DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Kategori
Bahtsul Masail Dzikir dan Doa Muamalat

HUKUM PENGOBATAN DENGAN BATU AKIK DAN BANTUAN JIN:STUDI KASUS PRAKTIK PONARI

Pandangan Fikih terhadap Pengobatan dengan Batu Akik dan Bantuan Jin: Studi Kasus Praktik Ponari

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Kesehatan dan penyakit adalah bagian dari kehidupan manusia. Ketika seseorang sakit, ia akan berusaha mencari pengobatan, baik melalui dokter, tabib, rukiyah, maupun metode lainnya demi memperoleh kesembuhan. Bahkan, ada yang memilih pengobatan alternatif, termasuk menggunakan doa, benda tertentu, atau bantuan jin.
Beberapa waktu lalu, tersiar kabar menghebohkan tentang seseorang yang memiliki sebilah keris serta menemukan sebuah batu akik yang diklaim dapat menjadi sarana penyembuhan segala penyakit. Akibatnya, banyak orang berbondong-bondong datang untuk berobat kepadanya, meskipun pengobatan tersebut masih dipertanyakan dari segi medis dan agama.

Pertanyaan:

Bagaimanakah pandangan fikih mengenai pengobatan dengan menggunakan batu akik dan bantuan jin?

Benarkah larangan pemerintah terhadap praktik pengobatan Ponari disebabkan oleh alasan bahwa kegiatan tersebut mengganggu pendidikannya?

Dapatkah diterima keterangan para dokter yang melarang masyarakat berobat kepada Ponari dengan alasan bahwa air yang digunakan untuk pengobatan tercemar bakteri?

Waalaikum salam.

Jawaban  kami satukan

Praktik pengobatan Ponari merujuk pada fenomena yang terjadi di Jombang, Jawa Timur, sekitar tahun 2009. Ponari adalah seorang bocah yang saat itu berusia sekitar 9 tahun dan menjadi terkenal karena diklaim memiliki sebuah batu bertuah yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Menurut cerita yang beredar, Ponari menemukan batu tersebut setelah tersambar petir. Batu itu kemudian digunakan untuk “mengobati” orang-orang dengan cara mencelupkannya ke dalam air, lalu air tersebut diminum oleh pasien. Ribuan orang dari berbagai daerah datang untuk mendapatkan “pengobatan” ini, sehingga menyebabkan kerumunan besar dan bahkan ada beberapa korban jiwa akibat berdesakan.
Fenomena ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan tenaga medis. Pemerintah akhirnya melarang praktik ini dengan alasan mengganggu pendidikan Ponari serta mempertimbangkan aspek kesehatan, karena air yang digunakan tidak higienis dan berisiko menimbulkan penyakit.
Dari sisi agama, banyak ulama menilai bahwa praktik ini mengandung unsur khurafat dan keyakinan berlebihan terhadap benda tertentu tanpa dasar syariat yang jelas oleh karena itu jawaban ini akan mencakup dua aspek utama: pandangan fikih mengenai pengobatan dengan batu akik dan bantuan jin, serta alasan larangan praktik pengobatan Ponari dari sudut pandang pemerintah dan medis.

1. Pandangan Fikih Mengenai Pengobatan dengan Batu Akik dan Bantuan Jin

a. Pengobatan dengan Batu Akik

Dalam Islam, keyakinan bahwa suatu benda memiliki kekuatan penyembuhan secara mandiri tanpa izin Allah termasuk bentuk kesyirikan. Hadis Nabi ﷺ menegaskan larangan terhadap penggunaan tamimah (jimat) dan keyakinan terhadap benda-benda bertuah:

“Sesungguhnya ruqyah (yang mengandung kesyirikan), tamimah (jimat), dan tiwalah (guna-guna untuk menimbulkan rasa cinta) adalah syirik.”
(HR. Abu Dawud: 3883, Ibnu Majah: 3530)

Dari hadis ini, pengobatan dengan batu akik menjadi terlarang jika:

Diyakini memiliki kekuatan sendiri tanpa izin Allah

Digunakan sebagai jimat atau benda mistik

Namun, jika batu hanya dianggap sebagai sarana biasa, misalnya karena unsur mineralnya bermanfaat secara medis, maka hukumnya boleh, selama tidak menimbulkan mudarat.

b. Pengobatan dengan Bantuan Jin

Pengobatan yang melibatkan jin memiliki hukum yang lebih kompleks. Dalam beberapa riwayat, Rasulullah ﷺ pernah meminta bantuan jin Muslim, tetapi dengan syarat tertentu:

Tidak ada keyakinan bahwa jin memiliki kekuatan sendiri, melainkan atas izin Allah.

Tidak ada kesepakatan dengan jin yang bertentangan dengan syariat, seperti meminta sesajen atau melakukan ritual tertentu.

Jin yang membantu adalah jin Muslim, bukan jin kafir atau setan.

Tidak mengandung lafaz kesyirikan dalam doa atau bacaan yang digunakan.

Tidak melibatkan azimat atau media yang bertentangan dengan syariat.

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pengobatan dengan bantuan jin menjadi haram dan termasuk bentuk sihir atau perdukunan.
Sebagai contoh, dalam Hasyiyah al-Jamal (4/329), disebutkan bahwa membatalkan sihir (ruqyah syar’iyyah) boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar syariat.

2. Larangan Praktik Pengobatan Ponari dari Perspektif Pemerintah dan Medis

a. Alasan Pemerintah: Gangguan terhadap Pendidikan

Pemerintah melarang praktik Ponari dengan alasan mengganggu pendidikannya. Hal ini bisa benar, terutama karena Ponari saat itu masih anak-anak dan seharusnya fokus pada pendidikan.
Namun, dari sudut pandang Islam, jika pendidikan yang terganggu adalah pendidikan agama atau akidah, maka larangan ini memiliki dasar yang lebih kuat. Jika hanya pendidikan formal tanpa dampak terhadap akidah, maka tidak serta-merta menjadi alasan utama untuk melarang.

b. Alasan Medis: Air Tercemar Bakteri

Dokter yang melarang praktik Ponari beralasan bahwa air yang digunakan untuk pengobatan tidak higienis dan dapat menyebabkan penyakit.
Dalam Islam, jika sesuatu terbukti membahayakan kesehatan, maka dilarang. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan tidak boleh membahayakan orang lain (dhirar).”
(HR. Ibnu Majah: 2341, Ahmad: 2865)

Jika air yang digunakan terbukti mengandung bakteri atau berbahaya, maka larangan ini sah berdasarkan prinsip menolak kemudaratan (dar’ul mafasid) dalam kaidah fikih.
Namun, jika tidak ada bukti medis yang valid, maka larangan tersebut hanya berupa peringatan atau nasihat kepada masyarakat. Dalam hal ini, dokter yang memberikan keterangan sebaiknya seorang Muslim yang terpercaya dan ahli dalam bidangnya.

Kesimpulan

Pengobatan dengan batu akik dilarang jika diyakini memiliki kekuatan sendiri, tetapi boleh jika hanya dianggap sebagai sarana biasa tanpa unsur mistik.

Pengobatan dengan jin hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat syariat. Jika tidak, maka termasuk bentuk sihir atau perdukunan yang haram.

Larangan pemerintah terhadap Ponari didasarkan pada gangguan terhadap pendidikannya. Jika terkait pendidikan agama atau akidah, maka larangan ini lebih kuat secara syariat.

Alasan medis tentang air yang tercemar bakteri dapat diterima jika memang terbukti berbahaya, karena Islam melarang sesuatu yang membahayakan kesehatan.

Wallahu a’lam.

كتاب الحواشي على سنن إبن ماجه شروح الحديث ج: ٤ ص:  ٨٢٣

٣٩ – بَاب تَعْلِيق التَّمائِمِ
٣٥٣٠ – حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ قَالَ: مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيمَانَ قالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ بِشْرٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ الجَزَّارِ، عَنِ ابْنِ أُخْتِ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ الله، عَنْ زَيْنَبَ قَالَتْ: كَانَتْ عَجُوزٌ تَدْخُلُ عَلَيْنَا تَرْقِي مِنَ الحُمْرَةِ، وَكَانَ لَنَا سَرِير طَوِيلُ القَوَائِمِ، وَكَانَ عَبْدُ الله إِذَا دَخَلَ تَنَحْنَحَ وَصَوَّتَ، فَدَخَلَ يَوْمًا فَلَّمَا سَمِعَتْ صَوْتَهُ احْتَجَبَتْ مِنْهُ، فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِي فَمَسَّنِي فَوَجَدَ مَسَّ خَيْطٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقُلتُ: رُقًى لِي فِيهِ مِنَ الحُمْرَةِ، فَجَذَبَهُ فَقَطَعَهُ فَرَمَى بِهِ، وَقَالَ: لَقَدْ أَصْبَحَ آلُ عَبْدِ الله أَغْنِيَاءَ عَنِ الشِّرْكِ، سَمِعْتُ رَسُولَ الله ﷺ يَقُولُ: “إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ”.
٣٩ – بَاب تَعْلِيق التَّمَائِمِ
٣٥٣٠ – قوله: “حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيمَانَ”: هو بالتشديد، تقدَّم غير مرة.
قوله: “وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ”: التِّوَلَة بكسر التاء المثناة فوق وفتح الواو؛ ما يحبب المرأةَ إلى زوجها من السحر وغيره.
جعله مِن الشرك لاعتقادهم أن ذلك يؤثر، ويفعل خلاف ما قدَّره الله تعالى قُلتُ: فَإِنِّي خَرَجْتُ يَوْمًا فَأَبْصَرَنِي فُلَانٌ، فَدَمَعَتْ عَيْنِي الَّتِي تَلِيهِ، فَإِذَا رَقَيْتُهَا سَكَنَتْ دَمْعَتُهَا، وَإِذَا تركْتُهَا دَمَعَتْ، قَالَ: ذَاكِ الشَّيْطَانُ؛ إِذَا أَطَعْتِهِ تركَكِ، وَإِذَا عَصَيْتهِ طَعَنَ بِإِصْبَعِهِ فِي عَيْنِكِ، وَلَكِنْ لَوْ فَعَلتِ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ الله ﷺ كَانَ خَيْرًا لَكِ، وَأَجْدَرَ أَنْ تُشْفَيْنَ، تَنْضَحِينَ فِي عَيْنِكِ المَاءَ وَتَقُولِينَ: أَذْهِبِ البَاس رَبَّ النَّاس، اشْفِ أنْتَ الشَّافِي، لا شِفَاءَ إِلا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لا يُغَادِرُ سَقَمًا. [د:٣٨٨٣].
٣٥٣١ – حَدَّثَنَا عَليُّ بْنُ أَبِي الخصِيبِ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مُبَارَكٍ، عَنِ الحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الحُصَيْنِ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَجُلًا فِي يَدِهِ حَلقَة مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ: “مَا هَذِهِ الحَلقَةُ؟ ” قَالَ: هَذِهِ مِنَ الوَاهِنَةِ. قَالَ: “انْزِعْهَا، فَإِنَّهَا لا تَزِيدُكَ إِلا وَهْنًا

39 – Bab Menggantung Tamimah (Jimat)
Hadis 3530:
Diriwayatkan dari Zainab, ia berkata:
Ada seorang wanita tua yang biasa masuk ke rumah kami untuk melakukan ruqyah dari penyakit “humrah” (kemerahan di kulit). Kami memiliki tempat tidur dengan kaki yang tinggi. Jika Abdullah (bin Mas’ud) masuk, ia akan berdehem dan mengeluarkan suara. Suatu hari, ketika wanita itu mendengar suaranya, ia segera bersembunyi. Kemudian Abdullah datang dan duduk di sebelahku. Ia menyentuhku dan merasakan ada seutas tali. Lalu ia bertanya:
“Apa ini?”
Aku menjawab:
“Ini adalah ruqyah untuk penyakit humrah.”
Mendengar itu, ia segera menariknya, memotongnya, dan membuangnya. Lalu ia berkata:
“Keluarga Abdullah sekarang sudah tidak membutuhkan lagi kesyirikan. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya ruqyah (yang mengandung kesyirikan), tamimah (jimat), dan tiwalah (guna-guna untuk menimbulkan rasa cinta) adalah syirik’.”
Penjelasan Hadis:
3530 –
Kalimat “Mu’ammar bin Sulaiman” dengan tasydid, telah disebutkan sebelumnya beberapa kali.
Mengenai sabda Nabi ﷺ “wa at-tiwalah syirkun” (dan tiwalah adalah syirik), yang dimaksud dengan tiwalah adalah sesuatu yang digunakan untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, baik dengan sihir maupun lainnya. Nabi ﷺ menyebutnya sebagai syirik karena keyakinan mereka bahwa hal tersebut dapat memberikan pengaruh dan mendatangkan manfaat di luar ketetapan Allah ﷻ.
Aku (Zainab) berkata:
“Suatu hari aku keluar, lalu seseorang melihatku. Setelah itu, mataku yang berada di sebelahnya mulai berair. Jika aku meruqyahnya, air mata itu berhenti. Jika aku tidak meruqyah, maka mataku terus berair.”
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Itu adalah ulah setan. Jika kamu menaatinya, ia akan membiarkanmu. Namun jika kamu menentangnya, ia akan menusukkan jarinya ke matamu. Tetapi jika kamu melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ, itu lebih baik bagimu dan lebih besar kemungkinan untuk sembuh. Cipratkan air ke matamu sambil berdoa: ‘Hilangkanlah penyakit ini, wahai Tuhan manusia. Sembuhkanlah, Engkaulah Sang Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit’.”
[HR. Abu Dawud: 3883]
Hadis 3531:
Diriwayatkan dari Imran bin Husain, bahwa Nabi ﷺ melihat seorang laki-laki yang mengenakan cincin dari kuningan. Nabi ﷺ bertanya:
“Apa ini?”
Laki-laki itu menjawab:
“Ini untuk menghindari penyakit wahinah (kelemahan pada tangan atau penyakit lainnya).”
Nabi ﷺ bersabda:
“Lepaskan itu, karena benda ini hanya akan menambah kelemahan padamu!”

