Gadai Pohon Mati Akibat Kelalaian Murtahin
Deskripsi Masalah
Ahmad menggadaikan (rahn) sebatang pohon berbuah atau pohon lainnya kepada Rohman. Sebagai penerima gadai (murtahin), Rohman memelihara pohon tersebut dengan memberikan pupuk dengan harapan pohon itu dapat berbuah, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan akad gadai (jika ada kesepakatan demikian). Namun, karena Rohman memberikan pupuk secara berlebihan tanpa mengikuti aturan pakai, pohon tersebut menjadi mati.
Pertanyaannya
Apakah si Rohman wajib mengembalikan uang gadai nya pada si Ahmad. mohon
jawabannya🙏🙏🙏
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Mengenai kasus pegadaian pohon berbuah antara Ahmad dan Rohman, di mana pohon tersebut mati karena kesalahan Rohman dalam memberikan pupuk, berikut penjelasannya berdasarkan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam:
Analisis Situasi:
- Akad Gadaian (Rahn): Transaksi antara Ahmad dan Rohman adalah akad rahn atau gadai. Dalam akad ini, Ahmad menyerahkan pohon berbuah sebagai marhun (barang gadai) kepada Rohman sebagai murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas sejumlah uang (marhun bih).
- Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai): Sebagai pemegang barang gadai, Rohman memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara marhun dengan baik. Kelalaian atau tindakan yang menyebabkan kerusakan atau hilangnya marhun menjadi tanggung jawab murtahin.
- Kerusakan karena Tindakan Murtahin: Dalam kasus ini, matinya pohon disebabkan oleh pemberian pupuk yang berlebihan oleh Rohman. Ini menunjukkan adanya kelalaian atau kesalahan dari pihak Rohman dalam pemeliharaan barang gadai.
Hukum Mengembalikan Uang Gadai:
Berdasarkan prinsip tanggung jawab dalam akad gadai, jika marhun (barang gadai) rusak atau hilang karena kelalaian atau tindakan murtahin (penerima gadai), maka: - Rohman (Murtahin) wajib mengganti kerugian yang dialami Ahmad (Rahin). Kerugian dalam hal ini adalah nilai pohon yang mati.
- Mengenai uang gadai (marhun bih) yang telah diterima Rohman, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
- Pendapat Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa karena barang gadai telah rusak akibat kelalaian murtahin, maka murtahin tidak berhak atas uang gadai tersebut. Uang gadai harus dikembalikan sepenuhnya kepada rahin. Kerugian atas matinya pohon dianggap menggantikan hak murtahin untuk menahan barang gadai sebagai jaminan.
- Pendapat Kedua: Sebagian ulama lain berpendapat bahwa akad gadai tetap sah meskipun barang gadai rusak atau hilang karena kelalaian murtahin. Dalam hal ini, murtahin tetap berhak atas pelunasan utang (uang gadai). Namun, murtahin wajib mengganti nilai barang gadai yang rusak kepada rahin. Setelah penggantian kerugian, sisa uang gadai (jika ada) dikembalikan kepada rahin, atau jika nilai kerugian sama atau lebih besar dari uang gadai, maka utang dianggap lunas dan murtahin mungkin masih harus membayar selisihnya.
Pendapat yang Lebih Kuat dan Hati-hati:
Pendapat yang lebih kuat dan lebih berhati-hati dalam kasus ini adalah pendapat pertama, yaitu Rohman wajib mengembalikan uang gadai sepenuhnya kepada Ahmad. Alasan utamanya adalah karena kerusakan marhun disebabkan oleh kelalaian Rohman sendiri. Dengan hilangnya marhun karena kesalahannya, hak Rohman untuk menahan barang sebagai jaminan menjadi gugur. Mengembalikan uang gadai dan menanggung kerugian atas matinya pohon adalah bentuk keadilan bagi kedua belah pihak.
Kesimpulan Jawaban:
Dalam kasus ini, Rohman wajib mengembalikan uang gadai sepenuhnya kepada Ahmad. Selain itu, Rohman juga bertanggung jawab atas kerugian yang dialami Ahmad akibat matinya pohon yang disebabkan oleh kesalahan Rohman dalam memberikan pupuk.
Berikut beberapa referensi kitab fikih yang membahas tentang tanggung jawab murtahin (penerima gadai) terhadap kerusakan marhun (barang gadai) beserta teks Arabnya. Namun, perlu diingat bahwa pembahasan spesifik mengenai kasus pohon mati karena kesalahan pemupukan mungkin tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi, prinsip umum tanggung jawab atas kerusakan karena kelalaian akan dibahas dalam bab rahn (gadai).
Dalam Kitab Al-Muwatta’ Imam Malik:
Kitab ini merupakan salah satu kitab hadis dan fikih terawal. Meskipun tidak secara detail membahas kasus di atas, prinsip tanggung jawab dalam akad gadai dapat ditemukan di dalamnya.
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ عَارِيَةٌ إِذَا هَلَكَتْ وَلَمْ يَضْمَنْهَا». قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ ضَمَانٌ فِي الْعَارِيَةِ إِذَا هَلَكَتْ عِنْدَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَسَاءَ اسْتِعْمَالَهَا أَوْ تَعَدَّى فِيهَا. قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَارِيَةِ وَالْوَدِيعَةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَالْأَجِيرِ الْخَاصِّ الَّذِي يَسْتَأْجِرُهُ الرَّجُلُ عَلَى أَنْ يَعْمَلَ لَهُ عَمَلًا مُسَمًّى وَيَكُونَ الْأَجِيرُ أَمِينًا. قَالَ مَالِكٌ: وَأَمَّا الرَّاهِنُ فَهُوَ ضَامِنٌ لِرَهْنِهِ إِذَا هَلَكَ عِنْدَ الْمُرْتَهِنِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ مِنْ الْمُرْتَهِنِ. وَإِنْ هَلَكَ بِذَنْبٍ مِنْ الْمُرْتَهِنِ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ.
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada tanggungan atas peminjam barang pinjaman jika ia rusak dan ia tidak menjaminnya.” Malik berkata: “Ketentuan di sisi kami adalah bahwa peminjam tidak menanggung ganti rugi atas barang pinjaman jika rusak di tangannya kecuali jika ia buruk dalam penggunaannya atau melampaui batas.” Malik berkata: “Ketentuan ini berlaku bagi barang pinjaman, titipan, mudharabah, dan pekerja khusus yang dipekerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu dan pekerja tersebut amanah.” Malik berkata: “Adapun orang yang menggadaikan, ia bertanggung jawab atas barang gadainya jika rusak di tangan penerima gadai tanpa kesalahan dari penerima gadai. Dan jika rusak karena kesalahan dari penerima gadai, maka ia bertanggung jawab atasnya.”
Penjelasan :
Imam Malik menjelaskan prinsip bahwa murtahin bertanggung jawab atas kerusakan marhun jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kesalahannya. Kasus pemberian pupuk berlebihan yang menyebabkan kematian pohon termasuk dalam kategori “kesalahan dari penerima gadai.”
Dalam Kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i:
Kitab ini merupakan salah satu sumber utama mazhab Syafi’i. Pembahasan tentang rahn dan tanggung jawab murtahin terdapat di dalamnya.
Referensi
الأم ج. ٣ ص ١٧٠-١٧١
فَإِذَا رَهَنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ شَيْئًا فَقَبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ الْقَابِضِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَالْحَقُّ ثَابِتٌ كَمَا كَانَ قَبْلَ الرَّهْنِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ): لَا يَضْمَنُ الْمُرْتَهِنُ، وَلَا الْمَوْضُوعُ عَلَى يَدَيْهِ الرَّهْنُ مِنْ الرَّهْنِ شَيْئًا إلَّا فِيمَا يَضْمَنَانِ فِيهِ الْوَدِيعَةَ وَالْأَمَانَاتِ مِنْ التَّعَدِّي فَإِنْ تَعَدَّيَا فِيهِ فَهُمَا ضَامِنَانِ، وَمَا لَمْ يَتَعَدَّيَا فَالرَّهْنُ بِمَنْزِلَةِ الْأَمَانَةِ.
فَإِذَا دَفَعَ الرَّاهِنُ إلَى الْمُرْتَهِنِ الرَّهْنَ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ أَنْ يَرُدَّهُ إلَيْهِ فَامْتَنَعَ الْمُرْتَهِنُ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْهِ لَمْ يَضْمَنْ شَيْئًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ كَانَ لَهُ. وَإِذَا قَضَى الرَّاهِنُ الْمُرْتَهِنَ الْحَقَّ أَوْ أَحَالَهُ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَرَضِيَ الْمُرْتَهِنُ بِالْحَوَالَةِ أَوْ أَبْرَأَهُ الْمُرْتَهِنُ مِنْهُ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ مِنْ الْبَرَاءَةِ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّهْنَ فَحَبَسَهُ عَنْهُ، وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يُؤَدِّيَهُ إلَيْهِ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ الْمُرْتَهِنِ فَالْمُرْتَهِنُ ضَامِنٌ لِقِيمَةِ الرَّهْنِ بَالِغَةً مَا بَلَغَتْ إلَّا أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ كَيْلًا أَوْ وَزْنًا يُوجَدُ مِثْلُهُ فَيَضْمَنُ مِثْلَ مَا هَلَكَ فِي يَدَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُتَعَدٍّ بِالْحَبْسِ. وَإِنْ كَانَ رَبُّ الرَّهْنِ آجَرَهُ فَسَأَلَ الْمُرْتَهِنَ أَخْذَهُ مِنْ عِنْدِ مَنْ آجَرَهُ وَرَدَّهُ إلَيْهِ فَلَمْ يُمْكِنْهُ ذَلِكَ أَوْ كَانَ الرَّهْنُ غَائِبًا عَنْهُ بِعِلْمِ الرَّاهِنِ فَهَلَكَ فِي الْغَيْبَةِ بَعْدَ بَرَاءَةِ الرَّاهِنِ مِنْ الْحَقِّ، وَقَبْلَ تَمَكُّنِ الْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرُدَّهُ لَمْ يَضْمَنْ.
وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عَبْدًا فَأَبَقَ أَوْ جَمَلًا فَشَرَدَ ثُمَّ بَرِئَ الرَّاهِنُ مِنْ الْحَقِّ لَمْ يَضْمَنْ الْمُرْتَهِنُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْبِسْهُ وَرَدُّهُ يُمْكِنُهُ، وَالصَّحِيحُ مِنْ الرَّهْنِ وَالْفَاسِدُ فِي أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ سَوَاءٌ كَمَا تَكُونُ الْمُضَارَبَةُ الصَّحِيحَةُ وَالْفَاسِدَةُ فِي أَنَّهَا غَيْرُ مَضْمُونَةٍ سَوَاءٌ، وَلَوْ شَرَطَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ إنْ هَلَكَ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا، كَمَا لَوْ قَارَضَهُ أَوْ أَوْدَعَهُ فَشَرَطَ أَنَّهُ ضَامِنٌ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا. وَإِذَا دَفَعَ الرَّاهِنُ الرَّهْنَ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ ضَامِنٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ، وَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ إنْ هَلَكَ، وَكَذَلِكَ إذَا ضَارَبَهُ عَلَى أَنَّ الْمُضَارِبَ ضَامِنٌ فَالْمُضَارَبَةُ فَاسِدَةٌ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ.
وَكَذَلِكَ لَوْ رَهَنَهُ وَشَرَطَ لَهُ إنْ لَمْ يَأْتِهِ بِالْحَقِّ إلَى كَذَا فَالرَّهْنُ لَهُ بَيْعٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ وَالرَّهْنُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ، وَكَذَلِكَ إنْ رَهَنَهُ دَارًا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ أَجْنَبِيٌّ دَارِهِ إنْ عَجَزَتْ دَارُ فُلَانٍ عَنْ حَقِّهِ أَوْ حَدَثَ فِيهَا حَدَثٌ يُنْقِصُ حَقَّهُ؛ لِأَنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ مَرَّةً رَهْنٌ، وَمَرَّةً غَيْرُ رَهْنٍ، وَمَرْهُونَةٌ بِمَا لَا يُعْرَفُ وَيَفْسُدُ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا زِيدَ مَعَهُ شَيْءٌ فَاسِدٌ. وَلَوْ كَانَ رَهَنَهُ دَارِهِ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَضْمَنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ دَارِهِ إنْ حَدَثَ فِيهَا حَدَثٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ لَمْ يَرْضَ بِالرَّهْنِ إلَّا عَلَى أَنْ يَكُونَ لَهُ مَضْمُونًا، وَإِنْ هَلَكَتْ الدَّارُ لَمْ يَضْمَنْ الْمُرْتَهِنُ شَيْئًا.
Al-Umm Jilid 3, halaman 170-171,
Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain, lalu penerima gadai menerimanya dan barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka tidak ada tanggungan atas penerima gadai, dan hak tetap seperti sebelum adanya gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Penerima gadai dan pihak yang dititipi barang gadai tidak menanggung ganti rugi atas barang gadai sedikit pun kecuali dalam hal-hal di mana mereka menanggung ganti rugi atas titipan dan amanah, yaitu karena tindakan melampaui batas. Jika mereka melampaui batas dalam hal tersebut, maka mereka berdua wajib mengganti rugi. Dan selama mereka tidak melampaui batas, maka barang gadai kedudukannya seperti amanah.
Jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai, kemudian pemberi gadai meminta agar barang itu dikembalikan kepadanya, lalu penerima gadai menolak, kemudian barang gadai itu rusak di tangannya, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi sedikit pun; karena hal itu adalah haknya (untuk menahan gadai).
Dan jika pemberi gadai telah melunasi hak penerima gadai atau mengalihkannya kepada orang lain dan penerima gadai setuju dengan pengalihan tersebut atau penerima gadai membebaskannya dari utang dengan cara apa pun, kemudian pemberi gadai meminta barang gadai tersebut lalu penerima gadai menahannya padahal ia mampu untuk mengembalikannya, kemudian barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka penerima gadai wajib mengganti nilai barang gadai tersebut berapapun nilainya, kecuali jika barang gadai itu berupa barang yang ditakar atau ditimbang yang ada persamaannya, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa dengan apa yang rusak di tangannya; karena ia telah melampaui batas dengan menahannya.
Dan jika pemilik barang gadai menyewakannya lalu meminta penerima gadai untuk mengambilnya dari penyewa dan mengembalikannya kepadanya namun ia tidak mampu melakukannya, atau barang gadai itu tidak ada di sisinya dengan sepengetahuan pemberi gadai lalu rusak dalam ketiadaan setelah pemberi gadai bebas dari utang, dan sebelum penerima gadai mampu mengembalikannya, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi.
Demikian pula jika barang gadai itu berupa budak lalu melarikan diri atau unta lalu tersesat, kemudian pemberi gadai bebas dari utang, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi; karena ia tidak menahannya dan mengembalikannya adalah mungkin baginya.
Hukum gadai yang sah dan yang fasid adalah sama dalam hal tidak adanya tanggungan ganti rugi, sebagaimana mudharabah yang sah dan yang fasid adalah sama dalam hal tidak adanya tanggungan ganti rugi. Dan jika pemberi gadai mensyaratkan kepada penerima gadai bahwa ia bertanggung jawab atas barang gadai jika rusak, maka syarat tersebut batal, sebagaimana jika ia memberikan pinjaman atau titipan lalu mensyaratkan bahwa pihak yang dipinjami atau dititipi bertanggung jawab, maka syarat tersebut batal. Dan jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai dengan syarat bahwa penerima gadai bertanggung jawab, maka gadai tersebut fasid (rusak), dan barang gadai itu tidak dijamin jika rusak. Demikian pula jika ia melakukan mudharabah dengan syarat bahwa pengelola mudharabah bertanggung jawab, maka mudharabah tersebut fasid dan tidak dijamin.
Demikian pula jika ia menggadaikan sesuatu dan mensyaratkan bahwa jika ia tidak datang dengan hak (utang) hingga waktu tertentu, maka barang gadai itu menjadi milik penerima gadai (jual beli), maka gadai tersebut fasid dan barang gadai tetap milik pemiliknya yang menggadaikannya. Demikian pula jika ia menggadaikan rumah dengan seribu (dirham) dengan syarat bahwa orang lain akan menggadaikan rumahnya jika rumah si fulan tidak mencukupi haknya atau terjadi sesuatu padanya yang mengurangi haknya; karena rumah yang lain itu terkadang menjadi gadai dan terkadang tidak, dan digadaikan dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka gadai tersebut fasid; karena ditambahkan padanya sesuatu yang fasid. Dan jika ia menggadaikan rumahnya dengan seribu (dirham) dengan syarat bahwa penerima gadai akan menjamin rumahnya jika terjadi sesuatu padanya, maka gadai tersebut fasid; karena pemberi gadai tidak ridha dengan gadai kecuali dengan adanya jaminan, dan jika rumah itu rusak, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi sedikit pun.
Referensi
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج١٣ص٢٣٥-٢٣٦
ب – تَعَدِّي الْمُرْتَهِنِ:
٧ – ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ: إِِلَى أَنَّ الرَّهْنَ إِنْ هَلَكَ بِنَفْسِهِ فَإِِنَّهُ يَهْلِكُ مَضْمُونًا بِالدَّيْنِ، وَكَذَلِكَ لَوِ اسْتَهْلَكَهُ الْمُرْتَهِنُ؛ لأَِنَّهُ لَوْ أَتْلَفَ مَمْلُوكًا مُتَقَوِّمًا بِغَيْرِ إِذْنِ مَالِكِهِ، فَيَضْمَنُ مِثْلَهُ أَوْ قِيمَتَهُ، كَمَا لَوْ أَتْلَفَهُ أَجْنَبِيٌّ وَكَانَ رَهْنًا مَكَانَهُ.
وَفَرَّقَ الْمَالِكِيَّةُ بَيْنَ مَا يُغَابُ عَلَيْهِ: أَيْ مَا يُمْكِنُ إِخْفَاؤُهُ كَبَعْضِ الْمَنْقُولاَتِ، وَمَا لاَ يُغَابُ عَلَيْهِ، كَالْعَقَارِ وَالسَّفِينَةِ وَالْحَيَوَانِ، فَأَوْجَبُوا الضَّمَانَ فِي الأَْوَّل – دُونَ الثَّانِي بِشَرْطَيْنِ:
الأَْوَّل: أَنْ يَكُونَ بِيَدِهِ، لاَ أَنْ يَكُونَ بِيَدِ أَمِينٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ لاَ تَشْهَدَ بَيِّنَةٌ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى التَّلَفِ أَوِ الضَّيَاعِ، بِغَيْرِ سَبَبِهِ، وَغَيْرِ تَفْرِيطِهِ. (٢)
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: إِِلَى أَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، وَأَنَّهُ لاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ إِنْ هَلَكَ بِيَدِهِ، إِلاَّ إِِذَا تَعَدَّى عَلَيْهِ، أَوْ فَرَّطَ فِي حِفْظِهِ. وَعَلَى هَذَا: فَالْفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ بِتَعَدِّيهِ عَلَيْهِ أَوْ تَفْرِيطِهِ فِي حِفْظِهِ.
ثَالِثًا: التَّعَدِّي فِي الْعَارِيَّةِ:
٨ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ: عَلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ بِالتَّعَدِّي وَالتَّفْرِيطِ مِنَ الْمُسْتَعِيرِ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ (١)
أَمَّا إِِذَا هَلَكَتْ بِلاَ تَعَدٍّ وَلاَ تَفْرِيطٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي ذَلِكَ.
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ: إِِلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ إِنْ هَلَكَتْ مِنْ غَيْرِ تَعَدٍّ وَلاَ تَفْرِيطٍ مِنْهُ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ غَيْرِ الْمُغِل ضَمَانٌ، (٢) وَلأَِنَّهُ قَبَضَهَا بِإِِذْنِ مَالِكِهَا فَكَانَتْ أَمَانَةً كَالْوَدِيعَةِ، وَهُوَ: قَوْل الْحَسَنِ وَالنَّخَعِيِّ، وَالشَّعْبِيِّ، وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالثَّوْرِيِّ. وَالأَْوْزَاعِيِّ، وَابْنِ شُبْرُمَةَ.
وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي تَضْمِينِ الْمُسْتَعِيرِ: مَا إِِذَا لَمْ يَظْهَرْ سَبَبُ هَلاَكِ الْعَارِيَّةِ، وَكَانَتْ مِمَّا يُغَابُ عَلَيْهِ، فَإِِنْ قَامَتْ بَيِّنَةٌ عَلَى تَلَفِهَا أَوْ ضَيَاعِهَا بِدُونِ سَبَبِهِ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: إِِلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ مُطْلَقًا، تَعَدَّى الْمُسْتَعِيرُ، أَوْ لَمْ يَتَعَدَّ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ، (١) وَعَنْ صَفْوَانَ: أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَارَ مِنْهُ يَوْمَ حُنَيْنٍ أَدْرَاعًا، فَقَال: أَغَصْبًا يَا مُحَمَّدُ؟ قَال: بَل عَارِيَّةً مَضْمُونَةٌ. (٢) وَهُوَ: قَوْل عَطَاءٍ، وَإِِسْحَاقَ، وَأَشْهَبَ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. (٣)
Halaman 235-236 dari Jilid 13 dari Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait) :
B. Tindakan Melampaui Batas oleh Penerima Gadai (Murtahin):
7 – Mazhab Hanafi: Berpendapat bahwa jika barang gadai musnah dengan sendirinya, maka ia musnah dalam keadaan terjamin dengan utang. Demikian pula jika penerima gadai menghabiskannya, karena jika ia merusak milik orang lain yang bernilai tanpa izin pemiliknya, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa atau nilainya, sebagaimana jika dirusak oleh pihak ketiga dan menjadi pengganti barang gadai tersebut.
Mazhab Maliki membedakan antara barang yang bisa disembunyikan (yaitu barang bergerak tertentu) dan barang yang tidak bisa disembunyikan (seperti properti, kapal, dan hewan). Mereka mewajibkan ganti rugi pada jenis yang pertama dengan dua syarat:
Pertama: Barang tersebut berada di tangannya (penerima gadai), bukan di tangan seorang yang terpercaya.
Kedua: Tidak ada bukti yang mendukung penerima gadai atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut tanpa sebab darinya dan tanpa kelalaiannya. (Catatan kaki 2)
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Berpendapat bahwa barang gadai adalah amanah di tangan penerima gadai, dan ia tidak bertanggung jawab jika barang tersebut musnah di tangannya, kecuali jika ia melampaui batas (berbuat aniaya) atau lalai dalam menjaganya.
Berdasarkan hal ini: Para fuqaha sepakat bahwa penerima gadai bertanggung jawab atas barang gadai jika ia melampaui batas terhadapnya atau lalai dalam menjaganya.
C. Tindakan Melampaui Batas dalam Pinjaman (‘Ariyah):
8 – Para Fuqaha Sepakat: Bahwa barang pinjaman dijamin (wajib diganti) jika terjadi tindakan melampaui batas atau kelalaian dari peminjam, berdasarkan hadis Samurah bin Jundub RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Atas tangan apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya (mengembalikannya).” (Catatan kaki 1)
Adapun jika barang pinjaman musnah tanpa adanya tindakan melampaui batas atau kelalaian, maka para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini.
Mazhab Hanafi dan Maliki: Berpendapat bahwa jika barang pinjaman musnah tanpa adanya tindakan melampaui batas atau kelalaian dari peminjam, maka ia tidak wajib menggantinya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada kewajiban ganti rugi bagi peminjam selain dari hasil (keuntungan)nya.” (Catatan kaki 2) Dan karena peminjam menerimanya dengan izin pemiliknya, maka ia menjadi amanah seperti titipan. Ini adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ibnu Syubrumah.
Mazhab Maliki menambahkan kewajiban ganti rugi bagi peminjam jika sebab kerusakan barang pinjaman tidak jelas dan barang tersebut termasuk jenis yang bisa disembunyikan. Namun, jika ada bukti atas kerusakan atau kehilangannya tanpa sebab dari peminjam, maka ia tidak wajib menggantinya.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Berpendapat bahwa barang pinjaman dijamin secara mutlak, baik peminjam melampaui batas maupun tidak, berdasarkan hadis Samurah: “Atas tangan apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya (mengembalikannya).” (Catatan kaki 1) Dan dari Shafwan: Bahwa Nabi SAW meminjam darinya beberapa baju besi pada perang Hunain, lalu Shafwan bertanya: “Apakah ini perampasan, wahai Muhammad?” Beliau menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin.” (Catatan kaki 2) Ini adalah pendapat Atha’, Ishaq, Asyhab dari mazhab Maliki, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah RA.
Demikian jawaban dan penjelasan seputar Gadai semoga bermanfaat. Wallahu A’lam