Dilema Shaf: Memilih antara Keutamaan dan Penghormatan kepada Guru
Assalamualaikum
Deskripsi Situasi:
Seseorang hendak melaksanakan sholat berjamaah. Ia melihat ada ruang kosong di shaf pertama, yang merupakan shaf paling utama dalam sholat berjamaah. Namun, ia juga menyadari bahwa gurunya (seorang yang dihormati dan memiliki ilmu agama) berada di shaf kedua atau belakangnya. Orang ini kemudian merasa ragu dan bimbang, manakah yang lebih utama untuk dipilih: mengisi shaf pertama yang memiliki keutamaan, atau mengedepankan adab dan penghormatan kepada guru dengan tidak mendahuluinya di shaf.
Waalaikumsalam
Pertanyaannya
Lebih utama mana antara memilih shof pertama dalam sholat atau mengedepankan guru
Waalaikumsalam.
Jawaban.
Dalam situasi ini, memilih shaf pertama adalah lebih utama dibandingkan mengedepankan guru dengan tidak mengisi shaf tersebut. Berikut adalah penjelasannya berdasarkan dalil dan kaidah fiqih:
Keutamaan Shaf Pertama:
Terdapat banyak hadis yang menunjukkan keutamaan shaf pertama dalam sholat berjamaah. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang pertama.” (HR. Muslim, No. 440)
Hadis ini secara jelas menunjukkan keunggulan dan keutamaan shaf pertama bagi laki-laki dalam sholat berjamaah.
Hukum Mengutamakan Orang Lain (Al-Itsar) dalam Ibadah:
Para ulama menjelaskan bahwa al-itsar (mengutamakan orang lain) dalam hal ibadah yang memiliki keutamaan yang jelas adalah makruh (tidak disukai). Hal ini karena dalam ibadah, setiap individu dianjurkan untuk berlomba-lomba meraih keutamaan dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengalah dari keutamaan ini dapat dianggap mengurangi kesungguhan dalam meraih pahala.
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah disebutkan:
أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرَبِ مَكْرُوهٌ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الصَّفِّ الأَوَّل فَلَمَّا أُقِيمَتْ آثَرَ بِهِ، وَقَوَاعِدُنَا لاَ تَأْبَاهُ
“Sesungguhnya mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, seperti seseorang berada di shaf pertama lalu ketika shalat akan didirikan, ia mengutamakan orang lain untuk menempati tempatnya, dan kaidah-kaidah kami tidak menolaknya.”
Syaikh Izzuddin bin Abdissalam juga menegaskan:
لاَ إِيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلاَ إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلاَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلاَ بِالصَّفِّ الأَوَّل؛ لأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالإِجْلاَل، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلاَل الإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ.
“Tidak ada mengutamakan dalam hal ibadah, maka tidak ada mengutamakan dalam hal air bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama; karena tujuan dari ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan, maka barang siapa mengutamakan orang lain dalam hal ini, sungguh ia telah meninggalkan pengagungan dan pemuliaan terhadap Ilahi.”
Adab Kepada Guru:
Meskipun menghormati guru adalah suatu kebaikan dan dianjurkan dalam Islam, namun dalam konteks meraih keutamaan ibadah yang telah jelas ketentuannya, maka keutamaan ibadah didahulukan.
Mengisi shaf pertama tidak dianggap sebagai bentuk tidak sopan kepada guru yang berada di shaf belakang. Guru yang memiliki ilmu agama tentu memahami keutamaan shaf pertama dan akan mendorong muridnya untuk meraih keutamaan tersebut.
Kesimpulan:
Maka, Jika seseorang hendak melaksanakan sholat berjamaah sementara Ia melihat ada ruang kosong di shaf pertama, yang merupakan shaf paling utama dalam sholat berjamaah,maka ia lebih utama daripada mengutamakan guru yang berada dishaf kedua atau belakangnya.
Referensi:
الشاملة
كتاب الموسوعة الفقهية الكويتية ج:٣٣ ص: ١٠٣
أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرَبِ مَكْرُوهٌ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الصَّفِّ الأَوَّل فَلَمَّا أُقِيمَتْ آثَرَ بِهِ، وَقَوَاعِدُنَا لاَ تَأْبَاهُ (١) .وَقَال السُّيُوطِيُّ: الإِيثَارُ فِي الْقُرَبِ مَكْرُوهٌ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ، قَال تَعَالَى: {وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ} (٢) .قَال الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ: لاَ إِيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلاَ إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلاَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلاَ بِالصَّفِّ الأَوَّل؛ لأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالإِجْلاَل، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلاَل الإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ. وَقَال الإِمَامُ: لَوْ دَخَل الْوَقْتُ – وَمَعَهُ مَاءٌ يَتَوَضَّأُ بِهِ – فَوَهَبَهُ لِغَيْرِهِ لِيَتَوَضَّأَ بِهِ لَمْ يَجُزْ، لاَ أَعْرِفُ فِيهِ خِلاَفًا؛ لأَنَّ الإِيثَارَ إِنَّمَا يَكُونُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالنُّفُوسِ، لاَ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْقُرَبِ وَالْعِبَادَاتِ. وَقَال النَّوَوِيُّ فِي بَابِ الْجُمُعَةِ: لاَ يُقَامُ أَحَدٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لِيُجْلَسَ فِي مَوْضِعِهِ. فَإِنْ قَامَ بِاخْتِيَارِهِ لَمْ يُكْرَهْ، فَإِنِ انْتَقَل إِلَى أَبْعَدَ مِنَ الإِمَامِ كُرِهَ، قَال أَصْحَابُنَا: لأَنَّهُ آثَرَ بِالْقُرْبَةِ. وَقَال الْقَرَافِيُّ: مَنْ دَخَل عَلَيْهِ وَقْتُ الصَّلاَةِ، وَمَعَهُ مَا يَكْفِيهِ لِطَهَارَتِهِ، وَهُنَاكَ مَنْ يَحْتَاجُهُ لِلطَّهَارَةِ، لَمْ يَجُزْ لَهُ الإِيثَارُ، وَلَوْ أَرَادَ
(١) حاشية ابن عابدين ١ / ٣٨٢ – ٣٨٣.
(٢) سورة الحشر
Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah
Jilid: 33 Halaman:
Sesungguhnya mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, seperti seseorang berada di shaf pertama lalu ketika shalat akan didirikan, ia mengutamakan orang lain untuk menempati tempatnya, dan kaidah-kaidah kami tidak menolaknya (1).
Imam Suyuthi berkata: Mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, dan dalam hal selain ibadah adalah disukai. Allah Ta’ala berfirman: “{Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.}” (2).
Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata: Tidak ada mengutamakan dalam hal ibadah, maka tidak ada mengutamakan dalam hal air bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama; karena tujuan dari ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan, maka barang siapa mengutamakan orang lain dalam hal ini, sungguh ia telah meninggalkan pengagungan dan pemuliaan terhadap Ilahi.
Al-Imam berkata: Jika waktu shalat telah masuk – dan seseorang memiliki air untuk berwudhu – lalu ia menghibahkannya kepada orang lain untuk berwudhu dengannya, maka tidak boleh. Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini; karena mengutamakan itu hanyalah dalam hal yang berkaitan dengan jiwa, bukan dalam hal yang berkaitan dengan ibadah.
Imam Nawawi berkata dalam Bab Jumat: Seseorang tidak boleh disuruh berdiri dari tempat duduknya agar orang lain dapat duduk di tempatnya. Jika ia berdiri atas pilihannya sendiri, maka tidak makruh. Namun, jika ia berpindah ke tempat yang lebih jauh dari imam, maka makruh, Ashab kami berkata: Karena ia telah mengutamakan orang lain dalam hal ibadah.
Al-Qarafi berkata: Barang siapa masuk waktu shalat, dan ia memiliki air yang cukup untuk bersucinya, sedangkan di sana ada orang lain yang membutuhkannya untuk bersuci, maka tidak boleh baginya untuk mengutamakan orang lain, meskipun ia menginginkannya.
(1) Hasyiyah Ibnu Abidin 1/382-383.
(2) Surah Al-Hasyr.
أسنى المطالب في شرح الروضة ج١ ص ٢٦٨
(وَيَحْرُمُ أَنْ يُقِيمَ أَحَدًا) لِيَجْلِسَ مَكَانَهُ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ «لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ يَقُولُ تَفَسَّحُوا أَوْ تَوَسَّعُوا فَإِنْ قَامَ الْجَالِسُ بِاخْتِيَارِهِ وَأَجْلَسَ غَيْرُهُ فَلَا كَرَاهَةَ فِي جُلُوسِ غَيْرِهِ» ، وَأَمَّا هُوَ فَإِنْ انْتَقَلَ إلَى مَكَان أَقْرَبَ إلَى الْإِمَامِ أَوْ مِثْلِهِ لَمْ يُكْرَهْ وَإِلَّا كُرِهَ إنْ لَمْ يَكُنْ عُذْرٌ؛ لِأَنَّ الْإِيثَارَ بِالْقُرْبِ مَكْرُوهٌ، وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى {وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ} [الحشر: ٩] فَالْمُرَادُ الْإِيثَارُ فِي حُظُوظِ النُّفُوسِ (وَيَجُوزُ أَنْ يَبْعَثَ مَنْ يَقْعُدُ لَهُ) فِي مَكَان (لِيَقُومَ عَنْهُ) إذَا جَاءَ هُوَ (وَإِذَا فُرِشَ لِأَحَدٍ ثَوْبٌ) أَوْ نَحْوُهُ (فَلَهُ) أَيْ فَلِغَيْرِهِ (تَنْحِيَتُهُ) وَالصَّلَاةُ مَكَانَهُ (لَا الْجُلُوسُ عَلَيْهِ) بِغَيْرِ رِضَا صَاحِبِهِ (وَلَا يَرْفَعُهُ) بِيَدِهِ أَوْ غَيْرِهَا (فَيَضْمَنُهُ) أَيْ لِئَلَّا يَدْخُلَ فِي ضَمَانِهِ
Asnal Matholib Fisyarhrroudhoh juz.hal:
268
(Dan haram hukumnya seseorang menyuruh orang lain berdiri) agar ia bisa duduk di tempatnya, berdasarkan hadis sahih dalam kitab Shahihain: “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat itu. Akan tetapi, katakanlah, ‘Berlapang-lapanglah’ atau ‘Berluas-luaslah’. Jika orang yang duduk itu berdiri dengan pilihannya sendiri lalu orang lain duduk di tempatnya, maka tidak ada kemakruhan bagi orang lain itu untuk duduk.” Adapun orang yang berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan imam atau sama dengannya, maka tidak makruh. Jika tidak demikian, maka makruh jika tidak ada uzur, karena mengutamakan orang lain dalam hal kedekatan (dengan imam) adalah makruh. Adapun firman Allah Ta’ala: “{Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesempitan.}” [QS. Al-Hasyr: 9], maka yang dimaksud adalah mengutamakan dalam hal kesenangan duniawi. (Dan boleh hukumnya seseorang mengirim orang lain untuk duduk baginya) di suatu tempat (agar orang itu berdiri darinya) ketika ia datang. (Dan jika dihamparkan untuk seseorang sehelai kain) atau yang semisalnya, (maka boleh baginya) yaitu bagi orang lain (untuk menyingkirkannya) dan shalat di tempatnya (bukan untuk duduk di atasnya) tanpa keridhaan pemiliknya (dan tidak boleh mengangkatnya) dengan tangannya atau yang lainnya (maka ia menanggungnya) yaitu agar ia tidak masuk dalam tanggungannya.
Perbaiki jawaban deskripsikan, lebih utama bagi individu tersebut untuk mengisi ruang kosong di shaf pertama karena keutamaannya yang besar dalam sholat berjamaah. Mengedepankan adab kepada guru adalah baik, namun tidak sampai pada derajat meninggalkan keutamaan ibadah yang telah ditetapkan dalam syariat. Guru yang bijak akan memahami dan bahkan mungkin mengharapkan muridnya untuk berada di shaf terdepan demi meraih pahala yang lebih besar. Wallahu a’lam bishawab