Hukum Berbagi Momen Kuliner dan Perjalanan di Media Sosial dalam Perspektif Islam
Deskripsi Masalah
Dewasa ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang. Berbagai aktivitas sehari-hari seringkali diabadikan dan dibagikan melalui platform-platform tersebut, termasuk kegiatan kuliner dan perjalanan. Fenomena mengunggah foto atau video makanan yang sedang disantap (sering disebut “food photography”, “food vlogger” atau “kulineran”) serta momen-momen perjalanan (“travel story”) menjadi sangat umum.
Namun, muncul pandangan yang melarang atau tidak memperbolehkan aktivitas ini berdasarkan interpretasi ajaran agama. Beberapa penceramah menyampaikan bahwa tindakan memamerkan makanan atau kesenangan di media sosial dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti riya (pamer), ‘ujub (kagum pada diri sendiri), menimbulkan rasa iri pada orang lain yang mungkin sedang kesulitan, atau dianggap sebagai bentuk menyia-nyiakan nikmat Allah dengan menjadikannya sekadar konten.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam. Di satu sisi, berbagi pengalaman dan informasi, termasuk tentang kuliner dan tempat wisata, bisa menjadi hal yang positif dan bermanfaat. Di sisi lain, kekhawatiran akan implikasi negatif seperti yang disebutkan dalam ceramah tersebut menjadi pertimbangan yang serius.
Pertanyaan
Bagaimana hukum berbagi atau memposting kt LG kuliner makanan (momen kuliner ) dan LG perjalanan di media sosial menurut perspektif Islam?
Waalaikumsalam
Jawaban
Dalam perspektif Islam, hukum berbagi momen kuliner dan perjalanan di media sosial dapat bervariasi tergantung pada niat dan dampaknya. Berikut adalah beberapa poin penting:
1️⃣ Niat yang Baik:
Jika niatnya adalah untuk berbagi kebahagiaan, menginspirasi orang lain, atau memberikan informasi bermanfaat tentang tempat makan atau wisata, sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah maka hal itu diperbolehkan, bahkan hukumnya sunnah.
Misalnya, berbagi pengalaman kuliner untuk merekomendasikan tempat makan yang baik, atau berbagi foto perjalanan untuk menginspirasi orang lain menjelajahi keindahan alam.
2️⃣Menghindari Riya dan ‘Ujub:
Jika niatnya adalah untuk pamer atau membanggakan diri, bahkan menimbulkan bahaya pada dirinya dan orang lain maka hal itu dilarang dalam Islam ( hukumnya haram).
Islam mengajarkan untuk menghindari sikap riya (pamer) dan ‘ujub (kagum pada diri sendiri), karena hal itu dapat merusak amal ibadah.
Memperhatikan Dampak pada Orang Lain:
Perlu diperhatikan perasaan orang lain yang mungkin sedang mengalami kesulitan atau kekurangan.
Berbagi momen kemewahan secara berlebihan dapat menimbulkan rasa iri atau kesenjangan sosial.
Kesimpulan dan Saran:
Hukum membuat konten kuliner dan jalan-jalan di media sosial pada dasarnya adalah boleh, bahkan sunnah jika bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah namun bisa menjadi makruh atau bahkan haram jika disertai dengan niat yang buruk, cara penyampaian yang salah, atau menimbulkan dampak negatif.
Saran yang bisa dipertimbangkan:
- Luruskan Niat: Pastikan niat dalam membuat konten adalah baik, seperti bersyukur, berbagi informasi bermanfaat, atau menjalin silaturahmi secara positif.
- Jaga Adab: Hindari pamer, berlebihan, merendahkan orang lain, atau konten yang tidak bermanfaat.
- Perhatikan Dampak: Pertimbangkan bagaimana konten Anda akan diterima oleh orang lain. Hindari hal-hal yang bisa menimbulkan kedengkian atau menyakiti perasaan orang lain.
