PERTANYAAN :
Assalamu Alaikum…
Mohon pencerahannya perihal main saham, obligasi dan berbagai bentuk transaksi di BEI ( Bursa Efek Indonesia ). Mulai dari hukum dan solusinya jika perusahaan kita mau main disana. Terima kasih.
JAWABAN :
Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..
Saham adalah surat berharga yang menunjukan ikut terlibatnya pemegng surat itu akan saham pada sebuah perusahaan. dalam masalah ini terdapat khilaf namun saya cendrung memilih pendapat Syaikh wahbah Az-Zuhaili yang membolehkan dengan beberapa sarat :
1.perusahaan itu harus memproduk brng yang tidak dilarang sara’
2.harganya harus jelas, jika harga tidak jelas seperti nominal harga tunggu likuidasi dulu maka hal ini tidak boleh alias haram. keciali pendapat Imam ahmad, ibn taimiyah dan ibn qoyim dengan alasan qias ujroh misil atau mahar misil.
3.jelasnya si penjual saham pada majlis akad. jika tidak jelas maka tidak boleh
Lihat Fiqhul Islami wa adilatuhu hal jil 7 hal 5036 :
أما الأسهم: فهي حصص الشركاء في الشركات المساهمة، فيقسم رأس مال الشركة إلى أجزاء متساوية، يسمى كل منها سهما، والسهم: جزء من رأس مال الشركة المساهمة، وهو يمثل حق المساهم مقدرا بالنقود، لتحديد مسؤوليته ونصيبه في ربح الشركة أو خسارتها. فإذا ارتفعت أرباح الشركة ارتفع بالتالي ثمن السهم إذا أراد صاحبه بيعه، وإذا خسرت انخفض بالتالي سعره إذا أراد صاحبه بيعه.
ويجوز شرعا وقانونا بيع الأسهم، بسعر بات، أما إذا كان السعر مؤجلا لوقت التصفية فلا يجوز البيع لجهالة الثمن، لأن العلم بالثمن شرط لصحة البيع عند جماهير العلماء. وأجاز الإمام أحمد وابن تيمية وابن القيم البيع بما ينقطع عليه السعر، قياسا على القول بمهر المثل في الزواج، وأجر المثل في الإجارة، وثمن المثل في البيع، وعملا بالمتعارف، وبما يحقق مصالح الناس. أما بيع الأسهم على المكشوف، أي إذا كان البائع لا يملكها في أثناء التعاقد، فلا يجوز، للنهي الثابت شرعا عن بيع ما لا يملك الإنسان.
Kajian hukum jual beli saham adalah masalah ijtihadiyah,imam-imam madzhab serta mujtahid yang semasa mereka belum pernah membicarakan dalam kitab peninggalan mereka, dari beberapa referensi kitab-kitab ulama kontemporer, ana berkesimpulan bahwa hukum jual beli saham adalah boleh, apabila telah memenuhi syarat rukun jual-beli menurut fiqh islam :
– adanya ijab-qabul langsung(tnpa selang waktu)
– kedua belah pihak mempunyai wewenang penuh melakukan tindakan hukum
– saham merupakan benda yang memenuhi syarat untuk menjadi objek transaksi jual beli yaitu:
1. suci barangnya
2. dapat bermanfaat
3. dijual oleh pemiliknya sendiri
4. dapat diserah terimakan barangnya dan harganya secara nyata
5. barangnya sudah ada ditangan pemiliknya. [An-Nawawi juz II h 2-21].
Selain syarat di atas, ditambah dengan alasan-alasan :
a.ada kesepakatan atau kerelaan kedua belah pihak
b.saling menguntungkan
c.maslahah ‘ammah
d.bisnis saham termasuk akad mudlarabah.
Referensi:
Syalthouth hal.355, Al-Qordhawi juz I hal.251-522. Wallohu a’lam.
