![](https://i0.wp.com/ikaba.id/wp-content/uploads/2024/06/InShot_20240622_162435772.jpg?resize=1024%2C574&ssl=1)
Assalamualaikum
Deskripsi masalah.
Kemiskinan adalah salah satu keadaan yang dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi, dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Hal ini mencakup pangan dari aspek pemasukan untuk membeli makanan, dan bukan dari aspek pengeluaran. Kemiskinan juga memiliki kaitan erat dengan tingkat pendapatan, sehingga seseorang berada dalam fase kehilangan pendapatan dan aksesibilitas terhadap sumber daya pemenuh kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang, papan, serta layanan hidup lainnya.
Doktor Syaikh Yusuf al-Qordhowi Rahimahullah, menjelaskan dalam kitabnya fiqih zakat bahwa orang Faqir: “ adalah orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang halal yang layak untuknya, jatuh dalam posisi ketidak cukupan, seperti makanan, pakaian, perumahan dan semua hal penting lainnya, baik untuk dirinya sendiri dan untuk orang menjadi beban tanggung jawabnya untuk membelanjakan, tanpa adanya pemborosan atau kekikiran, seperti seseorang yang membutuhkan sepuluh dirham setiap hari dan hanya menemukan empat atau tiga atau dua.
Sedangkan Miskin: “adalah orang yang mampu memperoleh uang atau memperoleh penghasilan yang layak secara halal yang termasuk dalam kecukupannya dan kecukupan tanggungannya. Tetapi itu tidak dilakukan dengan cukup, seperti seseorang yang membutuhkan sepuluh dan menemukan tujuh atau delapan, maka dalam upaya untuk menanggulangi kemiskinan”Takmir masjid selama ini bingung masalah fiqih terkait sah/ boleh apa tidak menggunakan uang kas masjid untuk bantuan bencana atau janda miskin yang rumahnya hampir roboh,”
Pertanyaan.
Bolehkah dalam upaya menanggulangi kemiskinan memanfaatkan sebagian dana masjid digunakan atau ditashorrufkan untuk fakir miskin ?
Waalaikum salam
Jawaban
Jika dana masjid telah mencukupi untuk kebutuhan pembangunan, maka boleh dimanfaatkan untuk fakir miskin yang mana fakir dan miskin termasuk dari bagian jamaah masjid bahkan termasuk dari ahli qoryah, alasannya karena masjid itu bagaikan orang yang merdeka yang bisa memiliki sesuatu oleh karenanya tidak dibolehkan menggunakan barang masjid kecuali ada maslahat yang kembali kepada masjid atau untuk kepentingan orang-orang muslim, kepentingan umum mencakup antara orang fakir atau miskin, bahkan disunnahkan bagi takmir melakukan sesuatu yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi, rokok dan sesuatu yang disukai para jama’ah, walaupun hal ini tidak dibiasakan sebelumnya, apabila uang kas ini sudah melebihi untuk pembangunan masjid”.
Pernah syaik Salim bin Sa’id Baggitsan As-Syafi’i di tanya tentang seseorang yg mewakafkan hartanya yg sangat banyak untuk kemaslahatan masjid dan sekarang masjid tersebut telah makmur (banyak yg ibadah disana) dan ada di kas masjid harta wakaf orang tersebut masih lebih karena sangat banyaknya, maka apakah boleh mengeluarkan sebagian harta wakof ini untuk suatu acara agar orang orang yg solat lebih giat lagi ?
Maka beliau menjawab :
Segala puji bagi allah dan allah jua lah yg memberikan jalan kepada kebenaran.
Harta harta yg di wakofkan untuk kemaslahatan masjid , sebagaimana pada soal tsb ,Boleh mentasarufkan harta wakof tsb untuk pembangunan , pengecatan , gaji marbot , asatidz , imam , begitu pula boleh untuk membuat lebih giat lagi orang yg solat seperti menyajikan kopi , bukhur(asap yg wangi untuk mewangikan masjid) akan tetapi semua harta wakaf itu harus di utamakan mana yg lebih penting.
الفتاوى الفقهية الكبرى (٣/ ١٥٥)
وَأَنَّ الْمَسْجِدَ حُرٌّ يَمْلِك فَلَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فيه إلَّا بِمَا فيه مَصْلَحَةٌ تَعُودُ عليه أو على عُمُومِ الْمُسْلِمِينَ
فتوى إبن صالح ص ٣٩٠
وَإِذا ضَاقَ الْأَمر اتَّسع
وَمن نَظَائِر ذَلِك مَا ذكره غير وَاحِد من أَصْحَابنَا *من أَن وقُوف الْمَسَاجِد فِي الْقرى يصرفهَا صلحا أهل الْقرْيَة فِي عمَارَة الْمَسْجِد ومصالحه لعدم من إِلَيْهِ النّظر*
فتوى الرملى ص ٦٣٤
(سُئِلَ)
عَمَّا أَجَابَ بِهِ السُّبْكِيُّ أَنَّ لِلنَّاظِرِ أَنْ يَتَّجِرَ فِي مَالِ الْمَسْجِدِ لِأَنَّهُ كَالْحُرِّ دُونَ غَيْرِهِ هَلْ هُوَ الْمُعْتَمَدُ أَمْ لَا وَمَا الْفَرْقُ بَيْنَ الْمَسْجِدِ وَغَيْرِهِ؟
(فَأَجَابَ)
بِأَنَّهُ الْمُعْتَمَدُ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَسْجِدِ وَغَيْرِهِ مَا ذَكَرَهُ أَنَّ الْمَسْجِدَ كَالْحُرِّ أَيْ فِي أَنَّهُ يُمْلَكُ بِالشِّرَاءِ وَالْهِبَةِ وَالْوَصِيَّةِ وَالشُّفْعَةِ وَنَحْوِهَا بِخِلَافِ غَيْرِهِ.
فتوى الرملى ص ٦٣٨
(سُئِلَ)
عَمَّا لَوْ تَعَطَّلَ بِتَعَطُّلِ الْبَلَدِ أَوْ انْهِدَامٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَهَلْ تُصْرَفُ غَلَّةُ وَقْفِهِ حِينَئِذٍ إلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَجَزَمَ بِهِ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ أَوْ تُصْرَفُ لِأَقْرَبِ النَّاسِ إلَى الْوَاقِفِ كَمُنْقَطِعِ الْآخِرِ كَمَا قَالَهُ الرُّويَانِيُّ فِي مَحَلٍّ آخَرَ وَحَكَاهُ الْحَنَّاطِيُّ فِي فَتَاوِيهِ وَجْهًا أَوْ تُصْرَفُ فِي عِمَارَةِ مَسْجِدٍ آخَرَ وَمَصَالِحُهُ وَيَكُونُ الْمُسْتَحِقُّ لِذَلِكَ أَقْرَبَ الْمَسَاجِدِ إلَيْهِ كَمَا نُقِلَ عَنْ الْمُتَوَلِّي أَوْ تُحْفَظُ كَمَا قَالَهُ الْإِمَامُ لِتَوَقُّعِ عَوْدِهِ كَمَا فِي غَلَّةِ وَقْفِ الثَّغْرِ؟
(فَأَجَابَ)
بِأَنَّ الَّذِي تَحَرَّرَ لِي فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّهُ إنْ تَوَقَّعَ عَوْدَهُ حُفِظَ لَهُ وَهُوَ مَا قَالَهُ الْإِمَامُ وَإِلَّا فَإِنْ أَمْكَنَ صَرْفُهُ إلَى مَسْجِدٍ آخَرَ صُرِفَ إلَيْهِ وَهُوَ مَا نُقِلَ عَنْ الْمُتَوَلِّي وَبِهِ جَزَمَ فِي الْأَنْوَارِ وَإِلَّا فَمُنْقَطِعُ الْآخِرِ فَيُصْرَفُ لِأَقْرَبِ النَّاسِ إلَى الْوَاقِفِ وَهُوَ مَا قَالَهُ الرُّويَانِيُّ فِي مَحَلٍّ آخَرَ وَحَكَاهُ الْحَنَّاطِيُّ فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا صُرِفَ إلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَيْ أَوْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ مَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَجَزَمَ بِهِ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ وَحِينَئِذٍ لَا خِلَافَ فِي الْمَسْأَلَةِ
Disebutkan Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma.Beliau berkata:
أَمْرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ جَادٍّ بِعَشَرَةِ أَوْسُقٍ مِنْ تَمْرٍ، بِقِنْوٍ يُعَلَّقُ فِي الْمَسْجِدِ لِلْمَسَاكِينِ
“Nabi shallallahu‘alaihi wasallam memerintahkan dari setiap buah yang berjumlah sepuluh wasaq kurma (hasil panen) diambil satu tandan dan digantungkan di masjid untuk orang-orang miskin.”
(HR. Ahmad: 14867, Abu Dawud: 1662 dan Musnad Abi Ya’la: 2038 (4/34). Isnad-nya di-jayyid-kan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: 3/348. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 1465).
Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu berkata:
كُنَّا أَصْحَابَ نَخْلٍ فَكَانَ الرَّجُلُ يَأْتِي مِنْ نَخْلِهِ عَلَى قَدْرِ كَثْرَتِهِ وَقِلَّتِهِ، وَكَانَ الرَّجُلُ يَأْتِي بِالقِنْوِ وَالقِنْوَيْنِ فَيُعَلِّقُهُ فِي المَسْجِدِ، وَكَانَ أَهْلُ الصُّفَّةِ لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ، فَكَانَ أَحَدُهُمْ إِذَا جَاعَ أَتَى القِنْوَ فَضَرَبَهُ بِعَصَاهُ فَيَسْقُطُ مِنَ البُسْرِ وَالتَّمْرِ فَيَأْكُلُ، وَكَانَ نَاسٌ مِمَّنْ لَا يَرْغَبُ فِي الخَيْرِ يَأْتِي الرَّجُلُ بِالقِنْوِ فِيهِ الشِّيصُ وَالحَشَفُ وَبِالقِنْوِ قَدْ انْكَسَرَ فَيُعَلِّقُهُ»، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ} [البقرة: ٢٦٧]
“Kami adalah petani kurma, setiap orang datang membawa hasil kurmanya sesuai banyak sedikitnya, seseorang datang membawa setangkai atau dua tangkai lalu menggantungkannya di masjid, sementara penghuni halaman masjid (ahlush shuffah) tidak memiliki makanan, jika salah seorang dari mereka merasa lapar, mereka datang ke tangkai-tangkai kurma dan memukulnya dengan tongkat hingga busr (kurma muda) dan kurma berjatuhan, lalu mereka memakannya, sedangkan orang-orang yang tidak menghendaki kebaikan, datang dengan membawa satu tangkai kurma yang keras lagi jelek dan satu tangkai yang sudah rusak, kemudian digantungkan di masjid, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.” (QS.Al-Baqarah: 267).” (HR. At-Tirmidzi: 2987 dan ia berkata hasan shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf: 11099 (6/419). Di-hasan-kan pula oleh Muqbil dalam ash-Shahih al-Musnad: 138 (1/119)).
Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata:
والظاهر من أهل الصفة: أنهم كانوا يأكلون في المسجد، وقد سبق حديث البراء بن عازب أنهم كانوا إذا جاعوا ضربوا القنو المعلق في المسجد للصدقة فأكلوا منه
“Yang jelas dari Ahlus Shuffah adalah bahwa mereka makan di masjid. Dan telah berlalu hadits al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu bahwa mereka jika lapar memukul tandan kurma sedekah yang tergantung di masjid, lalu mereka memakannya.” (Fathul Bari li Ibni Rajab: 3/163).
. بغية المسترشدين ص : ٦٥ دار الفكر
(مسئلة ب) يجوز للقيم شراء عبد للمسجد ينتفع به لنحو نزح إن تعينت المصلحة فى ذلك.
