Hukum Menyembelih Hewan yang Sedang Sakit
Deskripsi Masalah:
Pada musim pancaroba (perubahan cuaca yang ekstrem), sering kali hewan ternak, seperti ayam, mengalami penyakit. Pemilik hewan menghadapi beberapa pilihan, yaitu menyembelih ayam yang sakit agar dapat dimanfaatkan, merawatnya hingga sembuh, atau membiarkannya hingga mati dengan sendirinya.
Studi kasus yang serupa
Seseorang mempunyai kambing dalam kondisi mabuk karena keracunan lalu si pemilik merasa eman jika kambing nya mati begitu saja, sehingga berinisiatif untuk disembelih.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum menyembelih hewan yang sedang dalam kondisi sakit atau mabuk sebagaimana deskripsi?
Walaikum salam
Selama hewan yang sakit masih punya Hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Bahkan ada sebagian yang berpendapat ada aliran darah ketika disembelih dan tidak memudhoratkan bagi yang mengkonsumsinya maka dalam keadaan demikian , hukumnya boleh dan halal.” Namun makruh jika tujuannya bukan untuk dimakan.
االمكتبة الشاملة كتاب الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف – ت التركي [المرداوي] الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الحنبلي
فصول الكتاب ج: ص: ٣١٨
مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب كتاب الأطعمة باب الذكاة
قالوا: الحياةُ المسْتَقِرَّةُ ما جازَ بقاؤُها أكثرَ اليومِ. وقالوا: إذا لم يَبْقَ فيه إلَّا حرَكَةُ المذْبوحِ، [لم يحِلَّ. فإنْ كان التَّقيِيدُ بأكثرِ اليوم صَحِيحًا، فلا معْنَى للتَّقْيِيدِ بحرَكَةِ المذْبوحِ] (١)؛ للحَظْرِ، وكذا بعَكْسِه، فإنَّ بينَهما أمَدًا بعيدًا. قال: وعندِي أنَّ الحياةَ المسْتَقِرَّةَ، ما ظُنَّ بقاؤُها زِيادَةً على أمَدِ حرَكَةِ المذْبوحِ لمِثْلِه، سِوَى أمَدِ الذَّبْحِ. قال: وما هو في حُكْمِ المَيِّتِ؛ كمَقْطوعِ الحُلْقومِ، ومُبانِ الحُشْوَةِ، فوُجودُها كعَدَم على الأصحِّ. انتهى. وقال الشَّيخُ تَقِيُّ الدِّينِ، رَحِمَه اللهُ: الأظْهَرُ، أنَّه لا يُشْتَرَطُ شيءٌ مِن هذه الأقْوالِ المُتَقَدِّمَةِ، بل متى ذُبِحَ، فخرَجَ منه الدَّمُ الأحْمَرُ، الذي يخْرُجُ مِنَ المُذَكَّى المذْبوحِ في العادَةِ، ليسَ دَمَ المَيِّتِ، فإنَّه يحِلُّ أكْلُه، وإنْ لم يتَحَرَّكْ. انتهى.
فائدة: حُكْمُ المرِيضَةِ حكمُ المُنْخَنِقَةِ. على الصَّحيحِ مِن المذهبِ، [خِلافًا ومذهبًا] (١). وقيل: لا تُعْتَبَرُ حرَكَةُ المرِيضَةِ، وإنِ اعْتَبَرْناها في غيرِها. [وتقدَّم كلامُه في «المُغْنِي» صريحًا] (١)، وحُكْمُ ما صادَه بشَبَكَةٍ، أو شَرَكٍ، أو أُحْبُولَةٍ، أو فَخٍّ، أو أنْقذَه مِن مَهْلَكَةٍ كذلك.
Kitab Al-Inṣāf fī Ma‘rifati ar-Rājiḥ min al-Khilāf karya al-Mardāwī:
Mereka berkata: “Kehidupan yang stabil (hayah mustaqirrah) adalah yang memungkinkan keberlangsungannya lebih dari sehari.” Mereka juga mengatakan: “Jika yang tersisa dalam tubuh hewan hanyalah gerakan refleks penyembelihan, maka tidak halal (untuk dimakan). Jika syarat ‘lebih dari sehari’ itu benar, maka tidak ada makna untuk mensyaratkan gerakan refleks penyembelihan.” Sebaliknya, jika hanya mempertimbangkan gerakan refleks, maka ada jarak waktu yang cukup jauh antara keduanya.
