
HUKUM MENIKAHI PEREMPUAN YANG SUAMINYA MAFQUD (HILANG KONTAK ) AKIBAT PERANG IRAN IRAQ
Assalamualaikum
Deskripsi masalah.
Dalam satu daerah ada pasangan Suami istri katakanlah Nama samaranya ( Fatimah dan Mahmud ) keduanya dalam menjalani kehidupan berkeluarga SaMaRa ( Sakinah MawaddahWarahmah) walau penghasilannya pas-pasan hingga dikaruniai satu anak, selang 2 tahun dari kelahiran anaknya, Mahmud ingin meningkatkan penghasilannya hingga ia merantau keluar negri ( Negara Iraq ) namun setelah sampai pada tujuan terjadilah perang Iran iraq pada tahun 1980.Yang dikenal dengan perang Teluk. Diantara faktor memicu terjadinya peperangan antara Iran dan Irak adalah adanya keinginan Irak dan Iran menguasai Sungai Shatt Al-Arab yang merupakan perairan strategis yang memisahkan keduanya menuju Teluk Persia dan merupakan jalur ekspor minyak sehingga menjadi wilayah sengketa.
Dalam perang tersebut banyak menelan korban jiwa dari dua belah pihak yang melibatkan tentara juga rakyat sipil .Selama perang, Mahmud hilang kontak hingga Perang delapan tahun itu baru berakhir ketika kedua negara sepakat menerima Resolusi 598 Dewan Keamanan PBB, yang mengarah pada gencatan senjata pada 20 Agustus 1988–setahun sebelum Ayatollah Khomeini tutup usia.Dengan diyakininya atas meninggalnya Suami Fatimah dan ia sudah mendatangkan dua orang yang adil sebagai persaksian atau hasil ijtihadnya qodhi ( hakim), maka ia menikah dengan lelaki lain hingga dikarunai satu anak.Ternyata selang 5 tahun suaminya yang pertama datang.
Pertanyaanya:
1- Bagaimana status pernikahan keduanya yaitu:
a). Suami kedua dan setatus anaknya
b). Suami pertama ?
Waalaikum salam.
Jawaban. Sub. A
Sebelumnya penting Mujawwib memberikan pemahaman Mafqud.
Mafqud adalah berasal dari bahasa Arab merupakan isim maful yang diambil dari fi’il Madhi , Faqada – Yafqidu – Fiqdanan – Fuqdanan – Fuqudan, yang artinya hilang atau lenyap atau hilang kontak. Secara Istilah Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasinya atau hilang kontak tentang dirinya sehingga tidak lagi diketahui tentang keadaan endintitas diri yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.Jadi maksud dari perempuan atau istri orang yang mafqud adalah istri yang suaminya tidak diketahui lagi keberadaannya, apakah masih hidup atau meninggal dunia.
Dalam kondisi seperti itu terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama, si perempuan harus menunggu hingga diyakini ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus, baik karena kematian suaminya, kabar talak darinya, maupun semisalnya. Kemudian ia telah menjalani masa iddahnya. Hal ini mengingat hukum asal dalam kasus tersebut adalah si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali secara meyakinkan pula. Demikian pendapat Imam As-Syafi’i rahimahullâh dalam qaul jadîd.
قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ
Artinya, “(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).
Pendapat kedua, si perempuan harus menunggu sampai lewat masa empat tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama empat bulan 10 hari. Masa empat tahun digunakan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan. Sedangkan perhitungannya dimulai sejak hilangnya keberadaan suami atau keputusan hukum dari hakim atas kematian suami.
قوله (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.
Artinya, “(Menurut qaul qadîm, ia harus menunggu selama empat tahun), menurut satu versi: empat tahun itu dihitung sejak raibnya si suami. Sementara menurut versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, maka waktu yang berlalu sebelumnya tidak di hitung. (Kemudian ia menjalani ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah) setelahnya. Demikian karena mengikuti putusan hukum Umar RA dalam kasus tersebut. Penggunaan acuan empat tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, cetakan pertama, Jilid X, halaman 457). Pendapat qaul qadîm Imam As-Syafi’i rahimahullâh ini selaras dengan riwayat pendapat ulama lainnya. Dari generasi sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khattab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum. Sedangkan dari generasi tabi’in ada An-Nakhai’, Atha’, Az-Zuhri, Makhul dan As-Sya’bi.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ
Artinya, “Diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab, sungguh Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum demikian. Dengan sanad shahih, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar RA dan Ibnu Abbas RA, keduanya berkata, ‘Istri mafqûd harus menanti empat tahun.’ Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Masud, dan dari sekelompok tabi’in semisal An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya’bi.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun], jilid IX, halaman 538
Dari penjelasan diatas sudah jelas, jika seperempuan belum meyakini atas kematian suaminya maka tidak boleh menikah . Dengan kata yang berbeda ( mafhum mukholafah ) berarti jika perempuan telah memenuhi syarat untuk menikah artinya siperempuan sudah meyakini atas kematiannya suaminya ( Mahmud ) dengan mencari berita yang luas dan juga telah mendatangkan dua orang saksi atau keputusan qodhi dan sudah menanti masa iddah sudah dianggap selesai sebagaimana putusan ( maka ) hukum nikahnya yang kedua dianggap sah, begitu juga hasil anaknya dianggap anak yang sah alasannya karena perkawinan yang kedua dianggap sah.
Kemudian bagaimana jika ternyata selang 5 tahun dari pernikahan yang kedua suaminya mafqud ( datang dan masih hidup) sebagaimana deskripsi?
Jawaban. Sub. B
Dalam kajian fikih klasik para ulama ada yang membedakan antara nikah yang batal dan nikah yang fasid. Nikah yang batal adalah nikah yang tidak terpenuhi salah satu rukunnya, seperti nikah tanpa wali dan nikah tanpa saksi. Nikah yang fasid adalah nikah yang tidak terpenuhi rukun dan syarat nikah. Implikasi dari nikah yang batal dan nikah yang fasid adalah sama, yaitu pernikahannya tidak sah.
Tentang batalnya nikah seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi adalah berdasar sabda Rasulullah saw: “La nikaha illa biwaliyyin wa syaahidaini ‘aduulin, tidak sah pernikahan itu tanpa adanya wali yang menikahkan dan disaksikan oleh dua orang saksi yang adil”. Juga sabda Rasulullah: “Ayyumamroatin nakahat bighoiri idzni waliyyiha fanikahuha baathil, wanita manasaja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal”.
Perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami”. Pasal 3 ayat (2) menyatakan : “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa UUP menganut asas monogami, seorang suami hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
Seorang perempuan yang suaminya mafqud tetap saja masih berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya yang mafqud itu sebelum secara resmi bercerai berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu seorang perempuan yang suaminya mafqud tidak bisa menikah lagi dengan orang lain. Kalau mau menikah dengan orang lain, maka ia harus terlebih dahulu bercerai dengan suaminya yang mafqud itu dan habis masa iddahnya.
Kalau seorang perempuan yang suaminya mafqud menikah dengan laki-laki lain, maka ia telah melakukan poliandri. Ia telah melanggar asas perkawinan pasal 3 UUP, sehingga perkawinan dengan laki-laki lain itu adalah perkawinan yang batal.
Salah satu syarat untuk melakukan perkawinan adalah bahwa calon pengantin itu harus bebas tidak terikat perkawinan dengan orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 9 Undang Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 (UUP): “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi”. Kalau seorang perempuan yang suaminya mafqud menikah dengan laki-laki lain, maka ia telah telah melanggar syarat perkawinan pasal 9 UUP, sehingga perkawinan dengan laki-laki lain itu adalah perkawinan yang batal.
Jadi aturan yang memasukkan perkawinan seorang perempuan yang suaminya mafqud ke dalam perkawinan yang dapat dibatalkan itu adalah aturan yang aneh, karena perkawinan itu dapat dibatalkan atau tidak dapat dibatalkan tergantung dari suami yang mafqud. Kalau kemudian suami yang mafqud itu diketemukan atau pulang dari perantauan sebagaimana deskripsi dan dia kemudian membatalkan perkawinan isterinya, maka perkawinan isterinya dengan pria lain itu menjadi batal. Tetapi kalau kemudian suami yang mafqud itu diketemukan dan dia kemudian tidak membatalkan perkawinan isterinya, maka perkawinan isterinya dengan pria lain itu menjadi tidak batal. Dengan tidak dibatalkannya perkawinan isteri yang suaminya mafqud yang kawin dengan laki-laki lain itu, berarti perkawinan isterinya dengan laki-laki lain termasuk perkawinan yang sah dan isterinya akan mempunyai 2 suami. Suami pertama adalah pria yang mafqud dan sudah kembali dan suami kedua adalah suaminya yang baru dinikahi, maka perkawinan perempuan ini telah melanggar asas monogami yang dianut oleh UUP dan melanggar syarat perkawinan.
Seharusnya KHI konsisten menerapkan asas monogami sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1) UUP dan fikih klasik. Jika demikian maka KHI tidak akan memasukkan pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud itu ke dalam pernikahan yang dapat dibatalkan sebagaimana dalam pasal 71 tetapi akan memasukkan dalam perkawinan yang batal dalam pasal 70, karena telah melanggar asas monogami pasal 3 ayat (1) UUP dan melanggar syarat perkawinan pasal 9 UUP jo. Pasal 40 huruf a KHI, karena menjadi isteri pria lain yang mafqud itu juga tetap masih terikat perkawinan dengan pria lain. Seharusnya KHI memasukkan pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud itu ke dalam aturan perkawinan yang batal pasal 70. Sebab ada yang membatalkan perkawinan atau tidak ada yang membatalkan perkawinan, esensi dari perkawinan itu sendiri adalah perkawinan yang batal, tidak perlu dilakukan pembatalan perkawinan.
Seorang isteri yang suaminya mafqud dan mau menikah lagi dengan seseorang, maka ia harus terlebih dahulu memperjelas status dirinya sebagai seorang janda, ia terlebih dahulu harus bercerai dengan suaminya yang mafqud itu, yaitu dengan jalan mengajukan gugatan perceraian dengan alasan suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) atau alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya (pasal 19 huruf (b) PP No, 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam). Kalau seorang isteri yang suaminya mafqud terlanjur menikah dengan pria lain maka perkawinannya secara otomatis adalah perkawinan yang batal, sedangkan perkawinan yang pertama bukan perkawinan yang dapat dibatalkan, artinya perkawinan yang pertama tetap namun tidak boleh mewathe’nya ( bersetubuh ) sehingga istrinya telah lepas dari iddah dari suami yang ke dua. Sedangkan untuk formalnya harus diajukan gugatan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama.Wallahu A’lam Bishowaab.
Sebagaimana keterangan berikut:
Referensi:
(إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين الجزء الرابع ص: ۸۳ طبعة الحرمين)
مهمة لو تَزَوجَتْ زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ غَيْرَهُ قَبْلَ الحكم بِمَوْتِهِ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا وَلَا تَعُودُ إِلَّا بِعِلْمِهِ عَوْدَهَا إِلَى
طاعته بعد التفريق بينهما
(قَوْلُهُ مُهِمَّةٌ لَوْ تَزَوَّجَتْ زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ الخ) هَذِهِ الْمُهمَّةُ مُختَصَرَةٌ مِنْ عِبَارَةِ الرَّوْضِ وَشَرْحِهِ وَتَصهُمَا. (فَصلُ) زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ الْمُتَوَهُم مَوْتُهُ لَا تَتَزوَّجُ غَيْرَهُ حَتَّى يَتَحَقَّقَ أَي يَثْبُتَ بِعَدْلَيْنِ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ وَتُعْتَدُّ لأنَّهُ لَا يُحْكُمُ بِمَوْتِهِ فِي قِسْمَةٍ مَالِهِ وَعِتقِ أُم وَلَدِهِ فَكَذَا فِي فِرَاقٍ زَوْجَتِهِ وَلِأَءنَّ النِكَاحَ مَعْلُومُ بِيَقِينِ فَلَا يَزَالُ إِلَّا بِيَقِينِ، وَلَوْ حَكَمَ حَاكِمُ بِنكَاحِهَا قَبْلَ تَحقَّقِ الحُكْمِ بِمَوْتِهِ نَقَضَ لِمُخَالَفَتِهِ لِلْقِيَاسِ الْجَلِي، وَيَسْقُط پنگاحهَا غَيْره نَفَقَتُهَا عَنِ الْمَفْقُودٍ لأَنَّهَا نَاشِزةٌ بِهِ وَإِنْ كَانَ فَاسِدًا، وَكَذَا تَسْقُطُ عَنْهُ إِنْ فُرِقَ بَيْنَهُمَا وَاعْتَدَّتْ وَعَادَتْ إِلى مَنْزِلِهِ وَيَسْتَمِرُّ السُّقُوطُ حَتَّى يَعْلَمَ الْمَفْقُودُ عَوْدَهَا إِلَى طَاعَتِهِ لِأَنَّ النُّشُوزَ إِنَّمَا يَزُولُ حِينَئِذٍ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا عَلَى الزَّوْج الثاني. إذْ لَا زَوْجِيَّةَ بَيْنَهُمَا وَلَا رُجُوعَ لَهُ بِمَا أَنْفَقَهُ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ مُتَبَرَعُ إِلَّا فيما كُلَّفَهُ مِنَ الْإِنْفَاقِ عَلَيْهَا بِحُكْمِ حَاكِمٍ فَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِهِ . فَلَوْ تَزَوَّجَتْ قَبْلَ ثُبُوتِ مَوْتِهِ أَوْ طَلَاقِهِ وَبِأَءنَّ الْمَفْقُودَ مَيْتًا قَبْلَ تَرَرُّجِهَا بِمِقْدَارِ الْعِدَّةِ صَح التَّزَوُّجُ لخلُوهِ عَنِ الْمَانِعِ فِي الْوَاقِعِ فَأَءشْبَهَ مَا لَوْ بَاعَ مَالَ أَبِيهِ يَظُنُّ حَيَاتَهُ فَبَانَ مَيْتًا. اهـ (قَوْلُهُ: قَبْلَ الحُكْمِ بِمَوْتِهِ ) أَي حَكَمَ الْقَاضِي بِمَوْتِهِ بِبَيِّنَةٍ تَشْهَدُ بِهِ أَوْ بِاجْتِهَادِهِ عِنْدَ مُضِيَ مُدَّةٌ لَا يَعِيشُ مِثْلُهُ إِلَيْهَا فِي غَالِبِ الْعَادَةِ فَإِءنْ تَزَوَّجَتْ بَعْدَ الْحُكْمِ بِمَوْتِهِ ثُمَّ تَبَيَّنَتْ حَيَاتُهُ لَا تَسْقُط نَفَقَتُهَا لأَءنَّهَا لَيْسَتْ نَاشِرَةً حِينَئِذٍ
(السراج الوهاج الجزء الأول ص: ٤٥٤)
وَمَنْ غَابَ عَنْ زَوْجَتِهِ وَانْقَطَعَ خَبره لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحُ لِغَيْرِهِ حَتَّى يُتَيَقَّنَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ أَوْ تَمْضِيَ مُدَّةٌ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنَ أَنَّهُ لَا يَعِيشُ فَوْقَهَا ، وَفِي الْقَدِيمِ تُرَبُّصُ أَيْ تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ غَيْرهُ ، فَلَوْ حَكَمَ بِالْقَدِيمِ قَاضٍ نَقَضَ حُكْمُهُ عَلَى الجَدِيدِ فِي الْأَءصَحَ ، وَمُقَابِلُهُ لَا يَنْقُضُ ، وَلَوْ نَكَحَتْ زَوْجَةُ الْمَفْقُودِ بَعْدَ التَّربُّص وَالْعِدَّةِ فَبانَ الزَّوْجُ مَيْنا صَحْ نِكَاحُهَا عَلَى الْجَدِيدِ فِي الْأَصَحَ اعْتِبَارًا بِمَا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ ، وَمُقَابِلُه لَا يَصِحُ ، أَمَّا إِذَا بَانَ الزَّوْجُ حَيًّا بَعْدَ أَنْ نَكَحَتْ فَالزَّوْجُ الْأَوَّلُ بَاقٍ عَلَى زَوْجِيَّتِهِ ، لَكِنْ لَا يَطَؤُهَا حَتَّى تَعْتَدَّ مِنَ الثَّانِي ، وَيَجِبُ الْاِءحْدَادُ عَلَى مُعْتَدَّةِ وَفَاةٍ لَا رَجْعِيَّةٍ ، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا الْإِءحْدَادُ ، وَيُسْتَحَبُّ الْإِءحْدَادُ لِبَائِنِ بِخْلْعِ أَوْ غَيْرِهِ ، وَفِي قَوْلٍ
يَجِبُ الْإِءحْدَادُ عَلَيْهَا . والله أعلم بالصواب