Kategori
Bahtsul Masail Muamalat

URGENSI MENGAJAR DAN BERDAKWAH : MANA YANG HARUS DIUTAMAKAN

 


Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Deskripsi Masalah:
Ada seorang guru agama yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah sekolah dasar. Selain mengajar, ia juga seorang mubaligh yang sering diundang untuk mengisi pengajian pada jam kerja. Hal ini mengakibatkan ia sering meninggalkan tugasnya sebagai guru, meskipun mendapatkan izin dari kepala sekolah yang merasa terpaksa memberikannya. Rekan-rekan sesama guru juga merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut.

Kasus serupa juga terjadi pada seorang Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK yang memiliki tugas pokok menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Namun, ia juga mengajar di sekolah/madrasah, dan sering kali jadwal mengajarnya bertabrakan dengan jadwal dakwahnya.


Pertanyaan

Bagaiman hukum menghadapi dua kewajiban seperti ini?dan terkait gaji yang dia terima , maturnuwun.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Walaikum salam.

Jawaban.

Hukum Menghadapi Dua Kewajiban yang Bertabrakan

Dalam situasi ini, yang harus didahulukan adalah tugas pokok (tupoksi) sebagai PNS/PPPK. Jika seseorang berstatus sebagai guru PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diprioritaskan adalah mengajar. Begitu pula jika seseorang adalah Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diutamakan adalah berdakwah kepada masyarakat sesuai dengan tupoksinya.

Prinsip ini berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisa: 58)

Amanah sebagai pegawai pemerintah adalah kewajiban yang harus dijaga. Sering meninggalkan tugas pokok tanpa alasan yang sangat mendesak dapat termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan secara syar’i, karena mengabaikan hak orang lain, seperti hak siswa untuk mendapatkan pendidikan atau hak masyarakat untuk mendapatkan bimbingan agama.

Dakwah memang amal mulia, tetapi harus dilakukan tanpa mengorbankan kewajiban yang lebih utama. Seorang guru PNS telah memiliki kontrak kerja dengan negara, sehingga waktu kerja tersebut harus diprioritaskan. Begitu juga halnya dengan Penyuluh  Agama Islam PNS/PPPK.  Rasulullah ﷺ bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.”
(HR. Ibnu Majah no. 2443, dishahihkan Al-Albani)

Jika guru atau Penyuluh tersebut tetap menerima gaji penuh tetapi sering meninggalkan tugasnya, maka dia termasuk orang yang berkhianat  dan  korupsi.

(مرقاة صعود التصديق، ص ٧٥-٧٦).
والخيانة وهي ضد النصيحة فتشمل أي الخيانة الأفعال والأقوال والأحوال وقد يقال دلالة الحال أقوى من دلالة المقال قال الفيومي في المصباح وفرق العلماء بين الخائن والسارق والغاصب بأن الخائن هو الذي خان ما جعل عليه أمينًا والسارق من أخذ خفية من موضع كان ممنوعًا من الوصول إليه وربما قيل كل سارق خائن دون عكسه والغاصب من أخذ جهارًا معتدًا على قوته اهـ

(Sumber: Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq, hlm. 75-76).

Pengkhianatan adalah lawan dari nasihat, mencakup segala bentuk pengkhianatan baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keadaan. Dikatakan bahwa indikasi keadaan (perbuatan) lebih kuat daripada indikasi ucapan.

Al-Fiymi dalam al-Mishbah menyebutkan bahwa para ulama membedakan antara pengkhianat, pencuri, dan perampas. Pengkhianat adalah orang yang berkhianat terhadap sesuatu yang ia dipercayakan untuk menjaganya.

Sedangkan pencuri adalah orang yang mengambil sesuatu secara diam-diam dari tempat yang dilarang untuk dimasuki.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa setiap pencuri adalah pengkhianat, tetapi tidak setiap pengkhianat adalah pencuri.

Adapun perampas (ghashib) adalah orang yang mengambil sesuatu secara terang-terangan dengan menggunakan kekuatan secara zalim.

Korupsi dalam Islam termasuk perbuatan haram karena merugikan orang lain, mengandung unsur pengkhianatan, dan memakan harta yang bukan haknya. Berikut beberapa dalil yang menjadi landasan haramnya korupsi:

1. Al-Qur’an a) Larangan Memakan Harta dengan Cara Batil

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًۢا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini menunjukkan bahwa memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, termasuk suap dan korupsi, adalah perbuatan terlarang.

a) Larangan Khianat terhadap Amanah

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Anfal: 27)

Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang dipercayakan, baik dari negara maupun masyarakat.

2. Hadits Nabi ﷺ a) Larangan Pegawai Negara Mengambil Harta Secara Tidak Sah

Dari Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi para pegawai negara adalah ghulul (harta curian/korupsi).”
(HR. Ahmad, no. 23605; dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menegaskan bahwa pejabat yang menerima hadiah terkait jabatannya termasuk dalam kategori ghulul (penggelapan harta).

b) Ancaman Bagi Pengkhianat dan Pelaku Korupsi

Dari ‘Adi bin ‘Amirah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ، كَانَ غُلُولًا، يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai, lalu dia menyembunyikan sehelai jarum atau lebih dari jabatan tersebut (tidak jujur dalam mengelola harta publik), maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan dia akan membawanya pada hari kiamat.”
(HR. Muslim, no. 1833)

Hadits ini menunjukkan bahwa korupsi, meskipun hanya dalam jumlah kecil, tetap dianggap sebagai pengkhianatan dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

3. Ijma’ Ulama

Para ulama sepakat bahwa korupsi adalah bentuk kezaliman dan memakan harta haram. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi termasuk orang yang berbuat zalim dan harus dihukum.