Jika yang dimaksudkan adalah perdagangan VALAS atau valuta asing atau mata uang asing, maka itu diberbolehkan jika berlangsung di pasar spot (pasar tunai) atau serah terima langsung. Contoh, pak Sadono Riyanto mempunyai uang seribu dalam nominasi dollar yang kemudian ditukar di money changer (tempat penukaran uang) kedalam mata uang rupiah di hargai dengan kurs beli Rp. 9500. Hal ini hukumnya boleh. Demikian karena ada hadits dalam Shahih Bukhary Kitab al-buyu’ bab bai’ al-zahab bi al-zahab :
وبيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم
Juallah emas dengan perak dan perak dengan emas sekehendak kalian.
Adapun jika perdagangan valas itu di pasar berjangka atau futures yang biasa dikenal sebagai trading forex maka ini haram hukumnya. Penjelasannya sebagai berikut :
Forex itu termasuk kedalam transaksi berjangka atau juga dikenal dengan sebutan futures contract. Dalam dunia keuangan merupakan suatu kontrak standard yang diperdagangkan pada bursa berjangka, untuk membeli ataupun menjual aset acuan dari instrumen keuangan pada suatu tanggal dimasa akan datang, dengan harga tertentu. Tanggal dimasa akan datang tersebut disebut dengan istilah tanggal penyerahan atau dikenal juga dengan istilah delivery date atau tanggal penyelesaian akhir (final settlement date). Harga tertentu disebut dengan istilah harga kontrak berjangka (futures price). Harga dari aset acuan pada saat tanggal penyerahan disebut dengan istilah harga penyelesaian (settlement price).
Intinya, forex ini adalah jual-beli dengan harga dan penyerahan di masa yang akan datang. Kontrak semacam ini haram hukumnya.
Dasarnya adalah hadits riwayat Imam Muslim :
نهى عن بيع حبل الحبلة
(Rasul melarang jual beli ‘hablul hablah’)
Imam nawawi ketika menjelaskan hadits ini berkata dalam syarh shahih muslim : Ulama’ berbeda pendapat mengenai arti pelarangan jual-beli hablul hablah. Mayoritas ulama’ berkata : hablul hablah adalah jual beli dengan harga tangguh sampai masa unta melahirkan dan anaknya melahirkan. Imam Muslim menyebutkan dalam hadits ini keterangan (tafsir) dari ibnu Umar, pendapat ini dipegang Imam Malik, Imam Syafi’i, dan para pengikut.
واختلف العلماء في المراد بالنهي عن بيع حبل الحبلة . فقال جماعة : هو البيع بثمن مؤجل إلى أن تلد الناقة ويلد ولدها . وقد ذكر مسلم في هذا الحديث هذا التفسير عن ابن عمر ، وبه قال مالك والشافعي ومن تابعهم
Dalam al-majmu’ syarah al-muhazzab, imam Nawawi menyatakan : Penjelasan: ulama’ bersepakat bahwasanya tidak boleh jual beli dengan harga (tangguh) sampai pada masa yang tidak diketahui.
الشرح : اتفقوا على أنه لا يجوز البيع بثمن إلى أجل مجهول
الشافعية – قالو ا يشترط لصحة البيع اثنان وعشرون شرطا……الى ان قال فاما شرائط الصيغة فهي [ 10 ] – ان لا يوءقت كلامه بوقت فاذ قال بعتك هذالبعير مدة شهر فانه لم يصح
واما شرائط العقود عليه فهي : [ 5 ] – ان يكون معلوما للعاقدين
Ana tulis yang tidak memenuhi syarat saja :
الفقه على مذاهب الاربعة. ص 245 / ج 2
الاول ربانسيئة وهو ان تكون الزيادة المذكورةفي مقابلة « تاءخيرالدفع ». ومثال ذلك مااذااشترى اردبا من القمح فى زمن الشتاءباردب ونصفه يدفع في زمن الصيف فان نصف الاردب الذي زاد في الثمن لم يقابله شيء من المبيع وانما يقابله من الاجل فقط ولذىسمي ربى النسيئةاي التاءخير
الشافعية – قالوا : ينقسم الربى الى ثلاثة اقسام :
1- ربافضل ومنه ربىالقرض كان يقرضه عشرين جنيها بشرط ان يكون له منفعة كان يشتري سلعة او يزوجه ابنته او ياءخذه منه فائدة مالية ونحو ذلك كما تقدم في البيع انفساد
2-رباالنسيئة وهو المذكور
3- ربااليد ومعناه انه يبيع المتجانسين كالقمح من غير تقابض
FA IDZAA IKHTALAFAT HAADZIHI AL-ASHNAAF FA BII’UU KAIFA SI’TUM IDZAA KAANA YADAN BIYAD. “Apabila jenisnya berbeda(emas-perak, atw rupiah-dolar), maka jual lah sekehendak kalian(tidak harus sebanding), apabila YADAN BIYAD(serah terima seketika dalam majlis/taqobud fauriyyun fi al-majlis)”. Hadis ini lebih rhorih jauh dari perbedaan pendapat dalam menentukan dasar keharaman Forex.
KESIMPULAN :
Pelaku Trading Forex dengan index sebagai objek transaksi seringkali membawakan dalil-dalil keabsahan foreign exchange (pertukaran mata uang) di pasar spot dengan uang komoditas (bukan angka index) sebagai objek transaksi. Ini adalah dua hal berbeda yang disamarkan agar dianggap sama. Foreing exchange currency atau dikenal money changing atau perdagangan valuta asing di pasar tunai, jelas boleh. Berbeda dengan pasar berjangka (futures), yang kemudian dikembangkan dalam bentuk index yang biasa disebut trading forex. Model terakhir ini haram hukumnya, karena mengandung unsur ketidakpastian / uncertainty / gharar. Wallohu a’lam.
Perbedaan antara saham dan obligasi antara lain sebagai berikut :
1. Pemegang saham ikut sama halnya dengan penyertaan modal (equity), yang berarti turut memiliki perusahaan yang mengeluarkan saham; sedangkan pemegang obligasi sama halnya ikut memberi pinjaman (debitor) kepada lembaga keuangan/ekonomi pemerintah atau swasta yang mengeluarkan obligasi;
2. Pemegang saham bisa untung dan bisa rugi (capital gain atau capital loss) tergantung pada keadaan perusahaannya; sedangkan pemegang obligasi selalu mendapatkan keuntungan berupa bunga yang sudah ditetapkan lebih dahulu prosentasenya (fixet interest);
3. Saham bisa dicairkan bila sewaktu-waktu dikehendaki melalui bursa efek, yang sudah tentu sedikit memerlukan waktu penyelesaian administrasinya; sedangkan obligasi baru bisa dicairkan setelah jatuh tempo yang sudah ditetapkan/diperjanjikan; (Dr. Wahbah al-Zuhaily :Juz II. H.772-774).
Dr. Yusuf Musa, Guru Besar Hukum Islam Universitas Cairo menerangkan pengertian “bursa” serta perbedaannya sebagai pasar modal dan pasar tradisional, bahwa kata “bursa” dalam bahasa arab “ البورصة “ yang dalam bahasa Perancisnya “La Bourse”, yang berarti “kantong uang”, kemudian dari kata ini diartikan sebagai “tempat mengadakan transaksi jual beli barang dagangan tertentu yang berharga”, misalnya valuta asing, saham, obligasi dan sebagainya. Adapun perbedaan antara bursa dan pasar tradisional, antara lain sebagai berikut :
1. Di pasar tradisional, penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan akad jual beli; sedangkan di bursa, yang berperan cukup broker atau perantara;
2. Di pasar tradisional, barang dagangannya didatangkan di hadapan kedua pihak penjual dan pembeli; sedangkan di bursa, barangnya masih disimpan di tempat yang aman, seperti di Bank, safety box, brandkas dan sebagainya;
3. Di pasar tradisional, terjadi akad jual-beli yang sudah sempurna, dalam pengertian, setelah terjadi akad, disusul dengan pembayaran tunai dan penyerahan barang (cash and carry); sedangkan di bursa, setelah berlangsung akad, tidak segera ada pembayaran tunai dan penyerahan barang, masih ada tenggang waktu yang terbatas yang relatif pendek berdasarkan kesepakatan untuk penyelesaian administrasi dan keperluan lainnya (Dr. Yusuf Musa : 163-165)
Hukum Jual Beli Saham dan Obligasi
Mekanisme jual beli saham dan obligasi sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan bahwa jual beli saham dan obligasi adalah merupakan akad/transaksi kontemporer “معاملة مالية معاصرة ” yang baru muncul pada XVI dan belum dibahas dalam fiqih-fiqih klasik. Imam-imam madzhab seperti Abu Hanifah (wafat 150 H/767 M), Malik (wafat 179H/795 M), Syafi’I (wafat 204 H/819 M), dan Ahmad bin Hambal (wafat 241H/855M) serta para mujtahid lain yang semasa dengan mereka belum pernah membicarakannya dalam kitab-kitab peninggalan mereka.
Secara eksplisit nash Al-Qur-an dan As-Sunnah juga tidak pernah membicarakannya scara sharekh, karena itu masalah kajian hukum jual beli saham dan obligasi adalah termasuk masalah ijtihadiyah yang benar-benar baru.
Beberapa pandangan ulama’ kontemporer
Karena kompleksnya masalah saham dan obligasi, Dr. Muhammad Yusuf Musa, menganjurkan seyogiyanya masalah saham dan obligasi ini dibahas oleh “ahlu al-hilli wa al-addli” secara sinergi dan simultan dengan melibatkan berbagai ulama’ dengan berlatar belakang di berbagai macam disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahannya, dalam hal ini adalah ulama’ fiqih, ahli hukum wadl’i/hukum umum serta para ahli ekonomi untuk bersama membahasnya sampai tuntas untuk menjadi pegangan umat.
Di kalangan ulama’ modern abad XX ada beberapa ulama yang telah terpanggil jiwanya untuk membahasnya secara konprenhensip untuk melakukan ijtihad/pengkajian terhadap masalah ini antara lain :
1. Dr. Mahmud Syalthouth mantan Rektor Universitas al-Azhar Mesir, berpendapat bahwa jual-beli saham itu dibolehkan oleh Islam sebagai akad “mudharabah”, karena pemilik saham ikut menangung untung dan rugi (profit and loss sharing); sedangkan obligasi diharamkan oleh Islam, karena didalamnya mengandung praktek riba berupa fixed return/interest yang bersifat permanent/tetap. (Syalthouth:355);
2. Dr. Yusuf al-Qordhawi dalam pembahasannya menjelaskan, bahwa menerbitkan saham, memiliki dan menjualbelikan serta melakukan kegiatan bisnis saham adalah halal, tidak dilarang dalam Islam, selama perusahaan yang didukung oleh dana saham tersebut tidak melakukan kegiatan bisnis yang terlarang, misalnya membuat minuman keras atau melakukan praktek ribawi. Adapun obligasi hukumnya dilarang, karena mengandung praktek riba (Dr. al-Qordhawi: Juz I h. 251-522);
3. Dr. Wahbah Az-Zuhaily menegaskan, bahwa melakukan kegiatan bisnis saham, hukumnya halal menurut agama, sedangkan bisnis obligasi itu haram, karena padanya mengandung praktek ribawi berupa bunga. (Dr. Wahbah Azzuhaily : Juz II h. 774);
4. Syaikh Abdurrahman Isa berpendapat, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan oleh agama, termasuk saham-saham yang dipergunakan untuk mendukung perbankan, sekalipun sebagian besar kegiatan perbankan itu untuk perkeriditan dengan sistem bunga, karena keberadaan bank dewasa ini dalam tatanan ekonomi negara modern sebagai lembaga yang harus ada dan bersifat dlarurat, oleh karena itu saham untuk mendukung perbankan adalah halal.