إذ المدار كله من سائر الأولياء عليها نعم لا نرى للقيم وجها فى تزويج العبد المذكور كولى اليتيم إلا أن يبعه بالمصلحة فيزوجه مشتريه ثم يرد للمسجد بنحو بيع مراعيا فى ذلك المصلحة ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد فى المسجد من قهوة ودخون ونحوهما مما يرغب نحو المصلين وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته
Referensi:
. فتح الاله المنان للشيخ سالم بن سعيد بكير باغيثان الشافعي ص : ١٥٠
سئل رحمه الله تعالى عن رجل وقف اموالا كثيرة على مصالح المسجد الفلاني وهو الان معمور وفي خزنة المسجد من هذا الوقف الشئ الكثير فهل يجوز اخراج شئ من هذا الوقف لاقامة وليمة مثلا يوم الزينة ترغيبا للمصلين المواظبين ؟ فا جاب الحمد لله والله الموافق للصواب الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء والتجصيص المحكم و في أجرة القيم والمعلم والامام والحصر والدهن وكذا فيما يرغب المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الاهم فالاهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل اذافضل
1. Kitab Bughyatul Mustarsyidin, hal. 65, Dar al-Fikr:
(Masalah B):
Diperbolehkan bagi seorang nadzir (pengelola wakaf) membeli seorang budak untuk masjid jika ada kemaslahatan yang pasti, seperti untuk kebutuhan menimba air. Karena dalam semua urusan para wali, ukuran utama adalah kemaslahatan. Ya, kami tidak melihat adanya dasar bagi nadzir untuk menikahkan budak tersebut sebagaimana wali yatim, kecuali jika ia menjualnya demi kemaslahatan, lalu budak itu dinikahkan oleh pembelinya, kemudian dikembalikan kepada masjid melalui penjualan yang tetap memperhatikan kemaslahatan.
Dan diperbolehkan, bahkan dianjurkan, bagi nadzir untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi, dupa, dan sejenisnya yang dapat menarik minat jamaah salat, meskipun sebelumnya tidak menjadi kebiasaan, asalkan itu tidak mengurangi perbaikan fisik masjid.
—
2. Kitab Fathul Ilah al-Mannan karya Syaikh Salim bin Sa’id Bakir Baghitsan asy-Syafi’i, hal. 150:
Beliau (Syaikh Salim) ditanya, “Bagaimana hukum seorang yang mewakafkan harta yang banyak untuk kepentingan masjid tertentu, yang saat ini sudah makmur, dan di dalam kas masjid terdapat banyak dana dari wakaf tersebut? Apakah boleh menggunakan sebagian dana wakaf itu untuk mengadakan walimah, misalnya pada Hari Raya, demi menarik minat jamaah yang rutin salat?”
Beliau menjawab:
Alhamdulillah, hanya Allah yang memberikan taufik kepada kebenaran.
Harta yang diwakafkan untuk kepentingan masjid, sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan, boleh digunakan untuk membangun, memperbaiki, memberikan gaji kepada pengelola, guru, imam, membeli tikar, minyak, dan sebagainya. Demikian pula, boleh digunakan untuk hal-hal yang menarik minat jamaah salat, seperti menyediakan kopi atau dupa. Semua itu dilakukan dengan memperhatikan prioritas, dari yang paling penting ke yang lebih rendah. Oleh karena itu, penggunaan dana dalam pertanyaan tersebut diperbolehkan, sebagaimana yang disebutkan oleh penanya, jika terdapat kelebihan dana. Wallahu A’lam Bisshawab
المساجد بيوت الله ص ١١٠-١١١
(باب: القسمة وتعليق القنو في المسجد)
ثم ذكر حديث أنس -رضي الله عنه -قال: «أتي النبي- صلى الله عليه وسلم -بمال من البحرين، فقال: (انثروه في المسجد) وكان أكثر مال أُتِيَ به رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فخرج رسول الله- صلى الله عليه وسلم -ولم يلتفت إليه، فلما قضى الصلاة جاء فجلس إليه، فما كان يرى أحدًا إلا أعطاه، فما قام رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وثم منه درهم» (٢)
ففي هذا الحديث جواز تفريق المال في المسجد، بشرط ألاَّ يشغل المصلِّين، ولا يحصل فيه ازدحام وهيشات أصوات، فإن تيسَّر تفريقه في غير المسجد فهو أولى، ومثله تفريق الزكوات وصدقة الفطر، يجوز في المساجد عند الحاجة. (٣)
قال الخطابي: كره بعض السلف المسألة في المسجد، وكان بعضهم لا يرى أن يتصدق أحد على السائل المعترض في المسجد. ا. هـ (٢)
بل يقال: إذا مُنع الرجل أن ينشد ضالته في المسجد ,رغم كونه يبحث عن شيء هو يملكه؛ لئلا يشوِّش على المصلِّين، فإنه يُمنع من المسألة في المسجد؛ لأنها مثله وأولى. (٣)
وممَّا يتعلق بهذه الفائدة:
سؤال الصدقات وقت خطبة الجمعة: حيث ترى خادم المسجد يمر بالصندوق وقت الخطبة على الناس ليتصدقوا , وهذا بلا شك يشوِّش على الناس حال سماع الخطبة، كما أنه يتسبب في إبطال جمعة من يمر بهذا الصندوق، فقد قال النبي – صلى الله عليه وسلم-: “مَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا”. (٤)، وقال النبي – صلى الله عليه وسلم – “وَمَنْ لَغَا وَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ كَانَتْ لَهُ ظُهْرًا” (٥)
Bab: Pembagian dan Menggantungkan Tandan Kurma di Masjid
Kemudian disebutkan hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan harta dari Bahrain, lalu beliau bersabda: (Sebarkanlah di masjid). Itu adalah harta terbanyak yang pernah didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar tanpa memedulikannya. Setelah selesai melaksanakan shalat, beliau datang dan duduk di dekat harta tersebut. Tidak ada seorang pun yang beliau lihat kecuali diberi bagian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bangkit dari tempat itu hingga tidak tersisa satu dirham pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini terdapat kebolehan membagikan harta di masjid dengan syarat tidak mengganggu orang-orang yang sedang shalat, tidak menyebabkan keramaian, dan tidak membuat kegaduhan. Namun, jika memungkinkan untuk membagikannya di luar masjid, itu lebih utama. Demikian pula, pembagian zakat dan sedekah fitrah boleh dilakukan di masjid apabila ada kebutuhan.
Imam Al-Khathabi berkata:
“Sebagian ulama salaf membenci meminta-minta di masjid, dan sebagian mereka tidak menyukai seseorang bersedekah kepada peminta-minta yang meminta di masjid.”
Dikatakan pula: Jika seseorang dilarang mengumumkan barang hilang di masjid – meskipun ia sedang mencari barang miliknya sendiri – agar tidak mengganggu orang-orang yang sedang shalat, maka lebih utama lagi untuk melarang meminta-minta di masjid, karena hal itu lebih mengganggu.
Hal lain yang berkaitan dengan faidah ini adalah:
Meminta-minta sedekah saat khutbah Jumat, di mana kadang terlihat petugas masjid mengedarkan kotak amal kepada para jamaah saat khutbah berlangsung. Hal ini jelas mengganggu jamaah yang sedang mendengarkan khutbah, bahkan bisa membatalkan keabsahan Jumat seseorang yang melewati kotak tersebut. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang menyentuh kerikil, maka ia telah melakukan kesia-siaan.” (HR. Muslim).
Dan beliau juga bersabda:
“Barang siapa berbicara atau melewati leher-leher manusia saat khutbah, maka ia mendapatkan dzuhur (bukan Jumat).”
(١) أخرجه مسلم في الصحيح (١٠٢٨)، دون قول أبي بكر – رضي الله عنه – دخلت المسجد ….. ، وهي زيادة ضعيفة، في سندها مبارك بن فضالة، وهو مدلس وقد عنعنه.
(٢) ذكره البخاري (٤٢١) معلقاً بصيغة الجزم ووصله ابن حجر في التغليق (٢/ ٢٢٧)
(٣) انظر المجموع (٢/ ١٧٦) وفصول ومسائل تتعلق بالمساجد لابن جبرين (ص/٤٤)