Solusi yang Dapat Dilakukan

  1. Mengatur Waktu dengan Baik
    • Bagi Guru PNS/PPPK: Jika ingin berdakwah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja, seperti saat sore, malam, atau akhir pekan agar tidak mengganggu tugas mengajar.
    • Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK: Jika ingin mengajar di sekolah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja penyuluh atau saat hari libur.
  2. Memanfaatkan Cuti Resmi
    Jika ada pengajian penting yang tidak bisa ditinggalkan, guru atau penyuluh dapat mengajukan cuti resmi sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, tugas pokoknya tidak terbengkalai dan tidak membebani rekan kerja lainnya.
  3. Meminta Izin dengan Kesepakatan yang Jelas
    Jika ada kebijakan yang memperbolehkan izin, maka izin tersebut harus diberikan dengan persetujuan kepala sekolah atau atasan, tanpa paksaan dan tanpa merugikan hak siswa atau masyarakat.
  4. Fokus pada Tupoksi Masing-Masing
    Jika seseorang merasa tidak mampu menjalankan kedua tugas sekaligus tanpa mengorbankan salah satunya, maka sebaiknya ia memilih salah satu yang lebih sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya.

Kesimpulan

Dalam Islam, amanah sebagai guru maupun penyuluh agama adalah tanggung jawab besar yang harus dijaga. Jika sering meninggalkan tugas utama tanpa alasan yang mendesak, maka hal itu tidak dibenarkan secara syar’i.

  • Bagi Guru PNS/PPPK, berdakwah adalah kewajiban, tetapi tidak boleh mengorbankan tugas utamanya dalam mendidik siswa.
  • Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, mengajar juga merupakan tugas mulia, tetapi tidak boleh mengorbankan amanah utamanya dalam membimbing masyarakat.

Dengan pengaturan waktu yang baik, memanfaatkan cuti, dan meminta izin sesuai aturan, kedua tugas ini dapat dijalankan dengan seimbang tanpa mengabaikan amanah utama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه

قاعدة المصالح والمفاسد وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً. قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما). هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة. الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟! قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة. طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد. إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى. ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(١) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(٢) فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب. الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(٣) البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول. إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد: المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ. المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية. المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه. إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما. الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح. ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(٤) سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾. ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(٥) فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة. ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة. يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم. يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟ أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود. المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة. فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا. ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما. يقول أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟ مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟ أي نعم. هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟ المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”. فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(٦) وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر. فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟!   ١) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (3/١٣٨ ترجمة ٢٩٤٧ الإصابة (٤/٨٩ ترجمة ٤٦٨٥/ ٢) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (١٢٦) واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (١٣٣٣) ٣) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (٢١٩ ٢٢١ ٦٠٢٥)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها ٢٨٤، ٢٨٥ بنحوه من حديث أنس. (٤ الأنعام: ١٠٨. (٥) صحيح:أحمد في المسند (٨٤٤٩، ٨٤٥٢ ٨٦ الفقه

Referensi:Kaidah dengan redaksi yang sedikit berbeda ( bentuk jama’) namun tujuannya adalah sama:

[إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى وإذا تزاحمت المفاسد ارتكبت بالأدنى ]

Jika seseorang dihadapkan pada banyak kemaslahatan maka dahulukanlah yang lebih tinggi nilai keutamaannya. Dan jika dihadapkan pada banyak kerusakan maka ambillah /lakukanlah yang lebih ringan .

كتاب شرح منظومة القواعد الفقهية للسعدي – حمد الحمد [حمد الحمد] الرئيسية أقسام الكتب علوم الفقه والقواعد الفقهية فصول الكتاب <<  <  ج:   ص:   >  >> مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب  تزاحم المصالح والمفاسد  إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى  + – التشكيل [إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى ] قال المصنف رحمه الله: [فإن تزاحم عدد المصالح يقدم الأعلى من المصالح] إذا تزاحمت عندنا المصالح فإنا نقدم الأعلى منها، عندنا مصلحة ومصلحة وتعارضتا عند هذا المكلف، فإما أن يفعل هذه المصلحة وإما أن يفعل المصلحة الأخرى، فيقدم الأعلى منهما. إذا أتيت إلى المسجد وقد أقيمت صلاة الصبح فهل تشرع بنافلة الصبح القبلية أو تصلي الصبح؟ نقول: تصلي الفريضة مع الإمام؛ لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال كما في صحيح مسلم: (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة). إذاً: نقدم الفريضة على النافلة. وإذا كانت العبادة ذات نفع متعد كالعلم، وعارضتها عبادة ذات نفع لازم كصيام التطوع؛ فإنا نقدم العبادة ذات النفع المتعدي. إذاً: نقدم الأعلى من المصالح.

إذا تزاحمت المفاسد ارتكبت الأدنى] قال المصنف رحمه الله: [وضده تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى من المفاسد] كذلك إذا تعارضت المفاسد وتزاحمت فإنا نرتكب الأدنى منها ونجتنب الأعلى، ولذا فإن النبي عليه الصلاة والسلام كما في الصحيحين من حديث أنس بن مالك: أنه لما بال الأعرابي في المسجد فزجره الناس، نهاهم النبي عليه الصلاة والسلام، وذلك لتعارض مفسدتين، الأولى: البول في المسجد فينجس. المفسدة الثانية: أن يحبس بوله فيتضرر، يعني: يلحق بدنه الضرر، وكذلك أيضاً قد ينتشر هذا في المسجد لأنه يقوم وتنتقل النجاسة إلى مواضع أخرى من المسجد. فنهاهم النبي عليه الصلاة والسلام من باب الوقوع في المفسدة الصغرى، فإذا تعارضت عندنا مفسدتان قدمنا المفسدة الصغرى في الوقوع، فنقع في المفسدة الصغرى ونجتنب المفسدة الكبرى. ومن ذلك قول النبي عليه الصلاة والسلام: (لولا أن قومك حديثو عهد بكفر لهدمت الكعبة وبنيتها على قواعد إبراهيم)، متفق عليه. فهنا عندنا مفسدة، وهي بقاء الكعبة فيها نقص من الجهة التي فيها حجر إسماعيل، فإن قريشاً قصرت بهم النفقة فقصروا البناء من جهة حجر إسماعيل، فالنبي عليه الصلاة والسلام أراد أن يهدم الكعبة ويبنيها على قواعد إبراهيم كاملة؛ لكنه خشي مفسدة أعظم، وهي أن يرتد الناس عن الإسلام لأنهم كانوا حديثي عهد بكفر.

