SOLUSI PEMIMPIN DALAM BERDAKWAH MENGHADAPI MASYARAKAT AWAM YANG TALFIQ
Assalamualaikum.
Sa’il Rasid Rusiyadiy
Deskripsi masalah.
Dalam waqiiyah Hidup di kota yang penduduknya jauh dari ilmu agama sangat prihatin untuk para kyai dan para ustadz, begitu juga kondisi disebagian masyarakat terpencil, sehingga mereka (pemimpin) sering kali susah untuk memutuskan permasalahan fiqhih, dikarenakan penduduknya banyak orang” yang talfiq
Pertanyaannya .
Bagaimana solusi yang seharusnya di perbuat oleh pemimpin ( para ulama’ ) pada zaman ini yang masyarakatnya kebanyakan talfiq?.
Waalaikum salam.
Jawaban.
Solusi bagi pemimpin dalam berdakwah menghadapi orang awam yang kebanyakan Talfiq ( yaitu mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, yang tidak seorang pun dari mereka yang membenarkannya) dizaman sekarang ini adalah:
Pertama : ikhlas dalam berdakwah .
Kedua: sabar dalam berdakwah serta berpegang teguh terhadap ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihiwasallam .
Ketiga : Selalu berdo’ untuk umat.
اللهم اهد قومى فإنهم لا يعلمون
Ya Allah berikanlah petunjuk ( hidayah ) kepada kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui
ربنا افتح بيننا وبين قومنا بالحق وأنت خير الفاتحين
Wahai Tuhan kami bukakanlaj diantara kami dan kaum kami dengan yang hak ( benar ) dan engkaulah sebaik-baik pembukaan kebenaran.
Mungkin dengan cara inilah Allah memberikan petunjuk bagi mereka, karena ulama sebagai pemimpin umat hanyalah berkewajiban menyampaikan amar makruf nahi mungkar sebagaimana disebutkan dalam kitab Bustanul Arifin, Rasulullah SAW bersabda:”
بلغو عني ولو آية
Sampaikanlah tentang ajaran ku walaupun adanya cuma satu ayat.
Adapun mengerjakan ataupun tidak itu adalah bergantung hidayah Allah, karena siapun tidak akan bisa memberikan petunjuk terhadap orang yang ia cintai melainkan Allahlah yang dapat memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya
إنك لاتهدى من أحببت ولكن الله يهدى من يشاء
Berikut keterangan dalam kitab
رسالة المعاونة.ص ٢٦
(وعليك)
إذا أمرت أو نهيت بالإخلاص لله تعالى،
والرفق وحسن السياسة، وإظهار الشفقة؛ فما اجتمعت هذه الخصال في عبد مع كونه عاملاً بما أمر به مجتنباً لما نهى عنه إلا كان لكلامه صولة وهيبة في الصدور ووقع في القلوب وحلاوة في الأسماع وقل أن يُرَدَّ عليه مع هذا كلامه، وكل من تحقق بمراقبة الله والتوكل عليه وتخلَّق بالرحمة على عباده لم يقدر أن يملك نفسه عند مشاهدة المنكر حتى يزيله أو يحال بينه وبين ذلك بما لا قدرة له على دفعه.
Metode Berdakwah
Hendaklah engkau selalu menyampaikan amar makruf nahi munkar dengan ikhlas karena Allah, lemah lembut dan baiknya dalam bersiasah ( politik ) yang disertai dengan kasih sayang.
Apabila sifat-sifat itu telah menyatu dalam diri seorang hamba yang senantiasa mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sudah barang tentu kata-katanya akan didengar, nasihatnya akan berkesan dan tak seorang pun dari pendengarnya yang mampu menyanggah pernyataannya
Barangsiapa mendekatkan diri pada Allah Swt., bertawakal kepada-Nya serta menghiasi diri dengan sifat kasih sayang kepada sesama hamba Allah, maka ia tidak kan membiarkan segala macam kemaksiatan yang ada di depannya, sehingga ia menghilangkannya atau menghalang-halanginya jia ia tak mampu menghalaunya.
(وإياك)
والتجسُّسَ وهو طلب الوقوف على عورات المسلمين ومعاصيهم المستورة، قال عليه السلام: “من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته حتى يفضحه ولو في جوف بيته”.
(واعلم)
أن المعصية إذا سترت لم تضر إلا مرتكبها فإذا ظهرت ولم تغير عم ضررها.
Larangan Memata-matai
Janganlah engkau memata-matai orang lain untuk mencari keburukan dan kemaksiatan yang dikerjakannya, khususnya saudaramu sesama muslim.
Nabi Saw. bersabda :
مَنْ تَتَّبَعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يُفْضِحَهُ فِىْ جَوْفِ يَبْتِهِ.
“Barangsiapa mencari aib saudaranya sesama muslim maka Allah akan mencari aibnya sehingga Allah membuka aib yang ada dalam rumahnya.” (Al-Hadits)
Ketahuilah, bahwa segala kemaksiatan yang tersembunyi tak akan membawa dampak negatif, kecuali bagi pelakunya. Tetapi sebaliknya, bila kemaksiatan sudah tersebar maka bencana pun akan turun secara merata.
Oleh karena itu bersabarlah dan berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mungkin saja saat ini sampai pada zaman dimana ulama’ dalam berpegang teguh pada agama bagaikan memegang bara api.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api.
Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.
Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran orang yang konsekuen dengan ajaran Islam saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, begitu sulitnya dan begitu beratnya. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. Demikianlah resikonya. Namun nantikan balasannya di sisi Allah yang luar biasa andai mau bersabar. Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya.
Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu.
CATATAN
Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:
(تنويرالقلوب , ٣٩٧)
(الخامس)
عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة لايقول بهاصاحبهما
“(syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang berpendapat.” (Tanwir al-Qulub, 397)
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. sebagaimana seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.
Referensi:
Tanwirul Qulub lissyaikh Sayyid Amin Al-Qurdiy
Bustanul Arifin.
Risalatul muawanah.Hal.26
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ At Tirmidzi, Abul ‘Ala Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri, terbitan Darus Salam, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.