Nikah via Video Call dalam Perspektif Hukum Islam dan Negara”
Deskripsi Masalah:
Di era digitalisasi, kemajuan teknologi memungkinkan berbagai aktivitas dilakukan secara daring, termasuk dalam pelaksanaan akad nikah. Pernikahan melalui video call menjadi topik yang ramai diperbincangkan, terutama ketika situasi tertentu membuat salah satu atau kedua mempelai tidak dapat hadir secara fisik di lokasi akad. Media komunikasi digital seperti video call pun digunakan sebagai solusi.
Namun, praktik ini menghadirkan sejumlah persoalan yang memicu diskusi di kalangan masyarakat, baik dari sudut pandang hukum agama maupun hukum negara. Beberapa pertanyaan yang sering muncul di antaranya:
1. Apakah akad nikah yang dilakukan melalui video call sah secara syar’i?
2. Bagaimana pandangan hukum positif di Indonesia terhadap model pernikahan semacam ini?
Waalaikum salam :
Dalam menanggapi fenomena nikah via video call, diperlukan analisis dari perspektif hukum syar’i dan hukum negara. Berikut penjelasannya:
A. Analisis Hukum Syari’ah
1. Rukun dan Syarat Nikah:
Dalam Islam, nikah dianggap sah jika memenuhi rukun dan syaratnya, yaitu:
Rukun nikah: Calon mempelai, wali, dua saksi adil, dan ijab qabul.
Syarat sah nikah: Kehadiran fisik pihak-pihak terkait untuk memastikan kejelasan dan keabsahan ijab qabul.
Menurut Tuhfatul Muhtaj (jilid 7, hal. 228) dan Kifayah al-Akhyar (jilid 2, hal. 51), saksi dalam akad nikah harus menyaksikan langsung ijab dan qabul. Mengandalkan suara atau komunikasi tidak cukup karena:
Ijab qabul harus jelas dan meyakinkan tanpa kemungkinan manipulasi.
Fungsi saksi adalah untuk menguatkan keabsahan akad jika terjadi perselisihan, yang tidak dapat dipenuhi tanpa kehadiran fisik.
2. Pandangan Mazhab dan Ulama:
Mazhab Syafi’i: Ijab qabul harus dilakukan secara langsung di hadapan saksi. Kehadiran fisik diperlukan untuk menghindari kesalahan atau keraguan terkait identitas pelaku akad.
Hasyiyah al-Syarwani wa al-‘Abbadi menyatakan bahwa alat komunikasi seperti telepon atau video hanya sah untuk akad yang tidak memerlukan lafaz dan kehadiran fisik, seperti jual beli. Namun, nikah tidak memenuhi kriteria ini.
Pendapat ini didukung oleh Majelis Majma’ al-Fiqh al-Islami (1990), yang menyatakan bahwa akad melalui alat komunikasi modern sah untuk transaksi tertentu, tetapi tidak berlaku untuk nikah karena membutuhkan kehadiran saksi secara fisik.
3. Kesimpulan Hukum Syari’ah:
Nikah via video call tidak sah karena tidak memenuhi rukun nikah yang disyaratkan, terutama kehadiran fisik saksi, wali, dan mempelai.
Solusi: Dalam kondisi tertentu, Islam memperbolehkan akad melalui wakil sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Mu’in (Hasyiyah I’anatuth Thalibin, jilid 3, hal. 320–324).
—
B. Analisis Hukum Negara (Indonesia)
1. Dasar Hukum:
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19, akad nikah harus dilakukan di hadapan penghulu, dengan kehadiran fisik wali dan saksi.
Kehadiran fisik diperlukan untuk memastikan legalitas dan keabsahan administratif, seperti pencatatan nikah di KUA.
2. Implikasi Administrasi:
Akad nikah tanpa kehadiran fisik rawan manipulasi data, misalnya penyalahgunaan identitas atau pemalsuan dokumen.
Jika tidak sesuai prosedur, pernikahan tidak diakui negara sehingga berimplikasi pada status hukum dan hak-hak pasangan.
3. Kesimpulan Hukum Negara:
Nikah via video call tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum positif.
Solusi: Jika kehadiran fisik tidak memungkinkan, wakil dapat digunakan untuk memenuhi prosedur sesuai dengan syarat hukum.
—
Kesimpulan Akhir
1. Kesimpulan Umum:
Baik dari sudut pandang hukum Islam maupun negara, akad nikah via video call tidak sah karena kehadiran fisik merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan akad nikah.
Kehadiran fisik memastikan keabsahan rukun dan syarat nikah, serta mencegah potensi penyimpangan hukum.
2. Rekomendasi:
Gunakan perwakilan (wakil) jika salah satu pihak tidak dapat hadir secara fisik.
Konsultasikan dengan otoritas agama (KUA) untuk memastikan pelaksanaan akad sesuai syariat dan hukum negara.
—
Referensi:
Berikut beberapa referensi utama yang digunakan:
1. Hasyiyah al-Syarwani wa al-‘Abbadi, jilid 4, hal. 222.
2. Kifayah al-Akhyar, jilid 2, hal. 51.
3. Tuhfatul Muhtaj, jilid 7, hal. 228.
4. Kompilasi Hukum Islam, Pasal 19.
5. Fathul Mu’in (Hasyiyah I’anatuth Thalibin), jilid 3, hal. 320–324.
6. Majma’ al-Fiqh al-Islami (1990).
_______________
Referensi :
حواشي الشرواني والعبادي؛ ج ٤، ص ٢٢٢
قوله: (والكتابة الخ) ومثلها خبر السلك المحدث في هذه الازمنة فالعقد به كناية فيما يظهر قوله: (والكتابة كناية) ظاهره ولو في حق الاخرس اهـ.سم قوله: (لا على مائع أو هواء) أي أما عليهما فلغو اهـ.ع ش عبارة المغني والكتابة بالبيع ونحوه على نحو لوح أو ورق أو أرض كناية فينعقد بها مع النية بخلاف الكتابة على المائع ونحوه كالهواء فإنه لا يكون كناية لانها لا تثبت اهـ.
الفوائد المختارة لسالك طريق الأخرة المستفادة من كلام العلامة الحبيب زين بن إبراهم بن سميط. جمع وتقديم: علي بن حسن باهارون؛ ص ٢٤٦
التلفون كناية في العقود كالبيع والسلم والإِجارة، فيصح ذلك بواسطة التلفون. أما النكاح فلا يصح بالتلفون لأنه يشترط فيه لفظ صريح والتلفون كناية، وأن ينظر الشاهد إلى العاقدين. وفقد ذلك إذا كان بالتلفون، أو ما هذا معناه.
الفقه الإسلامي وأدلته؛ج ٩ص ٥٧٣
جراء العقود بآلات الاتصال الحديثة إن مجلس مجمع الفقه الإسلامي المنعقد في دورة مؤتمره السادس بجدة في المملكة العربية السعودية من ١٧- ٢٣ شعبان ١٤١٠ هـ الموافق ١٤-٢٠ آذار (مارس) ١٩٩٠ م. بعد اطلاعه على البحوث الواردة إلى المجمع بخصوص موضوع: إجراء العقود بآلات الاتصال الحديثة، ونظراً إلى التطور الكبير الذي حصل في وسائل الاتصال وجريان العمل بها في إبرام العقود لسرعة إنجاز المعاملات المالية والتصرفات. وباستحضار ما تعرض له الفقهاء بشأن إبرام العقود بالخطاب وبالكتابة وبالإشارة وبالرسول، وما تقرر من أن التعاقد بين الحاضرين يشترط له اتحاد المجلس (عدا الوصية والإيصاء والوكالة) وتطابق الإيجاب والقبول، وعدم صدور ما يدل على إعراض أحد العاقدين عن التعاقد، والموالاة بين الإيجاب والقبول بحسب العرف: قرر :…إلى أن قال ….٤ – أن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لاشتراط الإشهاد فيه، ولا الصرف لاشتراط التقابض، ولا السلم لاشتراط تعجيل رأس المال
كفاية الأخيار؛ ج ٢، ص ٥١
( فرع )
يشترط في صحة عقد النكاح حضور أربعة ولي وزوج وشاهدي عدل.
[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٢٢٨/٧]
(قوله: ومثله من بظلمة إلخ)
أي لعدم علمهما بالموجب والقابل والاعتماد على الصوت لا نظر له فلو سمعا الإيجاب والقبول من غير رؤية للموجب والقابل ولكنهما جزما في أنفسهما بأن الموجب فلان والقابل فلان لم يكف للعلة المذكورة ولعل الفرق بين ما هنا وما تقدم في البيع من صحته، وإن كان العاقدان بظلمة شديدة حال العقد بحيث لا يرى أحدهما الآخر أن المقصود من شاهدي النكاح إثبات العقد بهما عند التنازع، وهو منتف مع الظلمة اهـ ع ش
فتح المعين بهامش حاشية اعانة الطالبين؛ ج ٣ ص ٣٢٠-٣٢٤
( و )
يجوز ( لمجبر ) وهو الأب والجد في البكر ( توكيل ) معين صح تزوجه في تزويج موليته بغير إذنها وإن لم يعين المجبر الزوج في توكيله ( وعلى وكيل ) إن لم يعين الولي الزوج ( رعاية حظ ) واحتياط في أمرها فإن زوجها بغير كفء أو بكفء وقد خطبها أكفأ منه لم يصح التزويج لمخالفته الإحتياط الواجب عليه … إلى أن قال …( و ) يجوز ( لزوج توكيل في قبوله ) أي النكاح فيقول وكيل الولي للزوج زوجتك فلانة بنت فلان ابن فلان ثم يقول موكلي أو وكالة عنه إن جهل الزوج أو الشاهدان وكالته وإلا لم يشترط ذلك وإن حصل العلم بأخبار الوكيل.
[ابن حجر الهيتمي، تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٢٢١/٧]
(قوله: وتعذر توكيله) مفهومه أنه لو أمكنه التوكيل بالكتابة، أو الإشارة التي يختص بفهمها الفطن تعين لصحة نكاحه توكيله، وهو قريب؛ لأن ذلك، وإن كان كناية أيضا لكنه في التوكيل، وهو ينعقد بالكناية بخلاف النكاح اهـ ع ش وسنذكر منه ما يتعلق بالمقام.
حاشية الشرقاوي؛ ج ٢، ص ١٠٥
(قوله وصيغة الخ)
كوكلتك في كذا او فوضت إليك كذا سواء كان مشافهة أو كتابة أو مراسلة ويشترط عدم ردها كما يأتي ولا يشترط العلم بها فلو وكله وهو لا يعلم صحت حتى لو تصرف قبل علمه صح كبيع مال أبيه يظن حياته
1. Hasyiyah al-Syarwani wa al-‘Abbadi, jilid 4, halaman 222
Terkait pernyataan: “(wal-kitābah, dst.)”, dan semisalnya berita tentang tali yang diperbarui di zaman sekarang, maka akad dengan itu merupakan kinayah (kiasan) menurut yang tampak. Pernyataan: “(wal-kitābah kināyah)”, menunjukkan bahwa itu termasuk kinayah meskipun untuk orang bisu. Penjelasan: (la ‘ala mā’i‘ aw hawā’) artinya tidak sah akad pada cairan atau udara karena itu dianggap sia-sia. Dalam ‘Umdatul-Mughnī disebutkan bahwa akad dengan tulisan, jual beli, dan semisalnya di atas papan, kertas, atau tanah merupakan kinayah yang sah dengan adanya niat. Namun, tulisan pada cairan atau udara tidak dianggap kinayah karena tidak dapat menetap.
2. Al-Fawā’id al-Mukhtārah li-Sālik Ṭarīq al-Ākhirah, halaman 246
Telepon dianggap sebagai kinayah dalam akad seperti jual beli, salam, dan sewa-menyewa, sehingga akad-akad tersebut sah dilakukan melalui telepon. Namun, nikah tidak sah melalui telepon karena disyaratkan adanya lafaz sharih (jelas) dalam nikah, sedangkan telepon hanya dianggap kinayah. Selain itu, saksi juga harus menyaksikan kedua pihak yang melakukan akad, yang tidak terpenuhi jika dilakukan melalui telepon.
3. Al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh, jilid 9, halaman 573
Pelaksanaan akad dengan alat komunikasi modern: Sidang Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam konferensi keenamnya di Jeddah, Arab Saudi, pada 17-23 Sya’ban 1410 H (14-20 Maret 1990 M), setelah menelaah penelitian terkait pelaksanaan akad dengan alat komunikasi modern, dan mengingat perkembangan besar dalam sarana komunikasi, serta melihat pembahasan para ulama tentang akad dengan percakapan langsung, tulisan, isyarat, atau melalui perantara, dan ketentuan bahwa:
Untuk akad langsung, disyaratkan adanya ittihad al-majlis (kesatuan tempat akad), kecocokan ijab dan qabul, tidak adanya indikasi penolakan dari salah satu pihak, serta kesinambungan antara ijab dan qabul berdasarkan adat.
Diputuskan bahwa aturan ini tidak berlaku pada nikah karena memerlukan saksi, tidak juga pada sharf (pertukaran uang) karena disyaratkan serah terima, atau pada salam karena disyaratkan pembayaran modal di muka.
4. Kifāyah al-Akhyār, jilid 2, halaman 51
Dalam akad nikah, disyaratkan kehadiran empat pihak: wali, mempelai pria, dan dua saksi adil.
5. Tuhfatul Muhtāj, jilid 7, halaman 228
Pernyataan: “wa mitsluhu man bidhulmāti, dst.” artinya akad dalam kegelapan tidak sah karena saksi tidak mengetahui siapa yang memberikan ijab dan qabul. Mengandalkan suara saja tidak cukup. Misalnya, jika saksi mendengar ijab dan qabul tanpa melihat kedua pihak, tetapi meyakini bahwa pihak-pihak tersebut adalah orang tertentu, itu tidak cukup. Hal ini berbeda dengan jual beli yang sah walaupun dilakukan dalam kegelapan total, karena fungsi saksi dalam nikah adalah untuk memastikan keabsahan akad ketika terjadi sengketa, yang tidak dapat dipenuhi dalam kondisi gelap.
6. Fathul Mu’īn (Hasyiyah I‘ānatuth Thālibīn), jilid 3, halaman 320-324
Diperbolehkan bagi wali mujbir (ayah atau kakek) untuk mewakilkan akad nikah putrinya tanpa izin darinya, bahkan jika wali tidak menyebutkan calon mempelai pria dalam wakilnya. Wakil harus menjaga maslahat mempelai wanita. Jika wakil menikahkannya dengan pria yang tidak sekufu atau jika ada pria lain yang lebih sekufu telah melamar, maka akad tidak sah karena melanggar prinsip kehati-hatian. Suami juga boleh diwakilkan dalam menerima akad, misalnya wakil wali mengatakan, “Aku menikahkanmu dengan Fulanah binti Fulan bin Fulan,” lalu wakil suami menjawab, “Aku menerimanya.”
7. Tuhfatul Muhtāj, jilid 7, halaman 221
Jika memungkinkan, akad nikah dengan tulisan atau isyarat yang hanya dipahami oleh orang cerdas dapat dilakukan, meskipun hal ini juga dianggap kinayah. Namun, ini terkait dengan akad wakil yang sah dilakukan dengan kinayah, berbeda dengan nikah yang memerlukan lafaz jelas.
8. Hasyiyah al-Syarqāwi, jilid 2, halaman 105
Pernyataan: “Waṣīghah (lafaz akad), dst.” seperti, “Aku mewakilkanmu dalam hal ini” atau “Aku menyerahkan kepadamu” baik secara lisan, tulisan, atau surat-menyurat, dengan syarat tidak ada penolakan. Bahkan jika wakil belum mengetahui, akad tetap sah, seperti penjualan harta ayahnya dengan asumsi ayahnya masih hidup.Wallahu A’lam bisshowab