Penjelasan Ringkas tentang Kaidah Mashlahat dan Mafsadah dalam Ushul Fiqh

Kaidah ini berbunyi:
“Jika terjadi pertentangan antara dua kemaslahatan, maka didahulukan yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan antara dua mafsadah (kerusakan) dan harus dilakukan salah satunya, maka dipilih yang lebih ringan.”

Kaidah ini memiliki tiga bentuk:

1. Jika Bertemu Dua Kemaslahatan, Pilih yang Lebih Tinggi

Ketika seseorang dihadapkan pada dua kebaikan yang tidak bisa dilakukan sekaligus, maka ia harus memilih yang memiliki manfaat lebih besar.

Contoh:

Jika seseorang memiliki kewajiban membayar utang dan ingin bersedekah, maka membayar utang lebih diutamakan karena hukumnya wajib, sedangkan sedekah sunnah. Jika seseorang memiliki kewajiban salat fardu dan salat nazar, maka salat fardu lebih diutamakan karena sudah ditetapkan oleh syariat secara langsung, sedangkan nazar adalah kewajiban yang dibuat sendiri oleh seseorang. Jika seseorang memiliki pilihan antara menuntut ilmu atau salat sunnah, maka menuntut ilmu lebih diutamakan karena manfaatnya lebih luas dan berkelanjutan.

Dalil:
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi ﷺ ingin membangun kembali Ka’bah sesuai dengan pondasi Ibrahim, tetapi beliau tidak melakukannya karena masyarakat Quraisy saat itu masih baru masuk Islam dan khawatir mereka akan terpengaruh negatif. Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ lebih mengutamakan kemaslahatan dakwah daripada membangun kembali Ka’bah.

2. Jika Bertemu Dua Mafsadah, Pilih yang Lebih Ringan

Jika seseorang dihadapkan pada dua keburukan yang tidak bisa dihindari seluruhnya, maka ia harus memilih keburukan yang dampaknya lebih kecil.

Contoh:

Kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Para sahabat ingin menghentikannya, tetapi Nabi ﷺ melarang mereka. Sebab, membiarkan orang itu menyelesaikan kencingnya lebih ringan mudaratnya dibandingkan menghentikannya di tengah jalan, yang bisa menyebabkan najis tersebar lebih luas dan membuatnya merasa malu secara berlebihan. 3. Jika Bertemu antara Mashlahat dan Mafsadah, Pilih Menghindari Mafsadah Jika Lebih Besar

Jika ada satu kebaikan yang bisa dicapai tetapi dalam prosesnya menimbulkan keburukan yang lebih besar, maka menghindari keburukan lebih diutamakan.

Contoh:

Allah melarang kaum Muslimin mencela berhala orang musyrik karena dapat menyebabkan mereka membalas dengan mencela Allah. Meskipun mencela berhala itu baik karena menunjukkan kebatilan mereka, tetapi jika menyebabkan penghinaan terhadap Allah, maka lebih baik dihindari. Islam melarang wanita untuk sering berziarah ke kuburan karena meskipun ada manfaat berupa nasihat dan peringatan, tetapi lebih besar mudaratnya, seperti timbulnya fitnah dan gangguan terhadap yang hidup maupun yang telah meninggal. Perbedaan antara “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” dan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” Kaidah “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” berarti bahwa hukum suatu sarana mengikuti tujuan akhirnya. Jika tujuan itu baik, maka sarananya juga baik. Sedangkan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” berarti bahwa tujuan yang baik tidak membolehkan penggunaan cara yang haram untuk mencapainya.

Contoh:

Menggunakan media sosial untuk dakwah diperbolehkan karena tujuan akhirnya baik. Namun, mencuri demi menyumbangkan hasilnya ke masjid tetap tidak diperbolehkan karena cara yang digunakan haram. Kesimpulan

Kaidah ini memberikan panduan dalam mengambil keputusan berdasarkan tingkat mashlahat dan mafsadah. Prioritasnya adalah:

Mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar. Jika terpaksa menghadapi dua mafsadah, pilih yang lebih ringan. Jika bertemu antara mashlahat dan mafsadah, cegah mafsadah jika lebih besar dari mashlahatnya.

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Bahtsul Masail Shalat

HUKUM MENGHILANGKAN BAU BADAN ( MULUT) KARENA SEBAB MEROKOK KETIKA AKAN SHALAT

Hukum Menghilangkan Bau Mulut karena Merokok ketika Akan Melaksanakan Shalat

Dalam Islam, menjaga kebersihan dan kesucian, termasuk kebersihan mulut, sangat dianjurkan, terutama sebelum melaksanakan shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merokok dapat menyebabkan bau mulut yang tidak sedap, yang berpotensi mengganggu kekhusyukan shalat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.

Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya menghilangkan bau badan ( mulut )  disebabkan merokok atau lainnya ketika akan sholat?

Waalaikumsalam

Jawaban

Hukum Menghilangkan  bau mulut karena sebab merokok atau pun lainnya seperti makan bawang maupun anggota badan lainnya ketika akan melakukan sholat adalah sunnah . Oleh karenanya  membiarkan badan yang berbau baik karena Merokok ataupun dengan makanan yang berbau, hukumnya makruh tanzih ,maka dari itu sunnah menghilangkan ketika akan shalat dengan cara berkumur-kumur.

