
Kategori: Uncategorized


Assalamualaikum
Sail: Ust. Hamid, Aceh
Deskripsi Masalah:
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa saja mengalami sakit, seperti flu atau batuk, yang menyebabkan produksi dahak berlebih. Dalam ibadah, terdapat ketentuan terkait menelan dahak, khususnya dalam salat dan puasa. Beberapa pendapat menyatakan bahwa menelan dahak dapat membatalkan ibadah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan-batasannya secara jelas.
Pertanyaan:
- Apakah benar menelan dahak dapat membatalkan salat dan puasa ?
- Sampai sejauh mana batasan yang menyebabkan batalnya ibadah akibat menelan dahak?
- Apakah ada pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa menelan dahak tidak membatalkan salat?
Jawaban:
- Benar menelan dahak dapat membatalkan salat dan puasa jika dahak tersebut telah keluar dari batasan zhâhir (luar) lalu ditelan kembali ke dalam.
- Mengenai batasan zhâhir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama: Imam ar-Rafi’i menetapkannya pada makhraj huruf khâ’ (ujung tenggorokan), sedangkan Imam an-Nawawi menetapkannya pada makhraj huruf hâ’ (tengah tenggorokan). Oleh karena itu, jika dahak telah melewati batasan tersebut dan kemudian ditelan kembali, maka hal itu dapat membatalkan salat atau puasa.
- Tidak ada pendapat ulama yang membolehkan menelan dahak dalam kondisi tersebut.
Referensi:
نهاية الزين.ص ١٨٧
وَيُفْطِرُ عَامِدًا عَالِمًا مُخْتَارًا بِجِمَاعِ وَاسْتِمْنَاءِ وَاسْتِقَاءَةِ لَا بِقَلْعِ نُخَامَةٍ، وَلَوْ نَزَلَتْ مِنْ دِمَاغِهِ أَوْ خَرَجَتْ مِنْ جَوْفِهِ وَوَصَلَتْ إِلَى حَظِّ الظَّاهِرِ وَجَبَ قَلْعُهَا وَمَجُّهَا، وَيُعْفَى عَمَّا أَصَابَتْهُ أَوْ كَانَتْ نَجِسَةً فَإِنْ كَانَتْ تَرْكُهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ فَرَجَعَتْ إِلَى حَظِّ الْبَاطِنِ أَفْطَرَ لِتَقْصِيرِهِ وَلَوْ كَانَ فِي فَرْضِ صَلَاةٍ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَجِّهَا إِلَّا بِظُهُورِ حَرْفَيْنِ فَأَكْثَرَ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ، بَلْ يَنْبَغِي ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِمَصْلَحَتِهَا كَالتَّنَحْنُحِ لِتَعَذُّرِ الْقِرَاءَةِ الْوَاجِبَةِ. وَحَدُّ الظَّاهِرِ هُوَ مَخْرَجُ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ وَالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ عِنْدَ النَّوَوِيِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ، فَإِنْ لَمْ تَصِلْ إِلَى حَظِّ الظَّاهِرِ الْمَذْكُورِ، بِأَنْ كَانَتْ دَاخِلًا عَمَّا ذُكِرَ أَوْ حَصَلَتْ فِي حَظِّ الظَّاهِرِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَلْعِهَا وَمَجِّهَا لَمْ يَضُرَّ. اهـ.
Referensi:
(Nihayah az-Zain, 187)
“Seseorang batal puasanya jika melakukannya dengan sengaja, mengetahui, dan atas pilihannya sendiri, yaitu dengan berhubungan badan, mengeluarkan air mani, atau muntah, bukan dengan mengeluarkan dahak. Jika dahak turun dari otaknya atau keluar dari tenggorokannya dan mencapai batas zahir, maka wajib untuk mengeluarkannya dan memuntahkannya, dan dimaafkan jika ada yang mengenainya atau jika najis. Jika membiarkannya padahal mampu melakukannya, lalu kembali ke batas batin, maka batal puasanya karena kelalaiannya. Jika dia sedang dalam salat wajib dan tidak mampu memuntahkannya kecuali dengan mengeluarkan dua huruf atau lebih, maka salatnya tidak batal, bahkan hal itu dianjurkan untuk menjaga kemaslahatan salatnya, seperti berdeham karena kesulitan membaca bacaan wajib. Batas zahir adalah tempat keluarnya huruf kha’ yang bertitik menurut Imam ar-Rafii, dan huruf ha’ yang tidak bertitik menurut Imam an-Nawawi, dan inilah yang dipegang sebagai pendapat yang kuat. Jika dahak tidak mencapai batas zahir yang disebutkan, yaitu jika berada di dalam dari apa yang disebutkan atau terjadi di batas zahir namun tidak mampu mengeluarkannya dan memuntahkannya, maka tidak membahayakan. Selesai.”
كفاية الأخيار الجزء الأول صحـ : ٢٠٥ مكتبة دار إحياء الكتب
وَلَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ رَأْسِهِ وَصَارَتْ فَوْقَ الْحُلْقُوْمِ نُظِرَ إِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِخْرَاجِهَا ثُمَّ نَزَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ لَمْ يُفْطِرْ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِخْرَاجِهَا وَتَرَكَهَا حَتَّى نَزَلَتْ بِنَفْسِهَا أَفْطَرَ أَيْضًا لِتَقْصِيْرِهِ اهـ
Kifâyah al-Akhyâr, Jilid 1, Halaman 205 (Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub):
“Jika dahak turun dari kepalanya dan berada di atas tenggorokan, maka ada perincian: Jika ia tidak mampu mengeluarkannya, lalu dahak itu turun ke dalam perut, maka puasanya tidak batal. Namun, jika ia mampu mengeluarkannya tetapi membiarkannya hingga dahak itu turun dengan sendirinya, maka ia tetap batal karena kelalaiannya.”
كتاب (بجيرمي على شرح المنهاج ، جز ٢ ، صحيفة ٧٢) (لَا) تَرْكُ (قَلْعِ نُخَامَةٍ وَمَجِّهَا) فَلَا يَجِبُ فَلَا يُفْطِرُ بِهِمَا؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ إلَيْهِمَا مِمَّا تَتَكَرَّرُ (وَلَوْ نَزَلَتْ) مِنْ دِمَاغِهِ وَحَصَلَتْ (فِي حَدِّ ظَاهِرِ فَمٍ فَجَرَتْ) إلَى الْجَوْفِ (بِنَفْسِهَا وَقَدَرَ عَلَى مَجِّهَا أَفْطَرَ) لِتَقْصِيرِهِ بِخِلَافِ مَا إذَا عَجَزَ عَنْهُ
Kitab Bujairimi ‘ala Syarh al-Minhâj, Jilid 2, Halaman 72:
“Tidak wajib mengeluarkan dahak dan meludahkannya, sehingga tidak membatalkan puasa. Sebab, kebutuhan untuk itu sering terjadi. Namun, jika dahak turun dari otaknya dan sampai pada batas luar mulut, lalu mengalir ke dalam perut dengan sendirinya sementara ia mampu mengeluarkannya, maka puasanya batal karena kelalaiannya. Berbeda halnya jika ia tidak mampu mengeluarkannya.” Wallahu a’lam

Deskripsi:
Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu kewajiban istri adalah menaati suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf, termasuk tinggal di rumah yang telah disediakan suami sesuai dengan kemampuannya. Namun, bagaimana hukumnya jika seorang istri menolak diajak pulang atau boyongan ke rumah suaminya?
Apakah ini termasuk dalam kategori nusyuz?
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Dalam hukum Islam, seorang istri yang menolak tinggal di rumah suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syariat dapat dikategorikan sebagai nusyuz (pembangkangan terhadap suami). Sebab, salah satu kewajiban istri adalah tinggal bersama suami di tempat yang layak sesuai kemampuan suami, sebagaimana disebut dalam kitab-kitab fiqih.
Dalil dan Ibarat Kitab
Ibn Qudamah dalam Al-Mughni (Juz 11, Hal. 410) menyatakan:
١٣٩٨ – مسألة؛ قال: (والناشز لا نفقة لها، فإن كان لها منه ولد, أعطاها نفقة ولدها)
معنى النشوز معصيتها لزوجها فيما له عليها، مما أوجبه له (١) النكاح (٢)، وأصله من الارتفاع، مأخوذ من النشز، وهو المكان المرتفع، فكأن الناشز ارتفعت عن طاعة زوجها، فسميت ناشزا. فمتى امتنعت من فراشه، أو خرجت من منزله بغير إذنه، أو امتنعت من الانتقال معه إلى مسكن مثلها، أو من السفر معه، فلا نفقة لها ولا سكنى، في قول عامة أهل العلم؛ منهم الشعبى، وحماد، ومالك، والأوزاعى، والشافعي، وأصحاب الرأى، وأبو ثور. وقال الحكم: لها النفقة. وقال ابن المنذر: لا أعلم أحدا خالف هؤلاء إلا الحكم، ولعله يحتج بأن نشوزها لا يسقط مهرها، فكذلك نفقتها. ولنا، أن النفقة إنما تجب في مقابلة تمكينها، بدليل أنها لا تجب قبل تسليمها إليه، وإذا منعها النفقة كان لها (٣) منعه التمكين، فإذا منعته التمكين كان له منعها من النفقة، كما قبل الدخول. وتخالف المهر؛ فإنه يجب بمجرد العقد، ولذلك لو مات أحدهما قبل الدخول وجب المهر دون النفقة. فأما إذا كان له (٤) منها ولد، فعليه نفقة ولده؛ لأنها واجبة له، فلا يسقط حقه بمعصيتها، كالكبير، وعليه أن يعطيها إياها إذا كانت هي الحاضنة (٥) له، أو المرضعة له، وكذلك أجر رضاعها، يلزمه تسليمه (٦) إليها؛ لأنه أجر ملكته عليه بالإرضاع (٧)، لا في مقابلة الاستمتاع، فلا يزول بزواله.
فصل: وإذا سقطت نفقة المرأة بنشوزها، فعادت عن النشوز والزوج حاضر، عادت نفقتها؛ لزوال المسقط لها، ووجود التمكين المقتضى لها. وإن كان غائبا، لم تعد نفقتها حتى يعود التسليم بحضوره، أو بحضور (٨) وكيله، أو حكم الحاكم بالوجوب إذا مضى زمن الإمكان. ولو ارتدت امرأته، سقطت نفقتها، فإن عادت إلى الإسلام، عادت نفقتها بمجرد عودها؛ لأن المرتدة إنما سقطت نفقتها بخروجها (٩) عن الإسلام، فإذا عادت إليه، زال المعنى المسقط، فعادت النفقة،
(1398 – Masalah)
Penulis berkata: (“Wanita yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah. Namun, jika ia memiliki anak dari suaminya, maka suaminya wajib memberikan nafkah anaknya.”)
Makna nusyuz adalah durhaka seorang istri kepada suaminya dalam hal yang menjadi hak suami atasnya, yaitu dalam hal-hal yang diwajibkan oleh pernikahan. Secara asal, kata nusyuz berasal dari makna “meninggi”, yang diambil dari kata nasyz, yaitu tempat yang tinggi. Maka, istri yang nusyuz seakan-akan meninggikan dirinya dari ketaatan kepada suaminya, sehingga disebut nasiyah (wanita yang nusyuz).
Maka, jika seorang istri menolak berhubungan dengan suaminya, keluar dari rumahnya tanpa izin, menolak pindah ke tempat tinggal yang sepadan dengannya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya: Asy-Sya’bi, Hammad, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, para ulama madzhab Hanafi, dan Abu Tsaur.
Namun, Al-Hakam berpendapat bahwa istri yang nusyuz tetap berhak mendapatkan nafkah. Ibnu Mundzir berkata: “Saya tidak mengetahui adanya ulama yang menyelisihi pendapat mayoritas kecuali Al-Hakam. Mungkin dalilnya adalah bahwa nusyuz tidak menggugurkan mahar, maka demikian pula nafkahnya.”
Sedangkan dalil kami adalah bahwa nafkah diwajibkan sebagai imbalan atas kesediaan istri memberikan hak suami (dalam hubungan pernikahan). Hal ini dibuktikan dengan tidak diwajibkannya nafkah sebelum istri menyerahkan dirinya kepada suami. Jika suami menahan nafkahnya, maka istri berhak menahan dirinya dari suami. Demikian pula, jika istri menolak memberikan hak suami, maka suami pun berhak menahan nafkahnya, sebagaimana sebelum terjadinya hubungan suami-istri.
Adapun mahar, maka hukumnya berbeda, karena mahar menjadi hak istri sejak akad nikah berlangsung. Oleh karena itu, jika salah satu dari suami atau istri meninggal sebelum terjadinya hubungan suami-istri, mahar tetap wajib diberikan, sedangkan nafkah tidak demikian.
Namun, apabila istri yang nusyuz memiliki anak dari suaminya, maka suaminya tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya, karena nafkah anak adalah kewajiban yang tidak bisa gugur dengan sebab maksiat ibu. Hal ini sebagaimana nafkah untuk anak yang sudah dewasa, yang tetap wajib diberikan walaupun ibunya dalam keadaan nusyuz. Jika istri menjadi pengasuh atau menyusui anak tersebut, maka suami tetap wajib menyerahkan nafkah anak kepadanya serta membayar upah menyusuinya. Sebab, upah tersebut merupakan hak yang diperoleh istri karena pekerjaannya sebagai penyusu, bukan sebagai imbalan atas hubungan suami-istri, sehingga tidak gugur dengan hilangnya hubungan tersebut.
Fasal:
Apabila nafkah istri gugur karena nusyuz, lalu ia kembali taat kepada suaminya dan suaminya hadir, maka nafkahnya kembali wajib diberikan, karena sebab yang menggugurkannya telah hilang, dan kesediaan istri untuk taat telah kembali.
Namun, jika suami sedang tidak ada, maka nafkah istri tidak kembali wajib sampai ia benar-benar menyerahkan dirinya kepada suami setelah suaminya kembali, atau dengan kehadiran wakil suami, atau dengan keputusan hakim yang menetapkan kewajiban nafkah jika telah berlalu waktu yang memungkinkan penyerahan diri.
Jika seorang istri murtad, maka nafkahnya gugur. Namun, jika ia kembali masuk Islam, maka nafkahnya kembali wajib sejak saat ia kembali, karena gugurnya nafkah disebabkan oleh keluarnya ia dari Islam. Maka, ketika ia kembali masuk Islam, sebab yang menggugurkan nafkah telah hilang, sehingga haknya atas nafkah kembali.
Al-Khatib As-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj (Juz 4, Hal. 116) menjelaskan:
[مغني المحتاج
(وله دعاؤهن) إلى مسكنه وعليهن الإجابة؛ لأن ذلك حق له، ومن امتنعت منهن فهي ناشزة أي حيث لا عذر، فإن كان لعذر كمرض ونحوه عذرت وبقيت على حقها، قاله الماوردي. وقال ابن كج: إن منعها مرض عليه أن يبعث إليها من يحملها إليه وجمع بينهما بحمل الأول على المرض المعجوز معه عن الركوب. والثاني على غيره، واستثنى الماوردي ما إذا كانت ذات قدر وخفر ولم تعتد البروز فلا تلزمها إجابته، وعليه أن يقسم لها في بيتها. قال الأذرعي: وهو حسن وإن استغربه الروياني. وأما المطر والوحل الشديدان ونحوها، فإن بعث لها مركوبا ووقاية من المطر فلا عذر، وإلا فينبغي أن يكون عذرا، ويختلف هذا باختلاف الناس (والأصح تحريم ذهابه إلى بعض) من نسائه (ودعاء بعض) منهن لمسكنه لما فيه من الوحشة، ولما في تفضيل بعضهن على بعض من ترك العدل. والثاني: لا كما له المسافرة ببعض دون بعض، وهذا ما نص عليه في الإملاء، وقطع به العراقيون وغيرهم.
