
HUKUM MENERIMA DONOR DARAH DARI NON MUSLIM
Assalamualaikum , maaf para kiyai , para ustad ,saya bertanya.
Bagaimana hukumnya menerima donor darah ,Sedangkan orang yang ditransfusi Non muslim (orang yang didonor kafir ) misalnya, atau dia makan barang haram seperti minum khomer atau sering makan barang Riba dll. .
Wassalamualaikum .
Waalaikum salam.
Jawaban.
Hukum menerima transfusi darah dari orang non-muslim ( Donor darah dari Non Muslim ) dalam kondisi sangat dibutuhkan dalam rangka untuk pengobatan hukumnya adalah boleh. Alasannya karena tubuh Non Muslim pada hakikatnya adalah suci, tidak najis.
Imam Nawawi berkata; “Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahih Bukhari, bersumber dari Ibnu Abbas secara mu’allaq: Muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk orang muslim. Adapun hukum status orang kafir, maka hukum dalam masalah suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (maksudnya suci). Ini adalah pendapat madzhab kami, yang juga menjadi pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf.
Adapun firman Allah; yang artinya:” (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing, kotoran , dan sebagainya.
Jika sudah jelas kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana penjelasannya dalam Bab Haid.”Begitu juga tubuh anak-anak mereka Non Muslim, bahkan boleh memakai pakaian mereka digunakan untuk shalat dan makan bersama mereka selama tidak jelas atas kenajisan dari yang mencegahnya ketika mencelupkan tangan mereka.Ini sebuah dalil dari Sunnah dan Ijma’ yang populer.Wallahu A’lam bisshowab.
Referensi
كتاب شرح النووي على مسلم – باب الدليل على أن المسلم لاينجسه- مكتبة الشاملة .ص٦٥-٦٦
(باب الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ)
فِيهِ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (سبحان الله أن المؤمن لاينجس) وفي الرواية الاخرى (إن المسلم لاينجس
هَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ عَظِيمٌ فِي طَهَارَةِ الْمُسْلِمِ حَيًّا وَمَيِّتًا فَأَمَّا الْحَيُّ فَطَاهِرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى الْجَنِينُ إِذَا أَلْقَتْهُ أُمُّهُ وَعَلَيْهِ رُطُوبَةُ فَرْجِهَا قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا هُوَ طَاهِرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ قَالَ وَلَا يَجِيءُ فِيهِ الْخِلَافُ الْمَعْرُوفُ فِي نَجَاسَةِ رُطُوبَةِ فَرْجِ الْمَرْأَةِ وَلَا الْخِلَافُ الْمَذْكُورُ فِي كُتُبِ أَصْحَابِنَا فِي نَجَاسَةِ ظَاهِرِ بَيْضِ الدَّجَاجِ وَنَحْوِهِ فَإِنَّ فِيهِ وَجْهَيْنِ بِنَاءً عَلَى رُطُوبَةِ الْفَرْجِ هَذَا حُكْمُ الْمُسْلِمِ الْحَيِّ وَأَمَّا الْمَيِّتُ فَفِيهِ خِلَافٌ لِلْعُلَمَاءِ وَلِلشَّافِعِيِّ فِيهِ قَوْلَانِ الصَّحِيحُ مِنْهُمَا أَنَّهُ طَاهِرٌ وَلِهَذَا غُسِّلَ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ وَذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ بن عَبَّاسٍ تَعْلِيقًا الْمُسْلِمُ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا هَذَا حُكْمُ الْمُسْلِمِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَحُكْمُهُ فِي الطَّهَارَةِ وَالنَّجَاسَةِ حُكْمُ الْمُسْلِمِ هَذَا مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْجَمَاهِيرِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَأَمَّا قَوْلُ الله عز وجل انما المشركون نجس فَالْمُرَادُ نَجَاسَةُ الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَةٌ كَنَجَاسَةِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَنَحْوِهِمَا فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَةُ الْآدَمِيِّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا فَعِرْقُهُ وَلُعَابُهُ وَدَمْعُهُ طَاهِرَاتٌ سَوَاءٌ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ وَهَذَا كُلُّهُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْتُهُ فِي بَابِ الْحَيْضِ وَكَذَلِكَ الصِّبْيَانُ أَبْدَانُهُمْ وَثِيَابُهُمْ وَلُعَابُهُمْ مَحْمُولَةٌ على الطهارة حتى تتيقن النجاسة فتجوزالصلاة فِي ثِيَابِهِمْ وَالْأَكْلُ مَعَهُمْ مِنَ الْمَائِعِ إِذَا غمسوا أَيْدِيَهُمْ فِيهِ وَدَلَائِلُ هَذَا كُلِّهِ مِنَ السُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ مَشْهُورَةٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Bab Dalil bahwa Seorang Muslim Tidak Najis
Dalam hadis disebutkan sabda Nabi ﷺ:
“Subhanallah, sesungguhnya seorang mukmin tidak najis”
(Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya seorang muslim tidak najis”).
Hadis ini merupakan dalil besar mengenai kesucian seorang muslim, baik ketika hidup maupun setelah meninggal dunia. Adapun ketika hidup, statusnya adalah suci berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, bahkan janin yang dilahirkan oleh ibunya dan masih melekat padanya cairan dari kemaluan ibunya tetap dianggap suci. Sebagian ulama dari kalangan kami (Syafi’iyah) mengatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan kaum muslimin dan tidak berlaku perbedaan pendapat terkait najisnya cairan dari kemaluan wanita. Begitu pula, tidak berlaku perbedaan pendapat yang disebutkan dalam kitab-kitab kami terkait najisnya bagian luar telur ayam atau lainnya yang dipandang berdasarkan cairan kemaluan.
Status Muslim yang Hidup dan Meninggal
Muslim yang hidup: Hukumnya suci.
Muslim yang meninggal: Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat, dan pendapat yang lebih sahih menyatakan bahwa mayat muslim adalah suci. Oleh karena itu, jenazahnya dimandikan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya seorang muslim tidak najis.”
Imam Bukhari dalam Shahih-nya secara ta’liq meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa: “Seorang muslim itu tidak najis, baik ketika hidup maupun setelah meninggal dunia.”
Status Non-Muslim
Adapun non-muslim, statusnya dalam hal kesucian tubuh sama seperti muslim menurut mazhab kami (Syafi’iyah) dan pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf. Mengenai firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At-Taubah: 28), maksudnya adalah najis dari segi akidah dan sifat yang menjijikkan, bukan najis secara fisik seperti najisnya air seni, kotoran, dan sebagainya.
Kesimpulan Status Kesucian Tubuh
Berdasarkan penjelasan ini, tubuh manusia (baik muslim maupun non-muslim), termasuk keringat, air liur, dan air matanya, semuanya suci. Status ini tetap berlaku, baik seseorang dalam keadaan berhadats, junub, haid, maupun nifas. Hal ini merupakan kesepakatan kaum muslimin sebagaimana telah disebutkan dalam bab tentang haid.
Begitu pula anak-anak kecil, tubuh, pakaian, dan air liur mereka dianggap suci hingga terbukti terdapat najis secara yakin. Dengan demikian, shalat dalam pakaian mereka dibolehkan, begitu juga makan bersama mereka dari makanan cair yang mereka celupkan tangannya ke dalamnya. Dalil-dalil mengenai hal ini dari sunnah dan ijma’ sangat terkenal. Wallahu a’lam.
Adapun Persoalan menerima pemberian orang Non Muslim sedangkan mereka makan barang haram yang diperoleh dari uang judi atau barang riba,selama tidak diketahui secara jelas maka menerima pemberiannya hukumnya boleh namun makruh . Imam Suyuthi berkata dalam kitab Al-Ashbah wan-Nadzair
ومنها: معاملة من أكثر ماله حرام، إذا لم يعرف عينه لا يحرم في الأصح لكن يكره، وكذا الأخذ من عطايا السلطان، إذا غلب الحرام في يده، كما قال في شرح المهذب: إن المشهور فيه الكراهة لا التحريم، خلافاً للغزالي
Artinya: Transaksi seseorang yang kebanyakan hartanya haram, apabila tidak diketahui harta apa yang haram, maka tidak haram menurut pendapat yang paling sahih akan tetapi hukumnya makruh. Begitu juga hukum menerima hadiah dari raja apabila mayoritas harta raja itu haram seperti pendapat Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab bahwa yang masyhur dalam masalah ini adalah makruh, bukan haram. Ini berbedda dengan pendapat Al-Ghazali (menurutnya hukumnya haram).
Kesimpulan
Jika sudah jelas kasabnya diperoleh dari barang yang haram dan diketahui oleh seseorang melalui mata kepalanya sendiri maka haram pula memakannya, ini jika berbentuk materi yang jelas diketahui oleh mata, tetapi jika darah karena barang yang samar ( berada dalam tubuh ) Kemudian ditransfusi , maka hukumnya boleh menerimanya karena tubuh dan darahnya Non Muslim pada hakikatnya suci, dan barang yang tidak nampak itu urusan Allah, Sebagaimana ungkapan dalam kaidah ushul fiqh.
نحن نحكم بالظواهر والله يتولى السرائر
Artinya : “Kami menghukumi dengan sesuatu yang dhahir (lahiriah), dan Allah yang menangani seluruh yang tersembunyi (samar).Wallahu a’lam bisshowab.