المجموع شرح المهذب ص ٥٤٨

اما أَحْكَامُ الْفَصْلِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ مَعَ الِاغْتِسَالِ لِلْجُمُعَةِ أَنْ يَتَنَظَّفَ بِإِزَالَةِ أَظْفَارٍ وَشَعْرٍ وَمَا يحتاج الي ازالتهما كَوَسَخٍ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَتَطَيَّبَ وَيَدَّهِنَ وَيَتَسَوَّكَ وَيَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ أَكْثَرُ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ مِنْ الزِّينَةِ وَغَيْرِهَا وَأَنْ يَتَعَمَّمَ وَيَرْتَدِيَ وَأَفْضَلُ ثِيَابِهِ الْبِيضُ كَغَيْرِهِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ وَذَكَرَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ كَرَاهَةَ لِبَاسِهِ السَّوَادَ وَقَالَهُ قَبْلَهُ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ وَخَالَفَهُمَا الْمَاوَرْدِيُّ فَقَالَ فِي الْحَاوِي
يَجُوزُ لِلْإِمَامِ لُبْسُ الْبَيَاضِ وَالسَّوَادِ قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ يَلْبَسُونَ الْبَيَاضَ وَاعْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِمَامَةٍ سَوْدَاءَ قَالَ وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ السَّوَادَ بَنُو العباس في خلاقتهم شِعَارًا لَهُمْ وَلِأَنَّ الرَّايَةَ الَّتِي عُقِدَتْ لِلْعَبَّاسِ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ وَكَانَتْ رَايَةُ الْأَنْصَارِ صَفْرَاءَ قَالَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَلْبَسَ السَّوَادَ إذَا كَانَ السُّلْطَانُ لَهُ مُؤْثِرًا لِمَا فِي تَرْكِهِ مِنْ مُخَالَفَتِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يلبس السواد ويستدل بحديث عمرو ابن حُرَيْثٍ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَلْبَسُ الْبَيَاضَ دُونَ السَّوَادِ إلَّا أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ تَرَتُّبُ مَفْسَدَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ السُّلْطَانِ أَوْ غَيْرِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
* وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْمَذْكُورَ مِنْ اسْتِحْبَابِ الْغُسْلِ وَالطِّيبِ وَالتَّنَظُّفِ بِإِزَالَةِ الشُّعُورِ الْمَذْكُورَةِ وَالظُّفْرِ وَالرَّوَائِحِ الْكَرِيهَةِ وَلُبْسِ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالْجُمُعَةِ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ مَجْمَعٍ مِنْ مَجَامِعِ النَّاسِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ وَغَيْرُهُمْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أُحِبُّ ذَلِكَ كُلَّهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ وَكُلِّ مَجْمَعٍ تَجْتَمِعُ فِيهِ النَّاسُ قَالَ وَأَنَا لِذَلِكَ فِي الْجُمَعِ وَنَحْوِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُسْتَحَبُّ هَذِهِ الْأُمُورُ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ الْجُمُعَةِ وَنَحْوِهَا سَوَاءٌ الرِّجَالُ وَالصِّبْيَانُ وَالْعَبِيدُ إلَّا النِّسَاءَ فَيُكْرَهُ لِمَنْ أَرَادَتْ مِنْهُنَّ الْحُضُورَ الطِّيبُ وَالزِّينَةُ وَفَاخِرُ الثِّيَابِ وَيُسْتَحَبُّ لَهَا قَطْعُ الرائحة الكريهة وازالة الظفر والشعور المكروهة

Adapun hukum-hukum dalam bab ini, para sahabat kami berkata: Disunnahkan bagi seseorang yang mandi untuk shalat Jumat agar membersihkan diri dengan memotong kuku, mencukur rambut, dan menghilangkan kotoran serta hal-hal lain yang perlu dihilangkan. Juga dianjurkan untuk memakai wewangian, menggunakan minyak rambut, bersiwak, serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah pakaian berwarna putih.

Disunnahkan bagi imam untuk berhias lebih banyak daripada selainnya, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Disunnahkan juga baginya untuk memakai sorban dan ridha (kain yang disampirkan di bahu), serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah warna putih, sebagaimana disunnahkan bagi selainnya. Ini adalah pendapat yang masyhur.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa memakai pakaian hitam itu makruh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki sebelumnya. Namun, al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka. Dalam kitab Al-Hawi, ia mengatakan bahwa boleh bagi imam mengenakan pakaian berwarna putih maupun hitam. Ia juga menyebutkan bahwa Nabi ﷺ dan para khalifah yang empat mengenakan pakaian putih, serta Nabi ﷺ pernah memakai sorban hitam.

Al-Mawardi juga menjelaskan bahwa yang pertama kali menjadikan pakaian hitam sebagai simbol adalah Bani Abbas dalam masa kekhalifahan mereka, karena panji yang diberikan kepada al-Abbas pada hari Fathu Makkah dan Hunain berwarna hitam, sedangkan panji kaum Anshar berwarna kuning. Oleh karena itu, menurutnya, sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam jika penguasa lebih menyukai hal itu, agar tidak bertentangan dengannya.

Dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam, dan ia berdalil dengan hadis dari ‘Amr bin Hurayts. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa imam lebih utama mengenakan pakaian putih daripada hitam, kecuali jika ia yakin bahwa meninggalkan pakaian hitam dapat menimbulkan kemudaratan dari pihak penguasa atau lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.

Catatan: Ketahuilah bahwa anjuran mandi, memakai wewangian, membersihkan diri dengan memotong rambut, kuku, dan menghilangkan bau tidak sedap, serta mengenakan pakaian terbaik tidak hanya khusus untuk shalat Jumat. Hal ini juga dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri perkumpulan manusia. Imam asy-Syafi’i telah menegaskan hal ini, dan para sahabatnya serta ulama lainnya juga menyepakatinya.

Imam asy-Syafi’i berkata: “Aku menyukai semua hal tersebut untuk shalat Jumat, dua hari raya, dan setiap majelis di mana manusia berkumpul.” Ia juga mengatakan, “Namun, untuk shalat Jumat dan semacamnya, aku lebih menekankan keutamaan hal tersebut.”

Asy-Syafi’i dan para sahabatnya juga berpendapat bahwa semua hal ini dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri shalat Jumat dan semacamnya, baik laki-laki, anak-anak, maupun budak. Namun, bagi wanita yang hendak menghadiri shalat Jumat, dimakruhkan bagi mereka memakai wewangian, berhias, dan mengenakan pakaian mewah. Akan tetapi, mereka tetap dianjurkan untuk menghilangkan bau tidak sedap, memotong kuku, serta menghilangkan rambut yang tidak diinginkan.

