DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Q.0010.HUKUM MENJUAL DAN MENGGANTI HEWAN QURBAN NADZAR MENURUT MADZHAB IMAM YANG EMPAT

Assalamu Alaikum

Deskripsi masalah.

Ahmad memiliki seekor sapi yang sedang hamil, namun kondisinya tidak sehat atau sakit. Dalam situasi tersebut, Ahmad bernadzar dengan mengucapkan, “Jika sapi saya ini sembuh, maka sapi ini akan saya kurbankan.” Beberapa hari kemudian, sapinya benar-benar sembuh dan bahkan melahirkan seekor anak. Namun, ketika Ahmad mengingat nadzarnya, ia merasa ragu untuk menyembelih sapi tersebut karena khawatir anak sapi yang baru lahir, yang usianya belum mencapai satu bulan, akan terancam keselamatannya.

Untuk mengatasi keraguan tersebut, Ahmad berpikir untuk menjual sapi induk yang telah dinadzarkan itu, lalu menggantinya dengan sapi lain yang lebih sehat dan berkualitas untuk memenuhi nazarnya. Langkah ini diambil Ahmad dengan tujuan memastikan kelangsungan hidup anak sapi tersebut sekaligus melaksanakan nazarnya.

Pertanyaannya.
Bolehkah qurban yang sudah dinadzarkan /takyin ( ditentukan) diganti sapi lain dengan tujuan karena merasa eman dan takut membahayakan terhadap anaknya

Waalaikum salam.
Jawaban .

Ulama fiqih berbeda pendapat terkait masalah hukum menjual dan mengganti hewan yang sudah dinadzarkan.

Menurut Malikiyah : Tidak boleh ( Haram) menjual dan mengganti barang yang dinadzarkan yang sudah ditakyin seperti halnya qurban, kecuali tidak ditentukan maka boleh namun makruh

Menurut Imam Syafi’ie : Hukumnya haram menjual dan mengganti hewan qurban nadzar atau hewan qurban yang telah ditentukan jenis maupun dzatnya.

Menurut Hanabilah : Boleh mengganti hewan kurban Nadzar dengan hewan lain yang lebih bagus.
Menurut Hanafiyah: Hukumnya makruh tahrim menjual dan mengganti hewan qurban yang telah dinadzarkan atau ditakyin.

الموسوعة الفقهية – ٢٨١٤/٣١٩٤٩

وقال المالكية: يحرم بيع الأضحية المعينة بالنذر وإبدالها، وأما التي لم تتعين بالنذر فيكره أن يستبدل بها ما هو مثلها أو أقل منها.
فإذا اختلطت مع غيرها واشتبهت وكان بعض المختلط أفضل من بعض كره له ترك الأفضل بغير قرعة. (٢)
وقال الشافعية: لا يجوز بيع الأضحية الواجبة ولا إبدالها ولو بخير منها، وإلى هذا ذهب أبو ثور واختاره أبو الخطاب من الحنابلة.
ولكن المنصوص عن أحمد – وهو الراجح عند الحنابلة – أنه يجوز أن يبدل الأضحية التي أوجبها بخير منها، وبه قال عطاء ومجاهد وعكرمة (٣) .
٤٧ – (الأمر الثالث) : – من الأمور التي تكره تحريما عند الحنفية قبل التضحية – بيع ما ولد للشاة المتعينة بالنذر أو بالشراء بالنية، وإنما كره بيعه، لأن أمه تعينت للأضحية، والولد يتبع الأم في الصفات الشرعية كالرق والحرية، فكان يجب الإبقاء عليه حتى يذبح معها. فإذا باعه وجب عليه التصدق بثمنه.
وقال القدوري: يجب ذبح الولد، ولو تصدق به حيا جاز، لأن الحق لم يسر إليه ولكنه متعلق به،

 “Menurut mazhab Maliki: Diharamkan menjual hewan kurban yang telah ditentukan melalui nazar dan menggantinya. Adapun hewan kurban yang belum ditentukan melalui nazar, maka makruh menggantinya dengan yang setara atau yang kurang darinya. Jika hewan tersebut bercampur dengan hewan lain sehingga tidak dapat dibedakan, dan sebagian hewan yang bercampur tersebut lebih baik dari yang lainnya, maka makruh meninggalkan yang lebih baik tanpa undian.

 Menurut mazhab Syafi’i: Tidak diperbolehkan menjual hewan kurban yang wajib ataupun menggantinya, meskipun dengan yang lebih baik. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Tsaur dan dipilih oleh Abu al-Khattab dari kalangan Hanbali.

