Hukum Konsumsi Balut (Telur Embrio) dalam Perspektif Islam
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Deskripsi Masalah
Bismillahirrahmanirrahim.
Fenomena konsumsi balut sebagai makanan khas Filipina kini menjadi tren, bahkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama melalui konten mukbang di media sosial. Balut adalah telur itik atau ayam yang dieramkan hingga janinnya terbentuk hampir sempurna. Tiga hari sebelum menetas, telur ini direbus hingga matang, lalu isinya dikonsumsi, termasuk janin unggas di dalamnya.
Pertanyaan
Lantas, bagaimana hukum mengonsumsi makanan semacam ini dalam perspektif Islam?
Waalaikumsalam salam
Jawaban
Pernyataan bahwa janin unggas dalam balut adalah “buatan” tidak mengubah hukum kehalalannya. Dalam Islam, penentuan hukum makanan tidak hanya berdasarkan proses pembuatannya tetapi juga kondisi zatnya dan cara matinya. Berikut penjelasan dalam kitab Nihayah az-Zain dan Syarh Fath al-Jawad:
1. Konsep Hewan Buatan dalam Syariat
Dalam Islam, telur hewan halal (seperti itik atau ayam) tetap dihukumi suci, selama tidak tercampur najis. Jika di dalam telur terdapat embrio, maka hukum konsumsinya bergantung pada tahap perkembangan embrio tersebut:
Jika embrio belum sempurna (masih berupa mudghah atau segumpal daging), maka hukumnya tetap halal dimakan.
Jika embrio sudah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, maka embrio tersebut juga tetap halal dimakan, sesuai dengan penjelasan dalam Nihayah az-Zain dan Syarh Fath al-Jawad.
Namun, jika embrio telah mencapai tahap sempurna dan ruh telah ditiupkan, maka hukumnya berubah. Jika mati tanpa disembelih, statusnya menjadi bangkai, sehingga haram dimakan.
2. Status Hewan yang Mati Tanpa Disembelih
Al-Qur’an telah menjelaskan hukum bangkai dalam QS. Al-Ma’idah: 3:
“حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ…” (المائدة: 3).
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah…”
Menurut referensi dalam Nihayah az-Zain (Juz 1, Hal. 39):
Jika telur dipecahkan dan terdapat embrio yang belum sempurna atau belum memiliki ruh, maka embrio tersebut halal dikonsumsi.
Namun, jika embrio telah sempurna dan mati tanpa penyembelihan, maka ia dianggap bangkai.
Ini sesuai dengan kaidah syar’i bahwa hewan yang mati tanpa disembelih dihukumi haram, kecuali dalam kondisi darurat.
3. Fatwa Ulama tentang Telur yang Mengandung Embrio
Berikut penjelasan berdasarkan referensi:
Nihayah az-Zain:
Jika di dalam telur terdapat embrio yang belum sempurna bentuknya (seperti segumpal daging), maka hukumnya halal dimakan. Jika embrio telah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, tetap halal dimakan. Namun, jika ruh telah ditiupkan dan embrio mati tanpa disembelih, maka hukumnya haram karena termasuk bangkai.
Syarh Fath al-Jawad:
Jika embrio telah mencapai tahap sempurna dan menunjukkan tanda kehidupan seperti darah mengalir atau gerakan, maka statusnya adalah makhluk hidup yang memerlukan penyembelihan syar’i. Jika mati tanpa disembelih, hukumnya haram dikonsumsi.
4. Konteks Balut dalam Pandangan Fiqih
Berdasarkan penjelasan di atas, hukum balut tergantung pada tahapan perkembangan embrio di dalam telur:
1. Jika embrio belum sempurna atau belum memiliki tanda kehidupan (seperti darah mengalir atau gerakan), maka telur tersebut halal dikonsumsi.
2. Jika embrio telah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, maka statusnya tetap halal.
3. Jika embrio telah sempurna dan ruh telah ditiupkan, maka hukum berubah menjadi haram jika embrio mati tanpa penyembelihan yang sesuai syariat.
5. Kesimpulan
Berdasarkan referensi dalam Nihayah az-Zain dan Syarh Fath al-Jawad:
Jika balut mengandung embrio yang belum sempurna atau belum ditiupkan ruh, maka tetap halal.
Namun, jika embrio sudah mencapai tahap sempurna dan mati tanpa disembelih, maka hukumnya menjadi haram karena dianggap bangkai.
