HUKUM SEORANG AKHWAL MENIKAHI SEORANG SYARIFAH
Asslamualaikum.
Deskripsi masalah
Nasab adalah Keturunan yang terhubung atau bersambung Kepada Nabi SAW yang kemudian di panggil dengan sebutan Sayyid atau Habib.!
Sedangkan Nasib adalah Bagian dari hasil usaha dengan mujahadah atau riyadhoh.!dengan Ilmu, Amal dan ketaqwaan yang tententunya butuh pembimbing atau guru yang sanatnya bersambung kepada Rasulullah karena tanpa adanya pembimbing sulit dapat mengantarkan pada tingkatan derajat yang mulia sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” [HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah]
Nasabnya itu tidak bisa mengejar derajat mulia di sisi Allah. Karena kedudukan mulia di sisi Allah adalah timbal balik dari amalan (Ilmu) yang baik dan benar, bukan dari nasab.Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat,
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian Nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun : 101).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,“Siapa saja yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya” (Syarh Shahih Muslim, 17: 21).
Dalam hukum sosial karena cinta belas kasih kepada umat Muhammad saw, para anak keturunannya dipanggil sayyid atau Habib untuk penghormatan. Akan tetapi, ilmu, amal, taqwa dan akhlak tidak bisa diwarisi layaknya nasab keturunan. Ilmu, amal dan Taqwa adalah Hubungannya dengan “nasib”, bukan nasab. Harus diusahakan dengan cara menuntut ilmu, agar menjadi orang yang bertaqwa, disebutkan العلم بالتعلم لابالنسب .Jika tidak maka seorang keturunan Nabi Muhamad saw tidak akan dapat warisan ke utamaan ilmu dan Taqwa dari Nabi saw.
Dari kedua pengertian antara Nasab dan Nasib lalu timbul musykil sebagaimana yang terjadi dimasyarakat Indonesia sehingga terjadi pro dan kantra yaitu pernikahan antara syarifah dan Ahwal.
Pertanyaannya.
Bagaimana sebenarnya Hukum seorang Akhwal Menikahi seorang Syarifah atau pria keturunan biasa menikahi wanita dari kalangan syarifah menurut fiqh ?
Waalaikum salam.
Jawaban.
Boleh , namun sebaiknya jangan menikah dengan syarifah alasannya karena termasuk adab (akhlak yang baik) bagi seorang laki-laki adalah tidak menikahi wanita bangsawan kecuali jika ia yakin pada dirinya sendiri bahwa ia akan berada di bawah perintah dan isyarat istrinya.
Ditinjau dari sudut pandang fiqih bahwa dalam pernikahan bisa sah jika memenuhi syarat dan rukun nikah maka terkait dengan kasus diatas dijelaskan dalam leteratur fiqhul Islami Wadillah bahwa kufu’ ( kesepadanan ) dalam kasta keturunan bukan merupakan syarat untuk keafsahan penikahan, melainkan kufu’ sebagai syarat didalam mempertahankan pernikahan , lebih lanjut dalam sebuah literatur Fiqh yang diterbitkan oleh kementrian urusan waqaf dan agama Kuwait (al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah) dijelaskan bahwa diantara hal yang menjadi pertimbangan dalam kesepadanan (kufuah) menurut Ulama’ dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali adalah keturunan (nasab). Kalangan Hambali meredaksikannya dengan kalimat “al mansib”. Hal itu berdasar kepada pernyataan sayyidina Umar yang menyatakan “Sungguh aku akan mencegah farji wanita-wanita yang memiliki kasta keturunan, kecuali dari orang-orang yang sepadan.” Di dalam sebuah riwayat diungkapkan “Apa yang dimaksud dengan kesepadanan?”, beliau menjawab “Dalam hal keturunan”, dan karena kalangan arab memegang teguh kesepadanan dalam keturunan, mereka juga membanggakan diri dengan keluhuran nasab dan keturunan, memandang rendah dari menikahi budak, bahkan beranggapan bahwa hal itu merupakan aib dan cacat, dan karena kalangan arab memiliki kelebihan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan yang menjadi pertimbangan dalam kontek “kasta keturunan” adalah bapak, karena mereka berbangga diri dengan para bapak, bukan para ibu. Orang yang memiliki garis keturunan mulia tidak sepadan dengan orang yang tidak memilikinya. Maka laki-laki yang bapaknya dari kalangan selain arab (bukan sayyid/habib) walaupun ibunya dari kasta arab (syarifah) tidak sepadan dengan wanita dari kasta arab walaupun ibunya dari kalangan selain arab, karena