(يسئلونك فى الدين والحياة، جـ ٢، صـ ٩٨)

. ويؤخذ من إلحاق الدخان بالثوم والبصل كراهته تحريما فى المسجد للنهي الوارد فى الثوم والبصل وهو ملحق بهما والظاهر كراهة تعاطيه جال القراءة (يعنى قراءة القرآن) لما فيه من الإخلال بتعظيم كتاب الله تعالى ولا يليق بالمسلم أن يشرب الدخان الدخان وهو فى بيت من بيوت الله عز وجل كما أنه لا يليق به ان يدخل المسجد وما زالت رائحة الدخان تفوح من فمه وقد يكون من المناسب ان تذكر عبادة زاجرة قالها الشيخ الشبراوى نقلا عن شيخه السجاعي فى شرب الدخان فى عند قراءة القرآن وهي الذي ندين الله عليه هو حرمة شرب الدخان فى مجلس القرآن ولا وجه للقول بالكراهة واذا كان الحديث النبوي فى مجلس القرآن منهما عنه فشرب الدخان فى مجلسه اولى بالنهي لما فيه من الرائحة الكريهة

“Diambil dari pengqiyasan (penyamaan hukum) asap rokok dengan bawang putih dan bawang merah, bahwa hukumnya adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) di dalam masjid, berdasarkan larangan yang telah disebutkan terhadap bawang putih dan bawang merah, dan rokok disamakan dengan keduanya. Tampaknya juga makruh mengonsumsi rokok saat membaca Al-Qur’an, karena hal itu termasuk dalam sikap yang tidak menghormati Kitab Allah Ta’ala. Tidak pantas bagi seorang Muslim untuk merokok di dalam salah satu rumah Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana tidak pantas baginya untuk memasuki masjid sementara bau rokok masih tercium dari mulutnya.

Mungkin juga relevan untuk disebutkan suatu nasihat yang bersifat mengingatkan, yang disampaikan oleh Syaikh Asy-Syabrawi dengan mengutip dari gurunya, As-Suja’i, mengenai hukum merokok saat membaca Al-Qur’an. Ia berkata: ‘Yang kami yakini sebagai bagian dari agama (yakni yang kami yakini sebagai hukum yang benar) adalah haramnya merokok dalam majelis Al-Qur’an, dan tidak ada alasan untuk mengatakan hukumnya hanya makruh. Jika dalam majelis Al-Qur’an terdapat larangan untuk mengonsumsi bawang putih dan bawang merah, maka merokok dalam majelis tersebut lebih utama untuk dilarang, karena baunya yang tidak sedap.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ, الْبَقْلَةِ، الثّومِ (وَقَالَ مَرّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثّومَ وَالْكُرّاثَ) فَلاَ يَقْرَبَنّ مَسْجِدَنَا، فَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذّى مِمّا يَتَأَذّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni bawang putih (suatu kali beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”

Perhatikan Bau Mulut khususnya bagi pecandu/ Perokok

Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa orang yang mulutnya bau karena memakan bawang putih saja tidak boleh menghadiri shalat berjamaah, maka bagaimana lagi dengan orang yang mulutnya bau rokok? Oleh karenanya dianjurkan untuk menghilangkannya tentu saja dengan berkumur-kumur terleh dahulu sebelum shalat

Setelah bau tersebut hilang maka dia dianjurkan untuk berangkat menuju masjid untuk melakukan shalat berjamaah
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang itu hanya contoh saja. Bau yang dimaksud adalah semua bau yang menyengat dan tidak sedap. Beliau berkata

وقال ابن حجر : وقد ألْحَقَ بها الفقهاء ما في معناها من البقول الكريهة الرائحة ، كالفجل

“Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang menyengat.”
Al-Maziriy juga menjelaskan bahwa hal ini mencakup bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan sebagainya. Beliau berkata,

قال المازري : وألْحَق الفقهاء بالروائح أصحاب المصانِع : كالقصّاب والسَّمّاك . نقله ابن الملقِّن

“Para ulama ahli fikih menyamakannya dengan bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”[3]

Bau Tidak Sedap yang Timbul Dari Penyakit

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk juga apabila bau menyengat tersebut muncul akibat penyakit (misalnya terkena penyakit mulut yang sangat bau atau penyakit badan yang anggota tubuhnya ada yang membusuk), maka tidak boleh menghadiri shalat berjamaah sampai penyakitnya sembuh. Beliau berkata,

قال العلماء : إن ما كان من الله ، ولا صنع للآدمي فيه إذا كان يؤذي المصلين فإنه يَخرج ( يعني من المسجد ) ، كالبخر في الفم ، أو الأنف ، أو من يخرج من إبطيه رائحة كريهة ، فإذا كان فيك رائحة تؤذي فلا تقرب المسجد

“Para ulama berkata, jika penyakit tersebut dari Allah dan bukan karena perbuatan manusia, apabila berpotensi menggangu orang yang salat maka sebaiknya ia keluar dari masjid (tidak ikut salat berjamaah), seperti bau pada uap mulut (bau mulut), bau hidung atau apa yang keluar dari ketiaknya berupa bau yang menyengat. Maka jika pada mulutmu terdapat bau yang dapat menganggu maka jangalah anda mendekati masjid (jangan ikut salat berjamaah).”

