STATUS KESUCIAN AIR NAJIS YANG TELAH DIOLAH MELALUI PENYULINGAN

Status Kesucian Air Najis yang Telah Diolah melalui penyulingan

Dalam fiqih Islam, air yang awalnya terkena najis dapat kembali menjadi air suci mensucikan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat utama adalah hilangnya sifat-sifat najis dari air tersebut, yaitu warna, rasa, dan bau. Jika air yang najis telah mengalami perubahan total sehingga tidak lagi memiliki sifat najisnya, maka ia dihukumi kembali sebagai air suci dan dapat digunakan untuk bersuci.
Perubahan ini bisa terjadi secara alami (misalnya dengan bercampur air suci dalam jumlah besar) atau melalui proses penyaringan dan pemurnian yang efektif.

Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, kini telah tersedia alat penyulingan yang mampu mengubah air asin menjadi air tawar dan bahkan menyaring air kotor/najis hingga menjadi air bersih yang tidak lagi berbau, berwarna, atau berasa najis.

Pertanyaan

Bagaimana status air najis berubah yang dikelola dengan alat bantu penyulingan najiskah atau suci menurut ulama’ fiqih?

Waalaikum salam

Jawaban

Hukum Air Najis yang Disucikan dengan Alat Penyulingan

Mayoritas ulama berpendapat bahwa air yang telah berubah secara total hingga kehilangan sifat najisnya, baik melalui proses alami maupun buatan (seperti penyulingan atau pemurnian), kembali menjadi air suci mensucikan. Dalam madzhab Syafi’i, air yang najis dapat menjadi suci kembali asalkan perubahan itu membuatnya kembali ke sifat asal air yang murni.
Oleh karena itu, air yang awalnya najis kemudian diproses dengan alat penyulingan hingga benar-benar bersih dan tidak lagi memiliki sifat najis, dihukumi sebagai air suci mensucikan dan dapat digunakan untuk wudhu, mandi, dan keperluan ibadah lainnya.

Namun, sebagian ulama dari madzhab Hanbali lebih ketat dalam hal ini dan menganggap bahwa meskipun air telah berubah dengan proses penyulingan, tetap tidak bisa kembali suci karena asalnya telah terkena najis.

Pendapat ini lebih bersifat kehati-hatian.

Kesimpulan
Dalam pandangan mayoritas ulama, air najis yang telah disucikan dengan alat penyulingan hingga hilang sifat najisnya dianggap sebagai air suci mensucikan. Dengan demikian, air hasil pemurnian dapat digunakan untuk bersuci dan keperluan ibadah lainnya selama sudah benar-benar bersih dari najis.

Catatan Menurut Fatwa MUI kesucian air yang diolah harus memenuhi tiga syarat

ثلاث طرق لتطهير الماء النجس كما يلي:

أ. طريقة النضح

(Thariqat an-Nazh):

وهي بإزالة الماء الذي أصابته النجاسة أو الذي تغيرت صفاته، بحيث لا يبقى إلا الماء الذي لم تصبه النجاسة ولم تتغير صفاته.

Tiga cara mensucikan air najis sebagai berikut:

a.Thariqat an-Nazh: yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya

b.Thariqah al-Mukatsarah: yaitu dengan cara menambahkan air suci lagi mensucikan (thahir muthahhir) pada air yang terkena najis (mutanajjis) atau yang berubah (mutaghayyir) tersebut hingga mencapai volume paling kurang dua kullah, serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang

c. Thariqah Taghyir: yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi mensucikan (thahirmulthahhirmulthahhirmuthahhir), dengan syarat:

Volume airnya lebih dari dua kullah Alat bantu yang digunakan harus suci

ب. طريقة المكاثرة

(Thariqah al-Mukatsarah):

وهي بإضافة ماء طاهر مطهر إلى الماء المتنجس (المتنجس) أو المتغير (المتغير) حتى يصل حجمه إلى قُلَّتين على الأقل، بحيث تزول النجاسة وكل الصفات التي تسببت في تغيّر الماء.

ج. طريقة التغيير

(Thariqah at-

Taghyir): وهي باستخدام أدوات معالجة لإعادة الماء المتنجس أو المتغير إلى حالته الأصلية بحيث يصبح طاهرًا مطهرًا، بشرط:

أن يكون حجم الماء أكثر من قُلَّتين. أن تكون الأدوات المستخدمة

Referensi:

المجموع شرح المهذب ج١ص ١٣٢
(إذَا أَرَادَ تَطْهِيرَ الْمَاءِ النَّجِسِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَتُهُ بِالتَّغَيُّرِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ طَهُرَ: بِأَنْ يَزُولَ التَّغَيُّرُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِأَنْ يُضَافَ إلَيْهِ مَاءٌ آخَرُ: أَوْ بِأَنْ يُؤْخَذَ بعضه لان النجاسة
بالتغير وقد زال)

(الشرح)

 ادا زَالَ تَغَيُّرُ الْمَاءِ النَّجِسِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ نُظِرَ إنْ زَالَ بِإِضَافَةِ مَاءٍ آخَرَ إلَيْهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ سَوَاءٌ كَانَ الْمَاءُ الْمُضَافُ طَاهِرًا أَوْ نَجِسًا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا وَسَوَاءٌ صُبَّ الْمَاءُ عَلَيْهِ أَوْ نَبَعَ عَلَيْهِ وَإِنْ زَالَ بِنَفْسِهِ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَحْدُثْ فيه شيئا بَلْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ أَوْ الرِّيحِ أَوْ مُرُورِ الزَّمَانِ طَهُرَ أَيْضًا عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ: وَحَكَى الْمُتَوَلِّي عَنْ أَبِي سعيد الاصطخرى أنه لا يطهر لانه شئ نجس فلا يطهر بنفسه: وهذا ليس بشئ لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ: فَإِذَا زَالَ طَهُرَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجَسْ وَإِنْ زَالَ بِأَخْذِ بَعْضِهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ بِشَرْطٍ أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي بَعْدَ الْأَخْذِ قُلَّتَيْنِ: فَإِنْ بَقِيَ دُونَهُمَا لم يطهر بلا خلاف

Apabila seseorang ingin mensucikan air yang najis, maka harus dilihat terlebih dahulu. Jika kenajisannya terjadi karena adanya perubahan (warna, rasa, atau bau) dan jumlah air tersebut lebih dari dua qullah, maka air tersebut menjadi suci dengan beberapa cara:
Perubahan itu hilang dengan sendirinya Ditambahkan air lain ke dalamnya Sebagian air diambil, karena najisnya disebabkan oleh perubahan, dan perubahan itu telah hilang.
(Penjelasan) Apabila perubahan pada air yang najis telah hilang, sementara air tersebut lebih dari dua qullah, maka diperinci:
Jika perubahan itu hilang karena ditambahkan air lain, maka air itu menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Baik air yang ditambahkan itu suci maupun najis, baik sedikit maupun banyak, baik dituangkan ke dalam air yang najis atau mengalir ke dalamnya.
Jika perubahan itu hilang dengan sendirinya, seperti karena sinar matahari, angin, atau berlalunya waktu, maka air tersebut juga menjadi suci menurut pendapat yang dipegang dalam mazhab. Pendapat ini juga menjadi pegangan mayoritas ulama.
Namun, al-Mutawalli meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Istakhri bahwa air tersebut tidak menjadi suci, karena sesuatu yang najis tidak bisa menjadi suci dengan sendirinya. Tetapi pendapat ini tidak dapat diterima, sebab sebab utama kenajisan adalah perubahan. Jika perubahan itu hilang, maka air tersebut kembali suci, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Apabila air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak menjadi najis.”
Jika perubahan itu hilang dengan cara mengambil sebagian airnya, maka air itu juga menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat, dengan syarat bahwa sisa air yang tertinggal setelah pengambilan masih berjumlah dua qullah. Jika jumlah yang tersisa kurang dari dua qullah, maka air tersebut tetap tidak suci tanpa ada perbedaan pendapat.

المجموع شرح المهذب ص ١٣٤

واعلم أن صُورَةَ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَكُونَ كَدِرًا وَلَا و تَغَيُّرَ فِيهِ أَمَّا إذَا صَفَا فَلَا يَبْقَى خِلَافٌ بَلْ إنْ كَانَ التَّغَيُّرُ مَوْجُودًا فَنَجِسٌ قَطْعًا وَإِلَّا فَطَاهِرٌ قَطْعًا كَذَا صَرَّحَ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ التَّغَيُّرُ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الرَّائِحَةِ فَفِي الْجَمِيعِ القولان هذا هو الصوب: وقال الشيخ أبو عمر وبن الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ عِنْدِي أَنَّ الْقَوْلَيْنِ إذَا تَغَيَّرَ بِالرَّائِحَةِ فَأَمَّا إذَا تَغَيَّرَ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ فَلَا يَطْهُرُ قَطْعًا لِأَنَّهُ يَسْتَتِرُ بِالتُّرَابِ قَالَ وَهَذَا تَحْقِيقٌ لَوْ عُرِضَ عَلَى الْأَئِمَّةِ لَقَبِلُوهُ: وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ رَحِمَهُ اللَّهُ خِلَافُ ظَاهِرِ كَلَامِ الْأَصْحَابِ وَخِلَافُ مُقْتَضَى إطْلَاقِ مَنْ أَطْلَقَ مِنْهُمْ وَخِلَافُ تَصْرِيحِ الْبَاقِينَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمَاعَةٌ مِنْ كِبَارِهِمْ بِأَنَّهُ لَا فَرْقَ قَالَ الْمَحَامِلِيُّ فِي التَّجْرِيدِ إنْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ فَوَرَدَ عليه ماله لَوْنٌ كَالْخَلِّ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ أَوْ تَغَيُّرَ رِيحِهِ فَوَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَهُ رِيحٌ كَالْكَافُورِ فَأَزَالَهُ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ قَالَ وَإِنْ طُرِحَ عَلَيْهِ مَا لَا رِيحَ لَهُ وَلَا لَوْنَ كَالتُّرَابِ وَغَيْرِهِ فَأَزَالَهُ فَقَوْلَانِ: وَقَالَ هُوَ فِي الْمَجْمُوعِ إذَا تَغَيَّرَ طَعْمُ الْمَاءِ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ نَجِسَ وَيَطْهُرُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا وَخَامِسٍ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَذَكَرَ زَوَالَهُ بِنَفْسِهِ وَبِمَا يُضَافُ إلَيْهِ أَوْ يَنْبَعُ فِيهِ أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ وَالْمُخْتَلَفُ فِيهِ أَنْ يَزُولَ بِالتُّرَابِ فَقَوْلَانِ ثُمَّ قَالَ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ متى تغير طعم الماء فورد عليه ماله طعم: أو ريحه فورد عليه ماله ريح: أو لونه فورد عليه ماله لَوْنٌ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ: وَإِنْ وَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَا طَعْمَ لَهُ وَلَا لَوْنَ وَلَا رِيحَ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ فَهَلْ يَطْهُرُ فِيهِ قَوْلَانِ هَذَا كَلَامُ الْمَحَامِلِيِّ

Ketahuilah bahwa bentuk permasalahan ini adalah jika air tersebut keruh tetapi tidak mengalami perubahan.
Adapun jika air tersebut menjadi jernih, maka tidak ada perbedaan pendapat lagi. Namun, jika perubahan tetap ada, maka air itu secara pasti menjadi najis. Jika tidak mengalami perubahan, maka tetap suci secara pasti. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Mutawalli dan ulama lainnya.

Tidak ada perbedaan apakah perubahan itu terjadi pada rasa, warna, atau bau, sehingga dalam semua kasus ini terdapat dua pendapat. Inilah pendapat yang lebih kuat (ash-shawab).

Syaikh Abu ‘Umar Ibnus Shalah rahimahullah berkata:

“Menurut saya, dua pendapat ini berlaku apabila air berubah karena bau. Namun, jika perubahan terjadi karena rasa atau warna, maka air itu secara pasti tidak menjadi suci karena perubahan tersebut dapat tersembunyi dengan tanah.”

Ia berkata lagi:

“Pendapat ini merupakan suatu penelitian mendalam yang jika dikemukakan kepada para imam, mereka pasti akan menerimanya.”

Namun, pendapat yang dikemukakan oleh beliau (Ibnus Shalah) bertentangan dengan pendapat yang tampak dari kalam (ucapan) para ulama mazhab, bertentangan dengan ketetapan dari mereka yang menyatakannya secara mutlak, dan juga bertentangan dengan pernyataan eksplisit dari para ulama lainnya.

Sejumlah ulama besar telah menegaskan bahwa tidak ada perbedaan (dalam hukum perubahan air, baik karena rasa, warna, maupun bau).

Al-Mahamili dalam kitab At-Tajrid berkata:

“Jika warna air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki warna, seperti cuka, yang kemudian menghilangkan perubahan warna tersebut, atau jika bau air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki bau, seperti kapur barus, yang kemudian menghilangkannya, maka dalam hal ini air tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat.”

Beliau juga berkata:

“Namun, jika air tersebut dicampur dengan sesuatu yang tidak memiliki bau atau warna, seperti tanah dan sejenisnya, lalu perubahan air tersebut hilang, maka ada dua pendapat dalam hal ini.”

Dalam kitab Al-Majmu’, disebutkan:

“Jika rasa, warna, atau bau air berubah, maka air itu menjadi najis dan dapat disucikan dengan empat cara yang disepakati serta satu cara yang masih diperselisihkan.”

Cara yang disepakati adalah:

Hilangnya perubahan dengan sendirinya, Ditambahkan sesuatu padanya, Air tersebut bersumber dari mata air, Diambil sebagian dari air itu.

Kemudian beliau berkata:

“Cara yang masih diperselisihkan adalah jika perubahan tersebut dihilangkan dengan tanah, maka dalam hal ini ada dua pendapat.”

Selanjutnya beliau menyimpulkan:

“Kesimpulannya, jika perubahan terjadi pada rasa air lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki rasa, atau perubahan terjadi pada baunya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki bau, atau perubahan terjadi pada warnanya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki warna, maka air itu tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Namun, jika ditambahkan sesuatu yang tidak memiliki rasa, warna, maupun bau sehingga menghilangkan perubahan air tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.”

مغني المحتاج ١/٢٢ :

(أو) زال تغيره ظاهرا كأن زال ريحه (بمسك و) لونه بنحو (زعفران) وطعمه بنحو خل (فلا) يطهر، لانا لا ندري أن أوصاف النجاسة زالت أو غلب عليها المطروح فسترها، وإذا كان كذلك فالاصل بقاؤها. فإن قيل: العلة في عدم عود الطهورية احتمال أن التغير استتر ولم يزل، فكيف يعطفه المصنف على ما جزم فيه بزوال التغير ؟ وذلك تهافت. أجيب بأن المراد زواله طاهرا كما قدرته وإن أمكن استتاره باطنا، فلو طرح مسك على متغير الطعم فزال تغيره طهر، إذ المسك ليس له طعم. وكذا يقال في الباقي

Mughnī al-Muhtāj 1/22:

 

“Atau hilang perubahan (pada air) secara lahiriah, seperti hilangnya baunya dengan misik, warnanya dengan sesuatu seperti za’faran, dan rasanya dengan sesuatu seperti cuka, maka (air tersebut) tidak menjadi suci. Sebab, kita tidak mengetahui apakah sifat-sifat najis itu benar-benar hilang atau hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan sehingga menutupinya. Jika demikian, maka hukum asalnya tetap dianggap najis.

 

Jika dikatakan: ‘Sebab tidak kembalinya sifat menyucikan air adalah karena ada kemungkinan bahwa perubahan itu hanya tertutupi dan tidak benar-benar hilang. Lalu bagaimana mungkin penyusun kitab ini menghubungkan (mengumpamakan) hal ini dengan keadaan di mana perubahan telah dipastikan hilang? Bukankah ini merupakan kontradiksi?’

 

Dijawab bahwa yang dimaksud adalah hilangnya perubahan itu secara lahiriah, sebagaimana yang telah ditetapkan (dalam hukum), meskipun ada kemungkinan perubahan itu masih tersembunyi secara batin. Maka, jika seseorang menambahkan misik ke dalam air yang berubah rasanya lalu perubahan itu hilang, maka air tersebut menjadi suci, karena misik tidak memiliki rasa. Hal yang sama juga berlaku untuk warna dan bau.”

.نهاية المحتاج ١/٧٧-٧٨

وحاصل ذلك أن شرط إناطة الحكم بالشك في زوال التغير أو استتاره حتى يحكم ببقاء النجاسة تغليبا لاحتمال الاستتار أنه لا بد من احتمال إحالة زوال التغير على الواقع في الماء من مخالط أو مجاور ، فحيث احتمال إحالته على استتاره بالواقع فالنجاسة باقية لكوننا لم نتحقق زوال التغير المقتضي [ ص: 78 ] للنجاسة بل يحتمل زواله واستتاره والأصل بقاؤها ، وحيث لم يحتمل ذلك فهي زائلة فيحكم بطهارته ، وعلم أن رائحة المسك لو ظهرت ثم زالت وزال التغير حكمنا بالطهارة ؛ لأنها لما زالت ولم يظهر التغير علمنا أنه زال بنفسه.

Nihāyah al-Muhtāj 1/77-78:

“Kesimpulannya adalah bahwa syarat dalam menggantungkan hukum pada keraguan terhadap hilangnya perubahan atau tersembunyinya perubahan hingga dihukumi tetap najis, lebih didasarkan pada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu disebabkan oleh sesuatu yang bercampur atau berdekatan dengan air tersebut.

Jika ada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan ke dalam air, maka air tetap dihukumi najis, karena kita tidak dapat memastikan bahwa perubahan yang menyebabkan kenajisan benar-benar hilang. Bisa jadi perubahan itu memang hilang, tetapi bisa juga hanya tertutupi, dan hukum asalnya tetap najis.

Namun, jika kemungkinan tersebut tidak ada, maka perubahan dianggap benar-benar hilang, sehingga air dihukumi suci.

Diketahui pula bahwa jika bau misik muncul kemudian menghilang, dan perubahan air juga ikut hilang, maka air dihukumi suci. Sebab, ketika bau misik menghilang dan perubahan air tidak muncul kembali, ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut benar-benar hilang dengan sendirinya.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://itgid.org/public/scatter/ slot77 slot online Demo Slot Pg https://aekbilah.tapselkab.go.id/aseng/ Slot Online Gacor https://aekbilah.tapselkab.go.id/dior/ https://www.uobam.co.id/public/assets/ Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D