Kategori
Uncategorized

HUKUM MENYENTUH METODE PRAKTIS PEMBELAJARAN AL-QUR’AN “ATTANZIL” BAGI PEREMPUAN HAID ATAU HADATS

Hukum Menyentuh Metode Praktis Pembelajaran Al-Qur’an ( AT-TANZIL) bagi Perempuan Haid atau Berhadats Kecil

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Perkembangan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an untuk anak usia dini (TK/RA/TPA) terus berkembang. Berbagai metode praktis seperti At-Tanzil,yang ditulis oleh Ust.H Suroto Suruji Rahimahullah, ada juga metode Iqro’, Qiroati, dan Al-Barqi banyak digunakan. Metode-metode ini seringkali memuat potongan ayat Al-Qur’an sebagai materi pembelajaran.

Dalam praktik pengajarannya, mayoritas guru adalah perempuan, walaupun ada sebagian pengampunya laki-laki. Hal ini menimbulkan permasalahan terkait kondisi guru yang sedang haid atau berhadats kecil, terutama dalam hal menyentuh buku-buku metode tersebut.

Pertanyaan:

1.Bagaimana hukumnya perempuan yang sedang haid atau berhadats kecil menyentuh buku-buku metode pembelajaran Al-Qur’an (seperti At-Tanzil, juz 1,2,3 ,5 ,6 atau Iqro’, Qiroati, dan Al-Barqi)?

2 Apakah buku-buku metode praktis tersebut, khususnya metode At-Tanzil, dikategorikan sebagai mushaf, mengingat adanya potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya?

Poin-poin Penting:

✔️ Fokus pada hukum menyentuh buku metode pembelajaran Al-Qur’an, bukan membaca Al-Qur’an.
✔️Mempertimbangkan kondisi guru perempuan yang seringkali berhadapan dengan situasi haid atau hadats kecil.
✔️ Mempertanyakan status buku-buku metode tersebut apakah sama dengan mushaf.

Waalaikumsalam salam

Jawaban: no.1

Ditafsil:

A. Juz Terpisah:

✅Juz 1 dan 2 (fokus pada pengenalan huruf hijaiyah dan kata sambung): Diperbolehkan menyentuh tanpa wudhu.

B. Juz 3-6 Metode At-Tanzil(mengandung potongan ayat Al-Qur’an dan surat pendek): Haram menyentuh tanpa wudhu.

C. Kitab metode At-Tanzil Utuh (Semua Juz Disatukan):

✅Jika lebih banyak tulisan non-ayat: Misalkan pengenalan huruf hijaiyyah dan kata sambung selain ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera didalamnya seperti: -أَبَجَدٌ-هَوَزٌ- خَطَيَ- كَمُلَ- مَتَنَ صَصِصُ atau صَاصَ dll. Tak terkecuali misalkan didalamnya ada bahasan ilmu tajwid dan nadhomannya dalam hal ini Diperbolehkan menyentuh tanpa wudhu.

✅Jika lebih banyak huruf ayat -ayat Al-Qur’an atau surat pendek: Haram menyentuh tanpa wudhu.

Dalam artian, jika jumlah huruf Al-Qur’an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an sebanyak 162.671) atau jumlah ayat al-Quran yang ada di metode At-Tanzil masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada Metode Attanzil, maka dalam hal ini diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab kitab atau buku praktis Metode At-Tanzil. Hal ini disamakan dengan tafsir. Sebagaimana sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhrurrazi, Al-Qurtuby, Ibnu katsir, dll.

Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf Al-Qur’an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu. 

Pertanyaan: Apakah Metode At-Tanzil termasuk mushaf?

Jawaban: 02

Tergantung pada kandungan juznya.
Jika mengandung tulisan ayat-ayat Al-Qur’an atau surat-surat dalam Al-Qur’an, maka termasuk bagian dari mushaf.Tapi jika dalam sebagian juz tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an maka tidaklah termasuk mushaf

Kesimpulan:

Hukum menyentuh Metode AT-TANZIL tanpa wudhu bergantung pada kandungan ayat Al-Qur’an di dalamnya.

✅Bagian yang mengandung ayat Al-Qur’an dikategorikan sebagai bagian dari mushaf dan harus diperlakukan dengan hormat ( punya wudhu’).

✅Untuk menjaga kehati hatian, lebih baik dalam keadaan suci ketika menyentuh kitab atau buku Metode tersebut yang didalamnya terdapat ayat Al-quran, lagi pula bagi guru dalam keadaan suci lebih utama.

referensi

المكتبة الشاملة
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٣٨ص٥-٦

مُصْحَفٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الْمُصْحَفُ بِضَمِّ الْمِيمِ، وَيَجُوزُ الْمِصْحَفُ بِكَسْرِهَا، وَهِيَ لُغَةُ تَمِيمٍ، وَهُوَ لُغَةً: اسْمٌ لِكُل مَجْمُوعَةٍ مِنَ الصُّحُفِ الْمَكْتُوبَةِ ضُمَّتْ بَيْنَ دَفَّتَيْنِ، قَال الأَْزْهَرِيُّ: وَإِِِنَّمَا سُمِّيَ الْمُصْحَفُ مُصْحَفًا لأَِنَّهُ أُصْحِفَ، أَيْ جُعِل جَامِعًا لِلصُّحُفِ الْمَكْتُوبَةِ بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ (١) .
وَالْمُصْحَفُ فِي الاِصْطِلاَحِ: اسْمٌ لِلْمَكْتُوبِ فِيهِ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ.
وَيَصْدُقُ الْمُصْحَفُ عَلَى مَا كَانَ حَاوِيًا لِلْقُرْآنِ كُلِّهِ، أَوْ كَانَ مِمَّا يُسْمَّى مُصْحَفًا عُرْفًا وَلَوْ قَلِيلاً كَحِزْبٍ، عَلَى مَا صَرَّحَ بِهِ الْقَلْيُوبِيُّ، وَقَال ابْنُ حَبِيبٍ: يَشْمَل مَا كَانَ مُصْحَفًا جَامِعًا أَوْ جُزْءًا أَوْ وَرَقَةً فِيهَا بَعْضُ سُورَةٍ أَوْ لَوْحًا أَوْ كَتِفًا مَكْتُوبَةً (٢) .

الأَْلْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ:
الْقُرْآنُ:
١ – الْقُرْآنُ لُغَةً: الْقِرَاءَةُ، قَال اللَّهُ تَعَالَى: {فَإِِِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ} (١) .
وَهُوَ فِي الاِصْطِلاَحِ: اسْمٌ لِكَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى الْمُنَزَّل عَلَى رَسُولِهِ مُحَمِّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ، الْمَكْتُوبِ فِي الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُول إِِِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتَرًا (٢) .
فَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمُصْحَفِ: أَنَّ الْمُصْحَفَ اسْمٌ لِلْمَكْتُوبِ مِنَ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ الْمَجْمُوعِ بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ وَالْجِلْدِ، وَالْقُرْآنُ اسْمٌ لِكَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى الْمَكْتُوبِ فِيهِ (٣) .
الأَْحْكَامُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِالْمُصْحَفِ:
تَتَعَلَّقُ بِالْمُصْحَفِ أَحْكَامٌ مِنْهَا:
لَمْسُ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ لِلْمُصْحَفِ
٢ – ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِِِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ، رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمِّدٍ
وَالْحَسَنِ وَقَتَادَةَ وَعَطَاءٍ وَالشَّعْبِيِّ، قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَلاَ نَعْلَمُ مُخَالِفًا فِي ذَلِكَ إِِلاَّ دَاوُدَ (١) .
وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْجَنَابَةُ وَالْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ، فَلاَ يَجُوزُ لأََحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الأَْحْدَاثِ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ حَتَّى يَتَطَهَّرَ، إِِلاَّ مَا يَأْتِي اسْتِثْنَاؤُهُ.
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ يَمَسُّهُ إِِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ} (٢) .
وَبِمَا فِي كِتَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِِلَى أَهْل الْيُمْنِ (٣) ، وَهُوَ قَوْلُهُ لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِِلاَّ طَاهِرٌ (٤) ، وَقَال ابْنُ عُمَرَ: قَال النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِِلاَّ طَاهِرٌ (٥) .
لَمْسُ الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ لِلْمُصْحَفِ
٤ – ذَهَبَ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ إِِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ، وَجَعَلَهُ ابْنُ قُدَامَةَ مِمَّا لاَ يَعْلَمُ فِيهِ خِلاَفًا عَنْ غَيْرِ دَاوُدَ.
وَقَال الْقُرْطُبِيُّ: وَقِيل: يَجُوزُ مَسُّهُ بِغَيْرِ وُضُوءٍ، وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ: وَحَكَى ابْنُ الصَّلاَحِ قَوْلاً غَرِيبًا بِعَدِمِ حُرْمَةِ مَسِّهِ مُطْلَقًا (١) .
وَلاَ يُبَاحُ لِلْمُحْدِثِ مَسُّ الْمُصْحَفِ إِِلاَّ إِِذَا أَتَمَّ طَهَارَتَهُ، فَلَوْ غَسَل بَعْضَ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ لَمْ يَجُزْ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِهِ قَبْل أَنْ يُتِمَّ وُضُوءَهُ، وَفِي قَوْلٍ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ: يَجُوزُ مَسُّهُ بِالْعُضْوِ الَّذِي تَمَّ
غَسْلُهُ

Definisi Mushaf :

“Mushaf” dengan dhammah pada huruf mim, dan boleh juga “mishhaf” dengan kasrah, ini adalah dialek suku Tamim.

Secara bahasa : Mushaf itu adalah nama untuk setiap kumpulan lembaran-lembaran tertulis yang disatukan di antara dua sampul. Azhari berkata: “Mushaf dinamakan mushaf karena ‘ushifa’, yaitu dijadikan sebagai kumpulan lembaran-lembaran tertulis di antara dua sampul.”

Secara istilah syariat: mushaf adalah nama untuk tulisan yang di dalamnya terdapat firman Allah Ta’ala di antara dua sampul. Mushaf berlaku untuk apa pun yang berisi seluruh Al-Qur’an, atau apa pun yang secara umum disebut mushaf meskipun sedikit, seperti satu hizb (bagian dari Al-Qur’an), sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qalyubi. Ibnu Habib berkata: “Mencakup apa pun yang merupakan mushaf lengkap atau sebagian, atau lembaran yang berisi sebagian surah, atau papan, atau tulang belikat yang tertulis.”
Kata-kata yang Berkaitan:
Al-Qur’an:

Pengertian Al-Qur’an.

Secara bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Allah Ta’ala berfirman: “Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu.”

Secara istilah syariat, Al-Qur’an adalah nama untuk firman Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ibadah dilakukan dengan membacanya, tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan kepada kita secara mutawatir.

Perbedaan antara Al-Qur’an dan Mushaf

Mushaf adalah nama untuk tulisan dari Al-Qur’an yang mulia yang dikumpulkan di antara dua sampul dan jilid,

sedangkan Al-Qur’an adalah nama untuk firman Allah Ta’ala yang tertulis di dalamnya.

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Mushaf:

Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan mushaf, di antaranya:

1️⃣.Menyentuh Mushaf oleh Orang Junub dan Haid:

Para ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats besar untuk menyentuh mushaf. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan, Qatadah, Atha’, dan Asy-Sya’bi. Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui ada yang berbeda pendapat dalam hal ini kecuali Dawud.”
Baik itu janabah (keadaan junub), haid, maupun nifas, tidak boleh bagi siapa pun yang mengalami hadats-hadats ini untuk menyentuh mushaf hingga ia bersuci, kecuali apa yang akan disebutkan pengecualiannya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Dan dengan apa yang ada dalam surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amr bin Hazm radhiyallahu ‘anhu untuk penduduk Yaman, yaitu sabda beliau: “Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Ibnu Umar berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”

2️⃣Menyentuh Mushaf oleh Orang yang Berhadats Kecil:

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf. Ibnu Qudamah menjadikannya sebagai hal yang tidak diketahui ada perbedaan pendapat di dalamnya selain dari Dawud. Al-Qurthubi berkata: “Dikatakan: Boleh menyentuhnya tanpa wudhu.” Al-Qalyubi dari kalangan Syafi’iyah berkata: “Ibnu Shalah meriwayatkan pendapat yang aneh dengan tidak mengharamkan menyentuhnya secara mutlak.”
Tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf kecuali jika ia telah menyempurnakan kesuciannya. Jika ia membasuh sebagian anggota wudhu, maka tidak boleh menyentuh mushaf dengannya sebelum ia menyempurnakan wudhunya. Dalam sebuah pendapat di kalangan Hanafiyah: Boleh menyentuhnya dengan anggota tubuh yang telah selesai dibasuh.

Referensi:


حاشية الباجورى ج١ص١١٧

( والرابع مس المصحف ) وهو اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين ( وحمله ) إلا إذا خافت عليه ( قوله وهو ) أى المصحف وقوله اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين أى بين دفتى المصحف وهذا التفسير ليس مرادا هنا وإنما المراد به هنا كل ما كتب عليه قرآن لدراسته ولو عمودا أو لوحا أو نحوهما الى أن قال …. والعبرة بقصد الكاتب إن كان يكتب لنفسه وإلا فقصد الآمر أو المستأجر

[ Haasyiyah al-Baajuri I/117 ].

Yang No. 4 dari hal yang diharamkan bagi wanita haid adalah memegang Mushaf. Mushaf ialah nama dari tulisan firman Allah diantara dua lampiran. Juga haram membawanya kecuali saat ia menghawatirkannya. (keterangan Mushaf ialah nama dari tulisan firman Allah diantara dua lampiran) yang dikehendaki adalah setiap perkara yang ditulis Al-Qur’an untuk dibaca meskipun berupa tiang, papan atau lainnya…. Pertimbangannya diserahkan pada penulis bila tujuan penulisannya untuk pribadi , bila penulisannya bukan untuk pribadi maka pertimbangannya diserahkan kepada orang yang menyuruh menulis Al Qur’an atau diserahkan kepada penyewa jasa penulisan Al Qur’an.

Referensi :

تحفة المحتاج .ج١ص١٤٩

( و ) حمل ومس ( ما كتب لدرس قرآن ) ولو بعض آية ( كلوح فى الأصح ) لأنه كالمصحف وظاهر قولهم بعض آية أن نحو الحرف كاف وفيه بعد بل ينبغى فى ذلك البعض كونه جملة مفيدة

[ Tuhfah al-Muhtaaj I/149 ].

Dan haram membawa serta memegang tulisan quran untuk dibaca meskipun hanya sebagian ayat seperti halnya yang berupa papan menurut pendapat yang paling shahih karena ia seperti mushaf. (keterangan meskipun hanya sebagian ayat) tidak semacam huruf KAAF, pengertian ini terlalu jauh semestinya batasan dikatakan sebagian ayat adalah susunan kalimat yang berfaedah.

Referensi:


مناهل العرفان للشيخ محمد عبد العظيم الزقني ج٢ص٨٠

وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض 

(Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80) 

Artinya: Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain

Terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 

Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:

Referensi :

نهاية الزين للشيخ محمد النووي البنتني. ج١ ص ٣٣

أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان

( Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33).

Artinya: Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis di bawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan . Wallahub a’lam bishawab

بغية المسترشدين ج ٢٦

( مسألة ى ) يكره حمل التفسير ومسه إن زاد على القرآن وإلا حرم. وتحرم قراءة القرآن على نحو جنب بقصد القراءة ولو مع غيرها لا مع الإطلاق على الراجح ولا بقصد غير القراءة كرد غلط وتعليم وتبرك ودعاء .


[ Bughyah al-Mustarsyidiin hal0 26 ].

Makruh membawa dan memegang Tafsir yang jumlahnya melebihi tulisan qurannya bila tidak maka haram. Dan haram membacanya bagi semisal orang junub bila bertujuan untuk membacanya meskipun alQurannya bersama tulisan lain tapi tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya menurut pendapat yang kuat dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya seperti saat membenarkan bacaan yang salah, mengajar, mencari keberkahan dan berdoa.

وحكى وجه أن للجنب أن يقرأ ما لم يدخل فى حد الإعجاز وهو ثلاث آيات ونقل الترمذى فى الجامع عن الشافعى أنه قال لا يقرأ الحائض والجنب شيئا إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك أفاده فى البكرى.

[ At-Turmusy hal. 427-428 ].

Dihikayahkan sebuah pendapat bahwa bagi orang junub diperbolehkan membaca alQuran asal tidak dalam batasan ‘hal yang dapat melemahkan’ dari alQuran yakni berupa tiga ayat, Imam at-Turmudzi mengutip dari Imam Syafi’i yang berkata “Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca sesuatu dari alQuran kecuali ujung ayat , huruf dan sejenisnya.Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Uncategorized

HUKUM TALAK DALAM KONDISI HAID

HUKUM TALAK DALAM KONDISI HAID

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Ada pasangan suami istri yang pada awalnya harmonis entah sebab apa dikemudian hari suaminya dengan terpaksa mentalak istrinya dalam kondisi haid

Pertanyaan
Sahkah talak dalam kondisi haid, kalau sah sampai dimana perhitungan iddah bagi perempuan yang ditalak dalam kondisi sebagaimana Deskripsi

Waalaikumsalam.

Jawaban.

  1. Talak dalam kondisi haid hukumnya haram, namun Talaknya tetap sah

Penjelasan.

Dalam Islam, talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid disebut talak bid’i. Hukumnya adalah haram, tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahannya. Berikut adalah penjelasan mengenai masalah ini:
Keabsahan Talak saat Haid:
Mayoritas Ulama:
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (termasuk mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid tetap sah, meskipun haram hukumnya.
Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Umar, di mana Rasulullah SAW memerintahkan Ibnu Umar untuk merujuk istrinya yang ditalak saat haid. Perintah rujuk ini menunjukkan bahwa talak tersebut dianggap sah.
Namun, suami yang menjatuhkan talak dalam kondisi ini berdosa karena melanggar aturan syariat.
Pendapat Sebagian Ulama (terutama Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim):
Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat haid tidak sah. Mereka berargumen bahwa talak bid’i tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Pendapat ini menekankan pada tujuan syariat dalam mengatur talak, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi suami istri untuk rujuk dan memperbaiki hubungan.

  1. Masa Iddah bagi Wanita yang Ditalak saat Haid:

Masa iddah bagi wanita yang ditalak saat haid dihitung setelah ia suci dari haid tersebut.
Secara umum, masa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali masa suci.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an (QS. At-Thalaq: 1): “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.”
Jadi, jika seorang wanita ditalak saat haid, maka haid yang terjadi waktu talak itu tidak di hitung, lalu dihitung setelah suci dari haid tersebut.

Saran:
Sebaiknya, pasangan suami istri yang mengalami masalah rumah tangga berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik, dengan melibatkan keluarga atau mediator jika perlu.
Jika talak tidak dapat dihindari, sebaiknya dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu saat istri dalam keadaan suci dan belum digauli.
Jika terjadi talak saat haid, suami sebaiknya segera bertaubat kepada Allah SWT.

Referensi:

الحاوي الكبير ج.١٠،ص.١١٥
طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فِي حَيْضٍ أَوْ فِي طُهْرٍ مُجَامَعٍ فِيهِ. فَهُوَ مَحْظُورٌ مُحَرَّمٌ بِوِفَاقٍ. وَاخْتُلِفَ فِي وُقُوعِهِ مَعَ تَحْرِيمِهِ. فَمَذْهَبُنَا إِنَّهُ وَاقِعٌ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمًا. وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam Al-Mawardi

“Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau pada saat suci yang telah dicampuri (jima’). Maka, talak seperti ini dilarang dan haram secara sepakat (ulama). Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan talak tersebut meskipun haram. Mazhab kami (Syafi’i) berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah meskipun haram. Ini adalah pendapat para sahabat, tabi’in, dan mayoritas ahli fiqih.”
Penjelasan:
Talak Bid’ah:
Talak bid’ah adalah talak yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau dalam keadaan suci setelah dicampuri.
Para ulama sepakat bahwa talak seperti ini hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Perbedaan Pendapat tentang Keabsahan Talak: Meskipun haram, para ulama berbeda pendapat mengenai apakah talak tersebut tetap sah atau tidak.
Mazhab Syafi’i, yang diikuti oleh penulis kitab Al-Hawi Al-Kabir, berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah. Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas ulama.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa talak tersebut tidak sah, karena talak tersebut dilakukan dengan cara yang dilarang.
Hikmah Pelarangan Talak Bid’ah:

Pelarangan talak bid’ah bertujuan untuk menghindari tindakan cerai yang tergesa-gesa dan merugikan istri.
Talak pada saat haid dapat memperpanjang masa iddah istri, sedangkan talak pada saat suci setelah dicampuri dapat menimbulkan penyesalan jika ternyata istri sedang hamil.
Secara umum, teks tersebut menjelaskan bahwa talak bid’ah adalah perbuatan yang diharamkan, namun para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan talak tersebut.

Referensi:

فقه الإسلامي وادلته للشيخ وهبة الزحيلي ج٩ص ٦٩٢٣-٦٩٢٤

 وفي رواية عنه: «أنه طلق امرأة له وهي حائض، فذكر ذلك عمر للنبي صلّى الله عليه وسلم، فتغيَّظ فيه رسول الله صلّى الله عليه وسلم ثم قال: ليراجعْها، ثم يمسكْها حتى تطهُر، ثم تحيض فتطهر، فإن بدا له أن يطلّقها، فليطلقها قبل أن يمسها، فتلك العدة كما أمر الله تعالى». وفي لفظ: «فتلك العدة التي أمر الله أن يُطلَّق لها النساء» فهو يدل على أن الطلاق جائز حال الطهر الذي لم يجامع فيه.
وهذا متفق مع الآية القرآنية: {يا أيها النبي إذا طلقتم النساء، فطلقوهن لعدتهن} [الطلاق:١/ ٦٥] أي مستقبلات عدتهن.
والسبب هو عدم إطالة العدة على المرأة، ففي الطلاق في أثناء الحيض أو في طهر جامعها فيه ضرر بالمرأة بتطويل العدة عليها؛ لأن الحيضة التي وقع فيها الطلاق لا تحتسب من العدة، وزمان الحيض زمان النفرة، وبالجماع مرة في الطهر تفتر الرغبة.
وبه يتبين أن الطلاق البدعي يكون للمرأة التي دخل بها زوجها، وكانت ممن تحيض، أما التي لم يدخل بها الزوج أو كانت حاملاً أو لا تحيض، فلا يكون طلاقها بدعياً قبيحاً شرعاً، قال ابن عباس: الطلاق على أربعة أوجه: وجهان حلال، ووجهان حرام، فأما اللذان هما حلال: فأن يطلق الرجل امرأته طاهراً من غير جماع، أو يطلقها حاملاً مستبيناً حملها، وأما اللذان هما حرام: فأن يطلقها حائضاً أو يطلقها عند الجماع، لا يدري، اشتمل الرحم على ولد أم لا (٢).
أثر مخالفة هذا القيد: يقع الطلاق باتفاق المذاهب الأربعة في حال الحيض أو في حال الطهر الذي جامع الرجل امرأته فيه؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم أمر ابن عمر بمراجعة

امرأته التي طلقها، وهي حائض، والمراجعة لا تكون إلا بعد وقوع الطلاق، ويؤيده رواية: «وكان عبد الله طلَّق تطليقة، فحسبت من طلاقها».
وقال الشيعة الإمامية والظاهرية وابن تيمية وابن القيم (١): يحرم الطلاق في أثناء الحيض أو النفاس أو في طهر وطئ الرجل زوجته فيه، ولا ينفذ هذا الطلاق البدعي، بدليل ما يأتي:
١ً – ما أخرجه أحمد وأبو داود والنسائي عن ابن عمر بلفظ: «طلق عبد الله ابن عمر امرأته وهي حائض، قال عبد الله: فردها علي رسول الله صلّى الله عليه وسلم ولم يرها شيئاً». وهذا الحديث صحيح كما صرح به ابن القيم وغيره.
ونوقش بأنه قد أعل هذا الحديث بمخالفة أبي الزبير لسائر الحفاظ، وقال ابن عبد البر: قوله «ولم يرها شيئاً»: منكر لم يقله غير أبي الزبير، وليس بحجة فيما خالفه فيه مثله، فكيف إذا خالفه من هو أوثق منه، ولو صح فمعناه عندي ـ والله أعلم ـ ولم يرها شيئاً مستقيماً، لكونها لم تكن على السنة.
وقال الخطابي: وقد يحتمل أن يكون معناه: ولم يرها شيئاً تحرم معه المراجعة، أو لم يرها شيئاً جائزاً في السنة.
٢ً – حديث: «من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد» (٢) والطلاق في حال الحيض مخالف لأمر الشارع، فيكون مردوداً لا أثر له. ونوقش بأن المردود هو بسبب مخالفة ركن أو شرط من أركان أو شروط العمل. وأما المخالفة بسبب تطويل العدة أو عدم وجود الحاجة إلى الطلاق، فليس أحدهما ركناً أو شرطاً للطلاق، فلا تستوجب الرد وعدم وقوع الطلاق.

Riwayat tentang perceraian saat haid:
“Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya saat haid. Umar melaporkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah. Kemudian beliau bersabda, ‘Suruh dia rujuk, lalu tahan dia hingga suci, kemudian haid lagi lalu suci. Jika dia ingin menceraikannya, ceraikanlah sebelum menyentuhnya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah Ta’ala.’ Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan wanita.’ Ini menunjukkan bahwa perceraian diperbolehkan saat suci yang belum digauli.”
Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (QS. At-Thalaq: 1).
Alasannya adalah agar masa iddah tidak terlalu lama bagi wanita. Perceraian saat haid atau saat suci yang telah digauli akan merugikan wanita karena memperpanjang masa iddah. Sebab, haid yang terjadi saat perceraian tidak dihitung dalam masa iddah, dan masa haid adalah masa ketidaksukaan. Selain itu, jika telah digauli sekali saat suci, keinginan (untuk rujuk) akan berkurang.
Dari sini jelas bahwa perceraian bid’ah terjadi pada wanita yang telah digauli suaminya dan mengalami haid. Sedangkan wanita yang belum digauli suaminya, wanita hamil, atau wanita yang tidak mengalami haid, perceraian mereka tidak dianggap bid’ah yang buruk secara syar’i. Ibnu Abbas berkata, “Perceraian ada empat macam: dua halal dan dua haram. Yang halal adalah jika seorang pria menceraikan istrinya saat suci tanpa digauli, atau menceraikannya saat hamil yang jelas kehamilannya. Yang haram adalah jika menceraikannya saat haid atau saat digauli, tanpa diketahui apakah rahimnya mengandung janin atau tidak.”
Dampak dari pelanggaran ketentuan ini:
Perceraian tetap sah menurut kesepakatan empat mazhab, meskipun terjadi saat haid atau saat suci yang telah digauli. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk dengan istrinya yang diceraikannya saat haid, dan rujuk tidak mungkin terjadi kecuali setelah perceraian terjadi. Hal ini diperkuat oleh riwayat: “Abdullah menceraikan satu talak, dan itu dihitung sebagai talaknya.”
Namun, mazhab Syi’ah Imamiyah, Zhahiriyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa perceraian saat haid, nifas, atau saat suci yang telah digauli adalah haram dan tidak sah. Dalil mereka adalah:

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i dari Ibnu Umar: “Abdullah bin Umar menceraikan istrinya saat haid. Abdullah berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan dia kepadaku dan tidak menganggapnya sebagai apa pun.'” Hadits ini sahih menurut Ibnul Qayyim dan lainnya.
Namun, hadits ini dipermasalahkan karena Abu Zubair dianggap bertentangan dengan para hafiz hadits lainnya. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ucapan ‘tidak menganggapnya sebagai apa pun’ adalah munkar, tidak ada yang mengatakan selain Abu Zubair, dan itu bukan hujjah jika bertentangan dengan orang yang setara dengannya, apalagi jika bertentangan dengan orang yang lebih tepercaya darinya. Jika sahih pun, maknanya menurutku—wallahu a’lam—adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang lurus, karena tidak sesuai dengan sunnah.”
Al-Khaththabi berkata, “Mungkin juga maknanya adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengharamkan rujuk, atau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan dalam sunnah.”
Hadits: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” Perceraian saat haid bertentangan dengan perintah syariat, maka tertolak dan tidak berpengaruh.
Namun, hal ini dipermasalahkan karena yang tertolak adalah amalan yang melanggar rukun atau syaratnya. Sedangkan pelanggaran karena memperpanjang masa iddah atau tidak adanya kebutuhan untuk bercerai, bukanlah rukun atau syarat perceraian, sehingga tidak menyebabkan perceraian tertolak dan tidak sah. Wallahu a’lam

Kategori
Bahtsul Masail Thoharoh

T052. SETELAH OPERASI TIDAK BOLEH MANDI HAID

Deskripsi Masalah :
Ada wanita yang sudah bersih dari darah haid tapi belum bersuci (mandi), karena baru selesai operasi tidak boleh mandi dulu dari dokternya.

Pertanyaan :

  1. Boleh/tidak menunda mandi sampai mendapatkan izin mandi dari dokternya atau mengqodlo’ sholat yang ditinggal dari semenjak haidnya bersih ?

Jawaban :

  1. Tidak boleh menunda mandi janabahnya namun dia bertayammum setiap masuk sholat fardlu & wajib melaksanakan sholatnya jika dokter tersebut menyatakan, air dapat memperparah penyakitnya atau melambatkan kesembuhan penyakitnya. Dan dia wajib mandi jinabah dengan air jika sudah dapat izin menggunakan air dari dokter tersebut.

Referensi jawaban no. 1 :
حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري – (ج 1 / ص 691)
وكما أنها تحيض برؤيته تطهر أي يحكم بطهرها بانقطاعه بعد بلوغ أقله فتؤمر بالغسل والصلاة والصوم ويحل وطؤها فإن عاد في زمن الحيض تبين وقوع عبادتها في الحيض فتؤمر بقضاء الصوم فقط ولا إثم بالوطء لبناء الأمر على الظاهر فإن انقطع حكم بطهرها وهكذا ما لم يعبر خمسة عشر انتهت

الفقه على المذاهب الأربعة ـ (ج ١ / ص ١٤١)
وأما من وجد الماء، وعجز عن استعماله لسبب من الأسباب الشرعية، فإنه كفاقد الماء، يتيمم لكل ما يتوقف على الطهارة، ومن أسباب العجز أن يغلب على ظنه حدوث مرض باستعماله، أو زيادة مرض، أو تأخر شفاء، إذا استند في ذلك إلى تجربة، أو إخبار طبيب حاذق مسلم.
المالكية قالوا: يجوز الاعتماد في ذلك على إخبار الطبيب الكافر عند عدم وجود الطبيب المسلم العارف به ومثل ذلك ما إذا استند إلى القرائن العادية، كتجربة في نفسه، أو في غيره إن كان موافقاً له في المزاج.
الشافعية قالوا: يكفي أن يكون الطبيب حاذقاً ولو كافراً بشرط أن يقع صدقه في نفس المتيمم، أما التجربة فلا تكفي على الراجح، وله أن يعتمد في المرض على نفسه إذا كان عالماً بالطب، فإن لم يكن طبيباً، ولا عالماً بالطب، جاز له التيمم: وأعاد الصلاة بعد برئه.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج ١ / ص ٥٠٥)
٣- المرض أو بطء البرء:
يتيمم إذا خاف باستعمال الماء على نفس أو منفعة عضو أو حدوث مرض من نزلة أو حمى أو نحو ذلك، أ وخاف من استعماله زيادة المرض أو طوله، أو تأخر برئه، ويعرف ذلك بالعادة، أو بإخبار طبيب عارف، ولو غير مسلم عند المالكية والشافعية، مسلم عند الحنفية والحنابلة. وأضاف الشافعية في الأظهر والحنابلة حدوث شين فاحش في عضو ظاهر، لأنه يشوه الخلقة ويدوم ضرره. والمراد بالظاهر ما يبدو عند المهنة غالباً كالوجه واليدين. وقال الحنابلة: من كان مريضاً لا يقدر على الحركة، ولا يجد من يناوله الماء للوضوء فهو كعادم للماء، له التيمم إن خاف فوت الوقت.

Kategori
010. BAB HAIDL Bahtsul Masail

PEREMPUAN YANG HAID MEMBACA ALQUR’AN

Pertanyaan :

  1. Bagaimana cara menyikapi tentang seorang wanita yang menghafal al-Qur’an yang sedang haid, apakah ketika dia sedang haid diperbolehkan membawa dan membaca mushaf ?

Jawaban :

  1. Orang yang sedang haid membaca mushaf/ayat al-Qur’an itu khilaf :
    a) Menurut madzhab Syafi’iyah, tidak boleh kecuali melafalkan/mengucapkan ayat al-Qur’an dengan syarat tidak ada tujuan/membaca al-Quran.
    b) Menurut madzhab Malikiyah, boleh membaca mushaf al-Qur’an ketika perempuan tersebut keadaan aktif darah haid/nifasnya.
    Sedangkan Ijma’ Ghalibiyah(yang biasa) Ulama Fiqih menyatakan orang yang sedang haid membawa mushaf al-Qur’an itu dicegah (tidak boleh). Dan menurut madzhab Dhohiriyah, orang yang sedang haid boleh membawa mushaf al-Qur’an jika niat belajar-mengajar dan tidak ada orang yang dimintai tolong untuk membawanya.

Referensi jawaban no. 1 :


حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 1 / ص 259)
( وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }.
قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ.

المجموع شرح المهذب ـ (ج ٢ / ص ٣٥٧)
(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي قِرَاءَةِ الْحَائِضِ الْقُرْآنَ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الْمَشْهُورَ تَحْرِيمُهَا وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَجَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَبِهِ قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَقَتَادَةُ وَعَطَاءٌ وَأَبُو العالية والنخعي وسعيد بن جبير والزهرى واسحق وأبو ثور وعن مالك وأبى حنية وَأَحْمَدَ رِوَايَتَانِ إحْدَاهُمَا التَّحْرِيمُ وَالثَّانِيَةُ الْجَوَازُ وَبِهِ قَالَ دَاوُد وَاحْتُجَّ لِمَنْ جَوَّزَ بِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهِيَ حَائِضٌ: وَلِأَنَّ زَمَنَهُ يَطُولُ فَيَخَافُ نِسْيَانَهَا وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا وَالْجُمْهُورُ بِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُورِ وَلَكِنَّهُ ضَعِيفٌ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى الْجُنُبِ فَإِنَّ مَنْ خَالَفَ فِيهَا وَافَقَ عَلَى الْجُنُبِ إلَّا دَاوُد وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ الْأُصُولِيِّينَ أَنَّ دَاوُد لَا يُعْتَدُّ بِهِ فِي الْإِجْمَاعِ وَالْخِلَافِ وَفِعْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَا حُجَّةَ فِيهِ عَلَى تَقْدِيرِ صِحَّتِهِ لِأَنَّ غَيْرَهَا مِنْ الصَّحَابَةِ خَالَفَهَا وَإِذَا اخْتَلَفَتْ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ رَجَعْنَا إلَى الْقِيَاسِ وَأَمَّا خَوْفُ النِّسْيَانِ فَنَادِرٌ فَإِنَّ مُدَّةَ الْحَيْضِ غَالِبًا سِتَّةُ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةٌ وَلَا يُنْسَى غَالِبًا فِي هَذَا الْقَدْرِ وَلِأَنَّ خَوْفَ النِّسْيَانِ يَنْتَفِي بِإِمْرَارِ الْقُرْآنِ عَلَى القلب والله أعلم

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ـ (ج ١ / ص ٨٥)
والحاصل أنه إن قصد القرآن وحده أو قصده مع غيره كالذكر ونحوه فتحرم فيهما، وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم، لأنه عند وجود قرينة لا يكون قرآنا إلا بالقصد، ولو بما لا يوجد نظمه في غير القرآن، كسورة الإخلاص، واستثنى من حرمة القراءة قراءة الفاتحة على فاقد الطهورين في المكتوبة، وقراءة آية في خطبة جمعة، فإنها تجب عليه لضرورة توقف صحة الصلاة عليها.
وقوله: ولو بعض آية قال في بشرى الكريم ولو حرفا منه وحيث لم يقرأ منه جملة مفيدة يأثم على قصده المعصية وشروعه فيها لا لكونه قارئا اهـ وإنما حرم ذلك لخبر الترمذي: ولا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن. ويقرأ – بكسر الهمزة – على النهي، وبضمها على النفي فهو خبر على الثاني بمعنى النهي.
(قوله: بحيث يسمع نفسه) قيد لحرمة القراءة أي ومحل حرمة القراءة إذا تلفظ بها بحيث يسمع بها نفسه، حيث لا عارض من نحو لغط، فإن لم يسمع بها نفسه بأن أجراها على قلبه أو حرك بها شفتيه – ويسمى همسا – فلا تحرم.

الأذكار للنووي – (ص 10)
أجمع العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والدعاء وغير ذلك. ولكن قراءة القرآن حرام على الجنب والحائض والنفساء، سواء قرأ قليلا أو كثيرا حتى بعض آية، ويجوز لهم إجراء القرآن على القلب من غير لفظ، وكذلك النظر في المصحف، وإمراره على القلب. قال أصحابنا : ويجوز للجنب والحائض أن يقولا عند المصيبة : إنا لله وإنا إليه راجعون، وعند ركوب الدابة : سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين، وعند الدعاء : ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، إذا لم يقصدا به القرآن، ولهما أن يقولا : بسم الله، والحمد لله، إذا لم يقصدا القرآن، سواء قصدا الذكر أو لم يكن لهما قصد، ولا يأثمان إلا إذا قصدا القرآن، ويجوز لهما قراءة ما نسخت تلاوته ك (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما). وأما إذا قالا لإنسان : خذ الكتاب بقوة، أو قالا : ادخلوها بسلام آمنين، ونحو ذلك، فإن قصدا غير القرآن لم يحرم، وإذا لم يجدا الماء تيمما وجاز لهما القراءة، فإن أحدث بعد ذلك لم تحرم عليه القراءة كما لو اغتسل ثم أحدث. ثم لا فرق بين أن يكون تيممه لعدم الماء في الحضر أو في السفر، فله أن يقرأ القرآن بعده وإن أحدث.

روضة الطالبين – (ج 1 / ص 86)
وَلَوْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَمْ يَقْصِدِ الْقُرْآنَ، جَازَ، كَقَوْلِهِ: بِسْمِ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، أَوْ قَالَ: (سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ) الزُّخْرُفِ: الْآيَةُ 13. عَلَى قَصْدِ سُنَّةِ الرُّكُوبِ. وَلَوْ جَرَى هَذَا عَلَى لِسَانِهِ وَلَمْ يَقْصِدْ قُرْآنًا وَلَا ذِكْرًا، جَازَ. وَيَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَأَثْبَتَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ قَوْلًا قَدِيمًا أَنَّهَا لَا تَحْرُمُ.
قُلْتُ: وَلَوْ كَانَ فَمُ غَيْرِ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ نَجِسًا، فَفِي تَحْرِيمِ الْقِرَاءَةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ، الْأَصَحُّ يُكْرَهُ وَلَا يَحْرُمُ. وَلَا تُكْرَهُ الْقِرَاءَةُ فِي الْحَمَّامِ. وَيَجُوزُ لِلْحَائِضِ وَالْجُنُبِ قِرَاءَةُ مَا يُسْتَحَبُّ تِلَاوَتُهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

المجموع – (ج 2 / ص 164)
(اﻟﻌﺎﺷﺮﺓ) ﺃﺟﻤﻊ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ التسبيح ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻭﻣﺎ ﺳﻮﻯ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺠﻨﺐ ﻭاﻟﺤﺎﺋﺾ ﻭﺩﻻﺋﻠﻪ ﻣﻊ اﻹﺟﻤﺎﻉ ﻓﻲ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﻣﺸﻬﻮﺭﺓ:
ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺟﺮاء اﻟﻘﺮاءﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﺤﺮﻳﻚ اﻟﻠﺴﺎﻥ ﻭاﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ اﻟﻤﺼﺤﻒ ﻭﺇﻣﺮاﺭ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﻓﺠﺎﺋﺰ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻭﺃﺟﻤﻊ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ التسبيح ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭﺳﺎﺋﺮ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻏﻴﺮ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺤﺎﺋﺾ ﻭاﻟﻨﻔﺴﺎء ﻭﻗﺪ ﺗﻘﺪﻡ ﺇﻳﻀﺎﺡ ﻫﺬا ﻣﻊ ﺟﻤﻞ ﻣﻦ اﻟﻔﺮﻭﻉ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻐﺴﻞ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.

مغني المحتاج – (ج 1 / ص 217)
(وَتَحِلُّ) لِجُنُبٍ (أَذْكَارُهُ) وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ (لَا بِقَصْدِ قُرْآنٍ) كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ: {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ} [الزخرف: 13] أَيْ مُطِيقِينَ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156] وَلَا مَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ، فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حَرُمَ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ فِي الدَّقَائِقِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ، قَالَهُ الْمُصَنِّفُ وَغَيْرُهُ. وَظَاهِرٌ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدْ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ، وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ، وَمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ وَهُوَ كَذَلِكَ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلُ الرَّوْضَةِ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ، وَلَوْ عَبَّرَ الْمُصَنِّفُ بِهَا هُنَا كَانَ أَوْلَى لِيَشْمَلَ مَا قَدَّرْتُهُ، بَلْ أَفْتَى شَيْخِي بِأَنَّهُ لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ جَمِيعَهُ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ جَازَ

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي – (ص 52) بيروت – دار الفكر
وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلَى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الِإطْلَاقِ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا بِقَصْدِ غَيْرِ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ.

الموسوعة الفقهية الكويتية ـ (ج 18 / ص 322)
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ، وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ، هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ، فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ.

شرح الياقوت النفيس ـ (ج 1 / ص 116)
حمل المصحف للتعلم
قال أحد العلماء المعاصرين، في حديث عن الطالبات التي يضطررن إلى حمل المصحف للدراسة، وهن حائضات، أنه يجوز لهن ذلك، مستدلا بقول ابن تيمية. والذي يظهر لي، أن الطالبة إذا استطاعت أن تستعين بمن هي طاهرة، من زميلاتها، لتحتمل لها المصحف، وتكون قراءتها بنية التعليم، لأنه لايجوز لها حمله. ولعل العالم المذكور أخذ بقول الظاهرية، الذي يجوزون ذلك، متأولين قوله تعالى: “المطهرون” بأنهم المسلمون أوالملائكة. وفي ظلال القرأن لسيد قطب، تحقيق وفهم عجيب، يستأنس به في هذا المجال. فهذه الأقوال وأمثالها، تحمل هذه الطالبة في جواز حمل المصحف وهي حائض. ولكن إجماع غالبية الفقهاء يمنعها من ذلك.