Adapun jual-beli obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak menginfestasikan dalam pembangunan proyek-proyek produktif, tetapi dimanfaatkan dana yang terkumpul untuk kegiatan ribawi (kredit dengan sistem bunga) maka tidak boleh (haram) menurut agama, kerena pemegang obligasi statusnya sama dengan pemberi kredit dengan bunga yang sudah ditentukan. Sebaliknya jual beli obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang produktif ; pertanian, perkebunan, industri dan lain sebagainya, maka diperbolehkan agama, karena persentase keuntungan yang akan diterima oleh pemilik obligasi itu adalah hasil mudlarabah, yakni bagi hasil antara pemilik modal (obligor) dengan pelaksana usaha yang dalam hal ini adalah pemerintah (Syaikh Isa Abdurrahman 70-73);
Dari pandangan dan pendapat empat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka semua sepakat memperbolehkan/menghalalkan bisnis saham sebagai akad mudlarabah (Syalthouth), sekalipun dana dari saham tersebut dipergunakan untuk mendirikan bank yang masih controversial di kalangan ulama mulai pendapat yang mengharamkan, syubhat sampai yang menghalalkan (Syaikh Isa, asal tidak digunakan usaha yang benar-benar haram, seperti ,mendirikan pabrik minuman keras (al-Qordhawi). Adapun sikap meraka terhadap hukum obligasi, sepakat mengatakan haram, karena mengandung praktek riba berupa fixed return. Hanya saja Syaikh Isa masih membolehkan obligasi untuk proyek-proyek pemerintah dalam usaha yang produktif dan bermanfaat serta bersifat dlaruri bagi kepentingan masyarakat, seperti proyek irigasi, air bersih (PDAM) dan dapat dikategorikan sebagai akad mudlarabah juga.
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN-MUI)
Saham dan obligasi bagian dari bentuk-bentuk investasi Reksadana. Semua usaha Reksadana hakikatnya dapat disyari’ahkan, demikian juga halnya dengan obligasi yang lebih kental dengan system riba karena mematok bunga tetap tidak ada profit dan loss sharing.
Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwa-fatwanya secara tegas menetapkan bahwa dalam penentuan dan pembagian hasil investasi harus bersih dari unsur non-halal, mengingat bahwa kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram (pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan.
Kaidah ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa harta atau uang dalam persepektif fiqh bukanlah benda haram karena zatnya (‘ainiyah) tetapi karena cara memperolehnya (kasbiyyah). Oleh karena itu, bila harta atau uang yang halal tercampur dengan yang haram sedangkan bagian yang haram dapat diidentifikasi dan dikeluarkan, maka harta atau uang yang tersisa adalah halal hukumnya.
Pemikiran tersebut diyakini sebagai jalan tengah yang paling cocok untuk diaplikasikan di Indonesia. Selama ini dua pandangan mengenai masalah ini, ada yang mengharamkan mutlak dan ada yang membolehkan mutlak, sehingga manajer investasi harus melakukan pemisahan bagian pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari pendapatan yang diyakini halal (tafriq al-halal minal haram).
Penghasilan yang dapat diterima oleh Reksadana syariah adalah dari :
1) Saham berupa deviden yang merupakan bagi hasil keuntungan yang dibagikan dari laba yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai atau dalam bentuk saham; rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten; capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dalam jual beli saham di pasar modal.
2) Obligasi yang sesuai syariah;
3) Surat berharga dari pasar uang yang sesuai dengan syariah;
4) Bagi hasil deposito dari bank-bank syariah. Sedangkan hasil investasi yang harus dipisahkan yang berasal dari non halal akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Fatwa tersebut telah diadopsi dalam Peraturan Peraturan Bapepam Nomor IX.A.13 Tahun 2009, di mana dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa efek atau instrumen (surat berharga ) yang tidak memenuhi prinsip-prinsip syariah dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari nilai pasar wajar pada saat masih memenuhi prinsip-prinsip syariah, dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana dan diperlakukan sebagai dana sosial.
Wallahu a’lamu bisshowab..