sesungguhnya Allah telah memilih kalangan arab dan membedakannya dari yang lain dengan keistimewaan yang melimpah, sebagaimana yang telah dilegitimasikan oleh beberapa hadits. Imam Malik dan Imam Sufyan al Tsauri lebih memilih untuk tidak menjadikan keturunan sebagai pertimbangan dalam kesepadanan. Diucapkan kepada Imam Malik “Sesungguhnya sebagian kalangan membedakan antara arab dan hamba, maka mereka memandang hal itu sebagai satu hal yang sangat penting.” Imam Malik menjawab “Penduduk Islam secara keseluruhan adalah sepadan antara sebagian dengan sebagian yang lain, hal ini berdasar kepada firman Allah di dalam al Qur’an “Surat Al-Hujurat ayat 13.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ – ١٣
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Asbabun Nuzul Surat Al-Hujurat Ayat 13
Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur fi Tafsir Bil-Ma’tsur menyebutkan dua kisah turunnya surat al-Hujurat ayat 13:
أخرج ابْن الْمُنْذر وَابْن أبي حَاتِم وَالْبَيْهَقِيّ فِي الدَّلَائِل عَن ابْن أبي مليكَة قَالَ: لما كَانَ يَوْم الْفَتْح رقي بِلَال فَأذن على الْكَعْبَة فَقَالَ بعض النَّاس: هَذَا العَبْد الْأسود يُؤذن على ظهر الْكَعْبَة وَقَالَ بَعضهم: إِن يسْخط الله هَذَا يُغَيِّرهُ فَنزلت {يَا أَيهَا النَّاس إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وَأُنْثَى} الْآيَة
وَأخرج ابْن الْمُنْذر عَن ابْن جريج وَابْن مرْدَوَيْه وَالْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه عَن الزُّهْرِيّ قَالَ: أَمر رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم بني بياضة أَن يزوّجوا أَبَا هِنْد امْرَأَة مِنْهُم فَقَالُوا: يَا رَسُول الله أتزوّج بناتنا موالينا فَأنْزل الله {يَا أَيهَا النَّاس إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ من ذكر وَأُنْثَى}
Kisah pertama: pada saat Rasulullah memasuki kota Mekkah dalam peristiwa Fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas Ka’bah dan menyerukan azan. Maka sebagian penduduk Mekkah (yang tidak tahu bahwa di Madinah Bilal bin Rabah biasa menunaikan tugas menyerukan azan) terkaget-kaget. Ada yang berkata: “Budak hitam inikah yang azan di atas Ka‘bah?” (dalam riwayat lain di kitab Tafsir al-Baghawi al-Harits bin Hisyam mengejek dengan mengatakan: “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”). Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.
Kisah kedua: Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: “Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?” Lalu turunlah ayat 13 surat al-Hujurat.
Dari sinilah ayat yang berkaitan dengan kasus diatas untuk kita bahas:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Pesan ayat ditas begitu universal; ia menghapus “kasta” dalam masyarakat Arab; menegaskan kembali bahwa sebagai hamba Allah bukan nasab, harta, bentuk rupa atau status pekerjaan yang menentukan keutamaan hamba Allah, tetapi ketakwaan. Dan ketakwaan itu tidak bisa dibeli atau diraih dengan mengandalkan keutamaan nasab, suku atau marga,akan tetapi dengan ilmu amal shalih dan riyadhoh , sehingga mereka orang yang berilmu dan bertaqwa diangkat derajatnya , sayang belakangan ini malah banyak yang hendak mengembalikan “kasta” masyarakat Arab yang sudah dihapus Nabi ini.
أخرج مسلم وابن ماجه عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه قال: قال رسول اللَّه صلّى اللَّه عليه وسلّم: إن اللَّه لا ينظر إلى صوركم وأموالكم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian”
Andaikan seseorang mempunyai nasab yang bagus, tentu patut disyukuri dengan ucapan alhamdulillah. Pakaian, kupyah, surban bisa dipakai ke mana-mana untuk menghiasi badan agar supaya lebih tanpan, namun jika amalnya jelek dan akhlak buruk, maka itu adalah sebuah keniscayaan oleh karena dikatakan dalam sebuah maqolah hakikat tanpan dan cantik “
ليس الجمال بأثواب تزيننا# ولكن الجمال جمال العلم والآداب
Tiadalah ketampanan/kecantikan itu dengan banyaknya pakaian yang kita kenakan # Akan tetapi ketampanan dan kecantikan yang sebenarnya adalah tampan ilmu dan adab.
Maka dari itu ingatlah dengan ayat di atas: bekas budak hitam legam seperti Bilal bin Rabah pun bisa jadi jauh lebih mulia. Semoga putihnya surban dan gamis kita itu juga seputih hati dan perbuatan kita. Amin ya Allah.
Potongan ayat di atas juga sangat ‘modern’ sekali: diciptakanNya kita berbeda suku bangsa untuk “saling mengenal”. Apa maksudnya? Keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau seseorang hanya lahir di suku saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang yang ada di sekitarnya saja, maka sikap dan tindak-tanduknya tentu tidak akan ada perkembangan, oleh karenanya Al-Qur’an mengenalkan konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk saling mengenal satu sama lain. Dengan saling mengenal perbedaan seseorang bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan di antara yang satu dan yang lainnya maka akan lebih menubuhkan sikap toleran; sehingga dapat kesempatan untuk belajar satu sama lain. Adapun Kesalah pahaman yang sering terjadi itu timbul karena tidak adanya atau belum saling mengenal keragaman di antara sesama manusia.
Imam Sufyan al Tsauri juga memberikan statement dengan menyatakan bahwa kesepadanan tidak dipertimbangkan dalam keturuanan, karena sesungguhnya manusia adalah sama berdasar sebuah hadits. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Tidak ada keistimewaan bagi orang arab atas selain arab, juga tidak bagi selain arab atas orang arab, juga tidak bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, juga tidak bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan taqwa”, dan hal itu diperkuat dengan firman Allah “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.
Dari pendapat Imam Malik dan Imam Sufyan as-Stauri sesuai keterangan dalam Kitab Tafsir Thobari disebutkan : Bahwa yang paling taqwa itu yang paling utama dan paling mulia di sisi Allah SWT, tanpa memandang gelar dan Nasab tanpa menafikan kemulian-kemulian khusus yang dimiliki dzurriyah Rosul SAW.
كذا وكذا.
وقوله ( إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ) يقول تعالى ذكره: إن أكرمكم أيها الناس عند ربكم, أشدّكم اتقاء له بأداء فرائضه واجتناب معاصيه, لا أعظمكم بيتا ولا أكثركم عشيرة.
حدثني يونس, قال: أخبرنا ابن وهب, قال: ثني ابن لهيعة, عن الحارث بن يزيد, عن عليّ بن رباح, عن عقبة بن عامر, عن رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قال: ” النَّاسُ لآدَمَ وَحَوَّاءَ كَطَفِّ الصَّاعِ لَمْ يَمْلأوهُ, إنَّ اللّهُ لا يسألُكُمْ عَنْ أحْسابِكُمْ وَلا عَنْ أنْسابِكُمْ يَوْمَ القِيامَةِ, إن أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّهِ أتْقاكُمْ”.
“Dalam ensiklopedia fikih Kuwait (halaman 34-272), salah satu syarat yang dipertimbangkan dalam kesetaraan (kafā’ah) menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali adalah nasab (keturunan).
ب – النَّسَبُ:
٨ – مِنَ الْخِصَال الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْكَفَاءَةِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ، وَالشَّافِعِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ النَّسَبُ، وَعَبَّرَ عَنْهُ الْحَنَابِلَةُ بِالْمَنْصِبِ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِقَوْل عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ: لأََمْنَعَنَّ فُرُوجَ ذَوَاتِ الأَْحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَْكْفَاءِ، وَفِي رِوَايَةٍ قُلْتُ: وَمَا الأَْكْفَاءُ؟ قَال: فِي الأَْحْسَابِ (١) ؛ وَلأَِنَّ الْعَرَبَ يَعْتَمِدُونَ الْكَفَاءَةَ فِي النَّسَبِ وَيَتَفَاخَرُونَ بِرِفْعَةِ النَّسَبِ، وَيَأْنَفُونَ مِنْ نِكَاحِ الْمَوَالِي، وَيَرَوْنَ ذَلِكَ نَقْصًا وَعَارًا؛ وَلأَِنَّ الْعَرَبَ فَضَلَتِ الأُْمَمَ بِرَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَالاِعْتِبَارُ فِي النَّسَبِ بِالآْبَاءِ؛ لأَِنَّ الْعَرَبَ تَفْتَخِرُ بِهِ فِيهِمْ دُونَ الأُْمَّهَاتِ، فَمَنِ انْتَسَبَتْ لِمَنْ تَشْرُفُ بِهِ لَمْ يُكَافِئْهَا مَنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ، فَالْعَجَمِيُّ أَبًا وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ عَرَبِيَّةً لَيْسَ كُفْءَ عَرَبِيَّةٍ وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهَا عَجَمِيَّةً؛ لأَِنَّ اللَّهَ تَعَالَى اصْطَفَى الْعَرَبَ عَلَى غَيْرِهِمْ، وَمَيَّزَهُمْ عَنْهُمْ بِفَضَائِل جَمَّةٍ، كَمَا صَحَّتْ بِهِ الأَْحَادِيثُ (٢) .
وَذَهَبَ مَالِكٌ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِلَى عَدَمِ اعْتِبَارِ النَّسَبِ فِي الْكَفَاءَةِ، قِيل لِمَالِكٍ: إِنَّ بَعْضَ هَؤُلاَءِ الْقَوْمِ فَرَّقُوا بَيْنَ عَرَبِيَّةٍ وَمَوْلًى، فَأَعْظَمَ ذَلِكَ إِعْظَامًا شَدِيدًا وَقَال: أَهْل الإِْسْلاَمِ كُلُّهُمْ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءٌ، لِقَوْل اللَّهِ تَعَالَى فِي التَّنْزِيل: {إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِل لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ } ،
، ٢)قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ فَضْل لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ لأَِحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى (٣) ، وَقَدْ تَأَيَّدَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ} ، (٤) وَلِجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ الْقَائِلِينَ بِاعْتِبَارِ النَّسَبِ فِي الْكَفَاءَةِ بَعْدَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى مَا سَبَقَ تَفْصِيلٌ:
قَال الْحَنَفِيَّةُ: قُرَيْشٌ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءٌ، وَالْعَرَبُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءٌ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءٌ، لِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: قُرَيْشٌ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ، وَالْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ، قَبِيلَةٌ بِقَبِيلَةٍ، وَرَجُلٌ بِرَجُلٍ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ، قَبِيلَةٌ بِقَبِيلَةٍ، وَرَجُلٌ بِرَجُلٍ إِلاَّ حَائِكٌ أَوْ حَجَّامٌ
وَقَالُوا: الْقُرَشِيُّ كُفْءٌ لِلْقُرَشِيَّةِ عَلَى اخْتِلاَفِ الْقَبِيلَةِ، وَلاَ يُعْتَبَرُ التَّفَاضُل فِيمَا بَيْنَ قُرَيْشٍ فِي الْكَفَاءَةِ، فَالْقُرَشِيُّ الَّذِي لَيْسَ بِهَاشِمِيٍّ كَالتَّيْمِيِّ وَالأُْمَوِيِّ، وَالْعَدَوِيُّ كُفْءٌ لِلْهَاشِمِيَّةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُرَيْشٌ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ وَقُرَيْشٌ تَشْتَمِل عَلَى بَنِي هَاشِمٍ وَإِنْ كَانَ لِبَنِي هَاشِمٍ مِنَ الْفَضِيلَةِ مَا لَيْسَ لِسَائِرِ قُرَيْشٍ، لَكِنَّ الشَّرْعَ أَسْقَطَ اعْتِبَارَ تِلْكَ الْفَضِيلَةِ فِي بَابِ النِّكَاحِ مَا عَرَفْنَا ذَلِكَ بِفِعْل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَلأَِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَ ابْنَتَيْهِ مِنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، وَكَانَ أُمَوِيًّا لاَ هَاشِمِيًّا، وَزَوَّجَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ابْنَتَهُ مِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ هَاشِمِيًّا بَل عَدَوِيًّا، فَدَل عَلَى أَنَّ الْكَفَاءَةَ فِي قُرَيْشٍ لاَ تَخْتَصُّ بِبَطْنٍ دُونَ بَطْنٍ.
وَاسْتَثْنَى مُحَمَّدٌ بَيْتَ الْخِلاَفَةِ، فَلَمْ يَجْعَل الْقُرَشِيَّ الَّذِي لَيْسَ بِهَاشِمِيٍّ كُفْئًا لَهُ، فَلَوْ تَزَوَّجَتْ قُرَشِيَّةٌ مِنْ أَوْلاَدِ الْخُلَفَاءِ قُرَشِيًّا لَيْسَ مِنْ أَوْلاَدِهِمْ، كَانَ لِلأَْوْلِيَاءِ حَقُّ الاِعْتِرَاضِ
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ: الْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ بِالنَّصِّ، وَلاَ تَكُونُ الْعَرَبُ كُفْئًا لِقُرَيْشٍ؛ لِفَضِيلَةِ قُرَيْشٍ عَلَى سَائِرِ الْعَرَبِ وَلِذَلِكَ اخْتُصَّتِ الإِْمَامَةُ بِهِمْ، قَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الأَْئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ (١) .
وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ بِالنَّصِّ، وَلاَ تَكُونُ الْمَوَالِي أَكْفَاءً لِلْعَرَبِ، لِفَضْل الْعَرَبِ عَلَى الْعَجَمِ، وَمَوَالِي الْعَرَبِ أَكْفَاءٌ لِمَوَالِي قُرَيْشٍ، لِعُمُومِ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ رَجُلٌ بِرَجُلٍ وَمُفَاخَرَةُ الْعَجَمِ بِالإِْسْلاَمِ لاَ بِالنَّسَبِ، فَمَنْ لَهُ أَبَوَانِ فِي الإِْسْلاَمِ فَصَاعِدًا فَهُوَ مِنَ الأَْكْفَاءِ لِمَنْ لَهُ آبَاءٌ فِيهِ، وَمَنْ أَسْلَمَ بِنَفْسِهِ أَوْ لَهُ أَبٌ وَاحِدٌ فِي الإِْسْلاَمِ لاَ يَكُونُ كُفْئًا لِمَنْ لَهُ أَبَوَانِ فِي الإِْسْلاَمِ؛ لأَِنَّ تَمَامَ النَّسَبِ بِالأَْبِ وَالْجَدِّ، وَمَنْ أَسْلَمَ بِنَفْسِهِ لاَ يَكُونُ كُفْئًا لِمَنْ لَهُ أَبٌ وَاحِدٌ فِي الإِْسْلاَمِ (٢) .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ: غَيْرُ الْقُرَشِيِّ مِنَ الْعَرَبِ لَيْسَ كُفْءَ الْقُرَشِيَّةِ، لِخَبَرِ: قَدِّمُوا قُرَيْشًا وَلاَ تَقَدَّمُوهَا (٣) وَلأَِنَّ اللَّهَ تَعَالَى اصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَلَيْسَ غَيْرُ الْهَاشِمِيِّ وَالْمُطَّلِبِيِّ مِنْ قُرَيْشٍ كُفْئًا لِلْهَاشِمِيَّةِ أَوِ الْمُطَّلِبِيَّةِ، لِخَبَرِ: إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيل، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ (١) ، وَالْمُطَّلِبِيُّ كُفْءُ الْهَاشِمِيَّةِ وَعَكْسُهُ، لِحَدِيثِ: إِنَّمَا بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ شَيْءٌ وَاحِدٌ (٢) ، فَهُمَا مُتَكَافِئَانِ، وَمَحَلُّهُ إِذَا لَمْ تَكُنْ شَرِيفَةً، أَمَّا الشَّرِيفَةُ فَلاَ يُكَافِئُهَا إِلاَّ شَرِيفٌ، وَالشَّرَفُ مُخْتَصٌّ بِأَوْلاَدِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا وَعَنْ أَبَوَيْهِمَا. . نَبَّهَ عَلَى ذَلِكَ ابْنُ ظَهِيرَةَ، وَمَحَلُّهُ أَيْضًا فِي الْحُرَّةِ، فَلَوْ نَكَحَ هَاشِمِيٌّ أَوْ مُطَّلِبِيٌّ أَمَةً فَأَتَتْ مِنْهُ بِبِنْتٍ فَهِيَ مَمْلُوكَةٌ لِمَالِكِ أُمِّهَا، فَلَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْ رَقِيقٍ وَدَنِيءِ النَّسَبِ، لأَِنَّ وَصْمَةَ الرِّقِّ الثَّابِتِ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَلْغَتِ اعْتِبَارَ كُل كَمَالٍ مَعَهُ، مَعَ كَوْنِ الْحَقِّ فِي الْكَفَاءَةِ فِي النَّسَبِ لِسَيِّدِهَا لاَ لَهَا عَلَى مَا جَزَمَ بِهِ الشَّيْخَانِ.
أَمَّا غَيْرُ قُرَيْشٍ مِنَ الْعَرَبِ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ أَكْفَاءُ بَعْضٍ. . نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ، وَقَال فِي زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ إِنَّهُ مُقْتَضَى كَلاَمِ الأَْكْثَرِينَ.
وَقَالُوا: الأَْصَحُّ اعْتِبَارُ النَّسَبِ فِي الْعَجَمِ كَالْعَرَبِ قِيَاسًا عَلَيْهِمْ، فَالْفُرْسُ أَفْضَل مِنَ الْقِبْطِ، لِمَا رُوِيَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: لَوْ كَانَ الدِّينُ عِنْدَ الثُّرَيَّا لَذَهَبَ بِهِ رَجُلٌ مِنْ فَارِسٍ (١) ،
وَبَنُو إِسْرَائِيل أَفْضَل مِنَ الْقِبْطِ، وَمُقَابِل الأَْصَحِّ: أَنَّهُ لاَ يُعْتَبَرُ النَّسَبُ فِي الْعَجَمِ؛ لأَِنَّهُمْ لاَ يَعْتَنُونَ بِحِفْظِ الأَْنْسَابِ وَلاَ يُدَوِّنُونَهَا بِخِلاَفِ الْعَرَبِ، وَالاِعْتِبَارُ فِي النَّسَبِ بِالأَْبِ، وَلاَ يُكَافِئُ مَنْ أَسْلَمَ أَوْ أَسْلَمَ أَحَدُ أَجْدَادِهِ الأَْقْرَبِينَ أَقْدَمَ مِنْهُ فِي الإِْسْلاَمِ، فَمَنْ أَسْلَمَ بِنَفْسِهِ لَيْسَ كُفْءَ مَنْ لَهَا أَبٌ أَوْ أَكْثَرُ فِي الإِْسْلاَمِ، وَمَنْ لَهُ أَبَوَانِ فِي الإِْسْلاَمِ لَيْسَ كُفْءَ مَنْ لَهَا ثَلاَثَةُ آبَاءٍ فِيهِ (٢) .
وَاخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْ أَحْمَدَ، فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّ غَيْرَ قُرَيْشٍ مِنَ الْعَرَبِ لاَ يُكَافِئُهَا، وَغَيْرُ بَنِي هَاشِمٍ لاَ يُكَافِئُهُمْ، لِحَدِيثِ: إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيل، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ، وَلأَِنَّ الْعَرَبَ فُضِّلَتْ عَلَى الأُْمَمِ بِرَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُرَيْشٌ أَخَصُّ بِهِ مِنْ سَائِرِ الْعَرَبِ، وَبَنُو هَاشِمٍ أَخَصُّ بِهِ مِنْ قُرَيْشٍ، وَكَذَلِكَ قَال عُثْمَانُ وَجُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ: إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ لاَ نُنْكِرُ فَضْلَهُمْ عَلَيْنَا لِمَكَانِكَ الَّذِي وَضَعَكَ اللَّهُ بِهِ مِنْهُمْ.
وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ الْعَرَبَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءٌ، وَالْعَجَمَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءٌ؛ لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَ ابْنَتَيْهِ عُثْمَانَ، وَزَوَّجَ عَلِيٌّ عُمَرَ ابْنَتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ (١) .
وَالْكَفَاءَةُ فِي النَّسَبِ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ (٢) .
b – Nasab (Keturunan):
8 – Salah satu syarat yang dianggap penting dalam kafa’ah (kesetaraan dalam pernikahan) menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali adalah nasab (keturunan). Dalam hal ini, mazhab Hanbali menyebutnya dengan istilah mansib (kedudukan). Mereka berdalil dengan perkataan Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu:
“Sungguh aku akan melarang pernikahan wanita-wanita yang memiliki kehormatan kecuali dengan laki-laki yang sepadan.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku bertanya: Siapa yang dimaksud dengan yang sepadan itu?” Umar menjawab: ‘Dalam kehormatan nasab.'” (1)
Hal ini karena bangsa Arab sangat memperhatikan kesetaraan dalam nasab dan merasa bangga dengan kemuliaan keturunan mereka. Mereka merasa hina dan enggan menikahkan wanita mereka dengan laki-laki dari kalangan budak atau keturunan non-Arab, dan mereka menganggapnya sebagai suatu kekurangan dan aib. Selain itu, bangsa Arab memiliki keutamaan karena diutusnya Rasulullah ﷺ di tengah-tengah mereka.
Dalam hal ini, yang menjadi pertimbangan nasab adalah dari pihak ayah, karena bangsa Arab merasa bangga dengan garis keturunan dari ayah, bukan dari ibu. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki nasab mulia dari ayahnya tidak sepadan dengan orang yang tidak memiliki nasab serupa. Seorang laki-laki keturunan non-Arab dari ayah, meskipun ibunya orang Arab, tidak dianggap sepadan dengan perempuan Arab, meskipun ibunya non-Arab. Hal ini karena Allah Ta’ala telah memilih bangsa Arab di atas bangsa lainnya dan memberikan banyak keutamaan kepada mereka, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hadits-hadits yang shahih (2).
Namun, Imam Malik dan Sufyan Ats-Tsauri berpendapat bahwa nasab tidak termasuk syarat dalam kafa’ah. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Malik tentang perbedaan antara laki-laki Arab dan laki-laki dari kalangan budak dalam pernikahan. Imam Malik dengan tegas menolak pandangan tersebut dan berkata:
“Seluruh umat Islam setara satu sama lain,”
seraya berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
“Sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13).
(2) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan bagi orang non-Arab atas orang Arab, serta tidak ada keutamaan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak ada keutamaan bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan.” (3) Hal ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala: {Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.} (4) Mayoritas ulama fiqih yang berpendapat tentang pertimbangan nasab dalam kafa’ah (kesepadanan) setelah kesepakatan mereka tentang perincian yang telah disebutkan sebelumnya menyatakan:
Pendapat Hanafiyah:
Menurut Hanafiyah, sesama suku Quraisy adalah sekufu (setara) satu sama lain, sesama bangsa Arab adalah sekufu satu sama lain, dan sesama maula (bekas budak yang merdeka) juga sekufu satu sama lain. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Quraisy satu sama lain sekufu, orang Arab satu sama lain sekufu, kabilah dengan kabilah, dan seorang lelaki dengan seorang lelaki, serta para maula satu sama lain sekufu, kabilah dengan kabilah, dan seorang lelaki dengan seorang lelaki, kecuali penenun atau tukang bekam.”
