Hukum Sholat bagi Lansia dengan Gangguan Ingatan dan Tata Cara Ibadah bagi Pasien yang Diinfus
Deskripsi Masalah:
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dengan anugerah akal yang luar biasa. Melalui akal, manusia mampu mengingat berbagai peristiwa, pengalaman, dan pengetahuan sepanjang hidupnya. Namun, seiring bertambahnya usia, kemampuan akal mengalami penurunan. Banyak lansia yang mulai kesulitan mengenali orang di sekitarnya, bahkan lupa akan identitas dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, mereka seringkali meninggalkan kewajiban agama, seperti sholat lima waktu, bukan karena kesengajaan, tetapi karena keterbatasan daya ingat dan kesadaran.
Selain itu, dalam konteks kesehatan, ada pula kondisi di mana seseorang tidak dapat menjalankan ibadah dengan sempurna karena keterbatasan fisik, seperti pasien yang sedang diinfus. Jika infus dilepas untuk berwudhu, hal itu dapat membahayakan kesehatannya.
Pertanyaan:
1. Apakah lansia dengan kondisi seperti yang disebutkan di atas masih dibebani kewajiban sholat lima waktu?
2. Bagaimana tata cara wudhu dan sholat bagi pasien yang sedang diinfus, sedangkan membuka infus dapat membahayakan kesehatannya?
Waalaikum salam
Jawaban:
1. Kewajiban Sholat bagi Lansia dengan Gangguan Ingatan
Dalam Islam, kewajiban sholat lima waktu hanya dibebankan kepada orang yang memiliki kemampuan akal yang sehat dan kesadaran penuh. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Abu Dawud, no. 4403).
Berdasarkan hadits ini, jika seorang lansia mengalami gangguan ingatan yang membuatnya kehilangan kesadaran dan tidak dapat membedakan waktu serta kewajiban, maka kewajiban sholat tidak lagi berlaku baginya. Namun, jika ia masih memiliki kesadaran walaupun terbatas, maka ia tetap diwajibkan sholat sesuai dengan kemampuannya, baik dengan gerakan, isyarat, maupun dalam hati jika tidak mampu bergerak sama sekali.
2. Tata Cara Wudhu dan Sholat bagi Pasien yang Diinfus
Wudhu: Jika pasien yang diinfus tidak memungkinkan untuk berwudhu secara sempurna karena membuka infus dapat membahayakan, maka ia diperbolehkan bertayammum. Jika tayammum pun tidak memungkinkan, ia dapat sholat tanpa wudhu atau tayammum karena Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya (la yukallifullahu nafsan illa wus’aha).
Sholat: Pasien sholat sesuai kemampuannya, baik dalam posisi duduk, berbaring, atau dengan isyarat mata atau hati jika tidak mampu bergerak sama sekali. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16).
Dengan demikian, Islam memberikan kemudahan dan keringanan dalam melaksanakan ibadah bagi orang yang memiliki uzur syar’i, baik karena usia lanjut dengan gangguan ingatan maupun kondisi kesehatan seperti pasien yang diinfus.
Referensi
“التشريع الجنائي في الإسلام ج ٢ / ص (١٤٢)
وفقدان القوى العقلية قد يكون تاماً ومستمراً ويسمونه جنوناً مطبقاً. وقد يكون تاماً وغير مستمر ويسمونه جنوناً متقطعاً. وقد يكون جزئياً فيفقد الإنسان قدرة الإدراك في موضوع بعينه، ولكنه يظل متمتعاً بالإدراك فيما عداه، وهذا ما يسمونه بالجنون الجزئي. وقد لا تفقد القوى العقلية تماماً، ولكنها تضعف ضعفاً غير عادي، فلا ينعدم الإدراك كلية، ولا يصل في قوته إلى درجة الإدراك العادي للأشخاص الأصحاء، وهذا ما يسمونه بالعته أو البله. وهناك مظاهر أخرى لفقدان القوى العقلية اصطلح على تسميتها بأسماء معينة، ولكنها جميعاً تقوم على أساس واحد هو انعدام الإدراك في الإنسان، وحكم هذه الحالات جميعاً واحد على تعدد مظاهرها واختلاف مسمياتها، وهو أن المسئولية الجنائية تنعدم كلما انعدم الإدراك فإذا لم ينعدم فالمسئولية قائمة وإذا أفاق صاحب الجنون المتقطع إفاقة جزئية، بمعنى أنه لا يدرك إدراكاً تاماً في حالة أو في حالات