DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Kategori
Uncategorized

MENELAN DAHAK KETIKA SHALAT DAN PUASA

MENELAN DAHAK KETIKA SHALAT DAN PUASA

Assalamualaikum

Sail. Ust. Hamid .Aceh

Deskripsi Masalah:

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa saja mengalami sakit, seperti flu atau batuk, yang menyebabkan produksi dahak berlebih. Dalam ibadah, terdapat ketentuan terkait menelan dahak, khususnya dalam salat dan puasa. Beberapa pendapat menyatakan bahwa menelan dahak dapat membatalkan ibadah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan-batasannya secara jelas.
Pertanyaan:

  1. Apakah benar menelan dahak dapat membatalkan salat dan puasa ?

2.Sampai sejauh mana batasan yang menyebabkan batalnya ibadah akibat menelan dahak?

3. Apakah ada pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa menelan dahak tidak membatalkan salat?
Jawaban:

  1. Benar menelan dahak dapat membatalkan salat dan puasa jika dahak tersebut telah keluar dari batasan zhâhir (luar) lalu ditelan kembali ke dalam.
  2. Mengenai batasan zhâhir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama: Imam ar-Rafi’i menetapkannya pada makhraj huruf khâ’ (ujung tenggorokan), sedangkan Imam an-Nawawi menetapkannya pada makhraj huruf hâ’ (tengah tenggorokan). Oleh karena itu, jika dahak telah melewati batasan tersebut dan kemudian ditelan kembali, maka hal itu dapat membatalkan salat atau puasa.
  3. Tidak ada pendapat ulama yang membolehkan menelan dahak dalam kondisi tersebut.

Referensi:

نهاية الزين.ص ١٨٧

وَيُفْطِرُ عَامِدًا عَالِمًا مُخْتَارًا بِجِمَاعِ وَاسْتِمْنَاءِ وَاسْتِقَاءَةِ لَا بِقَلْعِ نُخَامَةٍ، وَلَوْ نَزَلَتْ مِنْ دِمَاغِهِ أَوْ خَرَجَتْ مِنْ جَوْفِهِ وَوَصَلَتْ إِلَى حَظِّ الظَّاهِرِ وَجَبَ قَلْعُهَا وَمَجُّهَا، وَيُعْفَى عَمَّا أَصَابَتْهُ أَوْ كَانَتْ نَجِسَةً فَإِنْ كَانَتْ تَرْكُهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ فَرَجَعَتْ إِلَى حَظِّ الْبَاطِنِ أَفْطَرَ لِتَقْصِيرِهِ وَلَوْ كَانَ فِي فَرْضِ صَلَاةٍ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَجِّهَا إِلَّا بِظُهُورِ حَرْفَيْنِ فَأَكْثَرَ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ، بَلْ يَنْبَغِي ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِمَصْلَحَتِهَا كَالتَّنَحْنُحِ لِتَعَذُّرِ الْقِرَاءَةِ الْوَاجِبَةِ. وَحَدُّ الظَّاهِرِ هُوَ مَخْرَجُ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ وَالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ عِنْدَ النَّوَوِيِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ، فَإِنْ لَمْ تَصِلْ إِلَى حَظِّ الظَّاهِرِ الْمَذْكُورِ، بِأَنْ كَانَتْ دَاخِلًا عَمَّا ذُكِرَ أَوْ حَصَلَتْ فِي حَظِّ الظَّاهِرِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَلْعِهَا وَمَجِّهَا لَمْ يَضُرَّ. اهـ.

Referensi:
(Nihayah az-Zain, 187)
“Seseorang batal puasanya jika melakukannya dengan sengaja, mengetahui, dan atas pilihannya sendiri, yaitu dengan berhubungan badan, mengeluarkan air mani, atau muntah, bukan dengan mengeluarkan dahak. Jika dahak turun dari otaknya atau keluar dari tenggorokannya dan mencapai batas zahir, maka wajib untuk mengeluarkannya dan memuntahkannya, dan dimaafkan jika ada yang mengenainya atau jika najis. Jika membiarkannya padahal mampu melakukannya, lalu kembali ke batas batin, maka batal puasanya karena kelalaiannya. Jika dia sedang dalam salat wajib dan tidak mampu memuntahkannya kecuali dengan mengeluarkan dua huruf atau lebih, maka salatnya tidak batal, bahkan hal itu dianjurkan untuk menjaga kemaslahatan salatnya, seperti berdeham karena kesulitan membaca bacaan wajib. Batas zahir adalah tempat keluarnya huruf kha’ yang bertitik menurut Imam ar-Rafii, dan huruf ha’ yang tidak bertitik menurut Imam an-Nawawi, dan inilah yang dipegang sebagai pendapat yang kuat. Jika dahak tidak mencapai batas zahir yang disebutkan, yaitu jika berada di dalam dari apa yang disebutkan atau terjadi di batas zahir namun tidak mampu mengeluarkannya dan memuntahkannya, maka tidak membahayakan. Selesai.”

كفاية الأخيار الجزء الأول صحـ : ٢٠٥ مكتبة دار إحياء الكتب

وَلَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ رَأْسِهِ وَصَارَتْ فَوْقَ الْحُلْقُوْمِ نُظِرَ إِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِخْرَاجِهَا ثُمَّ نَزَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ لَمْ يُفْطِرْ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِخْرَاجِهَا وَتَرَكَهَا حَتَّى نَزَلَتْ بِنَفْسِهَا أَفْطَرَ أَيْضًا لِتَقْصِيْرِهِ اهـ

Kifâyah al-Akhyâr, Jilid 1, Halaman 205 (Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub):

“Jika dahak turun dari kepalanya dan berada di atas tenggorokan, maka ada perincian: Jika ia tidak mampu mengeluarkannya, lalu dahak itu turun ke dalam perut, maka puasanya tidak batal. Namun, jika ia mampu mengeluarkannya tetapi membiarkannya hingga dahak itu turun dengan sendirinya, maka ia tetap batal karena kelalaiannya.”

كتاب (بجيرمي على شرح المنهاج ، جز ٢ ، صحيفة ٧٢) (لَا) تَرْكُ (قَلْعِ نُخَامَةٍ وَمَجِّهَا) فَلَا يَجِبُ فَلَا يُفْطِرُ بِهِمَا؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ إلَيْهِمَا مِمَّا تَتَكَرَّرُ (وَلَوْ نَزَلَتْ) مِنْ دِمَاغِهِ وَحَصَلَتْ (فِي حَدِّ ظَاهِرِ فَمٍ فَجَرَتْ) إلَى الْجَوْفِ (بِنَفْسِهَا وَقَدَرَ عَلَى مَجِّهَا أَفْطَرَ) لِتَقْصِيرِهِ بِخِلَافِ مَا إذَا عَجَزَ عَنْهُ 

Kitab Bujairimi ‘ala Syarh al-Minhâj, Jilid 2, Halaman 72:

“Tidak wajib mengeluarkan dahak dan meludahkannya, sehingga tidak membatalkan puasa. Sebab, kebutuhan untuk itu sering terjadi. Namun, jika dahak turun dari otaknya dan sampai pada batas luar mulut, lalu mengalir ke dalam perut dengan sendirinya sementara ia mampu mengeluarkannya, maka puasanya batal karena kelalaiannya. Berbeda halnya jika ia tidak mampu mengeluarkannya.” Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *