DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Kategori
Uncategorized

HUKUM ISTRI MENOLAK PULANG KE RUMAH SUAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Hukum Istri yang Menolak Pulang ke Rumah Suami dalam Perspektif Fiqih

Deskripsi:

Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu kewajiban istri adalah menaati suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf, termasuk tinggal di rumah yang telah disediakan suami sesuai dengan kemampuannya. Namun, bagaimana hukumnya jika seorang istri menolak diajak pulang atau boyongan ke rumah suaminya?

Apakah ini termasuk dalam kategori nusyuz?

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Dalam hukum Islam, seorang istri yang menolak tinggal di rumah suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syariat dapat dikategorikan sebagai nusyuz (pembangkangan terhadap suami). Sebab, salah satu kewajiban istri adalah tinggal bersama suami di tempat yang layak sesuai kemampuan suami, sebagaimana disebut dalam kitab-kitab fiqih.

Dalil dan Ibarat Kitab

Ibn Qudamah dalam Al-Mughni (Juz 11, Hal. 410) menyatakan:

١٣٩٨ – مسألة؛ قال: (والناشز لا نفقة لها، فإن كان لها منه ولد, أعطاها نفقة ولدها)
معنى النشوز معصيتها لزوجها فيما له عليها، مما أوجبه له (١) النكاح (٢)، وأصله من الارتفاع، مأخوذ من النشز، وهو المكان المرتفع، فكأن الناشز ارتفعت عن طاعة زوجها، فسميت ناشزا. فمتى امتنعت من فراشه، أو خرجت من منزله بغير إذنه، أو امتنعت من الانتقال معه إلى مسكن مثلها، أو من السفر معه، فلا نفقة لها ولا سكنى، في قول عامة أهل العلم؛ منهم الشعبى، وحماد، ومالك، والأوزاعى، والشافعي، وأصحاب الرأى، وأبو ثور. وقال الحكم: لها النفقة. وقال ابن المنذر: لا أعلم أحدا خالف هؤلاء إلا الحكم، ولعله يحتج بأن نشوزها لا يسقط مهرها، فكذلك نفقتها. ولنا، أن النفقة إنما تجب في مقابلة تمكينها، بدليل أنها لا تجب قبل تسليمها إليه، وإذا منعها النفقة كان لها (٣) منعه التمكين، فإذا منعته التمكين كان له منعها من النفقة، كما قبل الدخول. وتخالف المهر؛ فإنه يجب بمجرد العقد، ولذلك لو مات أحدهما قبل الدخول وجب المهر دون النفقة. فأما إذا كان له (٤) منها ولد، فعليه نفقة ولده؛ لأنها واجبة له، فلا يسقط حقه بمعصيتها، كالكبير، وعليه أن يعطيها إياها إذا كانت هي الحاضنة (٥) له، أو المرضعة له، وكذلك أجر رضاعها، يلزمه تسليمه (٦) إليها؛ لأنه أجر ملكته عليه بالإرضاع (٧)، لا في مقابلة الاستمتاع، فلا يزول بزواله.
فصل: وإذا سقطت نفقة المرأة بنشوزها، فعادت عن النشوز والزوج حاضر، عادت نفقتها؛ لزوال المسقط لها، ووجود التمكين المقتضى لها. وإن كان غائبا، لم تعد نفقتها حتى يعود التسليم بحضوره، أو بحضور (٨) وكيله، أو حكم الحاكم بالوجوب إذا مضى زمن الإمكان. ولو ارتدت امرأته، سقطت نفقتها، فإن عادت إلى الإسلام، عادت نفقتها بمجرد عودها؛ لأن المرتدة إنما سقطت نفقتها بخروجها (٩) عن الإسلام، فإذا عادت إليه، زال المعنى المسقط، فعادت النفقة،

(1398 – Masalah)
Penulis berkata: (“Wanita yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah. Namun, jika ia memiliki anak dari suaminya, maka suaminya wajib memberikan nafkah anaknya.”)
Makna nusyuz adalah durhaka seorang istri kepada suaminya dalam hal yang menjadi hak suami atasnya, yaitu dalam hal-hal yang diwajibkan oleh pernikahan. Secara asal, kata nusyuz berasal dari makna “meninggi”, yang diambil dari kata nasyz, yaitu tempat yang tinggi. Maka, istri yang nusyuz seakan-akan meninggikan dirinya dari ketaatan kepada suaminya, sehingga disebut nasiyah (wanita yang nusyuz).
Maka, jika seorang istri menolak berhubungan dengan suaminya, keluar dari rumahnya tanpa izin, menolak pindah ke tempat tinggal yang sepadan dengannya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya: Asy-Sya’bi, Hammad, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, para ulama madzhab Hanafi, dan Abu Tsaur.
Namun, Al-Hakam berpendapat bahwa istri yang nusyuz tetap berhak mendapatkan nafkah. Ibnu Mundzir berkata: “Saya tidak mengetahui adanya ulama yang menyelisihi pendapat mayoritas kecuali Al-Hakam. Mungkin dalilnya adalah bahwa nusyuz tidak menggugurkan mahar, maka demikian pula nafkahnya.”
Sedangkan dalil kami adalah bahwa nafkah diwajibkan sebagai imbalan atas kesediaan istri memberikan hak suami (dalam hubungan pernikahan). Hal ini dibuktikan dengan tidak diwajibkannya nafkah sebelum istri menyerahkan dirinya kepada suami. Jika suami menahan nafkahnya, maka istri berhak menahan dirinya dari suami. Demikian pula, jika istri menolak memberikan hak suami, maka suami pun berhak menahan nafkahnya, sebagaimana sebelum terjadinya hubungan suami-istri.
Adapun mahar, maka hukumnya berbeda, karena mahar menjadi hak istri sejak akad nikah berlangsung. Oleh karena itu, jika salah satu dari suami atau istri meninggal sebelum terjadinya hubungan suami-istri, mahar tetap wajib diberikan, sedangkan nafkah tidak demikian.
Namun, apabila istri yang nusyuz memiliki anak dari suaminya, maka suaminya tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya, karena nafkah anak adalah kewajiban yang tidak bisa gugur dengan sebab maksiat ibu. Hal ini sebagaimana nafkah untuk anak yang sudah dewasa, yang tetap wajib diberikan walaupun ibunya dalam keadaan nusyuz. Jika istri menjadi pengasuh atau menyusui anak tersebut, maka suami tetap wajib menyerahkan nafkah anak kepadanya serta membayar upah menyusuinya. Sebab, upah tersebut merupakan hak yang diperoleh istri karena pekerjaannya sebagai penyusu, bukan sebagai imbalan atas hubungan suami-istri, sehingga tidak gugur dengan hilangnya hubungan tersebut.
Fasal:
Apabila nafkah istri gugur karena nusyuz, lalu ia kembali taat kepada suaminya dan suaminya hadir, maka nafkahnya kembali wajib diberikan, karena sebab yang menggugurkannya telah hilang, dan kesediaan istri untuk taat telah kembali.
Namun, jika suami sedang tidak ada, maka nafkah istri tidak kembali wajib sampai ia benar-benar menyerahkan dirinya kepada suami setelah suaminya kembali, atau dengan kehadiran wakil suami, atau dengan keputusan hakim yang menetapkan kewajiban nafkah jika telah berlalu waktu yang memungkinkan penyerahan diri.
Jika seorang istri murtad, maka nafkahnya gugur. Namun, jika ia kembali masuk Islam, maka nafkahnya kembali wajib sejak saat ia kembali, karena gugurnya nafkah disebabkan oleh keluarnya ia dari Islam. Maka, ketika ia kembali masuk Islam, sebab yang menggugurkan nafkah telah hilang, sehingga haknya atas nafkah kembali.

Al-Khatib As-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj (Juz 4, Hal. 116) menjelaskan:

[مغني المحتاج

(وله دعاؤهن) إلى مسكنه وعليهن الإجابة؛ لأن ذلك حق له، ومن امتنعت منهن فهي ناشزة أي حيث لا عذر، فإن كان لعذر كمرض ونحوه عذرت وبقيت على حقها، قاله الماوردي. وقال ابن كج: إن منعها مرض عليه أن يبعث إليها من يحملها إليه وجمع بينهما بحمل الأول على المرض المعجوز معه عن الركوب. والثاني على غيره، واستثنى الماوردي ما إذا كانت ذات قدر وخفر ولم تعتد البروز فلا تلزمها إجابته، وعليه أن يقسم لها في بيتها. قال الأذرعي: وهو حسن وإن استغربه الروياني. وأما المطر والوحل الشديدان ونحوها، فإن بعث لها مركوبا ووقاية من المطر فلا عذر، وإلا فينبغي أن يكون عذرا، ويختلف هذا باختلاف الناس (والأصح تحريم ذهابه إلى بعض) من نسائه (ودعاء بعض) منهن لمسكنه لما فيه من الوحشة، ولما في تفضيل بعضهن على بعض من ترك العدل. والثاني: لا كما له المسافرة ببعض دون بعض، وهذا ما نص عليه في الإملاء، وقطع به العراقيون وغيرهم.
وأجاب من قال بالأول. قال الأذرعي: وهم الأقلون عن القياس على المسافرة بأنها تكون بالقرعة، وهي تدفع الوحشة وإن أقرع هنا. قال الرافعي: وجب أن يجوز، وعبر في الروضة بقوله: ينبغي القطع بالجواز أن يحمل النص على ما إذا كان ثم عذر كما نبه على ذلك بقوله (إلا لغرض كقرب مسكن من مضى إليها) دون الأخرى (أو خوف عليها) لكونها جميلة مثلا دون غيرها لكونها دميمة أو حصل تراض أو قرعة كما مر فلا يحرم عليه ما ذكر، ويلزم من دعاها الإجابة، فإن أبت بطل حقها.
(ويحرم أن يقيم بمسكن واحدة) منهن (ويدعوهن) أي من بقي منهن (إليه) لأن إتيان بيت الضرة شاق على النفس، ولا يلزمهن الإجابة، فإن أجبن فلصاحبة البيت المنع، وإن كان البيت ملك الزوج؛ لأن حق السكنى فيه لها كما قاله ابن داود.
تنبيه: التعبير بالإقامة يقتضي الدوام، وبحث الزركشي أن الحكم كذلك ولو مكث أياما لا على نية الإقامة وهو ظاهر، ولو رضين كلهن بذلك جاز، ولو قال: إلا برضاهن كالتي بعدها لكان أولى.
(و) يحرم (أن يجمع) ولو ليلة واحدة (بين ضرتين) فأكثر (في مسكن) أي بيت واحد لما بينهما من التباغض (إلا برضاهما) فيجوز الجمع بينهما؛ لأن الحق لهما، ولو رجعا بعد الرضا كان لهما ذلك.
تنبيه: التعبير بالمسكن يقتضي أنه لا يلزمه في السفر إفراد كل واحدة بخيمة ومرافق، وهو ظاهر لما في إيجاب ذلك من الضرر بالزوج، وضرر الزوجات لا يتأبد فيحتمل، وإذا رضيتا بالبيت الواحد. قال الشيخان: كره أن يطأ إحداهما بحضرة الأخرى؛ لأنه بعيد عن وله أن يرتب القسم على ليلة ويوم قبلها أو بعدها.
والأصل الليل، والنهار تبع، فإن عمل ليلا وسكن نهارا كحارس فعكسه.
وليس للأول دخول في نوبة على أخرى ليلا إلا لضرورة كمرضها المخوف،

(Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan .
Suami Ia juga berhak memanggil mereka ke tempat tinggalnya, dan mereka wajib memenuhi panggilannya, kecuali jika ada uzur seperti sakit. Jika seorang istri menolak tanpa uzur, maka ia dianggap nusyuz (durhaka). Jika ada uzur seperti sakit, maka ia diberi keringanan dan tetap berhak atas gilirannya.

Imam al-Mawardi menyebutkan bahwa jika seorang istri sakit hingga tidak mampu berpindah ke tempat suaminya, maka suami harus mengutus seseorang untuk membawanya ke sana. Pendapat ini dibedakan oleh Ibn Kij antara sakit yang membuat seseorang benar-benar tidak mampu berpindah dan sakit ringan yang masih memungkinkan perpindahan.

