Ghibah Lebih Berat dari Zina: Sebuah Kajian Tentang Dosa Sosial dan Individual
Latar Belakang Masalah:
Fenomena ghibah (menggunjing) menjadi salah satu kebiasaan buruk yang sering kali dianggap remeh dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, dalam ajaran Islam, ghibah adalah dosa besar yang memiliki dampak buruk tidak hanya pada pelaku, tetapi juga pada orang lain dan masyarakat secara keseluruhan. Bahkan, terdapat ungkapan dalam hadits yang menyatakan bahwa “Ghibah lebih berat dosanya dibanding zina”.
Pertanyaan
Kenapa Ghibah lebih besar dosanya daripada zina? Mohon penjelasannya
Waalaikum salam.
Jawaban
Ungkapan “الغيبة أشد من الزنا” (ghibah lebih besar dosanya dari zina) berasal dari beberapa riwayat yang menunjukkan betapa seriusnya dosa ghibah (menggunjing). Salah satu hadits yang mendukung hal ini adalah:
“الغيبة أشد من الزنا، قالوا: وكيف؟ قال: إن الرجل يزني فيتوب فيتوب الله عليه، وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر له صاحبه”
(Ghibah itu lebih berat daripada zina. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa? Beliau menjawab: Sesungguhnya seorang yang berzina, ia bisa bertaubat dan Allah akan mengampuninya. Adapun pelaku ghibah, ia tidak akan diampuni hingga orang yang digunjingnya memaafkannya).
(HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 10003, meskipun sebagian ulama berbeda pendapat mengenai kekuatan sanadnya).
Penjelasan:
1. Ghibah (menggunjing) adalah berbicara tentang keburukan seseorang yang tidak hadir, meskipun keburukan itu benar adanya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“الغيبة ذكرك أخاك بما يكره”
(Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci) (HR. Muslim, no. 2589).
Ghibah merusak hubungan sosial, menyebarkan kebencian, dan sulit untuk diperbaiki karena pelaku ghibah harus meminta maaf kepada orang yang ia gunjing.
2. Dosa zina meskipun besar, dampaknya cenderung lebih individual dan masih ada jalan untuk bertaubat langsung kepada Allah. Dalam banyak riwayat, Allah membuka pintu ampunan bagi pelaku zina jika ia benar-benar bertaubat.
3. Mengapa ghibah lebih berat?
Pelaku ghibah tidak hanya berdosa kepada Allah, tetapi juga kepada manusia. Taubatnya membutuhkan permintaan maaf kepada pihak yang dirugikan.
Ghibah merusak nama baik seseorang, yang dampaknya bisa meluas di masyarakat.
(كتاب غاية الوصول :صحيفة ١٠٠ )
أما الغيبة وهي ذكرك لإنسان بما تكرهه وإن كان فيه فصغيرة قاله صاحب العدة، وأقرّه الرافعي ومن تبعه لعموم البلوى بها. نعم قال القرطبي في تفسيره إنها كبيرة بلا خلاف، ويشملها تعريف الأكثر الكبيرة بما توعد عليه بخصوصه قال تعالى {أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا} قال الزركشي وقد ظفرت بنص الشافعي في ذلك، فالقول بأنها صغيرة ضعيف أو باطل. قلت ليس كذلك لإمكان الجمع بحمل النص، وما ذكر على ما إذا أصر على الغيبة أو قرنت بما يصيرها كبيرة أو اغتاب عدلاً وقد أخرجتها بزيادتي غالبا.
Adapun ghibah (menggunjing), yaitu menyebutkan sesuatu tentang seseorang yang ia tidak sukai, meskipun hal tersebut memang ada padanya, adalah dosa kecil. Hal ini dikatakan oleh penulis kitab *Al-‘Uddah*, dan disepakati oleh Imam Ar-Rafi’i serta para pengikutnya karena banyaknya kejadian yang terjadi (umum al-balwa). Namun, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ghibah adalah dosa besar tanpa ada perbedaan pendapat. Hal ini mencakup definisi dosa besar menurut mayoritas ulama, yaitu sesuatu yang secara khusus diancam oleh syariat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah salah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang telah mati?”
Imam Az-Zarkasyi berkata: “Saya menemukan nash dari Imam Asy-Syafi’i tentang hal ini, maka pendapat bahwa ghibah adalah dosa kecil adalah oendapat yang lemah atau batil.”
Saya (penulis) berkata: “Tidak demikian, karena memungkinkan untuk mengompromikan pendapat tersebut dengan membawa nash dan apa yang disebutkan pada kasus di mana seseorang terus-menerus melakukan ghibah, atau disertai hal-hal yang menjadikannya dosa besar, atau menggunjing (berghibah) kepada seseorang yang adil. Dalam hal ini, saya biasanya menjelaskan lebih rinci dengan tambahan-tambahan saya.”
(Kitab Ghooyatul Wushul, halaman 100)
Kesimpulan:
Meskipun kedua dosa ini besar, konteks “lebih beratnya” ghibah dalam hadits ini adalah karena sifatnya melibatkan hak sesama manusia (haqul adami). Dengan demikian, dosa ini memerlukan maaf dari pihak yang digunjing agar bisa diampuni. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lisan dan kehormatan orang lain.