 Namun, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad—dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Hanbali—adalah bahwa diperbolehkan mengganti hewan kurban yang telah diwajibkan dengan yang lebih baik. Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Atha, Mujahid, dan ‘Ikrimah.

Hal ketiga: Di antara perkara yang makruh tahrim (makruh mendekati haram) menurut mazhab Hanafi sebelum penyembelihan kurban adalah menjual anak hewan dari induk yang telah ditentukan untuk nazar atau yang dibeli dengan niat sebagai kurban. Penjualan anak hewan tersebut dimakruhkan karena induknya telah ditentukan sebagai kurban, dan anaknya mengikuti status induknya dalam hal sifat-sifat syar’i, seperti perbudakan atau kemerdekaan. Oleh karena itu, anak hewan tersebut harus dipertahankan hingga disembelih bersamanya. Jika anak tersebut dijual, maka wajib menyedekahkan harga jualnya.

 Menurut al-Quduri, wajib menyembelih anak hewan tersebut, tetapi jika anak tersebut disedekahkan dalam keadaan hidup, hal itu dibolehkan, karena hak nazar tidak sepenuhnya melekat pada anak tersebut, meskipun hak itu terkait dengannya.”

Referensi:

(الموسوعة الفقهية)

وصرح الشافعية بأن من نذر معينة، وبها عيب مخل بالإجزاء صح نذره، ووجب عليه ذبحها في الوقت، وفاء بما التزمه، ولا يجب عليه بدلها. ومن نذر أضحية في ذمته، ثم عين شاة بها عيب مخل بالإجزاء لم يصح تعيينه إلا إذا كان قد نذرها معيبة، كأن قال: علي أن أضحي بشاة عرجاء بينة العرج. وقال الحنابلة مثل ما قال الشافعية، إلا أنهم أجازوا إبدال المعينة بخير منها، لأن هذا أنفع للفقراء. ودليل وجوب الأضحية بالنذر: أن التضحية قربة لله تعالى من جنسها واجب كهدي التمتع، فتلزم بالنذر كسائر القرب، والوجوب بسبب النذر يستوي فيه الفقير والغني

(Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah)

 Mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa seseorang yang bernazar untuk menyembelih hewan tertentu, tetapi hewan tersebut memiliki cacat yang menghalangi keabsahan penyembelihan, nazarnya tetap sah. Ia tetap wajib menyembelih hewan tersebut pada waktunya sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban yang telah ia tetapkan. Namun, ia tidak diwajibkan untuk menggantinya.

 Jika seseorang bernazar untuk menyembelih hewan kurban secara umum (di dalam tanggungan), lalu ia menentukan seekor hewan tertentu yang memiliki cacat yang menghalangi keabsahan penyembelihan, maka penentuan hewan tersebut tidak sah, kecuali jika ia memang bernazar untuk menyembelih hewan yang cacat, seperti dengan mengatakan: “Saya bernazar untuk berkurban dengan seekor kambing yang pincang secara jelas.”

Mazhab Hanbali memiliki pendapat yang serupa dengan mazhab Syafi’i, tetapi mereka membolehkan mengganti hewan yang telah ditentukan dengan hewan yang lebih baik, karena hal ini lebih bermanfaat bagi para fakir miskin.

Dalil wajibnya kurban karena nazar adalah bahwa berkurban merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan ibadah semacam ini ada yang bersifat wajib, seperti hady tamattu‘, sehingga berkurban menjadi wajib jika dinazarkan, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban karena nazar ini berlaku baik bagi orang miskin maupun orang kaya.

Referensi:


الياقوت النفيسة ص ٨٢٤

والأضحية كما ذكرنا سنة وتجب بالنذر ويجب التصدق بلحم المنذورة كلها لأنها خرجت بالنذر من ملكه إلى ملك الفقراء


Jika dalam perkataan pemilik hewan, dia bermaksud untuk memberi kabar (ikhbar, insyak), maka hukum hewannya tetap menjadi qurban sunnah, ini berarti hewannya boleh dijual maupun diganti yang lain. Namun jika dalam perkataannya pemilik bermaksud untuk kurban wajib (nadzar, iqror), maka hukum kurbannya juga menjadi wajib, hewan tersebut tidak boleh dijual maupun diganti dengan hewan lain, bila mati maka wajib mengganti.


المجموع شرح المهذب ج ٨ ص ٢٦٩
ـ ( الشرح ) قال أصحابنا : إذا لزم ذمته أضحية بالنذر أو هدي بالنذر أو دم تمتع أو قران ، أو لبس أو غير ذلك مما يوجب شاة في ذمته . فقال : لله علي أن أذبح هذه الشاة عما في ذمتي لزمه ذبحها بعينها لما ذكره المصنف ، ويزول ملكه عنها فلا يجوز له بيعها ولا إبدالها ، هذا هو المذهب ، وبه قطع المصنف والجمهور

 “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,” jilid 8, halaman 269:

 (Penjelasan) Para ulama mazhab kami (Syafi’iyyah) berkata: Jika dalam tanggungannya terdapat kewajiban menyembelih hewan kurban karena nazar, atau menyembelih hadyu karena nazar, atau menyembelih dam sebagai akibat pelanggaran ibadah seperti tamattu’, qiran, memakai pakaian (saat ihram), atau perkara lain yang mewajibkan menyembelih seekor kambing dalam tanggungannya, kemudian ia berkata, “Karena Allah, aku bernazar untuk menyembelih kambing ini atas apa yang menjadi tanggunganku,” maka ia wajib menyembelih kambing itu secara spesifik sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Muzani.

Dengan ucapan tersebut, kepemilikannya atas kambing tersebut hilang, sehingga ia tidak diperbolehkan menjualnya atau menggantinya dengan kambing lain. Inilah pendapat yang menjadi mazhab, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Muzani dan mayoritas ulama.

Berikut adalah dalil hadits tentang larangan mengganti dan menjual hewan yang sudah dinadzakan adalah hadits Nabi Muhammad SAW . riwayat Imam Albaihaqi dari Sayidina Umar, dia berkata;


اتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يارسول الله اني اوجبت على نفسي بدنة وقد طلبت مني بأكثر من ثمنها فقال انحرها ولا تبعها ولوطلبت بمئة بعير


“Saya mendatangi Rasulullah Saw., lalu saya berkata; ‘Wahai Rasulullah, saya mewajibkan kepada diriku untuk berkurban dengan unta namun unta tersebut mau dibeli dengan harga yang lebih mahal. Kemudian Rasulullah Saw. menjawab; ‘Sembelihlah dan jangan dijual meskipun mau diganti dengan seratus ekor unta.

Selanjudnya Orang yang bernadzar ( Ahmad ) tidak diperbolehkan ( haram) makan daging hewan yang telah ditakyin tersebut.

Referensi: Al-Bajuri Ala Ibuni Qosim.Halaman: 300-301


قوله ولايؤكل ) أى لايجوز له الأكل فإن أكلها شيأ غرمه وقوله المضحى وكذا من تلزمه نفقته وقوله من الأضحية المنذورة أى معينة عما فى الذمة أو حكما كما لوا قال هذه أضحية فهذه واجبة بالجعل لكنها فى حكم المنذورة كما مر فاندفع إعتراض المحشي بقوله لو قال الواجبة لكان أولى والهدى المنذور ودم الجبران كالأضحية المنذورة فلايجوز الأكل من ذلك كذلك العقيقة المنذورة والطبخة المنذورة والتخلص من ذلك أن يضحي بأخرى أو يهدى أخرى أو يطبخ طبخة أخرى زائدة على واجبة فيجوز له الأكل منها لأنها زائدة على الواجبة وله مع الكراهة كما قاله الماوردي شرب اللبن الفاضل عن ولد الأضحية ولو واجبة وله سقيه غيره بلاعوض وله أكل ولدهابعدذبحه وجوبا فى وقت الأضحية إن كان ولد الأضحية الواجبة على المعتمد لأنه من فوائدها كاللبن خلافاللشيخ الإسلام فى قوله بأنه لايجوز له أكله كما لايجوز له الأكل من أمه ويمكن حمله على ماإذا ماتت أمه فيجر لم عليه الأكل منه لقيامه مقامها حينئذ وليس فى ذلك تضحية بحامل فإن الحمل قبل انفصاله لايسمى ولدا فصورة المسألة أنه إنفصل منها قبل التضحية بها على أنه لو نذر التضحية بها وكانت حاملا أو جعلها أضحية كذلك أو طرأ حملها بعد ذلك فيهما لم يضر فإن جاء وقت الأضحية وهى حامل ذبحها أضحية وإن جعلها بعد انفصاله ذبحها وذبح ولدها جوبا ويجوز له أكله بخلاف مالوعين معافى الذمة حاملا فإنه لا يصح وما لو عين حائلا فحملت بعد ذلك ثم جاء وقت التضحية فلايذبحها وهى حامل وله جزء صوفها وبركاته وشعرها أن ضرها بقاؤه للضرورة وإلا فلايجزه إن كانت واجبة لانتفاع المساكين به عند الذبح… إلخ

“Ucapannya ( Mushonnif) ‘dan tidak dimakan’ berarti tidak boleh baginya ( orang yang bernadzar) memakan dagingnya. Jika ia memakan sesuatu darinya, maka ia harus menggantinya. Ucapannya ‘orang yang berkurban’ juga berlaku bagi orang yang nafkahnya menjadi tanggung jawabnya. Ucapannya ‘dari hewan kurban yang dinazarkan’ maksudnya adalah hewan kurban yang telah ditentukan secara spesifik, baik untuk memenuhi kewajiban di tanggungannya atau secara hukum, seperti jika seseorang mengatakan, ‘Hewan ini adalah kurbanku.’ Maka hewan itu menjadi wajib dengan pernyataan tersebut, meskipun hanya dalam status hukum sebagai nazar, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini menolak keberatan penulis hasyiyah yang mengatakan bahwa jika menggunakan istilah ‘wajib’ akan lebih tepat.

 Hewan sembelihan nazar, dam jabr (tebusan pelanggaran ibadah), memiliki hukum yang sama dengan hewan kurban nazar, sehingga tidak diperbolehkan memakan dagingnya. Begitu pula aqiqah yang dinazarkan dan masakan yang dinazarkan. Untuk menyelesaikan hal ini, seseorang dapat menyembelih hewan lain sebagai tambahan dari yang wajib, atau memasak masakan lain di luar yang dinazarkan. Maka, ia boleh memakan dari tambahan itu karena tidak termasuk dalam yang wajib.

 Ia juga boleh, meskipun makruh sebagaimana dikatakan oleh Imam Mawardi, meminum susu yang berlebih dari kebutuhan anak hewan kurban meskipun hewan itu wajib. Ia juga boleh memberikan susu itu kepada orang lain tanpa imbalan. Ia boleh memakan anak hewan itu setelah disembelih secara wajib pada waktu kurban jika anak itu lahir dari hewan kurban wajib, menurut pendapat yang kuat. Sebab, anak hewan itu dianggap sebagai bagian dari manfaatnya, seperti halnya susu. Pendapat ini berbeda dengan Syaikhul Islam yang mengatakan bahwa ia tidak boleh memakan anaknya sebagaimana tidak boleh memakan induknya. Pendapat ini bisa diterima jika induknya mati, sehingga anaknya menggantikan posisi induknya pada saat itu.

Tidak ada dalam syariat menyembelih hewan yang sedang hamil karena janinnya, karena janin sebelum lahir tidak dianggap sebagai anak. Kasusnya adalah jika janinnya lahir sebelum induknya disembelih. Jika seseorang bernazar menyembelih hewan yang sedang hamil, menjadikannya kurban, atau hewan itu hamil setelah ditentukan untuk kurban, maka hal itu tidak menjadi masalah. Jika tiba waktu kurban sementara induknya hamil, maka hewan itu tetap disembelih sebagai kurban. Namun, jika janinnya lahir sebelum induknya disembelih, maka ia harus menyembelih induknya dan anaknya secara wajib, dan ia boleh memakan anaknya.

 Hal ini berbeda dengan jika seseorang menentukan hewan yang masih di kandungan sebagai kurban; maka hal itu tidak sah. Begitu pula jika seseorang menentukan hewan yang tidak sedang hamil, lalu ia menjadi hamil, dan tiba waktu kurban, maka hewan itu tidak disembelih ketika sedang hamil. Ia boleh memanfaatkan bulunya, susunya, dan rambutnya jika keberadaannya tidak membahayakan hewan tersebut untuk keperluan darurat. Jika tidak darurat, maka tidak boleh memanfaatkannya karena hak fakir miskin atas manfaat hewan itu saat disembelih.”

Penjelasan singkat 
HEWAN QURBAN yang telah dinadzarkan dan sudah ditentukan tidak boleh dijual atau diganti walaupun dalam kondisinya Ahmad merasa eman terhadap anak sapi tersebut, karena bagaimanapun juga anaknya sapi itu wajib disembelih sebagaimana induknya ,karena anak sapi tersebut ikut pada induknya, sedangkan Ahmad sudah terlepas dari hak kepemilikan hewan tersebut disebabkan adanya ucapan nadzarnya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.