HUKUM MENIKAHI PEREMPUAN DALAM MASA IDDAH
Assalamualaikum
Sail Ustadzah Muslimah.
Deskripsi Masalah.
Ada sepasang suami Istri, Suaminya berprofesi sebagai PNS dalam pernikahan keduanya dikaruniai dua orang anak entah karena apa suaminya mengatakan” Saya bukanlah suamimu lagi ” secara syariat ini sudah jatuh talak walaupun tanpa proses perceraian melalui putusan pengadilan, karena ungkapan suami dianggap semakna dengan talak/cerai/pisah. Dalam kondisi yang demikian siistri tidak menghiraukan terhadap ucapan suaminya, artinya biasa-biasa saja yakni keluar rumah sebagaimana biasanya, padahal sebenarnya dia dalam kondisi iddah, kerena menurutnya ia sudah punya dua anak, dan sejak suaminya terucap sebagaimana tersebut dia tidak pernah berkumpul ( Dukhol ).Selang beberapa tahun kemudian suaminya kembali lagi.
Kasus yang serupa tapi tidak sama .
Sepasang suami Istri (A/ Aini) dan (B/ Burhan) sudah lama menjalani hubungan keluarga tapi selalu ada percekcokan/pertengkaran, namun walaupun demikian dia dikarunai anak, pada suatu saat suaminya bilang silahkan beragkatlah kamu kepengadilan persoalan anak-anak biar aku yang merawatnya.
Ketika suami mengatakan sedemikian istrinya tidak pernah bergaul atau digauli oleh suaminya dia fokus untuk cari nafkah untuk dirinya dan kedua orang tuanya, namun dalam kondisi dia menjalani iddah 2 bulan setengah dan seiring dengan perjalanan waktu dia nikah dengan orang lain katakanlah ( D/ Dulqowi ) sedangkan iddah masih tersisa menurut pengadilan ( ketika melaporkan dan membuat berita acara untuk memastikan ucapan terjadi talak suami ) atau setelah dari pengadilan dengan berjalannya waktu dia nikah dengan orang lain namum pengadilan memutuskan agar menunggu iddah dari pengadilan secara rismi
Pertanyaan.
- Apakah hitungan iddah harus bermula dari putusuan pengadilan atau ketika jatuhnya talak..? Lalu bagaimana hukumnya menikah dalam kondisi iddah menurut Islam?
- Apakah ucapan suami sebagaimana deskripsi jatuh talak ..?
- Bagaimana hukum wanita iddah keluar rumah sebagaimana dalam deskripsi ..?
Waalaikum salam.
Jawaban. No.1
Inddah secara syariat itu dihitung mulai terjadinya talak baik talak shoreh ataupun kinayah atau talak wafat, sedangkan putusan pengadilan sebagai bukti terlulis secara hukum pemerintah .
Adapun jika wanita dalam kondisi menjalani iddah maka tidak boleh menikah dengan orang lain dan jika sampai terjadi menikah maka nikahnya tidak sah kecuali suaminya sendiri kembali lagi ( dalam kondisi menjalani inddah tersebut hukumnya boleh dengan syarat menurut Imam Syafi’i cukup mengatakan ” رجعتُك” ). Karena terjadinya talak tersebut adalah talak raj’i. Yaitu ketika suami mentalak istrinya talak satu atau dua tanpa imbalan (bukan khulu). Maka dia dibolehkan untuk rujuk (kembali lagi) sebelum selesai masa iddahnya, dengan tanpa memperbaharui nikahnya dengan syarat cukup dengan Kata ” رجعتُك ” Saya kembali kepadamu atau kata yang semakna seperti ” رددتُك” artinya saya kembali kepadamu ini adalah kata sharih . Atau kata-kata kinayah seperti :” تزوجتك ” saya mengawinimu ,atau ” نكحتك ” saya menikahimu akan tetapi ia harus mengatakan :
” رددتها إلي ” atau “رددتها إلى نكاحي”
Arti penegasan lain yang hampir serupa tapi tidak sama, jika suami mentalak istrinya ( sudah beng-sebengan.red ) sementara istrinya telah menjalani iddah secara syariat ( habis masa iddahnya ) walau tanpa putusan pengadilan karena terjadi proses talak tidak melalui putusan pengadilan dikarenakan hawatir banyaknya tuntutan dll. sedangkang suaminya kembali lagi kepadanya maka hukum nikahnya sah ( nikah yang baru sah )
Referensi:
ابو شجاع الغاية والتقريب أحكام الكتب.ص ٣٣
وإذا طلق امرأته واحدة أو اثنتين فله مراجعتها ما لم تنقض عدتها فإن انقضت عدتها حل له نكاحها بعقد جديد
Artinya, “Jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, maka ia berhak merujuk kembali kepadanya selama masa penangguhan ( iddahnya) belum habis. Jika masa penangguhan (iddah) telah habis maka sang suami boleh menikahinya dengan akad yang baru.”
Referensi:
الفقه الإسلامي و أدلته – ٦٧٦٨/٧٧٢٢
شرط ما تحصل به الرجعة: تحصل الرجعة من ناطق عند الشافعية بالقول فقط سواء أكان صريحا أم كناية، أما الصريح فمثل: راجعتك ورجعتك وارتجعتك ورددتك وأمسكتك، وبمعنى هذه الألفاظ ونحوها من سائر اللغات، سواء أعرف العربية أم لا، وسواء أضاف الرجعة إليه أو إلى نكاحه، كقوله: إلي أو إلى نكاحي أم لا، لكن يستحب ذلك. ولا بد من إضافة الرجعة إلى ظاهر كراجعت فلانة، أو مضمر كراجعتك، أو مشار إليه كراجعت هذه.
وأما الكناية في الأصح: فمثل قول المرتجع: تزوجتك أو نكحتك، ولا بد من أن يقول المرتجع في الكناية: رددتها إلي أو إلى نكاحي، حتى يكون صريحا، وهذا القول شرط.
وأما الفعل كوطء وغيره فلا تحصل به الرجعة عندهم؛ لأنه حرام، والحرام لاتصح الرجعة به، فلو وطئ الزوج رجعيته واستأنفت الأقراء من وقت الوطء، راجع فيما كان بقي من عدة الطلاق
Jawaban. No.2
Ucapan suami ( Silahkan kamu pergi kepengadilan biar anak-anak aku yang ngurusin ) ini termasuk talak kinayah, yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya, namun ucapannya itu maksudnya talak lain. Talak kinayah ini memerlukan adanya niatan, artinya jika ucapan tersebut niat talak, pisah atau cerai, ucapan tersebut terjadi talak, tetapi jika tidak ada niatan talak maka tidak terjadi talak. Ucapan kinayah diatas bukan talak sharih, karena talak sharih tidak butuh niat, artinya tanpa niatpun jika talak sharih tetap terjadi talak.
Dalil talak kinayah dan sharih.
Referensi:
الموسوعة الفقهية١٨١١٨/٣١٩٤٩
كما اتفقوا على أن الكنائي في الطلاق هو: ما لم يوضع اللفظ له، واحتمله وغيره، فإذا لم يحتمله أصلا لم يكن كناية، وكان لغوا لم يقع به شيء (٢) . واتفقوا على أن الصريح يقع به الطلاق بغير نية، وكذلك بالنية المناقضة قضاء فقط، وعلى ذلك فلو أطلق اللفظ الصريح، وقال: لم أنو به شيئا وقع به الطلاق، ولو قال: نويت غير الطلاق لم يصدق قضاء وصدق ديانة، هذا ما لم يحف باللفظ من قرائن الحال ما يدل على صدق نيته في إرادة غير الطلاق، فإن وجدت قرينة تدل على عدم قصده الطلاق صدق قضاء أيضا، ولم يقع به عليه طلاق، وذلك كما إذا أكره على الطلاق فطلق صريحا غير نا وبه الطلاق، فإنه لا يقع ديانة ولا قضاء لقرينة الإكراه
Adapun seorang perempuan ( A / Aini ) yang ditalak oleh suaminya ( B / Burhan) untuk bisa menikah dengan orang lain ( D/Dulqowi ) adalah:
🅰️. Wanita yang ditalak ( Aini ) Harus memastikan dalam menjalani iddah sudah habis.
IDDAH :” Ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak boleh kawin bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya . Iddah ini dengan maksud untuk menentukan hamil atau tidaknya perempuan itu sesudah ditinggal mati atau ditalak suaminya. Apabila istri telah ditalak suaminya, wanita itu tidak boleh dipinang atau dinikahkan, kecuali sudah habis iddahnya. Yakni jika ditalak dalam kondisi suci maka iddahnya selama 3 sucian ( 3 bulan ) dan jika menjalani iddah wafat maka harus menunggu iddah selama 4 bulan 10 hari dan jika dalam kondisi hamil maka sampai melahirkan, maka pernikahan (A/ Aini ) dan (D/ Dulqowi ) sah.
🅱️. Jika wanita yang ditalak belum memastikan habisnya masa penagguhan/penantian (iddah) Kemudian menikah dengan Si ( D/ Dulqowi ) maka nikahnya tidak sah . Alasannya karena pernikahan dilakukan dalam masa iddah, maka dia wajib dipisahkan.
CATATAN:
Iddah dimulai dari jatuhnya talak atau ucapan suami , sampai akhir hitungan iddah , namun demikian sebaiknya ia harus mentaati /mengikuti aturan pemerintah ( putusan pengadilan ), agar selamat dari fitnah dan tidak termasuk dalam kategori pernikahan yang ilegal . Mentaati hukum pemerintah selama tidak bertentangan dengan agama hukumnya wajib Sebagaimana firman Allah.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( QS. Annisa’ : 59 )
Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa ‘iddah tidak sah, sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1) “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Artinya, pernikahan yang dilangsungkan dalam masa ‘iddah, bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 40 huruf (b) yang melarang perkawinan wanita yang masih dalam masa ‘iddah dengan pria lain.
Referensi:
الفقه الإسلامي و أدلته – ٦٤٦٠/٧٧٢٢
١١ – وأما مانع العدة: فاتفقوا على أن النكاح لا يجوز في العدة، سواء أكانت عدة حيض أم عدة حمل، أم عدة أشهر، وسواء من نكاح أم شبهة نكاح.
واختلفوا فيمن تزوج امرأة في عدتها ودخل بها، فقال مالك والأوزاعي
والليث: يفرق بينهما، ولا تحل له أبدا،
وقال أبو حنيفة والشافعي والثوري وأحمد: يفرق بينهما، وإذا انقضت العدة، فلا بأس في تزوجه إياها مرة ثانية. وسبب اختلافهم اختلاف أقوال الصحابة، فالفريق الأول أخذ بقول عمر رضي الله عنه حينما فرق بين طليحة الأسدية وبين زوجها راشد الثقفي، لما تزوجها فى العدة من زوج ثان، وقال: «أيما امرأة نكحت في عدتها، فإن كان زوجها الذي تزوجها لم يدخل بها فرق بينهما، ثم اعتدت بقية عدتها من الأول، ثم كان الآخر خاطبا من الخطاب، وإن كان دخل بها، فرق بينهما ثم اعتدت بقية عدتها من الأول، ثم اعتدت من الآخر، ثم لا يجتمعان أبدا».
واحتج الفريق الثاني بقول علي وابن مسعود رضي الله عنهما، خلافا لرأي عمر رضي الله عنه، فلم يقضيا بتحريمها عليه.
Artnya:Akad nikah itu tidak boleh dilakukan didalam iddah.Baik iddah haid ( tiga kali haid dan tiga kali suci ) ,atau iddah hamil,atau iddah yang menggunakan bulan(misalnya iddahnya perempuan yang kematian suaminya,yaitu 4 bulan dan 10 hari ). Baik iddah dari akad nikah atau iddah dari syubhatnya nikah.
Para ulama berbeda pendapat didalam orang( Dulqowi) yang menikahi terhadap perempuan ( Aini ) didalam iddahnya ( Aini ).Dan Dulqowi menjima’ kepada Aini.
➡️Menurut imam Malik dan imam Auza’i dan imam Laits berkata:Wajib dipisah diantara keduanya(diantara Dulqowi dan Aini ).Dan Aini itu tidak halal bagi Dulqowi selamanya.
➡️Imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i dan imam Tsauri dan imam Ahmad berkata:Hendaklah dipisah diantara keduanya (yaitu diantara Dulqowi dan Aini ).Dan jika iddahnya Aini sudah habis, maka diperbolehkan bagi Dulqowi untuk menikahi terhadap Aini untuk kedua kalinya.
Referensi:
الفقه الإسلامي و أدلته – ٦٤٢٨/٧٧٢٢
٢ ) ـ المرأة المعتدة: وهي التي تكون في أثناء العدة من زواج سابق، سواء عدة طلاق أو وفاة. فلا يحل لأحد غير زوجها الأول التزوج بها حتى تنقضي عدتها، ويشمل ذلك عدة الزواج الفاسد أوبشبهة، لثبوت نسب الولد. لقوله تعالى: {ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله} [البقرة:٢٣٥/ ٢] أي لا تعقدوا الزواج على المعتدة من وفاة حتى تنتهي عدتها. ولقوله سبحانه: {والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء} [البقرة:٢٢٨/ ٢] أي أطهار أو حيضات على رأيين في التفسير والفقه، أي يجب على المرأة المطلقة الانتظار ثلاثة أطهار أو حيضات، فلا يحل الزواج بها، وقال علي وابن عباس وعبيدة السلماني: «ما أجمعت الصحابة على شيء كإجماعهم على أربع قبل الظهر، وألا تنكح امرأة في عدة أختها»وحكمة تحريم المعتدة بقاء آثار الزواج السابق، ورعاية حقوق الزوج القديم، ومنع اختلاط الأنساب.وهل يترتب على الدخول بالمعتدة تحريمها على الرجل تحريما مؤبدا؟اختلف الفقهاء على رأيين (١)، فقال الجمهور: إن الدخول بالمعتدة لا يحرمها عليه، بل إذا انقضت عدتها حل له الزواج بها؛ لأن الرجل لو زنى بامرأة لا يحرم عليه الزواج بها بالاتفاق، فكذلك لو دخل بها وهي في العدة أو بعدها، لا يحرم عليه الزواج بها بعد انتهاء العدة، ولأن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال: يفرق بينهما، ثم يخطبها بعد العدة إن شاء. وروي مثله عن ابن مسعود رضي الله عنه.وقال المالكية: الدخول بالمعتدة يحرمها على الرجل تحريما مؤبدا، فيفرق
Jawaban. No.3.
Dalam kondisi Si-istri ( A/Aini ) menjalani iddah hukumnya keluar rumah berdosa tanpa ada hajat kecuali dalam kondisi darurat.
Berikut keterangan hukum seputar orang perempuan Inddah.
Boleh perempuan yang menjalani iddah keluar untuk mencari nafkah pada malam hari selama tidak memungkinkan melakukannya pada siang hari.
Referensi :
تَنْبِيهٌ : اقْتَصَرَ الْمُصَنِّفُ عَلَى الْحَاجَةِ إعْلَامًا بِجَوَازِهِ لِلضَّرُورَةِ مِنْ بَابِ أَوْلَى كَأَنْ خَافَتْ عَلَى نَفْسِهَا تَلَفًا أَوْ فَاحِشَةً أَوْ خَافَتْ عَلَى مَالِهَا أَوْ وَلَدِهَا مِنْ هَدْمٍ أَوْ غَرَقٍ .فَيَجُوزُ لَهَا الِانْتِقَالُ لِلضَّرُورَةِ الدَّاعِيَةِ إلَى ذَلِكَ ، وَعُلِمَ مِنْ كَلَامِهِ كَغَيْرِهِ تَحْرِيمُ خُرُوجِهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَهُوَ كَذَلِكَ ، كَخُرُوجِهَا لِزِيَارَةٍ وَعِيَادَةٍ وَاسْتِنْمَاءِ مَالِ تِجَارَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ .
قَوْلُهُ : ( وَنَحْوِ ذَلِكَ ) أَيْ كَخُرُوجِهَا لِجِنَازَةِ زَوْجِهَا أَوْ أَبِيهَا مَثَلًا فَلَا يَجُوزُ .
Tujuan Pengarang kitab membatasi bolehnya keluar bagi wanita yang sedang menjalani masa idah bila ada HAJAT (kepentingan, seperti bekerja mencukupi kebutuhannya) itu sekaligus memberi pengertian juga diperbolehkan baginya keluar dalam keadaan DARURAT seperti dia khawatir akan keselamatannya, kehormatannya, harta bendanya, khawatir akan keselamatan anaknya, maka diperbolehkan baginya keluar rumah sebab adanya darurat tersebut, ini berarti bila tidak unsur diatas tidak boleh (haram) baginya keluar rumah tanpa ada keperluan seperti seperti diatas semisal keluar untuk ziyaroh, menengok orang sakit, menjalankan usahanya agar hartanya bertambah dan lain sebagainya.
Keterangan (dan lain sebagainya) seperti keluarnya untuk menjenguk jenazah suaminya, ayahnya, maka keluarnya tidak boleh. [Hasyiyah Bujairomi ‘Alaa al-Khootib XI/285]
Namun bila keluarnya ada HAJAT (keperluan) seperti mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan dirinya (bagi wanita yang menjalani masa iddah sementara tidak ada yang menafkahinya ) hukum keluarnya DIPERBOLEHKAN
( إلَّا لِحَاجَةٍ ) أَيْ فَيَجُوزُ لَهَا الْخُرُوجُ فِي عِدَّةِ وَفَاةٍ وَعِدَّةِ وَطْءِ شُبْهَةٍ وَنِكَاحٍ فَاسِدٍ وَكَذَا بَائِنٌ وَمَفْسُوخٌ نِكَاحُهَا ,وَضَابِطُ ذَلِكَ كُلُّ مُعْتَدَّةِ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَنْ يَقْضِيهَا حَاجَتَهَا لَهَا الْخُرُوجُ فِي النَّهَارِ لِشِرَاءِ طَعَامٍ وَقُطْنٍ وَكَتَّانٍ وَبَيْعِ غَزْلٍ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ ، أَمَّا مَنْ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا مِنْ رَجْعِيَّةٍ أَوْ بَائِنٍ حَامِلٍ أَوْ مُسْتَبْرَأَةٍ فَلَا تَخْرُجُ إلَّا بِإِذْنٍ أَوْ ضَرُورَةٍ كَالزَّوْجَةِ ، لِأَنَّهُنَّ مُكَفَّيَاتٌ بِنَفَقَةِ أَزْوَاجِهِنَّ وَكَذَا لَهَا الْخُرُوجُ لِذَلِكَ لَيْلًا إنْ لَمْ يُمْكِنْهَا نَهَارًا وَكَذَا إلَى دَارِ جَارَتِهَا لِغَزْلٍ وَحَدِيثٍ وَنَحْوِهِمَا لِلتَّأَنُّسِ لَكِنْ بِشَرْطِ أَنْ تَرْجِعَ وَتَبِيتَ فِي بَيْتِهَا .
Diperbolehkah wanita dalam masa iddah keluar rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarganya dengan beberapa ketentuan :
a• keluarnya hanya semata-mata mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya yang seandainya tidak keluar akan bisa menimbulkan masyaqoh.
b• keluarnya dilakukan pada siang hari dan tetap komitmen dengan aturan ihdad selain menetap di rumah seperti tidak memakai wewangian, celak dll.
Diperbolehkan juga baginya keluar untuk mencari nafkah pada malam hari selama tidak memungkinkan melakukannya pada siang hari.
Wallahu a’lamu bisshowab..