Adapun jika seorang istri adalah wanita yang terhormat dan terbiasa menjaga diri dari keluar rumah, maka ia tidak diwajibkan untuk memenuhi panggilan suami ke rumahnya. Sebagai gantinya, suami wajib memberikan gilirannya di rumah istri tersebut. Pendapat ini dianggap baik oleh al-Adzra’i meskipun dinilai asing oleh al-Ruyani.

Jika ada hujan lebat atau jalanan berlumpur, maka jika suami menyediakan kendaraan dan pelindung dari hujan, maka tidak ada uzur untuk tidak datang. Namun, jika tidak ada fasilitas tersebut, maka hal itu bisa menjadi alasan yang dibenarkan, tergantung pada kondisi masing-masing orang.

Pendapat yang lebih shahih menyatakan bahwa haram bagi suami untuk hanya mendatangi sebagian istri sementara yang lain hanya dipanggil ke rumahnya. Hal ini karena dapat menimbulkan rasa sepi bagi istri yang tidak didatangi serta menimbulkan ketidakadilan. Pendapat kedua menyatakan bahwa hal ini boleh dilakukan, sebagaimana bolehnya suami bepergian dengan sebagian istrinya tanpa yang lain.

Jika ada alasan tertentu, seperti rumah istri yang dikunjungi lebih dekat dibanding yang lain, atau karena kekhawatiran terhadap keselamatan istri, seperti jika ia lebih cantik dibanding yang lain sehingga berisiko mendapat gangguan, atau jika ada kerelaan dan diundi melalui undian, maka tidak diharamkan. Istri yang dipanggil wajib datang, dan jika ia menolak, maka haknya atas giliran suami gugur.

Haram bagi suami untuk tinggal di rumah salah satu istrinya dan hanya memanggil yang lain untuk datang kepadanya, karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi istri yang lain. Mereka tidak wajib memenuhi panggilannya, dan jika mereka tetap datang, maka istri pemilik rumah berhak menolak kehadiran mereka, meskipun rumah itu milik suami, karena hak tinggal tetap milik istri yang menjadi penghuninya.

Suatu catatan penting adalah bahwa istilah “tinggal” menunjukkan kondisi menetap dalam waktu lama. Namun, menurut al-Zarkasyi, hukum ini tetap berlaku meskipun suami hanya tinggal beberapa hari tanpa niat menetap. Jika semua istri rela, maka hal ini diperbolehkan.

Haram bagi suami untuk mengumpulkan dua istri atau lebih dalam satu tempat tinggal, bahkan untuk satu malam, karena kebencian yang bisa timbul di antara mereka, kecuali jika mereka rela. Jika mereka telah rela tetapi kemudian berubah pikiran, maka mereka berhak untuk menarik kembali persetujuannya.

Dalam perjalanan, tidak wajib bagi suami untuk menyediakan tenda dan fasilitas terpisah bagi masing-masing istri, karena hal itu menyulitkan. Namun, jika mereka rela berbagi tempat tinggal, maka hal ini diperbolehkan.

Para ulama sepakat bahwa makruh hukumnya jika suami berhubungan intim dengan salah satu istri di hadapan istri yang lain, karena hal itu bertentangan dengan adab dan kehormatan.

Suami boleh mengatur pembagian waktu dengan istri-istrinya, baik berdasarkan malam hari maupun siang hari sebelumnya atau sesudahnya. Namun, hukum asalnya adalah malam hari, sedangkan siang hari hanyalah konsekuensinya. Jika suami bekerja malam hari dan beristirahat di siang hari, maka aturan ini bisa dibalik.

Suami tidak boleh memasuki rumah istri lain di luar giliran tanpa alasan darurat, seperti jika istri tersebut sakit parah.

Kesimpulan

Jika istri menolak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang syar’i (misalnya, rumah suami tidak layak, ada kekerasan, atau ada bahaya lainnya), maka ia dianggap nusyuz dan kehilangan hak nafkahnya. Namun, jika ada uzur yang dapat diterima menurut syariat, maka suami tidak boleh memaksanya.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *