Hukum Menghilangkan Bau Mulut karena Merokok ketika Akan Melaksanakan Shalat
Dalam Islam, menjaga kebersihan dan kesucian, termasuk kebersihan mulut, sangat dianjurkan, terutama sebelum melaksanakan shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Merokok dapat menyebabkan bau mulut yang tidak sedap, yang berpotensi mengganggu kekhusyukan shalat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.
Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya menghilangkan bau badan ( mulut ) disebabkan merokok atau lainnya ketika akan sholat?
Waalaikumsalam
Jawaban
Hukum Menghilangkan bau mulut karena sebab merokok atau pun lainnya seperti makan bawang maupun anggota badan lainnya ketika akan melakukan sholat adalah sunnah . Oleh karenanya membiarkan badan yang berbau baik karena Merokok ataupun dengan makanan yang berbau, hukumnya makruh tanzih ,maka dari itu sunnah menghilangkan ketika akan shalat dengan cara berkumur-kumur.
المجموع شرح المهذب ص ٥٤٨
اما أَحْكَامُ الْفَصْلِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ مَعَ الِاغْتِسَالِ لِلْجُمُعَةِ أَنْ يَتَنَظَّفَ بِإِزَالَةِ أَظْفَارٍ وَشَعْرٍ وَمَا يحتاج الي ازالتهما كَوَسَخٍ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَتَطَيَّبَ وَيَدَّهِنَ وَيَتَسَوَّكَ وَيَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ أَكْثَرُ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ مِنْ الزِّينَةِ وَغَيْرِهَا وَأَنْ يَتَعَمَّمَ وَيَرْتَدِيَ وَأَفْضَلُ ثِيَابِهِ الْبِيضُ كَغَيْرِهِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ وَذَكَرَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ كَرَاهَةَ لِبَاسِهِ السَّوَادَ وَقَالَهُ قَبْلَهُ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ وَخَالَفَهُمَا الْمَاوَرْدِيُّ فَقَالَ فِي الْحَاوِي
يَجُوزُ لِلْإِمَامِ لُبْسُ الْبَيَاضِ وَالسَّوَادِ قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ يَلْبَسُونَ الْبَيَاضَ وَاعْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِمَامَةٍ سَوْدَاءَ قَالَ وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ السَّوَادَ بَنُو العباس في خلاقتهم شِعَارًا لَهُمْ وَلِأَنَّ الرَّايَةَ الَّتِي عُقِدَتْ لِلْعَبَّاسِ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ وَكَانَتْ رَايَةُ الْأَنْصَارِ صَفْرَاءَ قَالَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَلْبَسَ السَّوَادَ إذَا كَانَ السُّلْطَانُ لَهُ مُؤْثِرًا لِمَا فِي تَرْكِهِ مِنْ مُخَالَفَتِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يلبس السواد ويستدل بحديث عمرو ابن حُرَيْثٍ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَلْبَسُ الْبَيَاضَ دُونَ السَّوَادِ إلَّا أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ تَرَتُّبُ مَفْسَدَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ السُّلْطَانِ أَوْ غَيْرِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
* وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْمَذْكُورَ مِنْ اسْتِحْبَابِ الْغُسْلِ وَالطِّيبِ وَالتَّنَظُّفِ بِإِزَالَةِ الشُّعُورِ الْمَذْكُورَةِ وَالظُّفْرِ وَالرَّوَائِحِ الْكَرِيهَةِ وَلُبْسِ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالْجُمُعَةِ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ مَجْمَعٍ مِنْ مَجَامِعِ النَّاسِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ وَغَيْرُهُمْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أُحِبُّ ذَلِكَ كُلَّهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ وَكُلِّ مَجْمَعٍ تَجْتَمِعُ فِيهِ النَّاسُ قَالَ وَأَنَا لِذَلِكَ فِي الْجُمَعِ وَنَحْوِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُسْتَحَبُّ هَذِهِ الْأُمُورُ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ الْجُمُعَةِ وَنَحْوِهَا سَوَاءٌ الرِّجَالُ وَالصِّبْيَانُ وَالْعَبِيدُ إلَّا النِّسَاءَ فَيُكْرَهُ لِمَنْ أَرَادَتْ مِنْهُنَّ الْحُضُورَ الطِّيبُ وَالزِّينَةُ وَفَاخِرُ الثِّيَابِ وَيُسْتَحَبُّ لَهَا قَطْعُ الرائحة الكريهة وازالة الظفر والشعور المكروهة
Adapun hukum-hukum dalam bab ini, para sahabat kami berkata: Disunnahkan bagi seseorang yang mandi untuk shalat Jumat agar membersihkan diri dengan memotong kuku, mencukur rambut, dan menghilangkan kotoran serta hal-hal lain yang perlu dihilangkan. Juga dianjurkan untuk memakai wewangian, menggunakan minyak rambut, bersiwak, serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah pakaian berwarna putih.
Disunnahkan bagi imam untuk berhias lebih banyak daripada selainnya, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Disunnahkan juga baginya untuk memakai sorban dan ridha (kain yang disampirkan di bahu), serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah warna putih, sebagaimana disunnahkan bagi selainnya. Ini adalah pendapat yang masyhur.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa memakai pakaian hitam itu makruh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki sebelumnya. Namun, al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka. Dalam kitab Al-Hawi, ia mengatakan bahwa boleh bagi imam mengenakan pakaian berwarna putih maupun hitam. Ia juga menyebutkan bahwa Nabi ﷺ dan para khalifah yang empat mengenakan pakaian putih, serta Nabi ﷺ pernah memakai sorban hitam.
Al-Mawardi juga menjelaskan bahwa yang pertama kali menjadikan pakaian hitam sebagai simbol adalah Bani Abbas dalam masa kekhalifahan mereka, karena panji yang diberikan kepada al-Abbas pada hari Fathu Makkah dan Hunain berwarna hitam, sedangkan panji kaum Anshar berwarna kuning. Oleh karena itu, menurutnya, sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam jika penguasa lebih menyukai hal itu, agar tidak bertentangan dengannya.
Dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam, dan ia berdalil dengan hadis dari ‘Amr bin Hurayts. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa imam lebih utama mengenakan pakaian putih daripada hitam, kecuali jika ia yakin bahwa meninggalkan pakaian hitam dapat menimbulkan kemudaratan dari pihak penguasa atau lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.
Catatan: Ketahuilah bahwa anjuran mandi, memakai wewangian, membersihkan diri dengan memotong rambut, kuku, dan menghilangkan bau tidak sedap, serta mengenakan pakaian terbaik tidak hanya khusus untuk shalat Jumat. Hal ini juga dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri perkumpulan manusia. Imam asy-Syafi’i telah menegaskan hal ini, dan para sahabatnya serta ulama lainnya juga menyepakatinya.
Imam asy-Syafi’i berkata: “Aku menyukai semua hal tersebut untuk shalat Jumat, dua hari raya, dan setiap majelis di mana manusia berkumpul.” Ia juga mengatakan, “Namun, untuk shalat Jumat dan semacamnya, aku lebih menekankan keutamaan hal tersebut.”
Asy-Syafi’i dan para sahabatnya juga berpendapat bahwa semua hal ini dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri shalat Jumat dan semacamnya, baik laki-laki, anak-anak, maupun budak. Namun, bagi wanita yang hendak menghadiri shalat Jumat, dimakruhkan bagi mereka memakai wewangian, berhias, dan mengenakan pakaian mewah. Akan tetapi, mereka tetap dianjurkan untuk menghilangkan bau tidak sedap, memotong kuku, serta menghilangkan rambut yang tidak diinginkan.
(يسئلونك فى الدين والحياة، جـ ٢، صـ ٩٨)
. ويؤخذ من إلحاق الدخان بالثوم والبصل كراهته تحريما فى المسجد للنهي الوارد فى الثوم والبصل وهو ملحق بهما والظاهر كراهة تعاطيه جال القراءة (يعنى قراءة القرآن) لما فيه من الإخلال بتعظيم كتاب الله تعالى ولا يليق بالمسلم أن يشرب الدخان الدخان وهو فى بيت من بيوت الله عز وجل كما أنه لا يليق به ان يدخل المسجد وما زالت رائحة الدخان تفوح من فمه وقد يكون من المناسب ان تذكر عبادة زاجرة قالها الشيخ الشبراوى نقلا عن شيخه السجاعي فى شرب الدخان فى عند قراءة القرآن وهي الذي ندين الله عليه هو حرمة شرب الدخان فى مجلس القرآن ولا وجه للقول بالكراهة واذا كان الحديث النبوي فى مجلس القرآن منهما عنه فشرب الدخان فى مجلسه اولى بالنهي لما فيه من الرائحة الكريهة
“Diambil dari pengqiyasan (penyamaan hukum) asap rokok dengan bawang putih dan bawang merah, bahwa hukumnya adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) di dalam masjid, berdasarkan larangan yang telah disebutkan terhadap bawang putih dan bawang merah, dan rokok disamakan dengan keduanya. Tampaknya juga makruh mengonsumsi rokok saat membaca Al-Qur’an, karena hal itu termasuk dalam sikap yang tidak menghormati Kitab Allah Ta’ala. Tidak pantas bagi seorang Muslim untuk merokok di dalam salah satu rumah Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana tidak pantas baginya untuk memasuki masjid sementara bau rokok masih tercium dari mulutnya.
Mungkin juga relevan untuk disebutkan suatu nasihat yang bersifat mengingatkan, yang disampaikan oleh Syaikh Asy-Syabrawi dengan mengutip dari gurunya, As-Suja’i, mengenai hukum merokok saat membaca Al-Qur’an. Ia berkata: ‘Yang kami yakini sebagai bagian dari agama (yakni yang kami yakini sebagai hukum yang benar) adalah haramnya merokok dalam majelis Al-Qur’an, dan tidak ada alasan untuk mengatakan hukumnya hanya makruh. Jika dalam majelis Al-Qur’an terdapat larangan untuk mengonsumsi bawang putih dan bawang merah, maka merokok dalam majelis tersebut lebih utama untuk dilarang, karena baunya yang tidak sedap.’”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ, الْبَقْلَةِ، الثّومِ (وَقَالَ مَرّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثّومَ وَالْكُرّاثَ) فَلاَ يَقْرَبَنّ مَسْجِدَنَا، فَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذّى مِمّا يَتَأَذّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ”. (رواه مسلم)
“Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni bawang putih (suatu kali beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”
Perhatikan Bau Mulut khususnya bagi pecandu/ Perokok
Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa orang yang mulutnya bau karena memakan bawang putih saja tidak boleh menghadiri shalat berjamaah, maka bagaimana lagi dengan orang yang mulutnya bau rokok? Oleh karenanya dianjurkan untuk menghilangkannya tentu saja dengan berkumur-kumur terleh dahulu sebelum shalat
Setelah bau tersebut hilang maka dia dianjurkan untuk berangkat menuju masjid untuk melakukan shalat berjamaah
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang itu hanya contoh saja. Bau yang dimaksud adalah semua bau yang menyengat dan tidak sedap. Beliau berkata
وقال ابن حجر : وقد ألْحَقَ بها الفقهاء ما في معناها من البقول الكريهة الرائحة ، كالفجل
“Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang menyengat.”
Al-Maziriy juga menjelaskan bahwa hal ini mencakup bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan sebagainya. Beliau berkata,
قال المازري : وألْحَق الفقهاء بالروائح أصحاب المصانِع : كالقصّاب والسَّمّاك . نقله ابن الملقِّن
“Para ulama ahli fikih menyamakannya dengan bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”[3]
Bau Tidak Sedap yang Timbul Dari Penyakit
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk juga apabila bau menyengat tersebut muncul akibat penyakit (misalnya terkena penyakit mulut yang sangat bau atau penyakit badan yang anggota tubuhnya ada yang membusuk), maka tidak boleh menghadiri shalat berjamaah sampai penyakitnya sembuh. Beliau berkata,
قال العلماء : إن ما كان من الله ، ولا صنع للآدمي فيه إذا كان يؤذي المصلين فإنه يَخرج ( يعني من المسجد ) ، كالبخر في الفم ، أو الأنف ، أو من يخرج من إبطيه رائحة كريهة ، فإذا كان فيك رائحة تؤذي فلا تقرب المسجد
“Para ulama berkata, jika penyakit tersebut dari Allah dan bukan karena perbuatan manusia, apabila berpotensi menggangu orang yang salat maka sebaiknya ia keluar dari masjid (tidak ikut salat berjamaah), seperti bau pada uap mulut (bau mulut), bau hidung atau apa yang keluar dari ketiaknya berupa bau yang menyengat. Maka jika pada mulutmu terdapat bau yang dapat menganggu maka jangalah anda mendekati masjid (jangan ikut salat berjamaah).”
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج٣٤ص٢٢٥-٢٢٧
حُكْمُ أَكْلِهِ وَأَثَرُهُ فِي حُضُورِ الْجَمَاعَةِ. ٦ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مِنَ الأَْعْذَارِ الَّتِي تُبِيحُ التَّخَلُّفَ عَنِ الْجَمَاعَةِ: أَكْل كُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ كَبَصَلٍ وَثُومٍ وَكُرَّاثٍ وَفُجْلٍ إِذَا تَعَذَّرَ زَوَال رَائِحَتِهِ (١) لِحَدِيثِ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ أَكَل مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ وَقَال مَرَّةً: مَنْ أَكَل الْبَصَل وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ (٢) وَالتَّفْصِيل فِي مُصْطَلَحِ (صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ ف ٣٣) . ٧ – وَهَذَا الْحُكْمُ فِيمَنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ، أَمَّا مَنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ فَصَرَّحَ الْفُقَهَاءُ أَيْضًا بِكَرَاهِيَةِ أَكْلِهِ إِلاَّ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا. قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَيُكْرَهُ أَكْل الْبَصَل وَالثُّومِ وَالْكُرَّاثِ وَالْفُجْل وَكُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ مِنْ أَجْل رَائِحَتِهِ، سَوَاءٌ أَرَادَ دُخُول الْمَسْجِدِ أَمْ لَمْ يُرِدْ (٣) ، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ النَّاسُ (٤) . وَفِي حَاشِيَةِ الدُّسُوقِيِّ: وَأَمَّا أَكْلُهُ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ فَمَكْرُوهٌ إِنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ، وَإِنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ حَرَامٌ (١) . وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ: وَأَكْلُهَا مَكْرُوهٌ فِي حَقِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الرَّاجِحِ وَكَذَا فِي حَقِّنَا وَلَوْ فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ. نَعَمْ. قَال ابْنُ حَجَرٍ وَشَيْخُ الإِْسْلاَمِ: لاَ يُكْرَهُ أَكْلُهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا وَلاَ لِمَنْ لَمْ يُرِدِ الاِجْتِمَاعَ مَعَ النَّاسِ، وَيَحْرُمُ أَكْلُهَا بِقَصْدِ إِسْقَاطِ وَاجِبٍ كَالْجُمُعَةِ وَيَجِبُ السَّعْيُ فِي إِزَالَةِ رِيحِهَا (٢) . وَحَكَى النَّوَوِيُّ إِجْمَاعَ مَنْ يُعْتَدُّ بِهِ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْبُقُول حَلاَلٌ (٣) . أَكْل الزَّوْجَةِ لِلْكُرَّاثِ: ٨ – صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ مِنْ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ كَثُومٍ أَوْ بَصَلٍ أَوْ كُرَّاثٍ لأَِنَّهُ يَمْنَعُ الْقُبْلَةَ وَكَمَال الاِسْتِمْتَاعِ. فَفِي فَتْحِ الْقَدِيرِ وَالْفَتَاوَى الْهِنْدِيَّةِ: وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا يَتَأَذَّى مِنْ رَائِحَتِهِ. وَفِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ: يَجُوزُ لِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مِنْ أَكْل كُل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ مَا لَمْ يَأْكُلْهُ مَعَهَا أَوْ يَكُنْ فَاقِدَ الشَّمِّ وَأَمَّا هِيَ فَلَيْسَ لَهَا مَنْعُهُ مِنْ ذَلِكَ وَلَوْ لَمْ تَأْكُل (٤) .
Hukum Memakannya ( bawang ) dan Pengaruhnya terhadap Kehadiran dalam Shalat Berjamaah
6. Para ulama sepakat bahwa di antara uzur yang membolehkan seseorang tidak menghadiri shalat berjamaah adalah memakan sesuatu yang memiliki bau tidak sedap, seperti bawang merah, bawang putih, daun kucai, dan lobak, jika baunya sulit dihilangkan. Hal ini berdasarkan hadis Jabir dari Nabi ﷺ yang bersabda:
“Barang siapa yang memakan tanaman ini, yaitu bawang putih—dan dalam riwayat lain disebutkan: barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan daun kucai—maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.”
Perincian lebih lanjut dapat ditemukan dalam pembahasan Shalat Berjamaah (Bab 33).
7. Hukum ini berlaku bagi mereka yang ingin pergi ke masjid. Adapun bagi mereka yang tidak berniat ke masjid, para ulama juga menegaskan bahwa makruh hukumnya memakan makanan tersebut, kecuali bagi orang yang mampu menghilangkan baunya.
Ibn Qudamah berkata:
“Makruh hukumnya memakan bawang merah, bawang putih, daun kucai, lobak, dan segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena baunya, baik ia ingin masuk masjid maupun tidak, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.’”
Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi disebutkan:
“Adapun memakannya di luar masjid selain hari Jumat, maka hukumnya makruh jika tidak berniat pergi ke masjid. Namun, jika ia berniat pergi ke masjid, maka pendapat yang kuat menyatakan bahwa hukumnya haram.”
Al-Qalyubi berkata:
“Memakan makanan ini makruh bagi Nabi ﷺ menurut pendapat yang lebih kuat, demikian pula bagi kita, meskipun bukan di masjid.”
Ibn Hajar dan Syaikhul Islam berkata:
“Tidak makruh bagi orang yang mampu menghilangkan baunya, dan juga tidak bagi orang yang tidak berniat berkumpul dengan masyarakat. Namun, haram jika dikonsumsi dengan niat untuk menggugurkan kewajiban seperti shalat Jumat, dan wajib berupaya menghilangkan baunya.”
An-Nawawi menyebutkan adanya ijmak ulama yang dianggap valid bahwa tanaman-tanaman ini halal dimakan.
Hukum Istri Memakan Daun Kucai
8. Para ulama menyatakan bahwa suami memiliki hak untuk melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, seperti bawang putih, bawang merah, dan daun kucai, karena baunya menghalangi ciuman dan kenikmatan sempurna dalam berhubungan suami istri.
Dalam Fathul Qadir dan Fatawa al-Hindiyyah disebutkan:
“Suami berhak melarang istrinya memakan sesuatu yang baunya mengganggu.”
Dalam Syarh ash-Shaghir disebutkan:
“Suami boleh melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, kecuali jika ia memakannya bersama istrinya atau ia sendiri kehilangan indra penciuman. Namun, istri tidak memiliki hak untuk melarang suaminya, meskipun ia sendiri tidak memakannya.”
Kesimpulan
Sunnah menghilangkan bau mulut karena Merokok ataupun karena makan bawang mereka, sedang membiarkannya ( tidak dihilangkan ) hukumnya makruh
Wallahu a’lam bish-shawab