وأجاب من قال بالأول. قال الأذرعي: وهم الأقلون عن القياس على المسافرة بأنها تكون بالقرعة، وهي تدفع الوحشة وإن أقرع هنا. قال الرافعي: وجب أن يجوز، وعبر في الروضة بقوله: ينبغي القطع بالجواز أن يحمل النص على ما إذا كان ثم عذر كما نبه على ذلك بقوله (إلا لغرض كقرب مسكن من مضى إليها) دون الأخرى (أو خوف عليها) لكونها جميلة مثلا دون غيرها لكونها دميمة أو حصل تراض أو قرعة كما مر فلا يحرم عليه ما ذكر، ويلزم من دعاها الإجابة، فإن أبت بطل حقها.
(ويحرم أن يقيم بمسكن واحدة) منهن (ويدعوهن) أي من بقي منهن (إليه) لأن إتيان بيت الضرة شاق على النفس، ولا يلزمهن الإجابة، فإن أجبن فلصاحبة البيت المنع، وإن كان البيت ملك الزوج؛ لأن حق السكنى فيه لها كما قاله ابن داود.
تنبيه: التعبير بالإقامة يقتضي الدوام، وبحث الزركشي أن الحكم كذلك ولو مكث أياما لا على نية الإقامة وهو ظاهر، ولو رضين كلهن بذلك جاز، ولو قال: إلا برضاهن كالتي بعدها لكان أولى.
(و) يحرم (أن يجمع) ولو ليلة واحدة (بين ضرتين) فأكثر (في مسكن) أي بيت واحد لما بينهما من التباغض (إلا برضاهما) فيجوز الجمع بينهما؛ لأن الحق لهما، ولو رجعا بعد الرضا كان لهما ذلك.
تنبيه: التعبير بالمسكن يقتضي أنه لا يلزمه في السفر إفراد كل واحدة بخيمة ومرافق، وهو ظاهر لما في إيجاب ذلك من الضرر بالزوج، وضرر الزوجات لا يتأبد فيحتمل، وإذا رضيتا بالبيت الواحد. قال الشيخان: كره أن يطأ إحداهما بحضرة الأخرى؛ لأنه بعيد عن وله أن يرتب القسم على ليلة ويوم قبلها أو بعدها.
والأصل الليل، والنهار تبع، فإن عمل ليلا وسكن نهارا كحارس فعكسه.
وليس للأول دخول في نوبة على أخرى ليلا إلا لضرورة كمرضها المخوف،
Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan:
Suami Ia juga berhak memanggil mereka ke tempat tinggalnya, dan mereka wajib memenuhi panggilannya, kecuali jika ada uzur seperti sakit. Jika seorang istri menolak tanpa uzur, maka ia dianggap nusyuz (durhaka). Jika ada uzur seperti sakit, maka ia diberi keringanan dan tetap berhak atas gilirannya.
Imam al-Mawardi menyebutkan bahwa jika seorang istri sakit hingga tidak mampu berpindah ke tempat suaminya, maka suami harus mengutus seseorang untuk membawanya ke sana. Pendapat ini dibedakan oleh Ibn Kij antara sakit yang membuat seseorang benar-benar tidak mampu berpindah dan sakit ringan yang masih memungkinkan perpindahan.
Adapun jika seorang istri adalah wanita yang terhormat dan terbiasa menjaga diri dari keluar rumah, maka ia tidak diwajibkan untuk memenuhi panggilan suami ke rumahnya. Sebagai gantinya, suami wajib memberikan gilirannya di rumah istri tersebut. Pendapat ini dianggap baik oleh al-Adzra’i meskipun dinilai asing oleh al-Ruyani.
Jika ada hujan lebat atau jalanan berlumpur, maka jika suami menyediakan kendaraan dan pelindung dari hujan, maka tidak ada uzur untuk tidak datang. Namun, jika tidak ada fasilitas tersebut, maka hal itu bisa menjadi alasan yang dibenarkan, tergantung pada kondisi masing-masing orang.
Pendapat yang lebih shahih menyatakan bahwa haram bagi suami untuk hanya mendatangi sebagian istri sementara yang lain hanya dipanggil ke rumahnya. Hal ini karena dapat menimbulkan rasa sepi bagi istri yang tidak didatangi serta menimbulkan ketidakadilan. Pendapat kedua menyatakan bahwa hal ini boleh dilakukan, sebagaimana bolehnya suami bepergian dengan sebagian istrinya tanpa yang lain.
Jika ada alasan tertentu, seperti rumah istri yang dikunjungi lebih dekat dibanding yang lain, atau karena kekhawatiran terhadap keselamatan istri, seperti jika ia lebih cantik dibanding yang lain sehingga berisiko mendapat gangguan, atau jika ada kerelaan dan diundi melalui undian, maka tidak diharamkan. Istri yang dipanggil wajib datang, dan jika ia menolak, maka haknya atas giliran suami gugur.
Haram bagi suami untuk tinggal di rumah salah satu istrinya dan hanya memanggil yang lain untuk datang kepadanya, karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi istri yang lain. Mereka tidak wajib memenuhi panggilannya, dan jika mereka tetap datang, maka istri pemilik rumah berhak menolak kehadiran mereka, meskipun rumah itu milik suami, karena hak tinggal tetap milik istri yang menjadi penghuninya.
Suatu catatan penting adalah bahwa istilah “tinggal” menunjukkan kondisi menetap dalam waktu lama. Namun, menurut al-Zarkasyi, hukum ini tetap berlaku meskipun suami hanya tinggal beberapa hari tanpa niat menetap. Jika semua istri rela, maka hal ini diperbolehkan.
Haram bagi suami untuk mengumpulkan dua istri atau lebih dalam satu tempat tinggal, bahkan untuk satu malam, karena kebencian yang bisa timbul di antara mereka, kecuali jika mereka rela. Jika mereka telah rela tetapi kemudian berubah pikiran, maka mereka berhak untuk menarik kembali persetujuannya.
Dalam perjalanan, tidak wajib bagi suami untuk menyediakan tenda dan fasilitas terpisah bagi masing-masing istri, karena hal itu menyulitkan. Namun, jika mereka rela berbagi tempat tinggal, maka hal ini diperbolehkan.
Para ulama sepakat bahwa makruh hukumnya jika suami berhubungan intim dengan salah satu istri di hadapan istri yang lain, karena hal itu bertentangan dengan adab dan kehormatan.
Suami boleh mengatur pembagian waktu dengan istri-istrinya, baik berdasarkan malam hari maupun siang hari sebelumnya atau sesudahnya. Namun, hukum asalnya adalah malam hari, sedangkan siang hari hanyalah konsekuensinya. Jika suami bekerja malam hari dan beristirahat di siang hari, maka aturan ini bisa dibalik.
Suami tidak boleh memasuki rumah istri lain di luar giliran tanpa alasan darurat, seperti jika istri tersebut sakit parah.
Kesimpulan
Jika istri menolak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang syar’i (misalnya, rumah suami tidak layak, ada kekerasan, atau ada bahaya lainnya), maka ia dianggap nusyuz dan kehilangan hak nafkahnya. Namun, jika ada uzur yang dapat diterima menurut syariat, maka suami tidak boleh memaksanya.
Wallahu a’lam.

Assalamualaikum
Latar Belakang:
Ziarah kubur merupakan salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam untuk mengingatkan manusia akan kematian serta mendoakan orang-orang yang telah meninggal. Dalam praktiknya, masyarakat memiliki kebiasaan berziarah ke makam orang tua, kerabat, serta para wali atau auliya’. Namun, muncul perbedaan pandangan di tengah masyarakat terkait keutamaan antara ziarah ke makam auliya’ atau kedua orang tua. Ada pula yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh berziarah ke makam auliya’ jika belum berziarah ke makam orang tuanya.
Pertanyaan
- Bagaimana hukum ziarah ke Maqbaroh Aulia’ dan kedua orang tua?
- Adakah yg lebih utama di antara keduanya?.
- Ada dua persepsi di masyarakat diantara mereka berkata tidak usah ziarah ke maqbarah Aulia’ jika tidak ziarah kemaqbaroh kedua orang tuanya tolong hal ini di jawab secara syar’ie!
Waalaikum salam
Jawaban
- Hukum Ziarah ke Maqbarah Auliya’ dan Kedua Orang Tua
Ziarah kubur, baik ke makam para wali (Auliya’) maupun ke makam kedua orang tua, hukumnya sunnah berdasarkan banyak dalil dari hadis Nabi ﷺ. Di antaranya:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah, karena ziarah itu mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim No. 977)
Referensi:
(الدخيرة الثمينة،صحيفة ٦٤)
وقد تواتر ان الشافعي زار الليث بن سعد واثنى خيرا وقراء عنده ختمة،وقال ارجو ان تدوم فكان الاءمر كذالك
( kitab Addakhiirotutstsamiinah, halaman 64 ).
Dan sungguh di riwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak ulama’) sesungguhnya imam Syafi’i itu berziaroh kepada kuburan gurunya imam Syafi’i yang bernama Laits ibnu Sa’din, dan imam Syafi’i itu memuji kebaikannya gurunya,dan imam Syafi’i membaca di samping kuburan gurunya itu satu kali Khatam Al Quran.Dan imam Syafi’i berkata:Aku berharap bahwa berziaroh ke kuburannya para waliyulloh dan menghatamkan Al Qur’an di samping kuburannya waliyulloh itu bisa di laksanakan untuk selamanya. Dan adalah perkaranya itu adalah seperti apa yang di katakan oleh imam Syafi’i
تنوير القلوب للسيد آمين الكردي ص ٤٦٩
. قال بعض المشايخ : إن الله يوكل بقبر الولى ملكا يقضى الحوائج وتارة يخرج الولى من قبره ويقضيها بنفسه )
.”
Sebagian ulama sufi berkata: “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat manusia. Terkadang wali itu sendiri keluar dari kuburnya dan langsung memenuhi hajat tersebut.”
Ziarah ke makam orang tua juga memiliki keutamaan tersendiri, sebagaimana dalam hadis:
مَن زارَ قَبرَ أبَوَيهِ، أو أحدِهِما كُلَّ جُمُعةٍ، غُفِرَ له وكُتِبَ بارًّا
“Barang siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, maka diampuni dosanya dan dicatat sebagai anak yang berbakti.” (HR. At-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 261, dengan sanad yang dha’if tetapi didukung oleh riwayat lain).
Ziarah ke makam para Auliya’ juga dianjurkan untuk mengambil pelajaran dari kehidupan mereka yang saleh, serta untuk bertawassul dengan doa yang sesuai syariat. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/310) mengatakan:
وَيُسْتَحَبُّ زِيَارَةُ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ لِبَرَكَتِهِمْ وَالتَّأَسِّي بِهِمْ
“Dianjurkan ziarah ke makam orang-orang saleh dan ulama untuk mendapatkan berkah mereka dan mengambil teladan dari mereka.”
2. Mana yang Lebih Utama?
Dalam hal keutamaan, ziarah ke makam orang tua lebih utama karena merupakan bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) yang tetap berlangsung meskipun mereka telah wafat. Dalilnya:
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
“Sesungguhnya di antara kebaktian yang paling utama adalah seseorang menyambung hubungan dengan sahabat ayahnya setelah ayahnya meninggal.” (HR. Muslim No. 2552)
Sedangkan ziarah ke makam Auliya’ juga memiliki keutamaan dalam rangka mengingat akhirat dan meneladani mereka, tetapi dari sisi prioritas, ziarah ke makam orang tua lebih utama karena ada unsur bakti kepada mereka.
3. Apakah Tidak Sah Ziarah ke Auliya’ Jika Tidak Ziarah ke Orang Tua?
Pernyataan bahwa seseorang tidak boleh ziarah ke wali jika belum ziarah ke orang tua tidak memiliki dasar dalam syariat. Kedua bentuk ziarah tersebut dianjurkan secara terpisah dan tidak saling menggugurkan.
Namun, dari sisi adab, sebaiknya seseorang mendahulukan ziarah ke orang tua, karena itu adalah bentuk bakti yang diperintahkan. Tetapi jika seseorang hanya mampu ziarah ke salah satunya, maka itu tetap bernilai ibadah dan tidak berdosa.
Kesimpulan
Hukum ziarah kubur, baik ke orang tua maupun wali, adalah sunnah dan dianjurkan untuk mengingat akhirat.
Ziarah ke makam orang tua lebih utama karena termasuk bentuk birrul walidain (bakti kepada orang tua).
Tidak ada larangan syar’i untuk ziarah ke makam wali tanpa terlebih dahulu ziarah ke orang tua, tetapi dari sisi adab, mendahulukan orang tua lebih baik. Apalagi setelah itu ( mendahulukan orang tua ) lalu ke maqbarah waliyullah.
Referensi:
- Shahih Muslim No. 977, 2552
- kitab Addakhiirotutstsamiinah, halaman 64
- Tanwirul Qulub hal 469
- Al-Majmu’ (5/310) oleh Imam An-Nawawi
- Al-Mu’jam Al-Kabir oleh At-Thabarani No. 261
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Assalamualaikum
Latar Belakang Permasalahan
Seorang muslim melaksanakan shalat pada malam Ramadan dengan niat “shalat sunnah” tanpa menyebut “Tarawih”. Pelafalan niatnya terdengar oleh jemaah di sampingnya, yang kemudian bertanya setelah shalat. Dari jawabannya, diketahui bahwa niat dalam hatinya pun sama, hanya “shalat sunnah” tanpa menyebut “Tarawih”. Sementara itu, ada yang berniat secara lengkap dengan menyebut “shalat Tarawih”.
Lalu, apakah shalat seseorang yang hanya berniat “shalat sunnah” tetap sah? Ataukah harus menyebut “Tarawih” secara eksplisit dalam niatnya?
Waalaikum salam
Jawaban
Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, shalat Tarawih tidak sah jika hanya berniat “shalat sunnah” tanpa menyebut “Tarawih” atau “qiyam Ramadan”. Sementara itu, mazhab Hanafi membolehkan niat umum, tetapi lebih utama menyebutnya secara spesifik untuk menghindari perbedaan pendapat. Oleh karena itu, sebaiknya tetap berniat secara khusus “shalat Tarawih” agar lebih sesuai dengan pendapat mayoritas ulama.
Referensi:
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج٢٧ص١٤٠
تعيين النية في صلاة التراويح:
١٠ – ذهب الشافعية وبعض الحنفية، وهو المذهب عند الحنابلة إلى اشتراط تعيين النية في التراويح، فلا تصح التراويح بنية مطلقة، بل ينوي صلاة ركعتين من قيام رمضان أو من التراويح لحديث: إنما الأعمال بالنيات (١) وليتميز إحرامه بهما عن غيره.
وعلل الحنفية القائلون بذلك قولهم بأن التراويح سنة، والسنة عندهم لا تتأدى بنية مطلق الصلاة أو نية التطوع، واستدلوا بما روى الحسن عن أبي حنيفة أنه: لا تتأدى ركعتا الفجر إلا بنية السنة.لكنهم اختلفوا في تجديد النية لكل ركعتين من التراويح، قال ابن عابدين في الخلاصة: الصحيح نعم؛ لأنه صلاة على حدة، وفي الخانية: الأصح لا، فإن الكل بمنزلة صلاة واحدة، ثم قال ويظهر لي (ترجيح) التصحيح الأول؛ لأنه بالسلام خرج من الصلاة حقيقة، فلا بد من دخوله فيها بالنية، ولا شك أنه الأحوط خروجا من الخلاف.
وقال عامة مشايخ الحنفية: إن التراويح وسائر السنن تتأدى بنية مطلقة؛ لأنها وإن كانت سنة لا تخرج عن كونها نافلة، والنوافل تتأدى بمطلق النية، إلا أن الاحتياط أن ينوي التراويح أو سنة الوقت أو قيام رمضان احترازا عن موضع الخلاف.
وذهب الحنابلة إلى أنه يندب في كل ركعتين من التراويح أن ينوي فيقول سرا:
أصلي ركعتين من التراويح المسنونة أو من قيام رمضان (١) .
