PERTANYAAN :
Assalamualaikum ustadz..
Bagaimana hukumnya memakai sarung (celana) sampai mata kaki atau melebihi mata kaki?
JAWABAN :
Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..
Hukumnya memakai sarung(celana)sampai mata kaki atau melebihi mata kaki,itu ditafshil:
(a)Jika memakai sarung(celana)sampai mata kaki atau melebihi mata kaki itu karena sombong dan ujub,maka hukumnya haram.
(b)Jika memakai sarung(celana)sampai mata kaki atau melebihi mata kaki itu tidak karena sombong dan ujub,maka termasuk makruh.
INILAH HUKUM ISBAL
Salah satu maksiat badan adalah memanjangkan pakaian (sarung ataupun yang lainnya) yakni menurunkannya hingga ke bawah mata kaki dengan tujuan berbangga dan menyombongkan diri (al Fakhr).Hukum dari perbuatan ini adalah dosa besar kalau memang tujuannya adalah untuk menyombongkan diri, jika tidak dengan tujuan tersebut maka hukumnya adalah makruh. Jadi cara yang dianjurkan oleh syara’ adalah memendekkan sarung atau semacamnya sampai di bagian tengah betis.
Keterangan tersebut bisa dilihat dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawi. Yang dimaksud Sombong adalah orang-orang kaya yang suka menyeretkan pakaiannya,, karena pada waktu itu orang kaya dan miskin di bedakan, juga bisa kesombongan itu agar dianggap orang besar atau orang alim. Sebab para pembesar yahudi dulu ketika memakai jubah kelombrohan, bahkan sampai menyentuh tanah, dan ini sebagai ciri bahwa yang memakai jubah kelombroh itulah para pembesar yahudi dengan kesombongannya (takabbur).
Hukum yang telah dijelaskan ini adalah hasil dari pemaduan (Taufiq) dan penyatuan (Jam’) dari beberapa hadits tentang masalah ini. Pemaduan ini diambil dari hadits riwayat al Bukhari dan Muslim bahwa ketika Nabi rmengatakan :
“من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ” رواه البخاري ومسلم
Maknanya : “Barang siapa menarik bajunya (ke bawah mata kaki) karena sombong, Allah tidak akan merahmatinya kelak di hari kiamat”(H.R. al Bukhari dan Muslim)
Abu Bakar yang mendengar ini lalu bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, sarungku selalu turun kecuali kalau aku mengangkatnya dari waktu ke waktu ?” lalu Rasulullah SAW bersabda :
“إنك لست ممن يفعله خيلاء ” رواه البخاري ومسلم
Maknanya : “Sesungguhnya engkau bukan orang yang melakukan itu karena sombong” (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Jadi oleh karena Abu Bakar melakukan hal itu bukan karena sombong maka Nabi tidak mengingkarinya dan tidak menganggap perbuatannya sebagai perbuatan munkar yang diharamkan.
– (دليل الفالحين لطروق رياض الصالحين,جز ٣,صحيفۃ ٢٧٤-٢٧٦)
(باب صفۃ طول القميص والكم والاءزار)هو ما يستر اسافل البدن ويقابله الرداء(وطرف العمامۃ)اي بيان قدر الطول المشروع فيما ذكر(وتحريم اسبال)اي ارخاء(شيء من ذلك)اي المذكور من القميص وما بعده (علی سبيل الخيلاء)بضم المعجمۃ وفتح التحتيۃ:اي الكبر او الاءعجاب(وكراهته)تنزيها( من غير خيلاء)والمراد ان الاءرخاء زيادۃ علی المشروع في الطول اما مكروه واما حرام.
-٣-(وعن ابي هريرۃ رضي ﷲ عنه ان رسول ﷲصلی ﷲ عليه وسلم قال:لا ينظر ﷲ )اي نظر رضا(يوم القيامۃ)خص بالذكر لاءنه محل الرحمۃ المستمرۃ بخلاف رحمۃ الدنيا فاءنها قد تنقطع بما يتجدد من الحوادث,قاله في الفتح,او لاءنه يوم الجزاء والا ففاعل ذلك لا يرضی ﷲ بفعله دنيا واخری ولا ينظر الله اليه لذلك اصلا(الی من جر ازاره بطرا)بفتح الموحدۃ والمهملۃ هو بوزن الاءشر ومعناه:وهو كفر النعمۃ وعدم شكرها ,والمراد لازم ذلك اي عجبا وخيلاء فيكون ما قبله كالمفسر له (متفق عليه)
Wallahu a’lam.
WACANA SOAL ISBAL :
Wacana soal Isbal baru ada dan intensif dibahas di Indonesia setelah mulai berdatangannya kalangan lulusan universitas negeri Arab Saudi di Indonesia. Mereka yang asalnya bermadzhab Syafi’i lalu berubah bermadzhab Hanbali secara fikih dan secara akidah (ideologi) mereka membawa doktrin garis keras dan radikal dari Muhammad bin Abdul Wahab yang suka membid’ahkan, mensyirikkan dan mengkafirkan semua orang di luar dirinya. Mereka menyebut dirinya Salafi. Orang luar kelompok ini menyebut mereka Salafi Wahabi (Sawah) atau Wahabi saja. Lihat: Ciri Khas Gerakan Wahabi.
Salah satu “oleh-oleh” mereka adalah isbal. Dalam kamus Lisanul Arab disebutkan “Isbal adalah memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa haramnya isbal apabila ada niat sombong.
Dalam tinjaun madzhab Syafi’i, haramnya isbal apabila dengan tujuan menyombongkan diri. Begitu juga pendapat dari madzhab Hanbali. Adapun kalau tidak untuk menyombongkan diri, maka hukumnya boleh.
Pendapat ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan isbal (kecuali karena sombong) antara lain: Imam Nawawi, Zakariya Al-Anshari, Ar-Romli, Ibnu Hajar Al-Haitami, dll.
Pendapat dari madzhab Hanbali yang membolehkan isbal antara lain: Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, Ibnu Taimiyah dalam Syarhul Umdah, Ibnu Muflih dalam Al-Adab as-Syar’iyah, Mardawi dalam Al-Inshaf.
Ada juga ulama yang menganggap isbal itu haram secara mutlak, baik niat sombong atau tidak. Mereka antara lain Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Arabi, As-Syaukani, dll.
Semua pendapat yang berbeda tersebut disertai dengan argumen yang sama-sama kuat. Intinya, silahkan anda memilih sesuai dengan rasa nyaman anda. Dan tidak perlu memaki atau mengkritisi orang yang tidak sesuai dengan kita.
Yg jelas para ulama berbeda pndapat sebenrnya hanya mentarjih bukan menentang. Oleh karenya dlm fiqih madzhab ada sebutan mujtahid tarjih yg tugasnya member penilaian kuat dan lemahnya terhadap qoulnya imam Madzhab atau antara pendapatnya imam madzhab dgn ashab atau antara madzhab yg satu dgn madzhab yg lain, yg mnnyandang gelar mujtahid tarjih sprti Imam Nawawi dan Rofi’I dlm madzhab Syafi’i. Bahkan ada ulama yg mengaskan bahwa bebrapa pendapat tersebut sebagai aqwal dr imam Syafi’I sndiri atau ashab yg kmudian ditarjih. Saya tak panjang lebar lg bicara soal ini…
TAMBAHAN PENJELASAN TENTANG ISBAL :
وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء قال بن عبد البر مفهومه أن الجر لغير الخيلاء لا يلحقه الوعيد إلا أن جر القميص وغيره من الثياب مذموم على كل حال وقال النووي الإسبال تحت الكعبين للخيلاء فإن كان لغيرها فهو مكروه وهكذا نص الشافعي على الفرق بين الجر للخيلاء ولغير الخيلاء قال والمستحب أن يكون الإزار إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين وما نزل عن الكعبين ممنوع منع تحريم إن كان للخيلاء وإلا فمنع تنزيه لأن الأحاديث الواردة في الزجر عن الإسبال مطلقة فيجب تقييدها بالإسبال للخيلاء انتهى
Saya akan bahas secara singkat saja terkait qoul-qoul tersebut.
Jika diteleti dan jeli serta memahami ilmu lughah, maka akan mengetahui dan memahami bahwa sebenarnya Ibnu Hajar tidak mendukung keharaman isbal secara muthlaq juga tidak mngatakan makruh bagi yang berisbal dengan tanpa khuyala. Simak…!
Ibnu Hajar berkata :
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.” (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Menurut pendapat yg mengharamkan isbal scra muthlaq, maka kutipan Ibnu Hajar ini dijadikan hujjah bahwa beliau menguatkan pndpat yg mngharamkannya scra muthlaq.
Tentu saja jika kutipan Ibnu Hajar hanya sampai di situ, maka pembaca akan berkesimpulan yg sama.
Namun bila dicek kembali perkataan Ibnu Hajar seutuhnya, ternyata kalimat itu belum selesai. Adapun perkataan Ibnu Hajar selengkapnya sebagai berikut:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء
“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. NAMUN taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk dalil, bahwa hadis-hadis lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”.
Catatan :
1. Petikan secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau tidak menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal yang tanpa sombong tetap diharamkan oleh banyak hadis ”
2. Petikan secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal tanpa sombong tidak diharamkan ”.
Jika pendapat yg mengharamkan isbal berdalih dengan ucapan Ibnu Abdil Bar :
إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال
Maka ini sungguh bukan dalil pengharamannya secara muthlaq.
Kemudian jika ditinjau dari sisi ilmu lughah, maka akan kita ketahui bahwa Ibnu Hajar TIDAK mendukung pengharaman Isbal secra muthlaq dan juga boleh (tidak makruh) jika tanpa khuyala.
Perhatikan :
Pertama : Dilihat dari lafadz USTUDILLA adalah bentuk kata kerja majhul yaitu kata kerja pasif untuk waktu lampau. Pada dasarnya, shigah majhul (bentuk kata kerja pasif) digunakan karena beberapa maksud sbgaimana disebutkan dalam kitab-kitab Nahwu :
1. Lil iejaz (meringkas)
2. Lil ‘ilmi bih (telah diketahui pelakunya)
3. Lil jahli bih (tidak diketahui pelakunya)
4. Lil khauf ‘alaih (merasa khawatir)
5. Lil khauf minhu (merasa takut)
6. Lit tahqier (merendahkan)
7. Lit ta’zhiem (mengagungkan)
8. Lil ibahmi (menyamarkan pada pendengar)
Kedua : Kata ISTIDLAL dalam konteks ini harus dijelaskan secara istilahi bukan lughowi karena demikianlah yg digunakan oleh ahli ushul fiqih dan fiqih. Maka dengan demikian memiliki makna dua :
1. menegakkan dalil secara mutlak, baik dalil itu berupa nash, ijma’ maupun yang lainnya.
2. menegakkan dalil yang bukan berupa nash, ijma’, dan qiyas.
Ketiga : kata Istidlal isytiyaqnya dari asal dalla yadullu dan mngikuti wazan istaf’ala.
Dalam konteks ini berarti istidlal memiliki makna ittidzkhaz yaitu menjadikan. Artinya, segala sesuatu (selain Quran, sunah, ijma’, dan qiyas) yang dijadikan dalil. Adapun Quran, sunah, ijma’, dan qiyas ditegakkan sebagai dalil bukan sebagai produk/karya para mujtahid yang lahir dari ijtihad mereka. Adapun yang diakui sebagaiistidlaal adalah istishab dan lain-lain. Maka sesuatu yang dikatakan oleh setiap imam berdasarkan ketetapan ijtihadnya, seakan-akan ia menjadikannya sebagai dalil
Keempat : Menurut ilmu Balaghah dan Ma’ani, istidlal tsb masuk kategori :
1. Qiyas iqtirani dan qiyas istitsnai. Keduanya jenis qiyas mantiq. Contoh Qiyas iqtirani: arak itu memabukkan-Setiap yang memabukan haram. Natijahnya: Arak haram. Contoh qiyas istitsnai: Jika arak itu mubah maka dia tidak memabukkan. Namun karena dia memabukkan, natijahnya: maka dia tidak mubah.
2. Istiqra, yaitu menelusuri point-point parsial pada makna untuk menetapkan hukum yang lebih universal, secara qathi’y atau dzanniy. Dan bersifat tidak ditetapkan dengan dalil tertentu tapi dengan dalil-dalil yang berkaitan satu sama lain namun berbeda maksud. Selanjutnya dengan satu tujuan itu dapat menghasilkan satu cakupan hukum.
.
3. Istishhab, yaitu penetapan hukum suatu perkara di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).
Maka dengan penjelesan ini, jelas Ibnu Hajar tidak sedang mendukung pengharaman isbal secara muthlaq dan juga tidak memakruhkannya bagi yg berisbal tanpa khuyala. Hal ini banyak didukung oleh pendapat para ulama kibar (besar), berikut :
1. ويحرم وهو كبيره إسبال شيء من ثيابه ولو عمامة خيلاء في غير حرب فإن أسبل ثوبه لحاجة كستر ساق قبيح من غير خيلاء أبيح ما لم يرد التدليس على النساء ومثله قصيرة اتخذت رجلين من خشب فلم تعرف ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك
2. Imam Mawardi dalam kitab Al-Inshof juz 1 hal : 473 mngatakan :
ويكره زيادته إلى تحت كعبيه بلا حاجة على الصحيح من الروايتين وعنه ما تحتهما في النار وذكر الناظم من لم يخف خيلاء لم يكره والأولى: تركه هذا
“ Dan makruh melebihi sampai bawah mata kaki tanpa ada hajat mnurut pndapat yg shohih..si nadzim mnyebutkan jika tidak takut sombong maka TIDAK MAKRUH…”
3. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam hal ini bertaqlid dgn pendapat al-Qodhi yang membolehkannya jika tanpa khuyala :
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في: ((شرح العمدة)) (ص361-362) : (فأما إن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره
“ Ibnu Tamiyyah berkata dalam kitab Syrh Umdah “ Adapun jika tidk dngn khuyala akan tetapi karena ada alasan atau hajat atau tdk bermaksud sombong dan berhias dgn pakaian panjang dan lainya, maka tidaklah mengapa dan ini ikhtiyarnya al-Qodhi dan selainnya “.
4. Imam syafi’I sendiri memiliki pndapat lain yg dinukil oleh imam Nawawi dlm kitab majmu’nya berikut :
لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ، فأما السدل لغير الخيلاء في الصلاة فهو خفيف ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر رضى الله عنه وقال له : إن إزاري يسقط من أحد شقي . فقال لهلست منهم
“ Tidak boleh sadl atau isbal di dalm sholat maupun diluar sholat jika karena sombong. Adapun sadl bukan karena sombong di dalam sholat maka itu adalah khofif / ringan karena hadits Nabi Saw kepada Abu Bakar yang berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya pakaianku menyeret ke bumi “ Maka Nabi mnjawab “ Kamu bukan karena sombong “.
5. Hadits dari Ibnu Umar yg diriwayatkan dalam shohih MUSLIM berikut :
من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة فإن الله لا ينظر إليه يوم القيامة
“ Barangsiapa yang menyeret sarungnya, tidak berbuat itu selain sifat sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat “. (HR. Muslim).
Nash ini jelas bahwa isbal tidaklah haram kecuali karena melakukannya dgn sifat sombong.
Demikian penjelasan ini secara singkat… semoga bermanfaat..
Wallahu a’lamu bisshowab..
Pingback: S023. HUKUM ISBAL – IKATAN ALUMNI BATA-BATA (IKABA) – imamghazali64285837