PERTANYAAN :
Assalamualaikum Ustadz..
Deskripsi masalah:
Puasa memang wajib. Tetapi mencari nafkah juga wajib. Dan memang kewajiban puasa itu tidak bermaksud menghalangi manusia untuk mencari nafkah. Tetapi adakalanya aktivitas mencari nafkah ini memerlukan tenaga besar dan kondisi fisik yang sip, karenanya untuk sejumlah orang pada profesi tertentu puasa mengurangi tenaga yang diperlukan.
Di samping pekerja berat, ada juga mereka yang sakit dengan pelbagai kondisinya saat Ramadhan tiba. Ada di antara mereka yang sehat dan segar bugar, juga muda. Ada lagi yang sudah renta, ada yang terbaring sakit, ada lagi yang dalam perjalanan, juga mereka yang pekerjaannya membutuhkan tenaga ekstra.
Bagaimana hukum orang yang bekerja berat tidak berpuasa?
JAWABAN :
Wa’alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh.
Bagi pekerja berat (seperti pengetam, kuli bangunan, tukang becak, nelayan, pembajak tanah dll.) tidak diperbolehkan berbuka puasa (mokel-java-pen) kecuali bila memenuhi 6 persyaratan :
1. Pekerjaannya tidak bisa diundur hingga bulan syawal.
2. Ada halangan untuk dikerjakan di malam hari.
3. Terjadi masyaqqat (kesulitan) menurut kebiasaan manusia bila menjalani puasa hingga dalam batasan masyaqqat yang memperkenankan baginya tayammum atau menjalani shalat dengan duduk.
4. Di malam hari tetap niat, di pagi hari tetap puasa baru setelah benar-benar tidak kuat boleh berbuka.
5. Saat berbuka diniati mencari keringanan hukuman.
6. Tidak boleh menyalahgunakan keringanan dalam arti pekerjaannya dijadikan tujuan atau membebani diri diluar batas kemampuan agar dapat keringanan berbuka puasa.
Bila syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka berdosa baginya berbuka puasa meskipun diganti dihari-hari selain ramadhan berdasarkan hadits “Barangsiapa berbuka puasa tanpa adanya udzur tidak mencukupi baginya meskipun diganti dengan puasa sepanjang tahun”
Buhyah alMustarsyidiin Hal. 234 :
مسألة) : لا يجوز الفطر لنحو الحصاد وجذاذ النخل والحراث إلا إن اجتمعت فيه الشروط. وحاصلها كما يعلم من كلامهم ستة : أن لا يمكن تأخير العمل إلى شوّال ، وأن يتعذر العمل ليلاً ، أو لم يغنه ذلك فيؤدي إلى تلفه أو نقصه نقصاً لا يتغابن به ، وأن يشق عليه الصوم مشقة لا تحتمل عادة بأن تبيح التيمم أو الجلوس في الفرض خلافاً لابن حجر ، وأن ينوي ليلاً ويصحب صائماً فلا يفطر إلا عند وجود العذر ، وأن ينوي الترخص بالفطر ليمتاز الفطر المباح عن غيره ، كمريض أراد الفطر للمرض فلا بد أن ينوي بفطره الرخصة أيضاً ، وأن لا يقصد ذلك العمل وتكليف نفسه لمحض الترخص بالفطر وإلا امتنع ، كمسافر قصد بسفره مجرد الرخصة ، فحيث وجدت هذه الشروط أبيح الفطر ، سواء كان لنفسه أو لغيره وإن لم يتعين ووجد غيره ، وإن فقد شرط أثم إثماً عظيماً ووجب نهيه وتعزيره لما ورد أن : “من أفطر يوماً من رمضان بغير عذر لم يغنه عنه صوم الدهر”.
Perihal orang yang kesehariannya bekerja agak berat, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan,
ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.
Artinya, “Ketika memasuki Ramadhan, pekerja berat seperti buruh tani yang membantu penggarap saat panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari. Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka. Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia boleh tidak membatalkannya.
Tiada perbedaan antara buruh, orang kaya, atau sekadar pekerja berat yang bersifat relawan. Jika mereka menemukan orang lain untuk menggantikan posisinya bekerja, lalu pekerjaan itu bisa dilakukannya pada malam hari, itu baik seperti dikatakan Syekh Syarqawi. Mereka boleh membatalkan puasa ketika pertama mereka tidak mungkin melakukan aktivitas pekerjaannya pada malam hari, kedua ketika pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya atau pendapatan bos yang mendanainya berbuka, terhenti.
Mereka ini bahkan diharuskan untuk membatalkan puasanya ketika di tengah puasa menemukan kesulitan tetapi tentu didasarkan pada dharurat. Namun bagi mereka yang memenuhi ketentuan untuk membatalkan puasa, tetapi melanjutkan puasanya, maka puasanya tetap sah karena keharamannya terletak di luar masalah itu. Tetapi kalau hanya sekadar sedikit pusing atau sakit ringan yang tidak mengkhawatirkan, maka tidak ada pengaruhnya dalam hukum ini,” (Lihat Syekh M Said Ba’asyin, Busyrol Karim, Darul Fikr, Beirut).
Perihal status wajib puasa bagi pekerja, kita juga mendapat keterangan lain dari Syeh M Nawawi Al-Bantani. Tetapi sebelum membahas pekerja, kita perlu membahas terlebih dahulu status wajib puasa orang sakit. Karena kondisi pekerja berat akan diukur dari keadaan orang sakit sejauhmana tingkat kesulitan yang dialami keduanya.
Keterangan ini bisa kita dapatkan dari Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in sebagai berikut.
فللمريض ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادۃ وكالمريض الحصادون والملاحون ونحوهم.
Artinya, “Ulama membagi tiga keadaan orang sakit. Pertama, kalau misalnya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa. Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi (tidak berfungsinya) salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya. Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah. Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in, Al-Ma’arif, Bandung, Tanpa Tahun, Halaman 189).
Dengan kata lain, bagaimanapun wajibnya mencari nafkah, kewajiban puasa Ramadhan perlu dihargai. Dalam artian, kita tetap memasang niat puasa di malam hari. Kalau memang di siang hari puasa terasa berat, kita yang berprofesi sebagai pekerja berat dibolehkan membatalkannya dan menggantinya di luar bulan puasa.
Uraian ulama tersebut menunjukkan betapa mulianya ibadah puasa Ramadhan kendati mereka yang udzur tetap mendapat keringanan untuk berbuka puasa.
Adapun hukumnya keluarga yang memberikan makanan kepada pekerja jalan (pekerja berat) itu hukumnya boleh.
Alasannya ialah: bahwa keluarga yang memberikan makanan kepada pekerja jalan (pekerja berat) itu dihukumi sebagai perantara dari dibolehkannya pekerja jalan (pekerja berat) itu untuk tidak berpuasa,sesuai dengan qoidah ushul fiqh:
للوسائل حكم المقاصد
Hukumnya perantara itu mengikuti kepada hukumnya tujuan dari perantara itu.
Wallahu a’lamu bisshowab..