Penjelasan ini tidak bertentangan dengan keterangan kitab, melainkan memperjelas bahwa tahap perkembangan embrio menjadi faktor utama dalam menentukan kehalalan atau keharaman makanan tersebut.Walllahu a’lam
Referensi:
نهاية الزين ج: ١ ص: ٣٩
ويجوز أكل قشر البيض ولو من مأكول وإذا لم تفسد البيضة لكن اختلط بياضها بصفارها وأنتنت فهي طاهرة يحل أكلها سواء كان ذلك بلا سبب أو بسبب حضن دجاجة لها أو وضعها في مكان وإرسال الدخان عليها ليخرج الفرخ عنها كقطعة لحم أنتنت ودادت فإنه يحل أكلها على الصحيح ولو مع الدود الذي تولد منها ما لم تضر ولو كسرت بيضة حيوان مأكول ووجد في جوفها فرخ لم يكمل خلقه أو كمل خلقه لكن قبل نفخ الروح فيه جاز أكله بخلاف ما إذا كان بعد نفخ الروح وزالت حياته بغير ذكاة شرعية فإنه يكون ميتة وأما إذا كانت البيضة من مأكول ووجد في جوفها حيوان كامل كامل مأكول ولو صلقت البيضة بالماء المتنجس تنجس ظاهرها فقط دون بياضها وصفارها
شرح فتح الجواد ص: ٧١-٧٢
ولو انقلبت البيضة دما كلا او بعضا وكان غير المنقلب مائعا حرم اكلها حيث لم تصلجح للتخلق لنجاسة الدم وتنجيسه لغير المنقلب المائع ويعلم ذلك بقول اهل الخبرة كما قال م ر في شرح العباب اما القشر وغير المنقلب من احشو اذا كان جامدا فيجوز اكلهما بعد تظهيرهما ولو مذرت بان احتلط بياضها بصفرتها او أنتنت فالاصح حل اكلها لان مجرد الاحتلاط وتغير الرائحة لا يفيد تنجيسا ولا تحريما ولا فرق في ذلك كما قال الطبلاوي على التبيان بين كون الاحتلاط وتغير الرائحة بلا سبب او بسبب حضن الدجاجة لها او وضعها في محل او ارسال الدخان عليها ليجيئ منها الفرخ ففسدت بسبب ذلك كقطعة لحم انتنت ودودت فانه يحل اكلها على الصحيح مع الكراهة مفردة ومع الدود الذي تولد منها قبل انفصاله عنها بخلاف دودها المنفرد عنها والذي طرأ عليها من غيرها وعاد اليها بعد انفصاله عنها فانه حينئذ لا يحل ولو كسرت بيضة طائر مأكول ووجد داخل جوفها فرح لم يكمل خلقه كأن صار قطعة لحم كالمضغة او كمل خلقه لكن كسرت عنه البيضة وخرج قبل نفخ الروح فيه جاز اكله لانه طاهر غير مستقذر كما قالوا بذلك في مضغة خرجت من حيوان مأكول من انها طاهرة وانها تحل بالذكاة لأمها بل الفرخ اولى بالطهارة من المضغة لانه مستحيل من طاهر بلا خلاف بخلاف المضغة فانها مستحيلة عن المني وفيه قول بالتنجيس اما اذا كانت بيضة غير مأكول فلا يحل لك اكل ما في جوفها من الفرخ لانه حيوان غير مأكول اهـ
Terjemah
1. Nihayah az-Zain Juz 1 Halaman 39:
Diperbolehkan memakan kulit telur, meskipun dari telur hewan yang halal dimakan, selama tidak merusak telur tersebut. Jika putih telur bercampur dengan kuningnya dan membusuk, maka tetap suci dan boleh dimakan, baik disebabkan oleh sesuatu maupun tidak, seperti karena dierami oleh ayam, diletakkan di suatu tempat, atau diasapi agar anak ayam keluar darinya. Hal ini seperti sepotong daging yang membusuk dan berulat, tetap boleh dimakan menurut pendapat yang shahih, baik bersama ulat yang tumbuh darinya selama tidak membahayakan.
Jika telur hewan halal dimakan dipecahkan dan di dalamnya terdapat embrio anak ayam yang belum sempurna bentuknya, atau sudah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, maka boleh dimakan. Namun, jika ruh telah ditiupkan dan ia mati tanpa disembelih secara syar’i, maka dianggap bangkai.
Adapun jika telur berasal dari hewan halal dimakan, kemudian ditemukan di dalamnya hewan utuh yang juga halal dimakan, maka boleh dimakan, bahkan jika telur tersebut direbus dengan air najis, hanya bagian luarnya saja yang terkena najis, sedangkan putih dan kuning telurnya tetap suci.
2. Syarh Fath al-Jawad Halaman 71-72:
Jika telur berubah menjadi darah seluruhnya atau sebagian, dan bagian yang tidak berubah masih cair, maka haram dimakan karena darah itu najis dan menajiskan bagian cair yang tidak berubah. Hal ini dapat diketahui melalui keterangan para ahli. Namun, kulit telur dan bagian yang tidak berubah jika berupa zat padat, boleh dimakan setelah disucikan.
Jika telur membusuk dan putihnya bercampur dengan kuningnya, pendapat yang lebih shahih menyatakan tetap boleh dimakan, karena campuran tersebut dan perubahan bau tidak menyebabkan kenajisan atau keharaman. Tidak ada perbedaan, baik pembusukan tersebut terjadi tanpa sebab atau karena dierami ayam, diletakkan di tempat tertentu, atau diasapi untuk menghasilkan anak ayam darinya. Ini seperti daging yang membusuk dan berulat, tetap boleh dimakan menurut pendapat yang shahih, meskipun makruh, baik bersama ulat yang tumbuh darinya selama belum terpisah.
Namun, ulat yang terpisah dari telur dan kembali kepadanya, atau berasal dari luar, tidak boleh dimakan. Jika telur hewan halal dimakan dipecahkan dan di dalamnya terdapat embrio ayam yang belum sempurna bentuknya, seperti potongan daging menyerupai mudghah (segumpal daging), atau telah sempurna bentuknya tetapi belum ditiupkan ruh, maka boleh dimakan karena suci dan tidak menjijikkan.
Berbeda halnya jika telur berasal dari hewan yang tidak halal dimakan, maka hewan utuh di dalamnya juga tidak boleh dimakan karena termasuk hewan yang haram dimakan. Wallahu a’lam