Konflik Kepentingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pasir Sungai
Deskripsi Masalah:
Pembangunan rumah individu mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, didorong oleh perkembangan lapangan kerja yang maju dan peningkatan pendapatan ekonomi. Di sisi lain, ketersediaan bahan bangunan semakin terbatas. Sebagai alternatif, sebagian masyarakat mengambil pasir dari sungai. Sungai sendiri merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia, tidak hanya untuk irigasi tetapi juga mengandung berbagai sumber daya alam yang bermanfaat, termasuk pasir yang menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian penambang. Ironisnya, beberapa penambang pasir mengklaim kepemilikan atas area sungai tertentu dan melarang orang lain untuk mengambil pasir di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa tanah di tepi sungai adalah milik mereka.
Pertanyaan:
- Benarkah pasir yang ada dalam sungai yang terletak di kanan-kiri tanah milik seseorang milik orang tersebut.?
- Bagaimana hukum penambang pasir yang melarang orang lain untuk mengambilnya dengan alasan di atas
- Bagaimana jika orang lain mengambil pasir tersebut?
Waalaikumsalam
Jawaban.No.1
Menurut Hukum Islam
Tidak benar secara mutlak bahwa pasir yang ada di dalam sungai yang terletak di kanan-kiri tanah milik seseorang otomatis menjadi milik orang tersebut. Dalam perspektif fikih, air sungai adalah milik bersama (mubah) dan semua orang berhak memanfaatkannya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik:
النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
“Manusia berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput, dan api.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Kitab Ahkam, Bab Al-Hurum, nomor hadis 2471.
Imam Ibnu Majah sendiri menilai sanad hadis ini sebagai jayyid , yang berarti baik.
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa, sumber daya alam seperti air sungai pada dasarnya adalah untuk kepentingan umum dan tidak dapat dikuasai secara eksklusif oleh individu hanya karena kepemilikan tanah di tepiannya.
Meskipun demikian, ada beberapa detail yang perlu diperhatikan dalam fikih yaitu:
Hak Mendahului (Sabq): Jika seseorang atau suatu kaum pertama kali memanfaatkan air sungai untuk mengairi tanahnya dan air tersebut menjadi terbatas, maka mereka lebih berhak atas air tersebut hingga batas yang wajar (disebutkan dalam referensi hingga “dua telapak tangan”).
Pemanfaatan Skala Kecil: Pengambilan air atau mungkin juga pasir dalam skala kecil untuk kebutuhan pribadi dan tidak merugikan orang lain atau lingkungan mungkin memiliki pandangan yang lebih toleran dalam batasan urf (kebiasaan setempat) yang tidak bertentangan dengan prinsip umum.
Menurut Hukum Positif Indonesia:
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, kepemilikan tanah di tepi sungai tidak memberikan hak kepemilikan atas sumber daya alam di dalam sungai, termasuk pasir. Sungai dan isinya adalah milik negara.
Jawaban.No.2
Menurut Hukum Islam.
Tindakan penambang pasir yang melarang orang lain mengambil pasir dari sungai hanya dengan alasan kepemilikan tanah di tepi sungai tidak memiliki dasar yang kuat dalam fikih. Mengingat prinsip bahwa air sungai (dan sumber daya di dalamnya) adalah milik bersama, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk menghalang-halangi orang lain memanfaatkannya, kecuali dalam kondisi yang sangat spesifik seperti hak mendahului dalam pengairan.
Jika pelarangan tersebut disertai dengan tindakan yang merugikan atau melampaui batas, maka hal itu dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Menurut Hukum Positif Indonesia:
Tindakan penambang pasir yang melarang orang lain mengambil pasir dari sungai dengan alasan kepemilikan tanah di tepi sungai adalah tidak memiliki dasar hukum. Mereka tidak memiliki hak eksklusif atas sumber daya alam di dalam sungai.
Jika tindakan pelarangan tersebut disertai dengan paksaan atau ancaman, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum dan pihak yang dirugikan dapat melaporkannya kepada pihak berwenang.
Jawaban. No.3
Menurut Hukum Islam :
Jika orang lain mengambil pasir dari sungai, hukumnya akan bergantung pada beberapa faktor:
-Skala Pengambilan: Pengambilan dalam skala kecil untuk kebutuhan pribadi mungkin ditoleransi dalam batasan urf selama tidak merugikan lingkungan atau kepentingan umum.
-Dampak Lingkungan: Pengambilan pasir dalam skala besar yang merusak lingkungan sungai dan ekosistemnya akan dilarang dalam Islam berdasarkan prinsip dharar (bahaya) dan larangan merusak alam.
-Izin dari Penguasa (Pemerintah): Dalam konteks modern, di mana pengelolaan sumber daya alam diatur oleh negara, mengambil pasir tanpa izin dari pihak yang berwenang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap regulasi yang ditetapkan untuk ketertiban dan kemaslahatan umum.
Menurut Hukum Positif Indonesia:
Jika orang lain mengambil pasir dari sungai tanpa izin yang sah dari pihak berwenang (pemerintah), maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai penambangan ilegal. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam.
Sanksi bagi penambangan ilegal dapat berupa teguran, penghentian kegiatan, denda, hingga pidana, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam.
Kesimpulan dengan Mengintegrasikan Hukum Islam dan Hukum Positif:
Baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, sungai dan sumber daya alam di dalamnya, termasuk pasir, pada dasarnya adalah untuk kepentingan umum. Kepemilikan tanah di tepi sungai tidak secara otomatis memberikan hak kepemilikan eksklusif atas pasir di dalamnya. Melarang orang lain mengambil pasir hanya dengan alasan kepemilikan tanah tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Pengambilan pasir dari sungai, terutama dalam skala besar, harus dilakukan dengan izin yang sah dari pihak berwenang dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Penambangan ilegal dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penting untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam sungai, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan umum sebagaimana ditekankan dalam ajaran Islam dan hukum positif.
Referensi
حاشية الجمل، ٣/٥٧٤و (القليوبي، ٢/٣١١) و (ضوء البدر، ١٤-٩) و (المحلي بهامش حاشيتان قليوبي وعميرة، ٢/١٦)
(والماء المباح) كالنهر والوادي والسيل (يستوي الناس فيه) بأن يأخذ كل منهم ما يشاء منه لغير الناس شركاء في ثلاثة في الماء والكلأ والنار رواه ابن ماجه بإسناد جيد (فإن أراد قوم سقي أرضهم منه) أي من الماء المباح (فضاق) الماء عنهم وبعضهم أحيا أولاً (سبق الأول) فالأول فيحيي كل منهم الماء (إلى) أن يبلغ (الكفين) لأنه قضى بذلك رواه أبو داود بإسناد حسن والحاكم وصححه على شرط الشيخين (ويُفرز كل من مرتفع ومنخفض بسقيه) بأن يسقي أحدهما حتى يبلغ الكفين، ثم يسد، ثم يسقي الآخر، وخرج بئر ضاق ماؤها إذا كان يفي بالجميع فيسقى من شاء منهم متى شاء وتغييري بالأول أولى من تغييره بالأعلى ومن عبر بالاقرب جرى على الغالب من أن من أحيا بقعة يخرص على قربها من الماء فمن لما فيه من سهولة السقي وخفة المؤونة وقرب الغراس من الماء ومن هنا يُقدَّم الأقرب إلى النهر إن أحيوا دفعة أو جهل السابق، ولا يبعد القول بإقراء ذكره الأذرعي (وما أخذ منه) أي من الماء المباح بيد أو ظرف كإناء أو حوض مسدود فهو أعم من قوله في إناء (ملك) كالاختلاط والاحتشاش ولو رده إلى محله لم يصر شريكاً به وخرج بأخذ الماء المباح الداخل في نهر فحفر فإنه باق على إباحته لكن مالك النهر أحق به كالسيل يدخل في ملكه قوله كالنهر والوادي إلخ. قال في الروض وعمارة هذه الأنهار من بيت المال ولكل بناء قنطرة وركى عليها إن كانت في فوات أو في ملكه، فإن كانت بين العمران فالقنطرة كالحفر للبئر في الشرع للمسلمين والرحى يجوز بناؤها إن لم تضر بالملاك. اهـ وانظر حيث جاز بناء الرحى هل يشكل بنائه تصرف في حريم النهر، وهو ممتنع، وإن كان في موات إلا أن يفرض البناء في غير حريمه أو يقال الممتنع بناء حريمه للمالك لا للانتفاع به، ولو بينا بناء الرحى حيث لا يضر ويضر هذا أقرب فليحرر اهـ. (قوله يستوي الناس فيه) أي فلا يملك بإقطاع ولا يثبت فيه تحجر وكذا حكم حائقي النهر فلا يجوز للإمام بيع شيء منه ولا إقطاعه، وقد عمت البلوى بالبناء على حافتي النهر كما عمت بالبناء في القرافة وهى المسنة.
Hasyiyah al-Jamal, 3/574 dan (al-Qalyubi, 2/311) dan (Dhaw’ al-Badr, 9-14) dan (al-Mahalli dengan catatan kaki Hasyiyatan Qalyubi wa ‘Umairah, 2/16)
(Air yang mubah) seperti sungai, lembah, dan air bah (manusia sama di dalamnya) yaitu setiap orang boleh mengambil sekehendaknya darinya untuk selain Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik (Jika suatu kaum ingin mengairi tanah mereka darinya) yaitu dari air yang mubah (lalu air itu sempit) bagi mereka dan sebagian mereka menghidupkan tanah lebih dahulu (maka yang pertama lebih berhak) maka yang pertama lebih berhak menghidupkan seluruh air (hingga) mencapai (dua telapak tangan) karena telah diputuskan demikian, diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dan Al-Hakim mensahihkannya sesuai syarat Bukhari dan Muslim (dan setiap orang dari tempat tinggi maupun rendah menyiram dengan giliran) yaitu salah seorang menyiram hingga mencapai dua telapak tangan, kemudian menutupnya, lalu yang lain menyiram, dan dikecualikan sumur yang airnya sedikit jika mencukupi untuk semua maka boleh disiram oleh siapa saja di antara mereka kapan saja ia mau dan mengubah urutan yang pertama lebih utama daripada mengubah urutan yang atas dan orang yang melewati tempat yang lebih dekat mengikuti kebiasaan bahwa orang yang menghidupkan suatu tempat memperkirakan kedekatannya dengan air maka barang siapa yang di dalamnya terdapat kemudahan menyiram, ringan biaya, dan dekatnya tanaman dengan air maka dari sini didahulukan yang lebih dekat ke sungai jika mereka menghidupkan sekaligus atau tidak diketahui siapa yang lebih dahulu, dan tidak jauh pendapat yang mengatakan dengan memberi izin sebagaimana yang disebutkan Al-Adzra’i (dan apa yang diambil darinya) yaitu dari air yang mubah dengan tangan atau wadah seperti bejana atau kolam tertutup maka ini lebih umum dari perkataannya dalam bejana (adalah milik) seperti bercampur dan berkumpul meskipun ia mengembalikannya ke tempatnya maka ia tidak menjadi sekutu di dalamnya dan dikecualikan mengambil air mubah yang masuk ke sungai lalu menggali maka ia tetap dalam kemubahannya akan tetapi pemilik sungai lebih berhak atasnya seperti air bah masuk ke dalam miliknya perkataannya seperti sungai dan lembah dll. Berkata dalam Ar-Raudh dan Umairah sungai-sungai ini dari Baitul Mal dan setiap bangunan jembatan dan bendungannya di atasnya jika berada di tanah yang tidak bertuan atau miliknya, maka jika berada di antara permukiman maka jembatan itu seperti menggali sumur dalam syariat untuk kaum muslimin dan kincir air boleh dibangun jika tidak membahayakan pemiliknya. Selesai. Dan perhatikan di mana boleh membangun kincir air apakah pembangunannya termasuk tasarruf (penggunaan) di sempadan sungai yang dilarang, dan jika di tanah yang tidak bertuan kecuali jika pembangunan itu di luar sempadannya atau dikatakan yang dilarang adalah membangun sempadannya untuk pemilik bukan untuk memanfaatkannya, dan jika kita menjelaskan pembangunan kincir air di tempat yang tidak membahayakan dan membahayakan ini lebih dekat maka hendaknya diteliti. Selesai. (Perkataannya manusia sama di dalamnya) yaitu maka tidak dimiliki dengan pemberian dan tidak tetap di dalamnya penguasaan dan demikian pula hukum dinding sungai maka tidak boleh bagi imam menjual sesuatu darinya atau memberikannya, dan sungguh telah merata musibah pembangunan di tepi sungai sebagaimana merata pembangunan di kuburan yaitu tempat penguburan yang lama.Wallahu a’lam bishawab