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج٣٤ص٢٢٥-٢٢٧
حُكْمُ أَكْلِهِ وَأَثَرُهُ فِي حُضُورِ الْجَمَاعَةِ. ٦ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مِنَ الأَْعْذَارِ الَّتِي تُبِيحُ التَّخَلُّفَ عَنِ الْجَمَاعَةِ: أَكْل كُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ كَبَصَلٍ وَثُومٍ وَكُرَّاثٍ وَفُجْلٍ إِذَا تَعَذَّرَ زَوَال رَائِحَتِهِ (١) لِحَدِيثِ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ أَكَل مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ وَقَال مَرَّةً: مَنْ أَكَل الْبَصَل وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ (٢) وَالتَّفْصِيل فِي مُصْطَلَحِ (صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ ف ٣٣) . ٧ – وَهَذَا الْحُكْمُ فِيمَنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ، أَمَّا مَنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ فَصَرَّحَ الْفُقَهَاءُ أَيْضًا بِكَرَاهِيَةِ أَكْلِهِ إِلاَّ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا. قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَيُكْرَهُ أَكْل الْبَصَل وَالثُّومِ وَالْكُرَّاثِ وَالْفُجْل وَكُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ مِنْ أَجْل رَائِحَتِهِ، سَوَاءٌ أَرَادَ دُخُول الْمَسْجِدِ أَمْ لَمْ يُرِدْ (٣) ، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ النَّاسُ (٤) . وَفِي حَاشِيَةِ الدُّسُوقِيِّ: وَأَمَّا أَكْلُهُ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ فَمَكْرُوهٌ إِنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ، وَإِنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ حَرَامٌ (١) . وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ: وَأَكْلُهَا مَكْرُوهٌ فِي حَقِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الرَّاجِحِ وَكَذَا فِي حَقِّنَا وَلَوْ فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ. نَعَمْ. قَال ابْنُ حَجَرٍ وَشَيْخُ الإِْسْلاَمِ: لاَ يُكْرَهُ أَكْلُهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا وَلاَ لِمَنْ لَمْ يُرِدِ الاِجْتِمَاعَ مَعَ النَّاسِ، وَيَحْرُمُ أَكْلُهَا بِقَصْدِ إِسْقَاطِ وَاجِبٍ كَالْجُمُعَةِ وَيَجِبُ السَّعْيُ فِي إِزَالَةِ رِيحِهَا (٢) . وَحَكَى النَّوَوِيُّ إِجْمَاعَ مَنْ يُعْتَدُّ بِهِ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْبُقُول حَلاَلٌ (٣) . أَكْل الزَّوْجَةِ لِلْكُرَّاثِ: ٨ – صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ مِنْ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ كَثُومٍ أَوْ بَصَلٍ أَوْ كُرَّاثٍ لأَِنَّهُ يَمْنَعُ الْقُبْلَةَ وَكَمَال الاِسْتِمْتَاعِ. فَفِي فَتْحِ الْقَدِيرِ وَالْفَتَاوَى الْهِنْدِيَّةِ: وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا يَتَأَذَّى مِنْ رَائِحَتِهِ. وَفِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ: يَجُوزُ لِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مِنْ أَكْل كُل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ مَا لَمْ يَأْكُلْهُ مَعَهَا أَوْ يَكُنْ فَاقِدَ الشَّمِّ وَأَمَّا هِيَ فَلَيْسَ لَهَا مَنْعُهُ مِنْ ذَلِكَ وَلَوْ لَمْ تَأْكُل (٤) .

Hukum Memakannya ( bawang ) dan Pengaruhnya terhadap Kehadiran dalam Shalat Berjamaah

6. Para ulama sepakat bahwa di antara uzur yang membolehkan seseorang tidak menghadiri shalat berjamaah adalah memakan sesuatu yang memiliki bau tidak sedap, seperti bawang merah, bawang putih, daun kucai, dan lobak, jika baunya sulit dihilangkan. Hal ini berdasarkan hadis Jabir dari Nabi ﷺ yang bersabda:

“Barang siapa yang memakan tanaman ini, yaitu bawang putih—dan dalam riwayat lain disebutkan: barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan daun kucai—maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.”

Perincian lebih lanjut dapat ditemukan dalam pembahasan Shalat Berjamaah (Bab 33).

7. Hukum ini berlaku bagi mereka yang ingin pergi ke masjid. Adapun bagi mereka yang tidak berniat ke masjid, para ulama juga menegaskan bahwa makruh hukumnya memakan makanan tersebut, kecuali bagi orang yang mampu menghilangkan baunya.

Ibn Qudamah berkata:
“Makruh hukumnya memakan bawang merah, bawang putih, daun kucai, lobak, dan segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena baunya, baik ia ingin masuk masjid maupun tidak, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.’”

Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi disebutkan:
“Adapun memakannya di luar masjid selain hari Jumat, maka hukumnya makruh jika tidak berniat pergi ke masjid. Namun, jika ia berniat pergi ke masjid, maka pendapat yang kuat menyatakan bahwa hukumnya haram.”

Al-Qalyubi berkata:
“Memakan makanan ini makruh bagi Nabi ﷺ menurut pendapat yang lebih kuat, demikian pula bagi kita, meskipun bukan di masjid.”

Ibn Hajar dan Syaikhul Islam berkata:
“Tidak makruh bagi orang yang mampu menghilangkan baunya, dan juga tidak bagi orang yang tidak berniat berkumpul dengan masyarakat. Namun, haram jika dikonsumsi dengan niat untuk menggugurkan kewajiban seperti shalat Jumat, dan wajib berupaya menghilangkan baunya.”

An-Nawawi menyebutkan adanya ijmak ulama yang dianggap valid bahwa tanaman-tanaman ini halal dimakan.

Hukum Istri Memakan Daun Kucai

8. Para ulama menyatakan bahwa suami memiliki hak untuk melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, seperti bawang putih, bawang merah, dan daun kucai, karena baunya menghalangi ciuman dan kenikmatan sempurna dalam berhubungan suami istri.

Dalam Fathul Qadir dan Fatawa al-Hindiyyah disebutkan:
“Suami berhak melarang istrinya memakan sesuatu yang baunya mengganggu.”

Dalam Syarh ash-Shaghir disebutkan:
“Suami boleh melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, kecuali jika ia memakannya bersama istrinya atau ia sendiri kehilangan indra penciuman. Namun, istri tidak memiliki hak untuk melarang suaminya, meskipun ia sendiri tidak memakannya.”

Kesimpulan

Sunnah menghilangkan bau mulut karena Merokok ataupun karena makan bawang mereka,  sedang membiarkannya ( tidak dihilangkan ) hukumnya makruh

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Bahtsul Masail Kurban / Qurban / Udhhiyah

HUKUM MENYEMBELIH HEWAN YANG SEDANG SAKIT

Hukum Menyembelih Hewan yang Sedang Sakit

Deskripsi Masalah:
Pada musim pancaroba (perubahan cuaca yang ekstrem), sering kali hewan ternak, seperti ayam, mengalami penyakit. Pemilik hewan menghadapi beberapa pilihan, yaitu menyembelih ayam yang sakit agar dapat dimanfaatkan, merawatnya hingga sembuh, atau membiarkannya hingga mati dengan sendirinya.

