Hukum Libur Siswa Ditahun Baru Masehi: Antara Tasyabbuh dan Kebijakan Pemerintah
Assalamualaikum
Deskripsi masalah sebagaimana ibarat berikut:
يحرم على المسلمين التشبه بالكفار بإقامة الحفلات بهذه المناسبة، أو تبادل الهدايا أو توزيع الحلوى، أو أطباق الطعام، أو تعطيل الأعمال ونحو ذلك، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “من تشبه بقوم فهو منهم”.
Haram bagi Muslim untuk meniru orang-orang kafir dengan mengadakan perayaan pada kesempatan seperti itu, atau bertukar hadiah atau membagikan permen, atau menyajikan makanan, atau menangguhkan pekerjaan, dan semacamnya, karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
Pertanyaanya:
Bagaimana hukumnya dengan siswa yg ikut libur pass tahun baru, karena setiap tahun baru kalender pasti tanggalnya merah🙏🏻🙏🏻
Waalaikum salam
jawaban
Libur pada tanggal merah saat Tahun Baru Masehi bukanlah sesuatu yang secara khusus dimaksudkan untuk merayakan perayaan agama tertentu, melainkan merupakan kebijakan pemerintah sebagai hari libur nasional. Oleh karena itu, hukum bagi siswa atau siapa pun yang memanfaatkan hari libur tersebut bukan termasuk dalam kategori tasyabbuh (menyerupai) yang diharamkan, selama niatnya bukan untuk merayakan acara keagamaan atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Penjelasan Ulama tentang Tasyabbuh (Menyerupai Orang Kafir)
Tasyabbuh yang dilarang adalah meniru orang kafir dalam hal yang khusus terkait agama atau simbol keagamaan mereka.
Adapun jika sesuatu sudah menjadi bagian dari kebiasaan umum (urf am), seperti libur nasional yang berlaku untuk semua orang tanpa memandang agama, maka hal itu tidak termasuk dalam tasyabbuh yang diharamkan, dan hal itu merupakan kebijakan pemerintah bagi rakyat yang berdasarkan maslahah. Sebagaimana
Dalam kaidah fiqih, disebutkan kaidah:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: “Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahah,”
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:
“Sekadar melakukan suatu perkara yang kebetulan mereka (non-Muslim) juga melakukannya, namun tidak ada maksud untuk menyerupai mereka, maka hal itu tidak termasuk dalam larangan tasyabbuh.” (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1/241)
Oleh karena itu sebagai Rakyat atau bawahan harus mengikuti aturan pemerintah selama bukan hal yang maksiat sebagaimana Referensi ibarat berikut :
بغية المسترشدين ص : ٩١ دار الفكر
(مسألة ك)
يجب امتثال أمر الإمام فى كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه فى مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله م ر وتردد فيه فى التحفة ثم مال إلى الوجوب فى كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة فى المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطنا أنه يأثم اهـ قلت وقال ش ق والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوى الهيآت وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادى بعدم شرب الناس له فى الأسواق والقهاوى فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشىء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اه.
(Masalah K)
Wajib menaati perintah imam dalam segala hal yang ia memiliki wewenang di dalamnya, seperti kewajiban membayar zakat harta yang tampak (zakat al-mal az-zahir). Jika imam tidak memiliki wewenang dalam hal tersebut, tetapi berkaitan dengan hak yang wajib atau sunnah, maka boleh diserahkan kepadanya atau disalurkan secara mandiri ke pos-pos yang semestinya. Jika yang diperintahkan adalah sesuatu yang mubah, makruh, atau haram, maka tidak wajib menaati perintahnya dalam hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam ar-Ramli. Namun, dalam kitab Tuhfah, terdapat keraguan mengenai hal ini. Kemudian pendapat yang lebih condong adalah wajib menaati imam dalam semua yang ia perintahkan, meskipun haram, tetapi hanya pada perkara yang tampak (zahir). Adapun selainnya, jika terdapat kemaslahatan umum, maka wajib menaati baik secara zahir maupun batin. Jika tidak, maka hanya wajib secara zahir.
Adapun patokan untuk perintah yang sunnah dan mubah adalah berdasarkan keyakinan orang yang diperintah. Makna perkataan mereka “zahir” adalah tidak berdosa jika tidak menaati perintah tersebut. Sedangkan makna “batin” adalah berdosa jika tidak menaati perintah tersebut.
Saya (penulis) berkata: Imam asy-Syarqawi menyatakan bahwa kesimpulannya adalah wajib menaati imam, baik secara zahir maupun batin, dalam perkara yang bukan haram atau makruh. Kewajiban itu semakin ditekankan dalam perkara yang wajib, sedangkan yang sunnah menjadi wajib ditaati, begitu juga yang mubah jika di dalamnya terdapat kemaslahatan. Misalnya, meninggalkan rokok tembakau (tanbak) jika dikatakan makruh karena dianggap merendahkan martabat orang-orang terhormat (dzawil hay’at).
Pernah terjadi, seorang sultan memerintahkan wakilnya untuk mengumumkan larangan merokok di pasar-pasar dan kedai-kedai kopi. Namun, masyarakat melanggarnya dan tetap merokok. Maka mereka dihukumi sebagai orang-orang yang durhaka. Saat ini, merokok menjadi haram sebagai bentuk ketaatan pada perintah imam. Jika imam memerintahkan sesuatu, lalu ia menarik kembali perintah tersebut—meskipun sebelum orang yang diperintah memulai pelaksanaannya—kewajiban untuk menaati perintah itu tidak gugur.
Referensi:
تحفة الأحوذي – (ج ٥ / ص ٢٩٨)
باب ما جاء لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
[١٧٠٧] قوله ( السمع الأولى الأمر بإجابة أقوالهم ( والطاعة ) لأوامرهم وأفعالهم ( على المرء المسلم ) أي حق وواجب عليه ( فيما أحب وكره ) أي فيما وافق غرضه أو خالفه ( ما لم يؤمر ) أي المسلم من قبل الإمام نية تكرة الإحرام دان نكبو أو نتو كوعي بمعصية ) أي بمعصية الله فإن أمر بمعصية فلا سمع عليه ولا طاعة ) يجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق وفيه أن الإمام إذا أمر بمنكر أو ما وجب قال الطيبي يعني سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم سواء أمر بما يوافق طبعه أو لم يوافقه بشرط أن لا يأمره بمعصية، فإن أمره بها فلا تجوز طاعته، ولكن لا يجوز له محاربة الإمام وقال النووي في شرح مسلم قال جماهير أهل السنة من الفقهاء والمحدثين والمتكلمين لا يعزل الإمام بالفسق والظلم وتعطيل الحقوق ولا يخلع ولا يجوز الخروج عليه بل يجب وعظه وتخويفه بالأحاديث الواردة في ذلك.
—
Tuhfat al-Ahwadzi – (Juz 5 / Halaman 298)
Bab tentang larangan menaati makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta.
[1707] Sabda beliau: “(As-Sam’u) yang pertama adalah perintah untuk menaati perkataan mereka (wa ath-tha’ah) dan ketaatan terhadap perintah dan tindakan mereka (ala al-mar’i al-muslim) yaitu kewajiban dan hak yang harus dipenuhi (fima ahabba wa kariha) baik yang sesuai dengan keinginannya maupun yang tidak disukainya (ma lam yu’mar) yakni selama seorang Muslim tidak diperintahkan oleh imam untuk melakukan maksiat kepada Allah. Jika ia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar atau menaati, bahkan itu diharamkan. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta. Dalam hal ini, jika seorang imam memerintahkan kemungkaran atau sesuatu yang tidak diwajibkan, Ath-Thibi berkata bahwa mendengar perkataan penguasa dan menaati perintahnya wajib bagi setiap Muslim, baik sesuai dengan keinginannya atau tidak, dengan syarat tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika ia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh ditaati. Akan tetapi, tidak diperbolehkan memerangi imam. An-Nawawi berkata dalam syarah Shahih Muslim, bahwa mayoritas ulama Ahlus Sunnah dari kalangan fuqaha, ahli hadis, dan teolog menyatakan bahwa seorang imam tidak boleh dicopot karena kefasikan, kezaliman, atau menelantarkan hak-hak. Tidak diperbolehkan memberontak kepadanya, tetapi wajib menasihatinya dan memperingatkannya dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut.
غاية البيا شرح زبد إبن رسلان ج١ ص ١٥
لم يجز في غير محض الكفر خروجنا على ولي الأمر أي يحرم الخروج على ولي الأمر وقتاله باجماع المسلمين لما يترتب على ذلك من فتن وإراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه ولأننا تحت طاعته في أمره ونهيه ما لم يخالف حكم الشرع وإن كان جائرا قال النووي في شرح مسلم إن الخروج عليهم وقتالهم حرام باجماع المسلمين وإن كانوا فسقه ظالمين اهو هو محمول على الخروج عليهم بلا عذر ولا تأويل وخرج بقول المصنف ولى الأمر مالو طرأ عليه كفر فإنه يخرج عن حكم الولاية وتسقط طاعته ويجب على المسلمين القيام عليه وقتاله ونصب غيره إن أمكنهم ذلك ويمكن أن يستفاد هذا من قوله في غير محض الكفر بجعل ( في ) للتعليل كما في قوله تعالى { لمسكم فيما أفضتم } أي لم يجز لأجل غير محض الكفر خروجنا على ولي الأمر.
