HUKUM MEMAJANGKAN /MENAMPAKKAN ANAK YATIM DIMUKA UMUM PADA ACARA SANTUNAN DALAM TINJAUAN MAQOSID AS-SYARIAH
Assalamualaikum
Deskripsi masalah
Pada masa dahulu baik dikalangan sahabat dan setelahnya jika ingin menyantuni anak yatim dan orang yang miskin sebagian mereka mendatangi kerumah anak yatim dan sebagian mengajak/ mengundang kerumahnya untuk berkumpul baik santunan berupa makanan ataupun lainnya, maka seiring dengan perkembangan zaman dalam waqiiyah sekarang ini sedikit berbeda disebagian masyarakat yang diantaranya:
- Untuk menyantuni anak yatim dibentuk kepanitian dalam sebuah organisasi disekolah-sekolah atau pondok atau Masjid atau musholla yaitu berupa acara santunan anak Yatim dengan cara mengundang atau menghadirkan mereka lalu ditampilkan atau diperlihatkan dimuka umum.ketika serah terima santuanan.
- Mengundang kerumahnya tanpa harus memajangnya dan sebagian santunannya diantarkan kerumah masing-masing anak yatim
Adapun tujuan dari tersebut adalah untuk membantu mereka dengan sedekah sebagai bentuk kepedulian walaupun dengan cara dinampakkan atau dipajang dimuka umum, namun yang menjadi pertimbangan apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali apa dengan menampakkan menjadikan tindakan yang menyakitkan atau mengganggu sebagai tolok ukur atas kebolehan amal saleh dan amal ibadah yang dilakukan secara tersembunyi atau dilakukan secara terang-terangan.
وأما ما يمكن إسراره كالصدقة والصلاة فإن كان إظهار الصدقة يؤذي المتصدق عليه ويرغب الناس في الصدقة فالسر أفضل لأن الإيذاء حرام
Artinya, “Adapun amal ibadah yang dapat dilakukan secara sembunyi seperti sedekah dan shalat, jika sedekah terang-terangan (di muka umum) menyakiti orang yang menerima sedekah dan itu dapat memotivasi orang lain untuk sedekah, maka amal secara sembunyi lebih utama karena tindakan menyakitkan (meski dengan niat baik) diharamkan,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 325).
Pertanyaan
Apakah dibenarkan/boleh secara hukum menyantuni anak yatim dengan cara mengundang lalu ditampilkan dimuka umum ? atau dengan menampakkan apa menjadikan sebuah Aib dan tindakan yang menyakitkan ?
Jawaban.
Selama tidak ada dalil yang mengharamkan, maka hukumnya boleh.Karena kenyataannya tidak ada dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits dan pendapat ulama yang mengharamkan hal memajangkan atau memperlihatkan anak yatim dimuka umum pada acara santunan anak yatim, dan hal tersebut sudah menjadi tradisi dikalangan umat islam dalam dunia pendidikan baik disekolah pondok pesantren maupun mushollah atau Masjid. Karena tradisi termasuk bagian dari hukum juga selama tidak menyalahi aturan syariat:
العادة محكمة مالم تخالف الشرع
Tradisi menjadi hukum selama tidak menyalahi aturan syariat.
Dalam sebuah kaidah yang lain disebutkan.
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ حتي يدل الدليل علي التحريم
Kaidah ini menjelaskan bahwa Hukum asal sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Penerapan kaidah tersebut contohnya adalah sebagaimana deskripsi yaitu mengundang lalu dipajangkan/diperlihatkan dimuka umum pada acara santunan anak Yatim hal tersebut sulit ditentukan keharamannya, karena tidak ditemukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dikategorikan haram baik ditinjau dari memajangkannya ketika dilihat bukan menimbulkan syahwat karena anak yang dipajangkan masih kecil , ditinjau dari muru’ah bukanlah aib, dan bukan merendahkan atau menghina melainkan memuliakan atau menghormati, mengasihi mereka.
Mungkin saja jika ditinjau dari sudut pandang memberi dan menerimanya yang menimbulkan tersakiti yang menjadi haram dalam arti disatu sisi menyakitkan pada yang menerima karena dianggap meremehkan karena dia ( yatim) termasuk orang yang kaya.
Apakah hal ini dibenarkan dalam agama? maka jawabannya dibenarkan dalam sisi kekayaannya karena tidak boleh bersedekah ( zakat) kepada orang yang kaya walaupun itu yatim . Lalu bagaimana solusinya? Maka solusinya adalah diberikan kepada yatim yang miskin,
كفاية الأخيار ج ١ص ١٩٨
قلت أمر الغنيمة فى زمننا هذا قد تعطل فى بعض النواحى لجواز الحكام فينبغى القطع بجواز إعطاء اليتيم إلا أن يكون شريفا
Namun disisi lain bisa tersakiti pada orang yang bersedekah jika pemberiannya ditolak lalu bagaimana solusinya agar tidak menyakiti orang yang bersedekah? Jawabannya adalah tetap diterima selama bukan sedekah ( zakat wajib ) baik anak yatim itu kaya terlebih anak yatim miskin, namun jika anak yatim itu kaya maka setelah santunan diterima berikanlah kepada yang lainnya diluar acara, karena itu adalah rizki dari Allah namun lewat manusia. Karena jika menolak berarti menolak pemberian Allah.SWT.
رسالة المعاونة
(وَاِيَّاكَ)
أَنْ تُكَسِّرَ قَلْبَ مُسْلِمٍ بِرَدِّ صَنِيْعَتِهِ عَلَيْهِ، وَاَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الوَاصِلَ إِلَيْكَ عَلَى يَدِهِ إِنَّمَا هُوَ مِنَ اللهِ حَقِيْقَةً وَإِنَّمَا هُوَ وَاسِطَةٌ مُسَخّرٌ مَقْهُوْرٌ وَفِي اْلحَدِيْثِ: “مَنْ اَتَاهُ شَيْئٌ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ وَلَااسْتِشْرَافِ نَفْسٍ فَرَدَّهُ فَإِنَّمَا يَرُدُّهُ عَلىَ اللهِ.”
Artinya, “Janganlah engkau memecahkan hati orang islam (menyinggung perasaan seorang Muslim ) dengan menolak pemberian (hadiah) darinya, padahal engkau mengetahui bahwa sesuatu yang sampai ke tanganmu sejatinya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan sesungguhnya orang yang menyampaikannnya kepadamu hanyalah perantara yang dikendalikan dan dipaksa (oleh Allah subhanahu wa ta’ala). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa datang kepadanya suatu pemberian tanpa ia memintanya atau menunjukkan keinginan untuk memperolehnya, lalu ia menolaknya, sesungguhnya ia menolak pemberian Allah subhanahu wa ta’ala.’”
Dari ibaroh diatas jelas yang merasa tersakiti adalah orang yang memberi jika ditolak sedangkan orang menerima semestinya adalah bersyukur bahwa pemberian itu adalah dari Allah namun lewat manusia.
Namun yang terpenting dari persoalan deskripsi diatas adalah pemahaman bahwa hukum Islam bersifat universal untuk segala waktu, tempat kondisi, niat dan kultur. Ia diturunkan sebagai rahmat dan petunjuk bagi umat manusia yang sifatnya serba mencakup .Ini diyakini dapat memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang dihadapi masyarakat . Jadi perubahan sosial merupakan sebab langsung terhadap perkembangan hukum Islam.
Sejatinya , hukum akan selalu berubah sesuai dengan stuasi dan kondisi sosio antropologi serta kultur tertentu .Dijelaskan dalam prinsip Islam, bahwa al-Islam sholihun likulli zaman wa makan .Artinya Hukum Islam mampu menerapkan dan menyikapi segala lini kehidupan. Kemudian dalam kaidah fiqiyyah, perubahan dalam hukum fiqh dibenarkan bahkan menjadi suatu keharusan jika kondisi sosiologis masyarakat berubah . Sebuah kaidah tentang perubahan hukum yang dinisbatkan kepada Ibnu Qoyyim al-Jauziyah sebagaimana berikut:
تغير الأحكام واختلافها بتغير الأمكنة والأزمنة والأحوال والنيات
Perubahan dan perbedaan hukum adalah disebabkan perbedaan tempat, masa kondisi, motivasi dan budaya.( Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah 691-751 H.)
Dalam redaksi lain disebutkan
تغير الأحكام بتغير الأزمنة الأمكنة والأحوال.
Perbedaan hukum tergantung pada perubahan zaman, tempat, dan keadaan.
Kaidah tersebut tidak hanya disebutkan oleh Ibnu Qoyyim tetapi oleh ulama yang lain . Seperti kaidah yang berbunyi berikit:
لاينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan masa.
Dalam redaksi lain disebutkan sebagai berikut:
لاينكر تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
Tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan kondisi, stuasi, motivasi, dan tujuan .
Secara de facto, suatu maslahah tidaklah konstan, tetapi sering berubah zaman, tempat, dan orang. Sebagaimana menurut Mahmud Saltut berikut:
تختلف المصلحة فيه بتغير الأزمنة والامكنة والأشخاص ومن هنا وجد الاجتهاد
“Maslahah itu sering berubah-rubah seiring perubahan zaman, tempat, dan orang. Oleh karena itu maka diperlukan ijtihad.
Yang ditegakkan hukum dimana ada illat maka disitu ada hukum. Sebaliknya tidak adanya illat penyebab maka tidak adanya hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah.
الحكم يدور مع علته وجودا وعداما
Hukum itu berputar bersama illatnya baik adanya hukum atau tidak adanya hukum.
Ellat secara etimologi berarti alasan atau sebab sesuai yang menyebabkan perubahannya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya.
Adapun secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama usul fiqh antara lain sebagai berikut:
العلة هى الوصف الظاهر المنضبط الذي جعل مناط الحكم يناسبه
Illat adalah suatu sifat yang nyata yang terang tidak bergeser-geser yang dijadikan pergantungan suatu hukum yang ada minasabah antaranya dengan hukum itu.
Assyathibiy menuliskan difinisi illat sebagai berikut:
العلة هى المصلحة أو المفسدة التي راعاها الشارع فى الطلب كفّا أو فعلا
Illat adalah kemaslahan atau kemanfaatan atau kerusakan yang dipelihara atau diperlihatkan syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau atau meninggal kannya.
Imam Assyathibiy berkata sebagai berikut:
العلة هى المصالح الشرعية التي تعلقت بها الأوامر والمفاسد التى تعلقت بها النواهى
Illat adalah segala kemaslahatan syara’ yang bergantung ( berhubungan ) dengan segala perintah dan segala kerusakan yang bergantung dengannya segala larangan.
Mayoritas ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah dan Imam Baidhowi ( Tokoh ulama fiqh Syafiiyah) merumuskan definisi illat dengan pengertian sebagai berikut:
الوصف المُعَرِّف للحكم
Suatu sifat ( yang berfungsi ) sebagai pengenal bagi suatu hukum.
Referensi:Maqosid Assyariah H.55-56
Adapun cara kita memberikan santunan baik berupa makanan araupun yang lainya kepada orang miskin dan anak yatim dalam ajaran Islam itu memberikan kebebasan terserah kita baik dengan cara kita mendatangi orang miskin dan anak yatim, atau dengan cara anak yatim itu kita undang ke rumah kita , yang terpenting semata didasarkan atas niatan ihlas semata untuk memperoleh ridho Allah SWT. Mengajak ( mengundang )anak yatim dalam acara makan berikut penjelasannya:
عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّ يَتِيمًا كَانَ يَحْضُرُ طَعَامَ ابْنِ عُمَرَ، فَدَعَا بِطَعَامٍ ذَاتَ يَوْمٍ، فَطَلَبَ يَتِيمَهُ فَلَمْ يَجِدْهُ، فَجَاءَ بَعْدَ مَا فَرَغَ ابْنُ عُمَرَ، فَدَعَا لَهُ ابْنُ عُمَرَ بِطَعَامٍ، لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ، فَجَاءَه بِسَوِيقٍ وَعَسَلٍ، فَقَالَ: دُونَكَ هَذَا، فَوَاللَّهِ مَا غُبِنْتَ يَقُولُ الْحَسَنُ: وَابْنُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا غُبِنَ.
Dari Al-Hasan Al Bashri bahwasanya seorang yatim piatu biasa hadir makan bersama Ibnu ‘Umar. Suatu hari dia meminta makanan dan dia mencari anak yatim ini tetapi tidak dapat menemukannya. Dia tiba setelah Ibnu ‘Umar selesai. Ibnu ‘Umar meminta lebih banyak makanan untuk dibawakan kepadanya tetapi mereka tidak memilikinya. Maka ia dibawakan sawiq dan madu. Dia berkata, “Ini, ambil ini! Demi Allah, kamu tidak tertipu!” Al-Hasan berkata, “Demi Allah, Ibnu ‘Umar tidak tertipu!”. (HR. Ahmad dalam kitab Az-zuhdu no. 1051 dan Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 134)
Riwayat ini memberikan faedah bahwa Ibnu Umar selalu bersemangat di dalam menghadirkan anak yatim pada waktu beliau makan. Jika sudah waktunya maka maka beliau mencarinya, sebagaimana faidah ini di dapat pada ucapan beliau (Al Hasan) :
“… dia mencari anak yatim ini tetapi tidak dapat menemukannya”.
Si yatim ini pun datang setelah Ibnu Umar selesai dari makannya. Dan Ibnu Umar meminta makan yang lain buatnya namun sudah tidak ada. Makanan yang tadi dihidangkan sudah habis dan akhirnya beliau membawa sawiq dan ‘asal (madu) dan memberikannya kepada si yatim.
Dan beliau berkata : “Ini, ambil ini! Demi Allah, kamu tidak tertipu!” Maksudnya adalah kamu tidak rugi dengan tidak makan bersama kami, bahkan makanan yang ini adalah makanan yang baik.
Perkataan Al-Hasan Al Bashri, “Demi Allah, Ibnu ‘Umar tidak tertipu!” Artinya beliau mendapatkan keuntungan yang besar karena telah berbuat baik kepada si yatim ini. Dan ini adalah kebiasaan Ibnu Umar yang mana beliau tidak makan kecuali menghadirkan anak yatim dalam makan beliau.
عَنْ أَبِيْ بَكْرِ بْنُ حَفْصٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ كَانَ لاَ يَأْكُلُ طَعَامًا إِلاَّ وَعَلَى خِوَانِهِ يَتِيمٌ. رواه البخاري في الأدب المفرد وصحَّحه الألباني.
Dari Abu Bakar bin Hafsh : Bahwasanya Abdullah bin Umar dahulu tidaklah beliau makan kecuali di atas mejanya makan beliau ada seorang anak yatim”. (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 136 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala).
Al kharaaithiyyu meriwayatkan dalam kitab makarimul akhlak dari Naafi’, beliau berkata :
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا لَا يَأْكُلُ طَعَامًا إِلَّا وَعَلَى خِوَانِهِ أَيْتَامٌ.
“Dahulu Ibnu Umar tidaklah makan suatu makanan kecuali dimeja makan beliau ada beberapa anak yatim”. (Dikeluarkan oleh Al kharaaithiyyu dalam kitab makarimul akhlak no. 652)
Riwayat ini menunjukkan akan kesungguhan beliau dalam berbuat baik kepada anak-anak yatim dimana beliau tidaklah makan suatu makanan kecuali disitu ada mereka. Dan Allah berfirman :
وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِيْنًا وَيَتِيْمًا وَأَسِيْرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. (Al-Insan : 8)
Dalam suatu kesempatan, mereka menyukai harta dan makanan namun disisi lain mereka mendahulukan hal itu kepada kecintaan Allah dari pada kecintaan diri-diri mereka sendiri dengan memberikan kepada orang-orang yang paling membutuhkan dari kalangan orang miskin, yatim dan tawanan. Mereka meniatkan wajah Allah dalam hal itu dengan memberikan infaq dan makanan kepada mereka. Bahkan mereka tidak sedikit menginginkan balasan mereka dan ucapan terima kasihnya mereka.
Anggaplah anak yatim sebagaimana keluarga sendiri
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ نَجِيحٍ أَبِي عُمَارَةَ قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ يَقُولُ: لَقَدْ عَهِدْتُ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ لَيُصْبِحُ فَيَقُولُ: يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَتِيمَكُمْ يَتِيمَكُمْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، مِسْكِينَكُمْ مِسْكِينَكُمْ، يَا أَهْلِيَهْ، يَا أَهْلِيَهْ، جَارَكُمْ جَارَكُمْ، وَأُسْرِعَ بِخِيَارِكُمْ وَأَنْتُمْ كُلَّ يَوْمٍ تَرْذُلُونَ.
Dari Hamzah bin Najih Abu Umaroh beliau berkata : Aku mendengar Al Hasan Al Bashri rahimahullahu ta’ala berkata : “Aku ingat suatu saat di antara kaum Muslimin ketika laki-laki mereka berteriak (untuk mengingatkan keluarga mereka), ‘Hai keluarga! Wahai keluarga! (Jagalah) anak yatim kalian! Yatim piatu kalian! Wahai keluarga! Setelah anak yatim kalian! Orang miskin kalian! Orang miskin kalian! Wahai keluarga! Wahai keluarga! (Jagalah) tetangga kalian! Waktu telah berlalu dengan cepat dalam mengambil yang terbaik dari kalian, sementara setiap hari kalian menjadi orang yang lebih rendah.” (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad no. 139)
Yaitu seseorang memanggil keluarganya : Wahai keluarga! (Jagalah) anak yatim kalian! Yatim piatu kalian! Wahai keluarga!”. Berbuat baiklah kepada mereka, muliakanlah mereka dan berikan perhatian kalian kepada mereka. Dan ini adalah komando kepada siapapun yang dia jumpai. Mereka saling berwasiat agar memperhatikan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan hak-hak para tetangga.
Di zaman para sahabat dahulu terdapat penerang dan pelita dalam hal kebaikan ini dan juga ada saling memerintah agar memiliki perhatian yang besar terhadap anak-anak yatim. Telah tetap beberapa sahabat dan shohabiat yang mereka menjadi penanggung jawab anak-anak yatim baik yang laki-laki maupun perempuan. Mereka mengumpulkan anak-anak yatim itu di rumah-rumah mereka, memiliki perhatian besar terhadap mereka, berbuat baik kepada mereka dan mereka (para sahabat dan shohabiat) menjadi tempat berlindungnya anak-anak yatim bahkan tempat terakhir dalam kebaikan. Demikian pula hal ini terjadi di kalangan para tabi’in dan pengikut mereka setelahnya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala, halaman 112-116.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan terkait hukum menyantuni anak yatim dengan mengundang atau mengantarkan dan memajangkan atau menampakkan santunan anak Yatim dimuka umum jika ditinjau dari maqoshid assyariah adalah bergantung pada zaman, orangnya (anak yatim atau orang yang menyantuni ) situasi dan kondisi, motivasi dan tujuan. Artinya jika termotivasi (mendorong) orang lebih giat dalam menyantuni anak yatim maka hukumnya boleh dan tidak dilarang bahkan bisa menjadikan sebuah keharusan untuk syi’ar agar diikuti oleh orang lain agar gemar bersedekah, membesarkan hati mereka ( anak-anak yatim) bahwa penyantun menganggap sebagai anaknya sendiri. Begitu juga hal dengan menyantuni anak yatim dengan cara rahasia( diantar kan kerumah mereka ( anak yatim itupun juga boleh jika hawatir bisa mengakibatkan riya’ dll. Wal hasil kebolehan dan keutamaan menampakkan dan merahasiakan santunan ( sedekah ) kepada anak yatim ataupun kepada fakir miskin ditinjau dari maqoshid assyariah adalah bergantung pada zaman, orangnya (anak yatim atau orang yang menyantuni ) situasi dan kondisi, motivasi dan tujuan .Sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
{إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ } [البقرة: 271]
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS. Al Baqarah: 271.
Al Khathib berkata terkait keutamaan antara sedekah terang-terangan dan sedekah secara tersembunyi:
: إِنْ كَانَ الْمُتَصَدِّقُ مِمَّنْ يُقْتَدَى بِهِ ، وَأَظْهَرَهَا لِيُقْتَدَى بِهِ مِنْ غَيْرِ رِيَاءٍ وَلاَ سُمْعَةٍ ، فَهُوَ أَفْضَل
“Jika seorang yang bersedekah termasuk dari seorang yang dipanuti lalu ia memperlihatkannya agar diikuti tanpa ada perasaan riya’ dan sum’ah, maka ini lebih utama.” Lihat kitab Mughni Al Muhtaj, 3/121.
Allah Swt. berfirman bahwa demikianlah,
{وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ}
Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah. (Al-Hajj: 32) Yakni perintah-perintah-Nya:
{فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj: 32) . Wallahu A’lam bisshowab.