Mereka juga berpendapat bahwa seorang lelaki Quraisy sekufu dengan perempuan Quraisy, meskipun berbeda kabilah. Tidak ada keutamaan yang dipertimbangkan di antara Quraisy dalam hal kafa’ah. Maka seorang lelaki Quraisy yang bukan dari Bani Hasyim, seperti dari suku Taimiyah, Umayyah, atau ‘Adawiyah, dianggap sekufu dengan perempuan dari Bani Hasyim. Ini karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Quraisy satu sama lain sekufu.”
Quraisy mencakup Bani Hasyim meskipun Bani Hasyim memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh bagian Quraisy lainnya. Namun, syariat menggugurkan pertimbangan keutamaan tersebut dalam urusan pernikahan. Hal ini diketahui dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ijma’ para sahabat. Rasulullah menikahkan dua putrinya dengan Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu yang berasal dari Bani Umayyah, bukan dari Bani Hasyim. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu juga menikahkan putrinya dengan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang berasal dari Bani ‘Adi, bukan dari Bani Hasyim. Ini menunjukkan bahwa kafa’ah dalam suku Quraisy tidak terbatas pada satu cabang tertentu.
Namun, Imam Muhammad mengecualikan keluarga khalifah. Jika seorang perempuan dari keturunan khalifah menikah dengan lelaki Quraisy yang bukan dari keturunan khalifah, maka para wali berhak untuk mengajukan keberatan.
Pendapat Syafi’iyah:
Menurut Syafi’iyah, selain lelaki Quraisy dari bangsa Arab tidak sekufu dengan perempuan Quraisy. Ini berdasarkan hadis: “Dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahului mereka.” Allah Ta’ala juga memilih Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy.
Selain itu, bukan dari Bani Hasyim atau Bani Muthalib di kalangan Quraisy tidak sekufu dengan perempuan dari Bani Hasyim atau Bani Muthalib, sebagaimana dalam hadis: “Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim.”
Bani Hasyim dan Bani Muthalib saling sekufu, sebagaimana hadis: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah satu kesatuan.” Hal ini berlaku jika perempuan tersebut bukan seorang syarifah (keturunan langsung Rasulullah). Adapun seorang syarifah, maka hanya seorang syarif yang dapat menjadi sekufunya.
Pendapat Hanabilah:
Terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad:
1. Riwayat pertama: selain Quraisy dari bangsa Arab tidak sekufu dengan Quraisy, dan selain Bani Hasyim tidak sekufu dengan Bani Hasyim, berdasarkan hadis yang sama tentang keutamaan Quraisy dan Bani Hasyim.
2. Riwayat kedua: Bangsa Arab satu sama lain sekufu, dan bangsa non-Arab satu sama lain sekufu. Hal ini karena Rasulullah menikahkan kedua putrinya dengan Utsman, dan Ali menikahkan putrinya dengan Umar.
Pendapat Malikiyah:
Menurut Malikiyah, kafa’ah dalam nasab tidak dipertimbangkan.( tidak dianggap).
Penjelasan Singkat:
Teks di atas membahas tentang syarat kesetaraan (kafā’ah) dalam pernikahan menurut beberapa mazhab dalam Islam, khususnya mengenai peran nasab atau keturunan.
* Pendapat yang Mempertimbangkan Nasab: Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa nasab adalah salah satu syarat kesetaraan dalam pernikahan. Mereka berargumen bahwa orang Arab sangat mementingkan keturunan yang mulia dan menganggapnya sebagai faktor penting dalam memilih pasangan hidup.
* Pendapat yang Tidak Mempertimbangkan Nasab: Malik bin Anas dan Sufyan ats-Tsauri berpendapat bahwa nasab tidak perlu dipertimbangkan dalam kesetaraan. Mereka berargumen bahwa semua umat Islam adalah saudara dan keutamaan seseorang terletak pada ketakwaannya, bukan pada nasabnya.
Referensi:
ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺣﻞ ﺃﻟﻔﺎﻅ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ (٣ /٣٧٧ )
ﻭﺿﺎﺑﻄﻬﺎ ﻣﺴﺎﻭﺍﺓ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻟﻠﺰﻭﺟﺔ ﻓﻲ ﻛﻤﺎﻝ ﺃﻭ ﺧﺴﺔ ﻣﺎ ﻋﺪﺍ ﺍﻟﺴﻼﻣﺔ ﻣﻦ ﻋﻴﻮﺏ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻫﻲ ) ﺃﻱ ﺍﻟﻜﻔﺎﺀﺓ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻣﻌﺘﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻻ ﻟﺼﺤﺘﻪ ﺃﻱ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻓﻼ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﺃﻧﻬﺎ ﻗﺪ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻟﻠﺼﺤﺔ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺰﻭﻳﺞ ﺑﺎﻹﺟﺒﺎﺭ ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻟﺘﺤﻔﺔ ﻭﻫﻲ ﻣﻌﺘﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻻ ﻟﺼﺤﺘﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺑﻞ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺭﺿﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻭﺣﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺟﺐ ﻭﻻ ﻋﻨﺔ ﻭﻣﻊ ﻭﻟﻴﻬﺎ ﺍﻷﻗﺮﺏ ﻓﻘﻂ ﻓﻴﻤﺎ ﻋﺪﺍﻫﻤﺎ ﺍﻩ ﻭﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺑﻞ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺭﺿﺎ ﻣﻘﺎﺑﻞ ﻗﻮﻟﻪ ﻻ ﻟﺼﺤﺘﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻓﻜﺄﻧﻪ ﻗﻴﻞ ﻻ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﻟﻠﺼﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻃﻼﻕ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺭﺿﺎ ﺍﻩ ﻉ ﺵ ) ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ) ﺍﻟﻜﻔﺎﺀﺓ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺷﺮﻁ ﻟﻠﺼﺤﺔ ﻋﻨﺪ ﻋﺪﻡ ﺍﻟﺮﺿﺎ ﻭﺇﻻ ﻓﻠﻴﺴﺖ ﺷﺮﻃﺎ ﻟﻬﺎ …………. ﺍﻟﻰ ﺍﻥ ﻗﺎﻝ . ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻭﺝ ﺑﻨﺎﺗﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻛﻒﺀ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻓﻰﺀ ﻟﻬﻦ ﻭﺃﻣﺮ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﻗﻴﺲ ﻧﻜﺎﺡ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﻓﻨﻜﺤﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻮﻟﻰ ﻭﻫﻲ ﻗﺮﺷﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺷﺮﻃﺎ ﻟﻠﺼﺤﺔ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻟﻤﺎ ﺻﺢ ﺫﻟﻚ
Referensi:
I’anah al-Talibin ‘ala Hall Alfaẓ Fath al-Mu‘in (3/377)
**Dan kaidahnya adalah persamaan suami dengan istri dalam kesempurnaan atau kekurangan, kecuali keselamatan dari cacat nikah (perkataannya “dan itu adalah”, yaitu) kekafuan, dan perkataannya “diperhatikan dalam nikah, tetapi bukan untuk sahnya”, yaitu kebanyakan, maka tidak bertentangan bahwa ia bisa jadi diperhatikan untuk sahnya seperti dalam perkawinan dengan paksaan. Dan ungkapan at-Tahfīh, “dan itu diperhatikan dalam nikah, tetapi bukan untuk sahnya secara mutlak”, melainkan hanya jika tidak ada kerelaan dari wanita sendiri dalam hal jiwar dan ‘anah, dan hanya dengan wali terdekatnya, selain keduanya. Oh, dan serupa dengan itu di akhir, dan perkataannya “melainkan hanya jika tidak ada kerelaan” berlawanan dengan perkataannya “bukan untuk sahnya secara mutlak”, seakan-akan dikatakan “tidak diperhatikan untuk sahnya secara mutlak”, melainkan hanya diperhatikan jika tidak ada kerelaan. Oh, ‘ala syakh.” Dan hasilnya, kekafuan diperhatikan sebagai syarat untuk sahnya jika tidak ada kerelaan, dan jika tidak, maka bukan syarat baginya… sampai ia berkata. Dan itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putrinya dengan orang yang bukan kafi’ dan tidak setara dengan mereka, dan memerintahkan Fatimah binti Qais menikahi Usamah, lalu ia menikahinya, padahal ia seorang maula dan ia seorang Quraisy. Dan jika itu merupakan syarat untuk sahnya secara mutlak, maka tidaklah sah hal itu.
لشيخ مؤمن الشبلنجي (1/130).
قال الإمام الشاطبي: وقد تقدم في هذه المنن أن من الأدب أن لا يتزوج أحدنا شريفة إلا إن عرف من نفسه أن يكون تحت حكمها وإشارتها ويقدم لها نعله ويقوم لها إذا وردت عليه ولا يتزوج عليها ولا يقتر عليها في المعيشة إلا إن اختارت ذلك اهـ نور الأبصار في مناقب آل النبي المختار.
(Referensi: Syekh Mumin asy-Syalanji, 1/130)
Imam asy-Syaṭibī berkata, “Telah disebutkan sebelumnya dalam berbagai kebaikan bahwa termasuk adab (akhlak yang baik) bagi seorang laki-laki untuk tidak menikahi wanita bangsawan kecuali jika ia yakin pada dirinya sendiri bahwa ia akan berada di bawah perintah dan isyarat istrinya. Ia harus mendahulukan sandal istrinya, berdiri jika istrinya datang, tidak menikah lagi, dan tidak pelit dalam memberikan nafkah, kecuali jika istrinya sendiri yang memilih demikian.” (Nur al-Absār fī Manāqib Āli an-Nabī al-Mukhtār)