حاشية الجمل، ٣٢٩/٤).
( قَوْلُهُ فَلَا يَصِحُّ اكْتِرَاءُ شَخْصٍ لِمَا لَا يُتْعِبُ) يُؤْخَذُ مِنْهُ صِحَّةُ الْإِجَارَةِ عَلَى إبْطَالِ السِّحْرِ لِأَنَّ فَاعِلَهُ يَحْصُلُ لَهُ مَشَقَّةٌ بِالْكِتَابَةِ وَنَحْوِهَا مِنْ اسْتِعْمَالِ الْبُخُورِ وَتِلَاوَةِ الْأَقْسَامِ الَّتِي جَرَتْ عَادَتُهُمْ بِاسْتِعْمَالِهَا وَمِنْهُ إزَالَةُ مَا يَحْصُلُ لِلزَّوْجِ مِنْ الِانْحِلَالِ الْمُسَمَّى عِنْدَ الْعَامَّةِ بِالرِّبَاطِ وَالْأُجْرَةُ عَلَى مَنْ الْتَزَمَ الْعِوَضَ وَلَوْ أَجْنَبِيًّا حَتَّى لَوْ كَانَ الْمَانِعُ بِالزَّوْجِ وَالْتَزَمَتْ الْمَرْأَةُ أَوْ أَهْلُهَا الْعِوَضَ لَزِمَتْ الْأُجْرَةُ مَنْ الْتَزَمَهَا وَكَذَا عَكْسُهُ وَلَا يَلْزَمُ مَنْ قَامَ الْمَانِعُ بِهِ الِاسْتِئْجَارُ لِأَنَّهُ مِنْ قَبِيلِ الْمُدَاوَاةِ وَهِيَ غَيْرُ لَازِمَةٍ لِلْمَرِيضِ مِنْ الزَّوْجَيْنِ ثُمَّ إنْ وَقَعَ إيجَارٌ صَحِيحٌ بِعَقْدٍ لَزِمَ الْمُسَمَّى وَإِلَّا فَأُجْرَةُ الْمِثْلِ ا هـ. ع ش عَلَى م ر.

Hasyiyah al-Jamal (4/329):
(Ucapan: “Maka tidak sah menyewa seseorang untuk sesuatu yang tidak melelahkan”)
Dari pernyataan ini diambil kesimpulan bahwa sah menyewa seseorang untuk membatalkan sihir, karena pelakunya mengalami kesulitan dalam menulis dan hal-hal lainnya, seperti menggunakan dupa dan membaca mantra-mantra yang biasa mereka gunakan. Termasuk di dalamnya adalah menghilangkan kondisi yang menimpa seorang suami berupa kelemahan (impotensi) yang dikenal oleh masyarakat sebagai ribat.
Upah diberikan kepada siapa saja yang berkomitmen untuk membayarnya, meskipun ia orang luar. Jika penghalangnya berasal dari suami, lalu istri atau keluarganya yang berkomitmen membayar imbalan, maka upah wajib ditanggung oleh pihak yang telah berjanji membayarnya, dan demikian juga sebaliknya.
Namun, pihak yang mengalami gangguan tidak wajib menyewa orang untuk mengobatinya, karena hal itu termasuk dalam kategori pengobatan, yang tidak wajib bagi orang sakit dari kedua belah pihak suami-istri. Jika akad sewa menyewa dilakukan secara sah, maka wajib membayar sesuai jumlah yang disepakati. Jika tidak ada akad yang sah, maka berlaku upah yang setara (ujrah al-mitsl). (Selesai, komentar dari ‘Isham asy-Syarbini dalam syarahnya terhadap Minhaj at-Tullab).

(الفوائد المكية، (١٧).
) (وَالإِسْتِخْدَامَاتُ إِمَّا بِالكَوَاكِبِ أَوْ بِالْجَانَّ وَبَعْضِ الْأَلْفَاظِ الَّتِي يُخَاطَبُ بِهَا الكَوَاكِبُ مِنْهَا مَا هُوَ كُفْرٌ صَرِيحٌ كَعِبَادَتِهِ بِلَفْظِ الْإِلَهِيَّةِ. وَيَزْعُمُ أَهْلُ هَذَا الْعِلْمِ إِذَا تَكَلَّمَ بِتَلْكَ الْكَلِمَاتِ مَعَ الْمَبْخُورِ عَلَى الْهَيْئَةِ الْمَشْرُوطَةَ كَانَتْ رُوحَانِيَّةُ تِلْكَ الْكَوَاكِبِ مُطِيعَةً لَهُ. مَتَى أَرَادَ شَيْئً فَعَلَتْهُ لَهُ عَلَى زَعْمِهِمْ وَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي مُلُوكِ الْجَانَّ عَلَى زَعْمِهِمْ.

Al-Fawaid al-Makkiyyah (17):
Penggunaan (istikhdamat) bisa dengan bintang-bintang atau jin, serta beberapa lafaz yang digunakan untuk berkomunikasi dengan bintang-bintang. Sebagian dari lafaz itu adalah kekufuran yang nyata, seperti menyembahnya dengan lafaz ketuhanan (uluhiyyah).
Para penganut ilmu ini mengklaim bahwa jika seseorang mengucapkan kata-kata tertentu sambil menggunakan dupa dengan tata cara yang disyaratkan, maka roh-roh bintang tersebut akan menaati perintahnya. Menurut mereka, kapan saja ia menginginkan sesuatu, roh itu akan melakukannya. Klaim yang sama berlaku untuk raja-raja jin.

شرح مواعظ العصفورية

فانصرف النبي عليه الصلاة والسلام فاستقبله في الطريق فارس وعليه ثياب خضر فنزل عن فرسهفسلم على النبي عليه الصلاة والسلام فأجابه فقال من أنت ياراكب قد أعجبتني سلامك علي فقال له أنا من أبناء الجن قد أسلمت في زمن نوح عليه السلام لكن كنت غائبا عن وطني فلما قدمت فوجت أهلي باكية فسألت منها فقالت لي أما ترى إن مسفر أصنع ماصنع مع محمد عليه السلام فلما سمعت ذهبت على أثره فقتلته بين الصفا والمروة وهذا دمه على سيفي رأسه في المخلاة وبدنه مطروح بين الصفا والمروة وصورته مثل صورة الكلب مقطوع الرأس فسر النبي عليه الصلاة والسلام فدعا له بالخير ثم قال مااسمك قال اسمي مهير بن عبهر ومقامي على جبل طور سينا ثم قال أتأمرني يارسول الله أن أهجوا الكفار في فم أصنامهم كما هجاك مسفر فقال له النبي عليه الصلاة والسلام افعل ثم اجتمع الكفار في اليوم الثاني فدعوا النبي عليه الصلاة والسلام فوضعوا هبلا بين أيديهم وطرحوا عليه ألوان الثياب فسجدوا له وتضرعوا إليه كما فعلوا في اليوم الأول فقالوا يا هبل أقر اليوم أعيننا بهجاء محمد عليه السلام فقال هبل يا أهل مكة اعلموا أن هذا نبي حق ودينه حق ومحمد يدعوكم إلى الحق وأنتم وصنمكم باطل فإن لم تؤمنوا به ولم تصدقوا تكونوا في نار جهنم خالدين فيها أبدا فصدقوا محمدا وهو نبي الله وخير خلقه فقام أبو جهل عليه اللعنة وأخذ الصنم وضربه على الأرض وكسره وأحرقه بالنار فانصرف النبي عليه الصلاة والسلام إلى داره مسرورا ثم سماه عبد الله بن عبهر وأنشأ الشعر في قتل مسفر يقول :

أناعبد الله بن عبهر  اني قتلت ذا الفجور مسفرا
هممته بضرب سيفي منكرا  لدى الصفا والمروة طغى واستكبرا
وخالف الحق وقال منكرا  بشتمه نبيه المطهرا
والله لا أبرح حتى ينصرا  ويظهر الإسلام حتى يقرا
أو يذل فيه كل من تكبرا  كل يهودي ومن تنصرا
جنود كسرى وملوك قيصرا

Lalu Nabi ﷺ berlalu, dan di tengah jalan beliau bertemu dengan seorang penunggang kuda yang mengenakan pakaian hijau. Ia turun dari kudanya dan memberi salam kepada Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ menjawab salamnya. Kemudian Nabi ﷺ bertanya,

“Siapakah engkau, wahai penunggang kuda? Salam yang engkau ucapkan kepadaku sungguh menarik perhatianku.”

Ia menjawab, “Aku adalah salah satu keturunan jin. Aku telah masuk Islam pada zaman Nabi Nuh عليه السلام, tetapi aku sedang bepergian jauh dari negeriku. Ketika aku kembali, aku mendapati keluargaku menangis. Aku pun bertanya kepada mereka apa yang terjadi. Mereka berkata, ‘Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan Musfir terhadap Muhammad ﷺ?’ Maka, ketika aku mendengar hal itu, aku segera mengejarnya. Aku membunuhnya di antara Shafa dan Marwah. Inilah darahnya yang masih ada di pedangku, kepalanya ada di dalam kantongku, dan tubuhnya tergeletak di antara Shafa dan Marwah. Wujudnya menyerupai anjing yang kepalanya terpenggal.”

Nabi ﷺ merasa senang mendengar hal itu, lalu beliau mendoakannya agar mendapat kebaikan. Kemudian Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”

Ia menjawab, “Namaku Muhir bin Abhar, dan tempat tinggalku di Gunung Thur Sina.”

Setelah itu, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku untuk menghina orang-orang kafir di hadapan berhala-berhala mereka sebagaimana Musfir telah mencelamu?”

Nabi ﷺ menjawab, “Lakukanlah.”

Keesokan harinya, orang-orang kafir berkumpul dan memanggil Nabi ﷺ. Mereka meletakkan berhala Hubal di hadapan mereka, menutupinya dengan berbagai kain, lalu bersujud kepadanya dan memohon kepadanya sebagaimana yang mereka lakukan pada hari sebelumnya.

Mereka berkata, “Wahai Hubal, buatlah kami senang hari ini dengan menghina Muhammad ﷺ!”

Namun, tiba-tiba berhala Hubal berbicara, “Wahai penduduk Mekah, ketahuilah bahwa Muhammad adalah nabi yang benar, agamanya adalah kebenaran, dan ia mengajak kalian kepada kebenaran. Sedangkan kalian dan berhala kalian berada dalam kebatilan. Jika kalian tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya, maka kalian akan kekal di dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Maka, benarkanlah Muhammad, karena ia adalah Nabi Allah dan makhluk-Nya yang terbaik.”

Mendengar hal itu, Abu Jahl – semoga Allah melaknatnya – berdiri, mengambil berhala tersebut, lalu membantingnya ke tanah, menghancurkannya, dan membakarnya dengan api.

Nabi ﷺ pun kembali ke rumahnya dengan perasaan gembira. Kemudian, beliau menamainya dengan Abdullah bin Abhar, lalu ia menggubah syair tentang pembunuhan Musfir:

Aku adalah Abdullah bin Abhar,
Aku telah membunuh si fajir Musfir.

Aku menyerangnya dengan pedangku yang tajam,
Di antara Shafa dan Marwah, ia telah melampaui batas dan sombong.

Ia menentang kebenaran dan berkata dengan perkataan yang mungkar,
Dengan mencela Nabi yang suci dan mulia.

Demi Allah, aku tidak akan berhenti hingga Islam ditolong,
Dan Islam tersebar hingga dibaca dan diakui.

Atau hingga setiap orang yang sombong menjadi hina,
Baik itu Yahudi maupun Nasrani.

Begitu pula tentara Kisra dan para raja Kaisar.

(حاشية الجمل، (٦٣٣)
(قَوْلُهُ: يَجِبُ عَلَى الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ وَيَجِبُ عَلَيْهِمْ نَهْيُهُمْ عَنْ الْمُحَرَّمَاتِ وَتَعْلِيمُهُمْ الْوَاجِبَاتِ وَسَائِرَ الشَّرَائِعِ كَالسَّوَاكِ وَحُضُورِ الْجَمَاعَاتِ ثُمَّ إِنْ بَلَغَ رَشِيدًا انْتَفَى ذَلِكَ عَنْ الْأَوْلِيَاءِ أَوْ سَفِيهَا فَوِلَايَةُ الْأَبِ مُسْتَمِرَّةٌ فَيَكُونُ كَالصَّبِيَّ وَأَجْرَةُ تَعْلِيمِهِ الْوَاجِبَاتِ فِي مَالِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَلَى الأبِ ثُمَّ الْأُمِّ وَيُخْرِجُ مِنْ مَالِهِ أَجْرَةَ تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَالْآدَابِ كَزَكَاةِ وَنَفَقَةِ مُمَوِّنِهِ وَبَدَلِ مُتْلَفِهِ فَمَعْنَى وُجُوبِهَا فِي مَالِهِ ثُبُوتُهَا فِي ذِمَّتِهِ وَوُجُوبُ إِخْرَاجِهَا مِنْ مَالِهِ عَلَى وَلِيْهِ، فَإِنْ بَقِيَتْ إِلَى كَمَالِهِ

Hasyiyah al-Jamal (6/633):
(Ucapan: “Wajib bagi para ayah dan ibu…”)
Wajib bagi orang tua untuk mencegah anak-anak mereka dari hal-hal yang haram, mengajarkan mereka kewajiban-kewajiban agama, dan hukum syariat lainnya seperti bersiwak dan menghadiri shalat berjamaah.
Jika anak telah baligh dan berakal, maka kewajiban itu gugur dari wali. Tetapi jika anak tersebut masih bodoh (safih), maka hak perwalian ayah tetap berlaku, menjadikannya seperti anak kecil.
Upah untuk mengajarkan kewajiban agama diambil dari hartanya sendiri. Jika ia tidak memiliki harta, maka kewajiban itu berpindah kepada ayahnya, lalu ibunya. Dari hartanya juga dikeluarkan biaya belajar Al-Qur’an dan adab, sebagaimana kewajiban zakat, nafkah orang yang menanggungnya, serta ganti rugi atas kerusakan yang ia sebabkan.
Maksud kewajiban dalam hartanya adalah bahwa biaya itu menjadi tanggungannya, dan kewajiban mengeluarkannya jatuh kepada walinya. Jika biaya tersebut masih tersisa hingga ia mencapai kedewasaan penuh, maka tetap menjadi tanggungannya.

المستصفى ٣٧٨/١

. أَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبٍ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفَعَ الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تِحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ وَمَقْصُودُ الشِّرْعِ مِنَ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ وَهُوَ أَنْ يُحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِيْنُهُمْ وَنَفْسُهُمْ وَعَقْلُهُمْ وَنَسْلُهُمْ وَمَالُهُمْ فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظ هَذِهِ الْأَصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأَصْوَلَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.

Al-Mustashfa (1/378):
Adapun maslahah (kemaslahatan) secara umum berarti menarik manfaat atau menolak bahaya. Namun, bukan itu yang dimaksud di sini.
Sebab, menarik manfaat dan menolak bahaya adalah tujuan manusia secara umum. Kebaikan mereka terletak pada tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Akan tetapi, yang dimaksud dengan maslahah dalam konteks syariat adalah menjaga maksud-maksud yang dikehendaki oleh syariat.
Maksud syariat terhadap manusia ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala sesuatu yang menjaga kelima hal ini disebut maslahah, dan segala sesuatu yang merusaknya disebut mafsadah (kerusakan), serta menolaknya termasuk dalam maslahah

(الأشباه والنظائر، (٣٥)
أَنَّ تَصُرُّفَ الْإِمَامِ يُقْبَلُ لَا بُدَّ وَأَنْ يُوَافِقَ الْمَصْلَحَةَ فَمَنُوْطٌ مُوَافِقُ أَوْ مُعْتَبَرُ وَالْمَصْلَحَةُ هُنَا الْمَصْلَحَةُ الْمَشْرُوعَةُ أَي الَّتِي يَأْبَى الدِّيْنُ غَيْرَهَا انْتَهَى . أَمَّا التَّرْيَاقُ الْمَعْجُونُ بِهَا وَنَحْوُهُ مِمَّا تُسْتَهْلَكَ فِيهِ فَيَجُوزُ التَّدَاوِي بِهِ عِنْدَ فَقَدِ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ مِمَّا يَحْصُلُ بِهِ التَّدَاوِي مِنْ الطَّاهِرَاتِ كَالتَّدَاوِي بِنَجِسِ كَلَحْمِ حَيَّةٍ وَبَوْلِ. وَلَوْ كَانَ التَّدَاوِي بِذَلِكَ لتعجيل شِفَاءٍ بِشَرْطِ إِخْبَارِ طَبِيبٍ مُسْلِمٍ عَدْلٍ بِذَلِكَ أَوْ مَعْرِفَتِهِ لِلتَّدَاوِي بِهِ، وَالنَّدُّ بِالْفَتْحِ الْمَعْجُونُ بِخَمْرٍ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ لِنَجَاسَتِهِ.

Al-Asybah wa an-Nazhair (35):
Tindakan seorang pemimpin (imam) tidak dapat diterima kecuali jika sesuai dengan kemaslahatan yang disyaratkan.
Maslahah yang dimaksud di sini adalah maslahah yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu yang tidak ditolak oleh agama.
Adapun taryaq (obat yang dicampur) dengan bahan haram, atau sejenisnya yang terkandung dalam zat yang habis larut di dalamnya, maka boleh digunakan untuk pengobatan jika tidak ditemukan alternatif yang suci. Seperti halnya pengobatan dengan sesuatu yang najis, misalnya daging ular atau air seni.
Pengobatan dengan cara ini diperbolehkan jika bertujuan untuk mempercepat kesembuhan, dengan syarat seorang dokter Muslim yang adil menyatakan kebolehannya, atau seseorang yang memahami pengobatan mengetahuinya.
Adapun obat yang dicampur dengan khamar (an-nadd), maka tidak boleh diperjualbelikan karena kenajisannya.

(حاشية البجيرمي على الخطيب ج١٢ص ٢٣٧

. قَالَ ق ل: وَيُعْتَبَرُ فِي الْعَطَشِ الْمُبِيحِ لِلتَّيَمُمِ مَا فِي الْمَرَضِ مِنْ خَبَرٍالطبيب الْمُسْلِمِ. قَالَ بَعْضُهُمْ: وَهَذَا وَاضِحٌ إِنْ وُجِدَ الطَّبِيبُ حَاضِرًا، وَإِلَّا فَلَيْسَ مِنْ مَحَاسِن الشَّرِيعَةِ مَنْعُهُ مِنَ الشَّرْبِ حَتَّى يُوجَدَ الطَّبِيبُ خُصُوصًا فِي مَفَازَةٍ مَثَلًا فَلْيُنْظَرْ حُكْمُهُ وَلْيُرَاجَعْ

Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib (12/237):
Qalyubi berkata: Haus yang membolehkan tayamum diukur seperti penyakit yang membutuhkan keterangan dari dokter Muslim.
Sebagian ulama berkata: Hal ini jelas jika dokter tersebut ada di tempat. Namun, jika tidak ada, maka bukan bagian dari keindahan syariat untuk melarang seseorang minum sampai dokter ditemukan, terutama jika ia berada di tempat yang jauh, seperti padang pasir. Oleh karena itu, perlu diperiksa hukumnya lebih lanjut.
Itulah terjemahan dari referensi yang Anda minta. Jika ada yang perlu diperjelas, silakan tanyakan. Wallahu a’lam bish-shawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *