HUKUM PELAYANAN DALAM RUMAH TANGGA ANTARA SUAMI DAN ISTRI MENURUT MAZHAB ULAMA FIQH

Hukum Pelayanan dalam Rumah Tangga antara Suami dan Istri menurut Mazhab Ulama’ Fikih

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam kehidupan rumah tangga, sudah menjadi kebiasaan bahwa istri yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Kebiasaan ini sering kali dianggap sebagai tanggung jawab istri, bahkan dianggap sebagai bagian dari kewajibannya dalam pernikahan. Padahal, kewajiban istri adalah mentaati suami selama tidak menyalahi syariat

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan jumhur ulama terkait kewajiban istri dalam pekerjaan rumah tangga?

Mohon jawaban beserta dalilnya

Waalaikum salam

Jawaban

Jumhur ulama, terutama dari mazhab Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah, berpendapat bahwa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah bukanlah kewajiban istri. Mereka menegaskan bahwa tanggung jawab utama istri dalam rumah tangga adalah menaati suami dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat, bukan melakukan pekerjaan rumah secara otomatis.

الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٢٩ص٤٣-٤٥

خِدْمَةُ الزَّوْجَةِ لِزَوْجِهَا وَعَكْسُهُ:

١٨ – لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ الزَّوْجَةَ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَخْدُمَ زَوْجَهَا فِي الْبَيْتِ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ مِمَّنْ تَخْدُمُ نَفْسَهَا أَوْ مِمَّنْ لاَ تَخْدُمُ نَفْسَهَا. إِلاَّ أَنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ هَذِهِ الْخِدْمَةِ. فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ (الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ) إِلَى أَنَّ خِدْمَةَ الزَّوْجِ لاَ تَجِبُ عَلَيْهَا لَكِنَّ الأَْوْلَى لَهَا فِعْل مَا جَرَتِ الْعَادَةُ بِهِ. وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى وُجُوبِ خِدْمَةِ الْمَرْأَةِ لِزَوْجِهَا دِيَانَةً لاَ قَضَاءً، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَّمَ الأَْعْمَال بَيْنَ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَجَعَل عَمَل الدَّاخِل عَلَى فَاطِمَةَ، وَعَمَل الْخَارِجِ عَلَى عَلِيٍّ. (١) وَلِهَذَا فَلاَ يَجُوزُ لِلزَّوْجَةِ – عِنْدَهُمْ – أَنْ تَأْخُذَ مِنْ زَوْجِهَا أَجْرًا مِنْ أَجْل خِدْمَتِهَا لَهُ. وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْمَالِكِيَّةِ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَأَبُو بَكْر بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْجُوزَجَانِيُّ، إِلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ خِدْمَةَ زَوْجِهَا فِي الأَْعْمَال الْبَاطِنَةِ الَّتِي جَرَتِ الْعَادَةُ بِقِيَامِ الزَّوْجَةِ بِمِثْلِهَا، لِقِصَّةِ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، حَيْثُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى عَلَى ابْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ، وَعَلَى عَلِيٍّ بِمَا كَانَ خَارِجَ الْبَيْتِ مِنَ الأَْعْمَال (٢) وَلِحَدِيثِ: لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَِحَدٍ لأََمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُل مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكَانَ نَوْلُهَا أَنْ تَفْعَل (١) قَال الْجُوزَجَانِيُّ: فَهَذِهِ طَاعَتُهُ فِيمَا لاَ مَنْفَعَةَ فِيهِ فَكَيْفَ بِمُؤْنَةِ مَعَاشِهِ؟ وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ نِسَاءَهُ بِخِدْمَتِهِ فَيَقُول: يَا عَائِشَةُ أَطْعِمِينَا، يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ وَاشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ (٢) وَقَال الطَّبَرِيُّ: إِنَّ كُل مَنْ كَانَتْ لَهَا طَاقَةٌ مِنَ النِّسَاءِ عَلَى خِدْمَةِ بَيْتِهَا فِي خَبْزٍ، أَوْ طَحْنٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ أَنَّ ذَلِكَ لاَ يَلْزَمُ الزَّوْجَ، إِذَا كَانَ مَعْرُوفًا أَنَّ مِثْلَهَا يَلِي ذَلِكَ بِنَفْسِهِ (٣) . ١٩ – وَبِالنِّسْبَةِ لِخِدْمَةِ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ، فَقَدْ ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى جَوَازِ خِدْمَةِ الرَّجُل الْحُرِّ لِزَوْجَتِهِ وَلَهَا أَنْ تَقْبَل مِنْهُ ذَلِكَ.

وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الزَّوْجَةِ اسْتِخْدَامُ زَوْجِهَا الْحُرِّ بِجَعْلِهِ خِدْمَتَهُ لَهَا مَهْرًا، أَمَّا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يَرْعَى غَنَمَهَا سَنَةً أَوْ يَزْرَعَ أَرْضَهَا فَتَسْمِيَةُ الْمَهْرِ صَحِيحَةٌ (١) . وَتَجُوزُ خِدْمَتُهُ لَهَا تَطَوُّعًا: وَقَال الْكَاسَانِيُّ: لَوِ اسْتَأْجَرَتِ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا لِيَخْدُمَهَا فِي الْبَيْتِ بِأَجْرٍ مُسَمًّى فَهُوَ جَائِزٌ؛ لأَِنَّ خِدْمَةَ الْبَيْتِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ عَلَى الزَّوْجِ، فَكَانَ هَذَا اسْتِئْجَارًا عَلَى أَمْرٍ غَيْرِ وَاجِبٍ عَلَى الأَْجِيرِ

Pelayanan Istri kepada Suami dan Sebaliknya

18 – Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa istri boleh melayani suaminya di rumah, baik ia termasuk wanita yang biasa melayani dirinya sendiri maupun yang tidak. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai kewajiban layanan tersebut.

Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyyah) berpendapat bahwa istri tidak wajib melayani suami, tetapi lebih utama baginya untuk melakukan pekerjaan rumah yang sudah menjadi kebiasaan umum.

Sementara itu, Hanafiyyah berpendapat bahwa pelayanan istri kepada suami hukumnya wajib secara agama (diānah), tetapi tidak dapat dipaksakan secara hukum (qaḍā’), berdasarkan kisah Nabi ﷺ yang membagi tugas antara Sayyidina Ali dan Fatimah رضي الله عنهما, di mana pekerjaan dalam rumah dibebankan kepada Fatimah dan pekerjaan di luar rumah kepada Ali. Oleh karena itu, menurut mereka, istri tidak boleh meminta upah dari suaminya karena layanan yang ia berikan kepadanya.

Mayoritas Malikiyyah, serta Abu Tsaur, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu Ishaq al-Juzajani, berpendapat bahwa istri wajib melayani suaminya dalam pekerjaan rumah tangga yang secara umum dikerjakan oleh wanita, berdasarkan kisah Ali dan Fatimah رضي الله عنهما, di mana Nabi ﷺ menetapkan Fatimah untuk mengurus rumah dan Ali untuk bekerja di luar rumah.

Mereka juga berdalil dengan hadis:

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya. Dan seandainya seorang suami menyuruh istrinya untuk memindahkan sesuatu dari gunung merah ke gunung hitam, atau dari gunung hitam ke gunung merah, maka kewajiban istri adalah menaatinya.”

Al-Juzajani berkata, “Jika ketaatan istri berlaku dalam hal yang tidak ada manfaatnya, maka bagaimana lagi dengan perkara yang berkaitan dengan nafkah suaminya?”

Selain itu, Nabi ﷺ juga memerintahkan istri-istrinya untuk melayani beliau. Beliau bersabda:

“Wahai Aisyah, berilah kami makan. Wahai Aisyah, bawakan pisau dan asahlah dengan batu.”

Menurut At-Tabari, wanita yang mampu melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan menggiling gandum tidak berhak menuntut suaminya untuk melakukannya, karena hal itu merupakan kebiasaan wanita pada umumnya.

19 – Pelayanan Suami kepada Istri

Mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) membolehkan seorang suami membantu pekerjaan rumah tangga istrinya, dan istri boleh menerima bantuan tersebut.

Sedangkan Hanafiyyah berpendapat bahwa haram bagi seorang istri untuk menjadikan layanan suaminya sebagai bagian dari mahar. Namun, jika seorang suami menikahi istrinya dengan kesepakatan bahwa ia akan menggembalakan ternaknya selama setahun atau menggarap tanahnya, maka kesepakatan tersebut sah sebagai mahar.

Namun, suami boleh melayani istrinya secara sukarela. Al-Kasani berkata:

“Jika seorang istri menyewa suaminya untuk melayaninya di rumah dengan upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan, karena pelayanan rumah tangga bukan kewajiban suami, sehingga ini dianggap sebagai akad ijarah (sewa) yang sah.”

Selain itu, dalam Khasyiyatul Jamal disebutkan bahwa seorang suami wajib memberitahu istrinya bahwa pekerjaan rumah tangga bukan kewajibannya, agar istri tidak merasa terbebani atau berpikir bahwa hak nafkahnya bergantung pada pelaksanaan pekerjaan tersebut. Jika istri melakukannya, hal itu didasarkan pada kesepakatan dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat, bukan karena kewajiban syar’i.

Dalam Khasyiyatul Jamal juz 4 dikatakan:

وقع السؤال فى الدرس هل يجب على الرجل اعلام زوجته بأنها لاتجب عليها خدمة مما جرت به العادة من الطبخ والكنس ونحوهما مماجرت به عادتهن أم لا وأوجبنا بأن الظاهر الأول لأنها اذا لم تعلم بعدم وجوب ذلك ظنت أنه واجب وأنها لاتستحق نفقة ولاكسوة إن لم تفعله فصارت كأنهامكرهة على الفعل…

“Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa sang sitri tidak wajib  membantu memasak, mencuci dan sebagainya sebagaimana yang berlaku selama ini? Jawabnya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut, karena jika tidak diberitahu seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban bahkan istri akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan manjadikan istri merasa menjadi orang yang terpaksa.”

Kesimpulannya, menurut jumhur ulama, pekerjaan rumah tangga bukanlah kewajiban istri, tetapi jika istri melaksanakannya dengan kesadaran dan keikhlasan, hal itu merupakan bentuk kebaikan dalam kehidupan rumah tangga. Wallahu a’lam bish-shawab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://aekbilah.tapselkab.go.id/aseng/ Slot Online Gacor https://aekbilah.tapselkab.go.id/dior/ https://www.uobam.co.id/public/assets/ Toto 4D https://diskopukm.sumutprov.go.id/cao/ https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D