان كان غائبا يصلهم بالكتاب اليهم فإن قدر على المسير اليهم كان المسير أفضل واعلم بأن في صلة الرحم عشر خصال محمودة أو لها أن رج الرحم والتانى ادخال السرور عليهم وقدروى في الخيران أفضل الاعمال ادخال السرور على المؤمن الثالثأن فيها فرح الملائكة لانهم يفرحون صلة الرحم والرابع أن فيها حسن الثناء من المسلمين عليه والخامس أن فيها العمال الفم على ابليس عليه اللعفو السادس زيادة في العمر والسابع بركة في الرزق والثامن سرور الاموات لان الآباء والاجداد يسرون بصلة الرحم والقرابة والتاسع زيادة في المودة لا تماذا وقع المسبب من السرور والحزن يجتمعون اليمر يعينون على ذلك فيكون له زيادة في المودة والعاشور بادة الأجر بعدم ونه لانهم يدعون له بعد موته كل ماذكروا احسانه قال أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه ثلاثة نفر في ظل عرش الرحمن يوم القيامة واصل الرحم بعدله في عمر مو يوسع له في قبره ورزقه وامرات أقسات زوجها وترك يتامى فتقوم هي على الايتام حتى يغنيهم الله أو يموتو او ارجل اتخذ طعاما فدعا اليه اليتامى والمساكين وروى الحسن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ما خطا عبد خطوتين احب إلى الله تعالى من الخطوة إلى صلاة الفريضة و خطوة الى ذى الرحم المحرم و بقال خمسة أشياء من داوم عليها زيدنى حسناته مثل الجبال الراسيات و يوسع الله عليه رزقه أو لها من داوم على الصدقة قلت أو كثرت ومن وصل رحمه قل أو كثر من دلوم على الجهاد في سبيل المقهر من داوم على الوضوء ولم يسرف في صب الماء ومن أطاع والد يعود اوم على
طاعتهما و الله سبحانه و تعالى أعلم
(Berkata Al-Faqih) radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.”
“Ayahku menceritakan kepadaku, dia berkata Muhammad bin Hamzah Abu Al-Husain Al-Gharra’ Al-Faqih menceritakan kepada kami, dia berkata Abu Bakar Ath-Thusi menceritakan kepada kami, dia berkata Muhammad bin Yahya Al-Balkhi menceritakan kepada kami, dia berkata Yahya bin Salim menceritakan kepada kami, dia berkata di dekat Babakah ada seorang laki-laki dari penduduk Khurasan, dia adalah seorang laki-laki yang saleh, dan dia semoga Allah Ta’ala merahmatinya, di antara orang-orang yang menitipkan sesuatu kepadanya. Datanglah seorang laki-laki, lalu dia menyerahkan kepadanya sepuluh ribu dinar, dan laki-laki itu pergi untuk keperluannya. Laki-laki itu datang ke Makkah, dan orang Khurasan itu telah meninggal. Dia bertanya kepada Allah dan Rasul-Nya tentang keberadaannya, maka mereka tidak mengetahui tentangnya. Laki-laki itu berkata, ‘Aku berutang kepada si fulan sepuluh ribu dinar, dan dia telah meninggal, dan aku bertanya kepada anak-anaknya, maka mereka tidak mengetahui tentangnya, apa yang kalian perintahkan kepadaku?’ Mereka khawatir, lalu berkata, ‘Kami berharap orang Khurasan itu termasuk penduduk surga, maka jika telah berlalu sepertiga malam atau setengahnya, maka datanglah ke sumur Zamzam dan lihatlah ke dalamnya, dan panggillah si fulan bin fulan, aku adalah pemilik titipan itu.’ Dia melakukan itu selama tiga malam, lalu ada seseorang datang kepada mereka dan memberi tahu mereka, maka mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, kami khawatir temanmu itu termasuk penduduk neraka, maka datanglah ke Yaman, karena di sana ada sebuah lembah yang disebut Barahut, dan di dalamnya ada sumur, maka lihatlah ke dalamnya, jika telah berlalu sepertiga malam atau setengahnya, maka panggillah si fulan bin fulan, aku adalah pemilik titipan itu.’ Dia melakukan itu, lalu dia menjawab pada awal kematian, dia berkata, ‘Celakalah kamu, apa yang membawamu ke sini, padahal aku adalah pemilik kebaikan?’ Dia berkata, ‘Aku memiliki keluarga di Khurasan, lalu aku memutuskan hubungan dengan mereka hingga aku meninggal, maka Allah membalasnya denganku dengan tempat ini, adapun hartamu, maka keadaannya seperti semula, dan aku tidak mempercayai anakku atas hartamu, dia telah tergoda di rumah ini, maka lihatlah anakku masuk ke rumahku, lalu pergilah ke rumah itu dan galilah, maka kamu akan menemukan hartamu.’ Lalu dia kembali dan menemukan hartanya dalam keadaan semula. (Berkata Al-Faqih) semoga Allah Ta’ala meridhainya, ‘Jika seseorang berada di dekat kerabatnya dan tidak sedang bepergian dari mereka, maka wajib baginya untuk menyambung mereka dengan hadiah dan kunjungan, jika dia tidak mampu menyambung mereka dengan harta, maka hendaknya dia menyambung mereka dengan kunjungan dan membantu mereka dalam pekerjaan mereka jika mereka membutuhkan, dan jika dia sedang bepergian, maka hendaknya dia menyambung mereka dengan surat kepada mereka, dan jika dia mampu bepergian kepada mereka, maka bepergian kepada mereka lebih utama. Ketahuilah bahwa dalam silaturahim ada sepuluh sifat terpuji, yang pertama adalah melapangkan rahim, dan yang kedua adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati mereka, dan diriwayatkan dalam kebaikan bahwa amal yang paling utama adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, yang ketiga adalah bahwa di dalamnya ada kegembiraan para malaikat karena mereka bergembira dengan silaturahim, dan yang keempat adalah bahwa di dalamnya ada pujian yang baik dari kaum muslimin kepadanya, dan yang kelima adalah bahwa di dalamnya ada amarah iblis kepadanya, yang keenam adalah bertambahnya umur, dan yang ketujuh adalah berkah dalam rezeki, dan yang kedelapan adalah kegembiraan orang-orang yang telah meninggal karena ayah dan kakek bergembira dengan silaturahim dan kekerabatan, dan yang kesembilan adalah bertambahnya kasih sayang, tidak peduli apa yang terjadi pada orang yang bersedih dan gembira, mereka berkumpul untuk saling membantu dalam hal itu, maka dia akan bertambah kasih sayang, dan yang kesepuluh adalah bertambahnya pahala setelah kematiannya karena mereka mendoakannya setelah kematiannya setiap kali mereka menyebut kebaikannya.’ Anas bin Malik radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata, ‘Tiga orang berada di bawah naungan ‘Arsy Ar-Rahman pada hari kiamat: orang yang menyambung rahim, orang yang adil dalam umurnya, dilapangkan kuburnya, dan rezekinya, dan seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dan meninggalkan anak-anak yatim, lalu dia mengurus anak-anak yatim hingga Allah mencukupkan mereka atau mereka meninggal, dan seorang laki-laki yang membuat makanan lalu mengundang anak-anak yatim dan orang-orang miskin kepadanya.’ Diriwayatkan dari Hasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba melangkah dua langkah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala daripada langkah menuju shalat wajib dan langkah menuju kerabat dekatnya.’ Dikatakan bahwa lima perkara yang jika seseorang terus melakukannya, maka kebaikannya akan bertambah seperti gunung-gunung yang kokoh, dan Allah akan meluaskan rezekinya, yang pertama adalah orang yang terus bersedekah, baik sedikit maupun banyak, dan orang yang menyambung rahimnya, baik sedikit maupun banyak, orang yang terus berjihad di jalan Allah, orang yang terus berwudhu dan tidak berlebihan dalam menuangkan air, dan orang yang taat kepada kedua orang tuanya dan terus berbuat baik kepada mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.”