Status Kesucian Makanan yang Dimasak dengan Biogas dari Kotoran Manusia dalam Islam
Deskripsi Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir, inovasi energi alternatif semakin berkembang, terutama di tengah kelangkaan dan mahalnya harga bahan bakar gas LPG. Salah satu inovasi yang muncul adalah pemanfaatan biogas dari hasil fermentasi kotoran manusia sebagai sumber energi untuk memasak. Biogas ini mengandung metana (CH₄) yang mudah terbakar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
Pertanyaannya
Apakah asap atau nyala api yang dihasilkan dari pembakaran biogas yang berasal dari najis dapat mempengaruhi kesucian makanan yang dimasak dengannya serta status hukumnya—apakah tetap suci dan halal untuk dikonsumsi?
Walaikum salam
Jawaban
Status hukum Makanan yang dimasak dengan biogas dari kotoran manusia tetap suci dan halal dikonsumsi, karena yang terbakar adalah gas metana yang terbentuk setelah proses fermentasi, bukan zat najis itu sendiri. Berdasarkan pendapat ulama mengenai kesucian nyala api dan perbedaan antara asap dan uap, selama tidak ada partikel najis yang terbawa dalam proses pembakaran, maka tidak ada pengaruh terhadap kesucian makanan. Oleh karena itu, penggunaan biogas dari kotoran manusia sebagai bahan bakar tidak menjadikan makanan yang dimasak dengannya menjadi najis atau haram.
Referensi:
اعانة الطالبين جز ١ص ٨٨
ويعفى عن يسير عرفا من دخان النجاسة وهو المتصاعد منها بواسطة النار…سمفى… بشرط ان لا توجد رطوبة فى المحل وان لا يكون بفعله والا فلا يعفى مطلقا لتنزيلهم الدخان منزلة العين
Referensi:
حاشية البجيرمي علي الخطيب ج١ ٢٩٧
قَوْلُهُ : ( وَعَنْ قَلِيلِ دُخَانٍ نَجِسٍ ) وَلَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ ، وَقَيَّدَهُ م ر بِغَيْرِ الْمُغَلَّظِ وَبِعَدَمِ الرُّطُوبَةِ ، وَالْأَوْلَى قِرَاءَتُهُ بِالتَّنْوِينِ لِيَشْمَلَ دُخَانَ الْمُتَنَجِّسِ كَحَطَبٍ تَنَجَّسَ بِبَوْلٍ ، فَإِنَّهُ نَجِسٌ يُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ كَمَا قَالَهُ ز ي .
Referensi:
.(بغية المسترشدين ص.١٣)
(مسألة ب)
الفرق بين دخان النجاسة وبخارها ان الأول انفصل بواسطة نار والثانى لابواسطتها فاله الشيخ زكريا وفال ابو محرمة هما مترادفان فما انفصل بواسطة نار تنجس وما لا فلا اما نفس الشعلة اى لسان النار فطاهرة قطعا حتى لو اقتبس منها فى شمعة لم يحكم بنجاستها.
Referensi:
تحفة الحبيب على شرح الخطيب – (١ /١٣٦ -١٣٥)
قوله : ( وعن قليل دخان نجس ) ولو من مغلظ ، وقيده م ر بغير المغلظ وبعدم الرطوبة ، والأولى قراءته بالتنوين ليشمل دخان المتنجس كحطب تنجس ببول ، فإنه نجس يعفى عن قليله كما قاله زي ، لأنه إن قرىء بالإضافة لا يشمله ، وبه يعلم ما عمت به البلوى في الشتاء ، ولو نشف شيئاً رطباً على اللهب المجرد عن الدخان لم يتنجس وهو ظاهر ، وخرج بالدخان الهباب فظاهره أنه لا يعفى عنه كما قاله العناني ، ومال ع ش إلى طهارة اللهب الحاصل من الشمعة النجسة ولهب الجلة والحطب المتنجس الخالي عن الدخان ، ونقل بعضهم عن ابن العماد نجاسته اه برماوي . وكتب ا ج ظاهره ولو كان الدخان بفعله أو من دخان مغلظ ، وإطلاق م ر كما هنا يقتضي العفو مطلقاً ،
I‘anah at-Thalibin, Juz 1, Halaman 88 “Dimaafkan secara ‘urfi (menurut kebiasaan) sedikit asap dari benda najis yang naik karena api… Syaratnya adalah tidak ada kelembapan di tempat tersebut dan bukan disebabkan oleh perbuatannya. Jika tidak, maka tidak dimaafkan secara mutlak karena para ulama menyamakan asap dengan zat najis itu sendiri.”
Referensi:
Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib, Juz 1, Halaman 297 “Perkataannya: (Dan dimaafkan sedikit asap najis) meskipun berasal dari najis yang berat (mughalazhah). Mulla Ramli membatasinya hanya pada najis yang tidak berat serta dengan syarat tidak ada kelembapan. Cara baca yang lebih utama adalah dengan tanwin agar mencakup juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena air kencing, maka asapnya tetap dihukumi najis tetapi dimaafkan jika sedikit, sebagaimana dikatakan oleh Ziyadi.”
Referensi:
Bughyah al-Mustarsyidin, Halaman 13 “(Masalah B) Perbedaan antara asap najis dan uapnya adalah bahwa asap najis terbentuk karena perantara api, sedangkan uap tidak melaluinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Zakariya. Sedangkan menurut Abu Mahramah, keduanya adalah sinonim. Apa pun yang terbentuk melalui api maka hukumnya najis, sedangkan yang tidak, maka tidak najis. Adapun lidah api (nyala api) itu sendiri, hukumnya suci secara mutlak. Bahkan jika diambil nyala api tersebut untuk menyalakan lilin, maka lilin tersebut tidak dihukumi najis.”
Referensi:
Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, Juz 1, Halaman 135-136 “Perkataannya: (Dan dimaafkan sedikit asap najis) meskipun berasal dari najis yang berat (mughalazhah). Mulla Ramli membatasinya hanya pada najis yang tidak berat serta dengan syarat tidak ada kelembapan. Cara baca yang lebih utama adalah dengan tanwin agar mencakup juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena air kencing, maka asapnya tetap dihukumi najis tetapi dimaafkan jika sedikit, sebagaimana dikatakan oleh Ziyadi. Sebab, jika dibaca dalam bentuk idhafah (tanpa tanwin), maka makna ini tidak tercakup.
Dari sini dapat diketahui bahwa kejadian yang sering terjadi di musim dingin juga termasuk dalam hukum ini. Namun, jika seseorang mengeringkan sesuatu yang lembap di atas nyala api yang tidak berasap, maka benda tersebut tidak menjadi najis, dan ini jelas.
Sedangkan yang keluar dari cakupan asap adalah jelaga (hibab), yang secara lahir tidak dimaafkan, sebagaimana dikatakan oleh al-‘Anani. Sedangkan asy-Syarqawi lebih cenderung kepada kesucian nyala api yang berasal dari lilin najis, begitu pula api yang berasal dari kotoran hewan atau kayu yang terkena najis selama tidak disertai asap. Beberapa ulama juga menukil dari Ibn al-‘Imad bahwa hal tersebut dihukumi najis.”Wallahu a’lam bish-shawab