معينة، ولكنه يدرك إدراكاً تاماً فيما عدا ذلك، فحكمه في حالة الإفاقة الجزئية حكم صاحب الجنون الجزئي. وإذا أفاق صاحب الجنون المتقطع ولكنه كان في إفاقته ضعيف الإدراك بصفة عامة فحكمه في هذه الحالة حكم المعتوه. وأكثر الفقهاء يسلمون أن العته نوع من الجنون وبأن درجات الإدراك تتفاوت في المعتوهين ولكنها لا تخرج عن حالة الصبي المميز، ولكن بعض الفقهاء يرون أن بعض المعتوهين يكونون من حيث الإدراك كالصبي الغير مميز وبعضهم كالصبي المميز، وأصحاب هذا الرأي لا يجعلون فرقاً بين الجنون والعته إذا كان المعتوه في أقل درجات التمييز ولذلك فرقوا بين الجنون والعته بأن الأول يصحبه اضطراب وهيجان والثاني يلازمه الهدوء ولكن حقيقتهما واحدة. وسواء صح هذا الرأي أو ذاك فهي مسميات لحقائق واقعة ومعبرة بالواقع لا بالمسمى؛ لأن فاقد الإدراك معفى من العقاب سواء سمي معتوهاً أو مجنوناً أو كان له اسم آخر
“At-Tasyri’ al-Janiy fil Islam, Jilid 2, Halaman 142
Hilangnya kemampuan akal dapat terjadi secara total dan terus-menerus, yang disebut kegilaan mutlak. Atau bisa juga terjadi secara total namun tidak terus-menerus, yang disebut kegilaan terputus-putus. Atau bisa pula terjadi secara sebagian, di mana seseorang kehilangan kemampuan memahami dalam hal tertentu, namun tetap memiliki kemampuan memahami dalam hal lainnya. Hal ini disebut kegilaan sebagian.
Atau bisa jadi kemampuan akal tidak hilang sepenuhnya, namun melemah secara tidak wajar, sehingga pemahaman tidak lenyap sama sekali, namun tidak mencapai tingkat pemahaman normal orang sehat. Kondisi ini disebut kebodohan atau kebodohan tingkat rendah.
Selain itu, ada berbagai manifestasi lain dari hilangnya kemampuan akal yang diberi istilah-istilah tertentu, namun semuanya didasarkan pada satu hal yang sama, yaitu hilangnya kemampuan memahami pada diri manusia. Hukum untuk semua kondisi ini adalah sama, terlepas dari berbagai manifestasinya dan perbedaan istilahnya, yaitu tanggung jawab pidana hilang ketika kemampuan memahami hilang. Jika kemampuan memahami tidak hilang, maka tanggung jawab pidana tetap ada.
Jika seseorang yang mengalami kegilaan terputus-putus sadar kembali secara sebagian, artinya ia tidak memahami sepenuhnya dalam satu atau beberapa hal tertentu, namun memahami sepenuhnya dalam hal lainnya, maka hukum yang berlaku padanya saat sadar sebagian adalah sama dengan hukum bagi orang yang mengalami kegilaan sebagian. Dan jika seseorang yang mengalami kegilaan terputus-putus sadar kembali namun dalam keadaan kesadarannya lemah secara umum, maka hukum yang berlaku padanya adalah sama dengan hukum bagi orang yang bodoh.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa kebodohan adalah jenis kegilaan dan tingkat pemahaman pada orang yang bodoh berbeda-beda, namun tidak melampaui tingkat pemahaman anak yang sudah bisa membedakan. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian orang yang bodoh memiliki tingkat pemahaman seperti anak yang belum bisa membedakan, dan sebagian lainnya seperti anak yang sudah bisa membedakan. Pendapat ini tidak membedakan antara kegilaan dan kebodohan jika orang yang bodoh berada pada tingkat pemahaman yang paling rendah. Oleh karena itu, mereka membedakan antara kegilaan dan kebodohan dengan alasan bahwa kegilaan disertai gangguan dan kegelisahan, sedangkan kebodohan disertai ketenangan, namun pada dasarnya keduanya adalah satu hal.
Terlepas dari benar atau salahnya pendapat ini, semua istilah tersebut hanyalah sebutan untuk kenyataan yang ada dan menggambarkan kenyataan tersebut, bukan sebutan itu sendiri. Karena orang yang kehilangan kemampuan memahami dibebaskan dari hukuman, terlepas dari apakah ia disebut bodoh, gila, atau memiliki sebutan lainnya.”
- (حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج ٤ / ص ٥٩)
مسألة، فعدم الإعادة مقيد بقيود أربعة. فإن وضعت على حدث وجبت الإعادة إلا في صورة واحدة وهي: ما إذا كانت في غير أعضاء التيمم ولم تأخذ من الصحيح شيئا. والحاصل: أن الجبيرة إن كانت في أعضاء التيمم وجبت الإعادة مطلقا، وإن كانت في غيرها فإن لم تأخذ من الصحيح شيئا فلا إعادة مطلقا، وإن أخذت زيادة على قدر الاستمساك وجبت الإعادة مطلقا، وإن أخذت ما لا بد منه للاستمساك فإن وضعها على طهر، ولم يسهل نزعها فلا قضاء، وإلا بأن وضعها على حدث أو سهل النزع وجب القضاء ا هـ شوبري. وفي حج: ولو غرز إبرة مثلا ببدنه أو انغرزت فغابت أو وصلت لدم قليل لم يضر أو لدم كثير أو لجوف لم تصح الصلاة لاتصالها بنجس ا هـ. قال سم: عليه ومحل عدم الصحة حيث كان طرفها بائنا ظاهرا ا هـ. أقول: وما قيد به قد يؤخذ من قوله فغابت. وقوله: لم تصح إلخ. ينبغي أن محله إذا لم يخف من نزعها ضررا يبيح التيمم، وأن محله أيضا إذا غرزها لغرض، أما إذا غرزها عبثا فتبطل؛ لأنه بمنزلة التضمخ بالنجاسة عمدا، وهو يضر.
(Hasyiah Bajuri pada al-Khatib – Jilid 4, halaman 59)
Masalah: Ketidakwajibannya mengulang wudhu dibatasi oleh empat syarat. Jika (pembal) diletakkan pada saat junub, maka wajib mengulang wudhu, kecuali dalam satu keadaan, yaitu: jika (pembal) itu tidak berada pada anggota yang digunakan untuk tayammum dan tidak mengambil sesuatu dari anggota yang suci.
Kesimpulannya: Jika pembal itu berada pada anggota yang digunakan untuk tayammum, maka wajib mengulang wudhu secara mutlak. Jika berada pada anggota selainnya, dan tidak mengambil sesuatu dari anggota yang suci, maka tidak wajib mengulang wudhu secara mutlak. Jika mengambil lebih dari sekadar untuk menempel, maka wajib mengulang wudhu secara mutlak. Jika mengambil seperlunya untuk menempel, dan jika diletakkan pada saat suci dan sulit untuk dilepas, maka tidak ada qadha. Namun jika diletakkan pada saat junub atau mudah untuk dilepas, maka wajib qadha. Demikian menurut Syubri.
Dalam kitab al-Hujjah disebutkan: Walaupun menusukkan jarum misalnya pada tubuhnya atau jarum tersebut tertanam sehingga hilang atau sampai pada sedikit darah, tidak mengapa. Namun jika sampai pada banyak darah atau pada rongga, maka shalatnya tidak sah karena bersambungan dengan najis.
Kata Syam berkata: Pendapat ini berlaku pada kondisi di mana ujung jarum tersebut terlihat jelas.
Saya katakan: Syarat yang disebutkan oleh Syam ini dapat diambil dari kalimat “sehingga hilang”. Dan kalimat “maka shalatnya tidak sah” dll, menurut saya maksudnya adalah jika tidak khawatir akan bahaya jika mencabutnya sehingga dibolehkan tayammum. Dan juga syaratnya adalah jika menusukkan jarum tersebut dengan sengaja. Adapun jika menusukkannya dengan sia-sia, maka shalatnya batal, karena sama halnya dengan mengoleskan najis dengan sengaja, dan ini membatalkan wudhu.
Penjelasan Singkat:
Teks di atas membahas tentang syarat-syarat batalnya wudhu akibat adanya benda asing (pembal) pada tubuh. Secara umum, jika pembal tersebut mengenai anggota wudhu atau mengambil sesuatu dari anggota suci, maka wudhu menjadi batal. Namun, ada beberapa pengecualian dan syarat yang perlu diperhatikan, seperti jenis pembal, letaknya, dan tujuan menusukkannya.