“Tidak dibolehkan keluar melawan pemimpin kecuali dalam keadaan kafir yang nyata. Artinya, keluar melawan pemimpin dan memeranginya adalah haram berdasarkan kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini karena akan menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan antar manusia. Kerusakan yang ditimbulkan akibat menyingkirkannya lebih besar daripada membiarkannya tetap berkuasa. Selain itu, kita berada di bawah ketaatannya dalam perintah dan larangannya selama tidak bertentangan dengan hukum syariah, meskipun ia zalim. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan bahwa keluar melawan mereka dan memerangi mereka adalah haram berdasarkan kesepakatan seluruh umat Islam, meskipun mereka fasik dan zalim. Kata ‘ahu’ di sini merujuk pada keluar melawan mereka tanpa alasan yang jelas dan tanpa tafsir lain. Kalimat ‘waliul amr malu thara’ alaihi kufr’ yang digunakan oleh penulis berarti apabila seorang pemimpin melakukan kekufuran, maka ia keluar dari kedudukannya sebagai pemimpin dan ketaatan kepadanya gugur. Maka, umat Islam wajib memberontak dan memeranginya serta mengangkat pemimpin lain jika mereka mampu. Hal ini dapat disimpulkan dari kalimat ‘fi ghair mahdhil kufr’ yang menggunakan kata ‘fi’ untuk menunjukkan sebab akibat, seperti dalam firman Allah ‘limaskum fi ma afadtum’. Artinya, tidak dibolehkan keluar melawan pemimpin kecuali dalam keadaan kafir yang nyata.”
Penjelasan Singkat:
Teks di atas menjelaskan tentang hukum keluar melawan pemimpin (pemberontakan) dalam Islam. Intinya adalah:
* Hukum Dasar: Keluar melawan pemimpin adalah haram kecuali jika pemimpin tersebut melakukan kekufuran yang nyata.
* Alasan: Hal ini karena akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, seperti fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan sosial.
* Pengecualian: Jika pemimpin melakukan kekufuran yang jelas, maka ketaatan kepadanya gugur dan umat Islam boleh memberontak.
الفتاوى الكبرى الفقهية، ٤/٢٣٨-٢٣٩)
وسئل الإمام شهاب الدين أحمد بن حجر الهيتمي المكي رحمه الله تعالى ورضي عنه، هل يحل اللعب بالقسى الصغار التي لا تنفع، ولا تقتل صيداً، بل أعدت للعب الكفار وأكل الموز الكثير المطبوح بالشكر والباس الصبيان الثياب وإعطاء الأثواب والمصروف لهم فيه إذا كان بينه وبينهم تعلق من كون أحديهما أجيراً للآخر من قبيل تعظيم النيروز ونحوه فإن الكفار صغارهم وكبيرهم وضيعهم ورفيعهم حتى ملوكهم يعتنون بهذا القسى الصغار واللعب بها وبأكل الموز الكثير المطبوح بالشكر اعتناء كثيراً وكذلك بالباس الصبيان الثياب المصفرة وإعطاء الأثواب والمصروف لمن يتعلق بهم وليس لهم في ذلك اليوم عبادة صنم ولا غيره وذلك إذا كان القمر سعد الذابح في برج الأسد وجماعة من المسلمين إذا رأوا أفعالهم يفعلون مثلهم فهل يكفر ويأثم المسلم إذا عمل مثل عملهم من غير اعتقاد تعظيم عيدهم ولا اقتداء بهم أولاً؟
(فأجاب) نفع الله تعالى بعلومه المسلمين بقوله، لا كفر بفعل شيء من ذلك، فقد صرح أصحابنا بأن لو شد الزنار على وسطه أو وضع على رأسه فلنوسة المجوس لم يكفر بمجرد ذلك اهـ فعدم كفره بما في السؤال أولى وهو ظاهر، بل فعل شيء مما ذكر فيه لا يحرم إذا قصد به النشبه بالكفار لا من حيث الكفر، وإلا كان كافراً قطعاً. فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبه بهم في شعار الكفر كفر قطعاً، أو في شعار العيد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر، ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبه بهم أصلاً ورأسا فلا شيء عليه اهـ
(Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, 4/238-239)
Dan Imam Syahiduddin Ahmad bin Hajar al-Haytami al-Makki rahimahullah wa radhiyallahu ‘anhu ditanya, apakah dihalalkan bermain dengan panah-panah kecil yang tidak berguna dan tidak bisa membunuh buruan, melainkan dipersiapkan untuk permainan orang-orang kafir, dan makan pisang yang banyak ditaburi dengan jintan, serta memakaikan anak-anak pakaian dan memberi mereka pakaian dan uang saku di dalamnya, jika antara mereka ada hubungan seperti salah satunya menjadi pekerja untuk yang lain, seperti dalam rangka memuliakan perayaan Nowruz (tahun baru Persia) dan semacamnya. Karena orang-orang kafir, baik kecil maupun besar, baik rendah maupun tinggi, bahkan raja-raja mereka, sangat memperhatikan panah-panah kecil ini, bermain dengannya, dan makan pisang yang banyak ditaburi dengan jintan, begitu juga dengan memakaikan anak-anak pakaian kuning dan memberi pakaian dan uang saku kepada orang yang memiliki hubungan dengan mereka, dan mereka tidak memiliki ibadah kepada berhala atau yang lainnya pada hari itu, dan itu terjadi ketika bulan berada pada posisi bulan sabit yang memotong di rasi singa, dan sekelompok Muslim ketika melihat perbuatan mereka, mereka melakukan hal yang sama. Maka apakah seorang Muslim akan kafir dan berdosa jika dia melakukan hal yang sama seperti mereka tanpa niat memuliakan hari raya mereka atau meniru mereka pada awalnya?
(Beliau menjawab), semoga Allah Ta’ala bermanfaat bagi para Muslim dengan ilmunya, beliau berkata, “Tidak ada kekufuran dalam melakukan sesuatu hal dari itu. Karena para ulama kami telah menyatakan dengan jelas bahwa jika seseorang mengikat ikat pinggang di pinggangnya atau memakai sorban seperti Majusi, dia tidak akan kafir hanya dengan itu. Maka tidak adanya kekufuran dalam masalah yang ditanyakan lebih utama dan jelas. Bahkan melakukan sesuatu yang disebutkan di dalamnya tidak haram jika niatnya adalah menyerupai orang-orang kafir bukan dari segi kekufuran, jika tidak maka dia pasti kafir. Kesimpulannya adalah jika dia melakukan itu dengan niat menyerupai mereka dalam simbol kekufuran, maka dia pasti kafir, atau dalam simbol hari raya dengan mengabaikan kekufuran, maka dia tidak kafir, tetapi dia berdosa, meskipun dia tidak berniat menyerupai mereka pada awalnya dan secara langsung, maka tidak ada sesuatu pun padanya.”
Arti sederhana Imam Ahmad bin Hajar ditanya tentang hukum bermain dengan mainan anak-anak dan mengikuti kebiasaan orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Beliau menjawab bahwa melakukan hal tersebut tidak menjadikan seseorang kafir, kecuali jika niatnya adalah untuk meniru ajaran agama mereka yang sesat.
Kesimpulan Hukum Libur Tahun Baru Masehi bagi Siswa.
1. Bukan Termasuk Tasyabbuh yang Diharamkan:
Libur pada tanggal merah Tahun Baru Masehi bukanlah bentuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang diharamkan, karena libur tersebut merupakan kebijakan pemerintah sebagai hari libur nasional yang berlaku untuk semua warga negara, tanpa memandang agama.
2. Tidak Ada Niat Merayakan Hari Raya Keagamaan:
Jika siswa atau siapa pun hanya memanfaatkan hari libur untuk istirahat atau aktivitas yang mubah (diperbolehkan), tanpa adanya niat untuk merayakan Tahun Baru dengan unsur ritual atau simbol keagamaan yang bertentangan dengan Islam, maka hukumnya boleh.
3. Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Maslahat Umum:
Berdasarkan kaidah fiqih:
“تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة”
“Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar pada kemaslahatan umum.”
Kebijakan libur nasional bertujuan untuk kemaslahatan bersama, bukan sebagai bagian dari perayaan keagamaan tertentu.
4. Penjelasan Ibnu Taimiyah:
Jika seseorang melakukan sesuatu yang kebetulan juga dilakukan oleh non-Muslim, namun tanpa maksud untuk menyerupai atau merayakan simbol agama mereka, maka hal itu tidak termasuk dalam larangan tasyabbuh (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1/241).
5. Ketaatan pada Pemerintah dalam Hal yang Bukan Maksiat:
Berdasarkan kitab Bughiyah al-Mustarsyidin (hlm. 91), wajib menaati kebijakan pemerintah dalam hal yang mendatangkan maslahat dan tidak bertentangan dengan syariat.
6. Hukum Bergantung pada Niat:
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (4/238-239), jika tidak ada niat untuk menyerupai atau memuliakan simbol agama tertentu, maka tidak ada dosa.
Kesimpulan Akhir:
Siswa yang memanfaatkan libur pada Tahun Baru Masehi, selama tidak disertai niat merayakan simbol keagamaan atau ritual yang bertentangan dengan Islam, hukumnya diperbolehkan dan tidak termasuk dalam larangan tasyabbuh. Yang perlu dihindari adalah mengikuti perayaan dengan unsur keyakinan atau ritual agama yang bertentangan dengan Islam.Wallahu A’lam Bishawab.