Studi kasus yang serupa

Seseorang mempunyai kambing dalam kondisi mabuk karena keracunan lalu si pemilik merasa eman jika kambing nya mati begitu saja, sehingga berinisiatif untuk disembelih.

Pertanyaan:
Bagaimana hukum menyembelih hewan yang sedang dalam kondisi sakit atau mabuk sebagaimana deskripsi?

Walaikum salam

Selama hewan yang sakit masih punya Hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Bahkan ada sebagian yang berpendapat ada aliran darah ketika disembelih dan tidak memudhoratkan bagi yang mengkonsumsinya maka dalam keadaan demikian ,  hukumnya boleh dan halal.” Namun makruh jika tujuannya bukan untuk dimakan.

االمكتبة الشاملة كتاب الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف – ت التركي [المرداوي] الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الحنبلي

فصول الكتاب ج: ص: ٣١٨

مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب كتاب الأطعمة باب الذكاة

قالوا: الحياةُ المسْتَقِرَّةُ ما جازَ بقاؤُها أكثرَ اليومِ. وقالوا: إذا لم يَبْقَ فيه إلَّا حرَكَةُ المذْبوحِ، [لم يحِلَّ. فإنْ كان التَّقيِيدُ بأكثرِ اليوم صَحِيحًا، فلا معْنَى للتَّقْيِيدِ بحرَكَةِ المذْبوحِ] (١)؛ للحَظْرِ، وكذا بعَكْسِه، فإنَّ بينَهما أمَدًا بعيدًا. قال: وعندِي أنَّ الحياةَ المسْتَقِرَّةَ، ما ظُنَّ بقاؤُها زِيادَةً على أمَدِ حرَكَةِ المذْبوحِ لمِثْلِه، سِوَى أمَدِ الذَّبْحِ. قال: وما هو في حُكْمِ المَيِّتِ؛ كمَقْطوعِ الحُلْقومِ، ومُبانِ الحُشْوَةِ، فوُجودُها كعَدَم على الأصحِّ. انتهى. وقال الشَّيخُ تَقِيُّ الدِّينِ، رَحِمَه اللهُ: الأظْهَرُ، أنَّه لا يُشْتَرَطُ شيءٌ مِن هذه الأقْوالِ المُتَقَدِّمَةِ، بل متى ذُبِحَ، فخرَجَ منه الدَّمُ الأحْمَرُ، الذي يخْرُجُ مِنَ المُذَكَّى المذْبوحِ في العادَةِ، ليسَ دَمَ المَيِّتِ، فإنَّه يحِلُّ أكْلُه، وإنْ لم يتَحَرَّكْ. انتهى.

فائدة: حُكْمُ المرِيضَةِ حكمُ المُنْخَنِقَةِ. على الصَّحيحِ مِن المذهبِ، [خِلافًا ومذهبًا] (١). وقيل: لا تُعْتَبَرُ حرَكَةُ المرِيضَةِ، وإنِ اعْتَبَرْناها في غيرِها. [وتقدَّم كلامُه في «المُغْنِي» صريحًا] (١)، وحُكْمُ ما صادَه بشَبَكَةٍ، أو شَرَكٍ، أو أُحْبُولَةٍ، أو فَخٍّ، أو أنْقذَه مِن مَهْلَكَةٍ كذلك.

Kitab Al-Inṣāf fī Ma‘rifati ar-Rājiḥ min al-Khilāf karya al-Mardāwī:

Mereka berkata: “Kehidupan yang stabil (hayah mustaqirrah) adalah yang memungkinkan keberlangsungannya lebih dari sehari.” Mereka juga mengatakan: “Jika yang tersisa dalam tubuh hewan hanyalah gerakan refleks penyembelihan, maka tidak halal (untuk dimakan). Jika syarat ‘lebih dari sehari’ itu benar, maka tidak ada makna untuk mensyaratkan gerakan refleks penyembelihan.” Sebaliknya, jika hanya mempertimbangkan gerakan refleks, maka ada jarak waktu yang cukup jauh antara keduanya.

Beliau (al-Mardāwī) berkata: “Menurutku, kehidupan yang stabil adalah kehidupan yang diperkirakan dapat bertahan lebih lama dari durasi gerakan refleks hewan yang disembelih sejenisnya, selain dari waktu penyembelihan itu sendiri.”

Beliau juga berkata: “Adapun yang sudah dianggap dalam hukum mayit, seperti hewan yang terputus tenggorokannya atau terlepas isi perutnya, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada, menurut pendapat yang lebih shahih.”

Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah), rahimahullah, berkata: “Yang lebih kuat adalah bahwa tidak disyaratkan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, kapan saja hewan itu disembelih lalu keluar darah merah yang biasa keluar dari hewan yang disembelih pada umumnya—bukan darah mayit—maka dagingnya halal dimakan, meskipun hewan itu tidak bergerak sama sekali setelah disembelih.”

Faedah:
Hukum hewan yang sakit (yang tidak mampu bergerak) sama dengan hukum hewan yang mati karena tercekik (al-munkhaniqah), menurut pendapat yang shahih dalam mazhab. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya gerakan pada hewan yang sakit, meskipun pada selainnya disyaratkan gerakan. Pendapat ini telah dinyatakan secara eksplisit dalam al-Mughnī. Adapun hukum hewan yang ditangkap dengan jaring, perangkap, jerat, atau jebakan, atau yang diselamatkan dari bahaya, hukumnya juga sama.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻭﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﺍﻟﻴﻮﻣﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﺫﻛﻴﺖ ﺣﻠﺖ

ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ

ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ : ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ

ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ )ﺕ(٨٠٨/ ﺗﺤﻘﻴﻖ ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ

ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ: ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﻦ ﺗﺼﻨﻴﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ )ﺕ / ٨٠٨ ﻫــ،( ﺃﺣﺪ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﺼﺮﻩ.

ﻭﻣﻮﺿﻮﻋﻬﺎ: ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.

ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﺑﺪﺍﻳﺔ ﺧﻠﻘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺃﺟﻠﻪ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ: ﻫﻲ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ، ﻭﺗﻜﻮﻥ ﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﺍﻟﻮﻋﻲ، ﻣﻊ ﺍﻹﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻔﺎﺩﺣﺔ.

ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﻻ ﻭﻋﻲ.

ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﻮﻳﺘﻴﺔ :

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻨﺎﻳﺔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺇﻣّﺎ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﺴﺘﻤﺮّﺓً، ﺃﻭ ﻣﺴﺘﻘﺮّﺓً، ﺃﻭ ﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮّﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﺗﺒﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻷﺟﻞ ﺑﻤﻮﺕ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮّﺓ: ﺗﻜﻮﻥ ﺑﻮﺟﻮﺩ ﺍﻟﺮّﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ ﻭﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻭﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭﻳّﺔ. ﻛﻢ ﻟﻮ ﻃﻌﻦ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻭﻗﻄﻊ ﺑﻤﻮﺗﻪ ﺑﻌﺪ ﺳﺎﻋﺔ ﺃﻭ ﻳﻮﻡ ﺃﻭ ﺃﻳّﺎﻡ ﻭﺣﺮﻛﺘﻪ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻣﻮﺟﻮﺩﺓ.

ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ.

Imam Nawawi berkata: “Syaikh Abu Hamid, Ibnu Shabbagh, Al-Imrani, dan lainnya menyebutkan bahwa hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Jika disembelih dalam keadaan demikian, maka hukumnya halal.”

Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan

Penulis: Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal al-Jabili

Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan – karya Imam Syihabuddin Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi Asy-Syafi’i (w. 808 H), dengan penelitian oleh Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal Al-Jabili.

Ringkasan penelitian:
Risalah ini merupakan karya Imam Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi (w. 808 H), salah satu ulama mazhab Syafi’i pada masanya.

Topik:
Risalah ini membahas perbedaan antara hayat mustamirrah (kehidupan berkelanjutan), hayat mustaqirrah (kehidupan stabil), dan hayat ‘aisy al-madzbuh (kehidupan setelah penyembelihan).

Kehidupan Berkelanjutan (الحياة المستمرة):
Ini adalah kehidupan yang berlangsung sejak penciptaan seseorang hingga akhir ajalnya.

Kehidupan Stabil (الحياة المستقرة):
Ini adalah kehidupan di mana ruh masih berada dalam tubuh, disertai dengan gerakan yang bersifat pilihan dan kesadaran, meskipun telah mengalami cedera fatal.

Kehidupan Setelah Penyembelihan (حياة عيش المذبوح):
Ini adalah kondisi di mana tidak ada lagi penglihatan, ucapan, gerakan pilihan, ataupun kesadaran.

Ensiklopedia Fikih Kuwait

Dalam kasus pelanggaran terhadap kehidupan, terdapat tiga kategori:

Kehidupan Berkelanjutan:
Kehidupan yang berlangsung hingga ajal tiba, baik karena kematian alami maupun pembunuhan.

Kehidupan Stabil:
Kehidupan yang masih memiliki ruh dalam tubuh, disertai gerakan pilihan dan kesadaran, meskipun tanpa gerakan refleks. Contohnya, seseorang yang tertikam dan diyakini akan meninggal setelah satu jam, sehari, atau beberapa hari, tetapi masih memiliki gerakan pilihan.

Kehidupan Setelah Penyembelihan:
Kondisi di mana seseorang tidak lagi memiliki penglihatan, ucapan, ataupun gerakan pilihan

Referensi :

فيض القدير، ٦/٢٥٠)

(مَنْ قَتَلَ عُصْفُوْرًا بِغَيْرِ حَقِّهِ) (سَأَلَهُ اللهُ عَنْهُ) فِي رِوَايَةٍ عَنْ قَتْلِهِ أَيْ عَاقَبَهُ وَعَذَبَهُ عَلَيْهِ (يَوْمَ الْقِيَامَةِ) تَمَامُهُ عِنْدَ مُخْرِجِهِ أَحْمَدِ وَغَيْرِهِ قِيْلَ: وَمَا حَقُّهَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَنْ تَذْبَحَهُ فَتَأْكُلَهُ وَلَا تَقْطَعْ رَأْسَهُ فَتَرْمِى بِهِا اِلَى اَنْ قَالَ; قَالَ الْبَغَوِيُّ: فِيْهِ كَرَاهَةُ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ لِغَيْرِ الْأَكْلِ . ( وَمِنْهَا الْمُثْلَةُ بِالْحَيَوَانِ اَيْ تَقْطِيْعُ اَجْزَائِهِ وَتَغْيِيْرُ خِلْقَنِهِ وَهِيَ مِنَ الْكَبَائِرِ

(Barang siapa yang membunuh burung pipit tanpa haknya)—dalam riwayat lain disebutkan (akan ditanya oleh Allah tentang pembunuhannya), yaitu Allah akan menghukumnya dan mengazabnya (pada hari kiamat).

Hadis ini dilengkapi oleh perawinya, yaitu Imam Ahmad dan lainnya, bahwa dikatakan: “Apa hak burung itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Haknya adalah engkau menyembelihnya lalu memakannya, dan janganlah engkau memotong kepalanya lalu membuangnya.”

Hingga dikatakan bahwa Al-Baghawi berkata: “Di dalam hadis ini terdapat larangan (makruh) menyembelih hewan tanpa tujuan untuk dimakan.”

(Di antara bentuk larangan tersebut adalah menyiksa hewan), yaitu dengan memotong-motong anggota tubuhnya dan mengubah bentuk ciptaannya, dan ini termasuk dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda:

(لاضرر ولا ضرار)

 رواه البيهقي وغيرهما وهو حديثٌ صحيح. وقال الإمام
النووي: كل ما أضر أكله كالزجاج والحجر والسم يحرم أكله] .

“(Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain).” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lainnya, serta merupakan hadis yang sahih.

Imam an-Nawawi berkata: “Segala sesuatu yang membahayakan jika dimakan, seperti kaca, batu, dan racun, hukumnya haram untuk dimakan.”

Wallahu a’lam bish-shawab