Beliau (al-Mardāwī) berkata: “Menurutku, kehidupan yang stabil adalah kehidupan yang diperkirakan dapat bertahan lebih lama dari durasi gerakan refleks hewan yang disembelih sejenisnya, selain dari waktu penyembelihan itu sendiri.”
Beliau juga berkata: “Adapun yang sudah dianggap dalam hukum mayit, seperti hewan yang terputus tenggorokannya atau terlepas isi perutnya, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada, menurut pendapat yang lebih shahih.”
Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah), rahimahullah, berkata: “Yang lebih kuat adalah bahwa tidak disyaratkan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, kapan saja hewan itu disembelih lalu keluar darah merah yang biasa keluar dari hewan yang disembelih pada umumnya—bukan darah mayit—maka dagingnya halal dimakan, meskipun hewan itu tidak bergerak sama sekali setelah disembelih.”
Faedah:
Hukum hewan yang sakit (yang tidak mampu bergerak) sama dengan hukum hewan yang mati karena tercekik (al-munkhaniqah), menurut pendapat yang shahih dalam mazhab. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya gerakan pada hewan yang sakit, meskipun pada selainnya disyaratkan gerakan. Pendapat ini telah dinyatakan secara eksplisit dalam al-Mughnī. Adapun hukum hewan yang ditangkap dengan jaring, perangkap, jerat, atau jebakan, atau yang diselamatkan dari bahaya, hukumnya juga sama.
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻭﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﺍﻟﻴﻮﻣﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﺫﻛﻴﺖ ﺣﻠﺖ
ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ
ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ : ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ
ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ )ﺕ(٨٠٨/ ﺗﺤﻘﻴﻖ ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ
ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ: ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﻦ ﺗﺼﻨﻴﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ )ﺕ / ٨٠٨ ﻫــ،( ﺃﺣﺪ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﺼﺮﻩ.
ﻭﻣﻮﺿﻮﻋﻬﺎ: ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.
ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﺑﺪﺍﻳﺔ ﺧﻠﻘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺃﺟﻠﻪ.
ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ: ﻫﻲ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ، ﻭﺗﻜﻮﻥ ﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﺍﻟﻮﻋﻲ، ﻣﻊ ﺍﻹﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻔﺎﺩﺣﺔ.
ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﻻ ﻭﻋﻲ.
ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﻮﻳﺘﻴﺔ :
ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻨﺎﻳﺔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺇﻣّﺎ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﺴﺘﻤﺮّﺓً، ﺃﻭ ﻣﺴﺘﻘﺮّﺓً، ﺃﻭ ﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.
ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮّﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﺗﺒﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻷﺟﻞ ﺑﻤﻮﺕ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ.
ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮّﺓ: ﺗﻜﻮﻥ ﺑﻮﺟﻮﺩ ﺍﻟﺮّﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ ﻭﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻭﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭﻳّﺔ. ﻛﻢ ﻟﻮ ﻃﻌﻦ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻭﻗﻄﻊ ﺑﻤﻮﺗﻪ ﺑﻌﺪ ﺳﺎﻋﺔ ﺃﻭ ﻳﻮﻡ ﺃﻭ ﺃﻳّﺎﻡ ﻭﺣﺮﻛﺘﻪ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻣﻮﺟﻮﺩﺓ.
ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ.
Imam Nawawi berkata: “Syaikh Abu Hamid, Ibnu Shabbagh, Al-Imrani, dan lainnya menyebutkan bahwa hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Jika disembelih dalam keadaan demikian, maka hukumnya halal.”
Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan
Penulis: Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal al-Jabili
Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan – karya Imam Syihabuddin Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi Asy-Syafi’i (w. 808 H), dengan penelitian oleh Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal Al-Jabili.
Ringkasan penelitian:
Risalah ini merupakan karya Imam Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi (w. 808 H), salah satu ulama mazhab Syafi’i pada masanya.