- Prioritaskan Kewajiban: Jangan sampai aktivitas membuat konten melalaikan kewajiban utama .
- Bijak dalam Berbagi: Tidak semua hal perlu dibagikan di media sosial. Pertimbangkan privasi diri dan keluarga.
Sebaiknya, kita selalu introspeksi diri dan bertanya pada hati nurani tentang motivasi kita dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam bermedia sosial. Jika kita merasa ada kecenderungan untuk riya’ atau tujuan buruk lainnya, maka sebaiknya kita menghindarinya.
Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab. Referensi:
المجالس السنية .ص ٢
عَنْ أَمِيرِ المُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رضي اللهُ عنهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَفِي رِوَايَةٍ: بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، وَفِي رِوَايَةٍ: يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. رَوَاهُ إِمَامُ المُحَدِّثِينَ أَبُو عَبدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ المُغِيرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهِ البُخَارِيُّ الجُعْفِيُّ، وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ القُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُورِيُّ فِي صَحِيحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الكُتُبِ المُصَنَّفَةِ.
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan dalam riwayat lain: pada niat-niat, sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh, atau wanita yang ingin ia nikahi, dan dalam riwayat lain: yang akan ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan. Diriwayatkan oleh imam ahli hadits Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, dan Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qushairi an-Naisaburi dalam kitab shahih mereka berdua, yang merupakan kitab-kitab yang paling shahih yang pernah ditulis.
Kaidah fiqhiyyah menyebutkan:
الأمور بمقاصدها
” (Segala sesuatu tergantung pada niatnya).
لاضرر ولاضرار
Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain
Mengenai ceramah yang melarang membuat konten di media sosial, kemungkinan besar penceramah tersebut melihat potensi dampak negatif yang lebih besar jika tidak dilakukan dengan hati-hati dan niat yang benar. Beliau mungkin menekankan pentingnya menjaga keikhlasan dan menghindari perbuatan yang bisa menjerumuskan pada riya’, ujub (kagum pada diri sendiri), atau menimbulkan dampak negatif bagi orang lain.
تفسير المنير للزحيلي ج٣ص٢٨٦-٢٩٠
– {وَأَمّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ} أي تحدث بنعمة ربك عليك، واشكر هذه النعمة وهي النبوة والقرآن، وما ذكر في الآيات، والتحدث بنعمة الله
شكر، فكما كنت عائلا فقيرا، فأغناك الله، فتحدث بنعمة الله عليك، كما
جاء في الدعاء النبوي المأثور: «واجعلنا شاكرين لنعمتك، مثنين عليها، قابليها، وأتمها علينا».
وأخرج أبو داود والترمذي وصححه عن أبي هريرة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال:
«لا يشكر الله من لا يشكر الناس».
فقه الحياة أو الأحكام:
دلت الآيات على ما يأتي:
وقال النبي صلّى الله عليه وسلّم أيضا: «ردّوا السائل ببذل يسير، أو ردّ جميل، فإنه يأتيكم من ليس من الإنس ولا من الجن، ينظر كيف صنيعكم فيما خوّلكم الله – إلى أن قال- وأمر الله تعالى رسوله صلّى الله عليه وسلّم بشكر نعمة الله عليه وهي النبوة والرسالة، وإنزال القرآن الكريم عليه. ويكون الشكر بنشر ما أنعم الله عليه، والتحدث بنعم الله، والاعتراف بها شكر لها.
قال العلماء المحققون: التحديث بنعم الله تعالى جائز مطلقا، بل مندوب إليه إذا كان الغرض أن يقتدي به غيره، أو أن يشيع شكر ربه بلسانه، وإذا لم يأمن على نفسه الفتنة والإعجاب، فالستر أفضل.
وإنما أخر التحديث تقديما لمصلحة المخلوقات على حق الله؛ لأن الله غني وهم المحتاجون، ولهذا رضي لنفسه بالقول فقط.
Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili, juz 30, halaman 286-290:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)” (QS. Ad-Duha: 11). Maksudnya, nyatakanlah nikmat Tuhanmu yang diberikan kepadamu, dan bersyukurlah atas nikmat tersebut, yaitu kenabian, Al-Qur’an, dan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Menyatakan nikmat Allah adalah bentuk syukur. Sebagaimana engkau dahulu miskin dan kekurangan, lalu Allah memberikanmu kekayaan, maka nyatakanlah nikmat Allah kepadamu, seperti yang terdapat dalam doa Nabi yang diriwayatkan: “Jadikanlah kami orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, yang memuji-Mu, yang menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat itu kepada kami.”
Abu Daud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dan mensahihkannya dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.”
Fiqih kehidupan atau hukum :
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Tolaklah orang yang meminta dengan pemberian yang sedikit, atau dengan penolakan yang baik. Karena sesungguhnya ia datang kepadamu bukan dari golongan manusia atau jin, ia melihat bagaimana perbuatanmu terhadap apa yang Allah berikan kepadamu.”
Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mensyukuri nikmat Allah kepadanya, yaitu kenabian, kerasulan, dan diturunkannya Al-Qur’an yang mulia kepadanya. Syukur itu dilakukan dengan menyebarkan apa yang Allah berikan kepadanya, menyatakan nikmat Allah, dan mengakui nikmat tersebut sebagai bentuk syukur kepadanya.
Para ulama peneliti berkata: Menyatakan nikmat Allah Ta’ala diperbolehkan secara mutlak, bahkan dianjurkan ( sunnah hukmnya) jika tujuannya agar orang lain meneladaninya, atau agar ia menyebarkan syukur kepada Tuhannya dengan lisannya. Namun, jika ia tidak aman dari fitnah dan ujub (merasa kagum pada diri sendiri), maka menyembunyikannya lebih utama.
Penundaan penyebaran nikmat ini dikarenakan mendahulukan maslahat makhluk atas hak Allah. Karena Allah Maha Kaya, sedangkan mereka yang membutuhkan. Oleh karena itu, Allah ridha dengan hanya ucapan saja.”
Referensi:
إحياء علوم الدين .ص ٤٣٤
الْقِسْمُ الثَّانِي مَا يَخُصُّ ضَرَرُهُ الْمُعَامِلَ . فَكُلُّ مَا يَسْتَضِرُّ بِهِ الْمُعَامِلُ فَهُوَ ظُلْمٌ وَإِنَّمَا العدل لَا يَضُرَّ بِأَخِيهِ الْمُسْلِمِ وَالضَّابِطُ الْكُلِّيُّ فِيهِ أن لا يحبلِأَخِيهِ إِلَّا مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ فَكُلُّ مَا لو عومل به شق عَلَيْهِ وَثَقُلَ عَلَى قَلْبِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يُعَامِلَ غَيْرَهُ بِهِ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَوِيَ عنده درهمه ودرهم غيره
قال بعضهم من باع أخاه شيئا بدرهم وليس يصلح له لو اشتراه لنفسه إلا بخمسة دوانق فإنه قد ترك النصح المأمور به في المعاملة ولم يحب لأخيه ما يحب لنفسه هذه جملته
فأما تفصيله ففي أربعة أمور
أَنْ لَا يُثْنِيَ عَلَى السِّلْعَةِ بِمَا لَيْسَ فيها وأن لا يكتم من عيوبها وخفايا صفاتها شيئاً أصلاً وأن لا يكتم في وزنها ومقدارها شيئاً وأن لا يكتم من سعرها ما لو عرفه المعامل لامتنع عنه
أما الأول فهو ترك الثناء فإن وصفه للسلعة إن كان بما ليس فيها فهو كَذِبٌ فَإِنْ قَبِلَ الْمُشْتَرِي ذَلِكَ فَهُوَ تَلْبِيسٌ وظلم مع كونه كذباً وَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَهُوَ كَذِبٌ وَإِسْقَاطُ مُرُوءَةٍ إذ الكذب الذي لا يروج قد لا يقدح في ظاهر المروءة وإن أثنى على السلعة بما فيها فهو هذيان وتكلم بكلام لا يعنيه وهو محاسب على كل كلمة تصدر منه أنه لم تكلم بها
قال الله تعالى {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عتيد} إلا أن يثني على السلعة بما فيها مما لا يعرفه المشتري ما لم يذكره كما يصفه من خفى أخلاق العبيد والجواري والدواب فلا بأس بذكر القدر الموجود منه من غير مبالغة وإطناب وليكن قصده منه أن يعرفه أخوه المسلم فيرغب فيه وتنقضي بسببه حاجته ولا ينبغي أن يحلف عليه الْبَتَّةَ فَإِنَّهُ إِنْ كَانَ كَاذِبًا فَقَدْ جَاءَ باليمين الغموس وهي من الكبائر التي تذر الديار بلاقع وَإِنْ كَانَ صَادِقًا فَقَدْ جَعَلَ اللَّهَ تَعَالَى عُرْضَةً لِأَيْمَانِهِ وَقَدْ أَسَاءَ فِيهِ إِذِ الدُّنْيَا أَخَسُّ مِنْ أَنْ يَقْصِدَ تَرْوِيجَهَا بِذِكْرِ اسْمِ اللَّهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَفِي الْخَبَرِ وَيْلٌ لِلتَّاجِرِ مِنْ بَلَى وَاللَّهِ وَلَا وَاللَّهِ وَوَيْلٌ للصانع من غد وبعد (١)
Bagian Kedua: Mengenai Bahaya yang Menimpa Orang yang Berinteraksi.
Maka segala sesuatu yang dengannya orang yang berinteraksi dirugikan, maka itu adalah kezaliman. Sesungguhnya keadilan itu tidak merugikan saudaranya sesama Muslim. Dan patokan umumnya dalam hal ini adalah engkau tidak memperlakukan saudaramu kecuali dengan apa yang engkau sukai untuk dirimu sendiri. Maka segala sesuatu yang jika engkau diperlakukan dengannya akan memberatkanmu dan terasa berat di hatimu, maka hendaknya engkau tidak memperlakukan orang lain dengannya. Bahkan hendaknya sama di sisimu antara dirhammu dan dirham orang lain.
Berkata sebagian ulama: Barang siapa menjual sesuatu kepada saudaranya dengan harga satu dirham, padahal barang itu tidak layak baginya jika ia membelinya untuk dirinya sendiri kecuali dengan harga lima daniq (seperenam dirham), maka sungguh ia telah meninggalkan nasihat yang diperintahkan dalam bermuamalah dan tidak menyukai untuk saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri. Ini adalah ringkasannya.
Adapun rinciannya, maka dalam empat perkara:
Tidak memuji barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya. Dan tidak menyembunyikan sedikit pun dari aib-aibnya dan sifat-sifatnya yang tersembunyi.
Tidak menyembunyikan sesuatu pun dalam timbangan dan ukurannya.
Tidak menyembunyikan dari harganya sesuatu yang jika diketahui oleh pembeli, niscaya ia akan menolaknya.
Adapun yang pertama, yaitu meninggalkan pujian yang berlebihan. Sesungguhnya jika ia mensifati barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya, maka itu adalah dusta. Jika pembeli menerima hal itu, maka itu adalah penipuan dan kezaliman di samping kedustaannya. Dan jika pembeli tidak menerimanya, maka itu tetap dusta dan menggugurkan kehormatan, karena kedustaan yang tidak laku mungkin tidak menciderai zahir kehormatan.
Adapun jika ia memuji barang dagangan dengan sesuatu yang memang ada padanya, maka itu adalah omong kosong dan perkataan yang tidak penting baginya, dan ia akan dihisab atas setiap kata yang keluar darinya, mengapa ia tidak mengucapkan kata yang lain. Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18).
Kecuali jika ia memuji barang dagangan dengan sesuatu yang ada padanya yang tidak diketahui oleh pembeli jika ia tidak menyebutkannya, seperti ia menyebutkan sifat-sifat tersembunyi budak laki-laki, budak perempuan, dan hewan ternak. Maka tidak mengapa menyebutkan kadar sifat yang ada padanya tanpa berlebihan dan memperpanjang-panjang. Hendaknya tujuannya adalah agar saudaranya sesama Muslim mengetahuinya sehingga ia tertarik dan kebutuhannya terpenuhi karenanya.
Dan tidak sepantasnya bersumpah atasnya sama sekali. Karena jika ia berdusta, maka sungguh ia telah melakukan sumpah palsu (yamin ghamus), dan itu termasuk dosa besar yang meninggalkan rumah-rumah menjadi kosong (tidak berpenghuni karena kebinasaan). Dan jika ia benar, maka sungguh ia telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai sasaran sumpahnya, dan ia telah berbuat buruk dalam hal itu, karena dunia ini lebih hina dari sekadar ia bermaksud melariskan dagangannya dengan menyebut nama Allah tanpa ada kebutuhan mendesak. Dan dalam sebuah khabar (hadis): “Celakalah pedagang dari ucapan ‘demi Allah’ dan ‘tidak demi Allah’, dan celakalah pengrajin dari ucapan ‘besok’ dan ‘lusa’.”
وفقًا للإمام الغزالي، يمكن رؤية علامات الشخص المرائي من خلال سلوكه وتصرفاته التي تظهر عدم الإخلاص في العبادة أو العمل الصالح. في مؤلفاته مثل “إحياء علوم الدين”، يوضح أن الرياء هو الرغبة في أن يراه الناس أو يمدحوه على فعل الخير، مما يقلل أو حتى يُبطل قيمة العبادة عند الله. وفيما يلي بعض علامات الشخص المرائي حسب الإمام الغزالي:
الكسل في العمل الصالح عندما يكون بمفرده الشخص المرائي يميل إلى الكسل في أداء الأعمال الصالحة عندما لا يكون هناك من يراه. فهو لا يتحمس إلا إذا كان هناك شاهد يمكنه أن يمدحه أو يعترف بفعله.
الحماس في العمل الصالح أمام الآخرين عندما يكون بين الناس، يظهر حماسًا مفرطًا في العبادة أو فعل الخير، بهدف أن يُلاحظ عمله ويحصل على المديح.
زيادة العمل عندما يُمدح
إذا حصل على المديح، يصبح أكثر نشاطًا في العمل الصالح. فالمديح من الناس يصبح الدافع الرئيسي له، وليس رضا الله.
نقصان العمل عندما يُنتقد أو لا يُلاحظ
على العكس، إذا لم يحصل على مديح أو تعرض للنقد، يقل حماسه، وتقل أعمال الخير التي يقوم بها لأنه لا يجد تقديرًا من البشر.
كما أكد الإمام الغزالي أن الرياء مرض قلبي خطير لأنه قد يفسد الإخلاص. فالشخص المرائي يفضل نظرة الناس على نظرة الله، مما يجعل عمله باطلاً. وقد نصح بأن يتحقق الإنسان دائمًا من نيته ويسعى للحفاظ على الإخلاص في كل عمل يقوم به.
Menurut Imam Al-Ghazali, tanda-tanda orang yang riya’ dapat dilihat dari sikap dan perilaku mereka yang menunjukkan ketidakikhlasan dalam beribadah atau beramal. Dalam karyanya, seperti Ihya Ulumuddin, beliau menjelaskan bahwa riya’ adalah keinginan untuk dilihat atau dipuji orang lain dalam melakukan kebaikan, sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai ibadah di sisi Allah. Berikut adalah beberapa tanda orang riya’ menurut Imam Al-Ghazali:
-Malas Beramal Saat Sendirian.
Orang yang riya’ cenderung malas melakukan amal kebaikan ketika tidak ada orang lain yang melihatnya. Mereka hanya bersemangat jika ada saksi yang bisa memuji atau mengakui perbuatan mereka.
-Semangat Beramal di Hadapan Orang Lain.
Ketika berada di tengah orang banyak, mereka menunjukkan semangat yang berlebihan dalam beribadah atau berbuat baik, dengan tujuan agar perbuatan mereka diperhatikan dan mendapat pujian.
-Amal Bertambah Saat Dipuji.
Jika mendapat pujian, mereka menjadi semakin giat dalam beramal. Pujian dari orang lain menjadi motivasi utama, bukan keridhaan Allah.
-Amal Berkurang Saat Dicela. atau Tidak Diperhatikan
Sebaliknya, jika tidak ada yang memuji atau bahkan mendapat celaan, semangat mereka menurun, dan frekuensi amal mereka berkurang karena tidak ada apresiasi dari manusia.
Imam Al-Ghazali juga menegaskan bahwa riya’ adalah penyakit hati yang berbahaya karena bisa merusak keikhlasan. Orang yang riya’ lebih mengutamakan pandangan manusia daripada pandangan Allah, sehingga amalnya menjadi sia-sia. Beliau menyarankan agar seseorang selalu memeriksa niatnya dan berusaha menjaga keikhlasan dalam setiap perbuatan.
سورة الإسراء ٢٧ تفسير الطبري
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
وأما قوله ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ) فإنه يعني: إنّ المفرّقين أموالهم في معاصي الله المنفقيها في غير طاعته أولياء الشياطين، وكذلك تقول العرب لكلّ ملازم سنة قوم وتابع أثرهم: هو أخوهم ( وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ) يقول: وكان الشيطان لنعمة ربه التي أنعمها عليه جحودا لا يشكره عليه، ولكنه يكفرها بترك طاعة الله، وركوبه معصيته، فكذلك إخوانه من بني آدم المبذّرون أموالهم في معاصي الله، لا يشكرون الله على نعمه عليهم، ولكنهم يخالفون أمره ويعصُونه، ويستنون فيما أنعم الله عليهم به من الأموال التي خوّلهموها عزّ وجل سنته من ترك الشكر عليها، وتلقِّيها بالكُفران. كالذي حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله (إِنَّ المُبَذّرِينَ): إن المنفقين في معاصي الله ( كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ).
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Tafsir:
Adapun firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan,” maknanya adalah bahwa orang-orang yang menghambur-hamburkan harta mereka dalam kemaksiatan kepada Allah, membelanjakannya bukan dalam ketaatan kepada-Nya, mereka adalah para wali (teman dekat) setan. Demikian pula, orang Arab mengatakan untuk setiap orang yang terus-menerus mengikuti kebiasaan suatu kaum dan meneladani jejak mereka, “Dia adalah saudara mereka.”
Firman Allah, “dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya,” maksudnya adalah bahwa setan itu sangat mengingkari nikmat Tuhannya yang telah dilimpahkan kepadanya, ia tidak bersyukur atasnya. Akan tetapi, ia mengingkari nikmat itu dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan menunggangi kemaksiatan kepada-Nya. Demikian pula saudara-saudaranya dari kalangan Bani Adam, yaitu orang-orang yang menghambur-hamburkan harta mereka dalam kemaksiatan kepada Allah, mereka tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Sebaliknya, mereka melanggar perintah-Nya dan bermaksiat kepada-Nya, serta mengikuti jejak setan dalam hal mengingkari nikmat Allah berupa harta yang telah Dia berikan kepada mereka, yaitu dengan tidak bersyukur atasnya dan menerimanya dengan kekufuran.
Sebagaimana yang diceritakan kepadaku oleh Yunus, ia berkata, Ibnu Wahb memberitahuku, ia berkata, Ibnu Zaid berkata mengenai firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu,” bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang membelanjakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah, “adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”