عدد ركعات التراويح:
١١ – قال السيوطي: الذي وردت به الأحاديث الصحيحة والحسان الأمر بقيام رمضان والترغيب فيه من غير تخصيص بعدد، ولم يثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى التراويح عشرين ركعة، وإنما صلى ليالي صلاة لم يذكر عددها، ثم تأخر في الليلة الرابعة خشية أن تفرض عليهم فيعجزوا عنها (٢) .
وقال ابن حجر الهيثمي: لم يصح أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى التراويح عشرين ركعة، وما ورد أنه كان يصلي عشرين ركعة فهو شديد الضعف (٣) .
واختلفت الرواية فيما كان يصلى به في رمضان في زمان عمر بن الخطاب – رضي الله تعالى عنه -:
فذهب جمهور الفقهاء – من الحنفية، والشافعية، والحنابلة، وبعض المالكية – إلى أن التراويح عشرون ركعة، لما رواه مالك عن يزيد بن رومان والبيهقي عن السائب بن يزيد من قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة، وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا، قال الكاساني: جمع عمر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم في شهر رمضان على أبي بن كعب – رضي الله تعالى عنه – فصلى بهم عشرين ركعة، ولم ينكر عليه أحد فيكون إجماعا منهم على ذلك (١) .
وقال الدسوقي وغيره: كان عليه عمل الصحابة والتابعين (٢) .
وقال ابن عابدين: عليه عمل الناس شرقا وغربا (٣) .
وقال علي السنهوري: هو الذي عليه عمل الناس واستمر إلى زماننا في سائر الأمصار (٤)
وقال الحنابلة: وهذا في مظنة الشهرة
Penentuan Niat dalam Shalat Tarawih
(10) Mazhab Syafi’i, sebagian ulama Hanafiyah, dan mazhab Hanbali berpendapat bahwa menetapkan niat secara khusus dalam shalat tarawih adalah syarat sah. Oleh karena itu, shalat tarawih tidak sah jika hanya berniat secara umum, tetapi harus berniat dengan spesifik seperti “shalat dua rakaat dari qiyam Ramadhan” atau “dari tarawih”. Hal ini didasarkan pada hadis:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.” (1)
Selain itu, penentuan niat ini juga bertujuan untuk membedakan shalat ini dari shalat lainnya.
Sebagian ulama Hanafiyah yang berpendapat demikian beralasan bahwa shalat tarawih adalah sunnah, sedangkan dalam mazhab Hanafi, shalat sunnah tidak dapat ditunaikan hanya dengan niat shalat secara umum atau dengan niat mutlak shalat sunnah. Mereka mendasarkan pendapatnya pada riwayat dari Hasan dari Abu Hanifah yang menyatakan bahwa dua rakaat shalat fajar tidak dapat dilakukan kecuali dengan niat shalat sunnahnya.
Namun, mereka berbeda pendapat mengenai apakah niat harus diperbarui setiap dua rakaat dalam shalat tarawih. Ibn Abidin dalam kitab Al-Khulashah menyatakan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah ya, niat harus diperbarui setiap dua rakaat karena setiap dua rakaat merupakan shalat tersendiri. Dalam Al-Khaniyyah, disebutkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah tidak perlu memperbarui niat setiap dua rakaat karena semua rakaat dianggap sebagai satu kesatuan shalat. Kemudian, Ibn Abidin menyatakan bahwa pendapat pertama lebih unggul karena setelah salam seseorang telah keluar dari shalat secara hakiki, sehingga diperlukan niat baru untuk masuk ke dalam shalat kembali. Pendapat ini juga lebih berhati-hati untuk keluar dari perbedaan pendapat.
Mayoritas ulama Hanafi berpendapat bahwa shalat tarawih dan seluruh shalat sunnah dapat dilakukan dengan niat secara umum, karena meskipun tarawih adalah sunnah, pada hakikatnya ia tetap termasuk dalam kategori shalat nafilah. Oleh karena itu, shalat nafilah dapat dilakukan dengan niat yang umum. Namun, lebih berhati-hati jika berniat secara spesifik, seperti berniat untuk tarawih, sunnah waktu, atau qiyam Ramadhan, untuk menghindari perbedaan pendapat.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa disunnahkan dalam setiap dua rakaat shalat tarawih untuk berniat dengan lafaz di dalam hati:
“Saya shalat dua rakaat shalat tarawih yang disunnahkan” atau “dari qiyam Ramadhan.” (1)
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
(11) Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa hadis-hadis shahih dan hasan yang diriwayatkan hanya menyebutkan perintah untuk qiyam Ramadhan dan anjuran untuk melaksanakannya tanpa menentukan jumlah rakaat tertentu. Tidak ada riwayat yang sahih bahwa Nabi ﷺ melaksanakan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Yang diriwayatkan adalah beliau shalat beberapa malam tanpa disebutkan jumlah rakaatnya, kemudian beliau tidak keluar pada malam keempat karena khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada umatnya sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya. (2)
Ibn Hajar Al-Haitami menyatakan bahwa tidak ada riwayat yang sahih bahwa Nabi ﷺ melaksanakan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Riwayat yang menyebutkan beliau shalat sebanyak dua puluh rakaat sangat lemah. (3)
Terdapat perbedaan riwayat mengenai jumlah rakaat shalat yang dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab رضي الله عنه. Mayoritas ulama—dari mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan sebagian ulama Maliki—berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah dua puluh rakaat. Hal ini berdasarkan riwayat dari Imam Malik dari Yazid bin Ruman, serta riwayat dari Al-Baihaqi dari As-Sa’ib bin Yazid, yang menyatakan bahwa orang-orang pada zaman Umar رضي الله عنه melaksanakan shalat sebanyak dua puluh rakaat. Umar رضي الله عنه mengumpulkan umat Islam untuk shalat dengan jumlah rakaat ini secara terus-menerus.
Imam Al-Kasani menyatakan bahwa Umar رضي الله عنه mengumpulkan para sahabat Rasulullah ﷺ pada bulan Ramadhan untuk shalat berjamaah di bawah imam Ubay bin Ka’b رضي الله عنه dengan dua puluh rakaat, dan tidak ada seorang pun dari para sahabat yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan adanya ijma’ di antara mereka. (1)
Imam Ad-Dusuqi dan ulama lainnya menyebutkan bahwa praktik ini adalah amalan para sahabat dan tabi’in. (2)
Ibn Abidin menyatakan bahwa ini adalah amalan yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh wilayah timur dan barat. (3)
Ali As-Sanhuri menegaskan bahwa ini adalah amalan yang terus berlangsung hingga zamannya di seluruh negeri Islam. (4)
Mazhab Hanbali menyatakan bahwa jumlah dua puluh rakaat ini adalah amalan yang telah tersebar luas dan terkenal di kalangan umat Islam.

بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة الطبعة الثانية إهداء تقدم للقرآء الكرام ومن يرغب فى معرفته فقه الأحكام والإستفادةلحكم النوازل بين الأنام كتاب قرة العين بفتوى إسماعيل الزين فى طبعته الثانية مصححه منقحة مع بذل الجهد فى ذلك من بعض تلامذة المؤلف الذي له فيهم الثقة الأكسدة فى سلامة الذوق والإ ستقامةالفهم والله ولي التوفيق وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تنبيه لا يجوز الإعتماد على الطبعة الأولى من كتاب قرة العين بفتوى إسماعيل الزين إلا إذا كانت مصلحة او كان مع الكتاب مع الكتاب ملحقة ببيان الخطاء والصواب مقدمة الطبعة الثانية حمدا لمن تفرد بالكمال واتصف بالعزة والجلال والصلاة والسلام على شفيع الأنام سيدنا محمد وآله وأصحابه الكرام وعلمن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمابعد .فبعد أن صدر كتاب قرة العين بفتوى إسماعيل الزين كان الإقبال شديدا من الإخوة مالليزيين والإندونيسيين إلى إقتنائه وعقدنا بعد تضمنه من الفتوى والمسائل عدة ندوات حضرها جمع غفير من الطلبة والطالبات يبلغ عددهم فى بعض الأحيان إلى نحو خمسمائة طالب ،كالندوة التى عقدت فى جامع ” الفتح ” بمدينة نصر- بالقاهرة وفى هذه الندوات نبهت الإخوة والأخوات المشاركين إلى بعض الأخطاءالموجودة فى الكتاب وطلبت منهم تصحيحهاوتعديلها ونظرا إلى كثرتها وخطورتها وذلك لتعلقها بالأحكام الشريعة وبعضها يتعلق بالأيات والقرآنية فقد طلب مني شيخنا المؤلف إيقاف النشر والتوزيع وإعادة الطبع الكتاب مرة أخرى خاليا من الأخطاءوفى شهر شعبان أخذت تأشيرة العمرة وسافرت إلى الأراضي المقدسة وأثناء إقامتي بمكة المكرمة ذهبت إليه مرات وتحدثت معه فى موضوع الكتاب وفي المرة الثانية- على ما أذكر – أعطاني صورة من بيان الخطاء والصواب من كتاب قرة العين المكتوب بخط اليد ومنه اتضح إن الذي يحتاج إلى التصحيح والتعديل بلغ أكثر من مائة خمسين كلمة بالإضافة الكلمة الساقطة وفى ذلك الوقت: قلت لشيخنا أن التصحيح لايحتاج إلى وقت طويل، وأنه فى غاية السهولة حيث أن الكتاب جمع بالكمبيوتر فبمجرد وضع الديسك على الجهاز يمكننا أن نقوم بعملية التصحيح والتعديل أو بالإضافة . لكن الواقع على خلاف ما توقعت فعند ما وصلت إلى القاهرة وذهبت إلى مطبعة دار الغد وقبلت المدير العام للمطبعة وطلبت منه أن يعطيني ديسكات كتاب ” قرة العين وكتاب بيان مفتى حول فوائد البنوك فوجئت بقوله بأن هذين الكتابين قد مسحا من الجهاز وإنه لم يحولهما إلى الديسكات حتى يمكن الإحتفاظ بهما وطبعهما وقت ما نريد هذا…ولحسن الخظ قد كان للكتاب الأفلام – الأصل المطبوع بالليزر على ورق الكلك استلمتها منه واحتفظت بها حتى الآن وعموما من الممكن التصحيح والتعديل أو الإضافة عليها وإن كان ذلك فى غاية الصعوبة ،ويحتاج إلى جهود وتركيز .والله المعين على كل حال وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأكرم وعلى آله وصحبه وسلم
Pengantar Edisi Kedua
Persembahan
Diberikan kepada para pembaca yang mulia dan mereka yang ingin mengetahui fikih hukum-hukum serta mengambil manfaat dari fatwa-fatwa mengenai masalah-masalah kontemporer dalam buku *Qurrat al-‘Ain bi Fatwa Ismail al-Zain*, dalam edisi kedua yang telah diperbaiki dan direvisi. Beberapa murid dari pengarang yang dipercaya dengan ketulusan rasa dan pemahaman yang lurus telah berupaya keras dalam proses ini. Semoga Allah memberikan taufik, dan semoga shalawat serta salam tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. Peringatan Tidak diperbolehkan mengandalkan edisi pertama dari buku *Qurrat al-‘Ain bi Fatwa Ismail al-Zain* kecuali jika ada kebutuhan atau buku tersebut disertai dengan lampiran yang menjelaskan kesalahan dan kebenarannya. Pengantar Edisi KeduaSegala puji bagi Allah yang Maha Sempurna, yang berkuasa atas segala keagungan dan kemuliaan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat, junjungan kita Nabi Muhammad, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta siapa pun yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du, setelah terbitnya buku { Qurrat al-‘Ain bi Fatwa Ismail al-Zain }, terjadi sambutan hangat dari saudara-saudara kita di Malaysia dan Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mendapatkannya. Kami mengadakan beberapa seminar terkait fatwa dan masalah-masalah yang terdapat dalam buku ini. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menghadiri seminar-seminar ini, kadang jumlahnya mencapai sekitar lima ratus orang, seperti seminar yang diadakan di Masjid “Al-Fath” di Kota Nasr, Kairo. Dalam seminar-seminar tersebut, saya memberi tahu para peserta mengenai beberapa kesalahan yang terdapat dalam buku dan meminta mereka untuk mengoreksinya. Mengingat jumlah kesalahan yang banyak dan sifatnya yang kritis—beberapa terkait dengan hukum syariah dan yang lainnya terkait dengan ayat-ayat Al-Qur’an—syaikh kami, sang penulis, meminta agar penerbitan dan distribusi buku dihentikan serta pencetakan ulang dilakukan dengan versi yang bebas dari kesalahan. Pada bulan Sya’ban, saya mendapatkan visa umrah dan pergi ke tanah suci. Selama tinggal di Mekkah, saya beberapa kali menemui beliau dan berbicara mengenai masalah buku ini. Pada pertemuan kedua, jika saya tidak salah ingat, beliau memberikan saya salinan tulisan tangan berisi koreksi dari buku Qurrat al-‘Ain. Dari salinan tersebut, ternyata ada lebih dari 150 kata yang perlu diperbaiki dan diubah, selain kata-kata yang hilang. Pada saat itu, saya mengatakan kepada syaikh bahwa koreksi tidak memerlukan waktu lama, dan sangat mudah dilakukan karena buku sudah disusun di komputer. Dengan memasukkan disket ke dalam perangkat, kami bisa langsung melakukan koreksi dan penambahan. Namun, kenyataannya berbeda dari yang saya perkirakan. Ketika saya tiba di Kairo dan pergi ke percetakan Dar Al-Ghad, saya menemui manajer umum percetakan dan meminta disket buku {{ Qurrat al-‘Ain }} dan buku Fatwa tentang Manfaat Bank. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa kedua buku tersebut telah dihapus dari perangkat dan tidak dipindahkan ke disket sehingga bisa disimpan dan dicetak kapan pun diinginkan. Namun demikian, untungnya, buku tersebut masih memiliki film-film—yaitu hasil cetakan asli yang dibuat dengan laser pada kertas kalkir, dan saya menerimanya serta menyimpannya hingga saat ini. Secara umum, koreksi, revisi, dan penambahan masih bisa dilakukan pada film-film ini, meskipun sangat sulit dan memerlukan banyak upaya dan konsentrasi. Semoga Allah membantu kita dalam segala hal. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad yang mulia, keluarganya, dan para sahabatnya

Pandangan Fikih terhadap Pengobatan dengan Batu Akik dan Bantuan Jin: Studi Kasus Praktik Ponari
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah:
Kesehatan dan penyakit adalah bagian dari kehidupan manusia. Ketika seseorang sakit, ia akan berusaha mencari pengobatan, baik melalui dokter, tabib, rukiyah, maupun metode lainnya demi memperoleh kesembuhan. Bahkan, ada yang memilih pengobatan alternatif, termasuk menggunakan doa, benda tertentu, atau bantuan jin.
Beberapa waktu lalu, tersiar kabar menghebohkan tentang seseorang yang memiliki sebilah keris serta menemukan sebuah batu akik yang diklaim dapat menjadi sarana penyembuhan segala penyakit. Akibatnya, banyak orang berbondong-bondong datang untuk berobat kepadanya, meskipun pengobatan tersebut masih dipertanyakan dari segi medis dan agama.
Pertanyaan:
- Bagaimanakah pandangan fikih mengenai pengobatan dengan menggunakan batu akik dan bantuan jin?
- Benarkah larangan pemerintah terhadap praktik pengobatan Ponari disebabkan oleh alasan bahwa kegiatan tersebut mengganggu pendidikannya?
- Dapatkah diterima keterangan para dokter yang melarang masyarakat berobat kepada Ponari dengan alasan bahwa air yang digunakan untuk pengobatan tercemar bakteri?
Waalaikum salam.
Jawaban kami satukan
Praktik pengobatan Ponari merujuk pada fenomena yang terjadi di Jombang, Jawa Timur, sekitar tahun 2009. Ponari adalah seorang bocah yang saat itu berusia sekitar 9 tahun dan menjadi terkenal karena diklaim memiliki sebuah batu bertuah yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Menurut cerita yang beredar, Ponari menemukan batu tersebut setelah tersambar petir. Batu itu kemudian digunakan untuk “mengobati” orang-orang dengan cara mencelupkannya ke dalam air, lalu air tersebut diminum oleh pasien. Ribuan orang dari berbagai daerah datang untuk mendapatkan “pengobatan” ini, sehingga menyebabkan kerumunan besar dan bahkan ada beberapa korban jiwa akibat berdesakan.