Topik:
Risalah ini membahas perbedaan antara hayat mustamirrah (kehidupan berkelanjutan), hayat mustaqirrah (kehidupan stabil), dan hayat ‘aisy al-madzbuh (kehidupan setelah penyembelihan).
Kehidupan Berkelanjutan (الحياة المستمرة):
Ini adalah kehidupan yang berlangsung sejak penciptaan seseorang hingga akhir ajalnya.
Kehidupan Stabil (الحياة المستقرة):
Ini adalah kehidupan di mana ruh masih berada dalam tubuh, disertai dengan gerakan yang bersifat pilihan dan kesadaran, meskipun telah mengalami cedera fatal.
Kehidupan Setelah Penyembelihan (حياة عيش المذبوح):
Ini adalah kondisi di mana tidak ada lagi penglihatan, ucapan, gerakan pilihan, ataupun kesadaran.
Ensiklopedia Fikih Kuwait
Dalam kasus pelanggaran terhadap kehidupan, terdapat tiga kategori:
Kehidupan Berkelanjutan:
Kehidupan yang berlangsung hingga ajal tiba, baik karena kematian alami maupun pembunuhan.
Kehidupan Stabil:
Kehidupan yang masih memiliki ruh dalam tubuh, disertai gerakan pilihan dan kesadaran, meskipun tanpa gerakan refleks. Contohnya, seseorang yang tertikam dan diyakini akan meninggal setelah satu jam, sehari, atau beberapa hari, tetapi masih memiliki gerakan pilihan.
Kehidupan Setelah Penyembelihan:
Kondisi di mana seseorang tidak lagi memiliki penglihatan, ucapan, ataupun gerakan pilihan
Referensi :
فيض القدير، ٦/٢٥٠)
(مَنْ قَتَلَ عُصْفُوْرًا بِغَيْرِ حَقِّهِ) (سَأَلَهُ اللهُ عَنْهُ) فِي رِوَايَةٍ عَنْ قَتْلِهِ أَيْ عَاقَبَهُ وَعَذَبَهُ عَلَيْهِ (يَوْمَ الْقِيَامَةِ) تَمَامُهُ عِنْدَ مُخْرِجِهِ أَحْمَدِ وَغَيْرِهِ قِيْلَ: وَمَا حَقُّهَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَنْ تَذْبَحَهُ فَتَأْكُلَهُ وَلَا تَقْطَعْ رَأْسَهُ فَتَرْمِى بِهِا اِلَى اَنْ قَالَ; قَالَ الْبَغَوِيُّ: فِيْهِ كَرَاهَةُ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ لِغَيْرِ الْأَكْلِ . ( وَمِنْهَا الْمُثْلَةُ بِالْحَيَوَانِ اَيْ تَقْطِيْعُ اَجْزَائِهِ وَتَغْيِيْرُ خِلْقَنِهِ وَهِيَ مِنَ الْكَبَائِرِ
(Barang siapa yang membunuh burung pipit tanpa haknya)—dalam riwayat lain disebutkan (akan ditanya oleh Allah tentang pembunuhannya), yaitu Allah akan menghukumnya dan mengazabnya (pada hari kiamat).
Hadis ini dilengkapi oleh perawinya, yaitu Imam Ahmad dan lainnya, bahwa dikatakan: “Apa hak burung itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Haknya adalah engkau menyembelihnya lalu memakannya, dan janganlah engkau memotong kepalanya lalu membuangnya.”
Hingga dikatakan bahwa Al-Baghawi berkata: “Di dalam hadis ini terdapat larangan (makruh) menyembelih hewan tanpa tujuan untuk dimakan.”
(Di antara bentuk larangan tersebut adalah menyiksa hewan), yaitu dengan memotong-motong anggota tubuhnya dan mengubah bentuk ciptaannya, dan ini termasuk dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda:
(لاضرر ولا ضرار)
رواه البيهقي وغيرهما وهو حديثٌ صحيح. وقال الإمام
النووي: كل ما أضر أكله كالزجاج والحجر والسم يحرم أكله] .
“(Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain).” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lainnya, serta merupakan hadis yang sahih.
Imam an-Nawawi berkata: “Segala sesuatu yang membahayakan jika dimakan, seperti kaca, batu, dan racun, hukumnya haram untuk dimakan.”
Wallahu a’lam bish-shawab