DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

HUKUMNYA ORANG TUA MENGELUARKAN ZAKAT FITRA UNTUK ANAKNYA YANG SUDAH BALIGH ATAU TELAH MENIKAH

HUKUM ORANG TUA MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH UNTUK ANAKNYA YANG SUDAH BALIGH DAN MENIKAH

Assalamualaikum
Deskripsi masalah
Pasutri dikaruniai tiga anak yang pertama telah dewasa dan telah melangsungkan ikatan Nikah namun kondisi kasabnya dalam kehidupan-sehari-harinya pas-pasan hanya cukup untuk makan, Artinya untuk makan sehari harus bekerja dalam keseharian,baik untuk dirinya, istrinya anaknya, Namun demikian orang tuanya termasuk orang yang mampu karena sebelum menikahkan anaknya semua anaknya dipemondokkan dipondok pesantren termasuk anak yang kedua dan baligh masih dipondok sehingga belum bisa dikatakan mampu mencari penghasilan dengan alasan karena masih terikat dengan sekolah dipondoknya, sedangkan anak yang perempuan sudah dewasa dan baligh namun masih perawan tua karena belum pernah menikah .

Pertanyaannya.

Apakah orang tua berkewajiban membayarkan zakat fitrah terhadap anak-anaknya baik yang sudah berkeluarga atau tidak namun anak tersebut sudah baligh.

Waalaikum salam.

Jawaban ditafsil

🅰️Orang tua tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah kepada anaknya yang masuk dalam kategori sebagai berikut:

  1. Anak sudah Dewasa ( baligh )dan sehat serta mampu berkasab ( mencari pengasilan)
  2. Anak yang sudah baligh dan berkeluarga, dengan alasan karena orang tua telah lepas dari tanggung jawabnya kewajiban-kewajiban terhadap anaknya, jika terpaksa mengeluarkan zakat untuk anaknya yang sudah baligh dan berkeluarga serta sehat dan mampu untuk bekerja maka zakatnya tidak sah kecuali dengan seidzinnya.

🅱️ Wajib orang tua mengeluarkan zakat untuk anak-anaknya baik laki-laki dan perempuan yang masuk dalam kategori:

  1. Anak yang belum baligh, sampai kepada cucu-cucuni ( jika orang tua cucu tidak mampu)
  2. .Anak sudah baligh namun nafkah masih dalam tanggungannya dan belum punya penghasilan ( karena mencari ilmu /mondok ) baik anaknya laki-laki maupun perempuan yang masih belum menikah.Akan tetapi jika anak perempuannya sudah pernah menikah maka tidaklah wajib.

Disebutkan dalam kitab Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī, sebagai berikut:

يجب على من توفرت لديه هذه الشرائط الثلاثة، أن يخرج زكاة الفطر عن نفسه، وعمن تلزمه نفقتهم، كأصوله وفروعه، وزوجته. فلا يجب أن يخرجها عن ولده البالغ القادر على الاكتساب

Artinya:
Mereka yang memenuhi tiga syarat ini wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya sendiri, orang-orang yang wajib ia nafkahi, seperti jalur keturunan ke atas maupun ke bawah, dan istrinya. Maka tidak wajib mengeluarkan zakat untuk anak laki-lakinya yang telah baligh yang telah mampu bekerja. [Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī Juz I (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), hlm. 229]

أن يكونوا كبارا أصحاء لا يعجزون عن منافع أنفسهم فمذهب الشافعي، أنه لا تجب على الوالد نفقاتهم ولا زكاة فطرهم


Artinya: ” Jika seorang anak itu sudah besar yang memiliki kondisi fisik sehat, namun belum mampu mencukupi dirinya sendiri (belum bekerja), maka dalam madzhab Syafi’i, walinya tidak wajib menafkahinya, begitu pula zakat fitrah-nya. [al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqhi Mażhabi al-Imām asy-Syāfi’ī Juz III (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiah, 1999), hlm. 353]

Jika telah memenuhi syarat wajib zakat fitrah seperti: 1) Islam; 2) masih hidup hingga terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadan; dan 3) memiliki kecukupan bahan makanan bagi dirinya sendiri dan keluarga dalam waktu 24 jam terhitung sejak hari pertama bulan Syawal, maka diwajibkan baginya membayar zakat untuk dirinya sendiri, dan orang-orang yang berada dalam tanggungan nafkahnya seperti uṣūl, furū’, dan istrinya. Dalam mazhab Syafi’i, istilah uṣūl merupakan jalur keturunan ke atas, seperti: bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya. Sementara furū’ merupakan jalur keturunan ke bawah, seperti: anak, cucu, dan seterusnya.

Berikut batasan orang tua wajib menafkahi anak atau keturunannya sekaligus mengeluarkan zakat fitrahnya dengan Mengutip ungkapan Abu Hanifah dalam kitab Ḥilyah al-Ulamā’fī Ma’rifati Mażāhib al-Fuqahā’ beikut.

وقال أبو حنيفة: نفقة الأنثى لا تسقط حتى تتزوج

Artinya: Abu Hanifah berkata: Nafkah bagi anak perempuan tidak berhenti sampai ia menikah.

Begitu pula Husain bin Muhammad al-La’iy dalam kitabnya, Badru at-Tamām Syaraḥ Bulughul Marām Juz 8 halaman 323, mengungkapkan hal yang sama sebagai berikut.

وذهب الجمهور إلى أن الواجب أن ينفق عليهم حتَّى يبلغ الذكر أو تتزوج الأنثى

Artinya:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib menafkahi anak laki-laki hingga menginjak baligh, atau hingga menikah bagi anak perempuan

Meskipun anak laki-laki sudah tergolong tidak wajib dinafkahi, sehingga pengeluaran zakat tentunya juga sudah tidak wajib dibayarkan oleh bapak atau wali, seperti memiliki kemampuan fisik untuk bekerja dan telah baligh, bukan berarti jika masih tetap dibayar zakatnya oleh bapaknya itu tidak sah. Namun, dapat menjadi tidak sah jika wali atau bapak membayarkan zakatnya tanpa seizinnya.

فلا يجب أن يخرجها عن ولده البالغ القادر على الاكتساب، ولا عن قريبه الذي لا يكلف بالإنفاق عليه، بل لا يصح أن يخرجها عنه إلا بأذنه

Artinya:
Maka tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anaknya yang telah baligh yang mampu bekerja, juga kerabatnya yang ia tanggung nafkahnya. Akan tetapi, tidak sah jika mengeluarkan zakat fitrah baginya tanpa izin darinya. [Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī Juz I (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), hlm. 229]

Selain pengecualian bagi anak telah baligh yang tidak memiliki fisik yang sehat, juga berlaku bagi anak telah baligh yang sedang menuntut ilmu.

فإن عاقه عن الاكتساب اشتغال بالعلم مثلاُ، فإنه ينظر فإن كان العلم متعلقاً بواجباته الشخصية: كأمور العقيدة، والعبادة، فذلك يُعدّ عجزاً عن الكسب، وتجب نفقته على أبيه

Artinya:
Jika dia (الولد صحيحاً بالغاً) terhalang bekerja karena disibukkan dengan (mencari) ilmu, atau semisalnya, maka hendaknya dia mempertimbangkan: Bahwa jika ilmu itu terkait dengan kewajiban yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri, seperti ilmu aqidah dan ibadah, maka kondisi ini dianggap sebagai ketidakmampuan mencari nafkah. Wajib bagi ayahnya untuk menafkahi dirinya. [Fiqhi Manhaji ‘ala Mażhabi al-Imāmi asy-Syāfi’ī Juz IV (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), hlm. 124]

Dengan demikian, anak dengan kategori masih dalam tanggungan wajib nafkah seorang wali, maka pengeluaran zakat fitrah pun juga demikian. Anak laki-laki yang telah mencapai usia baligh dan telah mampu bekerja, tidak wajib bagi wali untuk membayar zakat fitrahnya, namun tetap sah jika wali membayarkannya asal atas seizin anak tersebut. Namun kategori ini dapat dikatakan masih wajib dinafkahi dan dibayarkan zakat fitrahnya jika masih menuntut ilmu (ilmu ḥāl).

Adapun anak yang memiliki keterbatasan fisik, meskipun telah mencapai usia baligh, maka wajib bagi wali untuk menafkahinya dan pembayaran zakat fitrah wajib dibayarkan oleh wali. Selain itu, kewajiban menafkahi anak perempuan ialah hingga ia menikah. Sehingga kewajiban wali membayar zakat fitrah-nya ialah juga sampai ia menikah. Wallahu A’lam.