Fenomena ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan tenaga medis. Pemerintah akhirnya melarang praktik ini dengan alasan mengganggu pendidikan Ponari serta mempertimbangkan aspek kesehatan, karena air yang digunakan tidak higienis dan berisiko menimbulkan penyakit.
Dari sisi agama, banyak ulama menilai bahwa praktik ini mengandung unsur khurafat dan keyakinan berlebihan terhadap benda tertentu tanpa dasar syariat yang jelas oleh karena itu jawaban ini akan mencakup dua aspek utama: pandangan fikih mengenai pengobatan dengan batu akik dan bantuan jin, serta alasan larangan praktik pengobatan Ponari dari sudut pandang pemerintah dan medis.
1. Pandangan Fikih Mengenai Pengobatan dengan Batu Akik dan Bantuan Jin
a. Pengobatan dengan Batu Akik
Dalam Islam, keyakinan bahwa suatu benda memiliki kekuatan penyembuhan secara mandiri tanpa izin Allah termasuk bentuk kesyirikan. Hadis Nabi ﷺ menegaskan larangan terhadap penggunaan tamimah (jimat) dan keyakinan terhadap benda-benda bertuah:
“Sesungguhnya ruqyah (yang mengandung kesyirikan), tamimah (jimat), dan tiwalah (guna-guna untuk menimbulkan rasa cinta) adalah syirik.”
(HR. Abu Dawud: 3883, Ibnu Majah: 3530)
Dari hadis ini, pengobatan dengan batu akik menjadi terlarang jika:
- Diyakini memiliki kekuatan sendiri tanpa izin Allah
- Digunakan sebagai jimat atau benda mistik
Namun, jika batu hanya dianggap sebagai sarana biasa, misalnya karena unsur mineralnya bermanfaat secara medis, maka hukumnya boleh, selama tidak menimbulkan mudarat.
b. Pengobatan dengan Bantuan Jin
Pengobatan yang melibatkan jin memiliki hukum yang lebih kompleks. Dalam beberapa riwayat, Rasulullah ﷺ pernah meminta bantuan jin Muslim, tetapi dengan syarat tertentu:
Tidak ada keyakinan bahwa jin memiliki kekuatan sendiri, melainkan atas izin Allah.
Tidak ada kesepakatan dengan jin yang bertentangan dengan syariat, seperti meminta sesajen atau melakukan ritual tertentu.
Jin yang membantu adalah jin Muslim, bukan jin kafir atau setan.
Tidak mengandung lafaz kesyirikan dalam doa atau bacaan yang digunakan.
Tidak melibatkan azimat atau media yang bertentangan dengan syariat.
Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pengobatan dengan bantuan jin menjadi haram dan termasuk bentuk sihir atau perdukunan.
Sebagai contoh, dalam Hasyiyah al-Jamal (4/329), disebutkan bahwa membatalkan sihir (ruqyah syar’iyyah) boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar syariat.
2. Larangan Praktik Pengobatan Ponari dari Perspektif Pemerintah dan Medis
a. Alasan Pemerintah: Gangguan terhadap Pendidikan
Pemerintah melarang praktik Ponari dengan alasan mengganggu pendidikannya. Hal ini bisa benar, terutama karena Ponari saat itu masih anak-anak dan seharusnya fokus pada pendidikan.
Namun, dari sudut pandang Islam, jika pendidikan yang terganggu adalah pendidikan agama atau akidah, maka larangan ini memiliki dasar yang lebih kuat. Jika hanya pendidikan formal tanpa dampak terhadap akidah, maka tidak serta-merta menjadi alasan utama untuk melarang.
b. Alasan Medis: Air Tercemar Bakteri
Dokter yang melarang praktik Ponari beralasan bahwa air yang digunakan untuk pengobatan tidak higienis dan dapat menyebabkan penyakit.
Dalam Islam, jika sesuatu terbukti membahayakan kesehatan, maka dilarang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan tidak boleh membahayakan orang lain (dhirar).”
(HR. Ibnu Majah: 2341, Ahmad: 2865)
Jika air yang digunakan terbukti mengandung bakteri atau berbahaya, maka larangan ini sah berdasarkan prinsip menolak kemudaratan (dar’ul mafasid) dalam kaidah fikih.
Namun, jika tidak ada bukti medis yang valid, maka larangan tersebut hanya berupa peringatan atau nasihat kepada masyarakat. Dalam hal ini, dokter yang memberikan keterangan sebaiknya seorang Muslim yang terpercaya dan ahli dalam bidangnya.
Kesimpulan
Pengobatan dengan batu akik dilarang jika diyakini memiliki kekuatan sendiri, tetapi boleh jika hanya dianggap sebagai sarana biasa tanpa unsur mistik.
Pengobatan dengan jin hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat syariat. Jika tidak, maka termasuk bentuk sihir atau perdukunan yang haram.
Larangan pemerintah terhadap Ponari didasarkan pada gangguan terhadap pendidikannya. Jika terkait pendidikan agama atau akidah, maka larangan ini lebih kuat secara syariat.
Alasan medis tentang air yang tercemar bakteri dapat diterima jika memang terbukti berbahaya, karena Islam melarang sesuatu yang membahayakan kesehatan.
Wallahu a’lam.
كتاب الحواشي على سنن إبن ماجه شروح الحديث ج: ٤ ص: ٨٢٣
٣٩ – بَاب تَعْلِيق التَّمائِمِ
٣٥٣٠ – حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ قَالَ: مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيمَانَ قالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ بِشْرٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ الجَزَّارِ، عَنِ ابْنِ أُخْتِ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ الله، عَنْ زَيْنَبَ قَالَتْ: كَانَتْ عَجُوزٌ تَدْخُلُ عَلَيْنَا تَرْقِي مِنَ الحُمْرَةِ، وَكَانَ لَنَا سَرِير طَوِيلُ القَوَائِمِ، وَكَانَ عَبْدُ الله إِذَا دَخَلَ تَنَحْنَحَ وَصَوَّتَ، فَدَخَلَ يَوْمًا فَلَّمَا سَمِعَتْ صَوْتَهُ احْتَجَبَتْ مِنْهُ، فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِي فَمَسَّنِي فَوَجَدَ مَسَّ خَيْطٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقُلتُ: رُقًى لِي فِيهِ مِنَ الحُمْرَةِ، فَجَذَبَهُ فَقَطَعَهُ فَرَمَى بِهِ، وَقَالَ: لَقَدْ أَصْبَحَ آلُ عَبْدِ الله أَغْنِيَاءَ عَنِ الشِّرْكِ، سَمِعْتُ رَسُولَ الله ﷺ يَقُولُ: “إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ”.
٣٩ – بَاب تَعْلِيق التَّمَائِمِ
٣٥٣٠ – قوله: “حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيمَانَ”: هو بالتشديد، تقدَّم غير مرة.
قوله: “وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ”: التِّوَلَة بكسر التاء المثناة فوق وفتح الواو؛ ما يحبب المرأةَ إلى زوجها من السحر وغيره.
جعله مِن الشرك لاعتقادهم أن ذلك يؤثر، ويفعل خلاف ما قدَّره الله تعالى قُلتُ: فَإِنِّي خَرَجْتُ يَوْمًا فَأَبْصَرَنِي فُلَانٌ، فَدَمَعَتْ عَيْنِي الَّتِي تَلِيهِ، فَإِذَا رَقَيْتُهَا سَكَنَتْ دَمْعَتُهَا، وَإِذَا تركْتُهَا دَمَعَتْ، قَالَ: ذَاكِ الشَّيْطَانُ؛ إِذَا أَطَعْتِهِ تركَكِ، وَإِذَا عَصَيْتهِ طَعَنَ بِإِصْبَعِهِ فِي عَيْنِكِ، وَلَكِنْ لَوْ فَعَلتِ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ الله ﷺ كَانَ خَيْرًا لَكِ، وَأَجْدَرَ أَنْ تُشْفَيْنَ، تَنْضَحِينَ فِي عَيْنِكِ المَاءَ وَتَقُولِينَ: أَذْهِبِ البَاس رَبَّ النَّاس، اشْفِ أنْتَ الشَّافِي، لا شِفَاءَ إِلا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لا يُغَادِرُ سَقَمًا. [د:٣٨٨٣].
٣٥٣١ – حَدَّثَنَا عَليُّ بْنُ أَبِي الخصِيبِ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مُبَارَكٍ، عَنِ الحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الحُصَيْنِ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَجُلًا فِي يَدِهِ حَلقَة مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ: “مَا هَذِهِ الحَلقَةُ؟ ” قَالَ: هَذِهِ مِنَ الوَاهِنَةِ. قَالَ: “انْزِعْهَا، فَإِنَّهَا لا تَزِيدُكَ إِلا وَهْنًا
39 – Bab Menggantung Tamimah (Jimat)
Hadis 3530:
Diriwayatkan dari Zainab, ia berkata:
Ada seorang wanita tua yang biasa masuk ke rumah kami untuk melakukan ruqyah dari penyakit “humrah” (kemerahan di kulit). Kami memiliki tempat tidur dengan kaki yang tinggi. Jika Abdullah (bin Mas’ud) masuk, ia akan berdehem dan mengeluarkan suara. Suatu hari, ketika wanita itu mendengar suaranya, ia segera bersembunyi. Kemudian Abdullah datang dan duduk di sebelahku. Ia menyentuhku dan merasakan ada seutas tali. Lalu ia bertanya:
“Apa ini?”
Aku menjawab:
“Ini adalah ruqyah untuk penyakit humrah.”
Mendengar itu, ia segera menariknya, memotongnya, dan membuangnya. Lalu ia berkata:
“Keluarga Abdullah sekarang sudah tidak membutuhkan lagi kesyirikan. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya ruqyah (yang mengandung kesyirikan), tamimah (jimat), dan tiwalah (guna-guna untuk menimbulkan rasa cinta) adalah syirik’.”
Penjelasan Hadis:
3530 –
Kalimat “Mu’ammar bin Sulaiman” dengan tasydid, telah disebutkan sebelumnya beberapa kali.
Mengenai sabda Nabi ﷺ “wa at-tiwalah syirkun” (dan tiwalah adalah syirik), yang dimaksud dengan tiwalah adalah sesuatu yang digunakan untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, baik dengan sihir maupun lainnya. Nabi ﷺ menyebutnya sebagai syirik karena keyakinan mereka bahwa hal tersebut dapat memberikan pengaruh dan mendatangkan manfaat di luar ketetapan Allah ﷻ.
Aku (Zainab) berkata:
“Suatu hari aku keluar, lalu seseorang melihatku. Setelah itu, mataku yang berada di sebelahnya mulai berair. Jika aku meruqyahnya, air mata itu berhenti. Jika aku tidak meruqyah, maka mataku terus berair.”
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Itu adalah ulah setan. Jika kamu menaatinya, ia akan membiarkanmu. Namun jika kamu menentangnya, ia akan menusukkan jarinya ke matamu. Tetapi jika kamu melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ, itu lebih baik bagimu dan lebih besar kemungkinan untuk sembuh. Cipratkan air ke matamu sambil berdoa: ‘Hilangkanlah penyakit ini, wahai Tuhan manusia. Sembuhkanlah, Engkaulah Sang Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit’.”
[HR. Abu Dawud: 3883]
Hadis 3531:
Diriwayatkan dari Imran bin Husain, bahwa Nabi ﷺ melihat seorang laki-laki yang mengenakan cincin dari kuningan. Nabi ﷺ bertanya:
“Apa ini?”
Laki-laki itu menjawab:
“Ini untuk menghindari penyakit wahinah (kelemahan pada tangan atau penyakit lainnya).”
Nabi ﷺ bersabda:
“Lepaskan itu, karena benda ini hanya akan menambah kelemahan padamu!”
حاشية الجمل، ٣٢٩/٤)
( قَوْلُهُ فَلَا يَصِحُّ اكْتِرَاءُ شَخْصٍ لِمَا لَا يُتْعِبُ) يُؤْخَذُ مِنْهُ صِحَّةُ الْإِجَارَةِ عَلَى إبْطَالِ السِّحْرِ لِأَنَّ فَاعِلَهُ يَحْصُلُ لَهُ مَشَقَّةٌ بِالْكِتَابَةِ وَنَحْوِهَا مِنْ اسْتِعْمَالِ الْبُخُورِ وَتِلَاوَةِ الْأَقْسَامِ الَّتِي جَرَتْ عَادَتُهُمْ بِاسْتِعْمَالِهَا وَمِنْهُ إزَالَةُ مَا يَحْصُلُ لِلزَّوْجِ مِنْ الِانْحِلَالِ الْمُسَمَّى عِنْدَ الْعَامَّةِ بِالرِّبَاطِ وَالْأُجْرَةُ عَلَى مَنْ الْتَزَمَ الْعِوَضَ وَلَوْ أَجْنَبِيًّا حَتَّى لَوْ كَانَ الْمَانِعُ بِالزَّوْجِ وَالْتَزَمَتْ الْمَرْأَةُ أَوْ أَهْلُهَا الْعِوَضَ لَزِمَتْ الْأُجْرَةُ مَنْ الْتَزَمَهَا وَكَذَا عَكْسُهُ وَلَا يَلْزَمُ مَنْ قَامَ الْمَانِعُ بِهِ الِاسْتِئْجَارُ لِأَنَّهُ مِنْ قَبِيلِ الْمُدَاوَاةِ وَهِيَ غَيْرُ لَازِمَةٍ لِلْمَرِيضِ مِنْ الزَّوْجَيْنِ ثُمَّ إنْ وَقَعَ إيجَارٌ صَحِيحٌ بِعَقْدٍ لَزِمَ الْمُسَمَّى وَإِلَّا فَأُجْرَةُ الْمِثْلِ ا هـ. ع ش عَلَى م ر.
Hasyiyah al-Jamal (4/329):
(Ucapan: “Maka tidak sah menyewa seseorang untuk sesuatu yang tidak melelahkan”)
Dari pernyataan ini diambil kesimpulan bahwa sah menyewa seseorang untuk membatalkan sihir, karena pelakunya mengalami kesulitan dalam menulis dan hal-hal lainnya, seperti menggunakan dupa dan membaca mantra-mantra yang biasa mereka gunakan. Termasuk di dalamnya adalah menghilangkan kondisi yang menimpa seorang suami berupa kelemahan (impotensi) yang dikenal oleh masyarakat sebagai ribat.
Upah diberikan kepada siapa saja yang berkomitmen untuk membayarnya, meskipun ia orang luar. Jika penghalangnya berasal dari suami, lalu istri atau keluarganya yang berkomitmen membayar imbalan, maka upah wajib ditanggung oleh pihak yang telah berjanji membayarnya, dan demikian juga sebaliknya.
Namun, pihak yang mengalami gangguan tidak wajib menyewa orang untuk mengobatinya, karena hal itu termasuk dalam kategori pengobatan, yang tidak wajib bagi orang sakit dari kedua belah pihak suami-istri. Jika akad sewa menyewa dilakukan secara sah, maka wajib membayar sesuai jumlah yang disepakati. Jika tidak ada akad yang sah, maka berlaku upah yang setara (ujrah al-mitsl). (Selesai, komentar dari ‘Isham asy-Syarbini dalam syarahnya terhadap Minhaj at-Tullab).
(الفوائد المكية، (١٧.
) (وَالإِسْتِخْدَامَاتُ إِمَّا بِالكَوَاكِبِ أَوْ بِالْجَانَّ وَبَعْضِ الْأَلْفَاظِ الَّتِي يُخَاطَبُ بِهَا الكَوَاكِبُ مِنْهَا مَا هُوَ كُفْرٌ صَرِيحٌ كَعِبَادَتِهِ بِلَفْظِ الْإِلَهِيَّةِ. وَيَزْعُمُ أَهْلُ هَذَا الْعِلْمِ إِذَا تَكَلَّمَ بِتَلْكَ الْكَلِمَاتِ مَعَ الْمَبْخُورِ عَلَى الْهَيْئَةِ الْمَشْرُوطَةَ كَانَتْ رُوحَانِيَّةُ تِلْكَ الْكَوَاكِبِ مُطِيعَةً لَهُ. مَتَى أَرَادَ شَيْئً فَعَلَتْهُ لَهُ عَلَى زَعْمِهِمْ وَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي مُلُوكِ الْجَانَّ عَلَى زَعْمِهِمْ.
Al-Fawaid al-Makkiyyah (17):
Penggunaan (istikhdamat) bisa dengan bintang-bintang atau jin, serta beberapa lafaz yang digunakan untuk berkomunikasi dengan bintang-bintang. Sebagian dari lafaz itu adalah kekufuran yang nyata, seperti menyembahnya dengan lafaz ketuhanan (uluhiyyah).
Para penganut ilmu ini mengklaim bahwa jika seseorang mengucapkan kata-kata tertentu sambil menggunakan dupa dengan tata cara yang disyaratkan, maka roh-roh bintang tersebut akan menaati perintahnya. Menurut mereka, kapan saja ia menginginkan sesuatu, roh itu akan melakukannya. Klaim yang sama berlaku untuk raja-raja jin.
شرح مواعظ العصفورية
فانصرف النبي عليه الصلاة والسلام فاستقبله في الطريق فارس وعليه ثياب خضر فنزل عن فرسهفسلم على النبي عليه الصلاة والسلام فأجابه فقال من أنت ياراكب قد أعجبتني سلامك علي فقال له أنا من أبناء الجن قد أسلمت في زمن نوح عليه السلام لكن كنت غائبا عن وطني فلما قدمت فوجت أهلي باكية فسألت منها فقالت لي أما ترى إن مسفر أصنع ماصنع مع محمد عليه السلام فلما سمعت ذهبت على أثره فقتلته بين الصفا والمروة وهذا دمه على سيفي رأسه في المخلاة وبدنه مطروح بين الصفا والمروة وصورته مثل صورة الكلب مقطوع الرأس فسر النبي عليه الصلاة والسلام فدعا له بالخير ثم قال مااسمك قال اسمي مهير بن عبهر ومقامي على جبل طور سينا ثم قال أتأمرني يارسول الله أن أهجوا الكفار في فم أصنامهم كما هجاك مسفر فقال له النبي عليه الصلاة والسلام افعل ثم اجتمع الكفار في اليوم الثاني فدعوا النبي عليه الصلاة والسلام فوضعوا هبلا بين أيديهم وطرحوا عليه ألوان الثياب فسجدوا له وتضرعوا إليه كما فعلوا في اليوم الأول فقالوا يا هبل أقر اليوم أعيننا بهجاء محمد عليه السلام فقال هبل يا أهل مكة اعلموا أن هذا نبي حق ودينه حق ومحمد يدعوكم إلى الحق وأنتم وصنمكم باطل فإن لم تؤمنوا به ولم تصدقوا تكونوا في نار جهنم خالدين فيها أبدا فصدقوا محمدا وهو نبي الله وخير خلقه فقام أبو جهل عليه اللعنة وأخذ الصنم وضربه على الأرض وكسره وأحرقه بالنار فانصرف النبي عليه الصلاة والسلام إلى داره مسرورا ثم سماه عبد الله بن عبهر وأنشأ الشعر في قتل مسفر يقول :
أناعبد الله بن عبهر اني قتلت ذا الفجور مسفرا
هممته بضرب سيفي منكرا لدى الصفا والمروة طغى واستكبرا
وخالف الحق وقال منكرا بشتمه نبيه المطهرا
والله لا أبرح حتى ينصرا ويظهر الإسلام حتى يقرا
أو يذل فيه كل من تكبرا كل يهودي ومن تنصرا
جنود كسرى وملوك قيصرا
Lalu Nabi ﷺ berlalu, dan di tengah jalan beliau bertemu dengan seorang penunggang kuda yang mengenakan pakaian hijau. Ia turun dari kudanya dan memberi salam kepada Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ menjawab salamnya. Kemudian Nabi ﷺ bertanya,
“Siapakah engkau, wahai penunggang kuda? Salam yang engkau ucapkan kepadaku sungguh menarik perhatianku.”
Ia menjawab, “Aku adalah salah satu keturunan jin. Aku telah masuk Islam pada zaman Nabi Nuh عليه السلام, tetapi aku sedang bepergian jauh dari negeriku. Ketika aku kembali, aku mendapati keluargaku menangis. Aku pun bertanya kepada mereka apa yang terjadi. Mereka berkata, ‘Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan Musfir terhadap Muhammad ﷺ?’ Maka, ketika aku mendengar hal itu, aku segera mengejarnya. Aku membunuhnya di antara Shafa dan Marwah. Inilah darahnya yang masih ada di pedangku, kepalanya ada di dalam kantongku, dan tubuhnya tergeletak di antara Shafa dan Marwah. Wujudnya menyerupai anjing yang kepalanya terpenggal.”
Nabi ﷺ merasa senang mendengar hal itu, lalu beliau mendoakannya agar mendapat kebaikan. Kemudian Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”
Ia menjawab, “Namaku Muhir bin Abhar, dan tempat tinggalku di Gunung Thur Sina.”
Setelah itu, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku untuk menghina orang-orang kafir di hadapan berhala-berhala mereka sebagaimana Musfir telah mencelamu?”
Nabi ﷺ menjawab, “Lakukanlah.”
Keesokan harinya, orang-orang kafir berkumpul dan memanggil Nabi ﷺ. Mereka meletakkan berhala Hubal di hadapan mereka, menutupinya dengan berbagai kain, lalu bersujud kepadanya dan memohon kepadanya sebagaimana yang mereka lakukan pada hari sebelumnya.
Mereka berkata, “Wahai Hubal, buatlah kami senang hari ini dengan menghina Muhammad ﷺ!”
Namun, tiba-tiba berhala Hubal berbicara, “Wahai penduduk Mekah, ketahuilah bahwa Muhammad adalah nabi yang benar, agamanya adalah kebenaran, dan ia mengajak kalian kepada kebenaran. Sedangkan kalian dan berhala kalian berada dalam kebatilan. Jika kalian tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya, maka kalian akan kekal di dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Maka, benarkanlah Muhammad, karena ia adalah Nabi Allah dan makhluk-Nya yang terbaik.”
Mendengar hal itu, Abu Jahl – semoga Allah melaknatnya – berdiri, mengambil berhala tersebut, lalu membantingnya ke tanah, menghancurkannya, dan membakarnya dengan api.
Nabi ﷺ pun kembali ke rumahnya dengan perasaan gembira. Kemudian, beliau menamainya dengan Abdullah bin Abhar, lalu ia menggubah syair tentang pembunuhan Musfir:
Aku adalah Abdullah bin Abhar,
Aku telah membunuh si fajir Musfir.
Aku menyerangnya dengan pedangku yang tajam,
Di antara Shafa dan Marwah, ia telah melampaui batas dan sombong.
Ia menentang kebenaran dan berkata dengan perkataan yang mungkar,
Dengan mencela Nabi yang suci dan mulia.
Demi Allah, aku tidak akan berhenti hingga Islam ditolong,
Dan Islam tersebar hingga dibaca dan diakui.
Atau hingga setiap orang yang sombong menjadi hina,
Baik itu Yahudi maupun Nasrani.
Begitu pula tentara Kisra dan para raja Kaisar.
(حاشية الجمل، (٦٣٣)
(قَوْلُهُ: يَجِبُ عَلَى الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ وَيَجِبُ عَلَيْهِمْ نَهْيُهُمْ عَنْ الْمُحَرَّمَاتِ وَتَعْلِيمُهُمْ الْوَاجِبَاتِ وَسَائِرَ الشَّرَائِعِ كَالسَّوَاكِ وَحُضُورِ الْجَمَاعَاتِ ثُمَّ إِنْ بَلَغَ رَشِيدًا انْتَفَى ذَلِكَ عَنْ الْأَوْلِيَاءِ أَوْ سَفِيهَا فَوِلَايَةُ الْأَبِ مُسْتَمِرَّةٌ فَيَكُونُ كَالصَّبِيَّ وَأَجْرَةُ تَعْلِيمِهِ الْوَاجِبَاتِ فِي مَالِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَلَى الأبِ ثُمَّ الْأُمِّ وَيُخْرِجُ مِنْ مَالِهِ أَجْرَةَ تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَالْآدَابِ كَزَكَاةِ وَنَفَقَةِ مُمَوِّنِهِ وَبَدَلِ مُتْلَفِهِ فَمَعْنَى وُجُوبِهَا فِي مَالِهِ ثُبُوتُهَا فِي ذِمَّتِهِ وَوُجُوبُ إِخْرَاجِهَا مِنْ مَالِهِ عَلَى وَلِيْهِ، فَإِنْ بَقِيَتْ إِلَى كَمَالِهِ
Hasyiyah al-Jamal (6/633):
(Ucapan: “Wajib bagi para ayah dan ibu…”)
Wajib bagi orang tua untuk mencegah anak-anak mereka dari hal-hal yang haram, mengajarkan mereka kewajiban-kewajiban agama, dan hukum syariat lainnya seperti bersiwak dan menghadiri shalat berjamaah.
Jika anak telah baligh dan berakal, maka kewajiban itu gugur dari wali. Tetapi jika anak tersebut masih bodoh (safih), maka hak perwalian ayah tetap berlaku, menjadikannya seperti anak kecil.
Upah untuk mengajarkan kewajiban agama diambil dari hartanya sendiri. Jika ia tidak memiliki harta, maka kewajiban itu berpindah kepada ayahnya, lalu ibunya. Dari hartanya juga dikeluarkan biaya belajar Al-Qur’an dan adab, sebagaimana kewajiban zakat, nafkah orang yang menanggungnya, serta ganti rugi atas kerusakan yang ia sebabkan.
Maksud kewajiban dalam hartanya adalah bahwa biaya itu menjadi tanggungannya, dan kewajiban mengeluarkannya jatuh kepada walinya. Jika biaya tersebut masih tersisa hingga ia mencapai kedewasaan penuh, maka tetap menjadi tanggungannya.
المستصفى ٣٧٨/١
. أَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبٍ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفَعَ الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تِحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ وَمَقْصُودُ الشِّرْعِ مِنَ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ وَهُوَ أَنْ يُحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِيْنُهُمْ وَنَفْسُهُمْ وَعَقْلُهُمْ وَنَسْلُهُمْ وَمَالُهُمْ فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظ هَذِهِ الْأَصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأَصْوَلَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.
Al-Mustashfa (1/378):
Adapun maslahah (kemaslahatan) secara umum berarti menarik manfaat atau menolak bahaya. Namun, bukan itu yang dimaksud di sini.
Sebab, menarik manfaat dan menolak bahaya adalah tujuan manusia secara umum. Kebaikan mereka terletak pada tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Akan tetapi, yang dimaksud dengan maslahah dalam konteks syariat adalah menjaga maksud-maksud yang dikehendaki oleh syariat.
Maksud syariat terhadap manusia ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala sesuatu yang menjaga kelima hal ini disebut maslahah, dan segala sesuatu yang merusaknya disebut mafsadah (kerusakan), serta menolaknya termasuk dalam maslahah
(الأشباه والنظائر، (٣٥)
أَنَّ تَصُرُّفَ الْإِمَامِ يُقْبَلُ لَا بُدَّ وَأَنْ يُوَافِقَ الْمَصْلَحَةَ فَمَنُوْطٌ مُوَافِقُ أَوْ مُعْتَبَرُ وَالْمَصْلَحَةُ هُنَا الْمَصْلَحَةُ الْمَشْرُوعَةُ أَي الَّتِي يَأْبَى الدِّيْنُ غَيْرَهَا انْتَهَى . أَمَّا التَّرْيَاقُ الْمَعْجُونُ بِهَا وَنَحْوُهُ مِمَّا تُسْتَهْلَكَ فِيهِ فَيَجُوزُ التَّدَاوِي بِهِ عِنْدَ فَقَدِ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ مِمَّا يَحْصُلُ بِهِ التَّدَاوِي مِنْ الطَّاهِرَاتِ كَالتَّدَاوِي بِنَجِسِ كَلَحْمِ حَيَّةٍ وَبَوْلِ. وَلَوْ كَانَ التَّدَاوِي بِذَلِكَ لتعجيل شِفَاءٍ بِشَرْطِ إِخْبَارِ طَبِيبٍ مُسْلِمٍ عَدْلٍ بِذَلِكَ أَوْ مَعْرِفَتِهِ لِلتَّدَاوِي بِهِ، وَالنَّدُّ بِالْفَتْحِ الْمَعْجُونُ بِخَمْرٍ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ لِنَجَاسَتِهِ.
Al-Asybah wa an-Nazhair (35):
Tindakan seorang pemimpin (imam) tidak dapat diterima kecuali jika sesuai dengan kemaslahatan yang disyaratkan.
Maslahah yang dimaksud di sini adalah maslahah yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu yang tidak ditolak oleh agama.
Adapun taryaq (obat yang dicampur) dengan bahan haram, atau sejenisnya yang terkandung dalam zat yang habis larut di dalamnya, maka boleh digunakan untuk pengobatan jika tidak ditemukan alternatif yang suci. Seperti halnya pengobatan dengan sesuatu yang najis, misalnya daging ular atau air seni.
Pengobatan dengan cara ini diperbolehkan jika bertujuan untuk mempercepat kesembuhan, dengan syarat seorang dokter Muslim yang adil menyatakan kebolehannya, atau seseorang yang memahami pengobatan mengetahuinya.
Adapun obat yang dicampur dengan khamar (an-nadd), maka tidak boleh diperjualbelikan karena kenajisannya.
(حاشية البجيرمي على الخطيب ج١٢ص ٢٣٧
. قَالَ ق ل: وَيُعْتَبَرُ فِي الْعَطَشِ الْمُبِيحِ لِلتَّيَمُمِ مَا فِي الْمَرَضِ مِنْ خَبَرٍالطبيب الْمُسْلِمِ. قَالَ بَعْضُهُمْ: وَهَذَا وَاضِحٌ إِنْ وُجِدَ الطَّبِيبُ حَاضِرًا، وَإِلَّا فَلَيْسَ مِنْ مَحَاسِن الشَّرِيعَةِ مَنْعُهُ مِنَ الشَّرْبِ حَتَّى يُوجَدَ الطَّبِيبُ خُصُوصًا فِي مَفَازَةٍ مَثَلًا فَلْيُنْظَرْ حُكْمُهُ وَلْيُرَاجَعْ
Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib (12/237):
Qalyubi berkata: Haus yang membolehkan tayamum diukur seperti penyakit yang membutuhkan keterangan dari dokter Muslim.
Sebagian ulama berkata: Hal ini jelas jika dokter tersebut ada di tempat. Namun, jika tidak ada, maka bukan bagian dari keindahan syariat untuk melarang seseorang minum sampai dokter ditemukan, terutama jika ia berada di tempat yang jauh, seperti padang pasir. Oleh karena itu, perlu diperiksa hukumnya lebih lanjut.
Itulah terjemahan dari referensi yang Anda minta. Jika ada yang perlu diperjelas, silakan tanyakan. Wallahu a’lam bish-shawab

Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Dahulu, para sesepuh sering menuliskan asma Allah dan doa-doa seperti doa Uqasyah pada kain kafan. Hal ini dilakukan dengan harapan agar jenazah selamat dari siksa kubur atau setidaknya mendapatkan keringanan.
Pertanyaan
Bagaimana hukum menulisi kain kafan dengan asma Allah atau doa-doa lainnya?
Jawaban
Hukum menulisi kain kafan dengan asma Allah atau ayat Al-Qur’an adalah haram, karena tulisan tersebut akan bercampur dengan darah dan nanah jenazah. Namun, ada pendapat yang membolehkan, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Ujail.
Referensi :
إعانة الطالبين,١١٥/٣), )حاشية الباجوري, ١٤٨/١)
وَيَحْرُمُ كِتَابَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللهِ تَعَالىَ عَلىَ الْكَفْنِ اهـ
(I‘ānatu al-Ṭālibīn, 3/115) & (Ḥāsyiyah al-Bājūrī, 1/148)
“Haram hukumnya menulis sesuatu dari Al-Qur’an dan nama-nama Allah Ta’ala pada kain kafan.”
(إعانة الطالبين, ١١٥/٣)
وَإِنَّ الْفَقِيْهَ ابْنَ عُجَيْلٍ كَانَ يَأْمُرُ بِهِ ثُمَّ أَفْتَى بِجَوازِ كِتَابَتِهِ قِيَاسًا عَلىَ كِتَابَةِ اللهِ فِيْ نَعَمِ الزَّكَاةِ اهـ
(I‘ānatu al-Ṭālibīn, 3/115)
“Sesungguhnya al-Faqih Ibnu ‘Ujail dahulu memerintahkan untuk menuliskannya, kemudian ia berfatwa akan kebolehannya dengan mengqiyaskan kepada penulisan nama Allah pada hewan zakat.”
(بجيرمي على الخطيب, ٢٣٦/٢)
وَيُكرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ أَىْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ كِتَابَةِ الْقُرْآنِ إِلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ لِأَنَّهُ يَعْرِضُهُ لِلصَّدِيْدِ إهـ
(Bujairimi ‘ala al-Khaṭīb, 2/236)
“Dimakruhkan menulis sesuatu di atas kuburan, meskipun berupa ayat Al-Qur’an. Berbeda halnya dengan penulisan ayat Al-Qur’an pada kain kafan, maka hukumnya haram karena hal itu dapat membuatnya terkena cairan busuk (dari jenazah).”
فتاوى إبن صالح ج١ص٢٦٢
١٠٧ – مَسْأَلَة فِي الْكَفَن هَل يجوز أَن يكْتب عَلَيْهِ سور من الْقُرْآن يس والكهف وَأي سُورَة أَرَادَ أَو لَا يحل هَذَا خوفًا من صديد الْمَيِّت وسيلان مَا فِيهِ على الْآيَات وَأَسْمَاء الله تَعَالَى الْمُبَارَكَة المحترمة الشَّرِيفَة وَهل يجوز أَن يَصْحَبهُ فِي الْقَبْر شَيْء من الثِّيَاب المخيطة
أجَاب رَضِي الله عَنهُ لَا يجوز ذَلِك وَأما المخيطة فَيجوز أَن يُكفن فِي قَمِيص وَالله أعلم
Artinya;
Persoalan tentang kain kafan; apakah boleh menulis kain kafan dengan surah dari Alqyran misalnya; surah Yasin, al-Kahfi, dan Ar-Ro’du, atau surah dari Al-Qur’an yang lain yang ia inginkan. Atau tidak diperbolehkan karena takut nanah dari si mayit dan itu akan mengalir atau berbaur dengan ayat Al-Qur’an dan asmaul husna yang mulia. Dan apakah mayit itu boleh dikuburkan dengan menggunakan kemeja (baju yang dijahit) pada saat dikubur?
Ibn Shalah menjawab; tidak boleh menulis ayat Al-Qur’an di kain kafan. Ada pun pakaian yang dijahit, maka boleh menggunakannya di dalam kubur.
Ada juga ulama lain yang mengatakan haram menulis ayat Al-Qura’an pada kain kafan. Pendapat itu difatwakan oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, dalam kitab Nihayatus Zain Irsyadul al Mubtadiin, halaman 152.
Imam Nawawi Al Jawi mengatakan:
تحرم كتابة شيئ من القرآن على الكفن صيانة عن صديد الموتى
Artinya:
Haram hukumnya menulis sesuatu dari ayat Al-Qur’an pada kain kafan sebagai pemeliharaan bagi Al-Qur’an dari kotoran (nanah) dari si mayit .
Dalam Kitab al Mausu’ah al-Fiqhiyah al Kuwaitiah, pun menjelaskan tentang haramnya menulis kain kafan dengan ayat Al-Qur’an. Buku ensiklopi Fiqih terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Agama, negara Kuwait ini menerangkan keharaman menulis ayat Al-Qur,an atau asmaul husna di kain kafan, dengan mengutip kitab Hasiyatul Jamal A’la Syarh al Minhaj.
Lihat keterangan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al Kuwaitiah berikut;
جاء في الجمل على شرح المنهج، لا يجوز له أن يكتب عليها شيئا من القرآن أو الأسماء المعظّمة صيانة لها من الصّديد-
artinya; Tidak boleh hukumnya bahwa menulis sesuatu dari ayat-ayat Al-Qur’an atau asmaul khusna di kain kafan, itu sebagai pemeliharaan Al-Qur’an dari kotoran (nanah) yang bersal dari si mayit.

Hukum Wanita Haid Mengikuti Lomba Tilawatil Qur’an
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Setiap tahun, negara kita, Indonesia, mengadakan lomba Tilawatil Qur’an sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan bakat dan minat masyarakat dalam membaca Al-Qur’an. Peserta yang berbakat diseleksi hingga mencapai tingkat internasional. Namun, ketika pelaksanaan lomba telah berlangsung dan mencapai babak final, salah satu peserta mengalami haid. Dalam kondisi tersebut, peserta merasa bingung karena sudah memasuki tahap terakhir untuk merebut juara 1, 2, dan 3.
Pertanyaan
Bagaimana hukum seorang peserta perempuan yang sedang dalam keadaan haid mengikuti lomba membaca Al-Qur’an? Mohon jawabannya beserta ibaratnya?
Waalaikum salam
Jawaban:
Dalam fiqih Islam, terdapat perbedaan pandangan mengenai hukum perempuan haid membaca Al-Qur’an, termasuk dalam konteks lomba tilawah.
Pandangan Madzhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’iyah, terdapat tujuh pembahasan terkait hukum wanita haid membaca Al-Qur’an:
1. Haram jika membaca Al-Qur’an diniatkan untuk membaca Al-Qur’an.
2. Haram jika membaca Al-Qur’an diniatkan untuk membaca Al-Qur’an beserta niat lainnya.
3. Diperbolehkan jika membaca Al-Qur’an diniatkan selain untuk membaca Al-Qur’an, seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikir, kisah-kisah, mauizah, atau hukum-hukum.
4. Diperbolehkan jika membaca Al-Qur’an karena kelepasan bicara.
5. Diperbolehkan jika membaca Al-Qur’an diniatkan secara mutlak, yakni sekadar ingin membaca tanpa niat tertentu.
6. Khilaf (perbedaan pendapat) jika membaca Al-Qur’an diniatkan secara mutlak atau niat selain Al-Qur’an, namun yang dibaca adalah susunan kalimat khas Al-Qur’an atau satu surat panjang atau keseluruhan Al-Qur’an. Menurut an-Nawawi, ar-Ramli Kabir, dan Ibnu Hajar diperbolehkan, sedangkan bagi az-Zarkasyi dan as-Suyuthi diharamkan.
7. Khilaf jika membaca Al-Qur’an diniatkan pada salah satunya tanpa dijelaskan yang mana. Menurut qaul mu’tamad (pendapat yang kuat) diharamkan karena adanya kemungkinan niat pada bacaan Al-Qur’an.
Pandangan Mazhab Maliki
Dalam mazhab Malikiyah, perempuan haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Terdapat dua pembahasan:
1. Boleh secara mutlak, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang keluar.
2. Tidak diperbolehkan sebelum mandi hadats, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang berhenti. Kecuali bila khawatir lupa, atau kecuali dengan menengok pada qaul dha’if (pendapat yang lemah) yang memperbolehkannya asalkan haidhnya tidak disertai junub.
Pandangan Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan haid boleh membaca Al-Qur’an, namun dengan beberapa syarat:
1. Tidak menyentuh mushaf langsung (bisa menggunakan sarung tangan atau alat bantu lainnya).
2. Tidak membaca dengan niat tilawah murni, melainkan untuk tujuan lain seperti menghafal atau mengajar. Bacaan yang dilakukan tidak melebihi satu ayat.
*Kesimpulan dan Solusi*
Berdasarkan berbagai pendapat ulama, peserta yang mengalami haid dalam lomba Tilawatil Qur’an menghadapi situasi yang menuntut kebijaksanaan dalam memilih pendapat yang diikuti:
Jika mengikuti Mazhab Syafi’i (yang dominan di Indonesia), maka tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an secara lisan dalam kondisi haid. Oleh karena itu, peserta yang mengalami haid sebaiknya tidak melanjutkan perlombaan atau mengganti dengan kategori lain (misalnya tafsir atau syarahan jika memungkinkan).
Jika mengikuti pendapat Mazhab Maliki atau Hanafi, masih ada kelonggaran dengan syarat:
Tidak menyentuh mushaf langsung. Tidak berniat tilawah murni, tetapi untuk kepentingan hafalan atau pendidikan. Tidak membaca ayat yang panjang atau keseluruhan surah.
*Alternatif solusi praktis:*
Jika memungkinkan, pihak penyelenggara dapat menunda penampilan peserta hingga haid selesai. Jika perlombaan berlangsung dalam waktu yang tidak memungkinkan penundaan, peserta dapat mengajukan opsi membaca dengan metode hafalan (bukan dari mushaf) dan menyesuaikan niat sesuai dengan pendapat yang membolehkan.
Saran
Jika mengikuti mazhab Syafi’i yang dianut di Indonesia, sebaiknya tidak ikut lomba saat haid. Namun, jika ada kebutuhan mendesak dan mengikuti pendapat yang membolehkan, maka harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Catatan
Perbedaan pendapat ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penafsiran hukum. Penting bagi setiap individu untuk mengikuti pandangan yang sesuai dengan pemahaman dan praktik keagamaan mereka.
Referensi
Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’ karya Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bujairimi :
( وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }
الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ
“Keharaman sebab haid yang ketiga adalah membaca sesuatu dari al-Qur’an, dengan diucapkan atau dengan isyarah dari orang bisu, seperti yang dikatakan Qadhi Husein dalam Fatawinya. Mengingat konteks isyarah diletakkan pada konteksnya hukum berucap pada permasalahan ini, meskipun yang dibaca hanyalah sebagian ayat saja dikarenakan hal itu menunjukkan pada unsur penghinaan. Baik bacaan itu diniati bersama dengan niat yang lain ataupun tidak, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan lainnya, “Orang yang sedang junub dan orang yang haid tidak diperbolehkan membaca sesuatu dari al-Qur’an.
Komentar pensyarah: [Membaca al-Qur’an] dari Imam Malik dijelaskan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid membaca al-Qur’an. Dan dari Ath-Thahawi diterangkan bahwa diperbolehkan bagi dia untuk membaca al-Qur’an namun kurang dari satu ayat, seperti yang dia kutipkan dalam Syarah Al-Kanzu dari kitabnya mazhab Hanafi.” (Hasyiyah Bujairimi, 3/259-261)
تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ ، وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .
الشَّرْحُ
قَوْلُهُ : ( تَنْبِيهٌ إلَخْ ) هَذَا التَّنْبِيهُ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ مَحَلُّ حُرْمَةِ الْقِرَاءَةِ إذَا كَانَتْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ أَوْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ ، و َإِلَّا فَلَا حُرْمَة .
قَوْلُهُ : ( يَحِلُّ إلَخْ ) كَلَامُهُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَدُخُولُ غَيْرِهِمَا مَعَهُمَا اسْتِطْرَادِيٌّ تَأَمَّلْ ق ل .
قَوْلُهُ : ( كَمَوَاعِظِهِ ) أَيْ مَا فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ .
قَوْلُهُ : ( وَأَخْبَارِهِ ) أَيْ عَنْ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ .
قَوْلُهُ : ( وَأَحْكَامِهِ ) أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِفِعْلِ الْمُكَلَّف .
قَوْلُهُ : ( وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ ) بِأَنْ سَبَقَ لِسَانُهُ إلَيْهِ.
قَوْلُهُ : ( وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا ) كَمَا لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ الذِّكْرَ فَقَطْ ، فَالصُّوَرُ أَرْبَعَةٌ يَحِلُّ فِي ثِنْتَيْنِ ، وَيَحْرُمُ فِي ثِنْتَيْنِ وَأَمَّا لَوْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا بِعَيْنِهِ فَفِيهِ خِلَافٌ ، وَالْمُعْتَمَدُ الْحُرْمَةُ ؛ لِأَنَّ الْوَاحِدَ الدَّائِرَ صَادِقٌ بِالْقُرْآنِ فَيَحْرُمُ لِصِدْقِهِ بِهِ . قَوْلُهُ : ( لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَخْ ) أَيْ لَا يَكُونُ قُرْآنًا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ عِنْدَ وُجُودِ الصَّارِفِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَإِلَّا فَهُوَ قُرْآنٌ مُطْلَقًا ، أَوْ الْمَعْنَى لَا يُعْطَى حُكْمَ الْقُرْآنِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَمَحَلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ كَأَنْ أَجْنَبَ وَفَقَدَ الطَّهُورَيْنِ وَصَلَّى لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ بِلَا طُهْرٍ ، وَقَرَأَ الْفَاتِحَةَ ، فَلَا يُشْتَرَطُ قَصْدُ الْقُرْآنِ ، بَلْ يَكُونُ قُرْآنًا عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِوُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَلَا صَارِفَ فَاحْفَظْهُ وَاحْذَرْ خِلَافَهُ كَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ شَرَفٍ عَلَى التَّحْرِيرِ .
“(Tanbih): Diperbolehkan bagi orang yang mempunyai hadats besar untuk membaca dzikir al-Qur’an dan yang lainnya, seperti mauizhahnya, cerita, dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an, dengan tidak diniatkan pada al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik kendaraan :
(سبحان الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين)
dan ketika mendapat musibah dia mengucapkan :
(إنا لله و إنا اليه راجعون).
Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja atau memaksudkan al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan an-Nawawi dalam kitab Daqaiq, sebab tidak ada unsur penghinaan pada kemuliaan al-Qur’an di sini. Memandang bahwasanya al-Qur’an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur’an kecuali ketika dengan wujudnya niat.
Secara zahir pendapat tersebut berlaku baik pada ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya di luar al-Qur’an semisal dua ayat di atas, juga basmalah dan al-fatihah. Serta pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur’an semisal surat al-Ikhlas dan ayat kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat tidak diragukannya keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur’an. Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh sebagian ulama mutaakhirin.
Keterangan an-Nawawi tentang kemutlakan tersebut juga terkandung dalam kitab ar-Raudhah. Sedangkan ketika membaca al-Qur’an itu tidak diniatkan pada membaca al-Qur’annya maka diperbolehkan.
Komentar pensyarah :
[Tanbih dst.] Tanbih ini menempati perkataan mushannif, “Tempat keharaman membaca al-Qur’an adalah ketika dalam pembacaan itu dengan maksud al-Qur’an atau dengan maksud al-Qur’an dan dzikir. Jika tidak memaksudkan dengan itu semua maka tidak diharamkan.”
[Diperbolehkan dst.] Pembahasan penulis tentang wanita haidh dan nifas, namun bisa dikonfirmasikan juga pembahasan selain keduanya. Cermatilah. (al-Qulyubi)
[Seperti mauizhah] Yakni perkara tentang anjuran dan ancaman.
[Cerita] Yakni dari kisah umat terdahulu.
[Dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an] Yakni perkara yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
[Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya] Dengan kelepasan bicara.
[Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan] Sebagaimana tidak pula diharamkan ketika diniatkan pada dzikirnya saja. Sehingga bisa disimpulkan ada empat situasi pembacaan al-Qur’an di sini. Dua diperbolehkan, dan dua lainnya diharamkan.
Sedangkan ketika dia meniatkan pada salah satunya namun tanpa dijelaskan yang mana maka hukumnya khilaf. Menurut qaul Mu’tamad dihukumi haram. Sebab unsur salah satunya bisa dimungkinkan niat pada al-Qur’annya sehingga diharamkan memandang adanya kemungkinan tersebut. [Al-Qur’an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur’an dst.] Yakni ketika muncul qarinah pembeda maka tidak dianggap sebagai al-Qur’an yang haram dibaca kecuali dengan wujudnya niat. Atau bisa juga diartikan tidak diberlakukan hukum al-Qur’an kecuali dengan wujudnya niat. Konteks ini mengesampingkan pada kasus shalat, semisal pada orang junub yang tidak bisa bersuci dengan wudhu dan tayammum, lantas dia shalat li hurmatil waqti, membaca al-Fatihah, maka tidak berlaku persyaratan niat membaca al-Qur’an. Bahkan tetap dianggap sebagai hukum bacaan al-Qur’an ketika dimutlakkan sebab tidak ada qarinah pembeda di sini. Camkanlah dan hati-hati terhadap kesalahpahaman tentang hal itu, sebagaimana dituturkan oleh an-Nawawi dalam kitab at-Tahrir.” (Hasyiyah al-Bujairimi, 1/259-264).
Elaborasi tentang khilafiyah Imam Malik dituturkan dalam kitab al-Mausu’ah:
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا ، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ . وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا ، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ .
هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ . فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ .
“Kalangan malikiyah berpendapat bahwa wanita haidh diperbolehkan membaca al-Qur’an di masa sedang keluarnya darah haidh secara mutlak, baik disertai junub maupun tidak, entah karena khawatir lupa ataupun tidak. Sedangkan di masa darah haidh sedang berhenti maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an sampai dia mandi bersuci, baik kondisinya disertai junub maupun tidak, kecuali bila khawatir lupa (maka boleh membaca, pen).
Pendapat di atas adalah qaul mu’tamad, sebab seorang wanita dipandang mampu bersuci dalam kondisi darah sedang berhenti tersebut. Namun dalam hal ini ada qaul dha’if yang berpendapat seorang wanita ketika darahnya sedang berhenti tetap diperbolehkan membaca al-Qur’an asalkan kondisinya tidak disertai junub sebelum haidh. Ketika sebelum haidh telah disertai junub maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an (sampai dia mandi bersuci, pen)” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, 18/322).
Resensi
فتح القدير ج١ص ١٦٨
(وَلَيْسَ لَهُمْ مَسُّ الْمُصْحَفِ إلَّا بِغِلَافِهِ، وَلَا أَخْذُ دِرْهَمٍ فِيهِ سُورَةٌ مِنْ الْقُرْآنِ إلَّا بِصُرَّتِهِ وَكَذَا الْمُحْدِثُ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلَّا بِغِلَافِهِ) لِقَوْلِهِ ﷺ «لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ» ثُمَّ الْحَدَثُ وَالْجَنَابَةُ حَلَّا الْيَدَ فَيَسْتَوِيَانِ فِي حُكْمِ الْمَسِّ وَالْجَنَابَةُ حَلَّتْ الْفَمُ دُونَ الْحَدَثِ فَيَفْتَرِقَانِ فِي حُكْمِ الْقِرَاءَةِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِي إسْنَادِهِ إسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، وَتَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ. وَفِي سُنَنِ الْأَرْبَعَةِ عَنْ عَلِيٍّ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَا يَحْجُبُهُ، أَوْ قَالَ لَا يَحْجِزُهُ عَنْ الْقِرَاءَةِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ» وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: أَهْلُ الْحَدِيثِ لَا يُثْبِتُونَهُ، قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: لِأَنَّ مَدَارَهُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ بِكَسْرِ اللَّامِ، وَكَانَ قَدْ كَبِرَ وَأُنْكِرَ عَقْلُهُ وَحَدِيثُهُ، وَإِنَّمَا رَوَى هَذَا بَعْدَ كِبَرِهِ قَالَهُ شُعْبَةُ، لَكِنْ قَدْ قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ، وَقَالَ: وَلَمْ يَحْتَجَّا بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ وَمَدَارُ الْحَدِيثِ عَلَيْهِ، وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَرِهَ الْقِرَاءَةَ لِلْجُنُبِ، وَقَالَ صَحِيحٌ (قَوْلُهُ فَيَكُونُ حُجَّةً عَلَى الطَّحَاوِيِّ فِي إبَاحَتِهِ مَا دُونَ آيَةٍ) ذَكَرَ نَجْمُ الدِّينِ الزَّاهِدُ أَنَّهُ رِوَايَةُ ابْنِ سِمَاعَةَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَنَّ عَلَيْهِ الْأَكْثَرُ. وَوَجْهُهُ أَنَّ مَا دُونَ الْآيَةِ لَا يُعَدُّ بِهَا قَارِئًا، قَالَ تَعَالَى ﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾ كَمَا قَالَ ﷺ «لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ الْقُرْآنَ» فَكَمَا لَا يُعَدُّ قَارِئًا بِمَا دُونَ الْآيَةِ حَتَّى لَا تَصِحَّ بِهَا الصَّلَاةُ كَذَا لَا يُعَدُّ بِهَا قَارِئًا فَلَا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ، وَقَالُوا: إذَا حَاضَتْ الْمُعَلِّمَةُ تُعَلِّمُ كَلِمَةً كَلِمَةً وَتَقْطَعُ بَيْنَ الْكَلِمَتَيْنِ وَعَلَى قَوْلِ الطَّحَاوِيِّ نِصْفُ آيَةٍ. وَفِي الْخُلَاصَةِ فِي عَدِّ حُرُمَاتِ الْحَيْضِ وَحُرْمَةِ الْقُرْآنِ إلَّا إذَا كَانَتْ آيَةً قَصِيرَةً تَجْرِي عَلَى اللِّسَانِ عِنْدَ الْكَلَامِ كَقَوْلِهِ ثُمَّ نَظَرَ وَلَمْ يُولَدْ أَمَّا قِرَاءَةُ مَا دُونَ الْآيَةِ نَحْوَ (بِسْمِ اللَّهِ) وَ (الْحَمْدُ لِلَّهِ) إنْ كَانَتْ قَاصِدَةً قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ يُكْرَهُ، وَإِنْ كَانَتْ قَاصِدَةً شُكْرَ النِّعْمَةِ وَالثَّنَاءِ لَا يُكْرَهُ، وَلَا يُكْرَهُ التَّهَجِّي وَقِرَاءَةُ الْقُنُوتِ انْتَهَى وَغَيْرُهُ لَمْ يُقَيَّدْ عِنْدَ قَصْدِ الثَّنَاءِ وَالدُّعَاءِ بِمَا دُونَ الْآيَةِ، فَصَرَّحَ بِجَوَازِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ عَلَى وَجْهِ الثَّنَاءِ وَالدُّعَاءِ. وَفِي الْفَتَاوَى الظَّهِيرِيَّةِ: لَا يَنْبَغِي لِلْحَائِضِ وَالْجُنُبِ قِرَاءَةُ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالزَّبُورِ لِأَنَّ الْكُلَّ كَلَامُ اللَّهِ، وَيُكْرَهُ لَهُمَا قِرَاءَةُ دُعَاءِ الْوَتْرِ لِأَنَّ أُبَيًّا ﵁ يَجْعَلُهُ مِنْ الْقُرْآنِ سُورَتَيْنِ: مِنْ أَوَّلِهِ إلَى اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ سُورَةً، وَمِنْ هُنَا إلَى آخِرِهِ أُخْرَى، وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ لَا يُكْرَهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى. وَأَمَّا قِرَاءَةُ الذِّكْرِ فَأَفَادَ الْمُصَنِّفُ فِي بَابِ الْأَذَانِ فِي مَسْأَلَةِ الْأَذَانِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ أَنَّ الْوُضُوءَ فِيهِ مُسْتَحَبٌّ (قَوْلُهُ لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ) هُوَ فِي كِتَابِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ حِينَ بَعَثَهُ النَّبِيُّ ﷺ إلَى الْيَمَنِ، وَسَيَأْتِي بِكَمَالِهِ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ إنْ شَاءَ اللَّهُ (قَوْلُهُ ثُمَّ الْجَنَابَةُ حَلَّتْ الْيَدَ إلَخْ) يُفِيدُ جَوَازُ نَظَرِ الْجُنُبِ لِلْقُرْآنِ لِأَنَّهَا لَمْ تَحِلَّ الْعَيْنُ وَلِذَا لَا يَجِبُ غَسْلُهَا، وَأَمَّا مَسُّ مَا فِيهِ ذِكْرٌ فَأَطْلَقَهُ عَامَّةُ الْمَشَايِخِ وَغِلَافُهُ مَا يَكُونُ مُتَجَافِيًا عَنْهُ دُونَ مَا هُوَ مُتَّصِلٌ بِهِ كَالْجِلْدِ الْمُشْرَزِ هُوَ الصَّحِيحُ، وَيُكْرَهُ مَسُّهُ بِالْكُمِّ هُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّهُ تَابِعٌ لَهُ بِخِلَافِ كُتُبِ الشَّرِيعَةِ لِأَهْلِهَا حَيْثُ يُرَخَّصُ فِي مَسِّهَا بِالْكُمِّ لِأَنَّ فِيهِ ضَرُورَةٌ، وَلَا بَأْسَ بِدَفْعِ الْمُصْحَفِ إلَى الصِّبْيَانِ لِأَنَّ فِي الْمَنْعِ تَضْيِيعَ حِفْظِ الْقُرْآنِ وَفِي الْأَمْرِ بِالتَّطْهِيرِ حَرَجًا بِهِمْ
Kitab Fathul Qadir Juz 1 halaman 168:
“Dan mereka tidak diperbolehkan menyentuh mushaf kecuali dengan sampulnya, dan tidak boleh mengambil dirham yang terdapat satu surah dari Al-Qur’an di dalamnya kecuali dengan bungkusan. Demikian pula orang yang berhadats tidak boleh menyentuh mushaf kecuali dengan sampulnya,” karena sabda Nabi ﷺ: “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Kemudian, hadats dan junub itu sama-sama menyebabkan anggota tangan menjadi tidak suci, sehingga keduanya disamakan dalam hukum menyentuh (Al-Qur’an). Akan tetapi, janabah (keadaan junub) menyebabkan mulut menjadi tidak suci, sedangkan hadats tidak, sehingga keduanya berbeda dalam hukum membaca (Al-Qur’an).
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dalam sanadnya terdapat Isma’il bin ‘Ayyasy, dan telah disebutkan sebelumnya pembahasan mengenai dirinya.
Dalam Sunan yang empat (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah) dari Ali رضي الله عنه: “Rasulullah ﷺ tidak terhalangi atau beliau berkata: tidak terhalang dari membaca (Al-Qur’an) oleh sesuatu kecuali junub.”
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ahlul Hadits tidak menetapkannya (sebagai hadits sahih).” Al-Baihaqi berkata: “Karena sanadnya berpusat pada Abdullah bin Salamah dengan kasrah pada huruf lam, yang telah tua dan ingatannya sudah berubah serta haditsnya diingkari. Ia hanya meriwayatkan hadits ini setelah usianya lanjut,” sebagaimana dikatakan oleh Syu’bah.
Namun, At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan sahih.” Ibnu Hibban dan Al-Hakim juga mensahihkannya. Al-Hakim mengatakan: “Keduanya (Ibnu Hibban dan Al-Hakim) tidak menjadikan Abdullah bin Salamah sebagai hujjah, padahal sanad hadits ini berpusat padanya.”
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Umar رضي الله عنه bahwa beliau tidak menyukai membaca (Al-Qur’an) bagi orang yang junub, dan berkata: “Hadits ini sahih.”
(Ucapan: ‘Maka ini menjadi hujjah terhadap Ath-Thahawi dalam membolehkan membaca kurang dari satu ayat’)
Najmuddin Az-Zahid menyebutkan bahwa ini adalah riwayat Ibnu Sama’ah dari Abu Hanifah, dan mayoritas ulama berpegang pada pendapat ini.
Dasarnya adalah bahwa bacaan yang kurang dari satu ayat tidak dianggap sebagai bacaan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah ﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾ (Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an).
Juga sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Orang yang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an.” Maka sebagaimana seseorang tidak dianggap sebagai pembaca (Al-Qur’an) dengan bacaan kurang dari satu ayat sehingga tidak sah shalatnya, demikian pula ia tidak dianggap membaca Al-Qur’an, sehingga tidak haram bagi orang yang junub atau haid.
Para ulama berkata: “Jika seorang pengajar perempuan sedang haid, ia boleh mengajarkan satu kata demi satu kata dengan jeda antara keduanya.”
Menurut pendapat Ath-Thahawi, setengah ayat diperbolehkan.
Dalam Al-Khulashah, dalam pembahasan larangan bagi wanita haid, disebutkan bahwa membaca Al-Qur’an dilarang kecuali jika itu adalah ayat pendek yang biasa diucapkan dalam percakapan, seperti firman Allah ‘ثُمَّ نَظَرَ’ atau ‘وَلَمْ يُولَدْ’.
Adapun membaca kurang dari satu ayat, seperti “Bismillah” atau “Alhamdulillah”, jika diniatkan sebagai bacaan Al-Qur’an, maka hukumnya makruh. Namun, jika dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atau pujian, maka tidak dimakruhkan.
Membaca dengan mengeja huruf atau membaca doa qunut tidak dimakruhkan.
Dalam Al-Fatawa Az-Zahiriyyah disebutkan: “Tidak sebaiknya bagi wanita haid dan orang junub membaca Taurat, Injil, dan Zabur, karena semuanya adalah kalamullah.”
Juga dimakruhkan bagi keduanya membaca doa witir, karena Ubay bin Ka’b رضي الله عنه menganggapnya sebagai dua surah dari Al-Qur’an: dari awalnya hingga ‘اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ’ sebagai satu surah, dan dari situ hingga akhirnya sebagai surah lainnya.
Namun, menurut pendapat yang lebih sahih, tidak dimakruhkan, dan fatwa mengikuti pendapat ini.
Adapun membaca dzikir, maka dalam Bab Adzan disebutkan bahwa berwudhu untuk adzan dianjurkan tetapi tidak wajib.
(Ucapan: ‘Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci’)
Hadits ini terdapat dalam kitab Amr bin Hazm ketika Nabi ﷺ mengutusnya ke Yaman, dan akan disebutkan secara lengkap dalam Kitab Zakat, insyaAllah.
(Ucapan: ‘Kemudian janabah menyebabkan tangan menjadi tidak suci dan seterusnya’)
Ini menunjukkan kebolehan melihat Al-Qur’an bagi orang yang junub, karena matanya tidak menjadi tidak suci, dan karena itu tidak wajib membasuhnya.
Adapun menyentuh sesuatu yang terdapat dzikir di dalamnya, mayoritas ulama membolehkannya.
Sampul mushaf yang diperbolehkan untuk disentuh oleh orang yang berhadats adalah yang terpisah dari mushaf, bukan yang menyatu seperti jilidan yang dijahit.
Yang benar, menyentuh mushaf dengan lengan baju (lengan jubah) hukumnya makruh, karena lengan baju mengikuti tubuh.
Berbeda dengan kitab-kitab syariat, karena bagi ahlinya diperbolehkan menyentuhnya dengan lengan baju karena ada kebutuhan mendesak.
Tidak mengapa memberikan mushaf kepada anak-anak karena jika dilarang, maka akan menyebabkan mereka tidak bisa menghafalkan Al-Qur’an, sementara mewajibkan mereka bersuci untuk menyentuhnya dapat menyulitkan mereka. Madzhah Imam Malik memperbolehkan orang haid dan junub membaca Al-Qur’an , pendapat ini lebih fleksibel dalam memperbolehkan perempuan haid tetap mengikuti lomba baca Al-Qur’an walaupun membawa bahakan menyentuh mushaf secara langsung.
Menurut Malikiyah memperbolehkan orang yang haid dan nifas membaca Al-Qur’an dalam kondisi darurat
فقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ج١ص ٤٥٤
وأجاز المالكية للحائض والنفساء قراءة القرآن وحمله ومسّه أثناء التعليم والتعلم للضرورة، كما أجازوا لهما القراءة في غير حال التعلم إذا كان يسيراً كآية الكرسي والإخلاص والمعوذتين وآيات الرُّقية للتداوي بقصد الاستشفاء بالقرآن
Dan mazhab Malikiyah membolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an, membawanya, serta menyentuhnya saat dalam keadaan mengajar dan belajar karena adanya kebutuhan. Mereka juga membolehkan keduanya membaca Al-Qur’an di luar keadaan belajar jika bacaan tersebut sedikit, seperti Ayat Kursi, Surah Al-Ikhlas, Al-Mu’awwidzatain, serta ayat-ayat ruqyah untuk pengobatan, dengan tujuan berobat menggunakan Al-Qur’an.Wallahu a’lam bish-shawab

Hukum Masuknya Air ke Telinga Saat Berpuasa
Deskripsi Masalah
Sebagaimana diketahui, puasa adalah menahan diri setelah telah terbitnya fajar shodiq hingga terbenamnya mata hari dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan segala sesuatu yang masuk ke dalam lubang tubuh. Namun, tanpa disengaja, seseorang yang sedang berpuasa mandi atau berwudhu, lalu saat membasuh telinga atau mandi, air masuk ke dalam telinganya.
Pertanyaan:
Apakah batal puasa seseorang yang telinganya kemasukan air?
Waalaikum salam
Jawaban
Jika air masuk ke telinga dengan sengaja dan mencapai bagian dalam, maka puasanya batal. Namun, jika tidak disengaja—seperti saat mandi atau berwudhu tanpa ada unsur kesengajaan—maka tidak membatalkan puasa, karena tidak ada unsur kesengajaan sebagaimana dikecualikan dalam kaidah bahwa sesuatu yang masuk ke dalam jauf tanpa kesengajaan tidak membatalkan puasa.
Air yang masuk akibat aktivitas yang diperintahkan dalam syariat seperti mandi wajib atau wudhu, maka jika tidak disengaja, tidak membatalkan puasa. Namun, jika dengan sengaja memasukkan air ke dalam telinga hingga mencapai bagian dalam, maka puasanya batal.
Kesimpulannya: Jika air masuk ke telinga secara tidak sengaja saat mandi atau wudhu, maka tidak membatalkan puasa. Namun, jika seseorang sengaja memasukkan air ke dalam telinga hingga mencapai bagian dalam (shamak), maka puasanya batal.Kenapa batal karena telinga termasuk saluran terbuka (manfadz maftuh), sehingga jika ada sesuatu yang masuk ke dalamnya hingga mencapai bagian dalam (shamak), maka dapat membatalkan puasa. Oleh karena itu, meneteskan obat ke dalam telinga dianggap membatalkan puasa karena dapat mencapai bagian dalam.Wallahu a’lam bish-shawab
Referensi:
فقه العبادة على مذهب الإمام الشافعى. ص.٥٣٢
رابعا – الإمساك عن وصول عين إلى ما يسمى جوفا هن منفذ مفتوح:
فأما العين: فيدخل فيها دخان اللفائف (١) والتنباك (٢) ، فيفطران الصائم لأن لهما أثرا يشاهد في باطن العود، وكذلك ابتلاع ما لا يؤكل في العادة، كقطع النقد، والتراب، والحصاة، والحشيش، والحديد، والخيط.
ويستثنى من العين المفطرة الريح والطعم، ولو وجد ذاك الطعم في الفم.
كما يستثنى وصول ذباب أو بعوض أو غبار طريق، أو غربلة دقيق إلى الجوف لعسر التحرز منه، وكدا لو خرجت مقعدة المبسور فأعادها فلا يضر لعذره، وكذا لو بقي طعام بين أسنانه فجرى به ريقه حتى دخل جوفه من غير قصد لم يضر إن عجز عن تمييزه ومجه، أما النخامة فإذا خرجت إلى مخرج الخاء ثم ابتلعها فإنه يفطر. وكذا لا يضر وصول الريق الخالص الطاهر من معدنه (٣) إلى جوفه، بخلاف غير الخالص وغير الطاهر، كالمختلط بدم فإنه يفطر، إلا أنه يعفى عنه بحق من ابتلي بنزف اللثة، وبخلاف الخارج من غير معدنه، كما لو جمعه على شفتيه ثم بلعه، فهذا يضر، أما إذا خرج على لسانه ثم ابتلعه فلا يفطر. وكذا لو سبق ماء المضمضة أو الاستنشاق شريطة عدم المبالغة فيهما، أو سبق ماء غسل مطلوب – ولو مندوبا كغسل الجمعة – إلى الجوف فلا يضر لتولده من مأمور به، أما إذا سبق الماء إلى الجوف نتيجة المبالغة فإنه يفطر لأن المبالغة منهي عنها في الصوم، لما روى لقيط بن صبرة رضي الله عنه قال: “قلت يا رسول الله أخبرني عن الوضوء قال: (أسبغ الوضوء، وخلل بين الأصابع، وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما) ” (٤) . وكذا ماء الغسلة الرابعة في الوضوء، وإن لم يبالغ فإنه مفطر إن سبق إلى الجوف، أما إذا سبق الماء إلى الجوف نتيجة المبالغة في غسل النجاسة (٥) فلا يفطر لأن إزالة النجاسة واجبة، وأما ماء الغسل غير المطلوب كغسل التبرد والنظافة فسبقه إلى الجوف مفطر، وأما الماء الذي يضعه الصائم على فمه للتبرد أو لدفع عطش فلا يضر سبقه لشدة الحاجة إليه، وكذا الأكل والشرب ناسيا للصوم لا يفطر لحديث أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه، فإنما أطعمه الله وسقاه) (٦) .
ولا يضر الأكل والشرب مكرها، بل يبقى الصيام صحيحا، بخلاف ما لو فعل ذلك جاهلا كونه مفطرا فإنه يفطر، إلا إذا كان الجاهل معذورا، لما روى ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم (إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه) (٧) .
وإن تبين للصائم يقينا طلوع الفجر وهو لم يزل يأكل وجب عليه إعادة صوم ذاك اليوم، ولو طلع الفجر وفي فمه طعام فليلفظه، فإن فعل صح صومه، وإن ابتلعه أفطر، فلو لفظه في الحال فسبق منه شيء إلى جوفه بغير اختياره فلا يفطر.
وأما الجوف: فيشمل جوف الإنسان كله؛ فلو أدخلت المرأة إصبعها في فرجها أثناء الاستنجاء أو الغسل، ولو بقصد النظافة، ولو بمقدار رأس الإصبع فإنها تفطر. ومثله حك الأذن من داخلها بشيء صلب، أما بالإصبع فلا يفطر ما لم تصل إلى الصماخ. والقطرة في الأذن والأنف تفطر، أما في العين فلا، ولو وجد طعمها في حلقه، لأن العين ليس بمنفذ مفتوح. وكذا الحقنة والتحميلة فإنهما تفطران سواء كانتا في قبل أو دبر. أما لو أدخلت في الفرج قطعة قطن عليها دواء، أثناء الإفطار، بحيث تتجاوز ما يظهر أثناء قضاء الحاجة، فإذا بقيت إلى ما بعد الفجر فلا تفطر، ومثله موانع الحمل الآلية، لا تضر بالصوم ما وضعت في الإفطار.
وأما المنفذ المفتوح: فإما أن يكون مفتوحا أصالة مثل الأذن والفم والأنف والشرج، أو مفتوحاً بواسطة جرح مثل المأمومة (٨) ، لذا لا يضر وصول الكحل من العين، أو الدهن أو ماء الغسل من تشرب مسام البشرة، وكذا الحقن العضلية والوريدية لا تفطر بكل أنواعها، ولو كانت للتغذية.
Kitab: Fiqh Al-‘Ibadah ‘Ala Madhhab Al-Imam Al-Syafi’i, hlm. 532
Keempat – Menahan Diri dari Sampainya Suatu Zat ke Dalam Apa yang Disebut Sebagai Jauf Melalui Saluran Terbuka
Adapun yang dimaksud dengan zat (ain) mencakup asap rokok dan tembakau, yang keduanya membatalkan puasa karena memiliki efek yang tampak di dalam batang tenggorokan. Begitu pula dengan menelan sesuatu yang umumnya tidak dimakan, seperti potongan uang logam, tanah, kerikil, rumput, besi, dan benang.
Namun, ada beberapa zat yang dikecualikan dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti udara dan rasa, meskipun rasa tersebut terasa di dalam mulut. Juga dikecualikan jika ada lalat atau nyamuk yang masuk ke dalam jauf, atau debu jalanan, atau tepung hasil pengayakan yang masuk ke dalam tubuh, karena sulit menghindarinya. Demikian pula, apabila dubur seseorang yang mengalami ambeien keluar, lalu ia mengembalikannya, maka hal itu tidak membatalkan puasa karena uzurnya. Hal yang sama berlaku bagi sisa makanan di antara gigi yang terbawa air liur hingga masuk ke dalam jauf tanpa disengaja, maka tidak membatalkan puasa jika ia tidak mampu membedakan dan meludahkannya.
Adapun dahak, jika telah mencapai batas keluarnya huruf “kha’” lalu ditelan, maka itu membatalkan puasa. Berbeda dengan air liur murni dan suci yang berasal dari dalam mulut, jika masuk ke dalam jauf, maka tidak membatalkan puasa. Namun, jika air liur tersebut bercampur dengan darah, maka itu membatalkan puasa, kecuali bagi orang yang mengalami pendarahan gusi, maka dimaafkan. Begitu pula, jika air liur yang keluar dari tempatnya, seperti dikumpulkan di bibir lalu ditelan, maka itu membatalkan puasa. Namun, jika air liur hanya keluar ke lidah lalu ditelan, maka tidak membatalkan puasa.
Begitu juga, jika ada air kumur atau istinsyaq (menghirup air ke hidung) yang masuk ke jauf secara tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa, selama tidak berlebihan dalam berkumur dan beristinsyaq. Namun, jika berlebihan hingga menyebabkan air masuk ke jauf, maka puasanya batal, karena berlebihan dalam hal ini dilarang saat berpuasa. Sebagaimana diriwayatkan dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang wudhu, beliau bersabda: ‘Sempurnakanlah wudhu, sela-selailah jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa.’” (HR. Abu Dawud).
Demikian pula, jika ada air bekas basuhan keempat dalam wudhu yang masuk ke dalam jauf, maka hal itu membatalkan puasa meskipun tidak berlebihan. Namun, jika air masuk ke dalam jauf karena berlebihan dalam mencuci najis, maka tidak membatalkan puasa, karena menghilangkan najis itu wajib.
Adapun air yang digunakan untuk mandi yang tidak wajib, seperti mandi untuk menyegarkan diri atau membersihkan tubuh, jika airnya masuk ke dalam jauf, maka membatalkan puasa. Sedangkan air yang diletakkan di mulut untuk mendinginkan tubuh atau menghilangkan rasa haus, jika masuk ke dalam jauf, maka tidak membatalkan puasa karena ada kebutuhan mendesak.
Begitu pula, makan dan minum karena lupa tidak membatalkan puasa, sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang lupa dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Makan dan minum karena dipaksa juga tidak membatalkan puasa, sehingga puasanya tetap sah. Berbeda halnya jika seseorang makan dan minum karena tidak tahu bahwa itu membatalkan puasa, maka puasanya batal, kecuali jika ia memiliki alasan yang dapat diterima atas ketidaktahuannya. Sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku atas kesalahan, lupa, dan apa yang mereka lakukan karena dipaksa.” (HR. Ibnu Majah).
Jika seseorang yakin bahwa fajar telah terbit sementara ia masih makan, maka wajib baginya mengqadha puasa hari itu. Namun, jika fajar telah terbit sementara ada makanan di dalam mulutnya, maka hendaknya ia segera memuntahkannya, jika ia lakukan maka puasanya sah, tetapi jika ia menelannya maka puasanya batal. Namun, jika ia memuntahkannya tetapi ada sedikit yang tidak sengaja tertelan, maka puasanya tetap sah.
Adapun jauf (rongga tubuh) mencakup seluruh bagian dalam tubuh manusia. Sehingga jika seorang wanita memasukkan jarinya ke dalam farjinya saat bersuci atau mandi, meskipun dengan tujuan kebersihan, maka puasanya batal, meskipun hanya sebatas ujung jari. Hal yang sama berlaku jika seseorang menggaruk bagian dalam telinga dengan benda keras, tetapi jika hanya dengan jari maka tidak membatalkan puasa, selama tidak mencapai bagian dalam telinga (shamak).
Tetesan yang dimasukkan ke dalam telinga dan hidung membatalkan puasa, sedangkan tetesan mata tidak membatalkan puasa meskipun terasa di tenggorokan, karena mata bukanlah saluran terbuka.
Begitu juga, suntikan dan supositoria (obat yang dimasukkan ke dubur) membatalkan puasa, baik yang dimasukkan melalui qubul (kemaluan) maupun dubur. Namun, jika seorang wanita memasukkan kapas berobat ke dalam farjinya saat tidak berpuasa, lalu kapas tersebut tetap berada di dalam setelah fajar, maka tidak membatalkan puasa. Demikian pula alat kontrasepsi mekanik yang dipasang saat tidak berpuasa, maka tidak mempengaruhi keabsahan puasa.
Adapun saluran terbuka, terbagi menjadi dua:
Saluran yang terbuka secara alami seperti telinga, mulut, hidung, dan dubur. Saluran yang terbuka akibat luka, seperti luka di kepala yang mencapai otak (ma’mumah).
Oleh karena itu, penggunaan celak mata, minyak oles, atau air mandi yang meresap melalui pori-pori kulit tidak membatalkan puasa. Begitu pula, suntikan intramuskular (ke dalam otot) dan intravena (ke dalam pembuluh darah) tidak membatalkan puasa, termasuk suntikan nutrisi.
Referensi :
الفقه المنهجى على مذهب الإمام الشافعى ص ٨٤
٢ـ وصول عين إلى الجوف من منفذ مفتوح:
والمقصود بالعين: أي شيء تراه العين. والجوف: هو الدماغ أو ما وراء الحلق إلى المعدة والأمعاء.
والمنفذ المفتوح: هو الفم والأذن والقبل والدبر من الذكر والأنثى.
فالقطرة من الأذن مفطرة، لأنها منفذ مفتوح.
والقطرة في العين غير مفطرة، لأنه منفذ غير مفتوح.
والحقنة الشرجية مفطرة، لأن الشرج منفذ مفتوح.
والحقنة الوردية لا تفطر، لأن الوريد غير مفتوح. وهكذا.
وهذا كله أيضا بشرط التعمد، فإن فعل شيئاً من ذلك ناسياً لم يضر قياساً على الطعام والشراب.
ولو وصل جوفه ذباب أو بعوضة، أو غبار الطريق لم يفطر أيضاً، لما في
Kitab: Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madhhab Al-Imam Al-Syafi’i, hlm. 84
2 – Sampainya Suatu Zat ke Dalam Jauf Melalui Saluran Terbuka
Yang dimaksud dengan zat (ain) adalah sesuatu yang dapat dilihat oleh mata. Jauf mencakup otak atau bagian di belakang tenggorokan hingga lambung dan usus. Saluran terbuka mencakup mulut, telinga, qubul, dan dubur bagi laki-laki maupun perempuan.
Tetesan yang dimasukkan ke dalam telinga membatalkan puasa, karena telinga termasuk saluran terbuka. Tetesan mata tidak membatalkan puasa, karena mata bukan saluran terbuka. Suntikan dubur membatalkan puasa, karena dubur adalah saluran terbuka. Suntikan melalui pembuluh darah tidak membatalkan puasa, karena pembuluh darah bukan saluran terbuka.
Semua ini berlaku jika dilakukan dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa, maka tidak membatalkan puasa, sebagaimana qiyas dengan makan dan minum.
Demikian pula, jika ada lalat, nyamuk, atau debu jalanan yang masuk ke dalam jauf, maka tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Wallahu a’lam bish-shawab.